Daily Inspiration as written in the Ashram of Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Prasanthi Nilayam), translated into Bahasa Indonesia
Sunday, June 29, 2008
Thoughts for the Day - 30th June 2008 (Monday)
When the obstacles in the path of truth are laid low, deliverance is achieved. That is why Moksha (liberation) is something that can be won, here and now; one need not wait for the dissolution of the physical body for that. Action must not be felt as a burden, for that feeling is a sure sign indicating that it is against the grain. No action which helps your progress will weigh heavily on you. It is only when you go counter to your innermost nature that you feel it a burden. A time comes when you look back on your achievements and sigh at the futility of it all. Entrust to the Lord, before it is too late, your mind, and let Him shape it as He likes.
Ketika halangan-halangan di jalan kebenaran dipermudah, maka kita akan semakin mencepat mencapai hasilnya. Itulah sebabnya Moksha adalah suatu kondisi yang bisa diperoleh sekarang dan saat ini juga, engkau tidak perlu menunggu hingga uzurnya badan jasmani ini. Janganlah menganggap action (tindakan) sebagai beban, sebab perasaan seperti itu hanya merupakan pertanda bahwa kita belum siap untuk memetik hasilnya. Tindakan yang akan membantu kemajuanmu tentunya tidak akan terlalu memberatkan dirimu. Beban hanya akan muncul jikalau engkau melakukan tindakan yang berlawanan dengan sifat alamiahmu. Waktunya akan tiba dimana ketika engkau menoleh kembali untuk melihat pencapaianmu, maka engkau akan merasa lega. Percayakanlah kepada Tuhan sebelum segalanya menjadi terlambat. Berikanlah mind (batin)-mu kepada-Nya dan biarkanlah Ia membentuk sesuai dengan kehendak-Nya.
-BABA
Saturday, June 28, 2008
Thoughts for the Day - 29th June 2008 (Sunday)
Despite aeons of evolution and considerable progress in scientific knowledge, man is not able to make significant progress towards the Divine because of absence of strenuous striving in the spiritual sphere. Without spiritual practice, reading religious books and listening to spiritual discourses have no value. Study of the Upanishads and Shaasthras (spiritual sciences) and reciting God's names may be good acts in themselves. But, if there is no love, which is the basis of all Sadhana (spiritual discipline), they are of no use. Love reinforces one's physical, mental and spiritual energies. Devotional acts without love are of no avail.
Walaupun proses evolusi sudah berlangsung sekian lama disertai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, namun manusia belum juga mengalami kemajuan berarti dalam hal Divinity. Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya usaha yang sungguh-sungguh dalam bidang spiritual. Tanpa melakukan prakek spiritual, maka usaha-usaha untuk membaca buku-buku religius dan mendengarkan wacana spiritual menjadi tidak bermanfaat. Studi atas kitab suci Upanishads dan Shaasthras (ilmu pengetahuan spiritual) serta mengulang nama-nama Tuhan - praktek-praktek ini memang baik. Namun apabila praktek itu tidak disertai dengan cinta-kasih - yang merupakan dasar dari semua Sadhana - maka praktek-praktek tersebut menjadi tak ada nilainya sama sekali. Cinta-kasih merupakan inti-sari dari energi fisik, mental dan spiritual. Bhakti yang tidak disertai dengan cinta-kasih adalah tak ada gunanya.
Walaupun proses evolusi sudah berlangsung sekian lama disertai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, namun manusia belum juga mengalami kemajuan berarti dalam hal Divinity. Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya usaha yang sungguh-sungguh dalam bidang spiritual. Tanpa melakukan prakek spiritual, maka usaha-usaha untuk membaca buku-buku religius dan mendengarkan wacana spiritual menjadi tidak bermanfaat. Studi atas kitab suci Upanishads dan Shaasthras (ilmu pengetahuan spiritual) serta mengulang nama-nama Tuhan - praktek-praktek ini memang baik. Namun apabila praktek itu tidak disertai dengan cinta-kasih - yang merupakan dasar dari semua Sadhana - maka praktek-praktek tersebut menjadi tak ada nilainya sama sekali. Cinta-kasih merupakan inti-sari dari energi fisik, mental dan spiritual. Bhakti yang tidak disertai dengan cinta-kasih adalah tak ada gunanya.
-BABA
Friday, June 27, 2008
Thoughts for the Day - 28th June 2008 (Saturday)
The Upanishads declare that immortality can be experienced only through Thyaga (renunciation or sacrifice). This renunciation does not mean giving up hearth and home, kith and kin. It means giving up the transient and impermanent things of the world. This calls for discrimination between what is permanent and what is perishable, what is good and what is bad. Only then can man discover the divine principle within him.
Kitab suci Upanishad menyatakan bahwa immortality (Divinity) hanya bisa dialami melalui praktek Thyaga (pengorbanan). Yang dimaksud dengan pengorbanan di sini bukanlah berarti meninggalkan rumah, istri dan anak. Tetapi lebih tepatnya, ia diartikan sebagai meninggalkan hal-hal yang bersifat sementara dan non permanen. Untuk itu, diperlukan kemampuan diskriminatif untuk membedakan antara yang permanen dan yang tidak, antara yang baik dan tidak baik. Hanya dengan demikian, barulah manusia bisa menemukan prinsip divinity di dalam dirinya.
Kitab suci Upanishad menyatakan bahwa immortality (Divinity) hanya bisa dialami melalui praktek Thyaga (pengorbanan). Yang dimaksud dengan pengorbanan di sini bukanlah berarti meninggalkan rumah, istri dan anak. Tetapi lebih tepatnya, ia diartikan sebagai meninggalkan hal-hal yang bersifat sementara dan non permanen. Untuk itu, diperlukan kemampuan diskriminatif untuk membedakan antara yang permanen dan yang tidak, antara yang baik dan tidak baik. Hanya dengan demikian, barulah manusia bisa menemukan prinsip divinity di dalam dirinya.
-BABA
Thursday, June 26, 2008
Thoughts for the Day - 27th June 2008 (Friday)
Man does not become fully human until he progresses on the spiritual path. Body, mind and spirit - these three together constitute the man. An animal is concerned primarily with looking after its bodily needs. Man is a superior being, since he has been bestowed with a mind. Cultivation of the spirit will elevate him to the Divine. The body, mind and spirit are intertwined and interdependent. Mind and body have to subserve the spirit in achieving awareness of the Divine Atma.
Manusia belum betul-betul menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya selama ia belum mengalami kemajuan dalam perjalanan spiritualnya. Badan fisik, mind (batin) dan spirit (jiwa) - ketiga-tiganya merupakan unsur yang membentuk diri seorang manusia. Kaum hewaniah hanya mementingkan kelangsung hidup badaniahnya saja. Manusia adalah mahluk hidup yang lebih superior, sebab ia dibekali dengan mind. Bila manusia mengembangkan spirit (pengetahuan atmic), maka derajatnya akan meningkat hingga ke level Divine. Terdapat hubungan saling berketergantungan yang sangat erat antara badan fisik, mind dan spirit, dimana mind dan badan fisik haruslah menjadi faktor pendukung bagi spirit dalam mencapai kesadaran Divine Atma.
Manusia belum betul-betul menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya selama ia belum mengalami kemajuan dalam perjalanan spiritualnya. Badan fisik, mind (batin) dan spirit (jiwa) - ketiga-tiganya merupakan unsur yang membentuk diri seorang manusia. Kaum hewaniah hanya mementingkan kelangsung hidup badaniahnya saja. Manusia adalah mahluk hidup yang lebih superior, sebab ia dibekali dengan mind. Bila manusia mengembangkan spirit (pengetahuan atmic), maka derajatnya akan meningkat hingga ke level Divine. Terdapat hubungan saling berketergantungan yang sangat erat antara badan fisik, mind dan spirit, dimana mind dan badan fisik haruslah menjadi faktor pendukung bagi spirit dalam mencapai kesadaran Divine Atma.
