Thursday, August 31, 2017

Thought for the Day - 31st August 2017 (Thursday)

Without giving up sloth, how can Truth be known? Without giving up passion, how can devotion take root? Be serene and calm in stress and storm - that is the Satwik or pious path to win the Lord, the Truth. The mind is a wonder, its antics are even more surprising. It has no distinct form or shape. It assumes the shape or form of what it is involved in. Wandering from wish to wish, flitting from one desire to another is its nature. It causes loss and grief, elation and depression. Its effects are both positive and negative. The mind will gather experiences and store them in the memory for ever. It does not know the art of giving up! As a consequence, grief, anxiety and misery continue simmering in it. It is worthwhile to know the characteristics of your mind and the ways to master it, for you will ultimately benefit! Teach it sacrifice (tyaga), and you will become spiritually wise (yogi)!


Tanpa menghilangkan kemalasan, bagaimana kebenaran dapat diketahui? Tanpa melepaskan nafsu, bagaimana bhakti bisa berakar dengan kuat? Tetaplah tenang dalam tekanan dan badai – itu adalah jalan Satwik atau luhur untuk bisa mendapatkan Tuhan, yaitu kebenaran. Pikiran adalah sebuah keajaiban, kelakarnya bahkan lebih mengejutkan lagi. Pikiran tidak memiliki bentuk atau rupa yang nyata. Pikiran mengambil bentuk atau wujud pada apa yang dikaitkan padanya. Berkeliaran dari satu keinginan ke keinginan yang lainnya, berganti-ganti dari satu keinginan ke yang lainnya adalah sifat alami dari pikiran. Pikiran menyebabkan kehilangan dan kesedihan, kegembiraan, dan depresi. Memberikan dampak keduanya yaitu positif dan negatif. Pikiran akan mengumpulkan pengalaman dan menyimpannya dalam ingatan selamanya. Pikiran tidak mengetahui seni dalam melepaskan! Sebagai akibatnya, kesedihan, kecemasan, dan penderitaan terus membara di dalamnya. Penting untuk mengetahui karaktersitik pikiranmu dan cara untuk menguasainya, karena pada akhirnya engkau akan mendapatkan keuntungan! Ajarkan pikiran tentang pengorbanan (tyaga), dan engkau akan menjadi bijak secara spiritual (yogi)! (Divine Discourse, Jan 8,1983)

-BABA

Wednesday, August 30, 2017

Thought for the Day - 30th August 2017 (Wednesday)

Your worldly intelligence cannot fathom the ways of God. God cannot be recognised by mere cleverness, which is what your intelligence is! You may benefit from God, but you cannot explain Him. You may benefit from electricity and use it in thousand ways, but you cannot explore and explain its mystery. At best, your explanations are merely guesses, attempts to clothe your ignorance in pompous expressions. The real mistake is, you give the brain more value than it deserves. The Supreme Truth (Para-tattva) is beyond your brain; standing on the rock, can you lift it? Standing in ignorance (maya), you cannot discard it! Bring something into your daily practice as evidence of your having known the secret of the higher life from Me. Show that you have greater brotherliness, speak less, speak with more sweetness and self-control and demonstrate that you can bear defeat and victory with calm resignation.

Kecerdasan duniawimu tidak bisa mengerti jalan dari Tuhan. Tuhan tidak bisa diketahui dengan kepintaran belaka yang merupakan kecerdasanmu! Engkau bisa mendapatkan keuntungan dari Tuhan namun engkau tidak bisa menjelaskan tentang Tuhan. Engkau bisa mendapatkan keuntungan dari listrik dan menggunakannya dengan ribuan cara, namun engkau tidak bisa mengeksplorasi dan menjelaskan misterinya. Paling banter, penjelasanmu hanyalah tebakan, berusaha untuk menutupi kebodohanmu dalam ekspresi sombong. Kesalahan sebenarnya adalah, engkau memberikan nilai lebih pada otak daripada yang seharusnya. Kebenaran yang tertinggi (Para-tattva) adalah melampaui otakmu. Berdiri diatas batu cadas, dapatkah engkau mengangkatnya? Berdiri dalam kebodohan (maya), engkau tidak bisa membuangnya! Bawa sesuatu dalam latihan harianmu sebagai bukti bahwa engkau telah mengetahui rahasia hidup yang lebih tinggi dari Aku. Tunjukkan bahwa engkau memiliki persaudaraan yang lebih besar, berbicara sedikit, berbicara lebih banyak dengan kelembutan dan pengendalian diri dan tunjukkan bahwa engkau dapat menahan kekalahan dan keberhasilan dengan berserah kepada Tuhan dengan tenang. (Divine Discourse, Oct 9, 1964)

-BABA

Tuesday, August 29, 2017

Thought for the Day - 29th August 2017 (Tuesday)

Just as the body is the house you live in, the world is the body of God. An ant biting the little finger of your foot is able to draw your full attention to the spot, and you react to that pain immediately. You must similarly feel the pain, misery, joy or elation, wherever it is present; you must make an effort to protect your countries and fellow countrymen, however remote may be the place where the suffering occurs. Be kind with all your kith and kin. Expand your empathy; serve others who are in need to the extent your skill and resources permit you. Do not fritter away your talents in profitless channels. Everyone consumes a large quantity of food, but never calculates what one does in return to the society that helped one to live! The food you eat must be transformed into service, either towards one's best interest, or for the interests of others. You should not be a burden on others or an enemy of yourself.


Sama halnya dengan tubuh adalah rumah dimana engkau tinggal, dunia adalah tubuh dari Tuhan. Seekor semut yang sedang menggigit jari kelingking kakimu mampu untuk menarik seluruh perhatian pada titik sakit itu dan engkau bereaksi dengan segera. Sama halnya engkau harus merasakan rasa sakit, penderitaan, suka cita, atau kegembiraan, dimanapun itu terjadi; engkau harus melakukan sebuah usaha untuk melindungi negaramu dan saudara sebangsamu, bagaimanapun terpencilnya tempat itu dimana terjadi penderitaan. Jadilah baik kepada semua sanak keluargamu. Kembangkan empatimu; layani yang lain yang memerlukan sampai pada keahlian dan sumber daya yang engkau miliki. Jangan menyia-nyiakan bakatmu untuk hal yang tidak berguna sama sekali. Setiap orang mengonsumsi banyak makanan, namun tidak pernah menghitung apa yang seseorang dapat lakukan sebagai balasan kepada masyarakat yang telah membantunya untuk hidup! Makanan yang engkau makan harus dirubah menjadi pelayanan, untuk kepentingan terbaik seseorang atau untuk kepentingan yang lain. Engkau seharusnya tidak menjadi beban bagi yang lain atau menjadi musuh diri sendiri. (Divine Discourse, Feb 3, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 28th August 2017 (Monday)

Samskriti, the word for culture, is derived from the word, samskara. Samskara is the dual process of removing the dust and dirt of vices and the planting of virtues. Know that envy is the stickiest dirt! You must be happy when others are happy. Rama is said to have been happy when others were happy; the Ramayana says that He was then as happy as if the event that made the other person happy had happened to Him. That is the true test. Krishna speaks of Arjuna as envy-less (An-asuya). What a great compliment! Therefore, He proposed to teach him the mysteries of spiritual discipline. Sathyabama is infamous in many stories because of her jealousy; in every instance Krishna attempts to put down this vice and teach her humility. Have Love towards the Lord, but do not become depressed with envy when others also love Him or get attached to Him.


