Thursday, November 29, 2018

Thought for the Day - 29th November 2018 (Thursday)

Adi Shankara stressed the importance of spending time in good company (Satsanga). He taught that for liberation, Satsanga is the first and important step. Here is a small example: if a piece of black charcoal is kept in the proximity of a bright red fire, the area along which this black charcoal is in contact with the bright fire, begins to glow. In this analogy, the black charcoal is your ignorance. The bright red fire is the good company. By the two coming together, only the portion of your ignorance that is exposed to the effects of good company will be dispelled. But if you employ sadhana or spiritual practice as a fan to increase the area of contact, then the entire region of ignorance will be illumined. It is thus not enough if you are merely in the company of good people. You should also develop the sadhana of love, and be loved by the good people. It is necessary to be near and dear to the good people.
Adi Shankara menekankan pentingnya menghabiskan waktu dalam pergaulan yang baik (Satsanga). Beliau mengajarkan bahwa untuk mendapatkan kebebasan, Satsanga adalah langkah pertama dan penting. Disini ada sebuah contoh sederhana: jika sebuah arang berwarna hitam disimpan dekat dengan api yang menyala berwarna merah, daerah dimana arang hitam bersinggungan dengan api yang menyala, akan mulai bersinar. Dalam analogi ini, arang hitam adalah kebodohanmu. Nyala api yang berwarna merah adalah pergaulan yang baik. Dengan keduanya hadir bersama-sama, hanya sebagian dari kebodohanmu yang dihilangkan karena terpapar oleh pengaruh dari pergaulan baik. Namun jika engkau melakukan sadhana atau latihan spiritual sebagai kipas untuk memperluas bidang pengaruhnya maka seluruh bagian dari kebodohan akan diterangi. Adalah tidak cukup jika engkau hanya dalam pergaulan yang baik saja. Engkau seharusnya juga mengembangkan sadhana kasih sayang, dan disayangi oleh orang-orang yang baik. Adalah perlu untuk disayang dan dicintai oleh orang-orang yang baik. (Summer Showers In Brindavan, May 24, 1973)

-BABA

Thought for the Day - 28th November 2018 (Wednesday)

Ahimsa (nonviolence) is not merely refraining from causing harm or injury to others. It also implies refraining from causing harm to oneself. How can you ensure this? By constantly examining whether your conduct is right or wrong. For instance, you must examine whether your words are causing pain to others or not. You must see that your looks are not tainted by evil intentions or thoughts. You should not listen to evil talk. All these cause harm first to yourself and then to others. How do you determine what is bad? By consulting your conscience. Whenever you act against the dictates of your conscience, bad results follow. Conscience within you is the form of the Divine within everyone. Whatever you do, your conscience tells you whether it is right or wrong. To ascertain the directive of conscience, you must wait for some time. Before you say something, practice thinking for a moment if it is proper or not and then speak.


Ahimsa (tanpa kekerasan) bukanlah hanya sebatas menahan diri dari menyakiti atau mencelakai yang lain. Ini juga menyatakan secara tidak langsung menahan diri dari menyakiti diri sendiri. Bagaimana engkau bisa memastikan hal ini? Dengan secara terus menerus memeriksa tingkah lakumu apakah benar atau salah. Sebagai contoh, engkau harus memeriksa apakah perkataanmu menyebabkan rasa sakit pada yang lain atau tidak. Engkau harus melihat bahwa pandanganmu tidak dinodai oleh maksud atau niat yang jahat. Engkau seharusnya tidak mendengarkan pembicaraan yang tidak baik. Semuanya ini pertama menyebabkan kerusakan pada dirimu sendiri dan kemudian pada yang lainnya. Bagaimana engkau menentukan apa yang tidak baik? Dengan menanyakannya pada suara hatimu. Kapanpun engkau berbuat bertentangan dengan arahan dari suara hatimu, maka hasil buruk akan mengikuti. Suara hati di dalam dirimu adalah bentuk dari keilahian di dalam diri setiap orang. Apapun yang engkau lakukan, suara hatimu mengatakan padamu apakah itu benar atau salah. Untuk menegaskan petunjuk dari suara hati, engkau harus menunggu untuk beberapa saat. Sebelum engkau mengatakan sesuatu, praktikkan untuk berpikir sebentar apakah hal itu layak atau tidak dan kemudian dikatakan. (Divine Discourse, Jan 18, 1996.)

-BABA

Thought for the Day - 27th November 2018 (Tuesday)

Every activity in the world today is centred around money. Request someone to sing a song or do some work for you, they will immediately start bargaining the amount you will pay for their services. Every activity has become a business today, so much so that business has entered the field of spirituality too. There is no necessity to purchase God with money which, of course, you cannot. In fact, you yourself are God. You are endowed with immense divine power. But you have to keep your mind steady. Let it not jump from one thought to another. If you write correct answers in your examination, you will get correct marks. If you have a good mind, everything will turn out to be good. But if there are bad thoughts in you, the result will also be bad. First and foremost, understand the nature of your mind. You can understand the secret of human life only when you understand your own mind. Be Good, Do Good, See Good. Then everything will become good in your life.


Setiap aktifitas di dunia hari ini dipusatkan sekitar uang. Meminta seseorang untuk bernyanyi sebuah lagu atau melakukan pekerjaan untukmu, mereka secara langsung akan mulai tawar menawar berapa banyak engkau akan membayarnya untuk jasa mereka. Setiap aktifitas telah menjadi sebuah bisnis hari ini, sampai-sampai bisnis telah memasuki dunia spiritual juga. Tidak perlu untuk membeli Tuhan dengan uang yang, tentu saja, engkau tidak bisa. Sejatinya, dirimu sendiri adalah Tuhan. Engkau diberkati dengan kekuatan Tuhan yang tidak terbatas. Namun engkau harus tetap menjaga pikiranmu tetap kokoh. Jangan biarkan pikiran melompat dari satu pemikiran ke pemikiran yang lainnya. Jika engkau menulis jawaban yang benar di dalam ujianmu, engkau akan mendapatkan nilai yang benar. Jika engkau memiliki pikiran yang baik, segala sesuatunya akan menjadi baik. Namun jika ada pikiran yang buruk dalam dirimu, hasilnya juga akan menjadi buruk. Pertama dan utama, pahami sifat alami pikiranmu. Engkau dapat mengerti rahasia hidup manusia hanya ketika engkau memahami pikiranmu sendiri. Jadilah baik, lakukan yang baik, lihat yang baik. Kemudian segala sesuatunya akan menjadi baik di dalam hidupmu. (Divine Discourse, May 2, 2006)

-BABA

Monday, November 26, 2018

Thought for the Day - 26th November 2018 (Monday)

Change the angle of your vision. When you practise seeing the world from the point of view of the omnipresence of the Divine, you will get transformed. You will experience the power of the Divine in everything in creation. You cannot hide anything from God. Many imagine that Swami does not see what they are doing. They do not realise that Swami has a myriad eyes. Even your eyes are divine. But you are not aware of your true nature. When you have faith in yourself, you will have faith in God. Realise that there is nothing beyond the power of God. Love God with that supreme faith. Then you will be drawn towards God. It needs purity. A magnet cannot attract a piece of iron covered with rust. Similarly God will not draw to Himself an impure person. Hence, change your feelings and thoughts and develop the conviction that God is everything.


