tag:blogger.com,1999:blog-71558541171245253622024-03-13T08:56:28.535+07:00Daily Thoughts from Prasanthi NilayamDaily Inspiration as written in the Ashram of Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Prasanthi Nilayam), translated into Bahasa IndonesiaUUWhttp://www.blogger.com/profile/05996965221279557085noreply@blogger.comBlogger5027125tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-83661924986161376832024-02-29T11:32:00.003+07:002024-02-29T11:32:28.737+07:00Thought for the Day - 29th February 2024 (Thursday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The ear, skin, eye, tongue, nose — these five senses are able to cognise sound, touch, form, taste, and smell respectively. Objects of knowledge are cognised only through these five. The world is experienced through these instruments, which stand intermediate between the knower and the knowable. The inner capacity to understand objects is named the mind (manas). The mind moves out through the senses and attaches itself to objects. At that time, by that very occurrence, the mind assumes the form of that object; this is called a function (vritti). The mind is non-intelligent (achetana), so its transformations and manipulations (vikaras) are also non-intelligent, non-vital. A wooden doll has only the property of wood; a sugar doll, the property of sugar. The unintelligent mind cannot achieve knowledge of the supreme Intelligence (Chetana) which pervades the Universe. Just as the unintelligent chariot is directed by a charioteer, a charioteer must direct the unintelligent mind (manas), seated in the mind and having it as His vehicle. The motive force that activates the inner instruments, the senses of action, the senses of knowledge, the five vital airs (pranas) — that force is God! </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Ch 8, Kena Upanishad, Upanishad Vahini.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>You have faith in the driver of your car, in the engineer who built your house. So too, believe in the Inner Motivator, the Atman within, the Voice of God.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Telinga, kulit, mata, lidah, hidung – kelima Indera ini mampu mengenali suara, sentuhan, wujud, rasa, dan bau berturutan. Objek-objek pengetahuan hanya dapat diketahui melalui kelima Indera ini. Dunia ini dapat dialami melalui sarana ini, yang mana menjadi perantara antara yang mengetahui dan dapat diketahui. Kapasitas batin untuk memahami objek-objek yang ada disebut dengan pikiran (manas). Pikiran bergerak keluar melalui Indera dan melekatkan dirinya pada objek tersebut. Pada saat itu, melalui kejadian itu, pikiran mengambil bentuk dari objek itu; ini disebut dengan sebuah fungsi (vritti). Pikiran adalah tidak cerdas (achetana), jadi perubahan dan manipulasinya (vikaras) juga tidak cerdas, tidak bersifat vital. Boneka kayu hanya memiliki kualitas kayu; boneka gula memiliki sifat gula. Pikiran yang tidak cerdas tidak bisa mencapai pengetahuan kecerdasan tertinggi (Chetana) yang mana meliputi alam semesta. Seperti halnya kereta yang tidak cerdas diarahkan oleh seorang Kusir, Kusir ini harus mengarahkan pikiran yang tidak cerdas (manas), dan duduk didalamnya dan menjadikan manas itu sebagai kereta-Nya. Kekuatan pendorong yang mengaktifkan peralatan batin, Indera penggerak, Indera pengetahuan, lima udara vital (prana) – kekuatan itu adalah Tuhan! </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Ch 8, Kena Upanishad, Upanishad Vahini.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Engkau memiliki keyakinan pada supir mobilmu, pada insinyur yang membangun rumahmu. Begitu juga, miliki keyakinan pada motivator dalam diri, Atma di dalam diri, suara Tuhan. </span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-22215911391464788152024-02-29T11:30:00.004+07:002024-02-29T11:30:49.427+07:00Thought for the Day - 28th February (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The universe is an instrument to reveal the majesty of God. The inner firmament in the heart of man is also equally a revelation of His glory. He is the Breath of one’s breath. Since He has no specific form, He cannot be indicated by words. Nor can His mystery be penetrated by other senses. He is beyond the reach of asceticism, beyond the bounds of Vedic rituals. He can be known only by an intellect cleansed of all trace of attachment and hatred, of egotism, the sense of possession. Only spiritual wisdom can grant self-realisation. Meditation can confer concentration of faculties; through that concentration, spiritual wisdom can be won, even while in the body. The Brahman activates the body through the five vital airs (pranas). It condescends to reveal itself in that same body as soon as inner consciousness attains the requisite purity. For, the Atma is immanent in the inner and outer senses just as heat is in fuel and butter in milk. Now, individual consciousness is like damp fuel, soaked in the foulness of sensory desires and disappointments. When the pool in the heart becomes clear of slimy overgrowth, Atma shines in its pristine splendour! </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Ch 4, Mundaka Upanishad, Upanishad Vahini.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>If you lack purity of heart, you will not be able to understand the principle of Atma, irrespective of your educational qualifications.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Alam semesta adalah sebuah sarana untuk mengungkapkan keagungan Tuhan. Cakrawala batin di dalam hati manusia adalah sama juga mengungkapkan keagungan Tuhan. Tuhan adalah nafas dari nafas seseorang. Karena Tuhan tidak memiliki wujud tertentu, maka Tuhan tidak bisa ditunjukkan dengan kata-kata. Misteri Tuhan juga tidak bisa diungkapkan oleh Indera yang lain. Tuhan adalah melampaui pencapaian dari olah tapa, melampaui batasan-batasan dalam ritual Weda. Tuhan hanya bisa diketahui melalui kecerdasan yang bersih dari semua jejak keterikatan dan kebencian, egoisme, dan rasa kepemilikan. Hanya kebijaksanaan spiritual yang dapat memberikan kesadaran diri sejati. Meditasi dapat memberikan kemampuan konsentrasi; melalui konsentrasi tersebut kebijaksanaan spiritual dapat dicapai, walaupun saat masih hidup. Brahman mengaktifkan tubuh melalui lima udara yang vital (prana). Brahman merendahkan diri-Nya untuk mengungkapkan diri-Nya dalam tubuh yang sama segera setelah kesadaran batin mencapai kemurnian yang diperlukan. Karena, Atma adalah ada di dalam dan di luar Indera seperti halnya panas dalam bahan bakar dan mentega dalam susu. Sekarang, kesadaran individu adalah seperti bahan bakar yang berisi air, terendam dalam keinginan Indera dan kekecewaan. Ketika kolam di dalam hati menjadi bersih dari jumlah lumpur yang berlebih, Atma bersinar dengan kemuliaan-Nya yang murni! </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Ch 4, Mundaka Upanishad, Upanishad Vahini.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jika engkau kurang kemurnian hati, engkau tidak akan mampu memahami prinsip Atma, apapun kualifikasi pendidikanmu.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-46506203679033261862024-02-29T11:29:00.001+07:002024-02-29T11:29:12.235+07:00Thought for the Day - 27th February (Tuesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>When the chanting of the Name is done in community singing, it should be in a form in which the entire group can participate easily. The tune, the rhythm, etc. should be such that all can follow the bhajan. If the lead singer takes up a song that is not familiar to others, the response from the group will be poor. There will be no enthusiasm or genuine participation. Their minds will be distracted. When all the devotees participate in the bhajan, the vibrations that are produced will generate joy and harmony. Many who organise mass singing on special occasions are not aware what kind of bhajans should be sung then. A person who has an individual style of his own may sing as he likes in private, but he is not suitable for community singing. There are some rules to be observed in conducting community bhajans. Alapana (elaboration of a raga) may be done in kirtana (individual singing), but it is wholly out of place in community bhajans. Hence, in such bhajans the accent should be entirely on the Name.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Nov 08, 1986.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Always keep chanting the Name of God and you will never be able to forget Him at any time.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Ketika pelantunan nama suci Tuhan dilakukan dalam komunitas banyak orang, maka bhajan seharusnya dilaksanakan agar mudah diikuti oleh seluruh peserta. Maka dari itu nada, ritme, dalam bhajan disesuaikan sedemikian rupa agar semuanya dapat mengikuti bhajan. Jika pemimpin lagu melantunkan lagu bhajan yang tidak akrab di telinga bhakta lainnya, maka respon dari peserta bhajan akan buruk. Tidak akan ada semangat atau partisipasi yang murni. Pikiran mereka akan terganggu. Ketika semua bhakta berpartisipasi dalam bhajan, getaran yang dihasilkan akan menghasilkan suka cita dan keharmonisan. Banyak orang yang melaksanakan bhajan untuk banyak orang pada perayaan tertentu tidak menyadari jenis bhajan apa yang harus dilantunkan. Seseorang yang memiliki gaya tersendiri bisa menyanyi dengan sesuka hatinya secara pribadi, namun dia tidak sesuai untuk bhajan bersama. Ada beberapa aturan yang harus diikuti dalam melaksanakan bhajan bersama. Alapana (penguraian raga) dapat dilakukan dalam kirtana (bhajan sendiri), namun sama sekali tidak cocok dilakukan dalam bhajan bersama. Karena itu, dalam bhajan seperti itu penekanannya sepenuhnya pada nama suci Tuhan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Nov 08, 1986.