Saturday, August 24, 2019

Thought for the Day - 22nd August 2019 (Thursday)

Your determination to acquire ananda and shanti (bliss and peace) should not flicker like the flame of a lamp placed on a gusty windowsill. You must learn to acquire them from scriptures or from the wise who have won them. Then adhere to the path, however sharp the criticism, and no matter who condemns it callously and cynically. Cynical laughter shouldn’t harm an aspirant. Can a storm shake the Himalayan ranges? Let not your faith in your goal quake before troubles, trials, toils, travail, distress or despair. They are but passing clouds, casting temporary shadows, hiding the glory of the sun or the moon for a little while. Never get distracted by doubt or despondency. Build the mansion of your life on the firm pillars of dharma, artha, kama, moksha (righteousness, prosperity, desire and liberation) - the goals of human effort (Purusharthas) laid down by ancient sages, each pillar bound strong and safe with every other. Never allow the pillars to slant or tumble, as many individuals, communities and nations are doing now! 


Keteguhan hatimu untuk mendapatkan ananda dan shanti (kebahagiaan dan kedamaian) seharusnya tidak berkelap kelip seperti halnya nyala lampu yang ditempatkan di jendela terbuka dengan hembusan angin yang kencang. Engkau harus belajar untuk mendapatkan keduanya itu dari naskah suci atau dari mereka bijaksana yang telah mendapatkannya. Kemudian setia ikuti jalan itu, bagaimanapun tajam kritikan yang ada, dan bukan masalah siapa yang menyalahkan dengan tidak mempunyai perasaan dan dengan sinis. Tawa sinis seharusnya tidak menyakiti seorang peminat spiritual. Mampukah sebuah badai menggoyangkan gugusan gunung Himalaya? Jangan biarkan keyakinanmu pada tujuanmu berguncang di hadapan masalah, cobaan, kerja keras, penderitaan, kesusahan atau putus asa. Semuanya itu hanyalah awan yang berlalu, hanya memperlihatkan bayangan yang sementara, menyembunyikan kebesaran matahari atau bulan hanya sesaat saja. Jangan pernah menjadi dibingungkan oleh keraguan atau kesedihan. Bangunlah rumah besar hidupmu dengan pilar yang kuat berupa dharma, artha, kama, dan moksha (kebajikan, kesejahtraan, keinginan, dan kebebasan) – tujuan dari usaha manusia (Purusharthas) telah ditentukan oleh para guru suci zaman dulu dan setiap pilar pastinya kuat dan aman dengan yang lainnya. Jangan pernah mengizinkan pilar-pilar itu miring atau jatuh, dimana banyak individu, masyarakat, dan bangsa yang sedang melakukannya sekarang! (Divine Discourse, Mar 23, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 21th August 2019 (Wednesday)

When Pandavas were traversing the Himalayas, Dharmaraja was af¬fected by mental anxieties and prayed to Krishna for help. Lord Krishna gave them solace and gave Dharmaraja a note, which he was to read to himself whenever he was affected by joy or grief. The note read: “This too shall pass” (Eppudu undadhu). This method will calm your mental agitations. Take life in the world as a compulsory duty imposed on you. You are now in jail under a sentence for crimes committed in a previous birth. The superintendent assigns various duties — cooking, drawing water, chopping wood, etc. Do work assigned to the best of your ability, without any expectation of reward. If you behave well, do assigned duties without demur and cause no trouble, then you may be released sooner, with a certificate that you are reliable and good. This analogy should help you practice selfless action without expecting reward (nishkama karma), and help you curb your senses. 

Ketika para Pandawa sedang melintasi Himalaya, Dharmaraja merasakan pergolakan batin dan berdoa memohon bantuan kepada Sri Krishna. Sri Krishna datang memberikan penghiburan kepada para Pandawa serta memberikan sebuah catatan kepada Dharmaraja, dimana Dharmaraja harus membaca sendiri catatan itu kapanpun dia merasakan suka dan duka cita. Catatan itu berbunyi: “Hal ini juga akan berlalu” (Eppudu undadhu). Metode ini akan menenangkan pergolakan batinmu. Terima kehidupan di dunia sebagai sebuah kewajiban yang diberikan kepadamu. Engkau sekarang ada di dalam penjara karena sebuah hukuman atas kejahatan yang engkau lakukan pada kehidupan sebelumnya. Penjaga penjara memberikanmu berbagai kewajiban - memasak, menimba air, membelah kayu, dsb. Kerjakan tugas yang diberikan dengan kemampuanmu yang terbaik, tanpa mengharapkan imbalan apapun juga. Jika engkau bertingkah laku baik, mengerjakan kewajiban tanpa berkeberatan dan tidak menyebabkan masalah, kemudian engkau mungkin bisa segera dibebaskan, dengan sebuah surat bahwa engkau adalah dapat dipercaya dan baik. Analogi ini seharusnya membantumu dalam menjalankan perbuatan yang tanpa mementingkan diri sendiri serta tanpa mengharapkan imbalan (nishkama karma), dan ini akan membantumu mengendalikan inderamu. (Divine Discourse, Oct 26, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 20th August 2019 (Tuesday)

The tongue may utter the Name of the Lord, your ears may be open when the glory of the Lord is recited, your hands may scatter flowers on the image of God, but does your tongue know or relish its taste? Does the ear yearn? Does the hand hanker for the Lord? The result of your spiritual practices can be experienced only when your heart is aware of the Supreme and when your mind is thrilled when the glory of God is recollected. Otherwise it is like the spoon which dips into sour and sweet with equal alacrity and insensitivity. It does not refuse or relish any taste! Read Vedanta or sacred texts or scriptures earnestly and practice them, then it will become part of your daily living, conduct and character. One’s claim to be a devotee of the Lord, a votary of the Highest, can be admitted only if your passions and emotions are pure, noble and your character virtuous. 


