Sunday, March 28, 2021

Thought for the Day - 28th March 2021 (Sunday)

A devotee must regard pure mind as the abode of the Lord. One must fill the mind with pure, sacred and divine thoughts, and redeem one’s entire life. The Chataka bird endures many ordeals to secure unsullied raindrops from clouds. The moment it espies a dark cloud in the sky, it embarks on its adventure. Water is aplenty on earth in lakes, ponds and rivers. But the Chataka bird has no use for these polluted waters. It waits for pure raindrops in the month of Karthik and does not seek any other water. It is undaunted by thunder and lightning; seeks only pure raindrops falling from clouds, without fear or concern. It sings in joy as it drinks raindrops. The Chataka bird is an example of pure love. True devotees should perform a similar penance to realise God. One must have the same determination and go through similar ordeals to experience the ultimate ecstasy. One must not succumb to the wiles and attractions of the world. 



Seorang bhakta harus menganggap pikiran yang murni sebagai tempat tinggal Tuhan. Seseorang harus mengisi pikiran dengan gagasan-gagasan yang murni, suci dan Ilahi, serta dapat menyelamatkan seluruh hidupnya. Burung Chataka mengalami banyak cobaan berat untuk bisa mendapatkan tetesan air yang murni dari awan. Pada saat burung Chataka melihat gumpalan awan gelap di langit, maka burung Chataka memulai petualangannya. Air begitu berkelimpahan di bumi yaitu di danau, kolam, dan sungai. Namun burung Chataka tidak menggunakan air-air yang tercemar ini. Burung Chataka akan menunggu jatuhnya tetes air yang murni di bulan Karthik dan tidak mencari air yang lainnya. Burung Chataka tidak takut dengan petir dan guntur; tujuannya hanya mencari tetes air yang murni yang jatuh dari awan-awan, tanpa mengenal takut atau cemas. Burung Chataka bersiul dalam suka cita saat meminum tetes tetes air yang murni ini. Burung Chataka adalah sebuah contoh dari kasih yang murni. Bhakta yang sejati seharusnya melakukan sebuah usaha atau tapa brata yang sama untuk dapat menyadari Tuhan. Seseorang harus memiliki keteguhan hati yang sama dan menghadapi cobaan yang sama untuk mengalami sukacita yang tertinggi. Seseorang seharusnya tidak menjadi menyerah pada tipu muslihat dan daya tarik dunia! (Divine Discourse, Feb 12, 1991)

-BABA

 

Thought for the Day - 27th March 2021 (Saturday)

Human life is undoubtedly the highest in evolution, and to give it meaning, spiritual endeavour that is pure and holy, is essential. For this way of life, character is all important. Character makes life immortal; it survives even death. Some say that knowledge is power, but it’s not true. Character is power. Even acquisition of knowledge demands good character. So, everyone must yearn to attain flawless character without any trace of evil. Note that Buddha, Jesus Christ, Shankaracharya, Vivekananda, as well as great sages, saints and devotees of the Lord - all of them are treasured in the memory of people even today. What quality made them all memorable for all time? It is the character of each. Wealth, education and social status are of no avail without character. Character is the fragrance of the flower; it gives value and worth. Poets, painters, artists, or scientists may be great, each in their own field; however without character, they can have no standing in society! 



Hidup manusia tanpa diragukan lagi adalah yang tertinggi dalam evolusi, dan untuk memberikannya makna maka usaha spiritual yang suci dan murni adalah bersifat mendasar. Untuk jalan hidup ini, dari semuanya karakter adalah yang terpenting. Karakter membuat hidup abadi; dan bahkan tetap bertahan setelah kematian. Beberapa orang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, namun hal itu tidaklah benar. Karakter adalah kekuatan. Bahkan untuk mendapatkan pengetahuan memerlukan karakter yang baik. jadi, setiap orang harus merindukan untuk mencapai karakter yang sempurna tanpa adanya jejak-jejak kejahatan. Ketahuilah bahwa sang Buddha, Jesus Kristus, Shankaracharya, Vivekananda, dan juga para guru-guru suci hebat, para Resi dan bhakta dari Tuhan – semuanya adalah sangat berharga di dalam ingatan orang-orang sampai saat sekarang. Apa kualitas yang membuat semua dari mereka tetap diingat sepanjang waktu? Ini adalah karena karakter yang dimilikinya. Kekayaan, pendidikan, dan status sosial adalah tidak ada gunanya tanpa karakter. Karakter adalah wangi dari bunga; karakter memberikan nilai dan makna. Para pujangga, pelukis, seniman atau ilmuwan mungkin mereka adalah orang hebat dalam bidang mereka masing-masing; namun tanpa karakter, mereka tidak bisa memiliki reputasi di masyarakat! (Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

