Sunday, July 27, 2025

Thought for the Day - 27th July 2025 (Sunday)



Gopikas were devotees with equal-mindedness. They had sacred hearts. They had no attachment at all. They had no ego in them. They were practising dharma in daily life, and their lives were ideal for others. Today, we are trying to live like gopikas and the gopalas. Such things can only be experienced, but not described. Our life is full of desires. On the day when the desires disappear, we will have a sacred heart. Jealousy and ego occupy a very important position. So long as we are filled with jealousy and ego, we cannot understand the sacred aspects of Krishna. Today, you must develop such single-minded devotion that you think of God as the only one reality. We should not make an attempt to get the grace of God for purely selfish reasons. We must make an attempt to recognise divinity in all and God’s omnipresence. Our life must be dedicated to recognising divinity in everyone and to earning the grace of the Lord.


- Ch 13, Summer Showers 1978

You should rise from the level of worldly attachments to the level of selfless love for God. 


Para Gopika adalah bhakta yang memiliki keseimbangan batin. Hati mereka suci dan murni. Mereka tidak memiliki keterikatan apa pun. Mereka juga tidak memiliki ego dalam diri mereka. Mereka menjalankan dharma dalam kehidupan sehari-hari, dan kehidupan mereka menjadi teladan bagi orang lain. Saat ini, kita berusaha untuk hidup seperti halnya para Gopika dan Gopala. Namun, hal-hal seperti itu hanya bisa dialami, bukan dideskripsikan. Kehidupan kita saat ini dipenuhi oleh keinginan. Pada hari ketika semua keinginan itu lenyap, barulah kita akan memiliki hati yang suci. Rasa iri dan ego sangat mendominasi dalam hidup ini. Selama kita masih dipenuhi dengan iri hati dan ego, kita tidak akan bisa memahami aspek kesucian dari Krishna. Hari ini, anda harus mengembangkan bhakti yang teguh dan tak tergoyahkan, dengan memikirkan Tuhan sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Kita tidak seharusnya berusaha mendapatkan anugerah Tuhan hanya demi kepentingan pribadi. Sebaliknya, kita harus berusaha mengenali keilahian dalam semua makhluk dan menyadari bahwa Tuhan hadir di mana-mana. Kehidupan kita harus dipersembahkan untuk mengenali keilahian dalam setiap makhluk dan untuk meraih anugerah Tuhan. 


- Ch 13, Summer Showers 1978

Engkau harus bangkit dari level keterikatan duniawi menuju level kasih tanpa pamrih pada Tuhan.

Saturday, July 26, 2025

Thought for the Day - 26th July 2025 (Saturday)



Not being able to recognise your innate divinity is ignorance. You have to enquire into the reason for this ignorance. This is mainly because you follow the pravritti marga (outward path) all your life under the influence of the sense organs, which are projected outward. You are not making any effort to follow the nivritti marga (inward journey). All that you see, hear or think about are outward acts. In fact, everything that you do is outward. Thus, you are fully engrossed in the outward activities and are completely neglecting the inward path. Embodiments of Love! You need to make an effort to understand the value of man. In fact, there is no divinity other than that present in man. Thus, first, it is necessary to understand man before you can even attempt to understand divinity. In fact, there is no difference between man and divinity. Man is God; God is man. There is only a difference of perception. You see the world with a worldly view and do not recognise the divinity that pervades it. You have to make an effort to change your vision from outward to inward to perceive this divinity.


- Divine Discourse, Jan 01, 2000

You will attain true and everlasting bliss only when you turn your vision inward and experience the Atma.