Lidah mungkin mengucapkan nama Tuhan, telingamu mungkin terbuka saat kemuliaan Tuhan dilantunkan, tanganmu mungkin menaburkan bunga pada wujud Tuhan, namun apakah lidahmu mengetahui atau menikmati cita rasa ini? Apakah telinga merindukannya? Apakah tangan sangat berminat pada Tuhan? Hasil dari latihan spiritualmu hanya dapat dialami ketika hatimu sadar akan yang tertinggi dan ketika pikiranmu bergetar ketika kemuliaan Tuhan diingat kembali. Kalau tidak ini seperti sendok yang masuk ke dalam makanan yang masam dan manis dengan kelincahan serta intensitas yang sama. Namun sendok tersebut menolak atau menyukai rasa apapun juga! Bacalah Wedanta atau naskah suci dengan sungguh-sungguh, kemudian jalankan itu menjadi bagian dari kehidupanmu sehari-hari, sikap dan karakter. Seseorang menyatakan menjadi bhakta Tuhan, sebagai seorang penyembah Tuhan tertinggi, dapat diakui hanya jika hasrat dan emosimu suci, mulia dan karaktermu luhur. (Divine Discourse, Mar 23, 1966)

-BABA

Monday, August 19, 2019

Thought for the Day - 19th August 2019 (Monday)

The senses say, “Why struggle? Eat, drink and be merry while you can,” but the guru says, “Death lands on you without notice; overcome its fear now, before the call comes. ‘Now’ is the true friend, ‘yesterday’ has deceived you and gone, and ‘tomorrow’ is a doubtful visitor.” Once when his eldest brother, Dharmaraja, promised a mendicant yogi some help for a ritual sacrifice and asked him to call the next day, Bhima ordered all drums to beat and all flags to fly, for, “My brother is certain to live until tomorrow! At least, that is what he believes will happen.” Death stalks your footsteps like a tiger in the bush. So without further waste of time, try to give up sloth and anger; be tranquil amidst the storms and mix in tranquil company. Let the flagrant aroma of divine thoughts, full of love to all, rise around you. The flame of experiential knowledge of Supreme Reality can reduce to cinders the impulses inherited through many births and many experiences. In the heat of that crucible, dross is burnt and precious metal is isolated. 


Indera berkata, “Mengapa harus berjuang? Makan, minum, dan kawinlah selagi engkau masih bisa,” namun Guru berkata, “Kematian mendatangimu tanpa pemberitahuan; atasi ketakutan akan kematian itu sekarang, sebelum panggilan itu datang. ‘Sekarang’ adalah teman yang sejati, ‘kemarin’ telah menipumu dan telah pergi, dan ‘besok’ adalah tamu yang penuh keraguan.” Sekali ketika kakak tertuanya yaitu Dharmaraja, menjanjikan pertolongan kepada seorang yogi dalam upacara kurban sucinya dan meminta yogi tersebut untuk mendatanginya besok, Bhima meminta semua drum untuk ditabuh dan semua bendera untuk dinaikkan, karena, “kakakku sudah pasti hidup sampai besok! Setidaknya, itu adalah apa yang dia yakini akan terjadi.” Kematian mengikuti jejak kakimu seperti halnya seekor harimau di dalam semak. Jadi tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, cobalah untuk melepaskan kemalasan dan kemarahan; tetaplah tenang diantara badai dan bergabunglah dalam pergaulan yang menenangkan. Biarkan aroma wewangian dari pikiran yang suci, penuh kasih bagi semuanya, muncul di sekitarmu. Nyala api pengetahuan pengalaman tentang kenyataan yang tertinggi dapat mereduksi menjadi abu segala hasrat dalam diri dari banyak kelahiran dan pengalaman. Dalam panasnya cawan itu, sampah-sampah dibakar dan logam mulia diisolasi. (Divine Discourse, Feb 06, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 18th August 2019 (Sunday)

To get angry is but the effort of a moment, but to get peace, become unaffected by the ups and downs of life, is the result of years of training in Vedanta. Peace can be established only with firm faith that all material things that fall within the range of sensuous experience are fundamentally non-existent. They are products of illusion, of the tendency to see many, where only One exists. You see corpses proceeding one after another to the graveyard, yet you move about unconcerned; you feel you are eternal. In fact, you, the Divine Self is indeed eternal! Just as water you drink is eliminated as perspiration, the karma you accumulate is eliminated through karma that is gladly borne. So, bear both ‘mirth and moan’ with equal calm. Like the space in the pot merging with the space outside the pot, silently, fully, with no trace of separation or distinctness, merge with the Universal. That is real surrender, salvation and liberation! 


Untuk menjadi marah adalah usaha yang sesaat, namun untuk mendapatkan kedamaian, menjadi tidak terpengaruh dengan pasang surut kehidupan adalah hasil dari latihan bertahun-tahun dalam Wedanta. Kedamaian dapat dibangun hanya dengan keyakinan yang mantap bahwa semua benda-benda material yang masuk dalam jangkauan indera pada dasarnya adalah tidak ada. Semuanya itu adalah produk dari khayalan (maya), dari kecenderungan melihat banyak, dimana hanya Satu yang ada. Engkau melihat mayat satu demi satu dibawa ke kuburan, namun engkau tidak peduli; engkau merasa bahwa engkau adalah kekal. Sejatinya, engkau adalah Atma yang sesungguhnya adalah kekal! Seperti halnya air yang engkau minum dikeluarkan dalam bentuk keringat, karma yang engkau kumpulkan dikeluarkan melalui karma yang ditanggung dengan senang hati. Jadi, tanggunglah keduanya ‘kegembiraan dan penderitaan’ dengan ketenangan yang sama. Seperti halnya ruang (akasa) yang ada di dalam pot menyatu dengan ruang yang ada di luar pot, dengan tenang, sepenuhnya, tidak ada jejak perpisahan atau perbedaan, menyatu dengan Universal. Itu adalah berserah diri yang sejati, keselamatan dan kebebasan (saranagathi)! (Divine Discourse, Feb 06, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 17th August 2019 (Saturday)

What is sadhana (spiritual exercise)? Service is true sadhana. Serve society. Treat everyone as your brother and sister. Only through selfless service will your life be redeemed. Consider service unto others as a service to God. Unfortunately, today people take to service expecting something in return. People have become money-minded. Excessive wealth makes one egotistic. Ego leads to bad qualities. Excessive desires make one suffer. As the desires increase, misery also increases. “Asamtruptho dwijo nashtaha (a discontented man suffers both ways).” People are not happy with what they have and feel unhappy over what they have not got. Be content with what you have. Experience bliss and share it with others. If you have devotion, God Himself will confer bliss. 