 

Thought for the Day - 26th March 2021 (Friday)

In the quest for mental peace, you should not be concerned only about your individual needs. Apart from such a quest being an index of intense selfishness, it is also a futile one. Is it possible for a single individual alone to achieve peace? If there is chaos and unrest all around you, how can you alone have peace? If there is no peace in the home or in the community, how can you have peace? You cannot be indifferent to the state of the environment in which you live. If you want to achieve peace, you have to see that the atmosphere around you is conducive to peace. This means that you have to cultivate the feeling that your individual peace is intimately related to the peace of the world. It was out of a realisation of this profound truth that the ancients prescribed the universal prayer: "Loka-Samastha-Sukhino Bhavantu" (May all the people in all the worlds be happy). 



Dalam pencarian kedamaian batin, engkau seharusnya tidak hanya peduli pada kebutuhan dirimu saja. Terlepas dari pencarian yang seperti itu sebagai sebuah petunjuk dari keegoisan yang besar, ini juga adalah sebuah kesia-siaan. Apakah memungkinkan untuk seorang diri saja dapat mencapai kedamaian? Jika ada sebuah kekacauan dan kegelisahan di seluruh tempat di sekitarmu, bagaimana engkau sendiri dapat memiliki kedamaian? Jika tidak ada kedamaian di dalam rumah atau di dalam masyarakat, bagaimana engkau bisa memiliki kedamaian? Engkau tidak bisa acuh tak acuh dengan keadaan lingkungan dimana engkau tinggal. Jika engkau ingin mendapatkan kedamaian, engkau harus melihat bahwa suasana di sekitarmu adalah kondusif untuk mendapatkan kedamaian. Hal ini berarti bahwa engkau harus meningkatkan perasaan bahwa kedamaian dirimu adalah sangat terkait kuat sekali dengan kedamaian dunia. Dari kesadaran akan kebenaran yang mendalam ini maka para leluhur kita menetapkan doa universal yaitu: "Loka-Samastha-Sukhino Bhavantu" (semoga semua orang di dunia berbahagia). (Divine Discourse, Apr 10, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 25th March 2021 (Thursday)

Mere chanting of Lord’s name is not enough. Offer your love to God. Love is not your property. In fact, it is God’s property. Surrender to God what is His. What is the use of a long life without this offering? You have no right to offer your love to anyone other than God! When you offer all your love to God, He will look after all your needs. There is nothing that He cannot do in this world. In city or in hamlet, in forest or in sky, on the high peak or in the deep ocean, God is everywhere. He pervades space and time. All beings are His forms. Realise this truth, transform it into practice and enjoy bliss. This is true devotion. Embodiments of Love! These days, wherever we go there is unrest, ego, and conflicts. You should develop love and share it with all relatives, friends, and even enemies. Then, everything will be enveloped in love! 



Hanya melantunkan nama suci Tuhan tidaklah cukup. Persembahkan cinta kasihmu kepada Tuhan. Cinta kasih bukanlah milikmu. Sejatinya, cinta kasih adalah milik Tuhan. Serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi milik-Nya. Apa gunanya umur yang panjang tanpa adanya persembahan ini? Engkau tidak memiliki hak untuk mempersembahkan cinta kasihmu kepada siapapun juga selain kepada Tuhan! Ketika engkau mempersembahkan seluruh cinta kasihmu kepada Tuhan, maka Tuhan akan menjaga seluruh kebutuhanmu. Tidak ada satupun yang Tuhan tidak bisa lakukan di dunia ini. Di kota atau di dusun kecil, di dalam hutan atau di atas langit, di atas ketinggian atau di kedalaman laut, Tuhan ada dimana-mana. Tuhan meliputi ruang dan waktu. Semua makhluk adalah wujud Tuhan. Sadarilah kebenaran ini, ubahlah kebenaran ini kedalam praktik dan nikmati kebahagiaan. Ini adalah bhakti yang sejati. Perwujudan kasih! Hari-hari ini, kemanapun kita pergi maka disana ada kegelisahan, ego, dan konflik. Engkau seharusnya mengembangkan cinta kasih dan berbagi kasih dengan semua kerabat, teman, dan bahkan musuh. Kemudian, semuanya akan dibungkus di dalam cinta kasih! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 24th March 2021 (Wednesday)