 

Tidak mampu menyadari keilahian yang melekat pada dirimu adalah sebuah kebodohan. Engkau harus menyelidiki alasan di balik kebodohan ini. Kebodohan ini utamanya disebabkan karena engkau mengikuti pravritti marga (pandangan keluar diri) sepanjang hidupmu dibawah pengaruh dari organ-organ indra, yang diproyeksikan keluar diri. Engkau tidak melakukan usaha apapun untuk mengikuti nivritti marga (perjalanan ke dalam diri). Semua yang engkau lihat, dengar atau pikirkan hanyalah tentang perbuatan lahiriah. Sesungguhnya, segala yang engkau lakukan adalah bersifat lahiriah. Jadi, engkau sepenuhnya tenggelam dalam perbuatan-perbuatan lahiriah dan seluruhnya mengabaikan jalan ke dalam diri atau batiniah. Perwujudan kasih! Engkau perlu melakukan sebuah usaha untuk memahami nilai manusia. Sesungguhnya, tidak ada keilahian selain yang bersemayam dalam diri manusia. Jadi, pertama-tama yang dibutuhkan adalah memahami manusia sebelum engkau dapat mencoba untuk berusaha memahami Tuhan. Sejatinya, tidak ada perbedaan diantara manusia dan Tuhan. Manusia adalah Tuhan; Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Hanya ada perbedaan persepsi saja. Engkau melihat dunia dengan pandangan duniawi dan tidak menyadari keilahian yang meliputi semuanya. Engkau harus melakukan usaha untuk merubah pandanganmu dari lahiriah menuju batiniah untuk menerima keilahian ini.


- Divine Discourse, 01 Januari 2000

Engkau akan mencapai kebahagiaan yang sejati dan abadi hanya ketika engkau mengarahkan pandanganmu ke dalam diri dan mengalami Atma.

Friday, July 25, 2025

Thought for the Day - 25th July 2025 (Friday)



The Atma is the Truth, and you are the Atma. It is when this truth is experienced that man can realise the transcendental unity that subsumes everything. For this purpose, an enquiry has to be made into Advaita trayam (three aspects of nondualism). These three are: Bhava-advaitam, Kriya-advaitam and Padartha-advaitam. Bhava-advaitam is the enquiry which leads to recognition of the common basis of different objects like cloth and thread, namely, cotton. To recognise the One that underlies the Many is Bhava-advaitam. This involves recognition of the one indwelling Spirit which is common to all beings. Kriya-advaitam relates to the performance of actions, with purity of mind, speech and body, in a spirit of dedication to God. Padartha-advaitam calls for recognition of the elements that are common to all objects and all living things. The Pancha-pranas (five vital airs) and the Pancha-bhutas (five basic elements—earth, water, fire, air and ether) are to be found in all beings. The understanding of these three aspects of oneness will lead to a realisation of the basic unity of the cosmos.


- Divine Discourse, Jul 23, 1987

The Atma that is the Reality in everyone is, in truth, the One manifesting as the Many.


Atma adalah kebenaran, dan engkau adalah Atma. Adalah ketika kebenaran ini dialami maka manusia dapat menyadari kesatuan yang bersifat transcendental yang meliputi semuanya. Untuk alasan inilah, sebuah penyelidikan harus dilakukan pada Advaita trayam (tiga aspek dari tanpa dualitas). Ketiga aspek itu meliputi: Bhava-advaitam, Kriya-advaitam dan Padartha-advaitam. Bhava-advaitam adalah penyelidikan yang menuntun pada pengenalan pada dasar yang sama pada berbagai objek yang berbeda seperti halnya kain dan benang, yaitu kapas. Untuk menyadari kesatuan itu yang mendasari pada yang banyak adalah inti dari Bhava-advaitam. Ini melibatkan pengenalan terhadap satu jiwa yang bersemayam dan sama dalam semua makhluk. Kriya-advaitam terkait pada pelaksanaan perbuatan, dengan kesucian pikiran, perkataan dan tubuh, dalam semangat dedikasi pada Tuhan. Padartha-advaitam menuntut pada pengenalan pada unsur-unsur yang sama pada semua objek dan semua makhluk hidup. Pancha-prana (lima udara kehidupan) dan Pancha-bhuta (lima unsur dasar  -- tanah, air, api, udara dan ether) ditemukan dalam semua makhluk. Pemehaman pada ketiga aspek kesatuan ini akan menuntun pada sebuah kesadaran tentang kesatuan dasar dari seluruh kosmos.


