Tuesday, March 31, 2020

Thought for the Day - 31st March 2020 (Tuesday)

Never indulge in revilement of others, for the same Atma is permeating every living being. If you abuse others, it amounts to abusing your own self. If you do not like them, keep yourself away from them, but never abuse them. Any amount of good work done by you will be of no use if you do not identify and give up your bad qualities. If you cannot do good to others, at least speak good words. You may not always oblige, but you can always speak obligingly. If you find someone suffering, try to help them. Today it is their turn, but tomorrow it could be yours. Always keep this in mind. Nobody can escape pain and suffering. Always tread the path of truth and morality. God is love. Whatever He does is for your own good. Always pray for the welfare of all, repeating the universal prayer, “May all the people of the world be happy!” 


Jangan pernah memuaskan diri dalam mencaci maki yang lain, karena Atma yang sama meresap di dalam setiap makhluk hidup. Jika engkau mencaci yang lainnya, ini sama halnya dengan mencaci dirimu sendiri. Jika engkau tidak menyukai mereka, maka jaga jarak dirimu dengan mereka, namun jangan pernah mencaci mereka. Sejumlah kerja baik yang telah engkau lakukan menjadi tidak ada gunanya jika engkau tidak mengenali dan melepaskan sifat-sifat burukmu. Jika engkau tidak bisa melakukan hal baik kepada orang lain, setidaknya berbicaralah dengan kata-kata yang baik. Engkau mungkin tidak selalu bisa membantu, namun engkau dapat selalu berbicara dengan sopan santun. Jika engkau mendapatkan seseorang menderita, cobalah untuk membantunya. Hari ini adalah gilirannya menderita, namun hari esok mungkin giliranmu yang menderita. Selalulah ingat akan hal ini di dalam pikiranmu. Tidak ada seorangpun yang dapat melarikan diri dari rasa sakit dan penderitaan. Selalulah menapaki jalan kebenaran dan moralitas. Tuhan adalah kasih. Apapun yang Tuhan lakukan adalah untuk kebaikanmu sendiri. Selalulah berdoa untuk kesejahteraan semuanya, ulangi doa universal, “Semoga semua orang di dunia berbahagia!” (Divine Discourse, Dec 25, 2002)

-BABA

Monday, March 30, 2020

Thought for the Day - 30th March 2020 (Monday)

There are no limitations of time or space for the establishment of oneself in the contemplation of the Omnipresent Lord. There is nothing like a holy place or a special time for this. Wherever the mind revels in contemplation of the Divine, that is the holy place! Whenever it does so, that is the auspicious moment! Then and there, one must meditate on the Lord. The world can achieve prosperity through disciplined souls whose hearts are pure and who represent the salt of the earth. In the attempt to promote the welfare of the world, from this very minute, each and everyone of you should pray for the advent of such divine personages, and deserve the blessings of the great, and should try to forget the sufferings of the day. 


Tidak ada batasan waktu atau ruang untuk mempersiapkan diri dalam perenungan kepada Tuhan yang ada dimana-mana. Tidak ada yang disebut sebagai tempat suci atau waktu tertentu untuk hal ini. Dimanapun pikiran bersuka ria dengan perenungan pada Tuhan, itu adalah tempat suci! Kapanpun keadaan itu terjadi maka saat itu adalah momen yang suci! Di situ dan pada waktu itulah, seseorang harus melakukan meditasi pada Tuhan. Dunia dapat mendapatkan kesejahteraan melalui jiwa-jiwa yang suci dimana hati mereka adalah murni dan melambangkan garam dunia. Dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan dunia, mulai dari saat ini juga, setiap orang siapapun juga harus berdoa untuk kedatangan kepribadian yang ilahi, dan berusahalah agar layak mendapatkan karunia dari mereka. Dan juga berusaha untuk melupakan penderitaanmu pada hari itu. (Prema Vahini, Ch 73)

-BABA

Sunday, March 29, 2020

Thought for the Day - 29th March 2020 (Sunday)

To grasp that service to God and service to mankind is one and the same is dependent on your destiny, past actions, and spiritual discipline. Until you grasp this unity, do meditation and repeat the name, so that your mind becomes free from the waves of thoughts and is filled with the divine form. Also, carry out deeds for the well-being of others. Devote your time to the service of the world, regardless of the results thereof. Thus you will become blessed. Otherwise, though the body may be inactive, your mind will be very busy, committing acts on its own. People with such minds fall prey to fate (karma) in spite of their not doing anything! When a person has the mind fixed on contemplation of God and the pursuit of truth, though the body and senses do acts that are of service to the world, they won’t be affected by them; though they do actions (karma), they are still non-doers of action. The lesson of the Bhagavad Gita is embedded in this. 


Untuk memahami bahwa pelayanan kepada Tuhan dan pelayanan kepada manusia adalah satu dan sama tergantung dari takdir, perbuatan masa lalu, dan latihan spiritualmu. Sampai engkau mengerti kesatuan ini, maka lakukanlah meditasi dan mengulang-ulang nama suci Tuhan, sehingga pikiranmu menjadi bebas dari gelombang-gelombang perasaan dan diisi dengan wujud Tuhan. Dan juga lakukanlah perbuatan untuk kesejahteraan yang lainnya. Curahkan waktumu untuk pelayanan pada dunia, terlepas dari hasilnya. Jadi engkau akan menjadi diberkati. Sebaliknya, walaupun tubuhmu tidak aktif namun pikiranmu menjadi sangat sibuk, melakukan perbuatannya sendiri. Orang-orang dengan pikiran seperti itu akan menjadi mangsa dari nasib (karma) meskipun mereka tidak melakukan apa-apa! Ketika seseorang telah memusatkan pikiran pada perenungan pada Tuhan dan mencari kebenaran, walaupun tubuh dan indera melakukan perbuatan dalam pelayanan pada dunia, mereka tidak akan terpengaruhnya oleh kegiatan tersebut; walaupun mereka melakukan perbuatan (karma), mereka masih bukan sebagai pelaku tindakan. Pelajaran dari Bhagavad Gita tertanam dalam hal ini. (Prema Vahini, Ch 72)

-BABA

Saturday, March 28, 2020

Thought for the Day - 28th March 2020 (Saturday)

People say that service to humanity (manava-seva) is service to God (Madhava-seva). That is a true statement. But mere repetition of the slogan is useless if service is done without faith in the divinity of people and with an eye on name and fame and the fruits of one’s action. Whatever actions one undertakes, if one constantly has as companion the contemplation of the Lord, and if one has faith in the essential divinity of people, then the statement is justified. Without thoughts of God, how can service to God originate? All such talk is mere show. I won’t agree to that. Instead, whatever is done with the Lord in mind, along the path of truth and according to aspects of dharma, has to be considered as selfless service (seva) to the Lord. In fact, those who are immersed in the uninterrupted contemplation of the Lord need not do any other task at all. The fruit of their prayer itself can make the world holy. However, all can’t be thus engaged, so try to prepare for that stage by purifying the mind and diminishing desires. 