Apa itu sadhana (latihan spiritual)? Pelayanan adalah sadhana yang sesungguhnya. Layani masyarakat. Perlakukan setiap orang sebagai saudara dan saudarimu. Hanya melalui pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri maka hidupmu akan disucikan. Ingatlah bahwa pelayanan kepada orang lain adalah pelayanan kepada Tuhan. Sangat disayangkan, hari ini manusia melakukan pelayanan untuk mengharapkan sesuatu sebagai imbalannya. Manusia menjadi berorientasi pada uang. Kekayaan yang berlebihan membuat seseorang menjadi ego. Ego mengarahkan pada sifat-sifat yang tidak baik. Keinginan yang berlebihan membuat seseorang menderita. Saat keinginan meningkat, kesengsaraan juga meningkat. “Asamtruptho dwijo nashtaha (seseorang yang tidak puas menderita dua arah).” Manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan merasa tidak senang dengan apa yang belum mereka dapatkan. Bersyukurlah dengan apa yang engkau miliki. Alami kebahagiaan dan bagilah dengan yang lainnya. Jika engkau memiliki bhakti, Tuhan sendiri akan memberikan kebahagiaan. (Divine Discourse, Sep 30, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 16th August 2019 (Friday)

In this fleeting world, there are many mysterious powers unknown to man. These are referred to as transcendental and hidden powers; not all can understand them. Every being is endowed with divine power. That is why I always address you as Divyatma Swarupulara (Embodiments of Divine Atma). Even today, doctors are unable to comprehend the secrets and mysteries of the human body. For example, take the tongue. There are 40,000 taste buds on the tongue. Of these, there are 25,000 buds that generate heat in the tongue. The eye, which is hardly an inch in size, can recognise 13 crore types of light rays. There are millions and millions of cells in your body, and each cell is divine and contains your complete form. Is it not awe-inspiring? Whose creation is this? This is the transcendental power of Divinity. It is foolish to consider such all pervading Divinity to be non-existent! 


Dalam dunia yang cepat berlalu ini, ada banyak kekuatan misteri yang tidak diketahui oleh manusia. Ini disebut dengan kekuatan transendental dan tersembunyi; tidak semuanya dapat memahami kekuatan itu. Setiap makhluk diberkati dengan kekuatan Tuhan. Itulah sebabnya mengapa Aku selalu menyebut dirimu dengan Divyatma Swarupulara (perwujudan Atma ilahi). Bahkan hari ini, para dokter tidak mampu memahami rahasia dari misteri tubuh manusia. Ambillah contoh lidah. Ada 40.000 pengecap rasa di lidah. Dari semuanya itu, terdapat 25.000 pengecap yang menghasilkan panas di lidah. Mata, yang berukuran hanya satu inci, dapat mengetahui 130.000.000 jenis cahaya. Ada jutaan dan jutaan sel di dalam tubuhmu, dan setiap sel adalah ilahi dan mengandung wujudmu yang seutuhnya. Bukankah ini sangat menakjubkan? Ciptaan siapakah ini? Ini adalah kekuatan transendental dari Tuhan. Adalah bodoh menganggap keilahian yang meliputi semuanya ini tidak ada! (Divine Discourse, Nov 23, 1998)

-BABA

Thursday, August 15, 2019

Thought for the Day - 15th August 2019 (Thursday)

It is a great fortune to have been born in Bharat. To be able to declare that you are a Bharatiya is a matter of great luck. You must be worthy of this boon given to you. Under no circumstance should anyone criticise their Motherland. Under no circumstance must you criticise your Motherland. Even in your dreams you should not think of forgetting or disowning your Motherland. That is true gratitude. What is the use of taking birth as a human, if one lacks a sense of gratitude? The one without gratitude is a wicked person. In the hymns that pertain to the worship of the Sun God, it is said that the Sun God may forgive any sin but not ingratitude. Hence never fail to be grateful, and never give anyone the opportunity to accuse you of being ungrateful. You must endeavour to enhance the glory of Bharatiya culture. One’s mother and motherland are greater than the very heaven. 


Merupakan sebuah keberuntungan yang luar biasa lahir di tanah Bharat. Untuk mampu bagimu menyatakan diri sebagai seorang Bharatiya adalah sebuah keberuntungan yang hebat. Engkau harus layak untuk berkah yang diberikan kepadamu. Dalam keadaan apapun siapapun juga tidak boleh mengkritik tanah air mereka. Dalam keadaan apapun siapapun juga seharusnya tidak boleh mengkritik ibu pertiwimu. Bahkan di dalam mimpi engkau seharusnya tidak mencoba untuk melupakan atau memungkiri tanah airmu. Itu adalah sikap yang sejati. Apa gunanya lahir sebagai manusia, jika lahir tanpa rasa terima kasih? Seseorang yang tanpa rasa terima kasih adalah orang yang jahat. Dalam pujian yang dilantunkan untuk memuja Dewa Surya, dikatakan bahwa semoga Dewa Surya memaafkan dosa apapun namun tidak untuk yang tanpa rasa terima kasih. Oleh karena itu, jangan pernah lupa untuk berterima kasih, dan jangan pernah memberikan siapapun juga kesempatan untuk menuduhmu tanpa rasa terima kasih. Engkau harus berusaha untuk mempertinggi kemuliaan dari budaya Bharatiya. Ibu kandung dan ibu pertiwi seseorang adalah lebih hebat daripada surga sekalipun. (Divine Discourse, May 27, 2000)

-BABA

Thought for the Day - 14th August 2019 (Wednesday)

Praise and censure are reflections of the inner being. A virtuous person never criticises others; only the mean indulge in such unsacred activities. The color you see depends on the color of glasses you wear. Wear the glasses of love, and you will see love all around. Do not attach importance to criticism. If someone criticizes you loudly, it goes into thin air. If they accuse you silently, it goes to themselves. Are they criticising your body? The body is inert. Are they criticising the Atma? If so, the same Atma dwells in both and hence amounts to criticising themselves! A true seeker of truth will realise this fact! Take time to recognise the hundred faults present within yourself. Instead, why do you seek to point out the most insignificant fault in others? The bad in you reflects as the bad in others. Choose to correct yourself first! Only then will your mind become pure. Thus always develop sacred thoughts! 