-BABA
Wednesday, June 25, 2008
Thoughts for the Day - 26th June 2008 (Thursday)
The body must be regarded as the basis for spiritual activity. The body is not meant merely to be pampered and kept in comfort. Our mental abilities and talents should not be used only for worldly achievements. Only by seeking Jnana (spiritual wisdom) can man rise above the level of the animal. The animal is concerned only with the present. Man alone can realize that the present is the product of the past and that the future will be determined by what he does in the present. Only if you act rightly in the present can the future be good. This requires steadfastness and determination to adhere to the path of righteousness whatever may be the difficulties.
Badan fisik haruslah diperlakukan sebagai dasar aktivitas-aktivitas spiritual. Badan jasmani ini seyogyanya tidak terlalu dimanjakan. Kemampuan-kemampuan mental dan talenta kita hendaknya diberdaya-gunakan tidak hanya demi untuk mencapai hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian semata-mata. Manusia baru bisa naik dari level kebinatangannya apabila ia mencari pengetahuan Jnana (kebijaksanaan spiritual). Kaum hewaniah hanya peduli dengan masa sekarang ini. Hanya manusia sajalah yang bisa menyadari bahwa masa sekarang merupakan produk dari masa lampau dan masa depan akan ditentukan oleh hal-hal yang ia lakukan di masa sekarang. Masa depanmu akan menjadi baik apabila engkau berperilaku secara bajik. Dalam hal ini, betapapun juga kesulitan yang bakal dihadapi, mutlak diperlukan kemantapan hati dan kebulatan tekad dalam menapaki jalan kebajikan.
Badan fisik haruslah diperlakukan sebagai dasar aktivitas-aktivitas spiritual. Badan jasmani ini seyogyanya tidak terlalu dimanjakan. Kemampuan-kemampuan mental dan talenta kita hendaknya diberdaya-gunakan tidak hanya demi untuk mencapai hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian semata-mata. Manusia baru bisa naik dari level kebinatangannya apabila ia mencari pengetahuan Jnana (kebijaksanaan spiritual). Kaum hewaniah hanya peduli dengan masa sekarang ini. Hanya manusia sajalah yang bisa menyadari bahwa masa sekarang merupakan produk dari masa lampau dan masa depan akan ditentukan oleh hal-hal yang ia lakukan di masa sekarang. Masa depanmu akan menjadi baik apabila engkau berperilaku secara bajik. Dalam hal ini, betapapun juga kesulitan yang bakal dihadapi, mutlak diperlukan kemantapan hati dan kebulatan tekad dalam menapaki jalan kebajikan.
-BABA
Tuesday, June 24, 2008
Thoughts for the Day - 25th June 2008 (Wednesday)
Man's life is like a garland, with birth at one end and death at the other. Between the two ends are strung together flowers of all kinds - troubles, worries, joys, sorrows and dreams. Few are aware of the string that runs through all the flowers. Without the string there can be no garland. Only the person who recognises the string can be called a true man. This string is called Brahma-Sutra (The Divine String). The Divine Atmic principle is the string which is found in all human beings and which is the source of all potencies in them.
Kehidupan manusia dapat diibaratkan seperti sebuah kalungan bunga, dimana ujung-ujungnya terdiri atas kelahiran dan kematian. Di antara kedua ujung tersebut terdapat serangkaian banyak bunga aneka ragam - yaitu: kesulitan, kekhawatiran, kesenangan, kesedihan dan impian. Cukup sedikit orang yang sadar tentang benang yang menjadi tempat bergantungnya bunga-bunga tersebut. Tanpa adanya benang itu, maka kalungan bunga tadi tidak akan pernah ada. Hanya mereka yang mengenali benang itu sajalah yang dapat disebut sebagai manusia sejati. Nah, benang tersebut dinamakan sebagai Brahma-Sutra (The Divine String/benang Ilahi). Prinsip Divine Atmic adalah benang yang ditemukan di dalam diri setiap manusia dan merupakan sumber kekuatan baginya.
Kehidupan manusia dapat diibaratkan seperti sebuah kalungan bunga, dimana ujung-ujungnya terdiri atas kelahiran dan kematian. Di antara kedua ujung tersebut terdapat serangkaian banyak bunga aneka ragam - yaitu: kesulitan, kekhawatiran, kesenangan, kesedihan dan impian. Cukup sedikit orang yang sadar tentang benang yang menjadi tempat bergantungnya bunga-bunga tersebut. Tanpa adanya benang itu, maka kalungan bunga tadi tidak akan pernah ada. Hanya mereka yang mengenali benang itu sajalah yang dapat disebut sebagai manusia sejati. Nah, benang tersebut dinamakan sebagai Brahma-Sutra (The Divine String/benang Ilahi). Prinsip Divine Atmic adalah benang yang ditemukan di dalam diri setiap manusia dan merupakan sumber kekuatan baginya.
-BABA
Monday, June 23, 2008
Thoughts for the Day - 24th June 2008 (Tuesday)
Man suffers from numerous ills because he has not understood the purpose of life. The first thing he has to realize is that God is one, by whatever name and in whatever form the Divine is worshipped. The One chose to become the many. The Vedas declare, "God is one; the wise hail Him by many names". It is the imagination of the observers which accounts for the apparent multiplicity of the Divine. The sun is only one, but its reflection appears in many vessels. Likewise, God is present in the hearts of different beings in varied forms and natures.
Manusia menderita berbagai macam bentuk penyakit, hal ini disebabkan oleh karena ia tidak memahami maksud & tujuan dari kehidupannya ini. Hal pertama yang harus disadari olehnya adalah bahwa Tuhan Maha Esa, walaupun Beliau dipuja dengan berbagai macam nama dan rupa. Kitab suci Veda menyatakan, "Tuhan Maha Esa; para bijak memuji-Nya dengan berbagai macam nama." Imajinasi para pengamat-lah yang melahirkan multiplisitas ini. Matahari hanya ada satu, namun pantulannya tampak di berbagai permukaan. Demikian pula, Tuhan hadir di dalam hati setiap mahluk dengan wujud dan sifat yang bervariasi.
Manusia menderita berbagai macam bentuk penyakit, hal ini disebabkan oleh karena ia tidak memahami maksud & tujuan dari kehidupannya ini. Hal pertama yang harus disadari olehnya adalah bahwa Tuhan Maha Esa, walaupun Beliau dipuja dengan berbagai macam nama dan rupa. Kitab suci Veda menyatakan, "Tuhan Maha Esa; para bijak memuji-Nya dengan berbagai macam nama." Imajinasi para pengamat-lah yang melahirkan multiplisitas ini. Matahari hanya ada satu, namun pantulannya tampak di berbagai permukaan. Demikian pula, Tuhan hadir di dalam hati setiap mahluk dengan wujud dan sifat yang bervariasi.
-BABA
Sunday, June 22, 2008
Thoughts for the Day - 23rd June 2008 (Monday)
The happiness derived from sensory objects arises and vanishes with time. For instance, when hunger is appeased, there is happiness for that moment; but this happiness ebbs away after a while. This is true of all objects in the world; the joy derived from them is evanescent. Man, however, is after lasting Ananda (bliss). He is in fact the embodiment of bliss. Bliss constitutes his very nature and being. Why, then, does he not experience it? This is because, unaware of his true nature, he is obsessed with the external world and fails to experience the bliss within him. He mistakenly imagines that the source of joy lies in the phenomenal world.
Kebahagiaan yang diperoleh dari obyek-obyek indriawi akan muncul dan tenggalam oleh waktu. Sebagai contoh, ketika rasa lapar dipuaskan, maka di saat yang sebentar itu terkandung unsur happiness; namun rasa senang itu akan segera lenyap pada momen berikutnya. Hal yang sama juga berlaku untuk obyek-obyek lain yang ada di dunia ini; keceriaan yang diberikan olehnya sangatlah bersifat sementara. Padahal manusia sebenarnya mendambakan Ananda (bliss), yang mana pada hakekatnya manusia sendiri adalah perwujudan bliss. Jati-dirinya yang sebenarnya adalah bliss itu sendiri. Lalu bila demikian halnya, mengapa pula ia tidak bisa merasakannya? Hal ini terjadi oleh karena ia tidak menyadari identitas dirinya sendiri, sebaliknya ia malahan begitu terobsesi oleh dunia eksternal. Secara keliru ia mengira bahwa sumber kebahagiaan terletak pada dunia yang fenomenal ini.