Rubahlah sudut pandangmu. Ketika engkau mempraktikkan melihat dunia dari sudut pandang kehadiran Tuhan dimana-mana, engkau akan mendapatkan perubahan. Engkau akan mengalami kekuatan Tuhan dalam segala ciptaan. Engkau tidak bisa menyembunyikan apapun dari Tuhan. Banyak orang membayangkan bahwa Swami tidak melihat apa yang sedang mereka lakukan. Mereka tidak menyadari bahwa Swami memiliki banyak sekali mata. Bahkan matamu adalah Tuhan. Namun engkau tidak menyadari sifat sejatimu. Ketika engkau memiliki keyakinan pada dirimu sendiri, engkau akan memiliki keyakinan pada Tuhan. Sadarilah bahwa tidak ada apapun yang melampaui kekuatan Tuhan. Cintai Tuhan dengan keyakinan yang seperti itu. Kemudian engkau akan ditarik ke arah Tuhan. Hal ini memerlukan kemurnian. Sebuah magnet tidak dapat menarik besi yang tertutup dengan karat. Sama halnya Tuhan tidak bisa menarik orang yang tidak murni pada diri-Nya. Oleh karena itu, rubahlah perasaan dan pikiranmu serta kembangkan keyakinan bahwa Tuhan adalah segala-galanya. (Divine Discourse, Feb 27, 1995)

-BABA

Thought for the Day - 25th November 2018 (Sunday)

You should have less luggage (desires) in this long journey of life. Therefore, it is said: ‘less luggage more comfort makes travel a pleasure.’ So, ceiling on desires is what you have to adopt today. You have to cut short your desires day by day. You are under the mistaken notion that happiness lies in the fulfilment of desires. But in fact, happiness begins to dawn when desires are totally eradicated. When you reduce your desires, you advance towards the state of renunciation. You have many desires. What do you get out of them? You are bound to face the consequences when you claim something as yours. When you claim a piece of land as yours, then you will have to reap the harvest. This instinct of ego and attachment will put you to suffering. Never ever forget that you will be blissful the moment you give up ego and attachment!


Engkau seharusnya memiliki sedikit bagasi (keinginan) dalam perjalanan hidup yang panjang ini. Maka dari itu, dikatakan bahwa: ‘sedikit bagasi lebih nyaman dan membuat perjalanan menjadi sebuah kesenangan.’ Jadi, pembatasan keinginan adalah apa yang harus engkau jalankan hari ini. Engkau harus memotong pendek keinginanmu dari hari ke hari. Engkau salah mengerti bahwa kebahagiaan terdapat dalam pemenuhan keinginan. Namun kenyataannya, kebahagiaan dimulai ketika keinginan sepenuhnya dicabut. Ketika engkau mengurangi keinginanmu, engkau melangkah maju pada keadaan tidak terikat pada duniawi. Engkau memiliki banyak keinginan. Apa yang engkau dapatkan dari semuanya itu? Engkau diikat menghadapi akibat ketika engkau menyatakan sesuatu adalah milikmu. Ketika engkau menyatakan sebidang tanah sebagai milikmu, kemudian engkau harus mendapatkan panen. Insting dari ego dan keterikatan ini akan menempatkanmu pada penderitaan. Jangan pernah melupakan bahwa engkau akan menjadi penuh kebahagiaan pada saat engkau melepaskan ego dan keterikatan! (Divine Discourse, Mar 14, 1999)

-BABA

Saturday, November 24, 2018

Thought for the Day - 24th November 2018 (Saturday)

When your conscience tells you that something is wrong, you should refrain from doing it. You betray your true humanness when you fail to act up to the dictates of your conscience. When one’s words are in accord with one’s thoughts, they become Sathya (truth). When the spoken word is translated into action, it becomes Dharma (right action). The basis for both truth and right action is the Antaratma (conscience), the Indwelling Spirit. The thoughts that emanate from the Antaratma or conscience should find expression in speech. If the inner feelings are different from what is spoken, can the words be treated as truth or untruth? Clearly, it is untruth. When one’s action is not in accordance with his words, it is adharma (unrighteous action). Truth and right action are expressions of the promptings from the depths of one’s conscience.


Ketika suara hatimu mengatakan kepadamu bahwa ada sesuatu yang salah, engkau seharusnya menahan diri untuk melakukannya. Engkau mengkhianati nilai kemanusiaanmu ketika engkau gagal untuk bertindak sesuai dengan arahan dari suara hatimu. Ketika perkataan seseorang sesuai dengan pikirannya maka itu akan menjadi Sathya (kebenaran). Ketika kata-kata yang diucapkan diterjemahkan ke dalam tindakan, maka itu menjadi Dharma (kebajikan). Dasar dari keduanya yaitu kebenaran dan kebajikan adalah Antaratma (suara hati), jiwa yang bersemayam di dalam diri. Pikiran yang muncul dari Antaratma atau suara hati seharusnya diungkapkan dalam perkataan. Jika perasaan di dalam batin berbeda dengan apa yang diucapkan, dapatkah perkataan disebut sebagai kebenaran atau ketidakbenaran? Jelas sekali, ini adalah ketidakbenaran. Ketika perbuatan seseorang tidak sesuai dengan perkataannya, ini adalah adharma (perbuatan yang tidak baik). Kebenaran dan kebajikan adalah ungkapan dari dorongan dari kedalaman kesadaran seseorang. (Divine Discourse, Mar 11, 1994)

-BABA

Friday, November 23, 2018

Thought for the Day - 23rd November 2018 (Friday)

What is it that you can offer to the Lord who is omnipotent, omnipresent and all-knowing? The Lord has endowed you with all his wealth and Divine potentialities. You are inheritors of His wealth. You have to discover what that wealth is. Sai's wealth is nothing but pure, selfless and boundless Love. You must inherit this Love, fill yourselves with it and offer it to the world. This is your supreme responsibility. Embodiments of the Divine! To realise the divine, Love is the easiest path. Just as you can see the moon only with the light of the moon, God, who is the Embodiment of Love, can be reached only through Love. Regard selfless love as your life breath. Love was the first quality to emerge in the process of creation. All other qualities came after it. Therefore, fill your hearts with pure selfless love and lead your life with selfless love as the foundation.


