Friday, September 27, 2019

Thought for the Day - 27th September 2019 (Friday)

Different machines are operated by electricity. Appliances are varied in their forms and functions, but the power that makes them function is one and the same. When current flows through an electric bulb, it illuminates the room and gives light. When the same current flows through an electric fan, it produces breeze and cools the room. Likewise, the Atma-Principle demonstrates its oneness in all the myriad entities in which it assumes various forms and names. Just as there are bulbs with varying wattages, serving different purposes, there are differences amongst living beings. Electricity running through all the different bulbs is the same. The variation in the amount of light that comes from them are due to differences in the capacity of the bulbs. Likewise one who is filled with love shines radiantly. One lacking in love resembles a dim light. To shine more brightly, the bulb has to be changed, not the electric current. 


Berbagai jenis mesin dijalankan oleh listrik. Ada berbagai jenis perabotan yang berbeda dalam wujud dan fungsinya, namun kekuatan yang membuat perabotan itu berfungsi adalah satu dan sama. Ketika arus listrik mengalir melalui bola-bola lampu, maka arus listrik akan menerangi ruang dan memberikan cahaya. Ketika arus listrik yang sama mengaliri kipas angin maka akan menghasilkan hembusan angin yang sejuk serta menyejukkan kamar. Sama halnya, prinsip dari Atma memperlihatkan kesatuannya dalam semua entitas yang sangat banyak dan prinsip Atma mengambil berbagai bentuk dan nama. Seperti halnya ada berbagai jenis voltase pada bola lampu untuk tujuan yang berbeda, juga ada perbedaan pada makhluk hidup. Listrik yang mengaliri semua bola lampu yang berbeda adalah sama. Variasi dari jumlah cahaya yang dihasilkan oleh bola lampu berasal dari perbedaan kapasitas dari bola lampu itu. Sama halnya seseorang yang diliputi dengan cinta kasih akan bersinar dengan suka cita. Seseorang yang kurang dalam cinta kasih mirip dengan cahaya yang redup. Untuk dapat bersinar lebih terang, bola lampu harus diganti dan bukan arus listriknya.  [Divine Discourse, Sep 6, 1984]

-BABA

Thursday, September 26, 2019

Thought for the Day - 26th September 2019 (Thursday)

God is the embodiment of Love. To experience God, you must fill yourselves with love. Through Love alone can you experience the embodiment of Love. The person filled with jealousy and hatred is like a blind man who cannot see the Sun, however brightly it may shine. Covered by ignorance, such a person cannot see God, however near He may be. The wise person (Jnani) filled with good qualities like truth, love, absence of jealousy, ego and hatred, can see God without searching for Him. Students, youth and elders alike should give no room for evil traits like jealousy. You must feel happy when others succeed in studies, sports, or profession. To feel jealous towards the successful person is a threefold offence. The first offence is one's neglect of duty or studies; the second offence is to entertain jealousy towards the better individual; and the third is to lament over one's own failure. 


Tuhan adalah perwujudan dari cinta kasih. Untuk bisa mengalami Tuhan, engkau harus mengisi dirimu sendiri dengan cinta kasih. Hanya melalui cinta kasih engkau dapat mengalami perwujudan dari kasih. Seseorang yang diliputi dengan kecemburuan dan kebencian adalah seperti orang buta yang tidak bisa melihat matahari, bagaimanapun cerahnya sinar matahari itu. Karena diliputi oleh kebodohan, orang seperti itu tidak bisa melihat Tuhan, bagaimanapun dekatnya dia dengan Tuhan. Orang yang bijaksana (Jnani) mengisi dirinya dengan sifat-sifat baik seperti kebenaran, cinta kasih, tidak adanya kecemburuan, ego, dan kebencian, makanya mereka melihat Tuhan tanpa mencari-Nya. Para pelajar, pemuda, dan orang tua seharusnya tidak memberikan ruang bagi sifat-sifat jahat seperti kecemburuan. Engkau harus merasa bahagia ketika orang lain sukses dalam pelajarannya, olah raga atau pekerjaan. Dengan merasa cemburu kepada orang yang sukses adalah sebuah pelanggaran tiga kali. Pelanggaran pertama adalah dimana seseorang mengabaikan kewajiban atau tugasnya; pelanggaran kedua adalah dengan memperlihatkan kecemburuan pada mereka yang lebih baik; dan pelanggaran ketiga adalah meratapi kegagalan seseorang. (Divine Discourse, Sep 6, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 25th September 2019 (Wednesday)

The cultivation of good qualities implies getting rid of all bad qualities. Among the latter, two are particularly undesirable. They are asuya (jealousy) and dwesha (hatred). These two bad qualities are like two conspirators, one aids and abets the other in every action. Asuya is like the pest which attacks the root of a tree. Dwesha is like the pest which attacks the branches, leaves and flowers. When the two combine, the tree, which may look beautiful and flourishing, is utterly destroyed. Similarly, asuya attacks a person from inside and is not visible. Dwesha exhibits itself in open forms. There is hardly anyone who is free from the vice of jealousy. Jealousy may arise even over very trivial matters, and out of jealousy hatred arises. To get rid of hatred one must constantly practise love. Where there is love, there will be no room for jealousy and hatred and where there is no jealousy and hatred, there is real joy. 


Peningkatan dari sifat-sifat baik menyatakan secara tidak langsung untuk menghilangkan semua sifat-sifat buruk. Diantara yang terakhir, ada dua sifat buruk yang tidak diinginkan. Kedua sifat itu adalah asuya (kecemburuan) dan dwesha (kebencian). Kedua sifat buruk ini adalah seperti komplotan, keduanya saling membantu dalam setiap perbuatan. Asuya adalah seperti hama yang menyerang akar dari pohon. Dwesha adalah seperti hama yang menyerang dahan, daun, dan bunga. Ketika kedua sifat jahat ini bersatu, pohon itu mungkin kelihatan indah dan subur, namun sejatinya sudah hancur. Sama halnya, asuya menyerang seseorang dari dalam dan tidak terlihat. Dwesha memperlihatkan dirinya dalam wujud yang nyata. Sangat sulit bagi siapapun juga untuk bebas dari sifat cemburu. Cemburu bahkan dapat muncul dalam hal-hal yang sepele dan dari sifat cemburu itu akan muncul kebencian. Untuk melepaskan kebencian maka seseorang harus secara terus-menerus mempraktikkan welas asih. Dimana ada welas asih, disana tidak akan ruang untuk cemburu dan kebencian, dan dimana tidak ada kecemburuan serta kebencian maka disana ada suka cita yang sesungguhnya. (Divine Discourse, Sep 6, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 24th September 2019 (Tuesday)

A farmer who wants to raise a crop in the field has to remove, at the outset, the weeds from his field. If different types of weeds grow, the crop will be adversely affected. Removing the weeds is an essential precondition for getting a good crop. Similarly, a spiritual aspirant who seeks to realise 'Atma-ananda' (the joy of bliss), must remove from one’s heart the various manifestations of Rajo and Tamo gunas in the form of malice, desire, greed, anger, hatred and jealousy. These six types of enemies of man are the children of Rajo and Tamo gunas (qualities of passionate activity, dull ignorance and indolence). Sri Krishna explained in Gita that sorrow is the fruit of Rajo and Thamo gunas. The entire world is a manifestation of gunas. Only the person who recognises this truth and removes the two qualities from the heart, will be happy. 