- Divine Discourse, 23 Juli 1987

Atma yang merupakan diri sejati dalam diri setiap orang, kebenarannya adalah, Yang Esa mewujud sebagai yang banyak.

Thursday, July 24, 2025

Thought for the Day - 24th July 2025 (Thursday)



Lotuses are the ornaments of lakes. Houses and buildings are the ornaments of villages and towns. The waves of the ocean are its ornaments. The moon beautifies the sky. Character is the true ornament of man. The loss of this ornament is the source of all his suffering and misery. Man does not realise the purpose for which he has been created by God. God’s creation is endowed with several truths, mysteries and ideals. But man has forgotten these ideals. He is unable to appreciate the significance of his legacy. Of all the powers in the world, human power is the greatest. In fact, it is man who assesses the value of all the materials of the world. Who gives value to a diamond or, for that matter, to gold? Who attaches value to land? Is it not man? Man assigns value to everything in this world, but he is unable to recognise his own value. Then how can he ever understand the value of divinity? First of all, man has to realise the value of human life. Only then will he be in a position to understand divinity.


- Divine Discourse, Jan 01, 2000

It is virtues alone that lend value to human life, and it is qualities like compassion, forbearance, and sacrifice that make human life precious. 


Bunga lotus adalah perhiasan dari danau. Rumah dan bangunan adalah perhiasan dari desa dan kota. Gelombang lautan adalah perhiasan lautan. Bulan mempercantik langit. Karakter adalah perhiasan sejati dari manusia. Kehilangan perhiasan ini yang menjadi sumber dari semua penderitaan dan kesedihan yang dialami manusia. Manusia tidak menyadari tujuan dari dirinya yang diciptakan oleh Tuhan. Ciptaan Tuhan diberkati dengan beberapa kebenaran, misteri, dan ideal. Namun manusia telah melupakan ideal-ideal ini. Hal ini membuat manusia tidak mampu untuk menghargai makna dari warisannya. Dari semua kekuatan yang ada di dunia, kekuatan manusia adalah yang paling hebat. Sejatinya, adalah manusia yang memberikan nilai pada semua benda yang ada di dunia. Siapakah yang memberikan nilai pada berlian, atau pada emas? Siapa yang terikat pada nilai tanah? Bukankah itu manusia? Manusia memberikan nilai pada segala sesuatu di dunia, namun manusia tidak mampu untuk menyadari nilai pada dirinya sendiri. Kemudian bagaimana manusia bisa memahami nilai pada keilahian? Pertama-tama, manusia harus menyadari nilai pada hidup manusia. Hanya dengan demikian manusia ada dalam posisi untuk memahami keilahian.


- Divine Discourse, 01 Januari 2000

Hanya kebajikan yang memberikan nilai pada hidup manusia, dan sifat seperti welas asih, ketabahan, dan pengorbanan yang membuat hidup manusia berharga.

Wednesday, July 23, 2025

Thought for the Day - 23rd July 2025 (Wednesday)



People of yore enjoyed peace and happiness a thousand-fold compared to the present generation. They were selfless, egoless, and simple. They always had liberation as the goal of their lives. To enjoy the same kind of peace and joy, we must strive to foster humanism first. Mind plays a prominent role in the life of man. Mind keeps on playing tricks with humanity. It can do good and bad. It is the cause for sorrow as well as happiness. Mind is both negative and positive. The principle of the mind is the most important thing that man must know about. It is the needle-like thorn that gives pain; and it is the same needle that removes the thorn. It is fire that dispels darkness and cooks food. It is the same fire that burns and destroys things. Mana eva manushyanam karanam bandha mokshayoh (The mind alone is responsible for both bondage and liberation). It is the mind that is responsible for all our joys, sorrows, sins, merits, good or bad. We must try to understand the traits of the mind, and we must strive to take hold of it.