Samskriti, kata budaya adalah berasal dari kata samskara. Samskara adalah proses rangkap dua yaitu proses menghilangkan debu dan kotoran sifat buruk serta menanamkan kebaikan. Ketahuilah bahwa iri hati adalah kotoran yang paling lengket! Engkau harus senang ketika yang lainnya senang. Rama dikatakan bahagia ketika yang lainnya bahagia; dalam Ramayana mengatakan bahwa Sri Rama merasa bahagia seperti jika kejadian yang membuat orang lain bahagia telah terjadi pada-Nya. Itu adalah ujian yang sebenarnya. Sri Krishna berbicara tentang Arjuna sebagai tanpa iri hati (An-asuya). Betapa besar pujian itu! Maka dari itu, Sri Krishna bermaksud untuk mengajarkannya misteri dari disiplin spiritual. Sathyabama adalah terkenal karena nama buruk dalam banyak cerita karena kecemburuannya; dalam setiap peristiwa Sri Krishna berusaha untuk menurunkan sifat tidak baik ini dan mengajarkannya kerendahan hati. Miliki kasih pada Tuhan, namun jangan menjadi sedih dengan iri hati ketika yang lain juga mencintai Tuhan atau menjadi terikat kepada-Nya. (Divine Discourse, Oct 9, 1964)

-BABA

Sunday, August 27, 2017

Thought for the Day - 27th August 2017 (Sunday)

Those who are trying to build the human community on a foundation of wealth (dhana), are building on sand; those who seek to build it on the rock of righteousness (dharma) are the wise. Dharma moolam idham jagath: Righteousness and duty is the root of this world. Obey it and you are happy. The evil man is a coward, haunted by fear. He has no peace within him. Respect for the parents, who started you in life and brought you into this world to gather the vast and varied treasure of experience, is the first lesson that Dharma teaches. Gratitude is the spring which feeds that respect. It is a quality that is fast disappearing in the world today. Respect for parents, teachers, elders and the wise are all on the decline. People talk loud and long in all kinds of platforms about right conduct, love, peace, compassion, truth, etc. and these get published in the newspaper next day, and there their purpose ends. Put into practice at least a fraction of what you preach.


Bagi mereka yang sedang mencoba untuk membangun komunitas manusia dengan pondasi kekayaan (dhana), itu berarti sedang membangun di atas pasir; bagi mereka yang ingin membangunnya di atas batu kebajikan (dharma) maka mereka adalah bijaksana. Dharma moolam idham jagath: kebajikan dan kewajiban adalah akar dari dunia ini. Patuhilah hal ini dan engkau adalah bahagia. Manusia yang jahat adalah seorang pengecut, dihantui oleh ketakutan. Ia tidak memiliki kedamaian di dalam dirinya. Hormatilah orang tua yang memulaimu dalam hidup ini dan membawamu ke dunia ini untuk mengumpulkan harta karun pengalaman yang luas dan berbagai jenis, adalah pelajaran pertama yang Dharma ajarkan. Rasa terima kasih adalah mata air yang menopang rasa hormat. Ini adalah sifat atau kualitas yang dengan cepat lenyap dari dunia pada hari ini. Rasa hormat pada orang tua, guru, yang lebih tua, dan bijaksana semuanya mengalami kemerosotan. Orang-orang berbicara keras dan lama dalam berbagai jenis topik  tentang kebajikan, kasih, kedamaian, welas asih, kebenaran, dsb, dan hal ini dimuat dalam surat kabar pada keesokan harinya dan tujuan dari semuanya itu berakhir. Lakukan dalam praktik setidaknya sedikit saja apa yang engkau katakan. (Divine Discourse, Feb 3, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 26th August 2017 (Saturday)

The six vices of lust, anger, greed, pride, delusion and envy have enveloped most people. Attachment and aversion have gripped them. Due of this most people have forgotten their real nature and are filled with pride of all sorts. Losing their power of discrimination (vichakshana-jnana), people indulge in all kinds of misbehavior towards others. The scriptures prescribe devotional worship (upasana) as a means of getting rid of these bad qualities. Upasana is the process of elimination of the accumulated impurities in the mind resulting from impure thoughts and actions in the past. As a lighted joss stick removes by its fragrance the bad odour in a place, devotional repetition of the name of God drives away the impurities of the mind. Remember, all actions done as an offering to God are pure actions (sat-karmas). Through such actions, the mind is purified.


Enam sifat buruk yaitu nafsu, amarah, tamak, sombong, khayalan, dan iri hati telah berkembang dalam diri kebanyakan orang. Keterikatan dan antipati telah mencengkram mereka. Disebabkan oleh ini maka kebanyakan orang telah melupakan sifat sejati mereka dan diliputi dengan kesombongan segala macam. Kehilangan kemampuan mereka dalam membedakan (vichakshana-jnana), manusia terlibat dalam berbagai jenis tingkah laku yang salah kepada yang lainnya. Naskah suci menjelaskan pemujaan bhakti (upasana) adalah sebagai sarana dalam menghilangkan sifat-sifat buruk ini. Upasana adalah proses dalam melenyapkan kumpulan dari ketidakmurnian dalam pikiran akibat dari ketidakmurnian dalam pikiran dan tindakan di masa lalu. Seperti halnya dupa yang menghilangkan bau busuk di sekitarnya dengan keharumannya, pengulang-ulangan nama suci Tuhan mengusir ketidakmurnian pikiran. Ingatlah, semua perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan adalah perbuatan yang suci (sat-karmas). Melalui perbuatan itu, pikiran disucikan. (Divine Discourse, Oct 4, 1989)

-BABA

Friday, August 25, 2017

Thought for the Day - 25th August 2017 (Friday)

‘Vinayaka’ means the One who is the Master of Himself. The mouse is the vehicle of Vinayaka. What is the inner significance of the little mouse? The mouse symbolises your attachment to worldly tendencies (vasanas). The mouse moves quickly and can see well in the dark. As Vinayaka's vehicle, the mouse leads you from darkness to light. The Vinayaka principle thus means that which removes all the bad qualities, bad practices and bad thoughts in every person and inculcates good qualities, good conduct and good thoughts. Another name for Vinayaka is ‘Vighneshwara’. Easwara is one who is endowed with every conceivable form of wealth - riches, knowledge, health, bliss, beauty, etc. Vighneswara nourishes all these forms of wealth and removes all obstacles to your righteous enjoyment. He confers all these forms of wealth on those who worship Him. Hence, Vinayaka is described as the first deity who should be worshipped (Prathama Vandana). Understand the inner meaning, and worship Him.