Seorang petani yang ingin meningkatkan hasil panennya di sawah pada awalnya harus mencabut rumput liar yang ada di sawahnya. Jika berbagai jenis rumput liar tumbuh maka hasil panen akan berkurang. Menghilangkan rumput-rumput liar itu adalah prasyarat mendasar untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Sama halnya, seorang peminat spiritual yang ingin mencari dan menyadari suka cita kebahagiaan (Atma-ananda), harus menghilangkan berbagai jenis bentuk dari sifat Rajo dan Tamo dari hati dalam wujud kedengkian, keinginan, ketamakan, amarah, kebencian, dan kecemburuan. Keenam jenis musuh ini dari manusia adalah anak-anak dari sifat Rajo dan Tamo (sifat aktifitas penuh gairah dan kemalasan). Sri Krishna menjelaskan dalam Bhagavad Gita bahwa penderitaan adalah buah dari sifat Rajo dan Thamo. Seluruh dunia adalah perwujudan dari sifat atau guna. Hanya seseorang yang menyadari kebenaran ini dan menghilangkan kedua sifat ini dari hati akan menjadi bahagia. (Divine Discourse, Sep 12, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 23rd September 2019 (Monday)

If we invite some great saint or scholar to our home, preparations will be made at home, to make it presentable. We clean our house and its surroundings before the guest arrives. A house that is not clean lacks sacredness and is not appropriate for great people. Similarly, if we invited a minister or governor to our neighbourhood, we would clean the road, decorate the path and keep everything bright and proper to receive the eminent visitor. If we care so much when we invite someone with a temporary position, how much more effort is needed when we invite the very Creator and Protector of the world Himself to enter our lives and hearts? Krishna remarked: "Arjuna, you are asking Me to be the charioteer of your chariot. Take Me as the charioteer of your life. Think how clean and how grand your heart should be to make it a seat for Me. As long as Rajo and Tamo gunas are there, the heart is not pure. Therefore, to begin with, remove them.” 


Jika kita mengundang beberapa guru suci atau cendekiawan yang hebat ke rumah kita, maka persiapan harus dilakukan di rumah agar rumah kita bisa menerima tamu agung itu dengan layak. Kita membersihkan rumah dan sekitarnya sebelum tamu itu datang. Sebuah rumah yang tidak bersih kurang akan kesucian dan tidak layak untuk kedatangan tamu-tamu agung. Sama halnya, jika kita mengundang seorang mentri atau gubernur ke lingkungan kita, maka kita akan membersihkan jalan, menghias jalan dan menjaga semuanya bersih untuk menerima tamu spesial. Jika kita begitu peduli ketika kita mengundang seseorang yang dengan jabatan sementara, berapa banyak usaha yang dibutuhkan ketika kita mengundang pencipta dan pelindung dunia untuk memasuki hidup serta hati kita? Krishna menyatakan: "Arjuna, engkau sedang meminta-Ku untuk menjadi kusirmu. Jadikan Aku juga sebagai kusir hidupmu. Pikirkan betapa bersih dan agungnya seharusnya hatimu untuk bisa menjadi tempat duduk bagi-Ku. Selama Rajo dan Tamo guna masih ada disana, maka hati belumlah suci. Maka dari itu, mulailah dengan menyingkirkan semuanya itu." (Divine Discourse, Sep 12, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 22nd September 2019 (Sunday)

Seeing a glass half filled with water, the optimist is glad that it is half full, while the pessimist is sad that it is half empty. Though both statements are correct, the optimist hopes to fill the other half, while the pessimist gives up in despair. The optimist has faith and hope; the pessimist courts misery without faith. Hence develop faith through steady effort. Faith is essential for human progress in every field. Through knowledge, wisdom can be earned only by means of faith and effort. Equipped with these, you can scale great heights and emerge victoriously. Of course, one has to be warned against cultivating too much faith in things that are merely material! You must have deep faith only in the eternally valid Truth - God! Faith is power. And that faith must be coupled with effort. Faith is the very breath we live by! Without faith, living happily is just impossible! 


Melihat sebuah gelas setengah terisi dengan air, orang optimis merasa senang bahwa gelasnya setengah penuh, sedangkan orang yang pesimis bersedih karena gelasnya setengah kosong. Walaupun kedua pernyataan ini adalah benar, orang yang optimis berharap untuk bisa mengisi separuh yang lainnya, sedangkan yang pesimis menyerah dalam keputusasaan. Orang yang optimis memiliki keyakinan dan harapan; orang yang pesimis menerima kesengsaraan tanpa keyakinan. Oleh karena itu kembangkan keyakinan melalui usaha yang kokoh. Keyakinan adalah mendasar bagi kemajuan manusia dalam setiap bidang. Pengetahuan, dan melalui pengetahuan, kebijaksanaan dapat diperoleh hanya melalui keyakinan dan usaha. Dilengkapi dengan hal ini, engkau dapat mengukur ketinggian dan muncul dengan kemenangan. Tentu saja, seseorang harus diperingatkan terhadap mengembangkan terlalu banyak keyakinan hanya pada material saja! Engkau harus memiliki keyakinan mendalam pada kebenaran yang valid dan kekal yaitu Tuhan! Keyakinan adalah kekuatan, dan keyakinan itu harus disandingkan dengan usaha. Keyakinan adalah nafas kehidupan untuk kita bisa hidup! Tanpa keyakinan, hidup bahagia adalah tidak mungkin! (Divine Discourse, Jun 27, 1981)

-BABA

Thought for the Day - 21st September 2019 (Saturday)

People resort to Gurus to receive mantras (mystically powerful formulae) to be recited by them for their spiritual upliftment; others seek men of medicine and holy monks to get yantras (esoteric talismans) for protection and to ward off evil forces; some others seek to learn from priests tantras (secret rites) for attaining superhuman powers. But all these are wasteful efforts! You should consider your body as the tantra, your own breath as the mantra and your very own heart as the yantra. There is no need to seek these outside yourself. When all words emanating from you are sweet, your breath truly is the Rig Veda. When you practice restraint and listen to and prefer only sweet and noble speech, all that you hear becomes Sama Veda! When you do only noble, helpful and uplifting actions, all that you do becomes Yajur homa. Then, you will be performing every day the Vedapurusha Yajna, the fire sacrifice which propitiates the Vedic Spirit. 


