Friday, January 30, 2015

Thought for the Day - 30th January 2015 (Friday)

The Gita advises everyone to adopt ‘inoffensive speech, which is truthful, pleasant and beneficial.’ During the practice of the Sadhana of truth, at times, it may become necessary to reveal an unpleasant truth. At those moments, you must soften and sweeten its impact by consciously charging it with love, sympathy, and understanding. Help ever hurt never - that is the maxim. Revere truth as your very breath. Your promises are sacred bonds. Never break the vow of truth. The only obstruction to practicing truth anyone will face, is selfishness. Give up selfishness, adhere to truth and selfless love, let your heart be attuned to truth and the mind saturated with love. The triple purity - speech free from the pollution of falsehood, mind free from the taint of passionate desire or hatred, and the body free from the poison of violence - must be taken up by everyone as ideals and lived in accordance with.

Gita menyarankan semua orang untuk menggunakan 'kata-kata yang tidak menyakitkan, jujur, menyenangkan, dan bermanfaat. " Pada saat mempraktikkan Sadhana, suatu waktu, mungkin perlu untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak menyenangkan. Pada kesempatan tersebut, engkau harus melembutkan dan mempermanis dampaknya dengan sadar mengisinya dengan cinta-kasih, simpati, dan pengertian. Seperti pepatah yang mengatakan - selalulah membantu, jangan pernah menyakiti. Gunakan kebenaran sebagai napas kehidupanmu. Janji adalah ikatan suci, jangan pernah melanggar sumpah kebenaran. Satu-satunya halangan untuk melakukan kebenaran yang dihadapi setiap orang, adalah keegoisan. Tinggalkanlah keegoisan, ikutilah kebenaran dan kasih tanpa pamrih, biarlah hatimu akan selaras dengan kebenaran dan pikiran dipenuhi dengan cinta-kasih. Tiga kemurnian berikut ini - kata-kata yang bebas dari polusi dusta, pikiran yang bebas dari noda keinginan atau kebencian, dan badan bebas dari racun kekerasan - ketiganya ini harus diambil oleh semua orang sebagai ideal dan hidup sesuai dengan hal tersebut. (Divine Discourse, Dec 5, 1985)

-BABA

Thursday, January 29, 2015

Thought for the Day -29th January 2015 (Thursday)

There are three methods of learning namely sravana (listening), manana (constant contemplation) and nididhyasana (to assimilate). Truly, what you have listened to cannot be easily grasped and assimilated just by listening. You have to do some manana or think it over again and again and then absorb what you have listened to. This is nididhyasana. If you do all three then only can you enjoy the fruits of what you have listened to. Will your hunger be relieved merely by looking at what has been cooked? Even if you just eat what has been cooked, will you be able to derive the necessary strength from the nourishment? Only if you digest the food that you have eaten, can you get the nourishment. As cooking, eating and then digesting are three essential processes to get the ultimate result, so also, sravana, manana, and nididhyasana must follow one another in that order, only then can you acquire some aspects of the Atma Vidya.

Ada tiga metode pembelajaran yaitu sravana (mendengarkan), manana (kontemplasi secara terus-menerus) dan nididhyasana (mengasimilasi). Sesungguhnya, apa yang telah engkau dengarkan tidak dapat dengan mudah dipahami dan asimilasi hanya bisa dilakukan dengan mendengarkan. Engkau harus melakukan beberapa manana atau memikirkannya lagi dan lagi dan kemudian menyerap apa yang telah engkau dengarkan. Inilah nididhyasana. Jika engkau melakukan ketiganya maka engkau hanya dapat menikmati hasil dari apa yang engkau dengarkan. Apakah rasa laparmu akan hilang hanya dengan melihat apa yang telah dimasak? Bahkan jika engkau hanya makan apa yang telah dimasak, apakah engkau akan memperoleh kekuatan yang diperlukan dari makanan tersebut? Hanya jika engkau mencerna makanan yang telah engkau makan, engkau bisa mendapatkan makanan tersebut. Memasak, makan, dan kemudian mencerna adalah tiga proses penting untuk mendapatkan hasil akhir, demikian juga, sravana, manana, dan nididhyasana harus mengikuti satu sama lain, hanya setelah itu barulah engkau dapat memperoleh beberapa aspek dari Atma Vidya. (Summer Showers 1974, Ch 22)

-BABA

Wednesday, January 28, 2015

Thought for the Day - 28th January 2015 (Wednesday)

Today, though in outward appearance people are human, in inner impulse they are sub-human and demonic; the one who has no charity or sacrifice (dana) is called a Danava (demon). Divine (Deva) and demon (Danava) are both present in the human make-up and now the devil rules the roost! Therefore people have lost their glow, power and splendour! Every one of you must strive and win it again by spiritual practices (Sadhana). So make yourselves pure by incessant striving. Remain convinced that the world can give you only fleeting joy; grief is but the obverse of joy. Strive now, from this very moment and develop full and everlasting happiness. Be true to yourself. Be bold and focused on your goal; be sincere in your practices from today, for time is rushing like a swift torrent.