Kebahagiaan yang diperoleh dari obyek-obyek indriawi akan muncul dan tenggalam oleh waktu. Sebagai contoh, ketika rasa lapar dipuaskan, maka di saat yang sebentar itu terkandung unsur happiness; namun rasa senang itu akan segera lenyap pada momen berikutnya. Hal yang sama juga berlaku untuk obyek-obyek lain yang ada di dunia ini; keceriaan yang diberikan olehnya sangatlah bersifat sementara. Padahal manusia sebenarnya mendambakan Ananda (bliss), yang mana pada hakekatnya manusia sendiri adalah perwujudan bliss. Jati-dirinya yang sebenarnya adalah bliss itu sendiri. Lalu bila demikian halnya, mengapa pula ia tidak bisa merasakannya? Hal ini terjadi oleh karena ia tidak menyadari identitas dirinya sendiri, sebaliknya ia malahan begitu terobsesi oleh dunia eksternal. Secara keliru ia mengira bahwa sumber kebahagiaan terletak pada dunia yang fenomenal ini.
-BABA
Saturday, June 21, 2008
Thoughts for the Day - 22nd June 2008 (Sunday)
Without the sanction of the Lord, man cannot achieve anything in the world. The Divine is the basis for everything. Man, however, is filled with conceit that he is the one who is doing everything. This pride is the cause of his ruin. It is the cause of his frustration and disappointment. Man today is basing his life on reliance on Nature and is hence forgetting God. This is a grievous mistake. You must place your faith in God, the Creator of the universe, and then enjoy what Nature provides. Faith in God is the primary requisite for man.
Tanpa adanya uluran-tangan dari Tuhan, manusia tidak akan bisa mencapai (keberhasilan) apapun di dunia ini. Divine adalah dasar dari segala-galanya. Akan tetapi, oleh karena kesombongannya, manusia merasa bahwa dialah yang melakukan segala-galanya. Kecongkakan/kesombongan seperti inilah yang menjadi faktor utama penyebab kegagalan manusia. Ia adalah sumber frustasi dan kekecewaannya. Dewasa ini manusia terlalu menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada Nature (alam) dan telah melupakan Tuhan. Ini sungguh salah. Justru engkau harus menempatkan keyakinanmu kepada-Nya, Sang pencipta alam semesta, serta menikmati hasil-hasil pemberian Nature. Keyakinan kepada Tuhan adalah syarat utama bagi manusia.
Tanpa adanya uluran-tangan dari Tuhan, manusia tidak akan bisa mencapai (keberhasilan) apapun di dunia ini. Divine adalah dasar dari segala-galanya. Akan tetapi, oleh karena kesombongannya, manusia merasa bahwa dialah yang melakukan segala-galanya. Kecongkakan/kesombongan seperti inilah yang menjadi faktor utama penyebab kegagalan manusia. Ia adalah sumber frustasi dan kekecewaannya. Dewasa ini manusia terlalu menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada Nature (alam) dan telah melupakan Tuhan. Ini sungguh salah. Justru engkau harus menempatkan keyakinanmu kepada-Nya, Sang pencipta alam semesta, serta menikmati hasil-hasil pemberian Nature. Keyakinan kepada Tuhan adalah syarat utama bagi manusia.
-BABA
Friday, June 20, 2008
Thoughts for the Day - 21st June 2008 (Saturday)
People engage in Bhajan (devotional singing), Pooja (ritualistic worship) and Dhyana (meditation). But these are only at the physical plane. But, unless these are imbued with sincerity, they will not elevate us to the Divine. The Lord judges you by the sincerity of your thoughts, not by the form of your worship. The Lord sees your bhakthi (devotion) and not shakthi (power). He cares for your gunas (qualities) and not your kula (caste or lineage). He looks at your chiththam (heart) and not at your viththam (wealth). You must strive to purify your heart and engage yourself in righteous action, with devotion and integrity. No Sadhana (spiritual discipline) is of any use if you are involved in sinful deeds.
Banyak orang yang aktif melakukan bhajan, pooja dan dhyana. Namun ketahuilah bahwa semua tindakan itu hanyalah di level fisik saja. Terkecuali bila semua praktek spiritual itu engkau lakukan dengan hati yang tulus, maka praktek-praktek tersebut tidak akan mengangkatmu ke level Divine. Tuhan menilaimu dari ketulusan pikiranmu dan bukan dengan cara engkau melakukan puja. Tuhan lebih mementingkan bhakti dan bukannya shakti. Beliau lebih peduli terhadap guna (kualitas) dan bukannya kula (kasta). Beliau melihat kepada chiththam (hati) dan bukannya viththam (kekayaan). Berusahalah untuk memurnikan hati nuranimu dan libatkanlah dirimu dalam perbuatan bajik disertai dengan bhakti dan integritas. Sadhana yang engkau lakukan menjadi tiada manfaatnya jikalau engkau terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh.
Banyak orang yang aktif melakukan bhajan, pooja dan dhyana. Namun ketahuilah bahwa semua tindakan itu hanyalah di level fisik saja. Terkecuali bila semua praktek spiritual itu engkau lakukan dengan hati yang tulus, maka praktek-praktek tersebut tidak akan mengangkatmu ke level Divine. Tuhan menilaimu dari ketulusan pikiranmu dan bukan dengan cara engkau melakukan puja. Tuhan lebih mementingkan bhakti dan bukannya shakti. Beliau lebih peduli terhadap guna (kualitas) dan bukannya kula (kasta). Beliau melihat kepada chiththam (hati) dan bukannya viththam (kekayaan). Berusahalah untuk memurnikan hati nuranimu dan libatkanlah dirimu dalam perbuatan bajik disertai dengan bhakti dan integritas. Sadhana yang engkau lakukan menjadi tiada manfaatnya jikalau engkau terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh.
-BABA
Thursday, June 19, 2008
Thoughts for the Day - 20th June 2008 (Friday)
Man should get rid of Ahamkara (the feeling that he is the doer). As long as the ego is dominant, the Atmic consciousness will not develop. The egoist cannot recognize the Atma. It is egoism that is at the root of all of man's troubles. It is delusion based on the misconception that the body is real and permanent. The truth is otherwise. One should recognize the evanescence of the body and the senses and control the desires prompted by the sense organs. Desires are insatiable. The pursuit of wealth, power and position can only end in misery. Instead, one should take refuge in God and dedicate all actions to the Divine.
Manusia harus sanggup untuk menyingkirkan Ahamkara (yaitu perasaan bahwa seolah-olah dialah yang menjadi pelaksana dari segala-galanya). Selama ego masih dominan, maka kesadaran Atmic tidak akan muncul. Seorang egois tidak bisa mengenali Atma. Egoisme merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sungguh semuanya itu merupakan delusi yang didasari oleh pandangan salah yang menganggap bahwa badan jasmani ini sebagai sesuatu yang real dan permanen. Justru kebenaran hakiki adalah sebaliknya. Engkau harus menyadari betapa rentannya badan fisik dan panca inderamu serta lakukanlah upaya untuk mengendali keinginan-keinginan yang timbul oleh orang-organ indera itu. Keinginan tiada mengenal kesudahan. Upaya untuk mengejar kekayaan, kekuasaan dan jabatan hanya akan berakhir dalam penderitaan. Sebaliknya, berlindunglah kepada Tuhan dan dedikasikanlah semua tindakanmu kepada-Nya.