Sunlight enables man to perform various actions. Yet, the Sun remains unaffected by what man does. It is just a witness. Likewise, God is the eternal witness. He is unaffected by what happens around. Clouds, which owe their existence to the sun, cover the Sun itself! But that does not in any way diminish the brilliance of the Sun. Similarly, God does not stand to lose anything if man, who owes his existence to God, derides Him. Man will certainly reap the consequences of his actions; God is not affected by them. Just as the clouds originate from the Sun, likewise, mind (manas), intellect (buddhi) and subconscious mind (chitta) are formed out of the Divine Self (Atma). Your mind is responsible for all suffering, and even rebirth. So, your mind has to be diverted toward God in order to escape from the cycle of birth and death! 



Cahaya mentari memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai aktifitas. Namun, matahari tetap tidak terpengaruh dengan apa yang dilakukan oleh manusia. Cahaya mentari hanya sebagai saksi saja. Sama halnya, Tuhan adalah saksi yang abadi. Tuhan tidak terpengaruh oleh apapun yang terjadi di sekitar. Awan-awan, yang mana berhutang kepada matahari atas keberadaan mereka, malahan awan-awan itu yang menutupi matahari! Namun hal itu sama sekali tidak menghilangkan kecemerlangan matahari. Sama halnya, Tuhan sama sekali tidak akan kehilangan apapun juga jika manusia yang berhutang kepada Tuhan atas keberadaannya, mulai mencemooh-Nya. Manusia pastinya akan menuai akibat dari perbuatannya tersebut; Tuhan tidak terpengaruh oleh semuanya itu. Seperti halnya awan-awan yang berasal dari Matahari, sama halnya pikiran (manas), intelek (buddhi), dan pikiran bawah sadar (chitta) dibentuk dari Jati Diri Sejati (Atma). Pikiranmu adalah yang bertanggung jawab atas semua penderitaan, dan bahkan kelahiran kembali. Jadi, pikiranmu harus dialihkan ke arah Tuhan agar dapat melepaskan diri dari siklus kelahiran dan kematian! (Divine Discourse, Sep 13, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 23rd March 2021 (Tuesday)

One can subdue the mind through concentration. The process can be practised in either of two directions - A-rupa or Sa-rupa. A-rupa means 'unbound' by form. One feels that he is not the doer or enjoyer; he is only an agent of God, an instrument, and therefore one is unaffected, well or ill, when the act results in good or bad! One has no identity with the rupa (form or body). Sa-rupa meditation gets lost in dualities of pleasure and pain, profit and loss, for it considers the name and form, the body and its activities as valid. Similarly, man has the choice of two paths - the Pravritti Marga (the path of involvement) or the Nivritti Marga (the path of non-involvement). When involved, man is confronted with the six internal foes - lust, anger, greed, attachment, pride and hatred. When non-involved, man is helped by six internal friends - sense control, mind control, fortitude, contentment, faith and equanimity. 



Seseorang dapat menaklukkan pikiran melalui konsentrasi. Proses ini dapat dipraktikkan dalam dua arah yaitu : A-rupa atau Sa-rupa. A-rupa berarti 'tidak terikat' dengan wujud. Seseorang merasa bahwa dia bukanlah pelaku atau penikmat; dia hanyalah seorang perantara dan alat dari Tuhan, dan maka dari itu dia tidak menjadi terpengaruh, baik atau tidak baik, ketika perbuatan menghasilkan kebaikan atau keburukan! Seseorang tidak memiliki identitas dengan rupa (bentuk atau tubuh). Sa-rupa dalam keadaan meditasi menjadi terjebak dalam dualitas diantara kesenangan dan penderitaan, keuntungan dan kerugian, karena masih menganggap nama dan wujud, tubuh dan kegiatannya adalah sebagai hal yang benar. Sama halnya, manusia memiliki dua jalan pilihan – jalan Pravritti Marga (jalan keterikatan) atau jalan Nivritti Marga (jalan tanpa keterikatan). Ketika terikat, manusia dihadapkan dengan enam musuh di dalam diri yaitu – nafsu, amarah, ketamakan, keterikatan, kesombongan, dan kebencian. Ketika tidak terikat, manusia dibantu oleh enam sahabat yaitu – pengendalian indera, pengendalian pikiran, ketabahan, rasa syukur, keyakinan, dan keseimbangan batin. (Divine Discourse, May 6, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 22nd March 2021 (Monday)