Saat ini, meskipun dalam penampilan luar, orang-orang adalah manusia, dalam dorongan batin mereka ada sifat sub-manusia dan setan; orang yang tidak memiliki kemurahan hati atau pengorbanan (dana) disebut Danava (setan). Ilahi (Deva) dan setan (Danava) keduanya ada dalam manusia dan sekarang sifat setan berkuasa! Oleh karena itu orang-orang telah kehilangan cahaya, kekuasaan, dan kemegahan mereka! Kalian semua harus berusaha dan memenangkannya lagi dengan melakukan praktik-praktik spiritual (Sadhana), sehingga membuat dirimu murni dengan usaha yang tak putus-putusnya. Dunia dapat memberikan sukacita hanya sekilas; kesedihan hanyalah awal mula sukacita. Berjuanglah dari sekarang, dari saat ini dan kembangkanlah kebahagiaan yang sempurna dan kekal. Jujurlah pada dirimu sendiri. Beranilah dan fokus pada tujuanmu; dengan sungguh-sungguh mempraktikkannya, dari saat ini, karena waktu sangat cepat berlalu seperti aliran air yang deras. (Divine Discourse, Dec 28, 1960)

-BABA

Tuesday, January 27, 2015

Thought for the Day - 27th January 2015 (Tuesday)

God only wants the flower of your heart that is filled with humility and devotion. Eight types of flowers can be offered to God, namely, (1) Non-violence (Ahimsa), (2) Control of senses (Indriya Nigraha), (3) Compassion towards all beings (Sarva Bhuta Dhaya), (4) Truth (Satyam), (5) Meditation (Dhyanam), (6) Peace (Shanti), (7) Humility (Vinaya) and (8) Devotion (Bhakti). In the Bhagavad Gita, Krishna has referred to ‘Pathram, Phalam, Pushpam, Thoyam’ (leaf, fruit, flower or water) that can be offered to God. 'Pathram' means offering yourself as a leaf. Flower is your heart, ‘Hridaya Pushpam’. 'Phalam' is the fruit of your mind. 'Thoyam' refers to the tears of joy welling up within you from a sincere and prayerful heart. God is pleased when any one of these is offered with sincere devotion.

Tuhan hanya menginginkan bunga hatimu yang penuh dengan kerendahan hati dan pengabdian. Delapan jenis bunga yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan, yaitu, (1) Tanpa-kekerasan (Ahimsa), (2) Pengendalian indera (Indriya Nigraha), (3) Kasih terhadap semua makhluk (Sarva Bhuta Dhaya), (4) Kebenaran (Satyam), (5) Meditasi (Dhyanam), (6) Kedamaian (Shanti), (7) Kerendahan hati (Vinaya) dan (8) Pengabdian (Bhakti). Dalam Bhagavad Gita, Krishna telah menyebutkan 'Pathram, Phalam, Pushpam, Thoyam' (daun, buah, bunga, atau air) yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan. 'Pathram' berarti mempersembahkan dirimu sebagai daun. Bunga adalah hatimu, 'Hridaya Pushpam'. 'Phalam' adalah buah dari pikiranmu. 'Thoyam' mengacu pada air mata sukacita yang mengalir di dalam dirimu dari hati yang tulus dan penuh doa. Tuhan senang ketika salah satu dari hal ini dipersembahkan dengan pengabdian yang tulus. (Divine Discourse, 19 Jan 1983)

-BABA

Monday, January 26, 2015

Thought for the Day - 26th January 2015 (Monday)

There are four components in the term ‘Ceiling on Desires.’ They are - curb on excessive talk, curb on excessive desires and expenditure, control of consumption of food, check on waste of energy. You need some essential commodities for your sustenance. You should not aspire for more. Learn a lesson in this respect from Nature. Only if air is available in sufficient quantity will it be comfortable and good. If it is excessive and there is a gale you will feel uncomfortable. When you are thirsty, you can consume only a limited quantity of water. You can't consume the entire Ganga! Doctors know that the body temperature is normally 98.4. If this goes up to 99 they say fever has set in due to some disorder in the body. So you find that if you cross the limits even to a little extent it is dangerous or harmful.

Ada empat komponen dalam istilah 'Pembatasan keinginan.' Keempatnya adalah - mengekang pembicaraan yang berlebihan, mengekang keinginan yang berlebihan dan pengeluaran, mengendalikan konsumsi makanan, memeriksa pemborosan energi. Engkau memerlukan beberapa komoditas penting bagi kehidupanmu. Engkau seharusnya tidak memiliki keinginan lebih. Belajarlah pelajaran ini dari Alam. Hanya jika udara tersedia dalam jumlah yang cukup, maka akan nyaman dan baik. Jika berlebihan dan ada badai, engkau akan merasa tidak nyaman. Bila engkau haus, engkau dapat mengkonsumsi hanya sejumlah air yang terbatas. Engkau tidak dapat mengkonsumsi seluruh air sungai Gangga! Dokter mengetahui bahwa suhu tubuh biasanya 98,4 (36,8 C). Jika suhu tubuh hingga 99 (37,2 C) mereka mengatakan demam karena beberapa gangguan dalam tubuh. Jadi, engkau menemukan bahwa jika engkau melewati batas bahkan untuk sebagian kecil, itu berbahaya atau merugikan. (Divine Discourse, 19-Jan-1983)

-BABA

Sunday, January 25, 2015

Thought for the Day - 25th January 2015 (Sunday)

The greatness of an individual depends on the cultural perfection attained. ‘Culture’ does not connote mere diligence. It means the removal of evil thoughts and propensities, and the promotion of good thoughts and qualities. It is important that young students live a life characterised by peace and self-control so that they will have a peaceful and contented life later as a citizen. Human life is comparable to a tree and the kinsmen of the individual to its branches. On these branches the flowers of thoughts and feelings blossom. These flowers gradually develop into fruits of good qualities and virtues. The nectarine juice present in these fruits is character. Without roots and fruits, a tree is mere firewood. Self-confidence is the root of the tree of life and character, its fruit. With the hope that you will all become exemplary citizens, purify your hearts and reform society, I bless you all.