Manusia harus sanggup untuk menyingkirkan Ahamkara (yaitu perasaan bahwa seolah-olah dialah yang menjadi pelaksana dari segala-galanya). Selama ego masih dominan, maka kesadaran Atmic tidak akan muncul. Seorang egois tidak bisa mengenali Atma. Egoisme merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sungguh semuanya itu merupakan delusi yang didasari oleh pandangan salah yang menganggap bahwa badan jasmani ini sebagai sesuatu yang real dan permanen. Justru kebenaran hakiki adalah sebaliknya. Engkau harus menyadari betapa rentannya badan fisik dan panca inderamu serta lakukanlah upaya untuk mengendali keinginan-keinginan yang timbul oleh orang-organ indera itu. Keinginan tiada mengenal kesudahan. Upaya untuk mengejar kekayaan, kekuasaan dan jabatan hanya akan berakhir dalam penderitaan. Sebaliknya, berlindunglah kepada Tuhan dan dedikasikanlah semua tindakanmu kepada-Nya.
-BABA
Wednesday, June 18, 2008
Thoughts for the Day - 19th June 2008 (Thursday)
In the spiritual sphere, the responsibility for success or failure is entirely one's own. You have no right to shift it on to others. The fire will rage only as long as it is fed with fuel. Hence, do not add fuel to the fire of the senses. Detach the mind from the evanescent and attach it to the eternal. Plant the seedling of Bhakthi (devotion) by the practice of Namasmarana (remembering the Lord's name). That seed will grow into a mighty tree with the branches of virtue, service, sacrifice, love, equanimity, fortitude, and courage.
Di dalam dunia spiritual, tanggung-jawab atas kesuksesan maupun kegagalan adalah sepenuhnya milik masing-masing individu. Tiada seorangpun yang berhak untuk mengalihkan tanggung-jawab tersebut kepada pihak lain. Api akan terus membara selama ia masih diasup dengan bahan bakar. Oleh sebab itu, janganlah menambahkan bahan-bakar ke dalam kobaran api panca indera. Lepaskanlah kemelekatan mind (batin)-mu terhadap hal-hal yang bersifat sementara dan sebaliknya tambatkanlah ia kepada sesuatu yang bersifat abadi. Tanamkanlah benih-benih Bhakti (devotion) melalui praktek Namasmarana. Kelak benih itu akan tumbuh besar menajdi pohon yang kuat dengan cabang-cabangnya berupa sifat luhur yang siap melayani, rela berkorban, cinta-kasih, keseimbangan batin, kesabaran dan keberanian.
-BABA
Tuesday, June 17, 2008
Thoughts for the Day - 18th June 2008 (Wednesday)
One may say, "I am striving to control the mind but it runs about like a mad dog. How am I to succeed?" Therein lies a mistake. The mind is intangible, but, it is attached to the senses. Hence, control the senses; let them not draw you into the objective world. By this means, the mind can be made an instrument of illumination and not of delusion. The truth will then dawn that this Atma (individual soul) is Brahman (God). The splendour of this awareness will drive away the darkness of ignorance, for, the Atma (Self) is jyothi (light) and there can be no Thamas (darkness of ignorance) where there is light.
Seseorang mungkin berkata, "Aku berusaha untuk mengendalikan mind, namun ia berkeliaran bagaikan seekor anjing liar. Bagaimanalah mungkin aku bisa berhasil?" Nah, disinilah terletak kesalahannya. Mind adalah sesuatu yang intangible (tak berwujud), namun ia terkait erat dan melekat pada senses (panca indera). Oleh sebab itu, kendalikanlah panca inderamu; dan janganlah membiarkannya menyeretmu kepada dunia obyektif. Dengan cara demikian, maka mind dapat dibuat menjadi instrumen untuk mencapai pencerahan dan bukannya delusi. Kebenaran akan terkuak bahwa sebenarnya Atma (jiwa individu) ini adalah Brahman (Tuhan). Kecemerlangan dari buah kesadaran ini akan mengusir kegelapan batin, sebab Atma adalah Jyothi (lentera) dan tidak akan ada Thamas (kegelapan batin) di kala Jyothi sedang bersinar terang.
Seseorang mungkin berkata, "Aku berusaha untuk mengendalikan mind, namun ia berkeliaran bagaikan seekor anjing liar. Bagaimanalah mungkin aku bisa berhasil?" Nah, disinilah terletak kesalahannya. Mind adalah sesuatu yang intangible (tak berwujud), namun ia terkait erat dan melekat pada senses (panca indera). Oleh sebab itu, kendalikanlah panca inderamu; dan janganlah membiarkannya menyeretmu kepada dunia obyektif. Dengan cara demikian, maka mind dapat dibuat menjadi instrumen untuk mencapai pencerahan dan bukannya delusi. Kebenaran akan terkuak bahwa sebenarnya Atma (jiwa individu) ini adalah Brahman (Tuhan). Kecemerlangan dari buah kesadaran ini akan mengusir kegelapan batin, sebab Atma adalah Jyothi (lentera) dan tidak akan ada Thamas (kegelapan batin) di kala Jyothi sedang bersinar terang.
-BABA
Monday, June 16, 2008
Thought for the Day - 17th June 2008 (Tuesday)
The mind can be used as a bridge to lead one from the manifest to the unmanifest, from the individual to the universal. Cleanse the mind and mould it into an instrument for loving thoughts and expansive ideas. Cleanse the tongue and use it for fostering fearlessness and friendship. Cleanse the hands; let them desist from injury and violence. Let them help, heal and guide. This is the highest sadhana (spiritual discipline)
Mind (pikiran) bisa digunakan sebagai jembatan untuk menyeberangimu dari sesuatu yang termanifestasi kepada yang tidak termanifestasikan, yaitu dari individu kepada universal. Sucikanlah mind dan bentuklah ia agar dapat menjadi instrumen bagi pemikiran-pemikiran yang berlandaskan cinta-kasih dan ekspansif. Suci & murnikanlah lidahmu dan gunakanlah ia untuk menjalin persahabatan. Suci & murnikanlah tangan-tanganmu dan pergunakanlah mereka sedemikian rupa sehingga terhindar dari perbuatan yang melukai maupun mencederai orang lain. Biarkanlah agar tanganmu senantiasa memberikan pertolongan, menyembuhkan dan menuntun. Inilah sadhana yang tertinggi.
Mind (pikiran) bisa digunakan sebagai jembatan untuk menyeberangimu dari sesuatu yang termanifestasi kepada yang tidak termanifestasikan, yaitu dari individu kepada universal. Sucikanlah mind dan bentuklah ia agar dapat menjadi instrumen bagi pemikiran-pemikiran yang berlandaskan cinta-kasih dan ekspansif. Suci & murnikanlah lidahmu dan gunakanlah ia untuk menjalin persahabatan. Suci & murnikanlah tangan-tanganmu dan pergunakanlah mereka sedemikian rupa sehingga terhindar dari perbuatan yang melukai maupun mencederai orang lain. Biarkanlah agar tanganmu senantiasa memberikan pertolongan, menyembuhkan dan menuntun. Inilah sadhana yang tertinggi.
-BABA
Sunday, June 15, 2008
Thought for the Day - 16th June 2008 (Monday)
An able monarch will have his ministers under control; he will direct them along proper lines and maintain the peace and security of the kingdom. On the other hand, a monarch who allows himself to be controlled by his ministers does not deserve the throne; he is spurned and disgraced. His kingdom has no peace and security. The mind is the monarch in man and the senses are the ministers. But, if the mind is enslaved by the senses, the individual knows no peace. Every Sadhaka (spiritual aspirant) who aspires to attain the Divine in him has, therefore, to earn mastery over the senses. That is the first step. The next one is the conquest of the mind, its elimination. The third is uprooting the Vasanas (innate tendencies), and the fourth, attainment of Jnana (spiritual wisdom). Only then can the awareness of the Atmic reality be gained.