Apa yang dapat engkau persembahkan kepada Tuhan yang ada dimana-mana, maha tahu dan maha kuasa? Tuhan telah memberkatimu dengan semua kekayaan dan potensi keilahian-Nya. Engkau adalah ahli waris dari kekayaan-Nya. Engkau harus menemukan apa kekayaan-Nya itu. Kekayaan Sai tidak lain hanyalah kasih yang murni, tidak mementingkan diri sendiri dan kasih yang tanpa batas. Engkau harus mewarisi kekayaan ini, penuhi dirimu dengan kasih ini dan persembahkan kasih ini kepada dunia. Ini adalah tanggung jawabmu yang tertinggi. Perwujudan ilahi! Untuk menyadari keilahian, kasih adalah jalan yang paling mudah. Seperti halnya engkau melihat bulan hanya ketika ada cahaya dari bulan, Tuhan yang merupakan perwujudan dari kasih, hanya dapat dicapai dengan kasih. Pandanglah kasih yang tidak mementingkan diri sendiri adalah sebagai nafas hidupmu. Kasih adalah kualitas pertama untuk menyatu dalam proses ciptaan. Kualitas yang lainnya hadir setelah hal ini. Maka dari itu, isilah hatimu dengan kasih suci yang tidak mementingkan diri sendiri dan jalanilah hidupmu dengan kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri sebagai dasarnya. (Divine Discourse, Nov 23, 1986)

-BABA

Thought for the Day - 22nd November 2018 (Thursday)

Dear Students, first render your homes bright by pleasing your parents. Do not be arrogant towards them because you have studied a few things. The advice given by gurus during convocations in hermitages was the same - "Mother and Motherland are more worthy of reverence than Heaven. Your parents are sacrificing their comforts and even necessities in order to ensure your progress. It is your duty to revere them and make them happy. Engage yourselves in acts that others will respect and not in acts of which you feel ashamed. Honour the elders. Love your native land." They would exhort: “Consider the Mother as God. Consider the Father as God. Consider the Teacher as God. Consider the Guest as God.” Follow this fourfold exhortation with full faith in its validity, derive bliss therefrom and inspire others by your example, so that the Motherland may progress and prosper. Fulfil this desire of mine, with My blessings.


Pelajar yang terkasih, pertama bawakan penerangan di dalam rumahmu dengan membuat orang tuamu menjadi senang. Jangan menjadi arogan dan sombong kepada mereka karena engkau telah belajar beberapa hal. Nasihat yang diberikan oleh para guru pada acara wisuda tahunan adalah sama –“Ibu dan ibu pertiwi adalah lebih layak untuk dihargai daripada surga. Orang tuamu mengorbankan kesenangannya dan bahkan kebutuhan mereka dalam memastikan kemajuanmu. Adalah kewajibanmu untuk menghormati mereka dan membuat mereka senang. Libatkan dirimu dalam tindakan dimana orang lain akan menghormatimu dan bukan pada tindakan yang membuatmu malu. Hormati mereka yang lebih tua. Cintai tanah airmu.” Para guru juga akan mendesak: ”Perlakukan Ibu sebagai Tuhan. Perlakukan ayah sebagai Tuhan. Perlakukan guru sebagai Tuhan. Perlakukan tamu sebagai Tuhan.” Ikutilah keempat bagian ini dengan penuh keyakinan dalam kebenarannya, dapatkan kebahagiaan dari semuanya ini dan berikan inspirasi pada yang lain dengan teladanmu, sehingga ibu pertiwi menjadi maju dan sejahtera. Penuhi keinginan-Ku dengan rahmat-Ku. (Divine Discourse, Nov 22, 1986)

-BABA

Thought for the Day - 21st November 2018 (Wednesday)

Education must reveal the path that enables one to tap the dormant spring of Divinity within, without getting entangled with the mass of created objects. It must lay stress on spiritual transformation as more fundamental than even moral uplift. The real sign of an educated person is in their attitude of sameness towards all. They must see the society as a manifestation of Divinity. Education does not lead from nature to all-pervading Atma directly. It leads you to study nature, with the unifying Atmic outlook. When the powers of Nature are subjected to narrow selfishness, they recoil on you as plague. When they are revered as revelations of the Atma, they become beneficial to you. Education equips you with this insight. The process by which you forego your freedom and are bound in the net of desire can never be education. True education must aim at ensuring peace and stability through continuous precept and practice of unity in creation.


Pendidikan harus membukakan jalan yang memungkinkan seseorang untuk membuka sumbat sumber keilahian yang tertutup di dalam diri, tanpa menjadi terjerat dengan objek-objek yang tercipta begitu banyak. Pendidikan harus menekankan pada perubahan spiritual yang lebih bersifat fundamental bahkan daripada pengangkatan moral. Tanda sejati dari orang yang berpendidikan adalah ada di dalam sikap yang memandang sama kepada semuanya. Mereka harus melihat masyarakat sebagai sebuah perwujudan dari keilahian. Pendidikan tidak mengarahkan secara langsung dari alam pada Atma yang meresapi semuanya. Pendidikan mengarahkanmu untuk mempelajari alam, dengan pandangan Atma yang satu. Ketika kekuatan alam diperlakukan untuk kepentingan diri yang sempit, maka alam akan menghentak balik kepadamu sebagai wabah. Ketika alam diperlakukan sebagai pembukaan rahasia dari Atma, maka alam akan berguna bagimu. Pendidikan memperlengkapimu dengan pengertian yang mendalam ini. Proses dimana engkau mengorbankan kebebasanmu dan terikat di jaring jaring keinginan dan itu tidak pernah bisa menjadi Pendidikan. Pendidikan sejati harus bertujuan untuk memastikan kedamaian dan keseimbangan melalui pengajaran secara berkelanjutan dan menjalankan persatuan dalam ciptaan. (Divine Discourse, Nov 22, 1986)

-BABA

Wednesday, November 21, 2018

Thought for the Day - 20th November 2018 (Tuesday)

Today people want to live happily but not lead ideal lives. Parents, for instance, do not set a good example to the children. In the modern age, the father does not instruct the child properly and the child does not pay heed to the words of the mother. Where there are some good children, leading a pious life, the fathers rebuke them saying, "Have you gone crazy? Don't take part in Bhajans or social service." Parents who behave in this manner are like Hiranyakashipu, who could not tolerate his son worshipping Hari. Today we have many parents like Dhritarashtra and Hiranyakashipu, but few who encourage their children to adhere to righteousness. Children today do not relish edifying works like the Ramayana, Mahabharata and the Bhagavatham. They waste their time on reading trash. Parents should see that children do not read bad books. If the nation has to prosper, improvement must start with the parents.


