Monday, November 30, 2015

Thought for the Day - 30th November 2015 (Monday)

When you desire to transform a silver statue into a Krishna idol, you cannot succeed by simply covering the silver idol with a cloth and uncovering it after a few seconds! You have to break the statue into pieces, melt the bits and pour the silver into the Krishna mould! So too when you yearn to transform yourself into Divine, you must break the pieces with the help of the attitude of detachment, melt them in the fire of wisdom (jnana), and pour your mind into the mould of devotion. Then the entire consciousness takes on the Divine Name, Form and Substance. Then, whatever is spoken or done or thought assumes the splendour and purity of the Divine. Remember, nothing will please God more than rigorous adherence to righteousness (Dharma). You can stick to the path of Dharma only if you are conscious of the Divine in everything that you see or hear, touch or taste.


Ketika engkau memiliki keinginan untuk mengubah sebuah patung perak menjadi wujud Krishna, engkau tidak bisa melakukannya hanya dengan menutupi patung perak itu dengan kain dan membuka kainnya setelah beberapa detik! Engkau harus menghancurkan patung itu menjadi berkeping-keping, meleburkan kepingan itu dan menungkan perak ke dalam cetakan wujud Krishna! Begitu juga ketika engkau berkeinginan untuk merubah dirimu menuju keillahian maka engkau harus menghancurkan kepingan-kepingan itu dengan bantuan dari sikap tanpa keterikatan, melelehkannya dalam api kebijaksanaan (jnana), dan menuangkan pikiranmu ke dalam wujud bhakti. Kemudian seluruh kesadaran akan mengambil nama, wujud dan hakekat dari Tuhan. Kemudian, apapun yang dikatakan atau dilakukan atau dipikirkan mengambil kemuliaan dan kesucian Tuhan. Ingatlah bahwa tidak ada apapun yang dapat menyenangkan Tuhan melebihi daripada menjunjung tinggi kebajikan (Dharma). Engkau dapat  menapaki jalan Dharma hanya jika engkau menyadari keillahian dalam segala sesuatu yang engkau lihat atau dengar, sentuh atau rasakan. [Divine Discourse, Nov 1970]

-BABA

Thought for the Day - 29th November 2015 (Sunday)

The effulgence of your soul (Atma) is obscured by ego. Therefore, when ego is destroyed, all troubles end, all discontents vanish, and bliss is attained. Just as the sun is obscured by mist, so also, the feeling of ego hides eternal bliss. Even if the eyes are open, a piece of cloth or cardboard can prevent vision from functioning effectively and usefully. So too, the screen of selfishness prevents one from seeing God, who is in fact nearer than anything else. Develop the characteristics of truth, kindness, love, patience, forbearance and gratefulness. Ego (ahamkara) cannot subsist wherever these qualities reside, just as darkness disappears with sunrise. Many a spiritual aspirant (sadhaka), recluse, and renunciant (sanyasin) has allowed all excellences won by long years of struggle and sacrifice to slip away through this attachment to the self. Power without the bliss of God-realisation is a wall without a basement.
Sinar dari jiwamu (Atma) dikaburkan oleh ego. Maka dari itu, ketika ego dihancurkan maka semua masalah akan berakhir, semua perasaan tidak senang menjadi sirna, dan kebahagiaan akan dapat diraih. Sama halnya ketika matahari diselimuti oleh awan maka begitu juga perasaan ego menyembunyikan kebahagiaan yang kekal. Sekalipun mata kita terbuka, sehelai kain dapat menghalangi pandangan atau kertas karton akan merupakan penghalang sehingga penglihatan kita tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian juga tabir egoisme menjadi penghalang sehingga manusia tidak dapat melihat Tuhan, yang sejatinya adalah lebih dekat dari apapun juga. Kembangkanlah sifat khas dari kebenaran, kebajikan, cinta kasih, kesabaran, ketabahan, dan penuh syukur. Ego (ahamkara) tidak dapat hidup dimanapun sifat-sifat khas ini ada, sama halnya dengan kegelapan akan sirna ketika mentari terbit. Banyak peminat spiritual (sadhaka), pertapa, dan mereka yang melepaskan kehidupan duniawi (sanyasin) kehilangan semua manfaat dan semua keunggulan yang merupakan hasil perjuangan serta pengorbanan selama bertahun-tahun yang panjang karena mereka terikat pada rasa keakuan. Kekuatan tanpa kebahagiaan akan kesadaran Tuhan adalah sebuah dinding tanpa adanya sebuah pondasi. [Prema Vahini, Ch. 15]

-BABA

Thought for the Day - 28th November 2015 (Saturday)