Di dalam sebuah kerajaan (yang benar), maka semua menteri-menterinya akan patuh terhadap perintah sang raja dalam memelihara kedamaian dan keamanan kerajaan itu. Jikalau seorang raja membiarkan dirinya dikendalikan oleh menteri-menterinya, maka raja yang bersangkutan sebenarnya sama sekali tidak layak untuk menduduki singgasana-nya. Kerajaan seperti itu tidak akan damai dan juga tidak akan aman. Mind (batin) kita dapat diibaratkan sebagai monarki/sang raja, sedangkan panca indera kita adalah menteri-menterinya. Jikalau mind dibudaki oleh panca indera, maka si individu bersangkutan tidak akan merasakan kedamaian. Seritap sadhaka (aspiran spiritual) yang beraspirasi untuk mencapai Divinity (yang ada di dalam dirinya) haruslah berupaya untuk mengendalikan panca inderanya. Inilah langkah yang pertama. Sedangkan langkah yang kedua adalah penaklukkan mind itu sendiri, atau disebut juga tindakan eliminasi mind. Langkah ketiga adalah mencabut hingga ke akar-akarnya: Vasanas (innate tendencies - kecenderungan negatif yang ada di dalam diri masing-masing) serta langkah yang terakhir adalah pencapaian Jnana (kebijaksanaan spiritual). Hanya dengan demikianlah maka kesadaran Atmic akan dapat tercapai.
Di dalam sebuah kerajaan (yang benar), maka semua menteri-menterinya akan patuh terhadap perintah sang raja dalam memelihara kedamaian dan keamanan kerajaan itu. Jikalau seorang raja membiarkan dirinya dikendalikan oleh menteri-menterinya, maka raja yang bersangkutan sebenarnya sama sekali tidak layak untuk menduduki singgasana-nya. Kerajaan seperti itu tidak akan damai dan juga tidak akan aman. Mind (batin) kita dapat diibaratkan sebagai monarki/sang raja, sedangkan panca indera kita adalah menteri-menterinya. Jikalau mind dibudaki oleh panca indera, maka si individu bersangkutan tidak akan merasakan kedamaian. Seritap sadhaka (aspiran spiritual) yang beraspirasi untuk mencapai Divinity (yang ada di dalam dirinya) haruslah berupaya untuk mengendalikan panca inderanya. Inilah langkah yang pertama. Sedangkan langkah yang kedua adalah penaklukkan mind itu sendiri, atau disebut juga tindakan eliminasi mind. Langkah ketiga adalah mencabut hingga ke akar-akarnya: Vasanas (innate tendencies - kecenderungan negatif yang ada di dalam diri masing-masing) serta langkah yang terakhir adalah pencapaian Jnana (kebijaksanaan spiritual). Hanya dengan demikianlah maka kesadaran Atmic akan dapat tercapai.
-BABA
Saturday, June 14, 2008
Thoughts for the Day - 15th June 2008 (Sunday)
You have to remove wicked thoughts from your heart, plough the heart with good deeds, water it with love, manure it with faith, plant the saplings of the Name of the Lord, fence the field with discipline, destroy pests with Shraddha (dedication) and reap the harvest of Jnana (wisdom). Understand that God is in you, with you and around you. In fact, you are God.
Hendaknya engkau menyingkirkan pikiran-pikiran jahat dari dalam hatimu, garaplah hatimu dengan perbuatan-perbuatan bajik, siramilah dengan cinta-kasih, semailah dengan keyakinan dan tanamkan benih-benih berupa nama-nama Tuhan, pagarilah dengan disiplin, dan basmi hama-hama yang ada dengan Shraddha (tindakan dedikatif) dan engkau akan memanen Jnana (kebijaksanaan). Pahamilah bahwa Tuhan ada di dalam dirimu, bersamamu dan di sekitarmu. Sebab pada hakekatnya, engkau sebenarnya adalah Tuhan!
Hendaknya engkau menyingkirkan pikiran-pikiran jahat dari dalam hatimu, garaplah hatimu dengan perbuatan-perbuatan bajik, siramilah dengan cinta-kasih, semailah dengan keyakinan dan tanamkan benih-benih berupa nama-nama Tuhan, pagarilah dengan disiplin, dan basmi hama-hama yang ada dengan Shraddha (tindakan dedikatif) dan engkau akan memanen Jnana (kebijaksanaan). Pahamilah bahwa Tuhan ada di dalam dirimu, bersamamu dan di sekitarmu. Sebab pada hakekatnya, engkau sebenarnya adalah Tuhan!
-BABA
Friday, June 13, 2008
Thought for the Day - 14th June 2008 (Saturday)
Keep the mind away from base desires that run after fleeting pleasures. Turn your thoughts away from these and direct them towards the permanent bliss derivable from the knowledge of the Divinity within. Keep before the mind's eye the faults and failings of sensory pleasures and worldly happiness. Thus you will grow in discrimination, non-attachment and achieve spiritual progress.
Jauhkanlah batinmu dari keinginan-keinginan yang senantiasa mengejar kenikmatan yang bersifat sementara. Sebaliknya, palingkanlah pikiranmu dari hal-hal demikian dan arahkanlah ia kepada bliss permanen yang bakal diperoleh dari pengetahuan atas aspek Divinity yang ada di dalam dirimu. Senantiasa awasi dan perhatikan kegagalan dan kesalahan yang ditimbulkan oleh kenikmatan sensual serta kesenangan duniawi. Dengan praktek demikian, engkau akan semakin maju dalam kemampuan diskriminatif, praktek ketidak-melekatan serta mencapai kemajuan spiritual.
Jauhkanlah batinmu dari keinginan-keinginan yang senantiasa mengejar kenikmatan yang bersifat sementara. Sebaliknya, palingkanlah pikiranmu dari hal-hal demikian dan arahkanlah ia kepada bliss permanen yang bakal diperoleh dari pengetahuan atas aspek Divinity yang ada di dalam dirimu. Senantiasa awasi dan perhatikan kegagalan dan kesalahan yang ditimbulkan oleh kenikmatan sensual serta kesenangan duniawi. Dengan praktek demikian, engkau akan semakin maju dalam kemampuan diskriminatif, praktek ketidak-melekatan serta mencapai kemajuan spiritual.
-BABA
Thursday, June 12, 2008
Thought for the Day - 13th June 2008 (Friday)
There is no use arguing and quarrelling among yourselves about the nature of Divinity. Examine and experience, then you will know the Truth. Do not proclaim before you are convinced; be silent while you are still undecided or engaged in evaluating. Discard all evil in you before you can attempt to understand the mystery. And, when faith sprouts, fence it with discipline and self-control, so that the tender shoot might be guarded against cattle, the motley crowd of cynics and unbelievers. When your faith grows into a big tree, those very cattle can lie down in the shade that it will spread.
Tiada gunanya bagimu untuk berargumentasi maupun mempertikaikan tentang nature of Divinity (hal ihwal yang berkaitan dengan aspek Keilahian). Cobalah evaluasi dan alamilah sendiri, maka engkau akan mengetahui kebenaran-Nya. Engkau tidak usah membuat pernyataan apapun selama engkau masih belum yakin; ambillah sikap berdiam -diri selama engkau masih dalam tahap evaluasi. Sebelum mencoba untuk memahami misteri tentang Divinity, engkau perlu memastikan bahwa engkau sudah membersihkan kejahatan yang ada di dalam dirimu terlebih dahulu. Dan ketika keyakinanmu mulai tumbuh, maka engkau perlu menjaganya dengan disiplin dan pengendalian diri, agar tunas-tunas yang masih muda bisa terlindungi dari kawanan hewan (yaitu mereka yang sinis dan tidak percaya). Kelak ketika keyakinanmu sudah tumbuh menjadi pohon yang besar, maka engkau malah bisa menjadi pengayom (yang memberikan teduhan) kepada kawanan hewan-hewan itu.
Tiada gunanya bagimu untuk berargumentasi maupun mempertikaikan tentang nature of Divinity (hal ihwal yang berkaitan dengan aspek Keilahian). Cobalah evaluasi dan alamilah sendiri, maka engkau akan mengetahui kebenaran-Nya. Engkau tidak usah membuat pernyataan apapun selama engkau masih belum yakin; ambillah sikap berdiam -diri selama engkau masih dalam tahap evaluasi. Sebelum mencoba untuk memahami misteri tentang Divinity, engkau perlu memastikan bahwa engkau sudah membersihkan kejahatan yang ada di dalam dirimu terlebih dahulu. Dan ketika keyakinanmu mulai tumbuh, maka engkau perlu menjaganya dengan disiplin dan pengendalian diri, agar tunas-tunas yang masih muda bisa terlindungi dari kawanan hewan (yaitu mereka yang sinis dan tidak percaya). Kelak ketika keyakinanmu sudah tumbuh menjadi pohon yang besar, maka engkau malah bisa menjadi pengayom (yang memberikan teduhan) kepada kawanan hewan-hewan itu.