Hari ini manusia menginginkan hidup bahagia namun tidak menjalani hidup yang ideal. Sebagai contoh orang tua yang tidak memberikan teladan yang baik kepada anak-anak. Di zaman modern, ayah tidak memberikan pendidikan dengan tepat dan akibatnya anak tidak memberikan perhatian pada perkataan ibu. Dimana ada beberapa anak-anak baik yang menjalani sebuah hidup yang mulia, sang ayah memarahi mereka dengan berkata, "Apakah engkau sudah gila? Jangan ikut bhajan atau pelayanan sosial." Orang tua yang bertingkah laku seperti ini adalah seperti Hiranyakashipu, yang tidak bisa tahan pada anaknya yang memuja Tuhan. Hari ini kita memiliki banyak orang tua seperti Dhritarashtra dan Hiranyakashipu, namun sedikit yang mendorong anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi kebajikan. Anak-anak hari ini tidak menyukai literatur yang bermoral seperti Ramayana, Mahabharata, dan Bhagavatham. Mereka menyia-nyiakan waktu mereka dalam bacaan sampah. Orang tua seharusnya melihat bahwa anak-anak tidak membaca buku-buku yang tidak baik. Jika sebuah bangsa harus makmur dan sejahtera maka peningkatan harus mulai dengan orang tua. (Divine Discourse, Nov 19, 1995)

-BABA

Monday, November 19, 2018

Thought for the Day - 19th November 2018 (Monday)

Study the lives of our great women who were role-models of patience, fortitude, compassion and sacrifice. Since ancient times, the feminine aspect of the Divine is worshipped. Vedas declare: Where women are honoured and esteemed, there Divinity is present in full potency. Unfortunately, today men consider it demeaning to honour women. This is wrong and is a sign of ignorance. Men should give a honourable place to women. The woman is the Goddess of Prosperity for her home (Grihalakshmi), virtuous spouse (Dharmapatni), mistress of the house (Illalu) and the better half (Ardhangi). People gloat over petty titles conferred on them, but these highest titles conferred on women are valid for all times. A home without a woman is a jungle. Men should not make women weep and shed tears. A home where a woman sheds tears will be ruined. Women too, should endeavor to develop qualities of empathy, compassion, love and sacrifice. They should change themselves and help transform men and children.

Pelajari kehidupan para wanita hebat yang telah menjadi panutan atau teladan dari kesabaran, ketabahan, welas asih, dan pengorbanan. Sejak dari zaman dahulu, aspek feminim dari Tuhan dipuja. Weda menyatakan : Dimana para wanita dihormati dan dihargai, maka disana akan hadir potensi Tuhan sepenuhnya. Namun sangat disayangkan, hari ini laki-laki menganggap adalah merendahkan diri jika menghormati wanita. Hal ini adalah salah dan ini adalah tanda dari kebodohan. Laki-laki harus memberikan tempat yang terhormat kepada wanita. Wanita adalah Dewi kesejahteraan bagi rumah (Grihalakshmi), pasangan kebajikan (Dharmapatni), nyonya rumah (illalu), dan pasangan dari suami (Ardhangi). Manusia memandang rendah gelar yang diberikan kepada wanita, namun gelar-gelar ini yang diberikan kepada wanita adalah bersifat benar sepanjang waktu. Rumah tanpa seorang wanita adalah sebuah hutan. Laki-laki seharusnya tidak membuat wanita bersedih dan meneteskan air mata. Rumah dimana wanita meneteskan air mata akan rusak. Wanita juga seharusnya berusaha untuk mengembangkan kualitas seperti empati, welas asih, kasih, dan pengorbanan. Mereka seharusnya merubah diri mereka dan membantu merubah laki-laki dan anak-anak. (Divine Discourse, Nov 19, 1995)

-BABA

Thought for the Day - 18th November 2018 (Sunday)

The human body is like a chariot and the Atma (Soul) is the charioteer. The many million bodies in the Universe may have different forms and names. But the Atma (Soul) is one and the same. It is essential to recognise the unity that underlies the apparent diversity. For instance, hunger is common to all, though the food through which it is appeased may vary from an emperor to a beggar. Likewise, joy and grief, birth and death are common to all. Atma is common to everyone. Recognising this oneness, you must engage in service. Service as an act of Dharma (righteous duty) can be offered only by the one who is pure in heart, selfless and equal-minded towards everyone (Samatva). All opportunities of service should be regarded as an offering to God and every opportunity to serve should be welcomed as a gift from God. When you serve in this spirit, in due course, it will lead you to attain self-realisation.


Tubuh manusia adalah seperti sebuah kereta pedati dan Atma (jiwa) adalah pengemudinya. Ada banyak tubuh di alam semesta ini dan memiliki wujud serta nama yang berbeda. Namun Atma (Jiwa) adalah satu dan sama. Adalah bersifat mendasar untuk mengetahui kesatuan yang terdapat pada perbedaan yang ada. Sebagai contoh, rasa lapar adalah umum diketahui oleh semuanya, walaupun makanan yang dipakai untuk meredakan rasa lapar adalah sangat berbeda dari raja sampai pada pengemis. Sama halnya, suka cita dan duka cita, kelahiran dan kematian adalah umum bagi semuanya. Atma adalah umum bagi setiap orang. Untuk menyadari akan kesatuan ini maka engkau harus terlibat dalam pelayanan. Pelayanan adalah sebuah tindakan dari Dharma (kebajikan) hanya dapat dipersembahkan oleh seseorang yang berhati suci, tidak mementingkan diri sendiri dan berpikiran sama kepada setiap orang (Samatva). Semua kesempatan dalam pelayanan seharusnya dianggap sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan dan setiap kesempatan untuk melayani seharusnya disambut sebagai hadiah dari Tuhan. Ketika engkau melayani dengan semangat ini, maka tepat waktunya ini akan menuntunmu pada pencapaian kesadaran diri. (Divine Discourse, Nov 19, 1987)

-BABA

Saturday, November 17, 2018

Thought for the Day - 17th November 2018 (Saturday)

Without having the right attitude, service done with a spirit of self-conceit is a travesty of service. Eliminate selfishness, which is the cause of dualism and its brood of opposites, joy and sorrow, likes and dislikes, and so on. You must rid yourself of the sense of ‘mine’ and ‘thine’. If your minds are filled with hatred, envy, prejudices and biases, you are not qualified to embark on service activities. "Active workers" (in the Sai movement) should have no feeling of arrogance or ostentation while carrying out the activities. They are indeed the spinal cord of the Sai organisation. As an active worker, you must understand the importance of human values and practice them in your life. You must constantly train yourself to become good men and women, fit to undertake noble tasks. All active workers must be broad-minded, completely free from selfish concerns, and must develop love towards all. Your recipe to experience Divinity must be, ‘Offer services and receive love’.