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Selalulah melantunkan nama suci Tuhan dan engkau tidak akan pernah bisa melupakan nama-Nya kapanpun juga.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-75251389619072864802024-02-29T11:27:00.008+07:002024-02-29T11:27:52.282+07:00Thought for the Day - 24th February 2024 (Saturday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Winnow the real from the apparent. Look inside the event for the kernel, the meaning. Dwell over on your Atmic reality; you are pure, you are indestructible; you are unaffected by the ups and downs of life; you are the true, the eternal, the unchanging Brahman, the entity which is all this. A mere five-minute inquiry will convince you that you are not the body or the senses, the mind or the intelligence, the name or the form, but that you are the Atma Itself, the same Atma that appears as all this variety. Once you get a glimpse of this truth, hold on to it; do not allow it to slip. Make it your permanent possession. As a first step towards the acquisition of this Viveka (wisdom) and Vairagya (detachment), enter from now on into a discipline of Namasmarana - the incessant remembrance of God through the Name of the Lord.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jan 30, 1965.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Namasmarana is an exercise that can be practised at all times and places by all, irrespective of creed or caste or gender or age or economic and social status.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Menampi yang nyata dari yang kelihatan. Lihatlah ke dalam peristiwa untuk mencari inti yaitu makna sejatinya. Renungkan kenyataan sejatimu yaitu Atma; engkau adalah murni, engkau adalah tidak terhancurkan; engkau tidak terpengaruh oleh pasang dan surut kehidupan; engkau adalah Brahman yang sejati, kekal dan tidak berubah, entitas dari semuanya ini. Hanya dengan penyelidikan lima menit akan meyakinkanmu bahwa engkau bukanlah badan atau indera, pikiran atau kecerdasan, nama atau wujud, namun engkau adalah Atma itu sendiri, Atma yang sama yang muncul dalam semua jenis ragam ini. Begitu engkau mendapatkan kebenaran ini, peganglah erat; jangan sampai terlepas. Jadikan itu sebagai milikmu yang permanen. Sebagai langkah awal menuju pada proses mendapatkan Viveka (kebijaksanaan) dan Vairagya (tanpa keterikatan) ini, mulailah dari sekarang dengan disiplin dari Namasmarana – mengingat Tuhan tanpa henti melalui nama suci-Nya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jan 30, 1965.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Namasmarana adalah sebuah latihan yang dapat dipraktekkan sepanjang waktu dan tempat oleh semuanya, tanpa memandang keyakinan atau kasta atau jenis kelamin atau usia atau status ekonomi dan sosial.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-6994274575543422052024-02-29T11:26:00.004+07:002024-02-29T11:26:20.559+07:00Thought for the Day - 21st February 2024 (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Now this country is pursuing priya (pleasant) instead of hita (beneficial) and that is the reason for all this distress and discontent. Indian Culture has always emphasised the hard way, the beneficial way; but, people are now after cultures that cater to the senses - the outer, external, frill and fancies, the mirages and the momentaries! Indian culture advises the control of the senses, not catering to them! The car is driven by means of a wheel which is inside it; when that wheel is turned, the outer wheels move. So also, the inner wheel has to be turned in man, so that he may progress. Trying to move the outer wheels is a sign of ignorance; it is a waste of precious energy. Inner concentration is to be developed in preference to outer distraction. Cultivate quietness, simplicity, and humility, instead of noise, complexity, and conceit. Of the twenty-four hours which comprise a day, use six for earning and spending, six for contemplation of God, six for sleep and six for service to others. You are now spending not even five minutes in the contemplation of God and you are not ashamed. What a tragedy!</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Mar 16, 1966.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The ladder must be as tall as the height you want to reach; your sadhana too must continue until the goal is attained!</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Sekarang negara ini sedang mengejar priya (kesenangan) daripada hita (kegunaan) dan itu adalah alasan untuk semua penderitaan dan ketidakpuasan. Kebudayaan India selalu menekankan pada jalan yang sulit, jalan yang bermanfaat; namun, masyarakat sekarang menyukai budaya yang melayani indera - duniawi, di luar diri, hiasan dan keinginan, khayalan dan kenikmatan sesaat! Budaya India menekankan pada pengendalian indera, dan bukannya melayani indera! Mobil dikemudikan dengan sarana roda yang ada di dalamnya; ketika roda itu berputar maka roda di luar juga berputar. Begitu juga, roda di dalam diri manusia harus diputar, sehingga manusia mengalami kemajuan. Mencoba untuk menggerakkan roda di luar adalah sebuah tanda dari ketidaktahuan; ini menyia-nyiakan energi yang begitu berharga. Kosentrasi di dalam diri harus dikembangkan daripada gangguan di luar. Tingkatkan keheningan, kesederhanaan, dan kerendahan hati, bukannya kebisingan, kerumitan dan kesombongan. Dari 24 jam yang menyusun satu hari, gunakan enam jam untuk mencari dan menggunakan nafkah, enam jam untuk merenungkan Tuhan, enam jam untuk istirahat dan enam jam untuk melayani yang lain. Engkau sekarang bahkan tidak menggunakan lima menit dalam perenungan pada Tuhan dan engkau tidak merasa malu. Betapa tragisnya!</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Mar 16, 1966.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Tangga harus setinggi dengan ketinggian yang ingin engkau capai; sadhanamu juga harus berlanjut sampai tujuan dicapai!</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-33344166078556354122024-02-20T17:05:00.005+07:002024-02-20T17:05:26.710+07:00Thought for the Day - 20th February 2024 (Tuesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Do not grieve that the Lord is testing you and putting you through the ordeal of undergoing the tests, for it is only when you are tested that you can assure yourself of success or become aware of your limitations. You can then concentrate on the subjects in which you are deficient and pay more intensive attention so that you can pass in them too when you are tested again. Don’t study for the examination at the last moment; study well in advance and be ready with the necessary knowledge, and the courage and confidence born out of that knowledge and skill. What you have studied well in advance must be rolled over and over in your mind, just before the examination; that is all that should be done! This is the pathway to victory!</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Shivaratri, Mar 1963.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Test is the taste of God. Never fear any test.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jangan menjadi bersedih ketika Tuhan sedang mengujimu dan menempatkanmu dalam kesulitan dalam menghadapi ujian, hanya ketika engkau diuji maka engkau dapat memastikan dirimu berhasil atau menjadi sadar akan batasanmu. Engkau kemudian dapat memusatkan pikiran pada pelajaran yang kurang dan memberikan perhatian lebih intensif sehingga engkau dapat lulus dari ujian ketika engkau diuji kembali. Jangan belajar untuk ujian pada saat-saat terakhir; belajarlah dengan baik jauh-jauh hari dan bersiap dengan pengetahuan yang dibutuhkan, dan keberanian serta kepercayaan diri muncul dari pengetahuan dan ketrampilan. Apa yang telah engkau pelajari dengan baik dari jauh-jauh hari harus diingat terus menerus dalam pikiranmu tepat sebelum ujian; hanya itu yang harus dilakukan! Ini adalah jalan menuju keberhasilan!</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Shivaratri, Mar 1963.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Ujian adalah rasa dari Tuhan, Jangan pernah takut pada ujian apapun.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-20101560292565474252024-02-20T17:04:00.001+07:002024-02-20T17:04:05.440+07:00Thought for the Day - 18th February 2024 (Sunday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>All things in the cosmos are the gifts of God. They are manifestations of His will. Some of them, however, have to be used carefully. When they are used intelligently after due enquiry, they can serve as boon-companions and give us happiness. Indiscriminate and reckless use of these things may turn them into our worst enemies. For example, there are objects like fire, a knife and electric current. It is only when they are used in the right way that you can benefit from them. If fire is not handled properly, it can cause great harm. A knife is helpful only when it is used carefully. Electricity serves us in many ways - by lighting bulbs, running fans, etc. Because of its multifarious uses, if one tries to be friendly towards it by touching a live wire, he will get a shock. In the same manner, man's sense organs have to be used extremely carefully. When the senses are used on the right lines, they are of immense help. But if they are used in the wrong way, they can cause great harm.