- Divine Discourse, Jan 12, 1984

Riches and pomp are ephemeral, like passing clouds. Virtues are our real wealth. To forget virtues is not a symbol of civilised life!


Manusia pada jaman dahulu menikmati kedamaian dan kebahagiaan seribu kali lipat dibandingkan dengan generasi pada saat sekarang. Manusia jaman dahulu tidak mementingkan diri sendiri, tanpa ego, dan sederhana. Mereka selalu memiliki pembebasan sebagai tujuan dari hidup mereka. Untuk bisa menikmati jenis kedamaian dan suka cita yang sama, pertama kita harus berusha untuk mengembangkan kemanusiaan. Pikiran memainkan peran yang begitu penting dalam hidup manusia. Pikiran terus memainkan tipu daya dengan manusia. Pikiran dapat melakukan kebaikan dan keburukan. Maka dari itu, pikiran adalah penyebab dari penderitaan dan juga kebahagiaan. Pikiran adalah keduanya yaitu positif dan negatif. Prinsip dari pikiran yang paling penting yang manusia harus pahami. Ini seperti duri yang seperti jarum yang menimbulkan rasa sakit; dan dengan jarum yang sama digunakan untuk mengeluarkan duri tersebut. Adalah api yang digunakan untuk menghilangkan kegelapan dan memasak makanan. Api yang sama juga dapat membakar dan menghancurkan segalanya. Mana eva manushyanam karanam bandha mokshayoh (hanya pikiran yang bertanggung jawab untuk perbudakan dan pembebasan). Pikiran yang bertanggung jawab untuk segala suka cita, penderitaan, dosa, pahala, kebaikan atau keburukan. Kita harus mencoba untuk memahami sifat dari pikiran, dan kita harus berusaha keras untuk menguasainya.


- Divine Discourse, 12 Januari 1984

Kekayaan dan kegemahan itu adalah fana, seperti awan yang berlalu. Kebajikan adalah kekayaan kita sejati. Dengan melupakan kebajikan adalah bukan simbul dari kehidupan yang beradab!

Tuesday, July 22, 2025

Thought for the Day - 22nd July 2025 (Tuesday)



The age span, 16-30 years, is crucial, for that is the period when life adds sweetness to itself, when talents, skills, and attitudes are accumulated, sublimated and sanctified. If the tonic of unselfish seva (service) is administered to the mind during this period, life’s mission is fulfilled, for the process of sublimation and sanctification will be accelerated by this tonic. Do not serve for the sake of reward, attracting attention, or earning gratitude, or from a sense of pride at your own superiority in skill, wealth, status or authority. Serve because you are urged by love. When you succeed, ascribe the success to the grace of God, who urged you on, as Love within you. When you fail, ascribe the failure to your own inadequacy, insincerity or ignorance. Examine the springs of action, disinfect them from all traces of ego. Do not throw the blame on the recipients of the seva, or on your collaborators and coworkers, or on God.


- Divine Discourse, May 19, 1969

Man should serve and worship God when he is walking on two feet; he should not postpone it to old age when he is virtually walking on three feet.


Rentang usia hidup 16-30 tahun adalah bersifat krusial, karena pada usia tersebut ketika hidup ditambahkan dengan keindahan di dalamnya, ketika bakat, ketrampilan, dan sikap terakumulasi, dimurnikan dan disucikan. Jika tonik berupa pelayanan tanpa pamrih (seva) ditanamkan pada pikiran selama rentang usia ini, misi hidup akan terpenuhi karena proses pemurnian dan penyucian akan dipercepat oleh tonik ini. Jangan melayani untuk mendapatkan pamrih, menarik perhatian, atau mendapatkan ucapan terima kasih, atau dari rasa bangga pada keunggulan diri dalam hal ketrampilan, kekayaan, status, atau kewenangan. Lakukan pelayanan karena engkau di dorong oleh kasih. Ketika engkau berhasil, anggaplah keberhasilan itu karena karunia Tuhan, yang mendorongmu sebagai kasih yang ada dalam dirimu. Ketika engkau gagal, anggaplah kegagalan itu sebagai ketidakmampuan, ketidaktulusan atau ketidaktahuanmu sendiri. Periksa sumber-sumber perbuatan, bersihkan semuanya dari segala bentuk jejak-jejak ego. Jangan melemparkan kesalahan pada penerima seva, atau pada rekan dan teman kerja, atau pada Tuhan.