Orang-orang mencari Guru untuk dapat menerima mantra (formula mistik yang kuat) untuk diulang oleh mereka dalam upaya peningkatan spiritual; sedangkan yang lainnya mencari ahli pengobatan dan bhiksu suci untuk mendapatkan yantra (jimat shakti) untuk perlindungan dan menangkis kekuatan jahat; beberapa yang lainnya mencari untuk belajar dari pendeta-pendeta tantra (ritual rahasia) untuk mencapai kekuatan manusia super. Namun semuanya itu adalah usaha yang sia-sia belaka! Engkau seharusnya melihat tubuhmu adalah sebagai tantra, nafasmu adalah sebagai mantra dan hatimu sendiri adalah sebagai yantra. Adalah tidak diperlukan mencari hal-hal ini di luar dirimu sendiri. Ketika semua kata-kata keluar darimu adalah lembut, nafasmu benar-benar adalah Rig Weda. Ketika engkau mempraktikkan pengendalian dan mendengarkan serta hanya memiliki perkataan yang lembut dan mulia, maka semua yang engkau dengarkan menjadi Sama Weda! Ketika engkau hanya melakukan hal yang mulia, membantu, dan perbuatan yang menyebarkan semangat, maka semua yang engkau lakukan menjadi Yajur homa. Kemudian, engkau setiap harinya akan melakukan Wedapurusha Yajna, pengorbanan api suci yang mendamaikan spirit dari Weda. (Divine Discourse, Oct 02, 1981)

-BABA

Thought for the Day - 20th September 2019 (Friday)

Remember and beware! Words can inflict damage in many ways. Whenever we talk disparagingly, defamingly, sarcastically or hatefully of others, they get recorded on the tape of our own mind. When we record something in a recorder, it lasts even after their passing away. So too, the impressions and impacts of evil thoughts, spiteful words and wicked plots survive one’s physical disappearance. Therefore never use or listen to words that ridicule, scandalise, or hurt others. Slander is a direct sin. Hence, our ancient and wise seers have prescribed silence as a sadhana. Youth, students and elders alike can benefit greatly by limiting talk to the absolute minimum, and using it only for promoting joy and harmony. Involve yourself in useful work. When left idle, your mind roams into insane regions of thought. Good thoughts, clean habits, virtues and good deeds - these provide charm and delight to life. They impart good taste to fine living. 

Ingatlah dan waspada! Perkataan dapat menimbulkan kerusakan dalam berbagai cara. Kapanpun kita berbicara secara remeh, penuh fitnah, menyindir atau penuh kebencian kepada yang lain, maka perkataan itu akan terekam di dalam pikiran kita. Ketika kita merekam sesuatu dalam alat rekam, maka hasil rekaman itu akan tetap ada bahkan setelah kita meninggal dunia. Begitu juga, kesan dan dampak dari pikiran yang jahat, kata-kata yang penuh dengki dan rencana jahat akan tetap ada walaupun setelah orang itu pergi. Maka dari itu jangan pernah menggunakan atau mendengarkan kata-kata yang bersifat menertawakan, menghina, atau menyakiti yang lain. Fitnah adalah dosa secara langsung. Oleh karena itu, para leluhur dan mereka yang bijaksana telah menyatakan keheningan sebagai sebuah sadhana. Pemuda, pelajar, dan orang tua juga dapat memperoleh manfaat yang besar dengan membatasi dalam berbicara hingga batasan yang paling minimal, dan hanya menggunakan untuk meningkatkan suka cita dan keharmonisan. Libatkan dirimu sendiri dalam pekerjaan yang berguna. Ketika dibiarkan malas, pikiranmu akan berkeliaran pada gagasan yang gila. Pikiran yang baik, kebiasaan yang bersih, keluhuran dan perbuatan baik – semuanya ini memberikan pesona dan kesenangan hidup. Semua nilai ini menanamkan rasa yang baik pada kehidupan yang baik. [Divine Discourse, Aug 31 1981]

-BABA

Thought for the Day - 19th September 2019 (Thursday)

Hesitation in praying to God is purely superficial. During examinations, every student prays to the Almighty. When calamities happen, or loss is sustained, or members of the family are struck by disease and are in mortal danger, then everyone rushes to pray to God. Why then yield to false pride and refuse to acknowledge God at good times? This is sheer hypocrisy! Another characteristic of the educated is their pride. They walk around, wearing the crown of conceit. Pride is the wall that divides the Divine from the demon, Truth from untruth. This obstacle must be removed for Divinity to manifest. Many students and youth develop this pest called pride because they have physical charm, educational achievements and monetary resources. They must be very vigilant to eradicate this trait at the earliest. If Divinity is absent, everything is devilry. All of you must have faith in God, call out to Him and pray fearlessly. That will drive away the vileness that envelops you. 


Keragu-raguan dalam berdoa kepada Tuhan pastinya adalah kedangkalan. Pada saat ujian, setiap murid berdoa kepada Tuhan. Ketika bencana terjadi, atau kehilangan berkelanjutan, atau anggota keluarga diserang oleh penyakit dan dalam keadaan bahaya, kemudian setiap orang bergegas berdoa kepada Tuhan. Lantas mengapa menyerah untuk mengakui keberadaan Tuhan pada saat-saat yang baik? Ini adalah kemunafikan belaka! Karakteristik yang lainnya dari yang berpendidikan adalah kesombongan mereka. Mereka berjalan berkeliling dengan menggunakan mahkota kesombongan. Kesombongan adalah tembok yang memisahkan Tuhan dengan setan, kebenaran dengan ketidakbenaran. Halangan ini harus dihilangkan agar sifat keilahian dapat terwujud. Banyak murid dan pemuda mengembangkan hama yang disebut dengan kebanggaan karena mereka memiliki pesona fisik, pencapaian akademis, dan sumber daya keuangan. Mereka harus sangat waspada untuk membasmi sifat-sifat ini sedini mungkin. Jika sifat keilahian hilang, segala sesuatunya adalah iblis. Semua darimu harus memiliki keyakinan kepada Tuhan, panggil nama-Nya dan berdoa tanpa rasa takut. Itu akan menghilangkan keburukan yang meliputimu. (Divine Discourse, Aug 31, 1981)

-BABA

Thought for the Day - 18th September 2019 (Wednesday)

The value of every human being lies in their capability to purify their thoughts, words and deeds. The three instruments you have - mind, tongue and hand, must be sanctified to raise you to the highest level. A person is judged by their spoken words. The spoken word, though it may be short and appears to be only a sound, has in it, the power of an atom bomb. When a word of hope is spoken to a person sunk in despair, it charges them with elephant’s strength. When a word of calumny is uttered to a person who is extremely strong and happy, it can lead them to slump on the ground overcome by sorrow. Words can confer strength; they can drain one’s energy too. Words can win friends; words can turn friends into enemies as well; they can elevate or lower an individual. You must learn the habit of making your words sweet, soft and pleasant. 


Nilai dari setiap manusia terdapat pada kapabilitas mereka dalam menyucikan pikiran, perkataan, dan perbuatan mereka. Tiga alat yang engkau miliki yaitu – pikiran, lidah, dan tangan, harus disucikan untuk mengangkat dirimu pada level yang tertinggi. Seseorang dinilai dari perkataan mereka. Perkataan yang terucap, walaupun itu pendek dan kelihatan hanya sebuah suara, namun perkataan itu memiliki kekuatan seperti bom atom. Ketika perkataan harapan diucapkan pada seseorang yang terjerat dalam keputusasaan, maka perkataan harapan ini akan menyuntikkan energi seperti kekuatan gajah. Ketika perkataan fitnah yang diucapkan kepada seseorang yang sangat kuat dan bahagia, maka fitnah tersebut dapat membuat mereka jatuh terperosot karena penderitaan. Kata-kata dapat memberikan kekuatan; namun juga dapat mengeringkan energi seseorang juga. Kata-kata dapat menghasilkan persahabatan; kata-kata juga dapat merubah teman menjadi musuh; kata-kata dapat mengangkat atau menjatuhkan individu. Engkau harus belajar kebiasaan dalam mengucapkan perkataan yang manis, lembut dan sopan. (Divine Discourse, Aug 31, 1981)

-BABA

Tuesday, September 17, 2019

Thought for the Day - 17th September 2019 (Tuesday)

Your success in Sadhana depends on self-control and sense-control. Even for the successful execution of your mundane daily chores don’t you find these controls very beneficial? Most living beings developed discrimination out of necessity, for their survival. But in humans, it has become a highly developed skill. One has to use this skill to separate the chaff from the grain and decide on the constructive path of truth and righteousness. Without cleansing the mind of its evil thoughts and low desires, how can one achieve good results from meditation or worship? Food cooked in unclean vessels is not fit for consumption. Similarly, the primary need for progress in spiritual practice is a pure mind which is free from evil thoughts and feelings. Work is purified with an attitude of worship. Dedicate all your activity to God. Then, it will not be warped and worsened by the ego. Each one of you must continue to be very disciplined and that will keep you on the straight path. 