-BABA
Wednesday, June 11, 2008
Thought for the Day - 12th June 2008 (Thursday)
It is impossible to know the Truth of the Atma either through the study of manifold scriptures, or by the acquisition of scholarship, or by the sharpening of the intellect, or by the pursuit of dialectical discussions. A pure heart is the best mirror for the reflection of Truth. All the spiritual disciplines are for the purification of the heart. As soon as it becomes pure, the Truth flashes upon it in an instant.
Adalah tidak mungkin untuk mengetahui tentang kebenaran Atma baik itu melalui studi atas kitab-kitab suci, melalui gelar kesarjanaan, melalui penajaman intellect maupun melalui diskusi dialetikal. Satu-satunya jalan untuk mencapai pengetahuan tentang Atma adalah melalui hati yang murni, sebab hati yang suci & murni merupakan cermin yang terbaik untuk merefleksikan kebenaran. Segala bentuk disiplin spiritual adalah ditujukan demi untuk purifikasi hati (nurani). Setelah (hati) mengalami penyucian, maka kebenaran-pun akan terkuak dengan sendirinya.
Adalah tidak mungkin untuk mengetahui tentang kebenaran Atma baik itu melalui studi atas kitab-kitab suci, melalui gelar kesarjanaan, melalui penajaman intellect maupun melalui diskusi dialetikal. Satu-satunya jalan untuk mencapai pengetahuan tentang Atma adalah melalui hati yang murni, sebab hati yang suci & murni merupakan cermin yang terbaik untuk merefleksikan kebenaran. Segala bentuk disiplin spiritual adalah ditujukan demi untuk purifikasi hati (nurani). Setelah (hati) mengalami penyucian, maka kebenaran-pun akan terkuak dengan sendirinya.
-BABA
Tuesday, June 10, 2008
Thought for the Day - 11th June 2008 (Wednesday)
Every act done with the consciousness of the body is bound to be egoistic. Selfless Seva (service) can never be accomplished while being immersed in the body-consciousness. However, consciousness of Deva (God) instead of Deha (body) will bring forth the splendour of Prema (love). With that as inspiration and guide, man can achieve much good, without ever knowing or proclaiming that he is selfless in outlook. For him, it is all God's will, His work, His glory.
Setiap bentuk tindakan/perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran jasmaniah (body consciousness) pasti akan bersifat egoistic. Selfless Seva (pelayanan tanpa-pamrih) tidak akan bisa tercapai bila engkau masih terjerat di dalam body consciousness. Sebaliknya, consciousness of Deva (kesadaran Ilahiah) akan memunculkan kemuliaan Prema (cinta-kasih). Berbekal inspirasi dan pedoman ini, manusia akan mencapai banyak kebajikan, tanpa harus mengetahui ataupun menyatakan bahwa dirinya sudah bersifat selfless. Baginya, semuanya adalah kehendak Tuhan, kreasi dan kemuliaan-Nya.
Setiap bentuk tindakan/perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran jasmaniah (body consciousness) pasti akan bersifat egoistic. Selfless Seva (pelayanan tanpa-pamrih) tidak akan bisa tercapai bila engkau masih terjerat di dalam body consciousness. Sebaliknya, consciousness of Deva (kesadaran Ilahiah) akan memunculkan kemuliaan Prema (cinta-kasih). Berbekal inspirasi dan pedoman ini, manusia akan mencapai banyak kebajikan, tanpa harus mengetahui ataupun menyatakan bahwa dirinya sudah bersifat selfless. Baginya, semuanya adalah kehendak Tuhan, kreasi dan kemuliaan-Nya.
-BABA
Monday, June 9, 2008
Thought for the Day - 10th June 2008 (Tuesday)
When you meditate, the mind often runs after something else and tends to get diverted along other channels. You then have to plug that diversion by means of the Name and the Form and ensure that the steady flow of your thoughts towards the Lord is not interrupted; if it happens again, use the Name and the Form again, quickly. Do not allow the mind to go beyond the twin bunds, the Name on one side and the Form on the other! When your mind wanders away from the recital of the Name, take it to the picture of the Form. When it wanders away from the picture, lead it to the Name. Let it dwell either on the sweetness of the Name or the beauty of the Form. Treated thus, the mind can be easily tamed.
Ketika engkau sedang bermeditasi, sering sekali mind (pikiran) suka berkelana dan cenderung gampang terusik konsentrasinya. Bila hal ini terjadi, maka engkau harus menggunakan nama dan rupa (Tuhan) guna memastikan agar perhatian dan konsentrasimu terhadap-Nya tidak terganggu; dan jikalau gangguan itu kembali muncul, kembalikanlah perhatianmu kepada nama dan rupa itu sesegera mungkin. Janganlah membiarkanmu pikiranmu keluar dari kedua rel tersebut! Apabila pikiran sudah mulai ngelantur dari proses pengulangan nama-nama Tuhan, maka tambatkanlah mind ke wujud/rupa. Sebaliknya ketika ia mulai ngeloyor dari visualisasi wujud/rupa, maka kembalikanlah ia ke proses pengulangan nama-nama Tuhan! Biarkanlah mind/pikiranmu bermandikan manisnya nama serta indahnya wujud Sang Ilahi. Bila pikiran secara kontinu diperlakukan demikian, maka kelak ia akan menjadi gampang/mudah untuk dijinakkan.
Ketika engkau sedang bermeditasi, sering sekali mind (pikiran) suka berkelana dan cenderung gampang terusik konsentrasinya. Bila hal ini terjadi, maka engkau harus menggunakan nama dan rupa (Tuhan) guna memastikan agar perhatian dan konsentrasimu terhadap-Nya tidak terganggu; dan jikalau gangguan itu kembali muncul, kembalikanlah perhatianmu kepada nama dan rupa itu sesegera mungkin. Janganlah membiarkanmu pikiranmu keluar dari kedua rel tersebut! Apabila pikiran sudah mulai ngelantur dari proses pengulangan nama-nama Tuhan, maka tambatkanlah mind ke wujud/rupa. Sebaliknya ketika ia mulai ngeloyor dari visualisasi wujud/rupa, maka kembalikanlah ia ke proses pengulangan nama-nama Tuhan! Biarkanlah mind/pikiranmu bermandikan manisnya nama serta indahnya wujud Sang Ilahi. Bila pikiran secara kontinu diperlakukan demikian, maka kelak ia akan menjadi gampang/mudah untuk dijinakkan.
-BABA
Sunday, June 8, 2008
Thought for the Day - 9th June 2008 (Monday)
Mountains can be swept away sooner than deep-rooted Vasanas (impulses). But with willpower and zest, supported by faith, the Vasanas can be overcome in a short time. Only do not give up determination and faith, whatever the loss, hardship or obstacle. Vasanas have to be sublimated in order to achieve mastery over the mind.
Deretan pegunungan mungkin bisa terkikis & terhapus lebih cepat daripada Vasanas (dorongan-dorongan impuls/kebiasaan) yang sudah berakar secara kuat. Namun berkat kebulatan tekad dan upaya yang gigih serta didukung oleh keyakinan yang mantap, maka sebenarnya Vasanas sekalipun juga akan bisa teratasi dalam waktu yang singkat. Yang terpenting adalah bahwa engkau tidak boleh menyerah ketika berhadapan dengan kegagalan maupun hambatan-hambatan lainnya. Vasanas haruslah ditransformasi sedemikian rupa agar engkau dapat mencapai mastery (penguasaan) atas mind (batin)mu sendiri.
Deretan pegunungan mungkin bisa terkikis & terhapus lebih cepat daripada Vasanas (dorongan-dorongan impuls/kebiasaan) yang sudah berakar secara kuat. Namun berkat kebulatan tekad dan upaya yang gigih serta didukung oleh keyakinan yang mantap, maka sebenarnya Vasanas sekalipun juga akan bisa teratasi dalam waktu yang singkat. Yang terpenting adalah bahwa engkau tidak boleh menyerah ketika berhadapan dengan kegagalan maupun hambatan-hambatan lainnya. Vasanas haruslah ditransformasi sedemikian rupa agar engkau dapat mencapai mastery (penguasaan) atas mind (batin)mu sendiri.