Dasaratha sent Rama to the forest for fourteen years as a consequence of his promise to Kaikeyi. Though unused to any form of hardship, Sita endured difficulties of forest life. Lakshmana had no obligation to go through such an ordeal. Because of his intense devotion to Rama, he followed Him like a shadow. He brought fruits, flowers and tubes from the forest to serve Rama and Sita, and himself fasted. Every moment of his life, he spent in the service of Rama. He put both his body and mind in the service and worship of Rama as a Sagunopasaka. Bharata asked Rama to return to Ayodhya, but His efforts did not succeed since Rama refused to return. So, Bharata reconciled himself to returning, but stayed outside Ayodhya in Nandigrama. His body was in Nandigrama, but mind was with Rama. Lakshmana worshipped Rama with body and mind, whereas Bharata’s worship was purely mental since his mind was united with Rama. Since Bharata’s worship was purely mental, he was a Nirgunopasaka. 



Dasaratha mengirim Sri Rama ke hutan selama empat belas tahun sebagai akibat dari janjinya kepada Kaikeyi. Walaupun tidak biasa dalam menjalani hidup penuh kesulitan, Sita bertahan menghadapi kesulitan dengan kehidupan di hutan. Lakshmana tidak memiliki kewajiban untuk mengalami semua kesulitan itu. Karena bhakti yang begitu besar kepada Sri Rama, Lakshmana mengikuti Rama seperti sebuah bayangan. Lakshmana membawa buah, bunga, dan persediaan dari hutan untuk melayani Rama dan Sita, dan dirinya sendiri berpuasa. Setiap saat dalam hidupnya, Lakshmana menghabiskannya dalam pelayanan pada Rama. Lakshmana meletakkan keduanya yaitu tubuh dan pikirannya dalam pelayanan dan pemujaan pada Rama sebagai Sagunopasaka. Bharata meminta Rama untuk kembali ke Ayodhya, namun usahanya tidak berhasil karena Rama menolak kembali. Jadi, Bharata menahan dirinya untuk kembali, namun tinggal diluar Ayodhya tepatnya di Nandigrama. Tubuhnya ada di Nandigrama, namun pikirannya ada bersama dengan Rama. Lakshmana memuliakan Rama dengan tubuh dan pikiran, sedangkan pemujaan Bharata adalah murni secara batin karena pikirannya menyatu dengan Rama. Karena pemujaan dari Bharata bersifat batin maka beliau adalah seorang Nirgunopasaka. (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Sunday, March 21, 2021

Thought for the Day - 21st March 2021 (Sunday)

Shun bad company. Seek good company. Only then will your life be redeemed. Very often I remind the students that by joining bad company, you become slaves. You should be masters, not slaves. You all know what happened to Kaikeyi on listening to the words of Manthara. No one loved Rama more than Kaikeyi. But when her intelligence was clouded, she believed the words of the wicked Manthara. To one with perverted intellect, truth appears as untruth and vice versa. Due to the effect of bad company, the mind gets polluted. So, right from the tender age, “Tyaja durjana samsargam, bhaja sadhu samagamam, kuru punyamahoratram, smara nithyamanithyatham” (run away from bad company, join good company, undertake righteous actions day and night, and enquire into that which is permanent and that which is ephemeral). One should not develop unnecessary contacts. Your interaction with others should be limited to basic courtesies like, “Hello, how are you?” 