- Divine Discourse, 19 Mei 1969

Manusia harus melayani dan memuja Tuhan ketika dia sedang berjalan dengan dua kaki; manusia seharusnya tidak menunda sampai usia tua ketika dia berjalan dengan tiga kaki.

Monday, July 21, 2025

Thought for the Day - 21st July 2025 (Monday)



Greater than all other forms of worship is Seva (service to one’s fellow men) done in an unselfish and dedicated spirit. There is an element of selfishness in forms of worship like recitation, meditation, etc. But when service is done spontaneously, it is its own reward. It must be done as an offering to God. Seva is a small word filled with immense spiritual significance. Hanuman is the supreme exemplar of the ideal of service. When the rakshasas (demons) asked Hanuman, during his search for Sita in Lanka, who he was, he replied simply: Dasoham Kosalendrasya. He was content to describe himself as a humble servant of Rama. Seva must be viewed as the highest form of Sadhana. Serving the poor in villages is the best form of sadhana. In the various forms of worship of the Divine, culminating in atma nivedanam (complete surrender to the Divine), Seva comes before atma nivedanam. God's grace will come when seva is done without expectation of reward or recognition. Sometimes, ahamkaram (ego) and abhimanam (attachment) raise their heads during seva. These should be eliminated altogether.


- Divine Discourse, Jan 25, 1985

Every Seva done with sympathy and skill to anyone in distress, anywhere in this world is Sathya Sai Seva.

 

Seva (pelayanan pada sesama manusia) yang dilakukan dengan semangat tanpa pamrih dan dedikasi adalah bentuk ibadah yang lebih hebat dari semua bentuk ibadah lain. Ada sebuah unsur mementingkan diri sendiri dalam bentuk ibadah seperti pelantunan, meditasi, dsb. Namun ketika pelayanan dilakukan secara spontan, maka pelayanan menjadi ganjarannya sendiri. Pelayanan harus dilakukan sebagai sebuah persembahan pada Tuhan. Seva adalah sebuah kata sederhana diisi dengan makna spiritual yang mendalam. Hanuman adalah teladan tertinggi dalam ideal pelayanan. Ketika para rakshasa menanyakan Hanuman terkait siapa dirinya, pada saat pencarian Sita di Lanka, Hanuman menjawab dengan sederhana: Dasoham Kosalendrasya. Hanuman merasa penuh syukur ketika menyebutkan dirinya sebagai pelayan rendah hati dari Sri Rama. Seva harus dipandang sebagai bentuk Sadhana yang tertinggi. Melayani yang miskin di desa adalah bentuk terbaik dari sadhana. Dalam berbagai bentuk ibadah pada Tuhan, puncaknya terdapat dalam atma nivedanam (berserah sepenuhnya pada Tuhan), Seva hadir sebelum atma nivedanam. Karunia Tuhan hadir ketika seva dilakukan tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Terkadang, ahamkaram (ego) dan abhimanam (keterikatan) memunculkan kepalanya pada saat seva. Sifat-sifat ini harus dilenyapkan sama sekali.


- Divine Discourse, 25 Januari 1985

Setiap Seva dilakukan dengan simpati dan ketrampilan pada siapapun yang dalam kesusahan, dimanapun di dunia adalah Sathya Sai Seva.