-BABA
Saturday, June 7, 2008
Thought for the Day 8th June 2008 (Sunday)
There are four types of people: the 'dead', who deny the Lord and declare that they alone exist, independent, free, self-regulating and self-directed; the 'sick', who call upon the Lord whenever some calamity befalls them or whenever they feel temporarily deserted by the usual sources of succour; the 'dull', who know that God is the eternal companion, but who remember it only off and on, when the idea presents itself powerfully; and lastly, the 'healthy', who , have steady faith in the Lord and who live in His comforting presence always.
Terdapat empat macam/tipe manusia, yakni: pertama adalah tipe yang 'mati', yaitu mereka yang menyangkal eksistensi Tuhan dan menyatakan bahwa hanya diri mereka saja yang eksis, independen, bebas, dan otonom. Tipe yang kedua adalah yang 'sakit', yaitu mereka yang memanggil Tuhan hanya jikalau terjadi kemalangan yang menimpanya atau ketika mereka secara temporer merasa sedang terabaikan. Kemudian tipe manusia yang ketiga adalah jenis yang 'dull' (bodoh), yaitu mereka yang sudah menyadari bahwa Tuhan adalah pendamping yang sejati dan abadi, namun orang-orang dari golongan ini daya ingatnya terhadap Tuhan bersifat on and off. Dan yang terakhir adalah manusia dari golongan 'sehat', yaitu mereka yang memiliki keyakinan yang mantap terhadap Tuhan dan yang senantiasa hidup dalam kehadiran-Nya.
Terdapat empat macam/tipe manusia, yakni: pertama adalah tipe yang 'mati', yaitu mereka yang menyangkal eksistensi Tuhan dan menyatakan bahwa hanya diri mereka saja yang eksis, independen, bebas, dan otonom. Tipe yang kedua adalah yang 'sakit', yaitu mereka yang memanggil Tuhan hanya jikalau terjadi kemalangan yang menimpanya atau ketika mereka secara temporer merasa sedang terabaikan. Kemudian tipe manusia yang ketiga adalah jenis yang 'dull' (bodoh), yaitu mereka yang sudah menyadari bahwa Tuhan adalah pendamping yang sejati dan abadi, namun orang-orang dari golongan ini daya ingatnya terhadap Tuhan bersifat on and off. Dan yang terakhir adalah manusia dari golongan 'sehat', yaitu mereka yang memiliki keyakinan yang mantap terhadap Tuhan dan yang senantiasa hidup dalam kehadiran-Nya.
-BABA
Friday, June 6, 2008
Thought for the Day - 7th June 2008 (Saturday)
Service is God. Why has God endowed man with a body, a mind and an intellect? Feel and empathise with the suffering through your mind, plan using your intelligence and use the body to serve those are in need. Offer that act of service to God; worship Him with that flower. Put into daily practice the ideals that Sai has been propagating and make them known all over the world by standing forth as living examples of their greatness.
Pelayanan adalah Tuhan. Mengapa manusia dibekali dengan badan jasmani, mind (batin) dan intellect (buddhi/kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan salah)? Tujuannya adalah agar kita bisa merasakan dan mengembangkan sikap empatik terhadap penderitaan (orang lain) melalui mind, merencanakan sesuatu dengan intelligence (buddhi) dan menggunakan badan jasmani kita untuk melayani mereka yang membutuhkan pertolongan. Persembahkanlah tindakan pelayananmu itu terhadap Tuhan; beribadahlah kepada-Nya dengan persembahan berupa perbuatan bajikmu itu. Praktekkanlah idealisme-idealisme yang diajarkan oleh Sai dalam kehidupanmu sehari-hari dan jadilah contoh suri teladan atas kemuliaan ajaran-ajaran-Nya.
Pelayanan adalah Tuhan. Mengapa manusia dibekali dengan badan jasmani, mind (batin) dan intellect (buddhi/kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan salah)? Tujuannya adalah agar kita bisa merasakan dan mengembangkan sikap empatik terhadap penderitaan (orang lain) melalui mind, merencanakan sesuatu dengan intelligence (buddhi) dan menggunakan badan jasmani kita untuk melayani mereka yang membutuhkan pertolongan. Persembahkanlah tindakan pelayananmu itu terhadap Tuhan; beribadahlah kepada-Nya dengan persembahan berupa perbuatan bajikmu itu. Praktekkanlah idealisme-idealisme yang diajarkan oleh Sai dalam kehidupanmu sehari-hari dan jadilah contoh suri teladan atas kemuliaan ajaran-ajaran-Nya.
-BABA
Thursday, June 5, 2008
Thought for the Day - 6th June 2008 (Friday)
God certainly listens to the prayers of His devotees. Some people hesitate to pray lest their prayers should cause inconvenience to God. They are mistaken in their belief, for God can never be put to any inconvenience whatsoever. God has no suffering at all. He considers the devotees' happiness as His own.
Tuhan pasti mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh bhakta-bhakta-Nya. Ada beberapa orang yang merasa ragu-ragu untuk berdoa oleh sebab mereka mengira bahwa doa-doa yang dihaturkannya itu akan menganggu kenyamanan-Nya. Pandangan seperti ini sungguh salah, sebab Tuhan tidak mungkin akan terganggu dalam cara bagaimanapun juga. Beliau tak mengenal penderitaan sama sekali. Beliau justru menganggap kebahagiaan para bhakta sebagai kebahagiaan-Nya sendiri.
Tuhan pasti mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh bhakta-bhakta-Nya. Ada beberapa orang yang merasa ragu-ragu untuk berdoa oleh sebab mereka mengira bahwa doa-doa yang dihaturkannya itu akan menganggu kenyamanan-Nya. Pandangan seperti ini sungguh salah, sebab Tuhan tidak mungkin akan terganggu dalam cara bagaimanapun juga. Beliau tak mengenal penderitaan sama sekali. Beliau justru menganggap kebahagiaan para bhakta sebagai kebahagiaan-Nya sendiri.
-BABA
Wednesday, June 4, 2008
2nd to 5th June 2008
2nd of June (Monday)
Who are My real Bhaktas (devotees)? Those with Viveka (discrimination), Vairagya (renunciation), Vijnana (wisdom) and Vinaya (humility), who are aware of the knowledge of Reality, who are always immersed in the contemplation of My Leela (glories), who dwell on My name at all times and under all circumstances and who shed tears of love whenever the Lord's name is heard from any lip - they are My genuine Bhaktas.
Siapakah bhakta-Ku yang sebenarnya? Yaitu mereka yang memiliki Viveka (kemampuan diskriminatif untuk membedakan antara yang baik dan salah), Vairagya (ketidak-melekatan), Vijnana (kebijaksanaan) dan Vinaya (kerendahan-hati). Bhakta-bhakta sejati adalah mereka yang telah memiliki pengetahuan/kesadaran tentang Realitas, yang senantiasa berkontemplasi terhadap kemuliaan-Ku, yang selalu merenungkan nama-Ku setiap saat dan dalam keadaan yang bagaimanapun juga serta yang menitikkan air mata cinta-kasih setiap kali nama Tuhan terdengar oleh mereka.
-BABA
Atma Jnana (spiritual wisdom) can be won only by giving up Vasanas (impulses), transcending the mind and analysing one's experiences to grasp the Reality. Without these three, Jnana will not dawn. Firstly, give up all impure impulses and cultivate the pure ones. Then gradually try to give up even these and render the mind completely devoid of any desire. Shanti (peace) thus attained is effulgent, blissful and filled with wisdom. It is indeed the experience of Godhead.