Kehebatan seorang individu tergantung pada kesempurnaan kebudayaan yang dicapai. 'Budaya' bukan hanya berarti ketekunan belaka. Budaya berarti menghilangkan pikiran dan kecenderungan buruk, dan meningkatkan pikiran dan kualitas yang baik. Adalah penting bahwa pelajar hendaknya menjalani kehidupan yang ditandai dengan kedamaian dan pengendalian diri sehingga mereka akan memiliki kehidupan yang penuh kedamaian dan kepuasan sebagai warga negara nanti. Kehidupan manusia dapat diibaratkan dengan pohon dan sanak saudara sebagai cabang-cabangnya. Pada cabang ini bunga-bunga dari pikiran dan perasaan mekar. Bunga-bunga ini secara bertahap berkembang menjadi buah kualitas yang baik dan kebajikan. Jus nektar yang ada dalam buah-buahan ini adalah karakter. Tanpa akar dan buah-buahan, pohon ini hanya kayu bakar. Percaya diri adalah akar dari pohon kehidupan dan buahnya adalah karakter. Dengan harapan bahwa semua akan menjadi warga negara teladan, sucikanlah hatimu dan perbaiki masyarakat, Aku memberkati kalian semua. (Summer Showers, Jan 1979, Ch 1)

-BABA

Saturday, January 24, 2015

Thought for the Day - 24th January 2015 (Saturday)

There is no point in talking sweetly if there is no sweetness in your heart. Sweetness in speech and bitterness in heart is not the quality of a human being. There should be sweetness in your thought, word and deed. This is the true sign of a human being. Human beings are considered most sacred because they have the unique quality of love in them. God incarnates in human form only to spread the message of love. Once you have love in your heart, you can conquer the whole world. There is love in you, but you are not able to express it in the proper way. Develop the spirit of brotherhood. Even when you come across your bitter rival, address him as brother and talk to him with love. When you address him as brother, his heart will melt and hatred will disappear at once. Hence fill your life with love. Nothing is superior to love in this world.

Tidak ada gunanya berbicara manis jika tidak ada rasa manis dalam hatimu. Manis dalam ucapan dan kepahitan dalam hati bukanlah kualitas seorang manusia. Harus ada rasa manis dalam pikiran, ucapan, dan perbuatanmu. Inilah tanda sejati seorang manusia. Manusia dianggap paling suci karena mereka memiliki kualitas yang unik yaitu adanya cinta-kasih di dalamnya. Tuhan menjelma dalam wujud manusia hanya untuk menyebarkan pesan cinta-kasih-kasih. Setelah engkau memiliki cinta-kasih dalam hatimu, engkau dapat menaklukkan seluruh dunia. Ada cinta-kasih di dalam dirimu, tetapi engkau tidak dapat mengekspresikannya dengan cara yang tepat. Kembangkanlah semangat persaudaraan. Bahkan ketika engkau menemukan sainganmu, sambutlah dia sebagai saudara dan berbicara dengannya dengan cinta-kasih. Bila engkau memanggilnya sebagai saudara, hatinya akan mencair dan kebencian akan hilang sekaligus. Oleh karena itu isilah hidupmu dengan cinta-kasih. Tidak ada yang lebih unggul di dunia ini selain mencintai. (Divine Discourse, 17 Oct 2003)

-BABA

Friday, January 23, 2015

Thought for the Day - 23rd January 2015 (Friday)


You may be subjected to calumny, insult and dishonour; you may be plunged into poverty or pain; but the person who has surrendered to the Will of God will welcome each of these gladly and bear it with equanimity. The Lord will never give up His children. Those devoted to God have to be patient and calm, under the most poignant provocation. The fact is, the pious and the God-fearing are those who are visited by travails and troubles: in order to teach mankind these great truths, Krishna enacted this drama with the Pandavas as the cast. Every incident in their lives is but a scene in His play. Intending to declare to the world their intense devotion and its efficacy, and also to hold them up as examples for the Kali age that was to come, the Lord contrived this thrilling drama. There is nothing more in this than that purpose of the Lord. 

Engkau mungkin di fitnah, mengalami penghinaan, dan hal yang memalukan; engkau mungkin akan jatuh ke dalam kemiskinan atau penderitaan; tetapi orang yang telah pasrah total kepada kehendak Tuhan akan menerima semua hal tersebut dengan senang hati dan menanggungnya dengan ketenangan. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Bhakta Tuhan harus sabar dan tenang, dalam provokasi yang paling pedih. Faktanya, orang-orang yang beriman dan takut akan Tuhan adalah mereka yang dikunjungi oleh kesukaran dan masalah: untuk mengajarkan manusia akan kebenaran ini, Sri Krishna memerankan drama ini dengan Pandawa sebagai pemain. Setiap kejadian dalam hidup mereka hanyalah adegan dalam permainan-Nya. Bermaksud untuk menyatakan kepada dunia semangat bhakti dan kemanjurannya, dan juga untuk memperteguh mereka sebagai contoh untuk zaman Kali yang akan datang, Tuhan merancang drama yang mendebarkan ini. Tidak ada tujuan Tuhan selain daripada itu.  (Ch 19, Bhagavatha Vahini) 

-BABA

Thursday, January 22, 2015

Thought for the Day - 22nd January 2015 (Thursday)

“Every drop of blood coursing through the veins is but a drop from the shower of His grace. Can this material body composed of the five elements move or act without His prompting? Every muscle is but a lump of His love. Every bone and cartilage is but a piece of His mercy. Unable to understand this secret, we strut about boasting, ‘I achieved this; I accomplished this’. Most people forget that the all-ruling, all-knowing Lord is the puppeteer (sutradhari), the holder of strings that move the puppets and make them act their roles. Character cannot deviate even a dot from His directions; His Will guides and determines every single movement and gesture. It is indeed unfortunate that most actors claim they are the actual doers and enjoyers, plunged in ignorance of the basic truth. When will people ever realise that they are but bags of skin, executing His will?”, rued Arjuna.