Creation or manifestation started, as the Upanishads say, when the One willed, Ekoham bahusyam - "I am One; let Me become Many. It is the integer (I) that fills the zeros after it with value and validity! The realisation of the function of the ‘I’ and the act of ignoring all zeros that come after it, is the end and goal of all human endeavour. When the mind is unruffled and the intelligence is sharpened, this realisation will take place naturally. Through the discipline of selfless service, you can easily recognise the One who appears as many. To attain that experience, service must be rendered either from a supreme sense of duty or as a humble dedicatory offering to the Highest, or in a spirit of total surrender to the will of God leaving all thought of the consequence to His grace. Any act of service done with these pure motives, will develop detachment and confer highest rewards.
Dalam Upanishad menyatakan bahwa ciptaan atau penjelmaan dimulai ketika sang ‘Aku” yang merupakan kenyataan yang sejati berkehendak, Ekoham bahusyam - "Aku adalah Satu; dan Aku akan menjadi banyak. Sang ‘Aku’ ini adalah seperti sebuah bilangan bulat yang mengisi bilangan nol dengan nilai dan keabsahan! Menyadari peran dari sang ‘Aku’ dan bertindak dengan mengabaikan semua bilang nol yang ada di belakang bilangan bulat, adalah akhir dan tujuan dari semua usaha manusia. Ketika pikiran tenang dan kecerdasan ditajamkan, kesadaran ini secara otomatis akan terjadi secara alami. Melalui disiplin dalam pelayanan yang tanpa mementingkan diri sendiri maka engkau dapat dengan mudah menyadari sang ‘Aku’ yang muncul dalam banyak wujud. Untuk dapat mencapai pengalaman itu, pelayanan harus dilakukan baik sebagai sebuah kewajiban yang tertinggi atau sebagai sebuah persembahan yang rendah hati kepada yang tertinggi, atau dalam semangat berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan dan meninggalkan semua pikiran akan hasilnya pada rahmat Tuhan. Setiap tindakan pelayanan yang dilakukan dengan niat yang suci ini akan mengembangkan tanpa keterikatan dan memberikan pahala yang tertinggi. [Divine Discourse, Nov 1970]

-BABA

Thought for the Day - 27th November 2015 (Friday)

People develop in themselves an abounding variety of selfish habits and attitudes, causing themselves great discontent. The impulse for this comes from the power complex, the greed for accumulating authority, domination and power! The greed for things can never be eternal and full, and in fact, it is impossible for anyone to satiate their desires fully. A person might feel elated to become the master of all arts, owner of all wealth, possessor of all knowledge, or repository of all the scriptures, but from whom did the person acquire all these? You may think you earned all this through your own efforts and toil. The source from which all authority, talent, energy and power originate is the Lord of all. Ignoring Lord’s omnipotence, deluding oneself that the little greatness acquired is supreme, is indeed selfishness, conceit and pride (ahamkara). A genuine aspirant can be recognized by the characteristics of truth, kindness, love, patience, forbearance and gratefulness. Wherever these reside, ego cannot subsist; it has no place. Therefore seek to develop these.
Manusia mengembangkan di dalam diri mereka sendiri begitu banyak kebiasaan dan sikap yang mementingkan diri sendiri yang mana menjadi sumber bagi ketidakpuasan yang besar. Dorongan ini muncul dari kekuatan kebencian yang tidak mendasar, ketamakan untuk mengumpulkan kekuasaan, dominasi, dan kekuatan! Ketamakan akan sesuatu tidak akan pernah bersifat kekal dan lengkap dan sejatinya adalah sangat tidak mungkin bagi siapapun juga untuk mengenyangkan keinginan mereka sepenuhnya. Seseorang mungkin merasa sangat gembira dengan menjadi master dari semua seni, pemilik dari semua kekayaan, professor dari semua pengetahuan, atau gudang dari semua naskah suci, namun dari mana orang ini mendapatkan semuanya ini? Engkau mungkin berpikir bahwa engkau mendapatkan semuanya melalui usaha dan kerja kerasmu sendiri. Sumber dari semua kekuasaan, bakat, energi dan kekuatan adalah semuanya bersumber dari Tuhan. Dengan mengabaikan kemahakuasaan Tuhan dan menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa sedikit kehebatan yang diraih adalah yang tertinggi, pada dasarnya ini adalah sebuah egoisme, kecongkakan dan kesombongan (ahamkara). Seorang peminat spiritual yang sejati dapat diketahui dari karakteristik kebenaran, kebaikan, welas asih, ketabahan, dan rasa syukur. Dimanapun semua kualitas ini ada, maka ego tidak akan bisa hidup dan tidak punya tempat tinggal. Maka dari itu cari dan kembangkanlah kualitas ini.  [Prema Vahini, Ch. 15]

-BABA

Thought for the Day - 26th November 2015 (Thursday)


Putlibai, Mahatma Gandhi’s mother, spent her life in the contemplation of God. She observed a vow wherein she wouldn’t partake food until she heard a cuckoo sing. One day it so happened that the cuckoo was not heard. Gandhi, a small boy then, couldn’t bear to see his mother fasting for a long time. He went behind the house and mimicked the cuckoo’s song. Putlibai felt extremely sad when she realised that her son was uttering a lie. She cried, “O God! What sin have I committed to have given birth to a son who speaks untruth?” Realising the immense grief he had caused to his mother by uttering a lie, Gandhi took a vow that he would never indulge in falsehood ever again. It is imperative that mothers train their children in moral values right from their childhood. Never overlook children’s mistakes – correct them immediately when they stray away from the righteous path and reward them for their good deeds.
Putlibai, ibunda dari Mahatma Gandhi telah menghabiskan hidupnya dalam perenungan kepada Tuhan. Putlibai melakukan sebuah janji dimana beliau tidak akan makan sampai beliau mendengar kicauan burung tekukur. Pada suatu hari ada sebuah kejadian dimana kicaun burung tekukur tidak terdengar. Gandhi kecil tidak tahan melihat ibunya melakukan puasa dalam waktu yang lama. Maka dari itu Gandhi kecil sembunyi di belakang rumah dan menirukan kicaun burung tekukur. Putlibai merasa benar-benar sangat sedih ketika beliau menyadari bahwa putranya sedang melakukan kebohongan. Putlibai menangis, “O Tuhan! Apa dosa yang telah hamba lakukan dengan telah melahirkan seorang putra yang berani berbohong?” Dengan menyadari duka cita yang begitu mendalam yang ia sebabkan bagi ibunya karena ia telah berbohong, Gandhi mengambil sebuah janji bahwa ia tidak akan pernah lagi melakukan kebohongan. Sangat penting sekali bahwa setiap ibu melatih anak-anak mereka dalam nilai-nilai moral sejak dari anak-anak. Jangan pernah meremehkan kesalahan anak-anak – perbaiki kesalahan mereka segera ketika mereka menyimpang dari jalan kebenaran dan berikan penghargaan kepada mereka untuk perbuatan baik mereka.  (Divine Discourse, 19-Nov-2000)