Keberhasilanmu dalam Sadhana tergantung dari pengendalian diri dan pengendalian indera. Bahkan keberhasilan dalam menjalankan tugasmu sehari-hari bukankah pengendalian kedua hal ini sangat bermanfaat? Kebanyakan makhluk hidup mengembangkan kemampuan membedakan sesuai dengan kebutuhan yaitu untuk bisa bertahan hidup. Namun untuk manusia, kemampuan membedakan ini telah menjadi keahlian sangat dikembangkan. Seseorang harus menggunakan keahlian ini untuk memisahkan sekam dari butir padi dan memutuskan pada jalan kebenaran dan kebajikan. Tanpa membersihkan pikiran dari gagasan yang jahat serta keinginan rendahan, bagaimana seseorang bisa mencapai hasil yang baik dari meditasi dan doa? Makanan yang dimasak dalam wajan yang kotor adalah tidak layak untuk dimakan. Sama halnya, kebutuhan mendasar untuk kemajuan latihan spiritual adalah bebas dari gagasan dan perasaan yang jahat. Kerja disucikan dengan sebuah sikap pemujaan. Dedikasikan semua aktifitasmu kepada Tuhan, kemudian, kerja itu tidak akan dibungkus dan diperburuk oleh ego. Setiap orang darimu harus melanjutkan untuk tetap disiplin dan itu yang akan membuatmu tetap di jalan yang lurus. (Divine Discourse, Apr 12, 1981)

-BABA

Monday, September 16, 2019

Thought for the Day - 16th September 2019 (Monday)

Many feel proud about the enormous expansion of education in the country. But is there any reason to be happy about the current situation? An unhealthy expansion of education is as undesirable as an unhealthy bloating of the body. Acquiring degrees at great cost and out of intellectual pride developing contempt for one's parents is not a sign of proper education. Humility is the hallmark of true education. Arrogance, envy and ostentation should have no place in a properly educated person. People crave for peace and happiness but they do things which bring unhappiness and worry. Having been born as human beings, you should try to rise above the level of animals. You are all essentially sparks from the Divine. But like sparks coming from a furnace after a while turn into ash, you are forgetting your divine origin. While pursuing your education for worldly purposes, you should also practice spiritual discipline, which will lead you to God. 


Banyak yang merasa bangga terkait pengembangan pendidikan yang begitu besar di dalam sebuah bangsa. Namun apakah ada alasan tertentu untuk menjadi bahagia dengan keadaan sekarang? Sebuah pengembangan pendidikan yang tidak sehat adalah sebuah penggembungan tubuh yang tidak diinginkan. Mendapatkan gelar sarjana dengan biaya yang besar dan karena kebanggan intelektual mengembangkan penghinaan kepada orang tua bukanlah tanda sebuah pendidikan yang layak. Kerendahan hati adalah tanda dari Pendidikan yang sejati. Arogansi, iri hati, dan kesombongan tidak memiliki tempat dalam diri seseorang yang berpendidikan benar. Masyarakat mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan namun mereka melakukan sesuatu yang dapat memberikan ketidakbahagiaan dan kecemasan. Dengan lahir sebagai manusia, engkau seharusnya mencoba untuk naik ke atas level binatang. Engkau pada dasarnya adalah percikan dari keilahian. Namun seperti percikan yang datang dari tungku pembakaran sesaat kemudian berubah menjadi abu, engkau sedang melupakan asal dari keilahianmu. Saat mengejar pendidikanmu untuk tujuan duniawi, engkau seharusnya juga menjalankan disiplin spiritual yang akan menuntunmu menuju pada Tuhan. (Divine Discourse, Mar 1, 1981)

-BABA

Thought for the Day - 15th September 2019 (Sunday)

Tyaga (sacrifice or renunciation) is not going to the forest, leaving behind your spouse, children and property. What needs to be sacrificed is the hankering for results, the fruits of one’s actions. That is true sacrifice. You must renounce indiscriminate desires. Then only will your heart become pure. God desires only a pure, loving and sacred heart. God does not desire or need anything from you! It is only you who have desires. When you have noble desires, God will be happy. It is only then your family, society and coun¬try will experience peace and happiness. First and foremost, peace should reign in your own home. Then, that peace will be radiated to the society. When societies become good, the country will prosper. If peace is to be established in the country, the individual should experience peace in the first instance. World peace is possible only when peace is established at the individual level. If an individual is not at peace, how can there be peace in the world? 


Tyaga (pengorbanan atau pelepasan duniawi) bukanlah pergi ke dalam hutan, meninggalkan pasangan hidup, anak-anak, dan kekayaan. Apa yang perlu untuk dikorbankan adalah minat akan hasil, buah dari perbuatan seseorang. Itu adalah pengorbanan yang sejati. Engkau harus melepaskan keinginan yang bersifat sembarangan. Hanya dengan demikian hatimu akan menjadi suci. Tuhan hanya bersemayam dalam hati yang murni, penyayang, dan suci. Tuhan tidak menginginkan atau membutuhkan apapun juga darimu! Ini hanya dirimu yang memiliki keinginan. Ketika engkau memiliki keinginan yang mulia, Tuhan akan menjadi senang. Hanya dengan demikian keluarga, masyarakat, dan bangsamu akan mengalami kedamaian dan kebahagiaan. Pertama dan utama, kedamaian harus ada di dalam rumahmu sendiri. Kemudian, kedamaian itu akan memancar ke masyarakat. Ketika masyarakat menjadi baik, maka bangsa akan sejahtera.  Jika kedamaian harus ditegakkan dalam negara, maka kedamaian dalam individu harus dialami pertama. Kedamaian dunia hanya mungkin terjadi ketika kedamaian dapat terjadi di level individu. Jika seorang individu tidak damai, bagaimana bisa ada kedamaian di dunia? (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA

Thought for the Day - 14th September 2019 (Saturday)

It is said, “Tell me your company, I shall tell you what you are”. Hence, first and fore-most, move in good company. Then you will become a good individual. You need not acquire goodness from somewhere. It is inherent in your nature. You must cultivate goodness within yourself, just as a tender sapling is nourished and nurtured to become a big tree. Having been born as human beings, it is a great sin to behave like animals. Whenever animal qualities raise their ugly heads, you must immediately remind yourself, “I am not an animal; I must act as a human being.” Unfortunately, today, wherever you see, animal qualities are rampant. Wherever you go and whomever you come across, there is only one desire – money, money and more money. Remember, Money comes and goes, but moral¬ity comes and grows! Hence, cultivate and grow in moral values! 