"Setiap tetes darah yang mengalir melalui pembuluh darah tidak lain adalah setetes curahan rahmat-Nya. Dapatkah badan ini yang terdiri dari lima elemen bergerak atau bertindak tanpa perintah-Nya? Setiap otot tidak lain merupakan gumpalan kasih-Nya. Setiap tulang dan tulang rawan tidak lain merupakan sepotong kemurahan-Nya. Tidak dapat memahami rahasia ini, kita dengan sombongnya membual, "Aku mencapai ini; Aku menyelesaikan ini '. Kebanyakan orang melupakan bahwa Yang berkuasa, Yang Maha Tahu, dalangnya (sutradhari) adalah Tuhan, pemegang tali yang menggerakkan wayang dan membuat mereka bertindak sesuai peran mereka. Karakter tidak akan bisa menyimpang bahkan satu titik dari arah-Nya; Kehendak-Nya membimbing dan menentukan setiap gerakan dan sikap. Sungguh disayangkan bahwa sebagian besar pelaku mengklaim bahwa mereka adalah pelaku sebenarnya dan penikmat, terjun dalam ketidaktahuan dari kebenaran dasar ini. Kapankah orang pernah menyadari bahwa mereka hanyalah tas kulit, yang melaksanakan kehendak-Nya? ", Menyesali Arjuna. (Ch 10, Bhagavatha Vahini)
-BABA

Wednesday, January 21, 2015

Thought for the Day - 21st January 2015 (Wednesday)

“When the Lord takes on the deluding human form, He moves with us, mixes and dines with us, behaves as our very own kinsman, well-wisher, friend, and guide; and also saves us from many a calamity that threatened to overwhelm us. He showered divine mercy on us and solved the toughest problems that defied solution, in remarkably simple ways. When He was near and dear to us, we were carried away by pride that we had His grace and did not try to fill ourselves with that supreme joy, to dive deep into the flood of His grace. We sought from Him mere external victory and temporal benefits, ignoring the vast treasure that could have filled our hearts. We never contemplated on His reality. We might be born many times over, but can we ever have such a friend and kinsman again?”, remarked Arjuna recounting the time he spent with Krishna.

"Ketika Tuhan mengambil wujud sebagai manusia, Beliau berjalan dengan kita, bergaul dan makan dengan kita, berperilaku sebagai kerabat kita sendiri, pemberi harapan, teman, dan pemandu yang baik; dan juga menyelamatkan kita dari berbagai bencana yang mengancam menenggelamkan kita. Beliau menghujani rahmat ilahi pada kita dan memecahkan masalah terberat yang menantang solusi, dengan cara yang sangat sederhana. Ketika Beliau dekat dan sayang kepada kita, kita terbawa oleh rasa bangga bahwa kita memiliki kasih karunia-Nya dan tidak mencoba untuk mengisi diri kita dengan sukacita tertinggi, menyelam jauh ke dalam aliran rahmat-Nya. Kita mencari dari-Nya kemenangan sementara dan manfaat eksternal belaka, mengabaikan harta besar yang bisa memenuhi hati kita. Kita tidak pernah merenungkan realitas-Nya. Kita mungkin akan lahir berkali-kali, tetapi dapatkah kita mempunyai teman dan saudara seperti itu lagi? ", Kata Arjuna menceritakan saat-saat ia menghabiskan waktu bersama Sri Krishna. (Ch 10, Bhagavatha Vahini)

-BABA

Tuesday, January 20, 2015

Thought for the Day - 20th January 2015 (Tuesday)

Do not look at the world with a worldly eye. Look upon it with the eye of the Soul (Atma), as the projection of the Supreme Self (Paramatma). Then you can cross the horizon of dualities into the region of the Oneness. The One is experienced as many because of the forms and names people have imposed on it. That is the result of the mind playing its game. Withdrawal from sensory objects promotes inner exploration (nivritti), not outer inquiry and activity (pravritti). Along inner exploration lies the path of intellectual inquiry (jnana). The sacred activities like rituals and sacrifices laid down in the Scriptures help only to cleanse the consciousness. The freedom that makes one aware of the truth, is gained only by listening to the Guru, ruminating over what has been listened to, and meditating on its validity and significance. Only those who have detached their minds from desire can benefit from the Guru.

Janganlah melihat dunia dengan mata duniawi. Engkau hendaknya memandangnya dengan mata Jiwa (Atma), sebagai proyeksi Yang Maha Kuasa (Paramatma). Maka engkau bisa menyeberangi cakrawala dualitas menuju ke Yang Esa. Yang Esa dikenali sebagai banyak karena wujud dan nama yang telah dikenakan pada-Nya. Itulah hasil dari permainan pikiran. Menarik diri dari benda-benda duniawi meningkatkan eksplorasi batin (nivritti), bukan penyelidikan luar dan aktivitas (pravritti). Sepanjang eksplorasi batin terletak jalan penyelidikan intelektual (jnana). Kegiatan suci seperti ritual dan pengorbanan yang diatur dalam Kitab Suci hanya membantu untuk membersihkan kesadaran. Kebebasan yang membuat seseorang menyadari kebenaran, diperoleh hanya dengan mendengarkan Guru, merenungkan atas apa yang telah didengarkan, dan merenungkan kebenaran dan artinya. Hanya mereka yang tidak melekatkan pikiran mereka pada keinginan bisa mendapatkan manfaat dari Guru. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Thought for the Day - 19th January 2015 (Monday)

All your actions must be aimed at purifying your minds and hearts to experience the Divine. When the heart is pure, the light of wisdom shines. The illumined heart becomes the receptacle of pure love. A person without love is a living corpse. Love is not the relationship between man and woman, or between man and other objects. It is the inherent life-force in every being. "I am the Spirit immanent in all beings (Mamaatma Sarvabhootaatma)”. The Divine Self is present in all beings and has no form. It is experienced as Love. Love is our lifebreath, our soul! Young and old alike, must cultivate steady, unchanging, and unwavering love. All of you must be filled with a sense of selfless dedication, arising from service to others (seva) in which there is no egoistic pride. Revel in giving rather than receiving.