‘Vinayaka’ berarti Beliau yang menjadi Master bagi dirinya sendiri. Tikus adalah wahana dari Vinayaka. Apa makna yang terkandung di dalam tikus kecil itu? Tikus adalah melambangkan keterikatanmu pada kecendrungan duniawi (vasana). Tikus bergerak dengan cepat dan dapat melihat dengan baik di dalam kegelapan. Sebagai wahana dari Vinayaka, tikus menuntunmu dari kegelapan menuju cahaya. Prinsip dari Vinayaka berarti yang menghancurkan semua sifat buruk, kebiasaan buruk, dan pikiran buruk di dalam setiap orang dan menanamkan sifat-sifat yang baik, tingkah laku yang baik, dan pikiran baik. Nama lain dari Vinayaka adalah 'Vighneshwara'. Easwara adalah Beliau yang dianugrahkan dengan setiap bentuk kekayaan yang dapat dipikirkan – kekayaan, pengetahuan, kesehatan, kebahagiaan, kecantikan, dsb. Vighneswara memelihara semua bentuk dari kekayaan dan menghancurkan semua halangan untuk mendapatkan kesenangan sejatimu. Beliau menganugerahkan semua bentuk kekayaan pada mereka yang memuja-Nya. Oleh karena itu, Vinayaka dijelaskan sebagai dewata pertama yang seharusnya dipuja (Prathama Vandana). Pahamilah arti yang terkandung di dalamnya dan pujalah Beliau. (Divine Discourse, Sep 12, 1991)

-BABA

Thursday, August 24, 2017

Thought for the Day - 24th August 2017 (Thursday)

Today people are not making proper use of their mind (mati), effort (gati), position (stiti) and wealth (sampathi), and losing the sacred energy that God has gifted. Not merely this, they are subjected to misery and grief because of evil traits like desire, anger and greed (kama, krodha and lobha). People absolutely have no control over their desires. When one desire is fulfilled, they crave for another. Anger is another evil trait which ruins. Hatred is more dangerous than anger. These give rise to many evil qualities which obstruct you from experiencing Divinity. You will also be tormented by the reflection, reaction and resound of your own evil qualities. Desire, anger and hatred are not human qualities; they are bestial tendencies. You will become a beast if you allow these wicked qualities to overpower you. Hence, constantly remind yourself that you are a human being and not a beast, and subdue these tendencies and enjoy a happy life.


Hari ini orang-orang tidak menggunakan dengan baik pikiran (mati) mereka, usaha (gati), jabatan (stiti) dan kekayaan (sampathi), dan kehilangan energi yang suci yang Tuhan telah berikan. Tidak hanya ini saja, mereka juga tunduk kepada penderitaan dan duka cita karena sifat jahat seperti keinginan, amarah, dan ketamakan (kama, krodha, and lobha). Manusia sepenuhnya tidak memiliki kendali atas keinginan mereka. Ketika satu keinginan terpenuhi, maka mereka menginginkan keinginan yang lainnya. Amarah juga adalah sifat jahat lainnya yang dapat menghancurkan. Kebencian adalah lebih berbahaya daripada amarah. Semuanya ini membangkitkan banyak sifat jahat yang menghalangimu dalam mengalami keillahian. Engkau juga akan disiksa dengan bayangan, reaksi, dan gema dari sifat jahatmu. Keinginan, amarah, dan kebencian bukanlah sifat dari manusia; semuanya itu adalah kecenderungan dari binatang. Engkau akan menjadi binatang buas jika engkau mengizinkan sifat-sifat yang jahat ini menguasaimu. Oleh karena itu, secara terus menerus ingatkan dirimu bahwa engkau adalah manusia dan bukan binatang buas, dan menundukkan semua kecenderungan ini dan menikmati hidup yang bahagia. (Divine Discourse, Sep 10, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 23rd August 2017 (Wednesday)

The primary cause of sorrow for every person is birth itself. Ignorance (aavarana) covers or envelops the human-body and creates the state of the mind in which the body, made up of the five elements and the senses of perception and action, is regarded as the real self. Because of this mental condition, people entertain delusions regarding the body which are false and unreal. 'Mala' means impurities. As a state of mind 'mala' refers to the condition in which one regards the impermanent, the false and the unsacred as permanent, true and holy. Past actions are the root-cause of your birth. Desire is the root-cause for all actions. Desire is prompted by attachment, which originates from lack of understanding. Ego is the cause of this ignorance. When ignorance is removed, ego subsides. Absence of egoism leads to right understanding, decline in desires and actions being sanctified. Then life becomes meaningful.


Penyebab utama dari penderitaan setiap orang adalah kelahiran itu sendiri. Kebodohan (aavarana) membungkus atau menutupi tubuh manusia dan menciptakan keadaan pikiran dimana tubuh yang disusun oleh lima unsur dan indria persepsi dan tindakan dianggap sebagai diri yang sejati. Karena keadaan batin yang seperti ini, manusia memikirkan khayalan tentang tubuh yang tidak benar dan tidak nyata. Mala berarti ketidakmurnian. Dalam keadaan pikiran ini mala mengacu pada keadaan dimana seseorang menganggap yang tidak kekal, yang tidak benar dan yang tidak suci adalah kekal, benar, dan suci. Perbuatan yang terdahulu adalah akar penyebab kelahiranmu. Keinginan adalah akar penyebab dari semua tindakan. Keinginan di dorong oleh keterikatan yang muncul dari kurangnya pemahaman. Ego adalah penyebab dari kebodohan ini. Ketika kebodohan dihilangkan maka ego mereda. Tanpa adanya ego menuntun pada pemahaman yang benar, berkurangnya keinginan, dan tindakan menjadi disucikan. Kemudian hidup menjadi bermakna. (Divine Discourse, Oct 4, 1989)

-BABA

Tuesday, August 22, 2017

Thought for the Day - 22nd August 2017 (Tuesday)

Divine life is the very breath of all beings; it consists of truth, love, and nonviolence (Sathya, Prema and Ahimsa). How can anyone be false to another when there is no other at all? Falsehood comes out of fear. When there is no second, there is no fear at all. No one is loved more than the Self; so when all is the self-same Self, all is loved as the Self is loved. As for violence, who is to injure whom, when all are but one? You are all embodiments of Existence-Consciousness-Bliss (Sath-Chith-Ananda Swarupa), but you are unaware of it and imagine yourself to be subjected to this limitation or that! Explode this myth first so you can start leading a divine life. It is the Divine that inspires, activates, leads and fulfills the life of every being! From the atom to the Universe, every single entity is moving through the creeks only to merge in the sea of Bliss.