Dikatakan, “Katakan padaku pergaulanmu, Aku akan mengatakan siapa dirimu”. Oleh karena itu, pertama dan utama, bergaullah dalam pergaulan yang baik. Kemudian engkau akan menjadi individu yang baik. Engkau tidak mendapatkan kebaikan dari suatu tempat. Kebaikan adalah sifat dasarmu. Engkau harus meningkatkan kebaikan di dalam dirimu sendiri, seperti halnya benih yang baru tumbuh dipelihara dan dijaga untuk menjadi sebuah pohon yang besar. Dengan telah lahir sebagai manusia, merupakan sebuah dosa yang sangat besar dengan bertingkah laku seperti binatang. Kapanpun sifat binatang memperlihatkan kepalanya yang buruk, engkau harus dengan segera mengingatkan dirimu sendiri, “Saya bukanlah binatang; Saya harus bertingkah laku layaknya manusia.” Namun sangat disayangkan, hari ini, dimanapun engkau melihat, sifat-sifat binatang merajalela. Kemanapun engkau pergi dan siapapun yang engkau temui, hanya ada satu keinginan - uang, uang, dan uang lagi. Ingatlah, uang datang dan pergi, namun moralitas datang dan berkembang! Karena itu, tingkatkan dan tumbuh dalam nilai-nilai moralitas! (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA

Saturday, September 14, 2019

Thought for the Day - 13th September 2019 (Friday)

People repose their faith in such a frail and impermanent physical body. This human body is a puppet with nine holes in it, and it may collapse at any time with a mere sneeze. Placing their faith in such a perishable body, people forget the invaluable ornaments stored in it which are the five human values of Sathya, Dharma, Santi, Prema and Ahimsa; these are the true and most valuable property of every human being. That is the reason they suffer mental agitation. You go to a millionaire and enquire, “Sir! You have everything in this world, but do you have peace?” He will immediately reply, “I have everything in this world, but not peace.” Wherever you see in the world today, there are only ‘pieces’, no ‘peace’. Peace is very much in your inner self. Hence, seek it within, journey inward! That is your duty. When you are able to manifest your own innate noble qualities, you will experience true and eternal peace. 


Manusia meletakkan keyakinan mereka pada tubuh fisik yang lemah dan tidak kekal. Tubuh manusia ini adalah sebuah wayang dengan sembilan lubang di dalamnya, dan tubuh ini dapat hancur kapanpun juga hanya dengan bersin. Menaruh keyakinan mereka pada tubuh seperti itu yang cepat rusak, manusia melupakan perhiasan yang tidak ternilai harganya yang tersimpan di dalam diri manusia yaitu lima nilai-nilai kemanusiaan Sathya, Dharma, Santi, Prema, dan Ahimsa; kelima nilai ini adalah properti yang sangat berharga dan sejati dari setiap manusia. Itu adalah alasan manusia menderita pergolakan batin. Engkau mendatangi seorang milioner dan bertanya, “Tuan! Anda telah memiliki segalanya di dunia ini, namun apakah memiliki kedamaian?” Dia akan menjawab dengan segera, “Saya memiliki segalanya di dunia ini, namun tidak dengan kedamaian.” Kemanapun engkau melihat di dunia saat sekarang, hanya adalah ‘pecahan saja’, dan tidak ada ‘kedamaian’. Kedamaian adalah benar-benar ada di dalam dirimu sendiri. Karena itu, carilah kedamaian di dalam diri, lakukan perjalanan ke dalam diri! Itu adalah kewajibanmu. Ketika engkau mampu mewujudkan sifat-sifat luhur pembawaanmu sejak lahir, engkau akan mengalami kedamaian yang sejati dan kekal. (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA

Thought for the Day - 12th September 2019 (Thursday)

Three qualities distinguish man from other animals. They are sympathy, compassion and renunciation. Today a famine has dried up these feelings in the human heart. This tragic condition is generating agitation and disturbance among both students and teachers. The conviction that money can achieve anything has grown in people’s mind, though it is impossible to promote peace and security through the accumulation of money. Money can buy plenty of food; it cannot buy appetite or hunger. Money can buy medical care and medicines; but it cannot buy health and immunity. Money can buy servants; it cannot buy goodwill. It can buy comfort, but not happiness. It cannot help to promote character or morality. This truth must be understood by both students and teachers. For, teachers mould the nation and students build the nation, sound and strong. 


Tiga sifat yang membedakan manusia dari binatang, yaitu : simpati, welas asih, dan melepaskan duniawi. Hari ini kelaparan telah mengeringkan sifat-sifat ini di dalam hati manusia. Kondisi yang tragis sedang membangkitkan pergolakan dan gangguan diantara murid dan guru. Keyakinan bahwa uang dapat mencapai apapun telah tumbuh di dalam pikiran manusia, walaupun adalah tidak mungkin untuk mengembangkan kedamaian dan ketenangan dengan pengumpulan uang. Uang dapat membeli banyak makanan; namun uang tidak bisa membeli nafsu makan atau rasa lapar. Uang dapat membeli perawatan kesehatan dan obat; namun uang tidak bisa membeli kesehatan dan kekebalan tubuh. Uang dapat menyewa pelayan; namun uang tidak bisa membeli kehendak yang baik. Uang dapat membeli kenyamanan, namun bukan kebahagiaan. Uang tidak bisa membantu meningkatkan karakter atau moralitas. Kebenaran ini harus dipahami keduanya baik itu guru dan murid. Karena, guru membentuk bangsa dan murid membangun bangsa, menjadi lebih baik dan kuat. (Divine Discourse, Sep 31, 1981)

-BABA

Thursday, September 12, 2019

Thought for the Day - 11th September 2019 (Wednesday)

People in Kerala celebrate the Onam festival by taking an oil bath, wearing new clothes, worshiping Krishna and visiting temples. On Onam day, they cook many special dishes and all members of the family feast together and welcome Emperor Bali to bless them. Emperor Bali was a very noble king, a great and humble devotee. But there was an element of ego in him. The inner significance of Lord Vamana pushing Emperor Bali to the netherworld reveals Lord Vamana crushing Bali’s ego. Understand that God will never tolerate anger and ego. Why are we egoistic? Is it for physical beauty or strength of the senses or intellectual acumen or wealth? None of these is permanent. God has gifted every human being with Truth, Righteousness, Peace, Love and Non-violence. Develop these qualities. On this special day, I bless you all to cultivate a good nature, lead a virtuous life and journey from goodness to ‘Godliness’ (Madhavathwa). 