Semua tindakanmu harus bertujuan untuk memurnikan pikiran dan hati untuk mengalami Tuhan. Ketika hati murni, maka cahaya kebijaksanaan bersinar. Hati diterangi menjadi wadah cinta-kasih yang murni. Seseorang tanpa cinta-kasih dapat diibaratkan seperti mayat hidup. Cinta-kasih bukanlah hubungan antara pria dan wanita, atau antara manusia dan benda-benda lainnya. Cinta-kasih adalah kekuatan-hidup di setiap makhluk. "Aku adalah Spirit imanen dalam semua makhluk (Mamaatma Sarvabhootaatma)". Tuhan ada pada semua makhluk dan tidak memiliki wujud. Hal ini dialami sebagai cinta-kasih. Cinta-kasih adalah napas kehidupan kita, jiwa kita! Yang muda dan tua hendaknya sama, harus mengembangkan cinta-kasih yang stabil, tidak berubah, dan tak tergoyahkan. Kalian semua harus diisi dengan rasa dedikasi tanpa pamrih, yang timbul dari pelayanan kepada orang lain (seva) di mana tidak ada kebanggaan akan diri sendiri. Bersukacitalah dalam memberikan daripada menerima. (Divine Discourse, 6-May-1985)

-BABA

Thought for the Day - 18th January 2015 (Sunday)

Pure and unselfish love towards all living beings considering them as embodiments of the Divine, with no expectation of reward, is alone true love. Love must be free from dislikes, friendly, and compassionate towards all beings (Adweshtā sarvabhūtānām maitraḥ karuñaivacha)! Whatever be the vicissitudes one may face, whatever be the personal sorrows and privations one may undergo, true love should remain unaffected. Today, when any difficulty arises or when some trouble crops up, love turns into hatred. True love is the sweet fruit that grows out of the fragrant flower of good deeds. Love rules without recourse to the sword. It binds without laws. Like the lotus which blooms when the Sun rises, the heart of man blossoms when love enters it. Like the glow of the flame in a fire, like the rays of the Sun, Divine Love is the natural quality present in every human being.

Cinta-kasih sejati adalah cinta-kasih yang murni dan tidak mementingkan diri sendiri terhadap semua makhluk hidup menganggap mereka sebagai perwujudan Ilahi, tanpa mengharapkan imbalan. Cinta-kasih harus bebas dari rasa tidak suka, ramah, dan penuh kasih terhadap semua makhluk (Adweshtā sarvabhūtānām maitraḥ karuñaivacha)! Apapun perubahan-perubahan yang mungkin engkau hadapi, apapun penderitaan dan kekurangan yang engkau alami, cinta-kasih sejati harus tetap tidak terpengaruh. Saat ini, ketika kesulitan muncul atau ketika beberapa masalah bermunculan, cinta-kasih berubah menjadi kebencian. Cinta-kasih sejati adalah buah manis yang tumbuh dari bunga harum perbuatan baik. Kaidah cinta-kasih tanpa membantu dapat diibaratkan seperti pedang. Ia mengikat tanpa hukum. Seperti teratai yang mekar ketika matahari terbit, hati manusia mekar ketika cinta-kasih masuk. Seperti cahaya yang menyala, seperti sinar matahari, Cinta-kasih Ilahi adalah kualitas alami yang ada dalam setiap manusia. (Divine Discourse, 6-May-1985)

-BABA

Saturday, January 17, 2015

Thought for the Day - 17th January 2015 (Saturday)

We see the outer circumstances, the processes that result in the final event, and in our ignorance we judge that this set of causes produced these effects. We guess the nature of emotions and feelings from what we gauge from events. But circumstances, events, emotions, and feelings are all simply ‘instruments’ in His hands, serving His will and His purpose. When the moment comes, He uses them for His plan and brings about the outcome He has willed. He is the embodiment of time (Kala); He comes as the Master of Time. The force of Atmic faith is the bridge that spans the chasm, and for those who have developed that force and faith, floods are of no concern. With strong faith as their safe support, they can reach the other bank, braving all dangers. All this, is but a grand puppet show by the Creator, the Master Director!

Kita melihat keadaan luar, proses yang menghasilkan kejadian terakhir, dan ketidaktahuan kita, kita menilai bahwa serangkaian penyebab dihasilkan efek-efek ini. Kita mengira sifat emosi dan perasaan apa yang kita ukur karena kejadian. Tetapi keadaan, peristiwa, emosi, dan perasaan semuanya hanya 'instrumen' di tangan-Nya, melayani kehendak-Nya dan tujuan-Nya. Ketika saat itu tiba, Ia menggunakan mereka untuk rencana-Nya dan membawa hasil yang Ia kehendaki. Dia adalah perwujudan dari waktu (Kala); Dia datang sebagai Penguasa Waktu. Kekuatan keyakinan Atma adalah jembatan yang membentang di atas jurang, dan bagi mereka yang telah diperkuat dengan kekuatan dan keyakinan, banjir tidak akan mengenainya. Dengan keyakinan yang kuat dengan pendukung yang aman, mereka dapat mencapai sungai lain, menghadapi semua bahaya. Semuanya ini, hanyalah wayang besar Sang Pencipta, Sang Master Sutradara! (Bhagavatha Vahini, Ch 9)

-BABA

Friday, January 16, 2015

Thought for the Day - 16th January 2015 (Friday)

Your life may be compared to a stalk of sugar cane. Like the cane, which is hard and has many knots, life is full of difficulties. But these difficulties must be overcome to enjoy the bliss of the Divine, just as the sugarcane has to be crushed and its juice converted into cane-sugar (jaggery) to enjoy the permanent sweetness. Enduring bliss can be got only by overcoming trials and tribulations. Gold cannot be made into an attractive jewel without it being subjected to the process of melting in a crucible and being beaten into the required shape. When I address devotees as, ‘golden one (Bangaru)’ or Divine Embodiments of Love, I really mean it! You must go through the vicissitudes of life with forbearance and become attractive jewels. You should not allow yourselves to be overwhelmed by difficulties. Develop self-confidence and have firm faith in God.