Orang-orang berkata bahwa pelayanan kepada umat manusia (manava-seva) adalah pelayanan kepada Tuhan (Madhava-seva). Itu adalah pernyataan yang benar. Namun hanya mengulangi slogan itu saja adalah tidak ada gunanya jika pelayanan dilakukan tanpa keyakinan pada keilahian dalam diri setiap orang dan dengan pandangan akan nama dan hasil dari perbuatan. Apapun perbuatan yang seseorang lakukan, jika teman yang secara terus menerus menyertaimu adalah perenungan kepada Tuhan, dan jika seseorang memiliki keyakinan pada hakikat keilahian manusia, maka pernyataan pelayanan kepada manusia adalah pelayanan kepada Tuhan adalah benar. Tanpa pikiran tentang Tuhan, bagaimana dapat muncul pelayanan kepada Tuhan? Semua perkataan itu hanya menjadi sebuah pamer saja. Aku tidak akan setuju dengan hal itu. Sebaliknya, apapun yang dilakukan dengan Tuhan di dalam pikiran, sepanjang jalan kebenaran dan sesuai dengan aspek dharma, harus dianggap sebagai pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri (seva) kepada Tuhan. Sejatinya, mereka yang tenggelam dalam perenungan yang tidak terputus pada Tuhan tidak perlu melakukan tugas yang lainnya. Buah dari doa mereka saja dapat membuat dunia menjadi suci. Bagaimanapun juga, tidak semua orang dapat melakukan hal itu, jadi cobalah untuk mempersiapkan dirimu untuk tahapan itu dengan menyucikan pikiran dan mengurangi keinginan. (Prema Vahini, Ch 71)

-BABA

Thought for the Day - 27th March 2020 (Friday)

The roads laid out by holy people may need repairs now and then, either by those who travel through it or by those who claim authority over it. It is for the sake of such repairs that the Lord occasionally sends some authorised individuals, sages, and divine people. Through their good teachings, the path opened by the God-people of the past is again made clear and smooth. Thus, when the Lord’s will, the needs of spiritual seekers, and the teachings of great persons produce their combined effect, the happiness of the world will be assured and undiminished. If all humanity prays at one time for unrest, injustice, disorder, and falsehood to be transformed into peace, truth, love, and mutual service, things will certainly become better. There is no other way out. Worrying is fruitless. This is no occasion for despair. It is against the essential nature of people to plead weakness. Give up the search for all other means! Resort to prayer, mutual love, respect and service. Do not delay any longer; you will soon acquire contentment and joy! 


Jalan yang telah dibentangkan oleh orang-orang suci kadang-kadang memerlukan perbaikan, apakah oleh mereka yang melintasi jalan itu atau oleh mereka yang memiliki kekuasaan atas jalan itu. Adalah untuk perbaikan yang diperlukan maka adakalanya Tuhan mengirimkan beberapa individu, orang suci dan pribadi ilahi yang diberikan wewenang untuk itu. Melalui ajaran-ajaran baik mereka, jalan yang dibuka dulunya oleh orang-orang yang suci sekarang dibuat menjadi bersih dan bagus. Jadi, ketika Tuhan berkehendak, kebutuhan dari para peminat spiritual, dan ajaran-ajaran dari orang-orang yang suci menghasilkan efek gabungan, kebahagiaan dunia akan terjamin dan tidak berkurang. Jika seluruh umat manusia berdoa secara serempak agar ketidaktentraman, ketidakadilan, kekacauan, dan kebohongan diubah menjadi kedamaian, kebenaran, kasih, dan saling melayani, maka segala sesuatunya pastinya akan menjadi lebih baik. Tidak ada jalan keluar yang lain. Cemas adalah tidak ada gunanya. Ini bukan saat untuk berputus asa. Ini merupakan bertentangan dengan sifat dasar dari manusia dengan menyatakan diri lemah. Hentikan usaha untuk cara yang lainnya! Memohon pertolongan dengan berdoa, saling mengasihi, menghormati dan melayani. Jangan menunda waktu lagi; engkau segera akan mendapatkan kepuasan batin dan suka cita!  (Prema Vahini, Ch 70)

-BABA

Thought for the Day - 26th March 2020 (Thursday)

Prayers of the noble and virtuous act as an invitation even for the advent of the Lord. In the external world, when common people need conveniences, they approach authorities and request them. Similarly, in the internal realm, when there is no possibility of achieving and acquiring devotion, charity, peace and truth, noble and virtuous, who yearn for these to grow, pray to the Lord. Then, listening to their prayers, He Himself comes and showers His grace. This fact is well known. Many would have read in the Ramayana and Bhagavata - Didn’t Rama and Krishna incarnate because the Lord heeded the prayers of sages? Even Saint Ramakrishna, though divinely-born, prayed to Goddess Kali to send someone who could preach to the whole world, the code of conduct (dharma) that would uproot injustice and selfishness. Hence, prayers should be offered again and again for the fulfilment of this task without becoming desperate and giving up, if they don’t yield results immediately. 


Doa dari orang-orang yang mulia dan suci adalah sebuah undangan untuk kedatangan Tuhan. Di dunia luar, ketika orang-orang memerlukan kesenangan hidup maka mereka mendekati yang berkuasa dan meminta kepada mereka. Prosedur yang sama juga berlaku di dalam dunia batin, ketika tidak ada kemungkinan untuk mencapai dan memperoleh bhakti, kemurahan hati, kedamaian dan kebenaran, mereka yang mulia dan suci yang merindukan semuanya ini tumbuh akan berdoa kepada Tuhan di dalam diri mereka. Tuhan mendengarkan doa-doa mereka, dan Tuhan sendiri hadir dan mencurahkan karunia-Nya. Hal ini adalah fakta yang diketahui banyak orang. Banyak yang sudah membacanya dalam Ramayana dan Bhagavata – bukankah Rama dan Krishna mengambil inkarnasi karena Tuhan menanggapi doa dari para orang suci? Bahkan orang suci seperti Ramakrishna yang lahir secara ilahi, berdoa kepada Ibu Dewi Kali agar mengirimkan seseorang yang dapat berkhotbah ke seluruh dunia, mengajarkan pedoman perilaku (dharma) yang akan menumbangkan ketidakadilan dan egoisme. Karena itu, berdoalah secara terus menerus kepada Tuhan agar tujuan dari tugas ini dapat tercapai dan tanpa menjadi menyerah serta putus asa, jika doa tersebut belum terjawab dengan segara. (Prema Vahini, Ch 70)

-BABA

Friday, March 27, 2020

Thought for the Day - 25th March 2020 (Wednesday)

You would have celebrated many Ugadi (New Year day) festivals in your life. Certain traditional practices go with every festival, such as having a sacred bath, wearing new clothes, cleaning the house and decorating it with buntings of green leaves. Greatness lies in purifying our thoughts, not merely the transient human body. The significance of a festival does not lie in wearing new clothes but in cultivating new and noble thoughts. The house should be decorated not merely with the buntings of green leaves, but with buntings of love. Share your love with everyone who visits your house. Only then would we be celebrating the festival in its true spirit. Today, humanity is stricken with fear and restlessness. Courage and strength are on the decline, because of unsacred thoughts and wicked feelings. Your enemies are not outside. Bad thoughts are your worst enemies and noble thoughts based on Truth are your best friends! 