Pujian dan kecaman adalah pantulan dari batin seseorang. Seorang yang berbudi luhur tidak pernah mengkritik yang lain; hanya orang hina yang terlibat dalam perbuatan yang tidak suci seperti itu. Warna yang engkau lihat tergantung dari kaca mata yang engkau pakai. Pakailah kaca mata welas asih, dan engkau akan melihat welas asih di sekitarmu. Jangan menganggap penting pada kritikan. Jika seseorang mengkritikmu dengan keras, itu hanya menguap dalam udara. Jika mereka menyalahkanmu dengan diam-diam, itu juga kembali kepada mereka sendiri. Apakah mereka mengkritik badanmu? Tubuh ini bersifat lembam. Apakah mereka mengkritik Atma? Jika demikian, Atma sama yang bersemayam dalam diri keduanya dan karenanya sama dengan mengkritik diri mereka sendiri! Seorang pencari kebenaran yang sejati akan menyadari kenyataan ini! Ambillah waktu untuk menyadari seratus kesalahan yang ada di dalam dirimu. Malahan, mengapa engkau berupaya menunjukkan kesalahan yang tidak berarti pada diri orang lain? Keburukan yang dalam dirimu terpantul pada keburukan yang ada pada orang lain. Pertama-tama, pilihlah untuk memperbaiki dirimu sendiri! Hanya dengan demikian pikiranmu akan menjadi suci. Jadi, selalulah mengembangkan gagasan yang suci! (Divine Discourse, Nov 23, 1998)

-BABA

Tuesday, August 13, 2019

Thought for the Day - 13th August 2019 (Tuesday)

When Lord Rama’s idol was taken away from Thyagaraja, he was grief-stricken. He even questioned the divinity of Rama and cried out, “Don’t you have the power to solve my problems, or do I lack devotion? Definitely I have devotion, it is only you who lack power.” He continued in this vein extolling his devotion and in the process, he became egoistic. When he sat in meditation, wisdom dawned on him. He realised his folly in doubting Rama’s divinity. He reflected, “Without the grace of Lord Rama, could a monkey cross the ocean? If Rama lacked power, would Lakshmana worship Him or for that matter Lakshmi, the goddess of wealth, serve Him and the extremely intelligent Bharata offer his salutations? O Rama! Certainly Your power is immense. It is my ignorance and meanness that I challenged Your divinity.” He sought Lord Rama’s pardon and surrendered himself unto Him. When you purify your heart and surrender to God completely, God instantly manifests! 


Ketika arca suci Sri Rama diambil dari Thyagaraja, dia menjadi sangat sedih sekali. Thyagaraja bahkan menanyakan keilahian dari Sri Rama dan menangis, “tidakkah Tuhanku Sri Rama memiliki kekuatan untuk memecahkan masalahku ini, atau apakah aku yang kurang memiliki bhakti? Pastinya aku memiliki rasa bhakti, ini hanya diri-Mu yang kurang memiliki kekuatan.” Dia melanjutkan dalam memuji bhaktinya sendiri dan dalam prosesnya dia menjadi egois. Ketika Thyagaraja duduk dalam meditasi, kebijaksanaan muncul dalam dirinya. Dia menyadari kebodohannya dengan meragukan keilahian dari Sri Rama. Dia merenungkan, “Tanpa karunia dari Sri Rama, dapatkan seekor monyet menyebrangi samudera? Jika Sri Rama kurang memiliki kekuatan, akankah Lakshmana memuja-Nya atau dalam hal ini Dewi Lakshmi, yaitu Dewi kesejahteraan melayani Sri Rama dan Bharata yang sangat pintar memberikan penghormatan kepada Sri Rama? O Rama! Pastinya kekuatan-Mu adalah tidak terbatas. Ini adalah karena kedunguan dan kepicikanku dimana aku meragukan keilahian-Mu.” Thyagaraja kemudian memohon maaf kepada Sri Rama dan berserah diri kepada-Nya. Ketika kesucian hatimu dan berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, maka Tuhan secara langsung akan menampakkan diri-Nya! (Divine Discourse, Dec 25, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 12th August 2019 (Monday)

There are many obstacles along the path of devotion. Difficulties are meant for cleansing the heart and rendering it clean and pure. Some people accuse, criticise and scorn or condemn God when they are going through difficulties. Each one has to face the consequences of their own actions. God remains unaffected. God is pure, unsullied and sacred. Let people say anything, be cool and calm. Do not enter into unnecessary arguments with anyone. Arguments breeds only enmity. Always speak softly and sweetly with a smiling face. That will silence the critics. Smile is the best answer to criticism. When Paul went on accusing Jesus, He lovingly went up to him and gave a pleasing smile. The sweetness in the nectarous smile of Jesus transformed the poisonous heart of Paul. Hence, be always cheerful, even in times of adversities. Always put up a smiling face, never walk around with a ‘castor-oil face’. Happiness lies only in union with God. 


Ada banyak rintangan sepanjang jalan bhakti. Kesulitan adalah sarana untuk membersihkan hati dan membuatnya menjadi bersih dan suci. Beberapa orang menyalahkan, mengkritik dan mencemooh atau menyalahkan Tuhan ketika mereka mengalami berbagai kesulitan. Setiap orang harus menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka sendiri. Tuhan sama sekali tidak terpengaruh. Tuhan adalah murni, tidak ternoda, dan suci. Biarkan orang-orang berkata apapun juga, namun tetaplah tenang. Jangan terlibat dalam argumentasi yang tidak diperlukan dengan siapapun juga. Argumentasi hanya menimbulkan rasa permusuhan. Selalulah berbicara lembut dan ramah dengan wajah yang tersenyum. Itu akan mendiamkan kritik. Senyuman adalah jawaban terbaik terhadap kritik. Ketika Paul sedang menghina Yesus, maka Yesus hanya mendekatinya dan memberikan sebuah senyuman yang manis. Keindahan dari senyuman Yesus telah merubah hati yang beracun dalam diri Paul. Oleh karena itu, selalulah ceria, bahkan dalam keadaan kemalangan. Selalu memasang wajah yang tersenyum, jangan pernah berjalan dengan wajah yang cemberut. Kebahagiaan hanya terdapat dalam penyatuan dengan Tuhan. (Divine Discourse, Dec 25, 1998)

-BABA

Sunday, August 11, 2019

Thought for the Day - 11th August 2019 (Sunday)

A great painter once offered to do a fresco on the palace wall; with him came another, who declared that he would paint on the wall opposite whatever painting the great artist drew, even if curtains hid it from his view and the subject of the fresco was maintained a secret! Both were commissioned to the tasks they offered! The second painter finished his work at the very moment the first one completed! The prince arrived in the hall, where a thick curtain partitioned off the two artists. He admired the fresco very much and ordered the curtain to be removed, and lo, on the wall facing the fresco, there was an exact duplicate of that laborious picture! Exact - for the painter polished the wall, making it a fine big mirror! Make your hearts clean, pure and smooth, so that the glory of the Lord might be reflected therein and the Lord might see His own image thereon! 