Masyarakat di Kerala merayakan perayaan suci Onam dengan mandi minyak, memakai pakaian baru, memuja Sri Krishna dan mengunjungi tempat suci. Pada hari suci Onam, mereka memasak masakan spesial dan semua anggota keluarga makan bersama dan menyambut maharaja Bali untuk memberkati mereka. Maharaja Bali dulunya adalah seorang raja yang mulia, hebat dan bhakta yang rendah hati. Namun ada unsur ego di dalam dirinya. Makna yang terpendam dibalik Vamana avatara mendorong maharaja Bali ke dunia bawah adalah mengungkapkan Vamana Avatara menghancurkan ego dari Maharaja Bali. Pahamilah bahwa Tuhan tidak akan pernah memberikan toleransi pada kemarahan dan ego. Mengapa kita menjadi sangat egois? Apakah ini untuk kecantikan fisik atau kekuatan indera atau ketajaman pikiran atau untuk kekayaan? Tidak ada satupun yang disebutkan tadi bersifat kekal. Tuhan telah memberikan setiap manusia dengan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Kembangkan sifat-sifat ini. Dalam hari yang spesial ini, Aku memberkatimu semuanya untuk meningkatkan sifat yang baik, menjalani hidup yang mulia dan melangkah dari kebaikan menuju ‘ke-Tuhan-an’ (Madhavathwa). (Divine Discourse, Sep 5, 2006)

-BABA

Thought for the Day - 10th September 2019 (Tuesday)

The story of Krishna and the gopis (cowherd-girls) has a deep inner meaning. Brindavan is not a specific place on the map; it is the Universe Itself. Every heart is filled with the longing for the Lord, and the flute is the call of the Lord. In the sport called Rasakrida where Lord Krishna is described as dancing with the gopis in the moonlight, every maid had a Krishna holding her hand in the dance. This is the symbol of the yearning and the travail borne by those who aim at reaching His presence. The Lord manifests such Grace that each one of you has the Lord all for yourself; you need not be sad that you won't have Him, when others get Him; nor need you be proud that you have Him and no one else can have Him at the same time! The Lord is installed in the altar of your heart. 


Kisah dari Sri Krishna dan para Gopi (gadis pengembala sapi) memiliki sebuah makna yang mendalam. Brindavan bukanlah sebuah tempat yang khusus yang ada di dalam peta; ini adalah alam semesta itu sendiri. Setiap hati diliputi dengan kerinduan pada Sri Krishna dan seruling adalah panggilan dari Tuhan. Dalam permainan Krishna disebut dengan Rasakrida dimana Sri Krishna dijelaskan sedang menari dengan para Gopi di bawah sinar rembulan, setiap Gopi mendapatkan Sri Krishna sedang memegang tangan mereka dalam tarian. Ini adalah simbol dari kerinduan dan usaha keras dari mereka yang tujuannya adalah untuk mendapatkan kehadiran Tuhan. Tuhan memberkati dengan karunia yang seperti itu dimana setiap orang darimu memiliki Tuhan sepenuhnya untuk dirimu; engkau tidak perlu untuk bersedih bahwa engkau tidak bisa mendapatkan Tuhan, ketika yang lain bisa mendapatkan Tuhan; dan tidak perlu juga untuk menjadi sombong bahwa engkau memiliki Tuhan dan tiada orang lain yang mendapatkan-Nya di saat bersamaan! Tuhan bersemayam di dalam altar hatimu. (Divine Discourse, Nov 23, 1968)

-BABA

Thought for the Day - 9th September 2019 (Monday)

No two individuals can agree on any matter, be they brothers or sisters, lifemates or father and son. It is only as pilgrims on the Godward path that two can heartily agree and lovingly co-operate. You can be a pilgrim even while attending to your daily duties. Only, you have to feel that each moment is a step towards Him. Do everything as dedicated to Him, as directed by Him, as work for His adoration or for serving His children. Test all your actions, words, thoughts on this touchstone: "Will this be approved by God? Will this rebound to His renown?" When you dedicate yourselves to the glorification of the Lord, you will revere the body, the senses, the intelligence, the Will and all the instruments of knowledge, action and feeling as essential for His work. While others will get intoxicated with pride, the devotee will be suffused with prema (selfless love). 


Tidak ada dua individu bisa setuju dalam hal apapun juga, apakah itu saudara atau saudari, pasangan hidup atau ayah dan anak. Hanya sebagai peziarah dalam jalan Tuhan maka dua individu dapat saling setuju dan bekerja sama dalam kasih. Engkau bahkan dapat menjadi seorang peziarah bahkan ketika engkau sedang menjalankan kewajiban harianmu. Hanya, engkau harus merasakan bahwa setiap momen adalah langkah-langkah menuju Tuhan. Kerjakan segala sesuatunya sebagai persembahan kepada Tuhan, seperti yang diarahkan oleh Tuhan, seperti bekerja untuk pemujaan pada Tuhan atau untuk melayani anak-anak Tuhan. Ujilah setiap perbuatan, perkataan, dan pikiranmu dalam batu uji ini: "akankah hal ini akan disetujui oleh Tuhan? Akankah ini memantulkan kemasyuran Tuhan?" Ketika engkau mendedikasikan dirimu sendiri untuk kemuliaan Tuhan, engkau akan memurnikan tubuh, indera, kecerdasan, kehendak, dan semua sarana pengetahuan, perbuatan, serta perasaan sebagai yang mendasar untuk pekerjaan Tuhan. Sedangkan yang lain akan teracuni oleh kesombongan, sedangkan bhakta akan diliputi dengan prema (kasih yang murni). (Divine Discourse, Nov 23, 1968)

-BABA

Thought for the Day - 8th September 2019 (Sunday)

The kind of life you choose to lead and the aspirations which you have in your mind can be achieved if you are in the company of good people. You must cultivate friendship with good people and follow their example in your daily routine. Good people can be recognised by their gentle thoughts, loving words and noble deeds. Youth is the appropriate age for you to lead such a life and put yourself in the company of elders. During this age, you will be able to develop good ideas and good conduct; you should make a firm determination to do so. At this important stage of your life, dedicate yourself to the service of your country and to the service of your parents. On the contrary, if you spend your time in bad company and wander about the streets like stray dogs and whistle like foxes, you will be wasting your life. Time wasted is life wasted. 


Jenis hidup yang engkau pilih akan menentukan dan cita-cita yang engkau miliki di dalam pikiranmu dapat dicapai jika engkau ada dalam pergaulan orang-orang yang baik. Engkau harus meningkatkan persahabatan dengan orang-orang baik dan mengikuti teladan dari mereka dalam kehidupan rutinmu setiap harinya. Orang baik dapat dikenal dari pikiran baik mereka, perkataan yang penuh kasih, dan perbuatan yang mulia. Masa muda adalah usia yang tepat bagimu untuk menjalani kehidupan yang seperti itu dan menempatkan dirimu sendiri dalam pergaulan dengan mereka yang dewasa. Pada masa-masa usia ini, engkau akan mampu mengembangkan gagasan yang baik dan tingkah laku yang baik; engkau harus memantapkan ketetapan hati yang teguh untuk melakukannya. Pada masa yang penting ini dalam hidupmu, dedikasikan dirimu pada pelayanan pada bangsamu dan pelayanan kepada orang tuamu. Sebaliknya, jika engkau menghabiskan waktumu dalam pergaulan yang tidak baik dan berkeluyuran seperti halnya anjing jalanan dan bersiul seperti rubah, engkau akan menyia-nyiakan hidupmu. Waktu yang terbuang adalah hidup yang terbuang. (Summer Showers in Brindavan, 1973, Ch 5)

-BABA

Thought for the Day - 7th September 2019 (Saturday)

Our scriptures teach that you attain merit by serving others and commit sin by hurting them. This must be practiced everywhere. For example, understanding and adjustment between each other are very essential for the smooth functioning of a family. When there is proper understanding between wife and husband, the wife will not mind even when the husband returns home very late from office. In fact, she will be anxiously waiting for him thinking that he may be busy at work or is stuck in a traffic jam. But if there is no proper understanding between the two, even a five minute delay, will create a big fight! Adjusting will become easy only when there is proper understanding. When a teacher goes on leave, another teacher can engage his class. Such understanding and adjustment among teachers will help students very much. This must be practiced by all, be it students or teachers or members of a family or communities. 