Hidup illahi adalah nafas hidup bagi semua makhluk hidup; hal ini terdiri dari kebenaran, kasih, dan tanpa kekerasan (Sathya, Prema, dan Ahimsa). Bagaimana seseorang bisa salah pada yang lainnya ketika tidak ada orang lain sama sekali? Kebohongan muncul dari rasa takut. Ketika tidak ada yang kedua, maka tidak ada rasa takut sama sekali. Tidak ada seorangpun yang dikasihi lebih daripada sang Diri; jadi ketika semuanya adalah Diri yang sama, semua dikasihi seperti Diri yang dikasihi. Sedangkan untuk kekerasan, siapa yang mencelakai siapa, ketika semuanya hanyalah satu? Engkau semua adalah perwujudan dari Eksistensi-Kesadaran-Kebahagiaan (Sath-Chith-Ananda-Swarupa), namun engkau tidak menyadari akan hal ini dan membayangkan dirimu sendiri mengalami keterbatasan ini atau itu! Pertama buktikan kesalahan mitos ini sehingga engkau dapat memulai menjalani hidup illahi. Adalah Tuhan yang menginspirasi, mengaktifkan, menuntun, dan memenuhi hidup dari setiap makhluk! Mulai dari atom sampai pada alam semesta, setiap entitas sedang bergerak melalui sungai kecil hanya untuk menyatu dalam laut kebahagiaan. (Divine Discourse, Venkatagiri, April 1957)

-BABA

Thought for the Day - 21st August 2017 (Monday)

The Lord is so full of Grace that He willingly guides and guards all who surrender to Him. When the battle with Ravana was over, one glance from Lord Rama’s merciful eye was enough to revive the monkeys who had fallen on the ground, and to heal the wounds they earned during the war. Some demons had penetrated into the monkey camp in disguise; they were brought before Rama for summary punishment! Lord Rama smiled and pardoned them, for they assumed the monkey form which was so dear to Him; He sent them away, unharmed! That was the measure of His mercy. To win the Lord’s bounteous grace, you must become permeated with righteousness (dharma) so that every act is God-worthy. With the sharp chisel of intellect (buddhi), shape the mind (manas) into a perfect image of Dharma-murthi, the idol (or embodiment) of righteousness. Then you will shine with the splendour of the Divine. That is the task you should dedicate yourself to today.


Tuhan adalah penuh dengan karunia dimana Beliau dengan suka rela menuntun dan menjaga semua yang berserah diri kepada-Nya. Ketika pertarungan Ravana telah selesai, satu tatapan dari Rama yang penuh dengan welas asih adalah cukup untuk menghidupkan kembali para kera yang tergeletak di atas tanah dan menyembuhkan luka-luka akibat dari peperangan. Beberapa raksasa telah menyamar dan masuk ke dalam kemah para kera; dan mereka ditangkap dan dibawa kehadapan Sri Rama untuk mendapatkan hukuman! Sri Rama tersenyum dan memaafkan mereka, karena mereka menganggap bahwa wujud kera yang disayang oleh Sri Rama; Sri Rama mengusir mereka jauh dan tidak disakiti! Itu adalah ukuran dari welas asih-Nya. Untuk bisa mendapatkan karunia Tuhan yang maha pemurah, engkau harus diliputi sepenuhnya dengan kebajikan (dharma) sehingga setiap perbuatan adalah layak untuk Tuhan. Dengan pahat intelek yang tajam (buddhi), bentuklah pikiran (manas) menjadi wujud yang sempurna dari Dharma-murthi, perwujudan dari kebajikan. Kemudian engkau akan bersinar dengan kemegahan illahi. Itu adalah tugas yang seharusnya engkau dedikasikan untuk hari ini. (Divine Discourse, Jan 11,1966)

-BABA

Sunday, August 20, 2017

Thought for the Day - 20th August 2017 (Sunday)

How to lead a divine life? No special membership entitles you to it. Every struggle to realise the unity behind all the multiplicity is a step on the path of divine life. Divine life does not admit of the slightest dross in character or delusion in intellect. Wipe out the root causes of anxiety, fear and ignorance. Then only can your true personality shine forth. Anxiety is removed by faith in the Lord; the faith that tells you that whatever happens is for the best and that the Lord’s Will be done. Quiet acceptance is the best armour against anxiety. Sorrow springs from egoism, the feeling that you do not deserve to be treated so badly, that you are left helpless. When egoism goes, sorrow disappears. Ignorance is just a mistake, mistaken identity of the body as the Self! In fact, you must each one try to become egoless, and then the Lord will accept you as His flute.


Bagaimana menjalani hidup illahi? Tidak ada keanggotaan khusus yang memberikan hak padamu untuk itu. Setiap usaha untuk menyadari kesatuan dibalik semua keanekaragaman adalah sebuah langkah pada jalan hidup illahi. Hidup illahi tidak memungkinkan sedikitpun adanya sampah dalam karakter atau khayalan dalam intelek. Bersihkan akar penyebab dari kecemasan, ketakutan, dan kebodohan. Hanya demikian kepribadianmu yang sejati dapat bersinar seterusnya. Kecemasan dihilangkan dengan keyakinan kepada Tuhan; keyakinan yang mengatakan kepadamu bahwa apapun yang terjadi adalah untuk yang terbaik dan kehendak Tuhan akan terjadi. Penerimaan yang tenang adalah perisai terbaik melawan kecemasan. Penderitaan muncul dari egoisme, perasaan bahwa engkau tidak layak diperlakukan begitu buruk, bahwa engkau ditinggalkan tanpa harapan. Ketika ego itu pergi maka penderitaan akan menghilang. Kebodohan hanyalah sebuah kesalahan, kesalahan dengan menganggap tubuh adalah sebagai diri yang sejati! Sebenarnya, setiap orang darimu harus mencoba menjadi tanpa ego dan kemudian kehendak Tuhan akan menerimamu sebagai seruling-Nya. (Divine Discourse, Venkatagiri, April 1957)