Pada suatu hari ada seorang pelukis yang hebat menawarkan diri untuk melukis di dinding istana; setelah itu datang pelukis yang lainnya dengan menyatakan bahwa dia dapat melukis di dinding seberangnya apapun jenis lukisan yang dilukis oleh pelukis hebat itu, walaupun jenis lukisan itu disembunyikan dan dirahasiakan! Kedua pelukis itu mempersiapkan hal yang mereka akan kerjakan! Pelukis kedua menyelesaikan pekerjaannya pada saat pelukis pertama juga selesai! Sang pangeran tiba di balairung istana, dimana ada sebuah tirai tebal yang memisahkan kedua pelukis itu. Pangeran mengagumi lukisan dinding itu dan memerintahkan tirai itu dibuka, dan hasilnya adalah di dinding seberang ada sebuah duplikasi lukisan yang sama! Tepat persis sekali – karena sang pelukis memperhalus dinding serta membuatnya menjadi sebuah cermin yang besar! Buatlah hatimu bersih, suci dan lembut, sehingga kemuliaan Tuhan dapat dipantulkan disana dan Tuhan dapat melihat wujud-Nya di sana! (Shivaratri Discourse, March 1963)

-BABA

Thought for the Day - 10th August 2019 (Saturday)

To conquer egoism, no rigorous exercise or breath control is necessary. Not even complicated scholarship. Gopikas confirmed this truth. They were simple rural folks, untouched by the conclusions of deep study. Narada was once so shocked at their ignorance of the science of spiritual progress that he volunteered to go and offer some lessons in Jnana (wisdom). On entry into Brindavan he found that the gopis selling milk or curds in the streets forgot to shout the names of the items they were selling and were calling out, "Govinda, Narayana"! They continuously pined and called out the names of the Lord. That is how immersed they were in God-consciousness. The dust of Brindavan was highly sacred for them. They had no wish for sensual pleasures (vishayavasana) and hence, they had no ignorance (ajnana). Narada realised that they needed no spiritual lessons! Instead, he prayed to them to teach him the means of getting that deep yearning for the Lord! 


Untuk mengatasi egoisme, tidak ada latihan keras atau pengendalian pernafasan yang diperlukan. Bahkan tidak juga pengetahuan yang rumit. Para Gopika menyatakan kebenaran ini. Mereka sangatlah warga pedesaan yang sederhana, tidak tersentuh dengan tinjauan dari pembelajaran yang mendalam. Suatu hari Narada menjadi terkejut akan ketidaktahuan para Gopi akan pengetahuan kemajuan spiritual dimana Narada menawarkan diri secara sukarela untuk mengajarkan beberapa pelajaran tentang kebijaksanaan (Jnana). Saat memasuki Brindavan Narada mendapatkan para Gopi sedang menjual susu atau dadih di jalanan namun mereka lupa meneriakkan barang dagangan yang mereka jual dan hanya meneriakkan, "Govinda, Narayana"! Mereka secara terus menerus merindukan dan meneriakkan nama Tuhan. Itulah bagaimana mereka tenggelam dalam kesadaran Tuhan. Debu yang ada di Brindavan sangatlah suci bagi mereka. Para Gopi tidak memiliki kesenangan sensual (vishayavasana) dan oleh karena itu, mereka tidak memiliki kualitas ketidaktahuan (ajnana). Narada menyadari bahwa para Gopi tidak membutuhkan pelajaran spiritual! Malahan, Narada memohon kepada para Gopi untuk mengajarinya sarana untuk bisa memiliki kerinduan yang mendalam pada Tuhan! (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 9th August 2019 (Friday)

The temptation to ignore Dharma grows from egoism; the wish to satisfy a lower desire is the root-cause of Adharma (unrighteousness). This wish takes hold of you slyly and silently like a thief in the night, or like a comrade come to save you, or like a servant come to attend on you, or like a counsellor to warn you. Oh, wickedness has a thousand tricks to capture your heart. Be ever alert against this kind of temptation. The wish makes a chink in your consciousness, enters and establishes itself, multiplies and eats into the personality you built up with laborious care over years. It then captures the fort of your heart and you are no longer in control; you become a puppet manipulated by your own inner enemies. Whenever you try to rebuild yourself, they penetrate the structure and you will need to start again from ground zero! So be alert to resist the first temptation to ignore Dharma! 


Godaan untuk mengabaikan Dharma tumbuh dari egoisme; hasrat untuk memenuhi keinginan rendahan adalah akar penyebab dari kejahatan (Adharma). Keinginan ini menguasaimu dengan licik dan diam-diam seperti halnya seorang pencuri di malam hari, atau seperti seorang kawan yang menyelamatkanmu, atau seperti seorang pelayan yang mendatangimu, atau seperti seorang penasihat untuk memperingatkanmu. Oh, kejahatan memiliki ribuan tipu muslihat untuk mendapatkan hatimu. Selalulah untuk waspada terhadap berbagai jenis godaan ini. Hasrat itu membuat celah dalam kesadaranmu, masuk dan memantapkan diri di dalamnya, berkembang biak dan memakan kepribadian yang telah engkau bangun dengan hati-hati selama bertahun-tahun. Hasrat rendahan ini menguasai benteng hatimu dan engkau menjadi tidak terkendali; engkau menjadi wayang yang dimainkan oleh musuh yang di dalam dirimu. Kapanpun engkau mencoba untuk membangun dirimu kembali, hasrat rendahan itu menusuk pada struktur dan engkau perlu mengulang kembali dari nol! Jadi bersiagalah untuk melawan godaan pertama dalam mengabaikan Dharma! (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA

Friday, August 9, 2019

Thought for the Day - 8th August 2019 (Thursday)

Many of you grieve: “It is said that getting the audience of a holy person is destruction of sin (darshanam papa nashanam). Well, I have had darshan not once but many times, and yet, my evil fate has not left me and I am suffering even more than before!” True, you may have come and had darshan, and sowed fresh seeds secured from the holy places — seeds of love, faith, devotion, good company, godly thoughts, remembering God’s name, etc. And you may have learnt the art of intensive cultivation and soil preparation. Now you have to carefully sow the seeds in well-prepared fields of cleansed hearts. Until the new harvest, when the fresh produce comes in, don’t you have to consume the grain already stored in previous harvests? The troubles and anxieties you experience now are the crop collected in your previous harvests, so do not grieve and lose heart! 