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jun 29, 1989</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>As the senses are God-given gifts, abuse of the senses by excesses will not only mean transgressing the divinely ordained limits but will also lead to many harmful consequences.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah karunia dari Tuhan, semuanya ini adalah ciptaan dari kehendak Tuhan. Beberapa dari ciptaan ini, bagaimanapun juga, harus digunakan secara hati-hati. Ketika ciptaan ini digunakan dengan cerdas setelah diselidiki, maka semuanya itu dapat menjadi teman yang bermanfaat dan memberikan kebahagiaan. Penggunaan ciptaan Tuhan secara sembarangan dan sembrono menjadikan semuanya itu sebagai musuh terburuk bagi manusia. Sebagai contoh, ada objek seperti api, pisau, dan aliran Listrik. Hanya ketika semuanya itu digunakan dengan cara yang benar maka akan memberikan manfaat. Jika api tidak diperlakukan dengan tepat, maka api dapat menyebabkan penderitaan yang sangat besar. Sebilah pisau menjadi sangat berguna hanya ketika digunakan dengan hati-hati. Listrik melayani manusia dalam banyak bentuk – untuk menyalakan lampu, menghidupkan kipas angin, dsb. Karena kegunaannya yang beragam, jika seseorang mencoba menyentuh kabel listrik maka dia akan tersetrum. Sama halnya, organ Indera manusia harus digunakan dengan sangat hati-hati. Ketika Indera digunakan dengan cara yang benar, maka Indera akan sangat membantu. Namun jika Indera digunakan secara salah, maka Indera dapat menyebabkan penderitaan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jun 29, 1989.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Karena Indera adalah anugerah Tuhan, penyalahgunaan Indera secara berlebihan tidak hanya melanggar batas yang ditetapkan namun juga akan menuntun pada banyak akibat yang merugikan.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-79288807718375659772024-02-20T17:02:00.007+07:002024-02-20T17:02:46.585+07:00Thought for the Day - 17th February 2024 (Saturday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Narada declared: "Love is beyond the scope of words." How can an ordinary man, living in this phenomenal world, understand such love? This love is an expression of Divinity. Like the mariner's compass, it always points to the Divine wherever it may be present. As oil makes a lamp burn, love illumines life itself. What is termed love in ordinary worldly life is not real love at all. It is only one or the other form of attachment based on human relationships in the family or in society. True love is pure, selfless, free from pride, and full of bliss. Such love can be got only through love. All worldly attachments are not real love at all. They are transient. The everlasting, pure love arises from the heart. In fact, it is ever-existing and all-pervading. How is it that man is unable to recognise such all-pervading love? It is because man's heart today has become barren and polluted. The heart is filled with all kinds of desires and there is no room in it for pure, unsullied love to enter. It is only when the worldly attachments are expelled from the heart that there will be room for real love to abide in it and grow.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Although inherently love is present in every cell of the human being it does not manifest itself because of the pollution of the heart.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Narada menyatakan: "Kasih adalah melampaui jangkauan dari kata-kata." Bagaimana seorang manusia biasa yang hidup dalam dunia yang luar biasa ini dapat memahami kasih yang seperti itu? Kasih ini adalah ungkapan dari keilahian. Seperti kompas pelaut yang selalu mengarah pada Tuhan dimanapun dia berada. Seperti halnya minyak yang membuat sebuah lampu menyala, kasih menerangi kehidupan itu sendiri. Apa yang disebut kasih dalam duniawi adalah sama sekali bukan kasih sejati. Ini hanyalah bentuk dari satu atau lain dari keterikatan yang berdasarkan pada hubungan manusia dalam keluarga atau dalam masyarakat. Kasih sejati adalah murni, tanpa pamrih, bebas dari kesombongan, dan penuh dengan kebahagiaan. Kasih seperti itu hanya bisa di dapat melalui kasih. Semua bentuk keterikatan duniawi sama sekali bukanlah kasih sejati. Semuanya itu bersifat sementara. Kasih yang kekal dan murni muncul dari hati. Sejatinya, kasih itu selalu ada dan meliputi semuanya. Bagaimana manusia tidak mampu menyadari kasih yang meliputi semuanya itu? Ini karena hati manusia hari ini menjadi tandus dan tercemar. Hati yang diliputi dengan semua jenis keinginan dan tidak ada ruang di dalamnya bagi kasih yang murni dan tidak ternoda untuk bisa masuk. Hanya ketika keterikatan duniawi dikeluarkan dari hari maka akan ada ruang bagi kasih sejati untuk tinggal di dalamnya dan bertumbuh.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Meskipun pada hakekatnya kasih ada di dalam setiap sel dari manusia, namun kasih tidak terwujud karena tercemarnya hati.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-37602757401808327182024-02-20T17:01:00.005+07:002024-02-20T17:01:23.574+07:00Thought for the Day - 15th February 2024 (Thursday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Once a preceptor summoned all his disciples and told them that he was going to give them something extremely sweet which they should protect from insects and rodents. The disciples resorted to various devices to safeguard the guru's gift. However, one of them ate the sweet, digested it and derived considerable strength and energy from it. What is the lesson to be drawn from this story? It means that the teachings learnt from the preceptor are not to be merely preserved in safety. The nectarous message of the preceptor should be enshrined in the heart. It should be made part of one's being. Then the recipient acquires vigour and strength. In the same manner, whatever you see or hear or read should be taken to heart and then put into practice. Only then will you have the full satisfaction of benefiting from the teachings. Hearing is not enough. You must take in and digest what you have listened to. It must be put into practice in daily life.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>How can one expect to experience the bliss simply by preaching and not practising what he preaches?</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Sekali seorang guru memanggil semua muridnya dan mengatakan kepada mereka bahwa dia akan memberikan mereka sesuatu yang sangat manis yang harus mereka lindungi dari serangga dan hewan pengerat. Para murid menggunakan berbagai jenis cara untuk melindungi pemberian dari guru mereka. Namun, salah satu dari mereka makan manisan itu, menelannya dan mendapatkan banyak kekuatan dan energi dari manisan itu. Apa hikmah yang diambil dari kisah ini? Ini bermakna bahwa ajaran yang dipelajari dari guru tidak sekedar disimpan dengan aman. Pesan-pesan berharga dari guru seharusnya diabadikan di dalam hati. Ini harus dibuat menjadi bagian dari keberadaan seseorang. Kemudian penerima mendapatkan semangat dan kekuatan. Sama halnya, apapun yang engkau lihat atau dengar atau baca harus direnungkan dengan secara mendalam kemudian dipraktekkan. Hanya dengan demikian engkau akan memiliki kepuasan penuh dalam memperoleh manfaat dari ajaran sang guru. Mendengarkan saja tidaklah cukup. Engkau harus menerima dan mencerna apa yang engkau telah dengarkan. Hal ini harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Bagaimana seseorang dapat berharap untuk mengalami kebahagiaan hanya dengan mewacanakannya dan tidak mempraktekkan apa yang diwacanakan? </span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-64932760806237251192024-02-20T17:00:00.001+07:002024-02-20T17:00:13.210+07:00Thought for the Day - 14th February 2024 (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Selfish Love (Svartha-Prema) is like a lamp kept in a room. The lamp illumines only the room. This selfish love is confined to limited people and doesn’t extend to others. Samanjasa-Prema is like light from the moon. This moonlight is visible both outside and inside. The light is dim and not very effulgent. This kind of love extends to a wider group but is not very intense. Third is Parartha-Prema. It is like sunlight. It illumines both inside and outside with brilliance. But it’s not continuous such that the sun is not visible at night. But it is also not a permanent absence, because the sun rises again. Likewise, this selfless love may appear to be absent sometimes, but will appear again! The fourth one is Yatartha-Prema or Atma-Prema. This love is present always, inside and outside, in all places and at all times, in all circumstances. This is Divine Love. It is imperishable. It is eternal. It is immanent in everyone. When this love is manifested by a person, he achieves the peace that passeth understanding.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Enjoy the love I confer on you. It is totally free from self-interest. Receiving selfless love, make your love unselfish.