-BABA

Thought for the Day - 19th August 2017 (Saturday)

Many people waste time discussing the superiority of one path over another, especially between karma, bhakti and jnana margas. These three paths - Work, Worship and Wisdom - are complementary, not contradictory. Work is like the feet, Worship, the hands, and Wisdom, the head. These three must co-operate. Bhakti marga is the name given to the path of surrender to the Lord's will (saranagathi), the merging of the individual will in the Divine Will. Lakshmana is the classic example of this spirit of surrender that saves. Once during his exile in the forest, Rama asked Lakshmana to put up a thatched-hut on a site of his choice. Lakshmana was shocked and was struck down with grief. He pleaded with Rama: "Why do you ask me to select the site? Don't you know that I have no will of my own. You decide and I obey; you command, I carry out the order." That is real surrender, acquired by constant practice of detachment.


Banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya dengan mendiskusikan kehebatan satu jalan dengan jalan yang lainnya, khususnya diantara Karma, Bhakti, dan Jnana marga. Ketiga jalan ini - kerja, ibadah, dan kebijaksanaan – adalah saling melengkapi dan bukan bertentangan. Kerja adalah seperti kaki, ibadah adalah tangan, dan kebijaksanaan adalah kepala. Ketiganya harus saling bekerja sama. Bhakti marga adalah nama yang diberikan pada jalan berserah diri pada kehendak Tuhan (saranagathi), menyatunya kehendak individu dalam kehendak Tuhan. Lakshmana adalah teladan klasik dalam semangat berserah diri yang menyelamatkan. Suatu hari pada saat pengasingan di dalam hutan, Rama meminta Lakshmana untuk membangun pondok dari jerami di tempat sesuai pilihannya. Lakshmana menjadi terkejut dan menjadi sangat bersedih. Ia memohon kepada Rama: "Mengapa Engkau memintaku untuk memilih tempatnya? Tidakkah Engkau tahu bahwa aku tidak memiliki keinginanku sendiri. Engkau yang memutuskan dan aku yang akan mengikutinya; Engkau perintahkan, aku akan menjalankan perintah itu." Itu adalah berserah diri yang sejati, didapat dengan latihan secara terus menerus dari tanpa keterikatan. (Divine Discourse, Jan 11,1966)

-BABA

Friday, August 18, 2017

Thought for the Day - 18th August 2017 (Friday)

The bee hovers around the lotus, then sits on it and enjoys the nectar; while drinking, it is silent, steadfast, focussed, and forgets the world. People too behave like that when they are in the presence of God. The hum of the bee stops and is silent as soon as it sips the nectar. People too, argue and assert their opinion, only until they discover the sweet Divine Essence (rasa). That rasa is prema-rasa (the essence of love). Where there is love, there can be no fear, no anxiety, no doubt, and no restlessness (ashanthi). When you are afflicted with ashanthi you can be sure that your love is tainted with selfishness and your love has some ego mixed in it. The one that experiences divine love is the inner ‘I’, which is the reflection of the real ‘I’, the Soul (Atma). Senses are your deadly foes. When your senses are out of action, then the ‘I’ will shine in its full glory.


Lebah terbang melayang dekat di sekitar bunga teratai, kemudian hinggap di atas bunga itu dan menikmati nektar yang ada; ketika sedang menikmati nektar itu, lebah itu hening, tidak tergoyahkan, fokus dan lupa dengan dunia. Manusia juga seharusnya bertingkah laku seperti itu ketika mereka ada dalam kehadiran Tuhan. Suara dengung dari lebah berhenti dan keheningan terjadi saat mengisap nektar itu. Manusia juga masih tetap berdebat dan memaksakan pendapat mereka hanya sampai mereka menemukan rasa manis dari saripati Tuhan (rasa). Rasa itu adalah prema-rasa (saripati kasih sayang). Dimana ada kasih, disana tidak akan ada ketakutan, tidak ada kecemasan, tidak ada keraguan dan tidak ada kegelisahan (ashanthi). Ketika engkau terkungkung dalam kegelisahan (ashanthi) maka itu dapat dipastikan bahwa kasihmu dinodai oleh sifat mementingkan diri sendiri dan kasihmu telah tercampur dengan ego di dalamnya. Seseorang yang mengalami kasih Tuhan adalah ‘Aku’ di dalam diri, yang merupakan pantulan dari ‘Aku’ yang sejati yaitu sang jiwa (Atma). Indria adalah musuhmu yang mematikan. Ketika indriamu tidak beraksi, kemudian ‘Aku’ akan bersinar dengan penuh kemuliannya. (Divine Discourse, Feb 26, 1968)

-BABA

Thursday, August 17, 2017

Thought for the Day - 17th August 2017 (Thursday)

A thirsty passenger asked the water-carrier at an up-country railway station whether his leather bag was clean. The reply he got was, "As regards cleanliness, all I can say is that the bag which pours is cleaner than the bag which takes in (the body of the thirsty man)." You must care more for the cleanliness of your own mind and intellect. Instead of criticising others and finding faults with the actions of others, subject yourself to vigilant scrutiny, understand yourself well, and correct your own faults; do not be like the dancer who blamed the drummer for her wrong steps. This objective world is as ageless as God; we cannot determine when it came into being but we can determine when it will end, at least for each of us. When you look into the well, your reflection is always there; so far as you are concerned, your reflection can be removed from the well the moment you decide you will no more seek the well, or pay attention to it.