Banyak darimu yang meratapi: “Dikatakan bahwa berkumpul dengan orang-orang yang suci dapat menghancurkan dosa (darshanam papa nashanam). Jadi, saya telah mendapatkan darshan tidak hanya sekali namun berkali-kali, namun sifat jahatku tidak meninggalkanku dan saya menderita bahkan lebih buruk daripada sebelumnya!” Benar, engkau mungkin telah datang dan mendapatkan darshan serta telah menaburkan benih yang segar yang di dapat dari tempat suci— benih cinta kasih, keyakinan, bhakti, pergaulan yang baik, pikiran yang suci, mengingat nama suci Tuhan, dsb. Dan engkau mungkin telah belajar seni penanaman yang intensif dan juga persiapan tanah. Sekarang engkau harus secara hati-hati menabur benih-benih itu dalam ladang hati yang suci yang telah dipersiapkan dengan baik. Sampai panen baru, sebelum hasil panen baru yang segar masuk, bukankah engkau harus mengonsumsi bahan makanan yang telah disimpan dari panen sebelumnya? Masalah dan kecemasan yang engkau alami sekarang adalah hasil yang dikumpulkan dari panen sebelumnya, jadi jangan bersedih hati dan berkecil hati! (Shivaratri Discourse, March 1963)

-BABA

Thought for the Day - 7th August (Wednesday)

Every single thing in Nature has its Dharma; water has its Dharma, the nature and obligation to move; fire, the Dharma to burn and consume; the magnet, to attract and draw unto itself. And, every one of these is keeping up its Dharma unchanged, including the Solar system and the stars of the Universe. Amongst things endowed with Consciousness or Chaitanya, plants and trees, insects and birds, born out of eggs or the mammals – all have managed to treasure their Dharma unaffected by the passage of time. But humanity, whose intelligence sweeps from the inert and the infinitesimal to the Super-conscious and the Universal, is the only living thing that has slipped, and is sliding down. Dharma prescribes ‘Satyam vada’ and ‘Dharmam chara’ – Speak the truth and practice righteousness. Examine every moment of your waking time whether you are observing Dharma or straying away? Fill every moment with thoughts, words and deeds that reflect your understanding of Dharma. 


Setiap bagian memiliki dharmanya masing-masing; air memiliki dharmanya, sifat, dan kewajiban untuk bergerak; api memiliki dharma membakar dan menghabiskan; magnet memiliki dharma untuk menarik pada dirinya. Setiap bagian yang disebutkan di atas tetap menjalankan dharmanya dan tidak berubah, termasuk tata surya dan bintang di alam semesta. Diantara benda yang diberkati dengan kesadaran atau Chaitanya, tanaman dan pohon, serangga dan burung, makhluk yang lahir dari telur atau mamalia – semuanya telah mengatur dharma mereka tidak terpengaruh oleh waktu. Namun manusia, yang kecerdasannya berasal dari tak berdaya dan sangat kecil menuju pada kesadaran super dan Universal, adalah satu-satunya yang mengalami kemerosotan. Dharma menyatakan ‘Satyam vada’ dan ‘Dharmam chara’ – katakan kebenaran dan jalankan kebajikan. Periksa setiap momen dari keadaan sadarmu, apakah engkau mematuhi dharma atau menjauhi dharma? Isilah setiap momen dengan pikiran, perkataan dan perbuatan yang melambangkan pemahamanmu tentang dharma. (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 6th August 2019 (Tuesday)

Silence is the only language of the realised. Practice moderation in speech. That will help you in many ways. It will develop unconditional love (prema), for most misunderstandings and factions arise out of carelessly spoken words. When the foot slips, the wound can be healed, but when the tongue slips, the wound it causes in the heart of another will fester for life. The tongue is liable to four big errors: uttering falsehood, scandalising, finding fault with others, and excessive articulation. These have to be avoided if there has to be peace (shanti) for the individual as well as for society. The bond of universal brotherhood will be tightened if people speak less and speak sweet. Hence, silence was prescribed as a vow for spiritual aspirants by the spiritual texts. You are all spiritual aspirants at various stages of the road, so this discipline is valuable for you also. 



Keheningan adalah satu-satunya Bahasa untuk yang tercerahkan. Praktikkan sikap tidak berlebih-lebihan dalam berbicara. Itu akan membantumu dalam berbagai hal. Keheningan akan mengembangkan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri (prema), untuk semua kesalahpahaman dan perselisihan muncul dari kata-kata yang diucapkan. Ketika kaki terpeleset maka lukanya dapat disembuhkan, namun ketika lidah terpeleset maka luka yang dtimbulkan dalam hati orang lain akan membusuk dalam hidup. Lidah bisa melakukan empat kesalahan besar: mengucapkan kebohongan, skandal, mencari kesalahan orang lain, dan terlalu banyak bicara. Keempat hal ini harus dihindari jika harus ada kedamaian dalam diri dan juga dalam masyarakat. Ikatan persaudaran yang bersifat universal akan semakin dikuatkan jika manusia berbicara sedikit dan lembut. Oleh karena itu, hening disebutkan sebagai janji oleh peminat spiritual dalam naskah suci spiritual. Engkau semua adalah peminat spiritual di berbagai jenis tahapan jalan, jadi disiplin ini adalah juga penting bagimu. (Divine Discourse, Jul 22, 1958)

-BABA

Thought for the Day - 5th August 2019 (Monday)

Ravana had vast knowledge of spiritual texts. His ten heads represent the learning he had earned from the six Shastras (scriptures) and the four Vedas. But he never put that knowledge to any use. He craved for the possession of Prakriti (material objects) alone; he wanted to master the world of matter, the objective world. But he was not tamed by the spirit. He discarded the Purusha, the Lord; he was content with the possession at Lanka, of Prakriti (Matter), represented by Mother Sita. That was why he fell. Like the monkey which could not pull its hand from out of the narrow-necked pot, because it first held in its grasp a handful of groundnuts which the pot contained, people too are suffering today, as they are unwilling to release their hold on the handful of pleasurable things they have grasped from the world. One is led into the wrong belief that the accumulation of material possessions will endow them with joy and calm. But Divine Love alone can give that everlasting joy. 