Tanpa memiliki sikap yang benar, pelayanan yang dilakukan dengan semangat kesombongan diri adalah sebuah parodi pelayanan. Hilangkan sifat mementingkan diri sendiri, yang merupakan penyebab dari dualitas dan keturunannya yang saling bertentangan seperti senang dan sedih, suka dan tidak suka, dsb. Engkau harus melepaskan dirimu sendiri dari perasaan ‘milikku’ dan ‘milikmu’. Jika pikiranmu diliputi dengan kebencian, iri hati, prasangka, dan sikap memihak, engkau tidak memenuhi syarat untuk memulai aktifitas pelayanan. "Pekerja aktif " (dalam pergerakan Sai) seharusnya tidak memiliki perasaan berupa arogansi atau kesombongan saat sedang melakukan aktifitas. Para pekerja aktif sejatinya merupakan tulang belakang dari organisasi Sai. Sebagai seorang pekerja aktif, engkau harus memahami pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan menerapkannya dalam hidupmu. Engkau harus secara tanpa henti melatih dirimu sendiri untuk menjadi pribadi yang baik, cocok untuk menjalankan tugas yang mulia. Semua pekerja aktif harus berpikiran luas dan sepenuhnya bebas dari hasrat mementingkan diri sendiri, dan harus mengembangkan kasih kepada semuanya. Resepmu dalam mengalami ke-Tuhanan harusnya adalah, ‘menawarkan pelayanan dan menerima kasih sayang’. (Divine Discourse, Nov 19, 1987)

-BABA

Friday, November 16, 2018

Thought for the Day - 16th November 2018 (Friday)

Preoccupation with one's own welfare and happiness is the bane of the dualistic mentality. It breeds discontent and sorrow. Feelings of attachment and aversion sully the mind. The mind can be purified through service. External observances like bathing several times a day, smearing Vibhuti all over and chanting mantras mechanically will not serve to cleanse the mind of impurities. These are only outward show, with nothing spiritual about them. Transcendental knowledge, which will help to raise man from the animal level, can be got through diligent enquiry and steadfast faith. This is being ignored today. Perceiving untruth as truth and treating truth as untruth, people are immersed in accumulating ephemeral objects, considering them as permanent. You must get out of this narrow groove, outgrow your selfish tendencies and learn to regard the whole of mankind as one family. That is true service. Few have such a large-hearted approach today.


Keasyikan dengan kesejahteraan dan kesenangan diri sendiri adalah kutukan dari mental dualitas. Hal ini membiakkan ketidakpuasan dan penderitaan. Perasaan keterikatan dan kebencian menodai pikiran. Pikiran dapat disucikan melalui pelayanan. Ketaatan yang bersifat external seperti mandi beberapa kali sehari, mengusapkan Vibhuti di seluruh tubuh dan melantunkan mantra secara mekanis tidak akan membuat kita bisa membersihkan pikiran dari kotoran. Semua hal ini hanyalah pamer keluar, dan tidak ada yang bersifat spiritual dari hal itu. Pengetahuan yang bersifat kerohanian akan membantu untuk menaikkan manusia dari tingkat binatang, dapat diperoleh melalui penyelidikan yang tekun dan keyakinan yang kuat. Hal ini sekarang diabaikan. Menerima ketidakbenaran sebagai kebenaran dan memperlakukan kebenaran sebagai ketidakbenaran, manusia ditenggelamkan dalam mengumpulkan objek-objek yang bersifat sementara dan memperlakukannya sebagai yang kekal. Engkau harus keluar dari alur yang sempit ini, mengatasi kecenderungan sifat mementingkan diri sendirimu dan belajar untuk menganggap seluruh umat manusia sebagai satu keluarga. Itu adalah pelayanan yang sejati. Hanya beberapa orang saja yang memiliki pendekatan dengan hati yang besar seperti itu hari ini. (Divine Discourse, Nov 19, 1987)

-BABA

Thursday, November 15, 2018

Thought for the Day - 15th November 2018 (Thursday)

Do not get elated at the riches, status, authority, intelligence, etc., which you may have. Consider that they have been given to you on trust, so that you may benefit others. They are all signs of His Grace, opportunities of service, and symbols of responsibility. Deal sympathetically with the mistakes of others. Seek the good in others, hear only good tidings about them, and do not give ear to scandal. There is this Kaliya episode during the Krishna Avatar. The inner meaning of that is: The serpent Kaliya and its minions are the desires that lurk in the depths of the heart; into that depth the Lord jumps, or rather showers His Grace and the poison is expelled, and the place made safe and pure. When Krishna dances on the hoods, the serpents are tamed and rendered harmless. Without the extinction of desire, one cannot become Divine. Of what avail is it to repeat Shivoham, Shivoham (I am Shiva) when you have not endeavoured to equip yourself with the qualities of Shiva?


Jangan membesarkan hati pada kekayaan, status, kekuasaan, kepintaran, dsb, yang engkau miliki. Anggaplah bahwa semua yang engkau miliki diberikan kepadamu karena dipercaya, agar bisa berguna bagi yang lainnya. Semuanya itu adalah tanda dari karunia-Nya, kesempatan untuk pelayanan dan simbol dari tanggung jawab. Perlakukan dengan penuh simpati pada kesalahan orang lain. Lihatlah kebaikan pada diri yang lain, hanya dengarkan hal yang baik tentang mereka, dan jangan dengarkan tentang skandal. Ada seekor ular yang bernama Kaliya pada masa Awatara Krishna. Makna yang terkandung di dalamnya adalah: ular berbisa Kaliya dan antek-anteknya adalah keinginan yang bersembunyi serta mengintai di kedalaman hati; dalam kedalaman itu Tuhan hadir untuk mencurahkan karunia-Nya dan racun itu dimusnahkan, tempat itu menjadi aman dan suci. Ketika Krishna menari di atas kerudung kepala Kaliya, ular berbisa ini dijinakkan dan menjadi tidak berbahaya. Tanpa pemadaman keinginan, seseorang tidak bisa menjadi ilahi. Apa gunanya dengan mengulang Shivoham, Shivoham (aku adalah Shiva) ketika engkau tidak berusaha memperlengkapi dirimu dengan kualitas dari Shiva? (Divine Discourse, Oct 24, 1965)