Engkau telah merayakan banyak perayaan Ugadi (Tahun Baru) dalam hidupmu. Praktik-praktik tradisional tertentu dilakukan dalam setiap festival, seperti melakukan ritual mandi suci, mengenakan pakaian baru, membersihkan rumah, dan mendekorasi rumah dengan daun-daun hijau. Makna perayaan yang sesungguhnya terletak dalam memurnikan pikiran kita, bukan hanya sekedar membersihkan badan jasmani manusia yang bersifat sementara. Arti penting sebuah festival/perayaan tidak terletak pada mengenakan pakaian baru tetapi dalam mengembangkan pikiran-pikiran baru dan mulia. Rumah sebaiknya tidak hanya didekorasi dengan daun-daun hijau, tetapi dengan cinta-kasih. Bagikan cinta-kasihmu kepada semua orang yang mengunjungi rumahmu. Baru setelah itu kita bisa menyadari merayakan festival dengan spirit/semangat yang sebenarnya. Saat ini, umat manusia dilanda ketakutan dan kegelisahan. Keberanian dan kekuatan semakin menurun, disebabkan oleh pikiran yang tidak murni dan perasaan yang buruk. Musuhmu tidak berada di luar dirimu. Pikiran buruk adalah musuh terburukmu dan pikiran mulia berdasarkan Kebenaran adalah teman terbaikmu! (Divine Discourse 18 Mar 1999)

-BABA

Tuesday, March 24, 2020

Thought for the Day - 24th March 2020 (Tuesday)

Do not worry that the New Year implies dangerous prospects. No danger will befall this world. With sacred feelings and divine thoughts, cultivate the spirit of love within. Learn today to fill your hearts with selfless love and adorn your hands with the ornament of sacrifice. Sacrifice is the jewel for your hands. Truth is the beautiful chain you should wear. Develop the habit of adorning these jewels every day in the New Year. Truth is God. Love is God. Righteousness [Dharma] is God. When you worship God practicing these principles everyday, He will manifest Himself. Do not doubt this! Be prepared to face challenges with love and broadmindedness. Befriend God, you are bound to be successful in all your endeavours! Love God wholeheartedly. You will lead a blissful and peaceful life full of enthusiasm. Pray with a broad feeling: Samastha Loka sukhino bhavantu (May the whole world be happy)! Cultivate selfless love and foster peace across all nations! 


Jangan menjadi cemas bahwa tahun baru menyiratkan kemungkinan bahaya. Dengan perasaan-perasaan yang suci dan pikiran-pikiran Tuhan, tingkatkan semangat cinta kasih di dalam diri. Belajar hari ini untuk mengisi hatimu dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dan hiasi tanganmu dengan perhiasan pengorbanan. Pengorbanan adalah permata dari tanganmu. Kebenaran adalah kalung yang indah yang seharusnya engkau pakai. Kembangkan kebiasaan dalam memakai perhiasan-perhiasan ini setiap hari di tahun baru. Kebenaran adalah Tuhan. Kasih adalah Tuhan. Kebajikan (Dharma) adalah Tuhan. Ketika engkau memuja Tuhan dengan mempraktikkan prinsip-prinsip ini setiap harinya, Tuhan akan mewujudkan diri-Nya sendiri. Jangan ragu akan hal ini! Bersiaplah untuk menghadapi tantangan dengan kasih dan kelapangan hati. Berteman dengan Tuhan, engkau dipastikan akan berhasil dalam semua usahamu! Cintai Tuhan dengan sepenuh hati. Engkau akan menjalani hidup penuh dengan kebahagiaan, kedamaian serta penuh semangat. Berdoalah dengan perasaan yang luas: Samastha Loka sukhino bhavantu (semoga seluruh dunia berbahagia)! Tingkatkan kasih yang tanpa pamrih dan kembangkan kedamaian ke seluruh bangsa dan negara! (Divine Discourse Mar 18, 1999)

-BABA

Monday, March 23, 2020

Thought for the Day - 23rd March 2020 (Monday)

Those who yearn to establish themselves in contemplation of Brahman (Brahma-nishta) must seek solitude, practise meditation and repetition of the name at specified times, and acquire one-pointedness through these spiritual exercises. They must always be anxious to do deeds that will bring about the welfare of all beings. They must always be engaged in performing work without any concern for the fruit thereof. It is only when such people come upon the Earth that all suffering will cease. This is the mark of the Golden Age (Kritha Yuga). If ‘great ones’ and those in authority are thus engaged in the service of humanity and in promoting the welfare of the world, the thieves of passion, hatred, pride, envy, jealousy, and conceit won’t invade the minds of men. The divine possessions of people, like dharma, mercy, truth, love, knowledge, and wisdom, will be safe from harm. 


Bagi mereka yang mendambakan diri dalam perenungan pada Brahman (Brahma-nishta) harus mencari kesunyian, melatih meditasi, dan pengulangan nama suci Tuhan pada waktu yang ditentukan, serta mencapai pemusatan pikiran melalui latihan-latihan spiritual ini. Mereka harus selalu berhasrat untuk melakukan perbuatan yang akan membawa kesejahteraan bagi semua makhluk. Mereka harus selalu bekerja tanpa pamrih. Hanya ketika orang-orang seperti itu datang dan hadir di dunia maka semua penderitaan akan berakhir. Ini adalah tanda dari zaman keemasan (Kritha Yuga). Jika ‘orang-orang hebat’ dan mereka yang memiliki kekuasaan membaktikan dirinya dalam pelayanan kemanusiaan dan meningkatkan kesejahteraan dunia maka para pencuri dalam bentuk hawa nafsu, kebencian, kesombongan, iri hati, kecemburuan, dan kecongkakan tidak akan menyerang pikiran manusia. Sifat-sifat Tuhan yang merupakan milik manusia seperti dharma, belas kasihan, kebenaran, kasih, pengetahuan dan kebijaksanaan, akan selamat dari bahaya. (Prema Vahini, Ch 68)

-BABA

Thought for the Day - 22nd March 2020 (Sunday)

Only trees growing on fertile soil can yield good fruits. Those growing on saline soils will be poor. So also, only in unsullied hearts can holy feelings, power, and gifts shine in splendour. The present-day contemplators (Brahma-nishtas) practise the same meditation and the same Om (pranava) as their namesakes in the past. The difference between them arises in the decline in self-control, as far as the field of spiritual discipline is concerned. When the number of great souls (maha-purushas) who engage themselves in unflinching meditation of God in solitary places declined, much suffering descended on the world. Those who exist today are damaging their contemplation on God by arranging for the accumulation of obstacles for carrying out their spiritual practices, by getting enslaved to mean praise and fame, by becoming entangled in delusion, and by restlessly endeavouring to earn glory and to expand the institutions they have founded. 