Atma Jnana (kebijaksanaan spiritual) hanya bisa diperoleh dengan jalan meninggalkan Vasanas (dorongan-dorongan impuls), melampaui mind serta melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalamanmu guna menggapai Realitas. Tanpa melalui langkah-langkah itu, maka Jnana tidak mungkin akan tercapai. Terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melepaskan semua impuls/dorongan yang tidak suci dan sebaliknya memupuk yang lebih murni/suci. Kemudian secara perlahan, kelak semuanya itu juga harus ditinggalkan dan mind kita perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terbebaskan dari segala bentuk keinginan. Dengan demikian, maka Shanti (kedamaian) yang tercapai akan penuh dengan kebijaksanaan, effulgent (mulia) dan blissful.
3rd June 2008 (Tuesday)
Atma Jnana (spiritual wisdom) can be won only by giving up Vasanas (impulses), transcending the mind and analysing one's experiences to grasp the Reality. Without these three, Jnana will not dawn. Firstly, give up all impure impulses and cultivate the pure ones. Then gradually try to give up even these and render the mind completely devoid of any desire. Shanti (peace) thus attained is effulgent, blissful and filled with wisdom. It is indeed the experience of Godhead.
Atma Jnana (kebijaksanaan spiritual) hanya bisa diperoleh dengan jalan meninggalkan Vasanas (dorongan-dorongan impuls), melampaui mind serta melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalamanmu guna menggapai Realitas. Tanpa melalui langkah-langkah itu, maka Jnana tidak mungkin akan tercapai. Terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melepaskan semua impuls/dorongan yang tidak suci dan sebaliknya memupuk yang lebih murni/suci. Kemudian secara perlahan, kelak semuanya itu juga harus ditinggalkan dan mind kita perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terbebaskan dari segala bentuk keinginan. Dengan demikian, maka Shanti (kedamaian) yang tercapai akan penuh dengan kebijaksanaan, effulgent (mulia) dan blissful.
-BABA
One may ask, if God is controlling everything, what is the need for human effort? Yes, God is all powerful. But at the same time human effort is also necessary, for without it man cannot enjoy the benefit of God's grace. It is only when you have both Divine grace and human endeavour that you can experience bliss, just as you can enjoy the breeze of a fan only when you have both a fan and electric power to operate it.
Engkau mungkin bertanya, jikalau Tuhan mengendalikan segala-galanya, lalu untuk apa manusia berupaya? Memang betul bahwa Tuhan Maha Kuasa. Namun manusia juga perlu berusaha, sebab bila tanpa usaha, manusia tidak bisa memetik manfaat yang bakal diperolehnya dari Rahmat Ilahi. Bliss hanya bisa dirasakan ketika engkau memiliki Divine grace dan juga human endeavour (upaya/usaha); persis seperti halnya engkau baru bisa menikmati hembusan angin dari kipas-angin jikalau engkau memiliki kipas-angin dan arus listrik untuk menggerakkannya.
4th June 2008 (Wednesday)
One may ask, if God is controlling everything, what is the need for human effort? Yes, God is all powerful. But at the same time human effort is also necessary, for without it man cannot enjoy the benefit of God's grace. It is only when you have both Divine grace and human endeavour that you can experience bliss, just as you can enjoy the breeze of a fan only when you have both a fan and electric power to operate it.
Engkau mungkin bertanya, jikalau Tuhan mengendalikan segala-galanya, lalu untuk apa manusia berupaya? Memang betul bahwa Tuhan Maha Kuasa. Namun manusia juga perlu berusaha, sebab bila tanpa usaha, manusia tidak bisa memetik manfaat yang bakal diperolehnya dari Rahmat Ilahi. Bliss hanya bisa dirasakan ketika engkau memiliki Divine grace dan juga human endeavour (upaya/usaha); persis seperti halnya engkau baru bisa menikmati hembusan angin dari kipas-angin jikalau engkau memiliki kipas-angin dan arus listrik untuk menggerakkannya.
-BABA
Great sages, out of great sympathy for their fellowmen, laid down rules, regulations, limits and directions for daily life and conduct, so that man's mind may not turn against him, but may turn towards the ideals of Sathya (Truth), Dharma (Righteousness), Shanti (Peace) and Prema (Love). They declared that every act must be evaluated and approved only if it cleanses the emotions and passions, otherwise it has to be cast aside. Bhaavashuddhi (purification of mental disposition) is the fruit of Karma (action) and any act that befogs the Bhaava (thought process) or excites it into Rajas (passion) or demeans it into Thamas (inertia) has to be avoided.
Oleh karena dorongan simpatinya terhadap sesama umat manusia, para rishi telah mewariskan kepada kita aturan-aturan, batasan-batasan serta arahan untuk kehidupan dan perilaku sehari-hari. Tujuannya adalah supaya batin manusia tidak berpaling dan menentang Tuhan, melainkan justru berpaling kepada jalan Sathya (kebenaran), Dharma (kebajikan), Shanti (kedamaian) dan Prema (cinta-kasih). Mereka (para rishi/sadhu) telah menyatakan bahwa setiap bentuk tindakan kita haruslah dievaluasi dan kita hanya boleh menyetujui tindakan yang bisa membersihkan emosi dan keinginan kita; selain daripada itu, maka tindakan yang lain haruslah ditinggalkan. Bhaavashuddhi (purifikasi mental) merupakan buah dari Karma (tindakan) dan setiap tindakan yang berpotensi mengaburkan Bhaava (thought process) atau yang justru membangkitkan sifat-sifat Rajasik maupun Thamasik haruslah dihindari.
5th June 2008 (Thursday)
Great sages, out of great sympathy for their fellowmen, laid down rules, regulations, limits and directions for daily life and conduct, so that man's mind may not turn against him, but may turn towards the ideals of Sathya (Truth), Dharma (Righteousness), Shanti (Peace) and Prema (Love). They declared that every act must be evaluated and approved only if it cleanses the emotions and passions, otherwise it has to be cast aside. Bhaavashuddhi (purification of mental disposition) is the fruit of Karma (action) and any act that befogs the Bhaava (thought process) or excites it into Rajas (passion) or demeans it into Thamas (inertia) has to be avoided.
Oleh karena dorongan simpatinya terhadap sesama umat manusia, para rishi telah mewariskan kepada kita aturan-aturan, batasan-batasan serta arahan untuk kehidupan dan perilaku sehari-hari. Tujuannya adalah supaya batin manusia tidak berpaling dan menentang Tuhan, melainkan justru berpaling kepada jalan Sathya (kebenaran), Dharma (kebajikan), Shanti (kedamaian) dan Prema (cinta-kasih). Mereka (para rishi/sadhu) telah menyatakan bahwa setiap bentuk tindakan kita haruslah dievaluasi dan kita hanya boleh menyetujui tindakan yang bisa membersihkan emosi dan keinginan kita; selain daripada itu, maka tindakan yang lain haruslah ditinggalkan. Bhaavashuddhi (purifikasi mental) merupakan buah dari Karma (tindakan) dan setiap tindakan yang berpotensi mengaburkan Bhaava (thought process) atau yang justru membangkitkan sifat-sifat Rajasik maupun Thamasik haruslah dihindari.
-BABA
Sunday, June 1, 2008
Thought for the Day - 1st June 2008
The Lord will protect in all ways and at all times those who worship Him in complete and uncontaminated Bhakti (devotion), just like a mother who protects her infants, a cow protects her calves and the eyelids protect the eyes, effortlessly and automatically. When the infant grows up, the mother need not pay as much attention to its safety as before. So, too, the Lord does not pay much attention to the Jnani (man of wisdom).
Tuhan akan melindungi setiap saat dan dengan berbagai macam cara bagi mereka yang beribadah secara total kepada-Nya disertai dengan devotion (bhakti) yang tidak terkontaminasi. Ibaratnya seperti seorang ibu yang melindungi bayinya, seekor lembu yang melindungi anaknya dan juga seperti kelopak mata yang melindungi bola mata secara otomatis. Ketika si bayi sudah tumbuh dewasa, maka sang ibu tidak perlu lagi memberi perhatian yang terlalu besar kepadanya. Demikian pula, Tuhan tidak perlu lagi terlalu memberi perhatian terhadap mereka yang sudah mencapai tahapan Jnani (manusia yang bijak).