Kehidupan seseorang dapat disamakan dengan batang tebu. Seperti batang tebu, yang kaku dan memiliki banyak knot/benjolan, hidup ini penuh dengan kesulitan. Tetapi kesulitan-kesulitan ini harus diatasi untuk menikmati kebahagiaan Ilahi, seperti tebu harus dihancurkan dan jus/sari buah yang dihasilkan diubah menjadi gula tebu (jaggery) untuk menikmati manisnya yang permanen. Kebahagiaan seperti itu bisa didapat hanya dengan mengatasi cobaan dan kesengsaraan. Emas tidak dapat dibuat menjadi permata yang menarik tanpa proses peleburan dan dipukuli untuk diubah menjadi bentuk yang diinginkan. Ketika Bhagawan menyapa devotee/bhakta sebagai Bangaaru (Emas), atau Perwujudan kasih Ilahi, Aku sungguh-sungguh! Engkau hendaknya berangkat melalui perubahan hidup dengan kesabaran dan menjadi perhiasan yang menarik. Jangan biarkan dirimu dipenuhi dengan rintangan. Jalanilah kehidupan yang patut dicontoh/menjadi teladan dengan kepercayaan diri dan keyakinan yang kuat pada Tuhan.(Divine Discourse, Jan 15, 1992)

-BABA

Thursday, January 15, 2015

Thought for the Day - 15th January 2015 (Thursday)

Today the Sun-God begins his northward journey, the auspicious Uttarayana. Let this Sankranthi bring about a change in your attitude, so you sanctify your life. Ability to Change (Kraanthi) and Peace (Shanthi) both reside within your heart. Do not search for them in the outside world. Discover them within. Today is another pointer to the path to realise God. The Sun is the supreme example of selfless and tireless service. Life on earth is possible only because of the Sun. The Sun teaches everyone the lesson of humble devotion to duty, without any conceit. Sun God is a shining example and reminder for everyone that they should do their duty with devotion and dedication. Selflessly doing one's duty is the greatest Yoga, says Lord Krishna in the Gita. Serve your parents and society, and lead a godly life! Hence let your actions and thoughts be good. You will certainly experience the Bliss Divine.

Hari ini Dewa Matahari memulai perjalanannya ke utara, Uttarayana. Biarkan Sankranthi ini membawa perubahan dalam sikapmu, sehingga engkau menyucikan hidupmu. Kemampuan untuk mengubah (Kraanthi) dan kedamaian (Shanthi) keduanya berada di dalam hatimu. Jangan mencarinya di dunia luar. Temukanlah di dalam dirimu. Hari ini adalah petunjuk lain bagi jalan untuk menyadari Tuhan. Matahari adalah contoh tertinggi pelayanan tanpa pamrih dan tak kenal lelah. Kehidupan di bumi dimungkinkan hanya karena Matahari. Matahari mengajarkan setiap orang pelajaran pengabdian rendah hati untuk melaksanakan kewajiban, tanpa kesombongan apapun. Dewa Matahari adalah contoh dan peringatan bagi semua orang yang harus mereka lakukan tugas mereka dengan pengabdian dan dedikasi. Melakukan tugas tanpa pamrih adalah Yoga terbesar, kata Sri Krishna dalam Gita. Layanilah orang tua dan masyarakat, dan jalanilah hidup yang baik! Oleh karena itu biarkan tindakan dan pikiranmu menjadi baik. Engkau pasti akan mengalami Kebahagiaan Ilahi. (Divine Discourse, Jan 15, 1992)

-BABA

Wednesday, January 14, 2015

Thought for the Day - 14th January 2015 (Wednesday)

When Pandavas were in the forest, Krishna visited them. The brothers told Krishna that they took turns during nights to keep a vigil and control the activities of evil spirits and demons. Yuddhistra tried to dissuade Krishna from participating in sentry duty, but Krishna insisted. During the Lord’s turn, no evil spirit appeared. Then came Arjuna, and Krishna watched him from a distance. To Arjuna’s surprise, no evil spirit appeared while Krishna was there. Krishna later explained to Arjuna that evil spirits were only a reflection of one’s hatred and fear, and when one is free from these, no evil spirit would appear or do any harm. Krishna revealed that the Divine existed even in the so-called evil spirits and that if a person gets rid of the evil qualities within him, the evil spirits cannot do any harm. Your anger assumes the form of a demon. If you develop love, everything you confront will have the form of love.