Hanya pohon yang tumbuh di atas tanah subur dapat menghasilkan buah yang bagus. Bagi tanaman yang tumbuh di atas tanah bergaram tidak akan bagus hasilnya. Begitu juga, hanya di dalam hati yang tidak ternoda maka perasaan, kekuatan dan karunia suci dapat bersinar dalam kemegahan. Para peminat spiritual jaman sekarang (Brahma-nishta) melakukan meditasi dan Om (pranava) yang sama dengan orang suci di jaman dahulu. Perbedaan diantara mereka adalah tidak memiliki pengendalian diri yang merupakan satu hal yang sangat penting dalam disiplin spiritual. Ketika jumlah jiwa-jiwa agung (maha-purusha) yang gigih dalam meditasi pada Tuhan di tempat yang sunyi semakin berkurang, maka banyak penderitaan terjadi di dunia. Bagi mereka yang masih ada saat sekarang merusak meditasi mereka pada Tuhan karena mereka telah menciptakan rintangan dalam menjalankan latihan spiritual mereka dengan diperbudak oleh hasrat untuk mendapatkan sanjungan dan ketenaran, menjadi terjerat dalam khayalan, dan menjadi gelisah dalam usaha untuk mendapatkan kebesaran dan mengembangkan Yayasan yang mereka dirikan. (Prema Vahini, Ch 67)

-BABA

Saturday, March 21, 2020

Thought for the Day - 21st March 2020 (Saturday)

There is a great difference between those established in God-contemplation (Brahma-nishtas) in the past and today’s contemplators of Brahman. First, it is necessary to grasp the greatness of contemplation of Brahman. In the past, this greatness was realised, and holy people were immersed in experiencing holiness. It is because this has not been done by present-day holy people that poverty has come upon us. The question may arise why such holy feelings don’t arise now. But actually they are not absent. For fire to increase or decrease, fuel is the only cause; there is no other reason. The more the fuel, the more the illumination! Every individual in this world has the undisputed right to feed their fire with fuel! By its very nature, fire has the power to give light, but it needs fuel. The fuel of renunciation, peacefulness, truth, mercifulness, forbearance, and selfless service has to be constantly placed in the fire of the intellect (buddhi) of the spiritual aspirant. It is this fire that emanates the light of wisdom. The more spiritual seekers do this, the more efficacious and effulgent they can become.


Ada sebuah perbedaan yang sangat besar diantara mereka yang melakukan perenungan pada Tuhan (Brahma-nishtas) di masa lalu dengan perenungan pada Brahman di saat sekarang. Pertama, adalah perlu untuk mengerti kehebatan dari kontemplasi pada Brahman. Di masa lalu, kehebatan ini telah dapat disadari dan orang-orang suci tenggelam dalam mengalami kesucian. Karena hal ini belum dilakukan oleh orang-orang suci masa sekarang maka kemiskinan menimpa diri kita. Pertanyaan mungkin muncul, mengapa perasaan-perasaan suci seperti itu tidak muncul sekarang. Namun sesungguhnya perasaan-perasaan suci itu bukannya tidak ada. Kuat dan redupnya nyala api adalah sangat tergantung dari bahan bakarnya; tidak ada alasan yang lainnya. Semakin banyak bahan bakar maka semakin besar cahaya penerangannya! Setiap individu di dunia memiliki hak yang tidak terbantahkan untuk membesarkan api mereka dengan bahan bakar yang ada! Sesuai dengan sifatnya, api memiliki kekuatan untuk memberikan cahaya, namun api memerlukan bahan bakar untuk itu. Bahan bakar yang diperlukan berupa tanpa keterikatan, kedamaian, kebenaran, penyayang, dan pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri harus tetap dituangkan ke dalam api kecerdasan (buddhi) dari para peminat spiritual. Adalah api yang memunculkan cahaya kebijaksanaan. Semakin banyak peminat spiritual melakukan hal ini, maka mereka akan menjadi semakin efektif dan bercahaya. (Prema Vahini, Ch 67)

-BABA

Thought for the Day - 20th March 2020 (Friday)

Everyone should so lead life that no pain is caused to any living thing. That is their supreme duty. Also, it is the prime duty of everyone who has had the chance of this human birth to spare a part of their energies occasionally to prayer, repetition of the Lord’s name, meditation, etc. Everyone must equate living with truth, righteousness, peacefulness, and good works that are of service to others. One must be as afraid of doing acts that are harmful to others or deeds that are sinful as one is now afraid to touch fire or disturb a cobra. One must have as much attachment and steadfastness in carrying out good works, in making others happy, and in worshiping the Lord as one now has in accumulating gold and riches. This is the dharma of humans. 


Setiap orang seharusnya menjalani hidup yang tidak menyebabkan terjadi penderitaan bagi makhluk hidup yang lainnya, ini adalah kewajiban mereka yang tertinggi. Juga, adalah kewajiban utama dari setiap orang yang telah memiliki kesempatan lahir sebagai manusia untuk menyisihkan energi mereka dalam doa, pengulangan nama suci Tuhan, meditasi, dsb. Setiap orang harus menyamakan hidup dengan kebenaran, kebajikan, penuh kedamaian, dan kerja yang baik melayani yang lainnya. Seseorang harus takut dalam melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain atau perbuatan yang berdosa seperti seseorang yang sekarang takut menyentuh api atau mengganggu seekor ular kobra. Seseorang harus memiliki banyak kasih sayang dan ketabahan dalam melakukan perbuatan baik, dalam membuat yang lainnya berbahagia, dan dalam memuja Tuhan seperti seseorang yang sekarang mengumpulkan emas dan kekayaan. Ini adalah dharma dari manusia. (Prema Vahini, Ch 65)

-BABA

Thursday, March 19, 2020

Thought for the Day - 19th March 2020 (Thursday)

Whatever inconveniences one may encounter, one must try to carry on spiritual practices without any break or modification in the disciplines. Taking all worldly losses, sufferings, and worries as merely temporal and transitory, and realising that all this repetition of the name and meditation is only to overcome such grief, the spiritual aspirant should keep the two things separate, without mixing up the two. The aspirant must understand that loss, suffering, and worry are external, belonging to this world, and that repetition of the name and meditation are internal, belonging to the realm of the love for the Lord. This is called chaste (pathivratha) devotion. At the specified time, at least recall to mind the meditation and repetition of the name done at the same time in the past, even if you are in a railway train, a bus, or some such inconvenient surrounding. In this way, accumulating spiritual wealth, one can surely become the master, and attain the Atma. 