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Kasih yang mementingkan diri sendiri (Svartha-Prema) adalah seperti sebuah lampu yang disimpan di dalam kamar. Lampu itu hanya menerangi kamar. Kasih yang mementingkan diri sendiri ini hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja dan tidak berlaku pada yang lainnya. Samanjasa-Prema adalah seperti cahaya dari rembulan. Cahaya rembulan ini dapat terlihat di luar maupun di dalam. Cahaya rembulan ini redup dan tidak terlalu terang. Jenis kasih ini meluas ke kelompok yang lebih luas namun tidak terlalu intens. Bagian ketiga adalah Parartha-Prema. Ini adalah seperti cahaya mentari. Cahaya matahari ini menerangi keduanya yang di dalam dan di luar dengan terang benderang. Namun Cahaya matahari tidak berkelanjutan karena matahari tidak terlihat di malam hari. Namun tidak selamanya hilang, karena matahari akan terbit kembali. Sama halnya, kasih yang tidak mementingkan diri sendiri mungkin terkadang kelihatan tidak ada, namun akan muncul kembali! Bagian keempat adalah Yatartha-Prema atau Atma-Prema. Kasih ini adalah selau ada, di dalam dan di luar, di semua tempat dan sepanjang waktu. Ini adalah kasih Tuhan. Ini tidak dapat dihancurkan. Ini bersifat kekal. Kasih Tuhan ini tetap ada di dalam diri setiap orang. Ketika kasih ini diwujudkan oleh seseorang, maka dia mencapai kedamaian yang melampaui pemahaman.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jul 27, 1996.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Nikmati kasih yang Aku curahkan kepadamu. Kasih ini sepenuhnya bebas dari kepentingan pribadi. Dengan menerima kasih yang tanpa pamrih, jadikan kasihmu juga tidak egois.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-30865733172465988952024-02-20T16:58:00.005+07:002024-02-20T16:58:44.011+07:00Thought for the Day - 13th February 2024 (Tuesday)<p style="text-align: justify;"><i>A curious paradox is now gaining force in this land: it is fraught with dire consequences. Though the world has become a very small globe, as a result of fast means of communication and transport, man has not yet learnt the art of living together in close proximity, as brothers, as children of the One God. The closer men are brought, the larger the differences appear! Thus, the little world is now riddled with problems of conflicting cultures, competing creeds and contesting ambitions. The sorrows of one state spread fast into all its neighbours and infect the whole world. The world has become one vast battlefield. When infectious diseases leap over boundaries, and slay men without distinction, immediate steps are taken to control the havoc and relief is despatched in haste to the scene of disaster. But, the infection of greed and hate cannot be held in check so quickly by any Government. Let us try to answer the question - "What kind of Government is the best?" The answer is: "That Government is best, which helps us to govern ourselves." Make your Conscience the ruler, do not depend on the external ruler.</i></p><p style="text-align: justify;"><i><br /></i></p><p style="text-align: justify;"><i>- Divine Discourse, May 13, 1970.</i></p><p style="text-align: justify;"><i>Whether it be in a political organisation or in regard to a personal matter, or national issues, you should act according to the dictates of your conscience, without any other concern.</i></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe;">Sebuah paradok aneh sedang berlaku di negeri ini: hal ini penuh dengan konsekuensi yang mengerikan. Walaupun dunia telah menjadi bumi yang sangat kecil, sebagai akibat dari sarana komunikasi dan tranportasi yang cepat, manusia belum belajar seni dalam hidup Bersama dalam jarak yang berdekatan, sebagai saudara, sebagai anak-anak dari satu Tuhan. Semakin dekat manusia, semakin jauh perbedaan yang muncul! Jadi, dunia yang kecil ini sekarang penuh dengan masalah budaya yang saling bertentangan, persaingan keyakinan dan perlombaan ambisi. Penderitaan suatu negara menyebar dengan cepat ke seluruh negara tetangga dan menular pada seluruh dunia. Dunia telah menjadi satu medan tempur yang luas. Ketika penyakit menular melampaui batas-batas negara, dan membunuh manusia tanpa membeda-bedakan, langkah-langkah segera diambil untuk mengendalikan malapetaka dan bantuan segera dikirim ke lokasi bencana. Namun, infkesi dari ketamakan dan kebencian tidak bisa diketahui dengan cepat oleh pemerintah manapun. Marilah kita mencoba menjawab pertanyaan ini - "Apa jenis pemerintahan yang terbaik?" Jawabannya adalah: "Pemerintahan yang terbaik adalah yang membantu kita mengatur diri kita sendiri." Jadikan hati nuranimu sebagai pengendali, jangan tergantung pada pengatur di luar diri.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe;">- Divine Discourse, May 13, 1970.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe;">Apakah itu berkaitan dengan organisasi politik atau urusan pribadi, atau urusan negara, engkau seharusnya bertindak sesuai dengan hati nuranimu, tanpa ada hal lainnya.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-34643476421496753242024-02-20T16:57:00.002+07:002024-02-20T16:57:11.531+07:00Thought for the Day - 12th February 2024 (Monday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The question must be asked, of everyone who is caring for the body - "For what purpose are you caring for this body? What is it that you hope to achieve?" The body is the sheath, the scabbard for the sword, the Jivi (soul), the I that is within it, but not of it. The purpose of this scabbard is to discover the unity of the Universe. When you say this is the auditorium shed, you see this shed as one, though it is really the coming together of many pillars, trusses, sheets, bricks, mortar, nuts, bolts and paint! You feel you are one though you are an organisation of many limbs and instruments of knowledge, hands, feet, head, muscle, nerve, eye, tongue, teeth, etc. So also, the Universe is but one, though you may be able to distinguish stars and planets, rock, tree and bird and birch, ant and antler in it. Whatever there is, Sarvam Brahmamayam - all is Brahman. It is all Sat Chit Ananda, no more, no less. The realisation of this great Truth is the only purpose of man.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Oct 09, 1970.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The feeling of oneness is essential for enjoying bliss based on the realisation of divinity in everyone</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Pertanyaan yang harus ditanyakan setiap orang yang peduli pada tubuh - "apa tujuan engkau merawat tubuh ini? Apa harapan yang ingin engkau capai?" Tubuh adalah sarung, sarung dari pedang yaitu Jivi (jiwa), dimana Aku yang ada di dalamnya, namun Aku bukan bagian dari sarung itu. Tujuan keberadaan sarung itu adalah untuk mengungkapkan kesatuan alam semesta. Ketika engkau mengatakan ini adalah gudang auditorium, engkau melihat gudang ini sebagai satu kesatuan, walaupun sebenarnya terbangun dari banyak pilar, rangka, batu bata, campuran semen, mur, baut dan cat! Engkau merasakan bahwa engkau adalah satu walaupun engkau ada dalam organisasi dari banyak organ dan instrumen pengetahuan, tangan, kaki, kepala, otot, syaraf, mata, lidah, gigi, dsb. Begitu juga, alam semesta adalah satu, walapun engkau mungkin mampu membedakan antara bintang dan planet, bebatuan, pohon dan burung, semut dan serta hewan bertanduk di dalamnya. Apapun yang ada, Sarvam Brahmamayam – semuanya adalah Brahman. Ini semuanya adalah Sat Chit Ananda, tidak lebih, tidak kurang. Realisasi dari kebenaran agung ini adalah satu-satunya tujuan manusia.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Oct 09, 1970.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Perasaan kesatuan adalah mendasar untuk menikmati kebahagiaan berdasarkan pada realisasi keilahian dalam diri setiap orang</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-83223821547790661972024-02-20T16:54:00.006+07:002024-02-20T16:55:04.453+07:00Thought for the Day - 11th February 2024 (Sunday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Do not forget God. What you should forget is the mundane world. God is omnipresent in all forms, everywhere, as declared in the Purusha Sukta. It is foolish to search for God, who is within you and outside you. When Ramakrishna Paramahamsa was asked whether he had seen God and could show Him to them, he replied - "I have seen God. But how can you see God if you don't pine for him in the same manner in which you pine for your wife and children and wealth? Pray to Him, yearn for Him and be prepared to sacrifice everything for Him. Then you will experience the vision of God." God cannot be perceived by the spiritually blind, just as a blind man cannot understand what is meant by the whiteness of milk. God is infinite bliss. He is formless, but He can assume any form He wills. How can anyone attempt to describe the nature of God? Contemplate on God with a pure heart. There is no greater spiritual exercise. </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Jul 12, 1995.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>See the good in others and the faults in yourselves. Revere others as having God installed in them; revere yourself also as the seat of God.