-BABA

Thought for the Day - 25th November 2015 (Wednesday)

Without the control of senses, spiritual practices (Sadhana) are ineffective; it is like keeping water in a leaky pot. Pathanjali (the celebrated sage and author of the Yoga Sutras) has said that when tongue is conquered, victory is yours. While the eye, the ear and the nose serve as instruments of knowledge about one particular characteristic of Nature, the tongue makes itself available for two purposes: to judge taste and to utter words - symbols of communication. You must control the tongue with double care, since it can harm you in two ways. When the tongue craves for some delicacy, assert that you will not cater to its whims. If you persist in giving yourself simple food that is not savoury or hot, but amply sustaining, the tongue may squirm for a few days, but it will soon welcome it. That is the way to subdue it and overcome the evil consequences of it being your master.


Tanpa adanya pengendalian indera maka latihan spiritual (sadhana) menjadi tidak efektif; ini seperti menaruh air di dalam pot yang bocor. Pathanjali (seorang guru suci yang terkenal dan pengarang dari Yoga Sutra) telah mengatakan bahwa ketika lidah telah ditaklukkan maka kemenangan adalah milikmu. Sedangkan mata, telinga, dan hidung melayani sebagai alat dari pengetahuan tentang satu karakteristik dari alam, lidah hanya bisa untuk dua tujuan saja yaitu: untuk menilai rasa dan mengucapkan kata-kata – adalah simbol dari komunikasi. Engkau harus mengendalikan lidah dengan dua perhatian karena lidah dapat menyakitimu dalam dua cara. Ketika lidah sangat membutuhkan kelezatan, dan engkau tegas untuk menolak permintaannya. Dan jika engkau bersikeras hanya memberikan dirimu sendiri makanan yang sederhana dan bukannya makanan yang lezat dan pedas, maka lidah mungkin menggeliat untuk beberapa hari, namun lidah akan menerima makanan itu. Itulah cara untuk menundukkan lidah dan mengatasi akibat buruk dari lidah yang menjadi majikanmu. (Divine Discourse, 23-Nov-1968)

-BABA

Sunday, November 29, 2015

Thought for the Day - 24th November 2015 (Tuesday)

Be pure, alert and humble. I am in you; you are in Me. You hoist the Prasanthi flag in Prasanthi Nilayam. Remember, the flag is a sign that is significant for each and every one of you. It is a reminder of your duty to yourself, and so when you hoist it you must unfurl it in your own hearts. It reminds you to overcome the urge of low desires, of anger and hate when your desires are thwarted; it exhorts you to expand your heart so that you embrace all humanity, all life and all creation in its compass; it directs you to quieten your impulses and calmly meditate on your own inner reality. It assures you that, when you do so, the lotus of your heart will bloom, and from its center will arise the flame of divine vision, which guarantees Prasanthi (infinite peace) to every one of you.


Jadilah suci, siaga, dan rendah hati. Aku ada di dalam dirimu; engkau ada di dalam diri-Ku. Engkau menaikkan bendera Prasanthi di Prasanthi Nilayam. Ingatlah, bendera adalah sebuah tanda bahwa adalah penting bagi setiap orang dari kalian untuk mengingatkan kewajibanmu pada dirimu sendiri, dan ketika menaikkan bendera ini maka engkau harus membentangkannya di dalam hatimu. Hal ini juga mengingatkanmu untuk mengatasi desakan dari keinginan yang bersifat rendahan, berupa amarah dan kebencian ketika keinginanmu dihalangi; hal ini juga mendesakmu untuk mengembangkan hatimu sehingga engkau bisa merangkul semua umat manusia, semua kehidupan dan semua ciptaan dalam batasannya; selain itu juga mengarahkanmu untuk menenangkan dorongan hatimu dan dengan tenang memusatkan pikiran pada kenyataanmu yang sejati. Hal ini juga menjaminmu bahwa ketika engkau melakukan hal ini maka teratai hatimu akan mekar dan dari titik tengahnya akan muncul cahaya dari penglihatan Tuhan yang mana akan memastikan Prasanthi (kedamaian yang tidak terbatas) bagi setiap orang dari kalian. (Divine Discourse, 23-Nov-1968)

-BABA

Thought for the Day - 23rd November 2015 (Monday)


It serves no purpose if you merely acknowledge that the Lord has come but do not yearn to benefit by the Advent. Offer your entire self, your entire life, to Him; then your adoration will transform and transmute you so fast and so completely that you will merge into Him. He thinks, He feels and acts as you do; you think, feel and act as He does. You will be transformed as a rock is transformed by the sculptor into an idol, deserving the worship of generations of sincere men and women. In the process you will have to bear many a hammer stroke and chisel-wound, for He is the sculptor. He is but releasing you from petrification! So today, offer your heart to the Lord, and gladly let Him transform you. Practice the three disciplines of silence, cleanliness and forbearance. In silence you can hear the voice of God. Through cleanliness you earn purity. By forbearance, you cultivate love.