Apa pun ketidaknyamanan yang mungkin ditemui seseorang, maka seseorang harus mencoba untuk melakukan latihan spiritual tanpa adanya jeda atau perubahan dalam disiplin ini. Ambillah semua kehilangan, penderitaan, dan kecemasan duniawi semata-mata sebagai hal yang bersifat sementara dan tidak kekal, dan sadarilah bahwa semua pengulangan nama Tuhan dan meditasi adalah satu-satunya cara untuk menghadapi penderitaan seperti ini. Para peminat spiritual harus menjaga dua hal terpisah, tanpa mencampurkan keduanya. Peminat spiritual harus memahami bahwa kehilangan, penderitaan, dan kecemasan adalah bersifat eksternal, dan semuanya itu adalah milik dunia, sedangkan pengulangan nama Tuhan dan meditasi adalah bersifat internal, milik dari alam kasih Tuhan. Ini disebut dengan pengabdian suci (pathivratha). Pada waktu yang ditentukan, setidaknya ingat meditasi dan pengulangan nama Tuhan yang dilakukan pada waktu yang sama di masa lalu, bahkan jika engkau berada di kereta api, bus, atau sekitarnya yang tidak nyaman. Dengan cara ini, mengumpulkan kekayaan spiritual, seseorang pasti bisa menjadi master, dan mencapai Atma. - Prema Vahini, Ch. 64

-BABA

Thought for the Day - 18th March 2020 (Wednesday)

Do not change the name and form that you loved, cherished and selected for remembrance (smarana). Changing the name and form is not a fault if done in ignorance, but after continuing the repetition of the name and meditation on the one name and form faithfully, and after knowing that changing is wrong and harmful, to still change is certainly incorrect. Concentration is impossible if you change the name very often. Your mind won’t attain one-pointedness. The goal of spiritual discipline is this one-pointedness. Hence avoid constant adoption and rejection of different names of the Lord. Select a single name to repeat for japa and meditation. Be strongly and fully convinced that all the Lord’s names and forms are but the same name and form that you pray to. Your chosen name and form must not give you the slightest feeling of dislike or disaffection. Whatever inconveniences you may encounter, continue spiritual practices without any break or modification in your discipline. 


Jangan mengubah nama dan wujud Tuhan yang engkau cintai, hargai, dan pilih untuk diingat (smarana). Mengubah nama dan wujud bukanlah kesalahan jika dilakukan dalam ketidaktahuan, tetapi setelah melanjutkan pengulangan nama dan meditasi pada satu nama dan wujud dengan setia, dan setelah mengetahui bahwa perubahan itu salah dan berbahaya, tetap berubah tentu salah. Konsentrasi tidak mungkin didapatkan jika engkau sering mengubah-ubah Nama Tuhan. Pikiranmu tidak akan mencapai kemanunggalan. Tujuan dari disiplin spiritual adalah kemanunggalan ini. Karenanya hindari adopsi dan penolakan terus-menerus dari berbagai Nama Tuhan. Pilih satu nama untuk diulang untuk japa dan meditasi. Kuatlah dan yakinlah sepenuhnya bahwa semua nama dan wujud Tuhan hanyalah nama dan wujud yang sama dengan yang engkau doakan. Nama dan wujud pilihanmu tidak boleh memberimu sedikit pun perasaan tidak suka atau tidak puas. Apa pun ketidaknyamanan yang mungkin engkau temui, lanjutkan latihan spiritual tanpa istirahat atau perubahan apa pun dalam disiplinmu. - Prema Vahini, Ch. 64

-BABA

Wednesday, March 18, 2020

Thought for the Day - 17th March 2020 (Tuesday)

Change the angle of your vision. When you practise seeing the world from the point of view of the omnipresence of the Divine, you will get transformed. You will experience the power of the Divine in everything in creation. You cannot hide anything from God. Many imagine that Swami does not see what they are doing. They do not realise that Swami has myriad eyes. Even your eyes are divine. But you are not aware of your true nature. When you have faith in yourself, you will have faith in God. Realise that there is nothing beyond the power of God. Love God with that supreme faith. Then you will be drawn towards God. It needs purity. A magnet cannot attract a piece of iron covered with rust. Similarly God will not draw to Himself an impure person. Hence, change your feelings and thoughts and develop the conviction that God is everything. God will not give you up when you have this conviction. 


Ubahlah sudut pandangmu. Ketika engkau mempraktikkan melihat dunia dari sudut pandang kemahahadiran Tuhan, engkau akan mendapatkan perubahan. Engkau akan mengalami kekuatan Tuhan dalam segala hal dalam penciptaan. Engkau tidak dapat menyembunyikan apa pun dari Tuhan. Banyak yang membayangkan bahwa Swami tidak melihat apa yang sedang mereka lakukan. Mereka tidak menyadari bahwa Swami memiliki banyak sekali mata. Bahkan matamu pun adalah Tuhan. Tetapi engkau tidak menyadari sifat sejatimu. Ketika engkau memiliki keyakinan pada dirimu sendiri, engkau akan memiliki keyakinan pada Tuhan. Sadarilah bahwa tidak ada apapun yang dapat melampaui kekuatan Tuhan. Cintai Tuhan dengan keyakinan seperti itu. Maka engkau akan ditarik ke arah Tuhan. Hal ini memerlukan kemurnian. Sebuah magnet tidak dapat menarik sepotong besi yang tertutup karat. Demikian pula, Tuhan tidak bisa menarik orang yang tidak murni pada diri-Nya. Karena itu, ubahlah perasaan dan pikiranmu dan kembangkan keyakinan bahwa Tuhan adalah segalanya. Tuhan tidak akan meninggalkanmu ketika engkau memiliki keyakinan ini. - Divine Discourse Feb 27, 1995

-BABA

Thought for the Day - 16th March 2020 (Monday)

The spiritual aspirant should always seek the truthful and joyful, and must avoid all thoughts of the untrue, sad and depressing. Depression, doubt, conceit — these are as Rahu and Kethu to the spiritual aspirant. They will harm one’s spiritual practice. When one’s devotion is well established, they can be easily discarded if they appear. Above all, it is best for the spiritual aspirant to be joyful, smiling, and enthusiastic under all circumstances. Even more than devotion and spiritual wisdom, this pure attitude is desirable. Those who have acquired it deserve to reach the goal first. This quality of joy at all times is the fruit of the good done in past births. A person who is ever worried, depressed, and doubting can never attain bliss, whatever be the spiritual practice one undertakes. The first task of a spiritual aspirant is the cultivation of enthusiasm. Through that enthusiasm, any variety of spiritual bliss (ananda) can be derived. 