Hindari pergaulan yang tidak baik. Carilah pergaulan yang baik. Hanya dengan demikian hidupmu dapat diselamatkan. Sangat sering Aku mengingatkan para pelajar bahwa dengan ikut dalam pergaulan yang tidak baik, engkau menjadi budak. Engkau harus menjadi pengendali dan bukannya budak. Engkau semua mengetahui apa yang terjadi dengan Kaikeyi ketika mendengarkan perkataan dari Manthara. Tidak ada yang lebih menyayangi Rama daripada Kaikeyi. Namun ketika kecerdasan Kaikeyi ditutupi oleh awan gelap, dia mempercayai perkataan dari Manthara yang jahat. Bagi seseorang yang kecerdasaannya tertutupi awan gelap, maka kebenaran kelihatan sebagai sesuatu yang tidak benar dan sebaliknya. Oleh karena dampak dari pergaulan yang tidak baik maka pikiran menjadi tercemar. Jadi, mulai dari usia dini, “Tyaja durjana samsargam, bhaja sadhu samagamam, kuru punyamahoratram, smara nithyamanithyatham” (menjauhlah dari pergaulan yang tidak baik dan bergabunglah dalam pergaulan yang baik, lakukan perbuatan baik siang dan malam, serta selidiki mana yang bersifat kekal dan yang bersifat sementara). Seseorang seharusnya tidak mengembangkan hubungan yang tidak perlu. Interaksimu dengan orang lain seharusnya dibatasi pada kesopanan yang mendasar seperti, “Hello, bagaimana kabarmu?” (Divine Discourse, Sep 13, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 20th March 2021 (Saturday)

An able monarch will have his ministers under control; he will direct them along proper lines and maintain peace and security of the kingdom. On the other hand, a monarch who allows himself to be controlled by ministers does not deserve the throne; he is spurned and disgraced. His kingdom has no peace and security. The mind is the monarch in man; senses are ministers. If the mind is the slave of its senses, you will have no peace. Every spiritual aspirant who aspires to achieve expression and expansion of the Divine in oneself must therefore earn mastery over the senses. That is the first step. The next one is the conquest of the mind, its elimination. The third is uprooting the vasanas (innate tendencies), and the fourth, attainment of jnana (spiritual wisdom). The branches are the senses; the trunk is the mind; and the roots are innate tendencies. All three must be overcome and destroyed, so that awareness of the Divine Reality can be gained. 



Seorang raja yang cakap akan memiliki para menterinya ada dibawah kendalinya; sang raja akan mengarahkan para menteri pada jalur yang tepat dan menjaga kedamaian serta keamanan kerajaan. Sebaliknya, seorang raja yang mengizinkan dirinya dikendalikan oleh para menteri tidak layak untuk duduk di singgasana raja; maka raja itu akan ditolak dan dipermalukan. Kerajaannya tidak memiliki kedamaian dan keamanan. Pikiran adalah raja dalam diri manusia; indera adalah para menterinya. Jika pikiran menjadi budak dari inderanya, maka engkau tidak akan memiliki kedamaian. Setiap peminat spiritual yang menginginkan untuk dapat mendengarkan serta mengabadikan Tuhan di dalam dirinya maka dari itu harus dapat menguasai indera. Itu adalah langkah awal. Langkah berikutnya adalah menaklukkan pikiran, melenyapkannya. Langkah ketiga adalah mencabut akar-akar vasana (kecenderungan yang dibawa sejak lahir), dan langkah keempat adalah pencapaian jnana (kebijaksanaan spiritual). Cabang-cabangnya adalah indera; batangnya adalah pikiran; dan akarnya adalah kecenderungan yang dibawa sejak lahir. Ketiganya ini harus dapat diatasi dan dihancurkan, sehingga kesadaran akan kenyataan Tuhan dapat diraih. (Divine Discourse, May 6, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 19th March 2021 (Friday)

The body is bound to perish one day or another. The body may die, but not the mind. Such a mind must be controlled. That is true sadhana. You will not have any trouble if you offer your mind to God. The mind is very fickle; not steady even for a minute. So it should be ever engaged in work. Only then it can be brought under control. What work should you assign to the mind? The mind is like a mad monkey. Unless kept busy, it will go according to whims and fancies. The only way to keep a monkey busy is to make it go up and down a pole repeatedly! Let the mind be a watchman at the gate of your nostrils. Let it observe what is going in and coming out. ‘So’ is inhaled and ‘Ham’ is exhaled. ‘So’ symbolises good (Divinity) and ‘Ham’ stands for that which is bad (ego). Then, the mind will understand that Divinity must be taken in and the ego must be given up! 