Ravana memiliki pengetahuan yang luas tentang kajian spritual. Kepalanya yang berjumlah sepuluh melambangkan pelajaran yang telah dia dapatkan dari enam shastra (naskah suci) dan empat Weda. Namun Ravana tidak pernah mempraktikkan pengetahuan yang dimilikinya. Ravana sangat menginginkan untuk memiliki objek material (prakriti); Ravana ingin menguasai hal-hal duniawi, dunia objektif. Namun Ravana tidak dijinakkan oleh jiwa dan mengabaikan Tuhan yaitu Purusha; dia puas dengan kepemilikan akan Lanka, benda-benda duniawi, yang dilambangkan dengan Ibu Sita. Itulah sebabnya mengapa Ravana hancur. Seperti halnya kera yang tidak dapat menarik keluar tangannya dari dalam leher botol yang sempit, karena pertama tangannya memegang penuh kacang yang ada di dalam botol, manusia juga sedang menderita hari ini, karena manusia tidak ingin melepaskan pegangan penuh akan benda-benda yang menyenangkan yang mereka dapatkan di dunia ini. Seseorang sedang diarahkan pada keyakinan yang salah bahwa mengumpulkan kepemilikan materi akan memberikan mereka suka cita dan ketenangan. Namun hanya kasih Tuhan yang dapat memberikan suka cita yang kekal. (Divine Discourse, Oct 16, 1974)

-BABA

Thought for the Day - 4th August 2019 (Sunday)

The body is a precious gift that must be carefully tended and fostered. It’s a very complicated but well coordinated machine, gifted for achieving a laudable task. Its exterior too must be clean and full of goodness and charm. The skin of the fruit of Ananda (divine bliss) is the physical body; the succulent flesh is the muscle, bone and nerve; the hard inedible seed is the evil that gets presented in life; and the juice which the fruit offers, for which the tree was planted and nourished, is the bliss it shares with all. The body will shine if the character is fine; service of man and worship of God will preserve its charm. The Lord will be watching with a thousand eyes the least activity of man to discover any small portion of selfless love sweetening it. Having known that you are embodiments of the Divine Atma, crave to win the Grace of the Lord in this very birth. 



Tubuh adalah berkah yang berharga yang harus dijaga dan dirawat dengan hati-hati. Tubuh sangatlah rumit namun sebuah mesin yang terkoordinasi dengan baik, diberikan untuk menyelesaikan sebuah tugas yang terpuji. Keadaan luar tubuh haruslah bersih dan penuh dengan kebaikan dan pesona. Kulit dari buah kebahagiaan Tuhan (Ananda) adalah tubuh fisik; daging adalah otot, tulang dan syarat; benih keras yang tidak bisa dimakan adalah kejahatan yang tergambar dalam hidup; dan sari buah yang ada di dalam buah yang merupakan tujuan dari tanaman ditanam dan dirawat adalah kebahagiaan yang dibagi kepada semuanya. Tubuh akan bersinar jika karakter baik; pelayanan kepada manusia dan pemujaan kepada Tuhan akan menjaga pesonanya. Tuhan akan melihat dengan ribuan mata pada perbuatan yang paling kecil sekalipun dari manusia dalam upaya mengungkapkan bagian kecil apapun dari kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Setelah mengetahui bahwa engkau adalah perwujudan dari Atma ilahi, berusahalah untuk mendapatkan rahmat Tuhan dalam kelahiran ini. (Divine Discourse, Oct 16, 1974)

-BABA

Thought for the Day - 3rd August 2019 (Saturday)

The ideal of service must inspire those in authority, those who possess riches, those endowed with skills, intelligence, leisure and health. Put an end to laziness, bury your clamorous ego, and bury the greed for power and pelf, then you become qualified to serve! Be worthy of this gift of grace to be a volunteer (Sevadal); maintain its high ideals. This opportunity is sheer grace; it’s not a consequence of some claim. It does not bind you; it gives you distinction and duty! If you have it with you, and yet, you withdraw from service or hesitate to render it, you are on the wrong track. People come to the Divine to get rid of sin and accumulate spiritual merit; if you dishonour the badge, you are retaining sins and perhaps accumulating a lot more! Remember, with each act of love and service, you are nearing the Lord; with each act of hate and grab, you are moving farther away. 


Ideal dari pelayanan harus menginspirasi mereka yang berkuasa, mereka yang memiliki kekayaan, mereka yang diberkati dengan keahlian, kecerdasan, waktu luang, dan kesehatan. Hentikan kemalasan, kubur ego yang banyak menuntut, dan kubur ketamakan akan kekuasaan serta kekayaan, kemudian engkau memiliki kualifikasi untuk melayani! Jadilah layak untuk mendapatkan karunia menjadi seorang sevadal; pertahankan idealnya yang tinggi. Kesempatan ini adalah karunia yang sesungguhnya; ini bukanlah sebuah konsekuensi dari beberapa tuntutan. Ini tidak akan mengikatmu; ini memberikanmu perbedaan dan kewajiban! Jika engkau memilikinya dan engkau masih menarik diri dalam pelayanan atau ragu-ragu dalam menjalankannya, itu berarti engkau ada di jalan yang salah. Orang-orang datang menuju Tuhan untuk menghapus dosa dan mengumpulkan pahala spiritual; jika engkau tidak menghormati tanda sevadhal, engkau tetap melakukan dosa dan mungkin lebih banyak mengumpulkan dosa! Ingatlah, dengan setiap bentuk tindakan kasih dan pelayanan, engkau sedang mendekati Tuhan; dengan setiap bentuk kebencian dan perampasan, engkau berjalan semakin menjauh. (Divine Discourse, Oct 16, 1974)

-BABA

Thought for the Day - 2nd August 2019 (Friday)

Many of you sit in meditation (dhyana) and after sometime start complaining, "Oh Bhagawan, why am I unable to concentrate? Please help me fix my mind on You!" Do not get impatient and bewail. Feel rather that you must make your mind pure and clean, so that God Himself will be attracted to take it. He is Chitta-chora (The Stealer of Pure Hearts). When thieves enter the house, they select things of value; they will not bother about firewood or charcoal bags! God too when He comes in the role of a thief, looks for the most precious thing, the thing He values most, the thing you must take most pains to foster. He carries away pure thoughts, deeds soaked in the sweetness of empathy and compassion, and the feelings of Love that do not crave revenge. If you succeed in offering such a purified heart to the Lord, know that you will grow richer in happiness, serenity and self-esteem! 