Sebagai seorang peminat spiritual, engkau hendaknya selalu mencari kejujuran dan kebahagiaan, dan harus menghindari semua pikiran yang tidak benar, kesedihan, dan depresi. Depresi, keraguan, kesombongan - ini seperti Rahu dan Kethu bagi peminat spiritual. Hal-hal tersebut akan membahayakan latihan spiritual seseorang. Ketika pengabdian seseorang telah mantap, ketiga hal tersebut (depresi, keraguan, kesombongan)  dapat dengan mudah disingkirkan jika muncul. Cara yang terbaik yang dapat dilakukan bagi peminat spiritual adalah bersukacita, tersenyum, dan bersemangat dalam segala situasi. Sikap murni ini lebih diperlukan, bahkan daripada pengabdian dan kebijaksanaan. Mereka yang telah mendapatkannya layak untuk mencapai tujuan terlebih dahulu. Kualitas kegembiraan ini setiap saat adalah buah dari kebaikan yang dilakukan dalam kelahiran masa lalu. Seseorang yang senantiasa khawatir, tertekan, dan ragu-ragu tidak akan pernah bisa mencapai kebahagiaan, apa pun latihan spiritual yang dilakukan. Oleh karena itu, tugas pertama seorang peminat spiritual adalah menanamkan antusiasme. Melalui antusiasme itu, berbagai kebahagiaan spiritual (ananda) dapat dicapai. - Prema Vahini, Ch. 63

-BABA

Thought for the Day - 15th March 2020 (Sunday)

Every person is liable to commit mistakes without being aware of it. However bright the fire or light, some smoke will emanate from it. So also, whatever good deed a person might do, mixed with it will be a minute trace of evil. But efforts should be made to ensure that the evil is minimised, that the good is more and the bad is less. Naturally, in the present atmosphere, you may not succeed in the very first attempt. You must carefully think over the consequences of whatever you do, talk, or execute. It is not the nature of a spiritual aspirant to search for faults in others and hide their own. If your faults are pointed out to you by someone, don’t argue and try to prove that you were right, and don’t bear a grudge against them for it. Reason out within yourself how it is a fault and set right your own behaviour. Rationalising it for your own satisfaction or wreaking vengeance on the person who pointed it out — these are certainly not the traits of a spiritual aspirant or devotee. 


Setiap orang besar kemungkinan untuk melakukan kesalahan tanpa menyadarinya. Bagaimanapun juga terangnya nyala api atau cahaya, akan ada asap yang muncul darinya. Begitu juga, apapun perbuatan baik yang seseorang mungkin lakukan, maka akan tercampur sedikit dengan kejahatan. Namun usaha seharusnya dilakukan untuk memastikan bahwa kejahatan diminimalkan, sehingga kebaikan lebih banyak dan keburukan lebih sedikit. Secara alami, dalam keadaan saat sekarang, engkau mungkin belum berhasil pada usaha yang pertama. Engkau harus secara teliti memikirkan tentang konsekuensi dari apa yang engkau lakukan, katakan, atau laksanakan. Bukanlah merupakan sifat alami dari seorang peminat spiritual untuk mencari kesalahan dalam diri orang lain dan menyembunyikan kesalahannya sendiri. Jika kesalahanmu ditunjukkan oleh orang lain, jangan membantahnya untuk mencoba membuktikan bahwa engkau adalah benar, dan jangan menaruh dendam terhadap mereka karena hal ini. Mencari pemecahan bagi dirimu sendiri bagaimana kesalahan itu terjadi dan memperbaiki tingkah lakumu sendiri. Merasionalisasikan untuk kepuasanmu sendiri atau membalas dendam pada orang yang menunjukkannya padamu – ini pastinya bukan merupakan ciri-ciri seorang peminat spiritual atau bhakta. - Prema Vahini, Ch. 63

-BABA

Thought for the Day - 14th March 2020 (Saturday)

Of the various types of devotion, remembrance of the name (namasmarana) is best. In the Kali yuga, the name is the path for saving oneself. Jayadeva, Gouranga, Thyagaraja, Tukaram, Kabir, Ramdas — all these great devotees attained the Lord through just this one practice. Why speak of a thousand things? Even Prahlada and Dhruva were able to enjoy the sight, touch, and conversation (darshan, sparshan, and sambhashana) of the Lord only through repetition of the name, right? There can be no better path to liberation (mukti) than considering the name of the Lord as the very breath of life and, with complete faith in good deeds and thoughts, developing the spirit of service and equal love for all. Instead of this, if one sits in some solitary nook holding the breath, how can one master the innate qualities? How is one to know that one has mastered them? 


Dari berbagai jenis bhakti, mengingat nama suci Tuhan (namasmarana) adalah yang terbaik. Di jalan kali yuga, nama adalah jalan untuk menyelamatkan diri. Jayadeva, Gouranga, Thyagaraja, Tukaram, Kabir, Ramdas  - semua bhakta-bhakta yang hebat ini mencapai Tuhan hanya melalui satu latihan ini saja. Mengapa berbicara tentang ribuan hal? Bahkan Prahlada dan Dhruva mampu untuk menikmati pandangan, sentuhan, dan percakapan (darshan, sparshan, dan sambhashana) dengan Tuhan hanya melalui pengulangan nama suci Tuhan, bukan? Tidak ada jalan yang lebih baik lagi menuju pembebasan (mukti) selain menganggap nama suci Tuhan sebagai nafas hidup dan dengan keyakinan yang penuh dalam perbuatan dan pikiran yang baik, mengembangkan semangat pelayanan dan kasih sayang yang sama kepada semuanya. Daripada ini, jika seseorang duduk di beberapa tempat sunyi dengan menahan nafas, bagaimana seseorang dapat menguasai sifat-sifat bawaannya? Bagaimana seseorang mengetahui bahwa dia sudah menguasai sifat-sifat tersebut? - Prema Vahini, Ch 62

-BABA

Thought for the Day - 13th March 2020 (Friday)

People crave worldly happiness. Analysed properly, this itself is the disease, and sufferings are but the drugs we take. In the midst of these worldly pleasures, one rarely entertains the desire to attain the Lord. Besides, it is necessary to analyse and discriminate every act of a person, for the spirit of renunciation is born out of such analysis. Without it, renunciation is difficult to get. Miserliness is like the behaviour of a dog; it has to be transformed. Anger is enemy Number 1 of the spiritual aspirant; it is like spittle and has to be treated as such. And untruth? It is even more disgusting —through untruth, the vital powers of all are destroyed. It should be treated as scavenging itself. Theft ruins life; it makes the priceless human life cheaper than a pie; it is like rotten foul smelling flesh. 