-BABA

Wednesday, November 14, 2018

Thought for the Day - 14th November 2018 (Wednesday)

Sweet and tender-hearted boys and girls! In our culture we have four injunctions: "Matru devo bhava, Pitru devo bhava, Acharya devo bhava, Atithi devo bhava - Regard your mother, father, teacher and guests as God”. Ever since you entered this world, your mother has loved you, has fostered you with her own blood and wishes for your welfare constantly. So first and foremost you must learn to respect her. Your father protects you and thinks constantly of your future, welfare and prosperity. Hence you should show affection and regards to him too. Mother gives you the body, father shows you ways of protecting and fostering it, but the teacher enables the intelligence in you to flourish. Life does not consist merely of eating. Education is that which shows how one should conduct oneself in society. So the teacher who gives you this ability should be honoured. And the society is the place where all of these can be put to use. Therefore, considering guests as representatives of society, we should offer them the due respect and honour.


Anak-anak yang berhati manis dan lembut! Dalam kebudayaan kita, kita memiliki empat perintah: "Matru devo bhava, Pitru devo bhava, Acharya devo bhava, Atithi devo bhava – Perlakukan ibu, ayah, guru dan tamumu sebagai Tuhan”. Sejak engkau lahir ke dunia ini, ibumu telah mencintaimu, membesarkanmu dengan darahnya sendiri dan selalu mendoakan untuk kesejahteraanmu. Jadi pertama dan utama engkau harus belajar untuk menghormatinya. Ayahmu melindungimu dan selalu memikirkan masa depanmu, kesejahteraan dan kemakmuranmu. Oleh karena itu, engkau harus memperlihatkan kasih sayang dan rasa hormat kepadanya juga. Ibu memberikanmu tubuh, ayah memperlihatkanmu cara untuk melindungi dan membesarkanmu, namun guru memungkinkan kecerdasan dalam dirimu mekar dan berkembang. Hidup tidak hanya sebatas makan saja. Pendidikan adalah yang memperlihatkanmu bagaimana seharusnya seseorang bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi guru yang memberikanmu kemampuan ini harus dihargai. Dan masyarakat adalah tempat dimana semua hal ini dapat dijalankan. Maka dari itu, menganggap tamu sebagai perwakilan dari masyarakat, kita seharusnya memberikan kepada mereka hormat dan penghargaan. [Divine Discourse, Nov 22, 1975]

-BABA

Thought for the Day - 13th November 2018 (Tuesday)

Some say that since this is Kali yuga, falsehood alone can succeed. But in spite of all appearances, honesty is still the best policy. One lie must be buttressed by a hundred others; whereas being truthful is easy, safe and simple. It is a hard job to maintain a false stand and so, it is always safe to be straight and honest. Do not take the first false step and then be led, on and on, to perdition. Truth is one's real nature and when you are yourself, there comes a great flood of joy welling up within you. When you deny and deceive yourself, shame darkens your mind and breeds fear. You take the path of falsehood because of the rajasik (passionate) qualities of lust, greed, hate and pride. Contentment, humility, and detachment - these keep you on the path of Truth. Truth will always triumph; do not doubt that in the least.


Beberapa orang berkata bahwa karena saat sekarang adalah zaman Kali yuga, kejahatan saja yang akan menang. Namun, terlepas dari semua bentuk, kejujuran masih sebagai kebijakan yang terbaik. Satu kebohongan harus ditopang oleh ratusan kebohongan yang lainnya; sedangkan jujur itu mudah, aman, dan sederhana. Merupakan pekerjaan yang sulit untuk tetap menutupi kebohongan dan karenanya adalah selalu aman untuk tetap jujur dan lurus. Jangan salah dalam mengambil langkah pertama dan kemudian diarahkan terus menuju pada kehancuran. Kebenaran adalah sifat sejati seseorang dan ketika engkau adalah dirimu sendiri, maka kemudian datanglah banjir suka cita yang sangat besar yang mengalir dari dalam dirimu. Ketika engkau menyangkal dan menipu dirimu sendiri, rasa malu menggelapkan pikiranmu dan memunculkan ketakutan. Engkau mengambil jalan kebohongan karena sifat penuh gairah (rajasik) berupa birahi, tamak, kebencian, dan kesombongan. Rasa syukur, kerendahan hati, dan tanpa keterikatan – hal ini tetap membawamu pada jalan kebenaran. Kebenaran akan selalu menang; jangan ragu sedikitpun. [Divine Discourse, Oct 24, 1965]

-BABA

Thought for the Day - 12th November 2018 (Monday)

With the Name as the very breath of your life, you must engage in all life's activities, with no fear of a fall. If you make good use of chanting the Lord’s Name, your life will be sanctified. Whatever work you undertake, do it as an offering to God, chanting His Name. Even while you are walking, think that it is God who is making you walk, since Divinity is present in a subtle form in every atom and cell in this Universe. Unable to recognise this truth, people think, ‘I came by walk, I walked so many miles, etc.’ Such work comes under the physical realm, not spiritual. Hence whatever you think, speak or do, do it befittingly, considering every work as God’s command and God’s work. With that attitude chant any divine name wholeheartedly and sanctify your life. Then every activity you undertake will be successful.


Dengan nama Tuhan sebagai nafas hidupmu, engkau harus terlibat dalam semua aktifitas kehidupan, tanpa takut akan jatuh. Jika engkau menggunakan dengan baik dalam pelantunan nama Tuhan, hidupmu akan disucikan. Apapun pekerjaan yang engkau lakukan, lakukanlah sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan, lantunkan nama-Nya. Bahkan ketika engkau sedang berjalan, pikirkan bahwa Tuhan yang sedang membuatmu berjalan, karena kualitas Tuhan ada dalam bentuk halus di setiap atom dan sel di alam semesta. Tidak mampu untuk menyadari kebenaran ini, manusia berpikir, ‘Saya datang dengan berjalan, saya berjalan bermil-mil jauhnya, dst.’ Aktifitas itu ada karena fisik dan bukan spiritual. Oleh karena itu apapun yang engkau pikirkan, katakan atau lakukan, lakukanlah dengan benar, menganggap bahwa setiap pekerjaan sebagai perintah Tuhan dan pekerjaan Tuhan. Dengan sikap ini lantunkan nama Tuhan yang mana saja dengan sepenuh hati dan sucikanlah hidupmu. Kemudian setiap aktifitas yang engkau lakukan akan menjadi berhasil. [Divine Discourse, 13-Nov-2007]

-BABA

Monday, November 12, 2018

Thought for the Day - 11th November 2018 (Sunday)

You are most fortunate to participate in this (annual global) Akhanda Bhajan. Do not lose this great opportunity to lovingly sing the Lord’s Name. Meera drank the cup of poison with the Name on her tongue and it turned into nectar. Bhartrihari bewailed his lot, "Lord, these pleasures are eating me up; they don't allow me to be myself. No! I will liberate myself from their clutches. I shall take refuge in the undiminishable bliss, the reservoir of joy, the Lord. I shall not crave for objects (padartha); I shall yearn for the Highest Good (Parartha)". Devotion and faith ensure the gift of knowledge of the Spirit which is the greatest prize for the great adventure of birth, life and death. Endeavour to remember this fact when you sing. Whatever you do, whoever you are, whatever work you perform, you will definitely succeed, provided you do not give up the recitation of His Name with love and devotion incessantly.