Ketika Pandawa berada di hutan, Krishna mengunjungi mereka. Kelima bersaudara mengatakan pada Sri Krishna bahwa mereka bergantian sepanjang malam untuk berjaga dan mengendalikan kegiatan roh jahat dan setan. Yuddhistra mencoba menghalangi Sri Krishna berpartisipasi dalam tugas jaga, tetapi Sri Krishna mendesaknya. Selama giliran Tuhan, tidak ada roh jahat yang muncul. Kemudian giliran Arjuna, dan Sri Krishna mengawasinya dari kejauhan. Yang mengejutkan Arjuna, tidak ada roh jahat muncul ketika Sri Krishna berada di sana. Sri Krishna kemudian menjelaskan kepada Arjuna bahwa roh-roh jahat hanya merupakan refleksi kebencian dan ketakutan seseorang, dan ketika seseorang bebas dari ini, tidak ada akan ada roh jahat yang akan muncul. Sri Krishna mengungkapkan bahwa Tuhan ada bahkan pada roh-roh jahat tersebut dan bahwa jika seseorang menghilangkan kualitas jahat dalam dirinya, roh-roh jahat tidak bisa mengganggumu. Kemarahanmu mengasumsikan wujud setan. Jika engkau mengembangkan cinta-kasih, segala sesuatu yang engkau hadapi akan memiliki wujud cinta-kasih. (Divine Discourse, Jan 14, 1998)

-BABA

Tuesday, January 13, 2015

Thought for the Day - 13th January 2015 (Tuesday)

Everyone appreciated the wonderful way in which Parikshith sought the lap of the Lord and praised the steady faith he already attained. Yudhishtira was puzzled at the child’s act and requested Vyasa, the great sage, to explain. Vyasa said, “Yudhishtira! When this child was in the womb, the deadly arrow that Aswathama aimed at it to destroy it was about to hit its target. Lord Krishna entered the foetal home and saved it from destruction. This child has been eager to know who had saved him from within the womb. He started examining everyone to find out whether anyone had the same effulgence that he saw while a foetus in the womb. Today, when he saw that divine form with all its splendour, he went straight towards Him and prayed to be seated on His lap. The Lord too, immediately yielded to his prayer.” Yudhishtira then shed tears of joy and thankfulness to the limitless grace of the Lord.

Semua orang menghargai cara yang indah di mana Parikshith mencari pangkuan Tuhan dan memuji keyakinan yang mantap yang ia sudah capai. Yudhishtira bingung pada tindakan sang anak dan meminta Guru Vyasa, untuk menjelaskannya. Vyasa mengatakan, "Yudhishtira! Ketika anak ini berada dalam kandungan, panah mematikan Aswathama bertujuan untuk membunuh janin itu, dan ketika akan mencapai target, Sri Krishna memasuki kandungan itu dan menyelamatkannya. Anak ini ingin mengetahui siapa yang telah menyelamatkannya dari dalam rahim. Dia mulai memeriksa setiap orang untuk mengetahui apakah ada yang memiliki cahaya yang sama yang ia lihat ketika masih berada dalam kandungan. Hari ini, ketika ia melihat wujud Tuhan dengan segala kemegahannya, ia langsung menuju kepada-Nya dan memohon untuk duduk di pangkuan-Nya. Tuhan juga, segera menyerah pada doa sang anak. "Yudhishtira kemudian meneteskan air mata sukacita dan rasa syukur atas berkat tak terbatas Tuhan. (Bhagavatha Vahini, Ch 3)

-BABA

Monday, January 12, 2015

Thought for the Day - 12th January 2015 (Monday)

Avoid spending precious time in useless pursuits and be ever vigilant. Engage the senses of perception and action, and the body in congenial but noble tasks to keep them busy. There should be no chance for sloth (tamas) to creep in. And, every act must promote the good of others. While confining oneself to activities that reflect one’s natural duties (swa-dharma), it is possible to sublimate them into spiritual practices for the body and the senses. You must also withdraw from sensory objects. This implies having a state of mind that is beyond all dualities that agitate and affect, such as joy and grief, liking and disliking, good and bad, praise and blame. Such common experiences one encounters can be overcome or negated by means of spiritual exercises or intellectual inquiry. Endeavour to escape from the opposites and dualities, and attain balance and stability.

Hindarilah menghabiskan waktu berharga dalam kegiatan yang tidak berguna dan selalulah waspada. Libatkanlah indra persepsi dan tindakan, dan badan dalam tugas-tugas yang menyenangkan tetapi mulia untuk membuat mereka tetap sibuk. Seharusnya tidak ada kesempatan bagi kemalasan (tamas) untuk merayap dalam dirimu. Dan, setiap tindakan harus meningkatkan kebaikan orang lain. Meskipun membatasi diri untuk kegiatan yang mencerminkan tugas sejati seseorang (swa-dharma), adalah mungkin untuk menghaluskan mereka ke dalam praktik spiritual bagi badan dan indra. Engkau juga harus menarik diri dari objek-objek duniawi. Ini berarti memiliki keadaan pikiran yang melampaui segala dualitas yang mengagitasi dan mempengaruhi, seperti kebahagiaaan dan kesedihan, suka dan tidak suka, baik dan buruk, pujian dan celaan. Pengalaman umum seperti itu, dapat diatasi atau dinegasikan dengan cara praktik spiritual atau penyelidikan intelektual. Engkau hendaknya berusaha untuk melarikan diri dari perlawanan dan dualitas, serta mencapai keseimbangan dan stabilitas. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Sunday, January 11, 2015

Thought for the Day - 11th January 2015 (Sunday)

It must be recognised that sports and music have been designed to confer health and happiness on man. Physical fitness and mental health are equally important. Together with the gross physical body everyone has a subtle body (sukshma sarira). Take good care of your subtle body by performing spiritual exercises which will help you to realize the Divine. True education consists in the acquisition of good qualities, cultivation of good thoughts, truthfulness, devotion, discipline and dedication to duty. Sports and games enable you to acquire these qualities, and they impart a healthy body, mind and joy. Three unique benefits can be derived from sports and games: team spirit, mutual understanding and joy. Even if people speak different languages and differ in their habits and cultures, through the field of sports you can easily build a common bond, and share a spirit of camaraderie. Hence sports and games should be encouraged.