Seorang penumpang yang kehausan menanyakan penjinjing air di sebuah stasiun kereta api di negeri itu apakah tas kulitnya bersih. Jawaban yang ia dapatkan adalah, "mengenai kebersihan, semua yang dapat saya katakan adalah bahwa tas yang mempersiapkan dan melayani adalah lebih bersih daripada tas yang menerima dan makan (tas ini artinya tubuh dari orang yang haus itu)." Engkau harus lebih peduli pada kebersihan dari pikiranmu dan intelekmu sendiri. Daripada mengkritik yang lain serta mencari kesalahan dari perbuatan yang lain, bukalah dirimu pada penyelidikan yang cermat, pahami dirimu dengan baik, dan perbaiki kesalahanmu sendiri; jangan menjadi seperti penari yang menyalahkan pemain drum untuk langkahnya yang salah. Dunia yang obyektif ini adalah sama kekalnya dengan Tuhan; kita tidak bisa menentukan kapan hal ini terjadi namun kita dapat menentukan kapan ini akan berakhir, setidaknya untuk setiap orang dari kita. Ketika engkau melihat ke dalam sumur, bayanganmu akan selalu ada disana; sepanjang yang engkau tahu, bayanganmu dapat dihilangkan dari sumur pada saat engkau memutuskan engkau tidak akan lagi mencari sumur atau memberikan perhatian pada sumur itu lagi. (Divine Discourse, Aug 19, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 16th August 2017 (Wednesday)

The Gopis knew the secret of spiritual surrender. Their worship was not tainted by any bargaining spirit. For those who bargain and crave for profit, for whom reverence is equated with returns, ‘sell’ homage for a unit satisfactory response. They are like paid servants, bargaining salary, overtime, bonus, etc. They calculate how much they are able to extract for the service rendered. On the other hand, be like a member of the family, a kinsman, a friend. Feel that you are Lord's very own. Then work will not tire you, it will be done much better, and in fact will yield more satisfaction. And what about the wages? The master will maintain you in bliss. What more can you aspire for? Leave the rest to Him. He knows best; He is all. The joy of having Him is enough reward. Live your lives on these lines and you will never suffer grief. “Na me bhaktah pranashyati - My devotees never suffer,” says Krishna.


Para Gopi mengetahui rahasia dari penyerahan diri secara spiritual. Ibadah mereka tidak dinodai oleh keinginan untuk tawar-menawar. Bagi mereka yang tawar-menawar dan menginginkan keuntungan, mereka menjual kehormatan begitu banyak untuk mendapatkan balasan kepuasan. Mereka dibayar seperti pelayan, berteriak minta upah, tunjangan lembur, bonus, dsb. Mereka menghitung berapa banyak mereka dapat ambil dari pelayanan yang diberikan. Sebaliknya, jadilah seperti anggota dalam keluarga, sanak keluarga, sahabat. Rasakan bahwa engkau adalah milik Tuhan sendiri. Kemudian kerja tidak akan melelahkanmu, ini akan dilakukan jauh lebih baik dan sejatinya akan memberikan lebih banyak kepuasan. Dan bagaimana dengan upahnya? Tuhan akan menjagamu dalam kebahagiaan. Apa lagi yang bisa diinginkan oleh seseorang? Tinggalkan sisanya kepada-Nya. Beliau mengetahui yang terbaik; Beliau adalah segalanya. Suka cita dengan memiliki-Nya adalah hadiah yang sudah cukup. Jalani hidupmu dalam alur ini dan engkau tidak akan pernah menderita kesedihan. “Na me bhaktah pranashyati – Bhakta-Ku tidak pernah menderita,” kata Sri Krishna. (Divine Discourse, Aug 19, 1965)

-BABA

Tuesday, August 15, 2017

Thought for the Day - 15th August 2017 (Tuesday)

Today is Gokulashtami, Krishna's birthday. Celebrating it with special dishes is not that important. More important is adherence to Krishna's teachings. Where was Lord Krishna born? In a prison! What were his possessions? Nothing! Born in a prison, He was taken to the house of Nanda and then to Mathura. He owned nothing. But He became the greatest leader in the world. What does this show? Worldly possessions are not the secret of achieving greatness. Krishna's greatness was in his permanent state of bliss (Ananda). Lord Krishna gave a perennial message to the world - He sought and kept nothing for Himself, but gave away everything. He slayed his maternal uncle, Kamsa, but did not covet the kingdom; he installed on the throne Kamsa's father Ugrasena. He helped the Pandavas defeat Kauravas and crowned Dharmaja as the emperor. He was the king of kings who rules the hearts of millions!


Hari ini adalah Gokulashtami, ulang tahun Sri Krishna. Merayakannya dengan hidangan spesial tidaklah begitu penting. Yang lebih penting adalah kepatuhan terhadap ajaran Sri Krishna. Dimanakah Sri Krishna lahir? Di dalam penjara! Apa miliknya? Tidak ada! Lahir di penjara, Dia dibawa ke rumah Nanda dan kemudian ke Mathura. Dia tidak memiliki apa-apa. Tapi dia menjadi pemimpin terbesar di dunia. Apa ini pertunjukan? Kepemilikan duniawi bukanlah rahasia untuk mencapai kebesaran. Kebesaran Krishna berada dalam keadaan kebahagiaannya yang tetap (Ananda). Krishna memberikan pesan abadi kepada dunia - Dia mencari dan menyimpan apa pun untuk diri-Nya sendiri, namun menyerahkan segalanya. Dia membunuh paman ibunya, Kamsa, tapi tidak mengingini kerajaan; Dia memasang takhta Kamsa ayah Ugrasena. Ia membantu Pandawa mengalahkan Kaurava dan menobatkan Dharmaja sebagai kaisar. Dia adalah raja yang memerintah hati jutaan orang! (Divine Discourse, Sep 4, 1996)

-BABA

Thought for the Day - 14th August 2017 (Monday)

From the most ancient times Bharatiyas (Indians) considered Truth as God, loved it, fostered it, protected it and thereby achieved Divinity. They were devoted to Truth, wedded to Dharma (Righteousness) and regarded morality in society as their foremost duty. Today because people have forgotten Truth and Righteousness they are unable to solve national problems or end communal differences. We have the Bay of Bengal in the east and the Arabian Sea in the west and both merge in the Indian Ocean. Likewise, Bharat exemplifies the combination of worldly prosperity and spiritual progress. Bharat is the country, where the unity of the Jiva (the individual Spirit) and the Brahman (the Cosmic Spirit) was established. Remember, the term Bharat does not relate to any particular individual or country. True Bharatiyas are those who take delight in Self-knowledge. Hence anyone who shines by their own self-luminous power is a Bharatiya.