Engkau adalah yang paling beruntung dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini (global tahunan) Akhanda Bhajan. Jangan kehilangan kesempatan yang luar biasa ini dengan kasih mengidungkan nama Tuhan. Meera meminum secangkir racun dengan nama Tuhan di lidahnya dan merubah racun itu menjadi nektar. Bhartrihari meratapi nasibnya, "Tuhan, kesenangan ini telah menghabisiku; kesenangan itu tidak memberikan kesempatan bagiku menjadi diriku. Tidak! aku akan membebaskan diriku dari cengkeraman mereka. Aku akan mencari perlindungan dalam kebahagiaan yang tidak terhancurkan, sumber dari suka cita, yaitu Tuhan. Aku tidak akan mencari objek luar (padartha); aku akan merindukan kebaikan yang tertinggi (Parartha)". Bhakti dan keyakinan memastikan hadiah pengetahuan dari jiwa yang merupakan hadiah yang terbaik untuk petualangan yang terbesar yaitu kelahiran, kehidupan dan kematian. Berusahalah untuk mengingat kenyataan ini ketika engkau menyanyi. Apapun yang engkau lakukan, siapapun dirimu, apapun pekerjaan yang engkau lakukan, engkau pastinya akan berhasil, asalkan engkau tidak melepaskan dalam mengidungkan nama Tuhan dengan kasih dan bhakti secara terus menerus. [Divine Discourse, Nov 13, 2007]

-BABA

Saturday, November 10, 2018

Thought for the Day - 10th November 2018 (Saturday)

There are two kinds of Bhajans - one is Khanda Bhajan and the other, Akhanda Bhajan. The former is for a specific time, like the bhajans held for a limited period either in the morning or evening. On the other hand, Akhanda Bhajan involves constant contemplation on God in the morning, evening or even during the night. It is constant contemplation on God during all the three states - the waking, dream and deep sleep. It is sarvada sarvakaleshu sarvatra Harichintanam - thinking of God constantly, at all times and at all places. The divine name is highly potent. Each one of the several names of God has one type of power specific to it. If you wish to make good use of this power and derive lasting benefit out of it, you have to participate in Akhanda bhajan. In order to attain purity, it is not enough if chanting of the divine name is confined to a limited period. It has to be a continuous spiritual exercise throughout one’s life. Then only the divine name gets imprinted on one’s heart.


Ada dua jenis Bhajan – pertama adalah Khanda Bhajan dan yang kedua adalah Akhanda Bhajan. Bagian pertama adalah bhajan pada waktu tertentu, seperti bhajan yang dilaksanakan pada waktu yang terbatas seperti di pagi hari atau sore hari. Sebaliknya, Akhanda Bhajan melibatkan kontemplasi secara terus menerus kepada Tuhan di pagi hari, sore hari, dan bahkan malam hari. Kontemplasi secara terus menerus pada Tuhan di ketiga keadaan yaitu – saat sadar, mimpi, dan tidur nyenyak. Hal ini disebutkan dengan sarvada sarvakaleshu sarvatra Harichintanam – memikirkan Tuhan secara terus menerus, sepanjang waktu dan di semua tempat. Nama Tuhan sangatlah ampuh. Setiap nama dari beberapa nama Tuhan memiliki satu kekuatan yang khusus. Jika engkau ingin memanfaatkan kekuatan ini dan mendapatkan keuntungan selamanya dari hal ini, engkau harus berpartisipasi dalam Akhanda bhajan. Dalam upaya mencapai kesucian, adalah tidak cukup dengan melantunkan nama Tuhan terbatas pada waktu yang terbatas. Ini harus menjadi latihan spiritual yang berkelanjutan sepanjang hidup seseorang. Hanya dengan demikian nama Tuhan dapat terpatri dalam hati seseorang. [Divine Discourse, Nov 13, 2007]

-BABA

Friday, November 9, 2018

Thought for the Day - 9th November 2018 (Friday)

Do not get elated at the riches, status, authority, or the intelligence which you are bestowed with. Consider them as signs of His grace, opportunities of service, and symbols of responsibility given to you on trust, so that you may benefit others. Never seek to exult over others' faults; deal empathetically with others’ shortcomings and mistakes. Always seek the good in them, hear only good tidings about them and never give ear to scandal. Detachment confers fearlessness and gives strength and courage, for, it is desire that weakens you and makes you cringe before those in authority and with influence. Detachment endows you with self-respect, the capacity to stand up to slander and calumny. Some weep at the slightest sign of defeat or disappointment. This is despicable behaviour. Why should you have fear or sorrow, with the Lord installed in the altar of your heart? He is in all beings, at all times. Do you not know He is there, guarding you and guiding you?


Jangan berbesar hati pada kekayaan, status, kekuasaan atau kecerdasan yang engkau dapatkan. Anggaplah semuanya itu adalah sebagai tanda dari rahmat, kesempatan pelayanan dan simbol tanggung jawab yang dipercayakan kepadamu oleh Tuhan, sehingga engkau dapat berguna bagi yang lainnya. Jangan pernah mencari-cari kesalahan orang lain; miliki empati dengan kekurangan dan kesalahan orang lain. Selalulah mencari kebaikan dalam diri mereka, dengarkan hanya hal yang baik tentang mereka dan jangan pernah mendengarkan tentang skandal. Tanpa keterikatan menganugerahkan keberanian dan juga memberikan kekuatan serta tanpa rasa takut, karena keinginan yang melemahkanmu dan membuat dirimu rendah di hadapan mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Tanpa keterikatan memberikanmu kepercayaan diri, kapasitas untuk menghadapi dengan berani segala fitnah. Beberapa tangisan untuk hal yang sepele adalah tanda dari kekalahan atau kekecewaaan. Ini adalah tingkah laku yang tercela. Mengapa engkau harus memiliki ketakutan atau penderitaan, dengan Tuhan bersemayam di dalam altar hatimu? Tuhan bersemayam di dalam semua makhluk hidup, sepanjang waktu. Apakah engkau tidak tahu bahwa Tuhan ada untuk menuntun dan menjagamu?  [Divine Discourse, Oct 24, 1965]