Naskah suci kita mengajarkan bahwa engkau mendapatkan kebaikan dengan melayani yang lain dan melakukan dosa dengan menyakiti mereka. Hal ini harus dipraktikkan dimanapun juga. Sebagai contoh, pengertian dan penyesuaian diantara satu dengan yang lainnya adalah sangat mendasar untuk kehidupan keluarga yang harmonis. Ketika ada pengertian yang benar diantara istri dan suami, istri tidak akan keberatan bahkan ketika suami pulang sangat larut dari kantor. Kenyataannya, istri akan cemas menunggu suaminya dan berpikir bahwa mungkin suaminya masih sibuk atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Namun jika tidak ada pengertian yang benar diantara keduanya, bahkan terlambat lima menit akan menciptakan perang besar! Penyesuaian hanya akan menjadi mudah ketika ada pemahaman yang benar disana. Ketika seorang guru tidak bisa mengajar di kelas maka guru yang lain dapat menggantikannya di kelas. Pengertian dan penyesuaian seperti itu diantara para guru akan sangat membantu murid-murid. Hal ini harus dipraktikkan oleh semuanya, apakah itu murid atau guru atau anggota keluarga atau masyarakat. (Divine Discourse, Sep 29, 2000)

-BABA

Thought for the Day - 6th September 2019 (Friday)

Each and every one of you must have faith in God and self-confidence. If there is no faith you can achieve nothing. Where there is confidence there is Love. Where there is Love, there is Peace. Where there is Peace, there is Truth. Where there is Truth, there is Bliss. Where there is Bliss, there is God. In fact, without faith you can have no faith even in your mother. There should be confidence. Once you have confidence that a person is your mother, you love her. Confidence leads to love. Love takes you to peace. Peace produces truth and as soon as truth manifests, you achieve bliss. This Bliss is the very God-head itself. So, confidence is a necessary characteristic. It is this loss of confidence that is the cause of lack of spirituality in the world. 


Setiap orang harus memiliki keyakinan kepada Tuhan dan kepercayaan diri. Jika tidak ada keyakinan, engkau tidak dapat mencapai apa pun. Di mana ada keyakinan, disana ada cinta-kasih. Di mana ada cinta-kasih, disana ada kedamaian. Di mana ada kedamaian, disana ada kebenaran. Di mana ada kebenaran, disana ada kebahagiaan sejati. Dimana ada kebahagiaan sejati, disana ada Tuhan. Sesungguhnya, tanpa keyakinan, engkau tidak memiliki keyakinan bahkan pada ibumu. Harus ada kepercayaan diri. Sekali engkau memiliki keyakinan bahwa seseorang adalah ibumu, maka engkau mencintainya. Keyakinan mengarah pada cinta-kasih. Cinta-kasih membawamu pada kedamaian. Kedamaian menghasilkan kebenaran dan begitu kebenaran muncul, engkau mencapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini adalah Kepala-Tuhan itu sendiri. Jadi, kepercayaan adalah karakteristik yang diperlukan. Kehilangan kepercayaan inilah yang menjadi penyebab kurangnya spiritualitas di dunia. (Divine Discourse, Sep 29, 2000)

-BABA

Friday, September 6, 2019

Thought for the Day - 5th September 2019 (Thursday)

A teacher is like a guidepost. If the guidepost itself is loose, how can it point to the right direction? So, a teacher should have a steady mind. Only then can one guide the students along the right path. The teacher should impart the human values of satya, dharma, shanthi, prema and ahimsa. Many are confused as to what is the foremost value among these five. Love is of paramount importance. Every teacher must teach their students to love and respect their parents, relatives and all fellow-beings. Teachers must have a pure heart and virtues like adherence to truth, good conduct, duty, devotion and discipline, so that they can impart the same to the students. He or she alone, who imparts these virtues to the students, is a teacher in the true sense. The whole world will prosper, when students tread along the right path. Hence it is essential on the part of a teacher, whom the students are bound to emulate, to cultivate virtues.



Seorang guru adalah seperti tonggak penunjuk jalan. Jika penunjuk jalan sendiri adalah tidak tepat, bagaimana penunjuk jalan itu menunjukkan arah yang benar? Jadi, seorang guru seharusnya memiliki pikiran yang tidak goyah. Hanya dengan demikian dapat menuntun para pelajar sepanjang jalan kebenaran. Guru seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti satya, dharma, shanthi, prema, dan ahimsa. Banyak yang bingung tentang apa nilai yang paling penting diantara kelima nilai ini. Jawabannya adalah cinta kasih yang paling utama. Setiap guru harus mengajarkan murid-murid mereka cinta kasih dan menghormati orang tua, kerabat, dan sesama. Guru harus memiliki hati yang suci dan kebaikan seperti taat pada kebenaran, kebajikan, kewajiban, dan disiplin, sehingga mereka dapat menanamkan nilai yang sama pada anak-anak murid. Hanya guru yang menanamkan nilai-nilai kebaikan ini kepada murid-murid adalah guru yang sesungguhnya. Seluruh dunia akan sejahtera, ketika para pelajar menapaki jalan yang benar. Karena itu adalah mendasar bagi guru, yang ditiru oleh anak-anak murid untuk mengembangkan sifat-sifat yang baik. (Divine Discourse, Sep 29, 2000)

-BABA

Thought for the Day - 4th September 2019 (Wednesday)

Human life can be compared to a four-storeyed mansion. Brahmacharya, Grihastha, Vanaprastha and Sanyasa (celibacy, householdership, recluse and renunciant) are the four stages of human life. Brahmacharya is the foundation; if the foundation is strong, the other three stages will be automatically taken care of. But modern youth are ruining three-fourths of their lives because they do not have a strong foundation. When elders advise them to sit for prayers for at least five minutes, they say they have no time, but they have all the time in the world to wallow in bad qualities and habits. Youth in particular should make every effort to build a strong foundation of Brahmacharya. Merely remaining a bachelor is not Brahmacharya. Constant contemplation on Brahman is true Brahmacharya. Think of God and chant His Name under all circumstances. Lead a life of purity. Dedicate your life to the principle of love. This ensures the safety of the mansion of your life.