Adalah tidak ada manfaatnya jika engkau hanya mengakui bahwa Tuhan telah datang namun tidak memiliki hasrat untuk mendapatkan manfaat dari kedatangan-Nya. Persembahkanlah dirimu sendiri sepenuhnya, seluruh hidupmu kepada-Nya; baru kemudian pemujaanmu akan berubah dan mengubahmu dengan cepat dan sepenuhnya engkau akan menyatu dengan-Nya. Beliau berpikir, Beliau merasakan dan berbuat seperti yang engkau lakukan; engkau berpikir, merasakan dan berbuat seperti yang Beliau lakukan. Engkau akan dirubah seperti halnya batu cadas yang dirubah oleh pemahat menjadi sebuah wujud Tuhan, dan layak dipuja oleh generasi selanjutnya baik pria dan wanita yang tulus. Dalam prosesnya engkau harus menahan banyak pukulan martil dan juga pahatan karena Beliau adalah sang pemahatnya. Beliau hanya membebaskanmu dari pembatuan! Jadi hari ini, persembahkanlah hatimu kepada Tuhan dan dengan senang hati ijinkan Tuhan merubahmu. Jalankan tiga disiplin yaitu keheningan, kebersihan, dan ketabahan. Dalam keheningan engkau bisa mendengar suara Tuhan. Melalui kebersihan engkau akan mendapatkan kemurnian. Dengan ketabahan engkau akan meningkatkan cinta kasih. (Divine Discourse, 23-Nov-1968)

-BABA

Thought for the Day - 22nd November 2015 (Sunday)

My dear students, the culture of Bharat is sublime, splendorous, sacred, and divine. It can fulfill all your high desires and quench your deepest thirst. First translate this awareness into actual practice and enshrine the experience in your hearts. Then share the joy of that experience with others. Never allow your minds to get agitated with limitless desires. You must render your homes bright by pleasing your parents. If you cause grief to them your entire life will be soaked in grief and your children, in turn, are sure to sink you in sorrow. Never be arrogant towards your parents just because you earned a degree. "Consider the Mother as God; consider the Father as God; consider the Teacher as God; consider the Guest as God." Follow this fourfold exhortation with full faith in its validity, derive bliss (Ananda) therefrom and inspire others by your example, so that the Motherland may progress and prosper. Fulfil this desire of Mine, with My blessings.


Para pelajar-Ku yang terkasih, kebudayaan Bharat bersifat sangat mulia, penuh kebesaran, suci, dan illahi. Disamping itu juga dapat memenuhi semua keinginanmu yang tinggi dan meredakan kehausanmu yang mendalam. Pertama terjemahkanlah kesadaran ini ke dalam tindakan nyata dan abadikan pengalaman ini di dalam hatimu. Kemudian bagilah suka cita dari pengalaman itu dengan yang lainnya. Jangan pernah mengijinkan pikiranmu menjadi gelisah dengan keinginan yang tidak terbatas. Engkau harus membuat rumahmu menjadi bersinar dengan menyenangkan orang tuamu. Jika engkau menyebabkan penderitaan kepada orang tuamu maka seluruh hidupmu akan diliputi oleh penderitaan dan anak-anakmu pada gilirannya nanti pastinya menenggelamkanmu dalam penderitaan. Jangan pernah menjadi sombong kepada orang tua hanya karena engkau sudah mendapat gelar sarjana. "Perlakukan ibu sebagai Tuhan; perlakukan ayah sebagai Tuhan; perlakukan guru sebagai Tuhan; perlakukan tamu sebagai Tuhan." Ikutilah empat bagian nasihat ini dengan penuh keyakinan dalam kebenarannya, dan dapatkanlah kebahagiaan (Ananda) dari ini dan berikan inspirasi bagi yang lainnya dengan teladanmu, sehingga ibu pertiwi dapat mengalami kemajuan dan kesejahteraan. Penuhilah keinginan-Ku ini dengan rahmat-Ku. (Divine Discourse, 22-11-1986)

-BABA

Thought for the Day - 21th November 2015 (Saturday)

In today’s novel civilization, emergence of discordant notes has silenced the call of the Divine from within. People are eager to make their lives a merry-go-round but it is turning into a painful tangle of troubles. They are not discovering the cause of the contradiction and are wasting their years in empty ephemeral pomp and pretense. Real progress means raising the level of moral life and brightening daily lives with goodness and godliness. Life must be an incessant process of repair and reconstruction, of discarding evil and developing goodness. Paddy grains must discard the husk to become consumable rice. Cotton must be reformed as yarn to become wearable cloth. Even gold nuggets have to undergo the crucible and get rid of alloys. So too, all of you must purify your instincts, impulses, passions, emotions and desires. Only then you can progress in good thoughts, deeds and words. Your intrinsic value is directly proportional to the level of transformation you achieve.