Orang-orang mendambakan kebahagiaan duniawi. Jika dianalisis dengan baik, ini sendiri adalah penyakitnya, dan penderitaan yang dialami adalah obat dari penyakit ini. Di tengah-tengah kesenangan duniawi ini, seseorang jarang mempunyai keinginan untuk mencapai Tuhan. Selain itu, perlu untuk menganalisis dan membedakan setiap tindakan seseorang, karena analisa ini yang nantinya akan memberikan kebangkitan pada semangat penyangkalan diri. Tanpa adanya usaha ini, penyangkalan diri sulit untuk didapatkan. Kekikiran (sifat pelit) adalah seperti perilaku seekor anjing; dan ini harus diubah. Kemarahan adalah musuh nomor satu bagi penekun spiritual; sifat ini seperti air ludah dan harus diperlakukan seperti itu. Dan ketidakbenaran? Itu bahkan lebih menjijikkan — melalui ketidakbenaran, kekuatan vital dari semuanya akan dihancurkan. Sifat ini harus diperlakukan sebagai binatang pemakan bangkai. Pencurian menghancurkan kehidupan; ini membuat hidup manusia yang tak ternilai menjadi lebih murah daripada sebuah kue; ini seperti bangkai yang berbau busuk. - Prema Vahini, Ch. 61

-BABA

Thursday, March 12, 2020

Thought for the Day - 12th March 2020 (Thursday)

Devotion is not wearing an ochre cloth or organising festivals or performing ritual sacrifices or shaving the hair or carrying water pot or rod or matting the hair, etc. The Lord will never judge you at any time on the basis of the religion or caste you belong or the precepts you traditionally follow. The real characteristics of true devotion are: (1) Having a pure mind (anthah-karana) (2) Uninterrupted contemplation on God, whatever be your profession in daily living (3) The feeling that everything is the Lord’s creation and therefore One (4) Acceptance of all with equal love (5) Non-attachment to sense objects, and (6) Practicing true speech. Whoever you are, in whatever condition you may be, if you do not give room for dispiritedness, if you have no fear at all, and if you remember the Lord with unshaken faith and without any ulterior motive, all your suffering and sorrow will surely fall away! 


Bhakti bukan pada memakai jubah atau mengadakan perayaan suci atau melaksanakan upacara ritual korban suci atau mencukur rambut atau membawa air dalam pot atau tongkat atau menganyam rambut, dsb. Kapan saja Tuhan tidak akan pernah menilai diri berdasarkan pada agama atau dari golongan kasta apa engkau berasal atau ajaran yang secara tradisional engkau ikuti. Karakteristik yang sesungguhnya bhakti yang sejati adalah: (1) Memiliki pikiran yang suci (anthah-karana) (2) Perenungan pada Tuhan yang tidak terputus, apapun profesi yang engkau lakoni dalam kehidupan sehari-hari (3) Perasaan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan dan karenanya adalah Satu (4) Penerimaan semuanya dengan kasih yang sama (5) Tanpa keterikatan pada objek-objek indera, dan (6) Menjalankan perkataan yang benar. Siapapun dirimu, dalam keadaan apapun dirimu, jika engkau tidak memberikan ruang untuk kecewa, jika engkau sama sekali tidak merasa takut, dan jika engkau ingat Tuhan dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan serta tanpa niat yang tersembunyi, semua penderitaan dan kepedihan yang engkau alami pastinya akan lenyap! (Prema Vahini, Ch 61)

-BABA

Wednesday, March 11, 2020

Thought for the Day - 11th March 2020 (Wednesday)

Devotees should consider the body as the field and good deeds as seeds and cultivate the name of the Lord, with the help of the heart as the farmer, in order to get the harvest, the Lord Himself. How can one get the crop without cultivation? Like cream in milk and fire in fuel, the Lord is in everything. Have full faith in this. As the milk, so the cream; as the fuel, so the fire; so also, as the spiritual discipline, so the direct experience (sakshatkara) of the Lord, right? Even if the attainment of liberation (mukti) isn’t directly realised as a consequence of taking up the Lord’s name, four fruits will clearly be evident to everyone who sincerely does the sadhana: 1. Company of the good and godly 2. Truth 3. Contentment and 4. Control of the senses. Through whichever of these gates one enters, whether one is a householder, recluse, or a member of any other class, one can reach the Lord without fail. This is certain. 


Para bhakta seharusnya menganggap tubuh fisik sebagai ladang dan perbuatan-perbuatan baik sebagai benihnya serta meningkatkan nama suci Tuhan, dengan bantuan dari hati sebagai petaninya dalam upaya untuk mendapatkan panen yaitu Tuhan sendiri. Bagaimana seseorang bisa menghasilkan panen tanpa adanya pengolahan? Seperti halnya krim di dalam susu dan api di dalam bahan bakar, Tuhan ada di dalam semuanya. Miliki keyakinan yang penuh dalam hal ini. Sebagaimana susunya maka begitulah krimnya; sebagaimana bahan bakarnya maka begitulah apinya; begitu juga, sebagaimana disiplin spiritualnya maka begitulah pengalaman langsung (sakshatkara) dari Tuhan, bukan? Sekalipun pencapaian dari pembebasan (mukti) tidak secara langsung didapatkan sebagai sebuah hasil dari mengambil nama suci Tuhan, empat hasil secara jelas menjadi bukti kepada setiap orang yang secara tulus melakukan sadhana: (1) Pergaulan yang baik dan benar, (2) Kebenaran, (3) Rasa syukur, dan (4) Pengendalian indera. Melalui salah satu gerbang yang mana saja seseorang masuki, apakah sebagai berumah tangga, pertapa, atau anggota dari golongan yang lain, seseorang dapat mencapai Tuhan tanpa adanya kegagalan. Ini adalah pasti. (Prema Vahini, Ch 60)

-BABA

Thought for the Day - 10th March 2020 (Tuesday)

When a lamp is lit in the temple, remember, it is not the temple or the deity that needs illumination, it is the worshipper. The material temple of stone and mortar might be lit up by means of a few bulbs and lamps, but really speaking, everyone is a moving temple with the Lord installed in the shrine of the heart. That shrine must shine, bright and clear. Now, it is plunged in the darkness of falsehood, injustice, cruelty and pride. The act of ‘lighting up’ symbolises illumination of the heart, destruction of the darkness of egoism and ignorance, so that the Lord might be revealed in all His Glory. The trouble is that even though knowledge is growing fast in all fields, wisdom is lagging. People are slaves of passion and pride, and are infected with envy, cynicism and conceit everywhere. They let their mind drag them wherever it wills! Control of the mind can be achieved through spiritual discipline and training! 