Tubuh terikat mengalami kehancuran suatu hari nanti. Tubuh dapat mati, namun tidak dengan pikiran. Pikiran yang seperti itu harus dapat dikendalikan. Pengendalian pikiran adalah sebuah sadhana yang sesungguhnya. Engkau tidak akan mendapatkan masalah apapun jika engkau mempersembahkan pikiranmu kepada Tuhan. Pikiran adalah sangat tidak tetap dan selalu berubah-ubah; tidak bisa tenang walaupun hanya dalam semenit saja. Jadi pikiran harus terus diberikan pekerjaan. Hanya dengan demikian pikiran dapat dikendalikan. Apa pekerjaan yang seharusnya diberikan kepada pikiran? Pikiran adalah seperti seekor kera yang liar. Kecuali, pikiran tetap dibuat sibuk, maka pikiran akan berkeliaran sesuai dengan keinginannya. Satu-satunya cara untuk membuat kera menjadi sibuk adalah dengan membuatnya memanjat naik dan turun sebuah tiang secara terus menerus! Jadikan pikiran mengawasi aliran nafas melalui hidungmu. Biarkan pikiran mengamati apa yang sedang masuk dan keluar dari hidung. Dengan melantunkan ‘So’ ketika menarik nafas dan ‘Ham’ ketika mengembuskan nafas. ‘So’ melambangkan kebaikan (Tuhan) dan ‘Ham’ mengandung arti yang tidak baik (ego). Kemudian, pikiran akan memahami bahwa ketuhanan harus dibawa masuk dan ego harus diembuskan! (Divine Discourse, Sep 13, 1999).

-BABA

 

Thought for the Day - 18th March 2021 (Thursday)

Devotees today have some form of Divinity in their mind, but they perform rituals in a mechanical way without any consistency. All your charity and worship are of no significance to the Lord. Show your charity and wealth to the income tax department. God needs only your love. There is no tax on love. You may face any number of difficulties or hindrances. The Lord Himself may subject you to test. You should not waver because of these. All is for your good only. Do not grieve over any loss or exult over gain. Equal-mindedness in loss and gain is true sadhana. Some sit in dhyana (meditation), but their minds are in the market or in the hairdressing shop. Is this dhyana or japa? Your mind should be immersed in Krishna. Instead it is filled with thrishna (desires). What is needed is Krishna, not thrishna. Krishna will fulfil all your thrishnas. 



Para bhakta hari ini memiliki beberapa wujud Tuhan di dalam pikiran mereka, namun mereka melakukan puja tanpa memikirkan apa yang sedang dilakukan (mekanis) dan tanpa adanya konsistensi. Semua bentuk kedermawanan dan pemujaan menjadi tidak penting bagi Tuhan. Tunjukkan kedermawanan dan kekayaanmu kepada departemen pajak pendapatan. Tuhan hanya memerlukan cinta kasihmu saja. Tidak ada pajak pada cinta kasih. Engkau mungkin menghadapi banyak kesulitan atau rintangan. Tuhan sendiri menempatkan dirimu pada ujian. Engkau seharusnya tidak menjadi goyah karena ujian-ujian ini. Semuanya ini ada hanyalah untuk kebaikanmu saja. Jangan bersedih karena kehilangan atau bersuka cita atas keberuntungan. Pikiran yang sama dalam kehilangan dan keberuntungan adalah Sadhana yang sejati. Beberapa orang duduk dalam dhyana (meditasi), namun pikiran mereka ada di pasar atau salon tata rambut. Apakah ini yang disebut dengan dhyana atau japa? Pikiranmu seharusnya tenggelam dalam Krishna. Namun sebaliknya pikiranmu diliputi dengan thrishna (keinginan). Apa yang diperlukan adalah Krishna, dan bukannya thrishna. Krishna akan memenuhi semua thrishna (keinginan)! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 17th March 2021 (Wednesday)

Many devotees ask Me, “Swami, I want happiness.” Where is this happiness? Can you buy it in the market? Will any company supply you bliss? No! It is very much in you. You are not able to experience it since you do not have faith in yourself. You do not have love for God. Love is within you, but you are diverting it towards the world, not towards God. Worldly love is like passing clouds. Develop the love that is unwavering. It neither comes nor goes, it is in you always. Have unflinching faith in its existence. Question yourself, “Do I exist?” You get the reply, “Yes, I do exist.” That is the true faith. Here is a flower, a handkerchief, a tumbler. The word ‘is’ denotes true faith. Have faith in your existence, “I am.” That is true faith! You do not need to enquire into the nature of God or to search for Him. Have total faith in Him. 