Dalam peradaban yang baru saat sekarang, munculnya nada-nada pertentangan telah melenyapkan panggilan Illahi dari dalam diri. Manusia lebih berhasrat untuk membuat hidupnya berputar-putar tanpa akhir namun pada gilirannya akan memberikan kekacauan masalah yang sangat menyakitkan. Mereka tidak mengungkapkan penyebab dari semua pertentangan dan sedang menghabiskan tahun-tahun hidup mereka dalam kemegahan sementara yang kosong dan juga dengan kepura-puraan. Kemajuan yang sebenarnya berarti menaikkan tingkat kehidupan moral dan menerangi kehidupan sehari-hari dengan kebaikan dan terhormat. Hidup haruslah menjadi sebuah proses perbaikan dan pemugaran kembali yang tidak putus-putusnya, dengan membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan.  Butiran padi harus membuang sekamnya untuk bisa dikomsumsi. Kapas harus dibentuk menjadi benang untuk bisa menjadi kain yang bisa dipakai. Bahkan bongkahan emas harus mengalami peleburan dan menghilangkan campurannya. Begitu juga, semua dari kalian harus memurnikan nalurimu, dorongan hati, nafsu, emosi, dan keinginan. Hanya kemudian engkau dapat berkembang dalam pikiran, perbuatan, dan perkataan yang baik. Nilai dari hakekat dirimu secara langsung sebanding dengan tingkat perubahan yang engkau raih. (Divine Discourse, 22-11-1986)

-BABA

Thought for the Day - 20th November 2015 (Friday)

Past, present, or future, women are the backbone of progress and the heart of the nation. In fact they are its very breath. Charged with holiness, they play the chief role in the dharma of life. No nation can be built without investing in the culture of its women. The world can be lifted to its pristine greatness only through women mastering the science of realisation of Reality (Atma-vidya). If a nation is to have lasting prosperity and peace, women must be trained through an educational system that emphasises moral conduct and moral qualities. Every woman must be able to understand the problems of the family, society and the countries. She must render such service and help as she can, within the limits of her resources and capacity, to the family, community and the country. The present downfall in moral standards and absence of social peace is due to the neglect of this aspect of women’s education.


Masa lalu, saat ini, atau masa depan, para wanita adalah tulang belakang bagi kemajuan dan hati dari sebuah bangsa. Sejatinya mereka adalah nafas hidup sebuah bangsa. Karena dipenuhi dengan kesucian, para wanita memainkan peran yang utama dalam drama kehidupan. Tidak ada bangsa yang dapat dibangun tanpa melakukan investasi dalam kebudayaan para wanitanya. Dunia dapat diangkat pada keadaan yang paling mulia hanya melalui para wanita menguasai pengetahuan kesadaran pada kenyataan yang sejati (Atma-vidya). Jika sebuah bangsa ingin mendapatkan kesejahteraan dan kedamaian yang panjang maka para wanita harus dilatih melalui sebuah sistem pendidikan yang menekankan tingkah laku dan kualitas moral. Setiap wanita harus mampu memahami masalah dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Wanita harus melakukan pelayanan dan membantu yang ia dapat lakukan, sesuai dengan batas dari kemampuan dan kapasitasnya kepada keluarga, masyarakat dan negara. Kemerosotan moral pada saat sekarang dan juga tidak adanya kedamaian sosial adalah disebabkan oleh tidak dihiraukannya pendidikan pada wanita. (Dharma Vahini, Ch 5)

-BABA

Thursday, November 19, 2015

Thought for the Day - 19th November 2015 (Thursday)

Adi Shankara, Vivekananda and Ramakrishna Paramahamsa attained exalted positions only due to the sacred feelings of their mothers. Gandhiji’s pure and loving mother had a maidservant named Rambha, who looked after children with love and care. One day, Gandhi came running to her and told that he was haunted by fear. Rambha said, “My dear child, where is the need to fear when all-protecting Ramachandra is with us always. Recite the Name of Rama whenever you are fear-stricken.” Since then, Gandhi chanted the name of Rama and did so till his last breath. The reason for My telling you all these examples is to emphasise that women and mothers have noble and sacred feelings. Since time immemorial, women are the repositories of truth and culture. Children take to the path of righteousness because of noble women. November 19 is celebrated as the Ladies’ Day so that you delve deep into the sacred qualities of women and treat them with respect.
Adi Shankara, Vivekananda, dan Ramakrishna Paramahamsa mencapai posisi mulia hanya karena perasaan suci ibu mereka. Ibu Gandhiji yang murni dan penuh kasih memiliki seorang pembantu bernama Rambha, yang merawat dan menjaga anak-anak dengan cinta-kasih dan perhatian. Suatu hari, Gandhi berlari kepadanya dan mengatakan bahwa ia dihantui oleh rasa takut. Rambha mengatakan, "Anakku, di mana ada rasa takut ketika semua perlindungan Ramachandra selalu ada bersama kita. Ucapkan Nama Rama setiap kali ketakutan melanda-mu. "Sejak itu, Gandhi menchantingkan nama Rama dan melakukannya sampai napas terakhirnya. Alasan-Ku mengatakan semua contoh ini adalah untuk menekankan bahwa perempuan dan ibu memiliki perasaan mulia dan suci. Sejak zaman dahulu, wanita merupakan tempatnya kebenaran dan sopan-santun. Anak-anak dibawa ke jalan kebenaran karena adanya perempuan mulia. 19 November  dirayakan sebagai Hari Perempuan ‘Ladies Day' sehingga engkau menggali jauh ke dalam kualitas suci perempuan dan memperlakukan mereka dengan hormat. (Divine Discourse, 19-11-2000)

-BABA

Wednesday, November 18, 2015

Thought for the Day - 18th November 2015 (Wednesday)

There is nothing greater than mother’s love. Mother’s words are always sweet. At times she may use harsh words, but understand that those words are meant only to correct you, not to hurt you. There may be a wicked son or daughter, but there can never be a wicked mother in this world. All of you must understand the value of mother’s love and her concern for you. Among the mother, father, teacher and God, mother is given the highest rank and priority. In the present times, modern youth do not care for their mother or parents. Many think they are highly educated and that the mother does not know anything. It is a great mistake to think poorly about anyone. Never look down upon your mother. Always remember the love she has for you, and at all circumstances strive and make her happy. God will be pleased with you only when you truly make your mother happy.