Ketika sebuah pelita dinyalakan di tempat suci, ingatlah bahwa bukan tempat suci atau perwujudan Tuhan yang membutuhkan penerangan, namun ini adalah untuk para bhakta yang datang. Material penyusun tempat suci seperti batu dan campuran semen dapat diterangi dengan cahaya bola lampu, namun berbicara yang sebenarnya, setiap orang adalah tempat suci yang bergerak dengan Tuhan bersemayam di dalam hati yang suci. Tempat suci di dalam diri harus bersinar, terang dan jelas. Saat sekarang tempat suci di dalam hati dalam keadaan gelap dengan kebohongan, ketidakadilan, kekejaman, dan kecongkakan. Tindakan ‘menyalakan’ adalah simbol dari menerangi hati, menghilangkan kegelapan dari egoisme dan kebodohan, sehingga Tuhan dapat diungkap dengan seluruh kemuliaan-Nya. Masalahnya adalah walaupun pengetahuan berkembang begitu cepat di berbagai bidang, kebijaksanaan masih tertinggal. Manusia menjadi budak dari nafsu dan kesombongan, dan terinfeksi dengan iri hati, sinisme, dan kesombongan dimana-mana. Mereka membiarkan pikiran menyeret mereka ke mana saja semaunya! Pengendalian pikiran dapat dicapai melalui disiplin dan latihan spiritual! (Divine Discourse Jul 18, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 9th March 2020 (Monday)

Lately, there is a huge progress everywhere in the material field, there are many schemes and plans to increase prosperity and comforts. Schools, hospitals, offices and factories are multiplying, but there is no peace in the hearts of people. Why? Because there is no corresponding increase in moral conduct! ‘Man’ means, ‘One who has control over the mind (manas).’ To remove dirt from a white cloth, what do you do? You soak it in warm water, rub soap flakes, and beat it on a hard surface. You do not make it white; it is white already! You only remove the non-whiteness during washing, isn’t it? So also, never forget that your individual soul is pure! When it is soiled, cleanse it. To keep it pure, soak it in good conduct and noble character, soap it with meditation on God, warm it in discriminatory wisdom helped by reason, and beat it on the slab of renunciation. 


Akhir-akhir ini, ada kemajuan besar di mana-mana di bidang material, ada banyak skema dan rencana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Sekolah, rumah sakit, kantor, dan pabrik, jumlahnya berlipat ganda, tetapi tidak ada kedamaian di hati. Mengapa? Karena tidak ada peningkatan pada perilaku moral! 'Manusia' berarti, 'Seseorang yang memiliki kendali atas pikiran (manas).' Untuk menghilangkan kotoran dari kain putih, apa yang engkau lakukan? Engkau merendamnya dalam air hangat, menggosoknya dengan sabun, dan mengocoknya pada permukaan yang keras. Engkau tidak membuatnya putih; kain itu sudah putih! Engkau hanya menghapus noda yang tidak berwarna putih selama mencuci, bukan? Demikian juga, jangan pernah lupa bahwa jiwa pribadimu adalah murni! Saat jiwa tersebut tidak murni, maka bersihkanlah. Untuk menjaganya tetap murni, engkau hendaknya merendamnya dalam perilaku yang baik dan karakter yang mulia, menyabuninya dengan meditasi pada Tuhan, menghangatkannya dalam kebijaksanaan diskriminatif dibantu dengan akal, dan memukulkannya pada lempengan pelepasan keduniawian (Divine Discourse 18 July 1961)

-BABA

Sunday, March 8, 2020

Thought for the Day - 8th March 2020 (Sunday)

Past, present, or future, women are the backbone of progress and the heart of the nation. In fact they are its very breath. Charged with holiness, they play the chief role in the dharma of life. No nation can be built without investing in the culture of its women. The world can be lifted to its pristine greatness only through women mastering the science of realisation of Reality (Atma-vidya). If a nation is to have lasting prosperity and peace, women must be trained through an educational system that emphasises moral conduct and moral qualities. Every woman must be able to understand the problems of the family, society and the countries. She must render such service and help as she can, within the limits of her resources and capacity, to the family, community and the country. The present downfall in moral standards and absence of social peace is due to the neglect of this aspect of women's education. 


Masa lalu, sekarang atau masa depan, para wanita adalah tulang belakang dari kemajuan serta jantung sebuah bangsa. Sejatinya, para wanita adalah nafas hidup dari sebuah bangsa. Diliputi dengan kesucian, para wanita memainkan peran yang utama dalam dharma kehidupan. Tidak ada bangsa yang dapat dibangun tanpa melakukan investasi dalam kebudayaan wanitanya. Dunia dapat diangkat pada kebesarannya yang sesungguhnya hanya melalui para wanita yang menguasai pengetahuan tentang kesadaran kenyataan yang sejati (Atma-vidya). Jika sebuah bangsa ingin mendapatkan kesejahteraan dan kedamaian yang kekal, para wanita harus dilatih melalui sebuah sistem pendidikan yang menekankan pada tingkah laku moral dan kualitas moral. Setiap wanita harus mampu memahami masalah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Wanita harus memberikan pelayanan yang seperti itu dan membantu yang dia bisa, dalam batas sumber daya dan kapasitasnya, kepada keluarga, masyarakat dan bangsa. Kemerosotan standar moral saat sekarang dan hilangnya kedamaian sosial disebabkan karena pengabaian aspek pendidikan wanita. (Dharma Vahini, Ch 5)

-BABA

Thought for the Day - 7th March 2020 (Saturday)

Where there is Love, there God is certainly evident. Love more and more people, love more and more intensely; transform the love into service and transform the service into worship - that is the highest sadhana. There is no living being without the spark of love; even a mad man loves something or somebody intensely. But you must recognise this love as but a reflection of the Premaswarupa (the Embodiment of Love) that is your reality, the God who is residing in your heart. Without that spring of Love that bubbles in your heart, you will not be prompted to love all. Recognise that spring, rely on it more and more, develop its possibilities, try to irrigate the whole world with it, discard all touch of self from it, and do not seek anything in return for it from those to whom you extend it. In your daily affairs, do not create factions, or revel in hatred. See the good in others and the faults in yourselves. Revere others as having God installed in them; revere yourself also as the seat of God. Make your heart pure so He can reside therein. 


Di mana ada Cinta-kasih, di sanalah Tuhan terlihat dengan jelas. Cintailah semakin banyak orang, semakin banyak dan semakin intens; ubahlah cinta-kasih menjadi pelayanan dan ubahlah pelayanan menjadi ibadah - inilah sadhana tertinggi. Tiada makhluk hidup yang tidak memiliki percikan cinta-kasih; bahkan orang yang dicap kurang-waras sekalipun juga sangat mencintai sesuatu atau seseorang. Tetapi engkau harus menyadari bahwa cinta-kasih ini merupakan cerminan dari Premaswarupa (perwujudan cinta-kasih) yang merupakan bagian dari realitas dirimu, Tuhan yang bersemayam di hatimu. Tanpa adanya sumber cinta-kasih dihatimu, maka engkau tidak akan terdorong untuk mencintai semuanya. Kembangkanlah cinta-kasihmu hingga melingkupi seisi dunia, dan buanglah semua sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri, dan jangan mengharapkan imbalan apapun dari orang-orang yang engkau kasihi. Dalam urusan sehari-harimu, jangan membuat faksi, atau bersenang-senang. Lihatlah kebaikan orang lain dan kesalahan dalam dirimu. Pujilah orang lain karena Tuhan telah terinstal di dalamnya; hormatilah dirimu juga sebagai kedudukan Tuhan. Jadikan hatimu suci sehingga Beliau bisa tinggal di sana (Divine Discourse Mar 26, 1965)

-BABA