Banyak bhakta bertanya pada-Ku, “Swami, hamba ingin kebahagiaan.” Dimana kebahagiaan ini berada? Dapatkah engkau membelinya di pasar? Akankah ada perusahaan yang menyediakan kebahagiaan untukmu? Tidak! Kebahagiaan itu ada di dalam dirimu. Engkau tidak mampu mengalami kebahagiaan karena engkau tidak memiliki keyakinan pada dirimu sendiri. Engkau tidak memiliki kasih untuk Tuhan. Cinta kasih ada di dalam dirimu, namun engkau mengarahkan cinta kasih kepada dunia, dan bukan kepada Tuhan. Cinta kasih duniawi adalah seperti awan yang berlalu. Kembangkanlah cinta kasih yang tidak tergoyahkan. Cinta kasih itu tidak datang dan juga tidak pergi, dan cinta kasih itu selalu ada di dalam dirimu. Milikilah keyakinan yang teguh pada keberadaan cinta kasih. Tanyakan pada dirimu sendiri, “Apakah diriku ada?” engkau akan mendapatkan jawaban, “Iya, diriku ada.” Itu adalah keyakinan yang benar. Ini adalah sekuntum bunga, sehelai sapu tangan, sebuah gelas. Kata ‘adalah’ menunjukkan keyakinan yang benar. Miliki keyakinan pada keberadaanmu, “sang Aku di dalam diri.” Itu adalah keyakinan yang benar! Engkau tidak perlu untuk melakukan penyelidikan pada sifat Tuhan atau mencari Tuhan. Miliki keyakinan yang penuh pada-Nya! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 16th March 2021 (Tuesday)

There are innumerable instances of God coming to the rescue of His devotees in times of need. SantKabir was a weaver by profession. One day he fell seriously ill and was unable to attend to his duties. The all-merciful Lord, in the form of Kabir, wove yarn and thus came to his rescue. Similarly, God came in the form of a potter and helped Gora Kumbhar when he was in distress by making pots Himself. Sakkubai, an ardent devotee of Lord Panduranga, continuously chanted the Lord’s name. One day, she could not perform her daily chores since she was running high temperature. Even under these circumstances, her husband and mother-in-law would not allow her to take rest. At this juncture, Lord Panduranga assumed the form of Sakkubai and performed all her duties. It is indeed difficult to understand how, when and where God would come to the rescue of His devotees. Absolute faith is essential for God to manifest! 



Ada begitu banyak contoh tentang kehadiran Tuhan untuk menyelamatkan bhakta-Nya pada saat dibutuhkan. Sant Kabir adalah seorang penenun. Pada suatu hari dia jatuh sakit yang sangat serius dan tidak mampu untuk menjalankan pekerjaannya. Tuhan yang Maha Pengasih hadir dalam wujud Kabir, menenun benang dan dengan demikian dapat menyelamatkannya. Sama halnya, Tuhan yang hadir dalam wujud sebagai tukang pembuat pot dan menolong Gora Kumbhar ketika dia dalam keadaan kesulitan membuat periuk sendiri. Sakkubai adalah seorang bhakta agung dari Sri Panduranga, secara terus-menerus melantunkan nama suci Tuhan. Pada suatu hari, Sakkubai tidak bisa melaksanakan pekerjaannya sehari-hari karena dia menderita demam yang tinggi. Walaupun dalam keadaan seperti ini, suami dan mertua perempuannya tidak mengizinkan Sakkubai untuk istirahat. Pada keadaan ini, Sri Panduranga mengambil wujud Sakkubai dan melaksanakan semua kewajibannya. Adalah memang sulit untuk memahami bagaimana, kapan, dan dimana Tuhan akan datang menolong bhakta-Nya. Keyakinan yang mutlak adalah mendasar bagi Tuhan untuk mewujudkan diri-Nya! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 15th March 2021 (Monday)