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jangan melupakan Tuhan. Apa yang seharusnya engkau lupakan adalah duniawi ini. Tuhan adalah ada dimana-mana dalam semua wujud, di setiap tempat, seperti yang disebutkan dalam Purusha Sukta. Adalah sebuah ketidaktahuan dengan mencari Tuhan, yang mana Tuhan ada di dalam dirimu dan juga di luar dirimu. Ketika Ramakrishna Paramahamsa ditanyakan apakah dia pernah melihat Tuhan dan dapat memperlihatkan Tuhan kepada mereka, Ramakrishna menjawab - "aku telah melihat Tuhan. Namun bagaimana engkau dapat melihat Tuhan jika engkau tidak merindukannya seperti engkau merindukan istri dan anak-anak dan kekayaanmu? Berdoalah kepada-Nya, rindukan Tuhan dan bersiaplah untuk mengorbankan segalanya untuk Tuhan. Kemudian engkau akan mengalami pandangan Tuhan." Tuhan tidak bisa dilihat oleh orang yang buta secara spiritual, seperti halnya orang buta tidak bisa mengerti apa makna dari putihnya susu. Tuhan adalah kebahagiaan yang tidak terbatas. Tuhan adalah tanpa wujud, namun Tuhan dapat mengambil wujud apapun yang Tuhan kehendaki. Bagaimana seseorang dapat mencoba untuk menjabarkan sifat alami Tuhan? Renungkan Tuhan dengan kemurnian hati. Tidak ada Latihan spiritual yang lebih hebat. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Jul 12, 1995.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Lihat kebaikan dalam diri orang lain dan kesalahan di dalam dirimu sendiri. Hormati orang lain karena Tuhan bersemayam di dalam diri mereka; hormati dirimu sendiri juga sebagai takhta Tuhan.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-44558167398266661842024-02-20T16:53:00.002+07:002024-02-20T16:53:15.297+07:00Thought for the Day - 7th February 2024 (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>A little reflection will give the attitude necessary to develop detachment. You have a house in the city; you lived in it for some years; you call it yours and are proud of it; you protest angrily when a poster is pasted on its walls; you took great care to see that it’s comfortable, charming, and impressive. Then one day you sell it. It’s no longer the object of your attachment! Even when lightning strikes it, you aren’t disturbed. Now, the fields you purchased with the sale proceeds become yours and they attract all your attachments! When flood waters invade those fields, you are very concerned and run everywhere trying to save them from harm! Next, you sell them and call the money yours; put it in a bank and you become attached to it! The money you gave the bank may be loaned by them to someone you don’t like, but you don’t care. Now what exactly is yours? To which were you attached so deeply? The house, fields, money? To none of these things. You were attached to prestige, comfort, show, greed: things that arose in your mind as desire, as urges; to your own ego, basically. That was the thing which induced you to claim these things, one after the other, as yours! </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Mar 27, 1966.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Where there is no attachment, there is no fear</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Sedikit perenungan akan memberikan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan tanpa keterikatan. Engkau memiliki rumah di dalam kota; engkau tinggal di dalamnya untuk beberapa tahun; engkau mengatakan rumah itu adalah milikmu dan bangga dengan rumah itu; engkau marah ketika poster di tempel di dinding rumahmu; engkau sangat perhatian untuk kenyamanan, keindahan dan kemewahan rumah itu. Kemudian pada suatu hari engkau menjualnya. Rumah itu bukan lagi objek dari keterikatanmu! Bahkan ketika rumah itu disambar petir, engkau tidak akan terganggu sama sekali. Sekarang, tanah yang engkau beli dari hasil penjualan menjadi milikmu dan tanah itu menarik semua keterikatanmu! Ketika air banjir menggenangi tanah itu, engkau menjadi sangat perhatian dan berlarian kemana-mana untuk mencoba menyelamatkan tanah itu dari kerusakan! Selanjutnya, engkau menjual tanah itu dan menyebut uang penjualan itu adalah milikmu; menaruh uang itu di Bank dan engkau menjadi terikat padanya! Uang yang engkau simpan di bank mungkin dipinjamkan pada seseorang yang tidak engkau sukai, namun engkau tidak peduli. Sekarang apa sesungguhnya yang menjadi milikmu? Pada hal apakah engkau menjadi terikat begitu mendalam? Rumah, tanah, uang? Tidak pada satupun. Engkau terikat pada gengsi, kenyamanan, pamer, ketamakan: hal-hal yang muncul dalam pikiranmu sebagai keinginan, sebagai dorongan; pada egomu sendiri, pada dasarnya. Hal itulah yang mendorongmu untuk mengklaim hal-hal ini, satu demi satu sebagai milikmu! </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Mar 27, 1966.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Dimana tidak ada keterikatan, disana tidak ada ketakutan</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-19287593288651545802024-02-20T16:51:00.002+07:002024-02-20T16:51:14.139+07:00Thought for the Day - 6th February 2024 (Tuesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Render your hearts cool with delight; share the delight with others; adore God in this delectable form. When you go into the qualifications needed for seva, you will know that a pure heart - uncontaminated by conceit, greed, envy, hatred or competition is essential; also what is required is faith in God, as the spring of vitality, virtue, and justice. Seva is the worship you offer to the God in the heart of everyone. Do not ask another which country or state you belong to, or which caste or creed you profess. See your favourite form of God in that other person; as a matter of fact, that person is not 'other' at all. It is His image, as much as you are. You are not helping some 'one individual'; you are adoring Me, in that person. I am before you in that form; so, what room is there for the ego in you to raise its hood? Duty is God; Work is worship. Even the tiniest work is a flower placed at the Feet of God. </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Mar 04, 1970.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Whatever you do as service, to whomsoever you offer the act, believe that it reaches the God in that person.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Buatlah hatimu tenang dengan kegembiraan; berbagilah kegembiraan dengan yang lainnya; pujalah Tuhan dalam wujud yang indah ini. Ketika engkau melihat syarat yang dibutuhkan untuk seva, engkau akan mengetahui bahwa hati yang murni – yang tidak ternoda dengan kesombongan, ketamakan, iri hati, kebencian atau persaingan adalah mendasar.; yang juga diperlukan adalah keyakinan pada Tuhan, sebagai sumber dari kekuatan, Kebajikan dan keadilan. Seva adalah pemujaan yang engkau persembahkan kepada Tuhan di dalam hati setiap orang. Jangan menanyakan orang lain dari negara mana engkau berasal, atau dari kasta atau keyakinan mana engkau berasal. Pandanglah wujud Tuhan yang engkau puja pada orang lain itu; sebagai sebuah fakta, orang itu sama sekali bukanlah 'orang lain'. Ini adalah gambar-Nya, sama seperti dirimu. Engkau tidak sedang menolong 'satu individu'; engkau sedang memuja Aku dalam diri orang itu. Aku ada dihadapanmu dalam wujud itu; jadi, apa ada ruang bagi ego dalam dirimu untuk mengangkat kepalanya? Kewajiban adalah Tuhan; kerja adalah ibadah. Bahkan kerja yang paling kecil adalah sebuah bunga yang dipersembahkan di kaki Tuhan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Mar 04, 1970.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Apapun yang engkau lakukan sebagai pelayanan, kepada siapapun engkau berikan pelayanan itu, percayalah bahwa pelayanan itu mencapai Tuhan di dalam orang itu.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-20100809425866796002024-02-20T16:49:00.006+07:002024-02-20T16:49:44.825+07:00Thought for the Day - 4th February 2023 (Sunday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Repeat Soham (I am He), with every breath: 'So' when you take in and 'ham', when you exhale, 'So' means ‘He’ and 'ham,' means ‘I’ and when you complete the inhalation and exhalations, feel that 'So', namely, the Lord, and 'ham', namely, 'I' i.e., (you) are One! Later, after long practice, the idea of He and I as two separate entities will disappear and there will be no more So and ham. Those sounds will be reduced to O and M, it will be Om or Pranava. Repeat that sound afterwards with every breath and that will save you from bondage to birth and death, for it is the Pranavopasana (contemplation on Pranava) recommended in Vedas. This Soham recitation is a good means of restraining the mind from running away. Let the mind be ever attached to the Lord; then, it will not flee towards all directions. That is the meaning of Krishna’s exhortation: Sarva dharman parityajya mam ekam sharanam vraja - Giving up all other activities, surrender fully to Me.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, May 22, 1965. </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Place the mind completely at His service. Then, He will save you from falling</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Ulangi Soham (aku adalah Tuhan), dengan setiap nafas: 'So' ketika engkau menghirup nafas dan 'ham', ketika engkau menghembuskan nafas, 'So' berarti ‘Dia’ dan 'ham,' berarti ‘aku’ dan ketika engkau menyelesaikan tarikan dan hembusan nafas, rasakan bahwa 'So', yaitu Tuhan, dan 'ham', yaitu aku (dirimu) adalah Satu! Kemudian, setelah latihan lama, gagasan dari Tuhan dan aku sebagai dua entitas yang terpisah akan lenyap dan tidak akan ada lagi So dan ham. Suara itu akan berkurang menjadi O dan M, dan itu menjadi Om atau Pranava. Ulangi suara itu setelahnya pada setiap tarikan nafas dan itu akan menyelamatkanmu dari jeratan kelahiran dan kematian, karena ini adalah Pranavopasana (perenungan pada Pranava) yang direkomendasikan dalam Weda. Pengulangan Soham adalah sebuah sarana yang bagus dalam menahan pikiran agar tidak berkeliaran. Jadikan pikiran selamanya terikat pada Tuhan; kemudian, pikiran tidak akan berkeliaran ke segala arah. Itulah makna dari nasehat Sri Krishna: Sarva dharman parityajya mam ekam sharanam vraja – hentikan semua aktifitas lainnya, berserah diri sepenuhnya kepada-Ku. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, May 22, 1965. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Tempatkan pikiran sepenuhnya pada pelayanan-Nya. Kemudian, Tuhan akan menyelamatkanmu dari kejatuhan</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-89256382744894309292024-02-20T10:03:00.003+07:002024-02-20T10:03:37.675+07:00Thought for the Day - 3rd February 2024 (Saturday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The first debt every individual owes is to the Divine. The second is to the sages. The third is to one's parents. A debt is an obligation arising out of what one has received from others. We can easily identify these debts in the human body from the different divine forces that are present nourishing and protecting it. This divine energy permeates the entire body; it is called the Rasa (Divine Essence). We owe a debt of gratitude to the Divine who has not only endowed us with this precious human body but also sustains it. We shall be able to enjoy these gifts of the Divine only if we discharge this debt to the Divine. How is this to be done? It is by rendering service to other bodies saturated with the same Divine, by doing righteous deeds and consecrating all actions in the service of society. The debt to the Divine has to be discharged in full in this life itself or during many future lives. The earlier we repay this debt, the sooner we shall realise Divinity.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Oct 10, 1983.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Every devotee has to have as one’s aides firm faith in God on one side and purity of character on the other.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Hutang pertama yang setiap individu miliki adalah hutang pada Tuhan. Hutang kedua kepada para guru suci. Hutang ketiga kepada orang tua kandung. Hutang adalah sebuah kewajiban yang muncul dari apa yang seseorang terima dari orang lain. Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi hutang-hutang ini dalam tubuh manusia dari berbagai kekuatan Tuhan yang berbeda yang hadir untuk memelihara dan melindunginya. Energi Tuhan ini meliputi seluruh tubuh dan disebut dengan Rasa (intisari Tuhan). Kita berhutang budi pada Tuhan yang tidak hanya memberkati kita dengan tubuh manusia yang berharga ini namun juga memeliharanya. Kita bisa menikmati semua karunia Tuhan ini hanya jika kita melunasi hutang itu kepada Tuhan. Bagaimana cara meluinasinya? Dengan melakukan pelayanan kepada orang lain yang diliputi dengan energi Tuhan yang sama, dengan melakukan perbuatan yang baik serta memusatkan semua perbuatan pada pelayanan kepada masyarakat. Hutang kepada Tuhan harus dilunasi seluruhnya dalam hidup ini atau dalam banyak kehidupan mendatang. Semakin cepat kita membayar hutang ini, semakin cepat kita akan menyadari ke-Tuhan-an.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Oct 10, 1983.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Setiap bhakta harus memiliki keyakinan yang teguh pada Tuhan di satu sisi dan kemurnian karakter di sisi lainnya. </span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-64475012643329074462024-02-20T10:01:00.002+07:002024-02-20T10:04:07.287+07:00Thought for the Day - 2nd February 2024 (Friday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Man is fundamentally Divine, and so, naturally, the more he manifests the Divine attributes of Love, Justice, Truth and Peace, the more joy he is able to enjoy and impart. The less he manifests them, the more ashamed he ought to be that he is living counter to his heritage. The Tree of Life must be watered at the roots, but now, those who plan to raise the standard of living water the branches, the leaves and the blossoms. The roots are the virtues; they must be fostered so that the flowers of actions, words and thoughts may bloom in fragrance and yield the fruit of seva (service), full of the sweet juice of ananda (bliss). Planning for food, clothing and shelter is only promoting the well-being of the cart; plan also for the horse, the mind of man which must use the food, the clothing, the shelter and other material instruments for the high purpose of 'escaping from the ego into the universal'.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Aug 03, 1966.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>If you are a master of your feelings and impulses, you can be anywhere, engaged in any profession. You will have peace.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Manusia pada dasarnya adalah Tuhan, dan demikian secara alami, semakin banyak manusia mewujudkan sifat-sifat Tuhan yaitu kasih, keadilan, kebenaran dan kedamaian, maka semakin besar suka cita yang manusia dapat nikmati dan berikan. Semakin sedikit manusia mewujudkan sifat-sifat Tuhan tersebut, seharusnya manusia merasa lebih malu karena hidup bertentangan dengan warisannya. Pohon kehidupan harus disirami pada akar-akarnya, namun sekarang, mereka yang berencana untuk menaikkan taraf hidup malah menyirami cabang, daun dan bunga. Akar dari pohon kehidupan itu adalah kebajikan; Kebajikan harus dipupuk sehingga bunga dalam wujud tindakan, perkataan dan pikiran dapat mekar dalam keharuman dan menghasilkan buah pelayanan (seva), penuh dengan intisari rasa jus kebahagiaan (ananda). Perencanaan untuk makanan, pakaian dan tempat tinggal hanya untuk meningkatkan kesejahtraan dari gerobaknya saja; rencanakan juga untuk kudanya yaitu pikiran manusia yang mana harus menggunakan makanan, pakaian, tempat tinggal dan sarana material lainnya untuk tujuan mulia yaitu 'melepaskan diri dari ego menuju pada universal'.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Aug 03, 1966.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jika engkau menguasai perasaan dan dorongan hatimu, engkau bisa ada dimana saja menjalankan profesi apapun. Engkau akan memiliki kedamaian.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-14135612685596605122024-01-31T11:00:00.001+07:002024-01-31T11:00:48.919+07:00Thought for the Day - 31st January 2024 (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>If anybody accosts a person and asks him, "Who are you?", out of his identification with the body he gives his name in reply. In answer to further questions, he introduces himself as a doctor, a farmer, or student, or the like. When the enquiry goes further, he identifies himself with his nationality as an American, an Indian, a Pakistani or so on. When you examine these answers deeply, you will find that none of them gives the truth. He got his name from his parents. It did not belong to him at birth. His identification with one or other of his professions is not true because he is not the profession. What then is the truth about him? "I am the Atma. That is my true Self." That is the truth. But people identify themselves with their names, professions and nationality and do not base their lives on the Atma. No driver of a car identifies with the car. Likewise, the body is a car and the Atma is the driver. Forgetting one's true role as a driver, one is identifying one's self with the body, which is only a vehicle.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>-- Divine Discourse, Aug 23, 1995.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The body is Shivam (auspicious) as long as Atma dwells in it: it becomes Shavam (dead body) once Atma leaves it.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jika siapapun mendatangi seseorang dan menanyakannya, "Siapakah anda?", karena identifikasinya dengan badan maka dia menyebutkan namanya sebagai jawaban. Untuk jawaban berikutnya, dia memperkenalkan dirinya sebagai dokter, petani, atau pelajar, atau yang lainnya. Ketika penyelidikan lebih jauh, dia mengidentifikasi diri dengan kewarganegaraannya sebagai warga negara Amerika, India, Pakistan atau yang lainnya. Ketika engkau memeriksa jawaban yang diberikan tadi secara mendalam, engkau akan mendapatkan bahwa tidak ada jawaban yang diberikan itu adalah benar. Dia mendapatkan nama dari pemberian orang tuanya. Nama itu bukan miliknya saat lahir. Identifikasi dirinya dengan salah satu pekerjaan bukanlah benar karena dia sendiri bukanlah sebuah pekerjaan. Lantas apa yang sejatinya benar tentang dirinya? "aku adalah Atma. Itu adalah Diri Sejati diriku." Itu adalah kebenaran. Namun orang-orang mengidentifikasi diri mereka dengan nama, pekerjaan dan kewarganegaraan dan tidak berdasarkan pada hidup mereka pada Atma. Tidak ada supir yang mengidentifikasi dirinya dengan mobil. Sama halnya, badan adalah sebuah mobil dan Atma adalah supirnya. Dengan melupakan peran sesungguhnya seseorang sebagai supir, seseorang mengidentifikasi dirinya dengan badan, yang mana hanya merupakan sarana saja.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">-- Divine Discourse, Aug 23, 1995.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Badan adalah Shivam (suci) selama Atma masih ada di dalamnya: badan menjadi Shavam (mayat) saat Atma meninggalkan badan.