Hidup manusia dapat disamakan dengan rumah dengan empat tingkat. Brahmacharya, Grihastha, Vanaprastha, dan Sanyasa (masa menuntut ilmu, berumah tangga, pengasingan diri, dan melepaskan kehidupan duniawi) adalah empat tahapan kehidupan manusia. Brahmacharya adalah dasarnya; jika dasarnya kuat maka ketiga tahapan secara otomatis akan ditopang. Namun pemuda modern merusak ¾ hidup mereka karena mereka tidak memiliki pondasi yang kuat. Ketika para orang tua menasihati mereka untuk duduk berdoa setidaknya selama lima menit, mereka mengatakan tidak memiliki waktu, namun mereka memiliki semua waktu di dunia untuk berkubang dalam sifat dan kebiasaan buruk. Pemuda khususnya harus melakukan setiap usaha untuk membangun pondasi yang kuat Brahmacharya. Hanya tetap tidak menikah bukanlah Brahmacharya. Secara terus menerus kontemplasi pada Brahman adalah Brahmacharya yang sejati. Pikirkan Tuhan dan lantunkan nama Tuhan dalam berbagai keadaan. Jalani hidup yang suci. Dedikasikan hidupmu untuk prinsip kasih sayang. Ini memastikan keamanan rumah kehidupanmu. (Divine Discourse, Sep 10, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 3rd September 2019 (Tuesday)

Today people are not making proper use of their mind (mati), effort (gati), position (sthiti) and wealth (sampatti)? As a result, they are losing the sacred energy that God has blessed them with. Not merely this, they are subjected to misery and grief because of their evil traits like kama, krodha and lobha (desire, anger and greed). They have absolutely no control over their desires. When one desire is fulfilled, people crave for another. Anger is another evil trait which ruins people. Hatred is more dangerous than anger. It gives rise to many evil qualities which obstruct your experience of Divinity. Humans are supposed to live for a hundred years, but one’s life-span is cut short by these evil qualities. When these evil traits are totally subdued, one can enjoy a long and happy life. One will not lose one’s life even if he or she were to meet with a serious accident.


Hari ini manusia tidak menggunakan dengan benar pikiran (mati), usaha (gati), jabatan (sthiti), dan kekayaan (sampatti) yang mereka miliki. Sebagai hasilnya, manusia kehilangan energi suci dimana Tuhan berikan kepada manusia. Tidak hanya ini, manusia juga menjadi sasaran dari penderitaan dan kesedihan karena sifat jahat mereka seperti kama, krodha, dan lobha (keinginan, kemarahan, dan ketamakan). Manusia sepenuhnya tidak dapat mengendalikan keinginan mereka. Ketika keinginan seseorang terpenuhi, dia menginginkan yang lainnya. Kemarahan adalah sifat jahat yang lain dimana dapat menghancurkan manusia. Kebencian adalah lebih berbahaya daripada kemarahan. Sifat jahat ini memunculkan banyak sifat jahat lainnya yang menghalangi pengalamanmu dengan Tuhan. Manusia seharusnya hidup seratus tahun, namun masa hidup seseorang diperpendek oleh sifat-sifat jahat ini. Ketika sifat-sifat jahat ini sepenuhnya diatasi, seseorang dapat menikmati hidup yang lama dan bahagia. Seseorang tidak akan kehilangan hidupnya bahkan jika dia mengalami kecelakaan yang serius. (Divine Discourse, Sep 10, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 2nd September 2019 (Monday)

‘Ga’ symbolises intellect (buddhi), ‘Na’ stands for wisdom (vijnana). Ganapati is the master of intellect and wisdom. The universe is sustained by Ganas (gods) and Ganapati is their master. Lord Vinayaka symbolises the qualities of a true leader in all aspects. Viyate Nayake Iti Vinayaka, meaning, He is a master unto Himself. Ganapati is also called one who has a mouse as His vehicle (Mooshika Vahana). You may wonder how a small mouse can carry on its back a hefty personality like Vinayaka? Here mooshika does not mean a mere mouse. It symbolises the darkness of ignorance because a mouse moves about in darkness. Hence, Mooshika Vahana means the one who subdues ignorance and dispels darkness. Vinayaka is also called Vighneswara (remover of obstacles). No obstacle can come in the way of one who prays to Vinayaka. Thus, worship of Vinayaka confers success in spiritual as well as worldly endeavours.


‘Ga’ melambangkan intelek (buddhi), ‘Na’ melambangkan kebijaksanaan (vijnana). Ganapati adalah penguasa dari intelek dan kebijaksanaan. Alam semesta ditopang oleh Gana (para Dewa) dan Ganapati adalah pemimpin mereka. Sri Vinayaka melambangkan kualitas pemimpin yang sejati dalam semua aspek. Viyate Nayake Iti Vinayaka, yang berarti Sri Ganesha adalah tuan bagi diri-Nya sendiri. Ganapati juga disebut memiliki tikus sebagai wahana-Nya (Mooshika Vahana). Kita mungkin heran bagaimana tikus kecil bisa membawa kepribadian yang kokoh seperti Vinayaka? Disini mooshika tidak berarti hanya melulu pada tikus. Ini melambangkan kegelapan dari kebodohan karena tikus bergerak dalam kegelapan. Karena itu, Mooshika Vahana berarti seseorang yang mengatasi kebodohan dan menghilangkan kegelapan. Vinayaka juga disebut dengan Vighneswara (penghancur halangan). Tidak ada halangan yang dapat datang di jalan bagi mereka yang berdoa kepada Vinayaka. Jadi, memuja Vinayaka memberikan kesuksesan dalam spiritual dan juga usaha duniawi. (Divine Discourse, Sep 10, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 1st September 2019 (Sunday)

Banks have safe deposit vaults, where customers can keep their valuables, jewels, legal documents and other precious metals like silver and gold which attract thieves; people can then be free from anxiety and sleep in peace. Do you know that your Divine Bank also has a safe deposit vault? In it, you can surrender your jewels of intelligence, cleverness, capacity to serve and the gem that you most value, namely, your ‘ego’ to the care of God! Then, you can be free and happy. The Divine Banker invites: “Surrender to Me alone” (Mam ekam sharanam vraja). Then, He assures you that you need not grieve at all (Ma suchah). The wealth (dhanam) acceptable in Divine Bank comes only to those who struggle to be virtuous and detached, humble and holy. The virtues (punyam) you do, the purity you achieve, and the love that you manifest - these are the precious things the Lord gladly accepts as deposits.


Bank memiliki tempat penyimpanan barang berharga, dimana nasabah dapat menyimpan barang-barang berharga mereka seperti permata, dokumen berharga, dan logam mulia lainnya seperti perak dan emas yang dapat menarik perhatian pencuri; sehingga manusia dapat bebas dari kecemasan dan tidur dengan nyenyak. Apakah engkau mengetahui bahwa Bank Tuhan juga memiliki brankas? Di dalamnya, engkau dapat menyerahkan permatamu seperti kecerdasan, kepintaran, kapasitas melayani, dan batu mulia yang paling berharga yaitu ‘ego’ dalam pengawasan Tuhan! Kemudian engkau dapat bebas dan bahagia. Bankir Tuhan mengundang: “Serahkan hanya kepada-Ku” (Mam ekam sharanam vraja). Kemudian, Tuhan menjamin bahwa engkau tidak perlu lagi bersedih (Ma suchah). Kekayaan (dhanam) dapat diterima di bank Tuhan hanya datang dari mereka yang berjuang untuk menjadi berbudi luhur dan tidak terikat, rendah hati, dan suci. Kebaikan (punyam) yang engkau lakukan, kesucian yang engkau capai, dan kasih yang engkau wujudkan – ini adalah hal-hal yang Tuhan dengan senang terima sebagai deposit. (Divine Discourse, Jul 14, 1966)

-BABA