Tidak ada yang lebih besar daripada kasih ibu. Perkataan ibu adalah selalu manis. Sesaat, ibu mungkin  menggunakan kata-kata yang kasar, namun pahamilah bahwa kata-kata itu adalah hanya untuk memperbaikimu dan bukan untuk menyakitimu. Mungkin ada putra dan putri yang jahat namun tidak akan pernah ada seorang ibu yang jahat di dunia ini. Semua dari kalian harus memahami nilai kasih dari ibu dan perhatiannya kepadamu. Diantara ibu, ayah, guru, dan Tuhan, maka ibu yang diberikan prirotas yang pertama. Pada saat sekarang, anak-anak muda saat sekarang tidak peduli dengan ibu-ibu mereka atau orang tua mereka. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa mereka adalah berpendidikan yang tinggi dan ibu mereka tidak mengetahui apapun juga. Adalah sebuah kesalahan yang sangat besar dengan meremehkan siapapun juga. Jangan pernah memandang rendah pada ibumu. Selalulah ingat bahwa kasih yang ibumu miliki dan dalam keadaan apapun berusahalah untuk membuatnya bahagia. Tuhan akan senang padamu ketika engkau benar-benar membuat ibumu bahagia. -Divine Discourse, 19-Nov-1999.

-BABA

Tuesday, November 17, 2015

THought for the Day - 17th November 2015 (Tuesday)

Every aspirant who seeks the Eternal through the path of devotion should strive to keep away from the turmoils, cruelties, and falsehoods of this world and practice truth, righteousness, love, and peace. This is indeed the path of devotion. Those who seek union with God and those who seek the welfare of the world should discard as worthless both praise and blame, appreciation and derision, prosperity and adversity. They should courageously keep steady faith in their own innate reality and dedicate themselves to spiritual uplift. No one, not even a great spiritual personality (maha-purusha) or Avatar, can ever escape criticism and blame. Learn from their lives. Great souls hold on to truth and live by them. Those who indulge in criticism or blame will realise their greatness in time. As aspirants, stay away from ignorant people and desist in discussing your beliefs and convictions with them. Become immersed in holy books and be in the company of the Lord’s devotees.


Setiap peminat spiritual yang mencari keabadian melalui jalan bhakti dan harus berusaha menjauh dari huru-hara, kekejaman dan kebohongan dari dunia ini dan melakoni kebenaran, kebajikan, cinta kasih, dan kedamaian. Inilah sesungguhnya jalan dari bhakti. Bagi mereka yang mencari penyatuan dengan Tuhan dan juga bagi mereka yang mencari kesejahteraan dunia seharusnya membuang yang tidak bernilai seperti pujian dan menyalahkan, penghargaan dan ejekan, kesejahteraan dan kemalangan. Mereka harus berani menjaga keyakinannya tetap mantap di dalam kenyataan bawaan mereka yang sejati dan mempersembahkan diri mereka sendiri dalam pengangkatan spiritual. Tidak ada seorangpun, bahkan juga para perwujudan spiritual yang agung (maha-purusha) atau avatara, tidak dapat pernah lepas dari kritikan dan menyalahkan. Belajarlah dari kehidupan mereka. Para jiwa-jiwa yang agung menjunjung kebenaran dan hidup berdasarkan nilai itu. Bagi mereka yang senang dalam mengkritik atau menyalahkan akan menyadari kemuliaan para jiwa-jiwa agung pada waktunya. Sebagai peminat spiritual, menjauhlah dari orang-orang yang bodoh dan berhenti dalam mendiskusikan keyakinan dan pendirianmu dengan mereka. Terbenamlah dalam buku-buku suci dan bergaulah dengan bhakta Tuhan. -Prema Vahini, Ch 17.

-BABA

Monday, November 16, 2015

Thought for the Day - 16th November 2015 (Monday)

You can light more than thousand candles from a single lamp. Remember only a burning lamp or candle can be used to light other candles. An unlit candle cannot light the other unlit candles. So too only the one who earned wisdom can enlighten others who are in ignorance. One who is not illumined cannot illumine others who are dwelling in the darkness of maya: So you must strive to light your own lamp from the Universal Light of Love and from there transmit illumination to all who seek and strive. All lamps shine alike, since they are all sparks of that Param-jyothi, the Universal Luminosity, which is God. Lamps are many but light is one. Every patch of water on earth has the reflection of the sun in it but the original sun is one. Just as the one sun is seen in a million pots, lakes or wells the one same Divine (Paramjyothi) shines as wisdom in a million hearts.



Engkau bisa menyalakan lebih dari seribu lilin dari satu lentera. Ingatlah hanya dengan menyalakan lentera atau lilin maka dapat digunakan untuk menyalakan lilin lainnya. Lilin yang padam tidak bisa menyalakan lilin yang padam lainnya. Demikian juga hanya satu orang yang mendapat kebijaksanaan yang bisa menerangi orang lain yang berada dalam ketidaktahuan. Orang yang tidak bisa menyinari tidak akan bisa menerangi orang lain yang tinggal dalam kegelapan maya: Jadi engkau harus berusaha untuk menyalakan lenteramu sendiri yang berasal dari Cahaya Cinta-kasih Universal  dan dari sana mengirimkan cahaya terang kepada semua orang yang melakukan pencarian dan berusaha. Semua lentera bersinar sama, karena semuanya merupakan percikan Param-jyothi, terangnya cahaya Universal, yang tidak lain adalah Tuhan. Lentera ada banyak tetapi cahaya hanya ada satu. Setiap percikan air di bumi memiliki pantulan matahari di dalamnya tetapi matahari hanya ada satu. Sama seperti matahari yang terlihat dalam jutaan jambangan, danau atau sumur, Tuhan yang sama (Paramjyothi) bersinar sebagai kebijaksanaan dalam sejuta hati. -Divine Discourse, 26-Oct-1981.