</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-9336397714578175412024-01-31T10:50:00.001+07:002024-01-31T10:50:06.098+07:00Thought for the Day - 30th January 2024 (Tuesday)<p style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: arial;">One must constantly strive to get rid of evil tendencies. Inherited evil traits rooted in the mind must be given up at the sacrificial altar. Of these traits, the worst are hatred and envy. They arise from intense selfishness. They are qualities of a leopard and should not find a place in a human being. Some people try to pretend they have overcome anger, hatred, jealousy and pride. The devices adopted by such persons are only the cunning tricks of the fox. As these traits make their appearance from time to time, they should be immediately cast off. This calls for continuous internal yajna (sacrificial worship), as against the external yajna which is performed only once a year at one particular place. Internal yajna must be performed at all times, in all places and under all circumstances. The sacrificial altar for this yajna is within each one of us. Whenever an evil thought or desire occurs, it should be mercilessly scotched. Only by constant vigilance and continuous endeavour, divine grace can be earned.</span></i></p><p style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: arial;"><br /></span></i></p><p style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: arial;">- Divine Discourse, Oct 10, 1983.</span></i></p><p style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: arial;">Only when evil traits are banished can Divinity manifest itself in all its glory.</span></i></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Seseorang harus secara tanpa henti berusaha untuk melenyapkan kecendrungan jahat. Sifat-sifat jahat yang diwariskan dan mengakar dalam pikiran harus dibuang di atas altas yajna. Dari sifat-sifat jahat ini, yang paling jahat adalah kebencian dan iri hati. Keduanya muncul dari sifat mementingkan diri sendiri yang kuat. Kebencian dan iri hati adalah sifat dari macan tutul dan seharusnya tidak mendapat tempat dalam diri manusia. Beberapa orang mencoba untuk berpura-pura bahwa mereka telah mengatasi kemarahan, kebencian, kecemburuan dan kesombongan. Perangkat yang digunakan oleh orang-orang seperti itu hanyalah tipuan licik dari rubah. Karena sifat-sifat jahat ini muncul dari waktu ke waktu, maka sifat jahat ini harus segera dilenyapkan. Usaha ini memerlukan yajna di dalam diri secara terus menerus, berbeda dengan pelaksanaan yajna di luar diri yang dilaksanakan sekali dalam setahun pada tempat tertentu. Yajna di dalam diri harus dilaksanakan sepanjang waktu, di semua tempat dan dalam berbagai keadaan. Altar untuk melaksanakan yajna ini adalah di dalam diri setiap orang dari kita. Kapanpun pikiran jahat muncul atau keinginan timbul, hal ini harus dibasmi tanpa ampun. Hanya dengan kewaspadaan secara terus menerus maka Rahmat Tuhan dapat diterima.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Oct 10, 1983.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Hanya ketika sifat-sifat jahat dibasmi maka ke-Tuhan-an mewujudkan kualitas-Nya sendiri dengan segala kemualiaan-Nya</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-86089754409582837382024-01-26T12:37:00.002+07:002024-01-26T12:37:12.599+07:00Thought for the Day - 25th January 2024 (Thursday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The green vitality of a tree is a sign of the Divine Will, which sends its roots deep into the soil. The roots keep the tree safe from storms, holding it fast against the violent tug of winds. So too, if the roots of love in man go down into the springs of the Divine within him, no storm of suffering can shake him and crash him into disbelief. As a lump of sugar sweetens every drop of water in the cup, the eye of love makes every person in the world friendly and attractive. The simple milkmaids of Gokul saw each other as Krishna; such was their overwhelming love for the Divine Incarnation. The Bhagavata, where their love and the love of many other devotees of the Lord are described, is a textbook of Divine Love, Bhakti. Mahabharatha, which describes the exploits and excellences of Krishna, is a textbook of Dharma, of ethics, of social and political life, as corrected and straightened by the supremacy of the Right. Begin loving service, this day, this moment. Each act will urge you to the next, for the thrill is so inspiring!</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, May 24, 1967.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Love gives rise to truth. Love begets peace. When you have love, you practise non-violence. Love is the under-current in all these.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Energi hidup hijau pada pohon adalah tanda kehendak Tuhan yang menancapkan akarnya jauh ke dalam tanah. Akar menjaga pohon itu aman dari badai, menopangnya tetap kuat melawan tarikan angin yang kencang. Begitu juga, jika akar kasih dalam diri manusia turun ke bawah jauh ke dalam sumber Tuhan yang ada di dalam dirinya, maka tidak akan ada badai berupa penderitaan dapat menggoyahkannya dan menghempaskannya ke dalam keraguan. Seperti halnya segumpal gula yang memberikan rasa manis pada setiap tetes air yang ada di dalam cangkir, pandangan kasih membuat setiap orang di dunia menjadi ramah dan menarik. Para pemerah susu yang sederhana di Gokula memandang satu sama lainnya sebagai Krishna; begitulah kasih mereka yang begitu luar biasa pada inkarnasi Tuhan. Naskah suci Bhagavata, yang menggambarkan kasih mereka dan kasih banyak bhakta lainnya pada Tuhan dijelaskan, adalah sebuah naskah suci kasih Tuhan atau Bhakti. Mahabharatha, yang mana menjelaskan ekploitasi dan keunggulan dari Sri Krishna, adalah sebuah buku teks tentang Dharma, etika, kehidupan sosial dan politik, yang dikoreksi dan diselaraskan oleh supremasi kebenaran. Mulailah kasih dalam pelayanan, hari ini, saat ini. Setiap perbuatan akan mendorongmu pada tindakan berikutnya, karena kegembiraan itu begitu menginspirasi!</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, May 24, 1967.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Kasih melahirkan kebenaran. Kasih melahirkan kedamaian. Ketika engkau memiliki kasih, engkau mempraktekkan tanpa kekerasan. Kasih adalah kekuatan yang mendasari semuanya ini.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-43729342058588179932024-01-26T12:33:00.007+07:002024-01-26T12:35:05.214+07:00Thought for the Day - 24th January 2024 (Wednesday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>In past ages, many sages, kings and ascetics left home and dwelt in the solitude of the forests and having earned unlimited bliss themselves, they taught others the source of their bliss, namely, the Divine that is encased in the human. Remove the vices of lust and hatred, and put out the raging flames of anger and greed; then, they said, the innate shantam and soukhyam (tranquillity and happiness), the swarupam and swabhavam (one's own form and nature) of man, will manifest unhindered! Shantam is the swarupam, soukhyam is the swabhavam of man. Individual reconstruction is much more important than the construction of temples. Multiply virtues, not buildings; practise what you preach, that is the real pilgrimage; cleanse your minds of envy and malice, that is the real bath in holy water. Of what avail is the name of the Lord on the tongue, if the heart within is impure?</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, Mar 24, 1965.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The good and evil in the world can be changed only by the change in men’s actions. Transformation of society must start with transformation of individuals.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Di masa lalu, banyak orang suci, raja dan pertapa meninggalkan rumah serta tinggal sendirian dalam hutan dan setelah mendapatkan kebahagian yang tidak terbatas, mereka mengajarkan yang lain sumber dari kebahagiaan mereka dapatkan, yaitu Tuhan yang terbungkus di dalam diri manusia. Hilangkan sifat buruk nafsu dan kebencian, dan padamkan kobaran api kemarahan dan ketamakan; kemudian, mereka berkata, shantam dan soukhyam (ketenangan dan kebahagiaan) bawaan, swarupam dan swabhavam (wujud dan sifat) manusia akan terwujud tanpa hambatan! Shantam adalah swarupam, soukhyam adalah swabhavam dari manusia. Rekontruksi individu adalah jauh lebih penting daripada pembangunan tempat suci. Perbanyak kebajikan, dan bukan bangunan; jalankan apa yang engkau katakan, itu adalah perjalanan suci yang sejati; bersihkan pikiranmu dari iri hati dan kesombongan, itu adalah mandi air suci yang sejati. Apa gunanya menyebut nama Tuhan di lidah, jika hati di dalam diri tidak suci?</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, Mar 24, 1965.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Kebaikan dan kejahatan di dunia dapat dirubah hanya dengan merubah perbuatan manusia. Perubahan masyarakat harus dimulai dengan perubahan pada individu.