Dari zaman dahulu Bharatiya (orang India) menganggap kebenaran sebagai Tuhan, mencintainya, mengembangkannya, melindunginya dan maka dari itu mencapai keillahian. Penduduk India mengabdi pada kebenaran, menyandingkannya dengan Dharma (kebajikan) dan menganggap moralitas dalam masyarakat sebagai kewajiban mereka yang utama. Pada saat sekarang karena orang-orang telah melupakan kebenaran dan kebajikan maka mereka tidak mampu untuk mengatasi masalah nasional atau mengakhiri perbedaan yang terjadi. Kita memiliki teluk Bengal di timur dan lautan Arab di barat dan keduanya menyatu di lautan India. Sama halnya, Bharat menunjukkan kombinasi dari kesejahteraan duniawi dan kemajuan spiritual. Bharat adalah negara dimana kesatuan dari jiwa individu dan Tuhan ditegakkan. Ingatlah, istilah Bharat tidak terkait dengan individu atau bangsa tertentu saja. Bharatiya (orang India) yang sejati adalah mereka yang suka dalam pengetahuan diri. Oleh karena itu siapapun yang bersinar dengan kekuatan cahayanya sendiri adalah Bharatiya. (Divine Discourse, Nov 23,1990)

-BABA

Sunday, August 13, 2017

Thought for the Day - 13th August 2017 (Sunday)

Develop discrimination and evaluate even your own needs and wishes. Examine each on the touchstone of essentiality. When you pile up things in your apartments, you only promote darkness and dust; so also, do not collect and store too many materials in your mind. Travel light! Have just enough to sustain life and maintain health. The pappu (a lentils dish) must have only enough uppu (salt) to make the dish tasty. Do not spoil the dish by adding too much salt. Similarly, life becomes too difficult to bear if you put into it too much desire. Limit your desires to your capacity and even among them, have only those that will grant lasting joy. Do not run after fashion and public approval and strain your resources beyond repair. Also live in accordance with the code of rules that regulate life or the stage you have reached.


Kembangkan kemampuan membedakan dan mengevaluasi bahkan untuk kebutuhan dan keinginanmu sendiri. Periksa setiap keinginan itu pada batu uji nilai yang mendasar. Ketika engkau menumpuk barang di dalam apartemenmu, engkau hanya menjadikan ruangan itu gelap dan berdebu; begitu juga, jangan mengumpulkan dan menyimpan begitu banyak hal di dalam pikiranmu. Lakukan perjalanan dengan ringan! Miliki cukup hanya untuk menopang hidup dan menjaga kesehatan. Pappu (makanan lentil) harus hanya diberikan cukup uppu (garam) untuk membuatnya menjadi makanan yang enak. Jangan merusak makanan itu dengan menambahkan terlalu banyak garam. Sama halnya, hidup menjadi terlalu sulit untuk dijalani jika engkau menaruh ke dalamnya terlalu banyak keinginan. Batasi keinginanmu sampai pada kapasitasmu dan bahkan diantara keinginan itu, miliki hanya keinginan yang akan memberikanmu suka cita yang kekal. Jangan mengejar mode dan pengakuan umum dan menggunakan sumber dayamu sampai tidak dapat dipulihkan kembali. Hiduplah sesuai dengan pedoman yang mengatur kehidupan atau tahapan yang telah engkau capai. (Divine Discourse, Aug 19, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 12th August 2017 (Saturday)

Life is a tree of delusion, with all its branches, leaves and flowers of maya. You can realise it as such when you do all acts as dedicated offerings to please God. Without knowing this secret of transmuting your every act into sacred worship, you suffer from disappointment and grief. See Him as the sap through every cell as the Sun warms and builds its every part. See Him in all, worship Him through all, for He is all! Engage in any righteous activity, and fill it with devotion: remember it is only devotion that sanctifies the activity! A piece of paper is almost trash but if a certificate is written on it, you value it and treasure it; it becomes a passport for promotion in life. It is the bhava (feeling behind) that matters, not the bahya (outward pomp); it is the feeling that is important, not the activity.


Hidup adalah pohon khayalan dengan seluruh cabang, daun dan bunganya adalah maya. Engkau dapat menyadari hal ini pada hakekatnya ketika engkau melakukan semua perbuatan sebagai dedikasi persembahan untuk menyenangkan Tuhan. Tanpa mengetahui rahasia ini untuk mengubah setiap perbuatanmu ke dalam ibadah yang suci, engkau menderita dari kekecewaan dan duka cita. Lihatlah Tuhan sebagai getah yang melalui setiap sel seperti halnya matahari menghangatkan dan membangunnya dalam setiap bagian. Lihatlah Beliau dalam semuanya, pujalah Beliau melalui semuanya karena Beliau adalah segalanya! Libatkan diri dalam berbagai kegiatan yang baik, dan isilah dengan bhakti; ingatlah bahwa hanya bhakti yang dapat menyucikan perbuatan! Sehelai kertas hampir menjadi sebuah sampah namun jika kertas itu ditulis dengan penghargaan sebagai sertifikat maka engkau menghargainya; ini menjadi sebuah bagian untuk dapat mempromosikan dirimu dalam kehidupan. Ini adalah sebuah bhava (perasaan) yang ada dibalik hal itu, dan bukan bahya (kemegahan di luar); adalah perasaan yang penting dan bukan kegiatan. (Divine Discourse, Jan 11, 1966)

-BABA

Saturday, August 12, 2017

Thought for the Day - 11th August 2017 (Friday)

If you keep awake throughout the twelve hours on Shivarathri due to illness, that vigil will not win His favour. If you quarrel with your spouse and desist from food for one full day, it will not be recorded in the book of God as a fast. If you lose yourself in the depths of unconsciousness after a bout of drinking, you will not be counted as a person who has achieved Samadhi (spiritual trance). No bhokta (enjoyer) can be a bhakta (devotee); that is to say, one who has an eye on the profit that can be derived from service to God cannot be a true devotee. Such people praise the Lord to the skies one day and decry Him the next when their fortune gets dry. Treasure in your hearts the Amrita Vakyas (immortality granting message) that you have heard in spiritual discourses; ponder over them in the silence of your meditation and endeavour to realise the precious goal of this invaluable human birth.


Jika engkau terjaga selama 12 jam pada saat Shivaratri disebabkan karena sakit maka berjaga-jaga saat itu tidak akan bisa mendapatkan rahmat-Nya. Jika engkau bertengkar dengan pasanganmu dan menolak makan dalam satu hari penuh maka hal ini tidak akan dicatat sebagai puasa oleh Tuhan. Jika engkau kehilangan kesadaranmu karena banyak minum-minuman keras, engkau tidak akan disebut sebagai seseorang yang telah mencapai samadhi (keadaan tidak sadarkan diri dalam spiritual). Tidak ada bhokta (penikmat) dapat menjadi seorang bhakta; itulah dikatakan bahwa seseorang yang memiliki pandangan mencari keuntungan yang bisa didapatkan dari pelayanan kepada Tuhan, tidak bisa menjadi bhakta yang sejati. Orang-orang seperti itu memuji Tuhan sampai ke langit di satu hari dan mengutuk Tuhan saat keberuntungannya menjadi kering. Harta karun di dalam hatimu yaitu Amrita Vakya (pemberian pesan keabadian) yang telah engkau dengar dalam wacana spiritual; renungkanlah semuanya itu dalam keheningan meditasimu dan berusaha untuk menyadari tujuan yang berharga dari kelahiran manusia yang tidak terhingga nilainya. (Divine Discourse, Aug 19, 1964)