-BABA

Sunday, November 15, 2015

Thought for the Day - 15th November 2015 (Sunday)

It is not easy for the human mind, immersed in worldly concerns to turn to God. It is only when the mind is transformed and brought under the control of the Soul (Atma) that the body experiences Divine Bliss (Ananda). The means by which the mind is transformed is devotion (Bhakthi - intense love for God). Progressively, turn your mind towards God until it merges in God. Meditation, repetition of the names of the Lord, group singing of devotional songs (bhajans), reading of scriptures and other such activities are designed only to purify the mind so that it can concentrate on God. As a field has to be properly ploughed and prepared for sowing so as to reap a good harvest, the field of our heart has to be rendered pure and sacred through good and holy actions and spiritual discipline (sadhana) if it is to yield the fruit of Divine Wisdom.
Tidak mudah bagi pikiran manusia, tenggelam dalam perhatian duniawi untuk beralih pada Tuhan. Hanya ketika pikiran berubah dan dibawa di bawah kendali Jiwa (Atma) maka badan jasmani dapat mengalami Kebahagiaan Tuhan (Ananda). Sarana yang dapat membuat pikiran berubah adalah pengabdian (Bhakthi - cinta-kasih yang intens untuk Tuhan). Secara bertahap, arahkanlah pikiranmu pada Tuhan hingga menyatu dengan Tuhan. Meditasi, pengulangan nama-nama Tuhan, kelompok bernyanyi lagu-lagu pujian (bhajan), membaca kitab suci dan kegiatan lainnya seperti itu dirancang hanya untuk memurnikan pikiran sehingga dapat berkonsentrasi pada Tuhan. Seperti halnya tanah harus dibajak dengan baik dan siap untuk disemai bibit sehingga nantinya menuai panen yang baik. Jika ingin menghasilkan buah Kebijaksanaan Ilahi, ladang hati kita harus dimurnikan dan disucikan melalui tindakan yang baik dan suci dan disiplin spiritual (sadhana). -Divine Discourse, 19 August 1984.

-BABA

Saturday, November 14, 2015

Thought for the Day - 14th November 2015 (Saturday)

Born in 1469 A.D., Guru Nanak, the first Sikh guru, started the practice of community singing (bhajans). This gathered momentum over the years and the great Saint-composer Tyagaraja (in 1700s) invested Bhajans with raga and tala (musical form and rhythm). Since then bhajans have acquired national vogue in all parts of India. All major religions also emphasize the importance of community prayers for the well-being of the individual and the world. Bhajans are intended to harmonise the feelings, the singing, and the rhythmic beats of the participants so that they experience in unison the oneness of the Divine. Devotion (Bhakti) should be given the first and foremost place in Bhajans. Such bhajans are spiritually efficacious. Hence, let your songs be surcharged with love and let the intense love for the Lord and pure devotion flow through every song that is sung.


Lahir pada tahun 1469 A.D., Guru Nanak adalah guru Sikh pertama yang memulai dalam kelompok melantunkan kidung suci Tuhan (bhajan). Pergerakan perkumpulan ini berjalan selama bertahun-tahun dan seorang pengarang lagu suci yang agung dan bernama Tyagaraja (pada tahun 1700) memberikan Bhajan dengan raga dan tala (bentuk musik dan irama). Sejak saat itu Bhajan telah menjadi mode di seluruh bagian India. Semua agama-agama besar juga menekankan pentingnya doa bersama untuk kesejahteraan perseorangan dan juga dunia. Bhajan dimaksudkan untuk menyeleraskan perasaan, lagu, dan irama ketukan dari peserta sehingga mereka mengalami kesatuan dengan Tuhan secara bersama-sama. Bhakti harus menjadi hal yang paling penting dan utama dalam bhajan. Bhajan yang seperti itu adalah sangat ampuh dalam spiritual. Oleh karena itu, jadikan kidung suci yang engkau lantunkan diliputi dengan kasih dan biarkan kasih kepada Tuhan yang sangat besar dan bhakti yang suci mengalir dalam setiap lagu yang dilantunkan. -Divine Discourse, 8-Oct-1986.

-BABA

Friday, November 13, 2015

Thought for the Day - 13th November 2015 (Friday)

The farmer ignores food and sleep, and focusses on ploughing, levelling, scattering seeds, watering, weeding, guarding and fostering crops. He knows that the harvest he brings home is critical for his family’s subsistence and if he fritters away the precious season in idle pursuits, his family will be confronted with hunger and ill-health. So he prioritises all his attention on farming alone and defers all other pursuits. He bears all difficulties and deprivations, and toils day and night, watches over the crops and garners the grain. As a result, he happily spends the months ahead, in peace and joy with his family. All students and spiritual seekers must learn this lesson from the farmer. Youth is the prime season for mental culture. Use these years intensively and intelligently for your progress irrespective of difficulties and overcome every obstacle. Silence the clamour of your senses, and control hunger and thirst; the urge to sleep and relax also be curbed until spiritual harvest is obtained.