Banyak darimu duduk dalam meditasi (dhyana) dan setelah beberapa lama mulai mengeluh, "Oh Bhagawan, mengapa hamba tidak mampu berkonsentrasi? Tolong bantu hamba untuk memusatkan pikiran hamba kepada-Mu!" Jangan menjadi tidak sabar dan meratap. Lebih baik engkau harus membuat pikiranmu menjadi suci dan bersih, sehingga Tuhan sendiri akan ditarik untuk mengambilnya. Tuhan adalah Chitta-chora (pencuri hati yang suci). Ketika para pencuri memasuki rumah, mereka memilih barang-barang yang berharga; mereka tidak akan terganggu dengan kayu bakar atau tas kayu arang! Tuhan juga ketika datang sebagai pencuri akan mencari hal yang paling berharga, hal yang paling dihargai oleh Tuhan, hal yang engkau harus mengambil banyak kesulitan untuk mengembangkannya. Tuhan hanya akan mengambil pikiran yang suci, perbuatan tenggelam dalam manisnya empati dan welas asih dan perasaan kasih yang tidak menginginkan pembalasan. Jika engkau berhasil dalam mempersembahkan hati yang suci kepada Tuhan, ketahuilah bahwa engkau tumbuh semakin kaya dalam kebahagiaan, ketenangan, dan harga diri! (Divine Discourse, Jul 10, 1974)

-BABA

Thursday, August 1, 2019

Thought for the Day - 1st August 2019 (Thursday)

Manasa bhajare guru charanam, dustara bhava sagara taranam. I called on all those suffering in the endless round of birth and death to worship the Feet of the Guru, the Guru who was announcing Himself, who had come again for taking upon Himself the burden of those who find refuge in Him. That was My very first Message to humanity. I do not need your flower garlands and fruits, things that you buy for a few rupees; they are not genuinely yours. Give Me something that is yours, something that is clean and fragrant with the perfume of virtue and innocence, and washed in the tears of repentance! Garlands and fruits you bring are an exhibition of your devotion; poorer devotees who cannot afford to bring them feel humiliated and helpless that they cannot demonstrate their devotion like you! Install the Lord in your heart and offer Him the fruits of your righteous actions and the flowers of your inner most thoughts and feelings. That is the worship I like most, the devotion I appreciate most. 


Manasa bhajare guru charanam, dustara bhava sagara taranam. Aku memanggil semua dari mereka yang menderita dalam siklus kelahiran dan kematian yang tiada henti untuk memuja kaki Guru, Guru yang telah mengumumkan diri-Nya sendiri yang telah datang kembali untuk mengambil beban dari mereka yang meminta perlindungan pada-Nya. Itu adalah pesan pertama-Ku kepada umat manusia. Aku tidak membutuhkan kalungan bungamu dan buah-buahan, benda-benda yang engkau beli dengan beberapa rupiah; semuanya itu bukanlah milikmu yang sesungguhnya. Berikan kepada-Ku sesuatu yang bersih dan wangi dengan keharuman dari kebajikan dan kepolosan, dan dicuci dengan air mata penyesalan! Kalungan bunga dan buah-buahan yang engkau bawa adalah sebuah pertunjukan dari bhaktimu; bhakta yang lebih miskin yang tidak mampu membeli seperti halnya dirimu akan merasa malu dan tidak berdaya karena tidak bisa memperlihatkan bhakti mereka seperti halnya dirimu! Tempatkan Tuhan di dalam hatimu dan persembahkan kepada Tuhan buah dari perbuatan baikmu serta bunga yang berasal dari pikiran dan perasaanmu. Itu adalah pemujaan yang paling Aku sukai, bhakti yang paling Aku hargai. (Divine Discourse, Vijayadasami, 1953)

-BABA

Thought for the Day - 31st July 2019 (Wednesday)

You must be guarded against pride that infects scholars who mastered a certain number of scriptures. Do not judge others as inferior, because they do not participate in bhajans, or study circles. You can be very wrong if you estimate a person's spiritual development by mere externals. Inner purity cannot express itself through pompous show. Only He who sees into every heart knows who resides therein: Rama or Kama (God or selfish desire). Study sincerely with faith and devotion. Unless you earnestly inquire, you cannot discover the remedy applicable to your temperament and its problems. Delve into the significance and the meaning of what you read, and always have before you the goal of putting what you read into practice. The whole Universe is a university for you. You can imbibe wisdom from the sky, clouds, mountains, rivers, the daily phenomena of sunrise and sunset, seasons, birds, trees, flowers, insects and in fact, all beings and things in nature. 


Engkau harus berhati-hati terhadap kesombongan yang menjangkiti para cendekiawan yang menguasai sejumlah naskah suci tertentu. Jangan menilai orang lain sebagai rendahan, karena mereka tidak ikut dalam bhajan atau study circle. Engkau dapat menjadi sangat salah jika engkau menilai kemajuan seseorang hanya dengan ukuran eksternal. Kesucian di dalam diri tidak dapat mengungkapkan dirinya melalui sikap pamer yang sombong. Hanya dia yang melihat ke dalam setiap hati mengetahui yang bersemayam di dalamnya: apakah Rama atau Kama (Tuhan atau keinginan egois). Belajarlah secara tulus dengan keyakinan dan bhakti. Kecuali jika engkau benar-benar mencari tahu, maka engkau tidak akan bisa menemukan obat yang sesuai dengan perangaimu dan masalahnya. Dalami makna dan arti dari apa yang engkau baca, dan selalu menempatkan tujuan dihadapanmu terkait apa yang engkau baca. Seluruh alam semesta adalah perguruan tinggi untukmu. Engkau dapat menyerap kebijaksanaan dari langit, awan, gunung, sungai, dan fenomena harian dari matahari terbit dan terbenam, musim, burung, pohon, bunga, serangga, dan sesungguhnya dari semua makhluk hidup dan benda yang ada di alam. (Divine Discourse, Mar 03, 1974)

-BABA