-BABA

Thursday, August 10, 2017

Thought for the Day - 10th August 2017 (Thursday)

If you go on a pilgrimage like a picnic, without the mental preparation necessary to receive God’s Grace, your travel is only for sight-seeing, not to strengthen your spiritual inclinations! Your journey is like that of a postal article, collecting impressions on the outer wrapper, not on the core of your inner being. A visually impaired person does not worry about day and night. So too, you cannot differentiate one place from another, if you do not allow the holiness to act on your mind. As a result of pilgrimages, your habits must change for the better; your outlook must widen; your inward look must become deeper and steadier. You must realise the omnipresence of God and the oneness of humanity. You must learn tolerance and patience, charity and service. After your pilgrimage, in your homes, ruminate over all the splendid experiences and be determined to strive for the higher and richer experience of God-realisation.


Jika engkau pergi melakukan perziarahan seperti halnya piknik tanpa adanya persiapan mental yang diperlukan untuk mendapatkan rahmat Tuhan maka perjalananmu hanyalah tamasya saja dan bukan untuk menguatkan kecendrungan spiritual! Perjalananmu adalah seperti barang-barang pos yang pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, mengumpulkan kesan bungkusan luar saja, namun bukan untuk inti batin di dalam dirimu. Orang yang mengalami gangguan penglihatan tidak cemas akan siang dan malam. Begitu juga, engkau tidak bisa membedakan satu tempat dengan yang lainnya, jika engkau tidak mengijinkan kesucian  dari tempat itu memberikan dampak dalam pikiranmu. Sebagai hasil dari perziarahan, kebiasaanmu harus berubah untuk yang lebih baik; pandanganmu harus lebih luas; pandanganmu ke dalam harus menjadi lebih mendalam dan mantap. Engkau harus menyadari kehadiran Tuhan dimana saja dan kesatuan dalam kemanusiaan. Engkau harus belajar toleransi dan kesabaran, derma dan pelayanan. Setelah perziarahanmu, duduklah di dalam rumahmu, merenungkan kembali semua pengalaman yang menyenangkan dan bertekad untuk berusaha mencapai pengalaman yang lebih tinggi dan kaya dalam kesadaran Tuhan. (Divine Discourse, Feb 28, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 9th August 2017 (Wednesday)

The conclusion of a Saptah (seven days long discourse) is called Samapti. But the term Samapti has a profound meaning for it too. It means, the attainment (Aapti) of Samam (Brahman or Divinity). That is the final fruit of listening, recapitulation and absorption (sravana, manana and nididhyasana) of spiritual lessons and discourses. In the worldly sense, it means the conclusion of a series of sessions; in the spiritual sense, it means transcending time! What is the sum and substance of all spiritual endeavour? It is that you must give up your pursuit of sensory objects in your seeking for lasting peace and joy. Material wealth brings along with it not only joy but grief as well. Accumulation of riches and multiplication of wants lead only to alternation between joy and grief. Attachment is the root of both joy and grief; detachment is the Saviour.


Kesimpulan dari Saptah (wacana tujuh hari) disebut dengan Samapti. Namun istilah Samapti memiliki makna yang mendalam untuk hal ini juga. Artinya, pencapaian (Aapti) dari Samam (Brahman atau keillahian). Itu adalah hasil terakhir dari mendengarkan, merenungkan isinya dan tahap meresapi isinya (sravana, manana dan nididhyasana) dari pelajaran spiritual dan wejangan yang disampaikan. Dalam arti duniawi, ini berarti kesimpulan dari serangkain seri tujuh hari ini; dalam makna spiritual, ini berarti melampaui waktu! Apa yang menjadi hal yang utama dari semua usaha spiritual? Ini adalah engkau harus melepaskan pengejaran objek-objek indria dalam pencarianmu pada kedamaian dan suka cita yang kekal. Kekayaan material membawa serta tidak hanya suka cita tapi juga duka cita. Timbunan kekayaan dan bertambahnya keinginan menuntun hanya pada pergantian diantara suka cita dan duka cita. Keterikatan adalah akar dari suka dan duka cita; tanpa keterikatan adalah sebagai juru selamat. [Divine Discourse - August 19, 1964]

-BABA

Thought for the Day - 8th August 2017 (Tuesday)

Dhana (Money) is the currency of the world; Sadhana (spiritual practices) is the currency of the spirit. When self-styled devotees come to you with their lists and books seeking donations, do not offer them any money. Why do you need a hall to meditate or repeat the Lord’s Name (dhyana or namasmarana)? The presence of others with unlike intentions will more often be a hindrance rather than help; instead make your home a temple, meditate in your own shrine room. Sing bhajans lovingly in your own home! Above all, be an example to others through your conduct - practice soft loving and truthful speech, be humble, and show reverence to elders. Live with faith, steadfastness and truthfulness. That way you will bring more people into the fold of theism than by establishing societies, collecting donations and running temples. Remember, the Lord really cares for sincerity, simplicity and steady joy in the contemplation of His name and form; nothing else!


Dhana (uang) adalah mata uang dari dunia; Sadhana (latihan spiritual) adalah mata uang dari jiwa. Ketika bhakta gadungan datang padamu dengan daftar dan buku untuk meminta sumbangan, jangan memberikan mereka uang. Mengapa engkau memerlukan sebuah aula untuk melakukan meditasi atau mengulang-ulang nama Tuhan (dhyana atau namasmarana)? Kehadiran orang lain dengan tujuan yang berlawanan lebih banyak menjadi penghalang daripada membantu; sebaliknya buatlah rumahmu menjadi tempat suci, meditasi di ruang pujamu sendiri. Lantunkan bhajan dengan penuh bhakti di rumahmu sendiri! Diatas semuanya, jadilah teladan bagi yang lainnya melalui tingkah lakumu – ucapkan perkataan yang lembut dan penuh kebenaran, rendah hati, dan perlihatkan rasa hormat kepada yang lebih tua. Hiduplah dengan keyakinan, ketabahan dan penuh kebenaran. Caramu ini akan membawa banyak orang pada jalan keTuhanan daripada dengan membangun masyarakat, mengumpulkan sumbangan dan menjalankan tempat suci. Ingatlah, Tuhan benar-benar peduli pada ketulusan, kesederhanaan dan suka cita yang mantap dalam perenungan akan Nama dan wujud-Nya; tidak ada yang lainnya! [Divine Discourse - August 19, 1964]

-BABA