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-20769849497754117022024-01-26T12:31:00.003+07:002024-01-26T12:31:22.838+07:00Thought for the Day - 22nd January 2024 (Monday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The satwik (the pure and good), love all as embodiments of God and engage themselves in humble service. Pundalika was one such. He was massaging the feet of his old mother when God appeared before him! He did not interrupt the service, for he was serving the same God, in his mother! Tukaram declared to Pundalika that it was God who manifested before him, but Pundalika did not waver. He asked God to wait for a while until he had finished the service of the God he had started serving. The prompting inside man to love his mother is an expression of the Divine Nature in him. If there was no spark of the Divine in man, he would not have loved at all. A person who loves is a theist, whether he goes to a temple or church, or not. Pundalika was not guilty of sacrilege, for he was actually worshipping God in His most accessible Form - his mother. You have to proceed from the known to the unknown! </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, May 24, 1967.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>God showers His grace on those who make their parents happy.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Kualitas satwik (murni dan baik), mengasihi semuanya sebagai perwujudan dari Tuhan dan libatkan diri dalam pelayaan dengan kerendahan hati. Pundalika adalah contoh dalam hal ini. Pundalika sedang memijat kaki ibunya yang sudah tua ketika Tuhan muncul dihadapannya! Pundalika tidak menghentikan pelayanannya, karena dia juga sedang melayani Tuhan yang sama dalam diri ibunya! Tukaram menyatakan kepada Pundalika bahwa Tuhan sendiri yang sedang menampakkan diri-Nya di hadapan Pundalika, namun Pundalika tidak goyah. Pundalika meminta Tuhan untuk menunggu sebentar sampai dia selesai pelayanan pada Tuhan yang telah dia mulai. Dorongan dalam diri manusia untuk mengasihi ibunya adalah sebuah ungkapan kualitas ke-Tuhan-an di dalam dirinya. Jika tidak ada percikan ke-Tuhan-an di dalam diri manusia, dia sama sekali tidak akan mengasihi. Orang yang mengasihi adalah seorang teis, apakah dia pergi ke kuil atau gereja, atau tidak. Pundalika tidaklah bersalah melakukan penistaan, karena Pundalika sesungguhnya sedang memuja Tuhan dalam wujud yang mudah dijangkaunya yaitu wujud ibunya. Engkau harus melanjutkan dari yang diketahui pada yang tidak diketahui! </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, May 24, 1967.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Tuhan mencurahkan karunia-Nya pada mereka yang membuat orang tuanya bahagia.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-39294782254596003802024-01-26T12:29:00.006+07:002024-01-26T12:29:48.570+07:00Thought for the Day - 21st January 2024 (Sunday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>If you wish to understand your true nature, you have to do three things: Bend the body, mend the senses, end the mind. The first step is to "bend the body" - you should not allow the ego to develop within your body. Cultivate humility and do your duties sincerely. "Mend the senses" calls for examining how the senses behave, whether they are tending to go astray, and correcting and restraining them when necessary. "End the mind" calls for quieting the vagaries of the mind. How is this to be done? It is by turning the mind in a different direction. For example, there is a lock and key. When the key is turned towards the left, the lock gets locked. If the key is turned towards the right the lock is opened. In man, the heart is the lock. The mind is the key. When the mind is turned Godward the heart develops detachment. When the mind is turned towards the world, the heart develops attachment. Thus both detachment and attachment result from the way the mind functions. When the mind is directed towards Prakruti (Nature or the phenomenal world), bondage ensues. When you turn your mind towards Divinity, you experience bliss. "End the mind" means turning the mind Godward. All you have to do is to dedicate every action of yours to the Divine. Then everything becomes easy and a source of bliss. </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, May 06, 1988.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Devotion and an attitude of surrender, which is the best fruit of devotion, will give you great courage to meet any emergency!</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Jika engkau ingin memahami sifat sejatimu, engkau harus melakukan tiga hal: Bungkukkan badan, perbaiki indera, akhiri pikiran. Langkah pertama adalah "bungkukkan badan " – engkau seharusnya tidak membiarkan ego berkembang di dalam dirimu. Tingkatkan sifat kerendahan hati dan jalankan kewajibanmu dengan tulus. "Perbaiki indera " menyampaikan dengan tegas untuk memeriksa bagaimana Indera berperilaku, apakah Indera tersebut cendrung menyimpang, dan memperbaiki serta menahan Indera tersebut ketika dibutuhkan. "Akhiri pikiran " menegaskan untuk menenangkan gejolak pikiran. Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Dengan mengarahkan pikiran pada arah yang berbeda. Mengambil contoh kunci dan gembok. Ketika kunci diputar ke arah kiri, maka gembok akan terkunci. Jika kunci diputar ke arah kanan maka gembok akan terbuka. Dalam diri manusia, hati adalah gemboknya, sedangkan pikiran adalah kuncinya. Ketika pikiran diarahkan kearah Tuhan maka hati mengembangkan tanpa keterikatan. Ketika pikiran diarahkan pada dunia, hati mengembangkan keterikatan. Jadi keduanya yaitu tanpa keterikatan dan keterikatan adalah hasil dari cara pikiran difungsikan. Ketika pikiran diarahkan ke arah Prakruti (alam atau duniawi), maka perbudakan terjadi. Ketika engkau mengarahkan pikiranmu pada Tuhan, engkau mengalami kebahagiaan. "Akhiri pikiran " berarti mengarahkan pikiran pada jalan Tuhan. Yang perlu engkau lakukan hanyalah mendedikasikan setiap perbuatanmu pada Tuhan. Kemudian segalanya menjadi mudah dan menjadi sumber kebahagiaan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, May 06, 1988.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Bhakti dan sikap tanpa keterikatan, yang merupakan buah terbaik dari bhakti, akan memberikanmu keberanian yang besar untuk menghadapi setiap keadaan darurat!</span></p><div style="text-align: justify;"><br /></div>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7155854117124525362.post-33466109001832442012024-01-20T07:33:00.001+07:002024-01-20T07:33:27.369+07:00Thought for the Day - 20th January 2024 (Saturday)<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>The scientist is one who has an external vision. The one who has an internal vision is a saint. If you draw the figure of a circle, that which ends wherefrom it started in the full circle has been described as Poornam (the full or the whole). The Full Circle represents spirituality. For, in it the end and the beginning are the same. Spirituality knows no difference between beginning and end. To understand what is science, you cut the full circle into two halves. The left half is a semicircle which resembles the English letter "C”. "C" is science, that is, it begins at one point and ends at another. Between these two points, there is a big gap, which is called agamyagocharam - it is beyond reach, invisible and incomprehensible. Matter and Spirit may be regarded as two semicircles. Scientists are only investigating Matter and are ignoring the Spirit. The two parts have been described in Vedantic parlance as Prakruti and Paramatma (Nature and God). The scientist is the one who enquires into the nature of creation. The saint is one who seeks to know the Creator. Once you understand the Creator, you can understand the whole of creation. </i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>- Divine Discourse, May 06, 1988.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><i>Spirituality = Spirit of Love. Science = Split of Love.</i></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Ilmuwan adalah seseorang yang memiliki pandangan ke luar. Seseorang yang memiliki pandangan ke dalam adalah seorang guru suci. Jika engkau menggambar sebuah lingkaran, titik itu berakhir persis dimana titik itu dimulai sehingga membentuk lingkaran penuh yang dijelaskan sebagai Poornam (penuh atau utuh). Lingkaran penuh melambangkan spiritualitas. Karena, dalam lingkaran antara awal dan akhir adalah sama. Spiritualitas tidak mengenal perbedaan antara awal dan akhir. Untuk memahami apa itu ilmu pengetahuan, engkau potong lingkaran penuh itu menjadi setengah bagian. Setengah bagian kiri yang melambangkan abjad "C”. "C" adalah ilmu pengetahuan, yang mana dimulai dari satu titik dan berakhir pada titik lainnya. Diantara kedua titik itu, ada sebuah kesenjangan yang besar, yang mana disebut dengan agamyagocharam - itu di luar jangkauan, tidak terlihat dan sulit dipahami. Materi dan Jiwa bisa dianggap sebagai dua setengah lingkaran. Para ilmuwan hanya meneliti materi dan mengabaikan Jiwa. Kedua setengah lingkaran ini telah dijelaskan dalam bahasa Wedanta sebagai Prakruti dan Paramatma (Alam dan Tuhan). Ilmuwan adalah seseorang yang menyelidiki sifat ciptaan. Sedangkan guru suci adalah seseorang yang mencari untuk mengetahui sang Pencipta. Saat engkau memahami sang Pencipta, engkau dapat memahami seluruh ciptaan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">- Divine Discourse, May 06, 1988.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="color: #2b00fe; font-family: arial;">Spiritualitas = Jiwa dari kasih sayang. Ilmu pengetahuan = Pemisah kasih sayang.</span></p>yuli santosahttp://www.blogger.com/profile/08200454839904134344noreply@blogger.com0