-BABA

Thought for the Day - 8th November 2018 (Thursday)

Draupadi did not send a chariot inviting Lord Krishna to come to her rescue; she uttered the Lord’s Name in her deepest agony and Lord Krishna instantly responded, and saved her from imminent dishonour. In the Treta yuga, during the times of the Ramayana, architect Nala and his monkeys were building a bridge over the sea to Lanka; the boulders on which they inscribed the sacred name Rama, floated on the waters. But they found that the boulders floated away due to wind and wave. They did not form a continuous bridge for the army to pass over. Some wise person gave a suggestion to write ‘Ra’ on one boulder and ‘Ma’ on another and they found that the two stuck hard together. This works in this day and age too! Chant the Lord’s name continuously. It will serve as a bridge between you and Him; it will keep you focused on Him and bring on you His boundless Grace!


Draupadi tidak mengirim kereta mengundang Sri Krishna untuk datang menyelamatkannya; dia mengucapkan nama Tuhan dalam penderitaan yang mendalam dan Sri Krishna secara langsung memberikan jawaban dengan menyelamatkannya dari aib yang akan terjadi. Dalam zaman Treta yuga, pada saat waktu Ramayana, arsitek yang bernama Nala dan para monyetnya sedang membangun jembatan diatas lautan menuju ke Lanka; bebatuan dimana mereka menuliskan nama suci Rama, terapung di atas air. Namun mereka merasakan bahwa bebatuan itu terapung karena angin dan ombak. Mereka tidak membentuk jembatan yang berkelanjutan untuk tentara bisa lewat. Beberapa orang bijak memberikan sebuah saran untuk menuliskan ‘Ra’ di atas satu batu dan ‘Ma’ di atas batu yang lainnya dan mereka mendapatkan bahwa dua batu itu melekat menjadi satu. Hal ini dapat dilakukan hari ini dan zaman ini juga! Lantunkan nama Tuhan tanpa henti. Ini akan memberikanmu sebuah jembatan untukmu dan Tuhan; hal ini juga membuatmu fokus dan memberikanmu karunia-Nya yang tidak terbatas! [Divine Discourse, Oct 24, 1965]

-BABA

Thursday, November 8, 2018

Thought for the Day - 7th November 2018 (Wednesday)

The home (griha) where the Lord’s Name is not heard is a dark cave (guha)! As you enter home, as you leave it, and while you are in it, perfume it, illumine it and purify it with His Name. Light it as a lamp at dusk and welcome it at dawn as you welcome the Sun. That is the genuine Deepavali, the festival of lamps. Firmly believe that the Name is the boat which will help you cross the sea of worldly life. The Name is more efficacious than the contemplation of the Form. On this Deepavali Day, resolve to light the lamp of Namasmarana (chanting the Name of God) and place it at your doorstep, the lips. Feed it with the oil of devotion, let steadiness be the wick. Let the lamp illumine every minute of your life. The splendour of the Name will drive darkness from outside you as well as from within you. You will spread joy and peace amongst all who come near you.


Rumah (griha) dimana nama Tuhan tidak diperdengarkan adalah sebuah gua gelap (guha)! Ketika engkau memasuki rumah, dan ketika engkau meninggalkannya dan ketika engkau ada di dalamnya, maka berikan wewangian, terangi serta sucikan dengan nama Tuhan. Terangi rumah seperti halnya sebuah lampu menerangi di waktu petang dan menyambutnya seperti engkau menyambut matahari. Itu adalah Deepavali yang sesungguhnya, festival cahaya. Yakinlah dengan mantap bahwa Nama Tuhan adalah perahu yang akan membantumu menyeberangi lautan kehidupan duniawi. Nama Tuhan adalah lebih hebat daripada pemusatan pikiran pada wujud. Di hari Deepavali, tetapkan untuk menyalakan pelita dari lampu Namasmarana (melantunkan nama Tuhan) dan taruhlah itu di pintu gerbangmu yaitu bibir. Isilah pelita itu dengan minyak bhakti, dan jadikan keteguhan hati sebagai sumbunya. Biarkan pelita itu menerangi setiap menit hidupmu. Kemuliaan nama Tuhan akan menghilangkan kegelapan dari luar dan juga di dalam dirimu. Engkau akan menyebarkan suka cita dan kedamaian diantara semua yang datang dekat denganmu. (Divine Discourse, 24-Oct-1965)

-BABA

Wednesday, November 7, 2018

Thought for the Day - 6th October 2018 (Tuesday)

The human being is a composite of man, beast and God, and in the inevitable struggle among the three for ascendency, you must ensure that God wins, suppressing the merely human and the lowly beast. This festival of Deepavali is to express gratitude at the defeat of the demonic tendencies in man, which drag him down from Divinity. Naraka means hell, and Narakasura is the demon whose death at the hands of Krishna is celebrated on this day. He is the personification of all the traits of character that obstruct the upward impulses of man. How did he meet his end? He died with the vision of Lord Krishna. This Consummation is truly admirable. Remind yourself that you must aspire for the destruction of demonic qualities in this very birth. This is the true spirit of Deepavali.


Manusia disusun oleh kualitas manusia, binatang buas, dan Tuhan, di dalam perjuangan yang tidak dapat dielakkan diantara ketiganya ini untuk naik, engkau harus memastikan bahwa kualitas Tuhan yang menang, dengan menekan kualitas manusia dan binatang yang rendah. Perayaan Deepavali ini adalah untuk mengungkapkan rasa syukur akan kekalahan dari kecenderungan raksasa dalam diri manusia, yang mana menarik manusia jatuh dari keilahian. Naraka berarti neraka, dan Narakasura adalah raksasa yang kematiannya di tangan Sri Krishna dirayakan pada hari ini. Narakasura adalah lambang dari semua sifat yang menghalangi hasrat manusia untuk bergerak ke atas. Bagaimana raksasa Narakasura mengalami kematiannya? Dia mati dengan pandangan dari Sri Krishna. Keberhasilan ini benar-benar  dikagumi. Selalu ingatkan dirimu bahwa engkau harus memiliki hasrat untuk menghancurkan sifat-sifat raksasa dalam kelahiran ini. Ini adalah semangat yang sesungguhnya dari Deepavali. (Divine Discourse, Oct 24, 1965)

-BABA