Harus disadari bahwa olahraga dan musik telah dirancang untuk memberikan kesehatan dan kebahagiaan pada manusia. Kebugaran fisik dan kesehatan mental sama pentingnya. Bersama-sama dengan badan kasar, setiap orang memiliki badan halus (sukshma sarira). Engkau hendaknya merawat badan halus-mu dengan melakukan praktik spiritual yang akan membantumu untuk menyadari Ilahi. Pendidikan sejati terdiri dalam akuisisi kualitas yang baik, mengembangkan pikiran yang baik, kejujuran, pengabdian, disiplin dan dedikasi untuk melakukan tugas. Olahraga dan permainan memungkinkan engkau untuk memperoleh sifat-sifat ini, dan mereka memberikan badan yang sehat, pikiran yang sehat, dan sukacita. Tiga manfaat unik dapat diturunkan dari olahraga dan permainan adalah: semangat tim, saling pengertian, dan sukacita. Bahkan jika orang berbicara bahasa yang berbeda dan berbeda dalam kebiasaan dan budaya mereka, melalui bidang olahraga engkau dapat dengan mudah membangun sebuah ikatan bersama, dan berbagi semangat kebersamaan. Oleh karena itu olahraga dan permainan harus didorong. (Divine Discourse, 14-Jan-1991)

-BABA

Saturday, January 10, 2015

Thought for the Day - 10th January 2015 (Saturday)

People have three chief instruments for uplifting themselves: intelligence, mind, and senses. When the mind gets enslaved by the senses, you get entangled and bound. The same mind, when regulated by the intellect, can make one aware of one’s reality (Atma). The mental power gained from spiritual practice must be directed to turn the mind away from wrong paths. Direct your senses using the principle of intelligence (buddhi), and release them from the hold that the mind has on them. The mind (manas) is a bundle of thoughts, a complex of wants and wishes. As soon as a thought, desire or wish raises its head from the mind, the intellect (buddhi) must probe its value and validity — is it good or bad, will it help or hinder, where will it lead or end. If the mind does not submit to this probe, it will land itself in deep trouble. If the mind obeys your intelligence, your spiritual progress will be accelerated.

Orang-orang memiliki tiga instrumen utama untuk meningkatkan diri mereka sendiri: intelek, pikiran, dan indra. Ketika pikiran diperbudak oleh indra, engkau terjerat dan terikat. Pikiran yang sama, ketika diatur oleh intelek, dapat membuat seseorang menyadari realitasnya (Atma). Kekuatan mental yang diperoleh dari praktik spiritual harus diarahkan untuk mengubah pikiran menjauh dari jalan yang salah. Arahkanlah indramu menggunakan prinsip intelek (buddhi), dan lepaskanlah mereka dari genggaman bahwa pikiran ada padanya. Pikiran (manas) adalah bundel pikiran,  keinginan dan harapan yang kompleks. Begitu pikiran, keinginan atau harapan mengangkat kepalanya dari pikiran, intelek (buddhi) harus memeriksa nilai dan validitas - apakah itu baik atau buruk, itu akan membantu atau menghalangi, kemana ia akan membawa atau mengakhiri. Jika pikiran tidak tunduk kepada penyelidikan ini, itu akan mendaratkan dirinya dalam kesulitan besar. Jika pikiran mematuhi intelekmu, kemajuan spiritualmu akan dipercepat. (Sutra Vahini, Ch 1)
-BABA

Friday, January 9, 2015

Thought for the Day - 9th January 2015 (Friday)

The little infant (Parikshit) was placed on a gold plate for his naming ceremony. The child immediately started moving, as if searching for someone desperately and soon made a beeline towards Lord Krishna. He grasped Krishna’s feet and pleaded, by his looks, to be taken by Him and fondled! The Lord responded to the yearning, laughed, graciously bent and lifted the child onto His lap. The prince stared at the Lord’s face without even a blink; he didn’t turn his head this way or that, or pull at anything with his hands or make any sound. Everyone, including Lord Krishna were amazed at this behavior, it was so unlike any child. Then, the Lord tried to distract the attention of the child from Himself by placing before him a variety of toys, and Himself hiding from view, expecting the child to forget Him. But the child’s attention was not drawn towards any play or objects. He sought the Lord Himself and no other. Such should be one's focus.

Bayi kecil (Parikesit) ditempatkan di atas piring emas untuk upacara pemberian namanya. Sang anak segera mulai bergerak, seakan mencari seseorang dan segera langsung menuju ke arah Sri Krishna. Dia memegang kaki Sri Krishna dan memohon, untuk diambil oleh-Nya dan ditimang-Nya! Tuhan menjawab kerinduan, gelak tawa, dan kemudian dengan kebaikan-Nya membungkuk dan mengangkat sang anak ke pangkuan-Nya. Sang Pangeran menatap wajah Tuhan tanpa berkedip; ia tidak mengubah kepalanya dengan cara ini atau itu, atau menarik apa pun dengan tangannya atau membuat suara. Semua orang, termasuk Sri  Krishna kagum pada perilaku ini, tindakan itu sangat berbeda dengan setiap anak. Kemudian, Tuhan mencoba untuk mengalihkan perhatian anak dari diri-Nya dengan menempatkan di hadapannya berbagai jenis mainan, dan Beliau bersembunyi dari pandangan, mengharapkan sang anak untuk melupakan-Nya. Tetapi perhatian sang anak tidak tertarik terhadap setiap permainan atau benda. Ia mencari Tuhan sendiri dan tidak ada yang lainnya. Hendaknya seseorang fokus seperti itu. .(Bhagavatha Vahini, Ch 3)
-BABA