Para petani mengabaikan makan dan tidur, dan memfokuskan pada membajak, meratakan, menabur benih, menyiram, menyiangi, menjaga dan merawat tanaman. Dia mengetahui bahwa hasil panen yang ia bawa pulang sangat penting untuk menghidupi keluarganya dan jika ia menyia-nyiakan musim yang berharga dalam kegiatan sia-sia, keluarganya akan dihadapkan pada kelaparan dan sakit. Jadi dia memprioritaskan semua perhatiannya hanya pada pertanian dan menangguhkan semua kegiatan lainnya. Dia menanggung semua kesulitan dan kerugian, dan bekerja keras siang dan malam, mengawasi tanaman dan menyimpan gandum. Akibatnya, ia dengan senang hati menghabiskan beberapa bulan ke depan, dalam damai dan sukacita dengan keluarganya. Semua siswa dan para pencari spiritual harus belajar pelajaran ini dari para petani. Pemuda adalah bagian penting untuk budaya mental. Gunakanlah tahun ini secara intensif dan cerdas untuk kemajuanmu tanpa mengindahkan kesulitan dan mengatasi setiap rintangan. Mengendalikan indera, dan mengendalikan rasa lapar dan haus; keinginan untuk tidur dan relaks juga diatasi, sampai panen spiritual diperoleh. (Divine Discourse, 26-Oct-1981)

-BABA

Thursday, November 12, 2015

Thought for the Day - 12th November 2015 (Thursday)


Utilize your authority over this body to foster the welfare of the world. This body is but an instrument, an implement given by God. Let it serve its intended purpose. Until the realisation of the purpose for which the implement is given, it is your duty to watch over it vigilantly and protect it from injury and disablement. During winter, woollen clothes are worn to withstand the rigour of the cold gales, but when the cold subsides, they are discarded. So too when the cold gales of material life don't affect us in the least, the material body will no longer become essential. "Thou-art-That" - this is the highest and holiest spiritual maxim! You are the indestructible Atmic principle (Divine Soul). It is to realise and experience this Atmic principle, you have this body! In the process to realise the Supreme Lord here and now, you must take good care of yourself.

Engkau hendaknya menggunakan otoritasmu atas badan jasmani ini untuk meningkatkan kesejahteraan dunia. Badan jasmani ini tidak lain adalah sebuah instrumen, yang diberikan oleh Tuhan yang hendaknya digunakan dengan baik. Gunakanlah badan jasmani untuk melayani sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Adalah merupakan tugas kalian semua untuk menjaga badan jasmani dari cedera dan cacat, sampai tujuan akhir tercapai. Selama musim dingin, pakaian dari wol dipakai untuk menahan kekuatan dari badai dingin, tetapi ketika dingin mereda, pakaian wol tersebut tidak digunakan lagi. Demikian juga ketika badai dingin kehidupan material tidak mempengaruhi kita sedikit pun juga, badan material ini, akan menjadi tidak penting lagi. "Itu adalah engkau" - ini adalah peribahasa tertinggi dan spiritual yang paling suci! Engkau adalah prinsip Atma yang tidak bisa dihancurkan. Engkau memiliki badan jasmani ini, dengan tujuan untuk menyadari dan mengalami prinsip Atma ini! Dalam proses untuk mencapai kesadaran Tuhan di sini dan sekarang, engkau harus menjaga dirimu sendiri dengan baik.
-BABA


Wednesday, November 11, 2015

Thought for the Day - 11th November 2015 (Wednesday)

Naraka Chaturdasi (or Deepavali) is the festival that teaches you to remember how character decides destiny, designs achievements and demarcates one as divine or demonic! Laziness is a demon that possesses and debilitates an individual. Its brother is conceit. Add anger to it and it will totally debilitate anyone! Anger weakens your nerves and heats up your blood, changing its composition. A simple burst of fury consumes the strength gained in three months! The Lord chose to invade Narakasura’s kingdom repeatedly, forcing him to explode into furious anger again and again! His resistance was thus annihilated. Learn from the Lord’s strategy. On this Deepavali day, people insist on wearing new clothes. Let your hearts too rejoice, clothed in fresh ideals, feelings and resolutions. Relish the sweets of virtues from today, and mould your lives into sweet songs of Love.


Naraka Chaturdasi (atau Deepavali) adalah perayaan yang mengajarkanmu untuk mengingat bagaimana karakter menentukan sebuah takdir, merencanakan sebuah pencapaian dan menentukan batas apakah seseorang sebagai Tuhan atau raksasa! Kemalasan adalah raksasa yang menguasai dan melemahkan seseorang, sedangkan saudaranya adalah kesombongan. Tambahkan amarah dalam kemalasan maka sepenuhnya sifat ini akan melemahkan siapapun juga! Amarah melemahkan syarafmu dan memanaskan darahmu serta merubah susunannya. Sebuah ledakan amarah yang kecil menghabiskan kumpulan kekuatan dalam waktu tiga bulan! Tuhan memilih untuk menyerbu kerajaan Narakasura berulang kali dengan memaksanya untuk meledak dalam kemarahan berulang kali! Sehingga daya tahannya menjadi hilang. Belajar dari strategi Tuhan, dalam perayaan Deepavali banyak orang yang bersikeras memakai baju baru. Buatlah hatimu juga menjadi bahagia dan pakaikanlah pakaian baru berupa harapan yang segar, perasaan dan ketetapan hati. Menikmati kebajikan yang manis mulai dari hari ini dan bentuklah hidupmu menjadi sebuah kidung cinta kasih.    (Divine Discourse,26 Oct 1981)

-BABA