The mind must become the servant of the intellect, not the slave of the senses. It must discriminate and detach itself from identification with the body. The kernel of the ripe tamarind fruit is not attached to the outer shell; likewise the mind must be unattached to this shell called the body. Strike an unripe tamarind fruit with a stone and you cause harm to the pulp inside; but, when you strike the ripe fruit it is the dry rind that falls off; nothing affects the pulp or the seed. The mature aspirant does not feel the blows of fate or fortune; it is the unripe one who is wounded by every blow. Mind haruslah dijadikan sebagai pelayan bagi sang intellect (buddhi), janganlah membiarkannya menjadi budak panca-indera. Mind harus sanggup melakukan diskriminasi dan tidak melekat terhadap badan jasmani. Biji/inti dari buah tamarind (asam jawa?) yang sudah matang tidak akan melekat pada kulit luarnya; demikian pula, hendaknya mind tidak melekat pada kulit luarnya (yaitu badan fisik ini). Cobalah lempar buah tamarind yang belum matang dengan batu, maka engkau akan merusak pulp (daging buah) yang ada di dalamnya; tetapi jikalau engkau melempar buah yang sudah matang, maka hanya kulit keringnya saja yang akan jatuh; lemparanmu itu tidak akan merusak/mempengaruhi pulp maupun bijinya. Artinya, bagi para aspiran spiritual yang sudah matang, mereka tidak akan begitu terpengaruh oleh pasang-surut kehidupan; yang justru sering terombang-ambing adalah mereka yang batinnya masih belum matang. | |
-BABA |
Daily Inspiration as written in the Ashram of Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Prasanthi Nilayam), translated into Bahasa Indonesia
No comments:
Post a Comment