Axioms like ‘Work is Worship’ & ‘Duty is God’ are not of modern origin. These were teachings of our ancient seers, though they used different terms for these. Consider all activities as an offering to God and all work as God’s work. Just as two wings are essential for a bird to soar high in the sky, and two wheels for a bicycle to move, prema(love) and seva(service) are essential for man to reach his destination. No benefit accrues from rendering service devoid of love. Do not expect any returns for your acts of service. The satisfaction that you derive from rendering service is itself a reward. Embodiments of Love! First develop faith in yourself. Where there is faith, there is love. Where there is love, there is peace. Where there is peace, there is truth. Where there is truth, there is God. Where there is God, there is bliss. True devotion lies in having faith and attaining bliss! 



Sebuah aksioma ‘Kerja adalah ibadah’ & ‘Kewajiban adalah Tuhan’ bukanlah berasal dari zaman modern ini. Kedua ajaran ini berasal dari leluhur peminat spiritual terdahulu, walaupun mereka menggunakan istilah yang berbeda untuk kedua hal ini. Pertimbangkan bahwa semua kegiatan adalah sebuah persembahan kepada Tuhan dan semua kerja adalah sebagai kerja Tuhan. Seperti halnya dua sayap adalah sangat penting bagi seekor burung untuk terbang tinggi di langit, dan dua roda adalah penting bagi sepeda untuk bergerak, prema (kasih sayang), dan seva (pelayanan) adalah bersifat mendasar bagi manusia untuk dapat mencapai tujuannya. Tidak ada manfaat yang diperoleh dari pelayanan yang dilakukan tanpa adanya kasih. Jangan mengharapkan balasan apapun untuk tindakan pelayananmu. Kepuasan yang engkau dapatkan dari melakukan pelayanan itu sendiri adalah sebuah balasan. Perwujudan kasih! Pertama kembangkan keyakinan di dalam dirimu sendiri. Dimana ada keyakinan, disana ada cinta kasih. Dimana ada cinta kasih, disana ada kedamaian. Dimana ada kedamaian, disana ada kebenaran. Dimana ada kebenaran, disana ada Tuhan. Dimana ada Tuhan, disana ada kebahagiaan. Bhakti yang sejati terdapat dalam memiliki keyakinan dan mendapatkan kebahagiaan! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 14th March 2021 (Sunday)

Vinatha and Kadru, two wives of Sage Kashyap, while playing a game, entered into a competition. The terms of competition were that the loser and her son would serve the winner and her son for the rest of their lives. Kadru emerged victorious. As per terms of competition, Vinatha and her son Garuda served Kadru and her son. One day, Kadru told Vinatha, “You are like my sister. I will free you, if you procure amritha-bhanda (vessel of nectar) from heaven.” Unable to bear the sufferings of his mother, Garuda undertook this stupendous task and brought amritha-bhanda from heaven, freeing himself and his mother from bondage. Pleased with Garuda’s devotion, Lord Vishnu showered His grace by making him His vehicle! What was the reason behind Garuda becoming the vehicle of Lord Vishnu? It was Garuda’s noble resolve (sat-sankalpa) that earned him proximity to the Divine! 



Vinatha dan Kadru, adalah dua istri dari Resi Kashyapa, mereka sedang bermain sebuah permainan dan masuk ke dalam ranah kompetisi. Istilah kompetisi digunakan dimana yang kalah dan putranya akan melayani yang menang beserta putranya sepanjang masa hidupnya. Kadru menjadi pemenang dalam kompetisi itu. Sesuai dengan ketentuan dalam kompetisi maka Vinatha dan putranya yaitu Garuda melayani Kadru beserta putranya. Pada suatu hari, Kadru berkata kepada Vinatha, “Engkau adalah seperti saudariku. Aku akan membebaskanmu, jika engkau bisa mendapatkan amritha-bhanda (semangkuk nektar) dari surga.” Karena tidak tahan melihat penderitaan dari ibunya maka Garuda mengambil tugas yang berat ini dan membawakan amritha-bhanda dari surga, dan membebaskan dirinya beserta dengan ibunya dari perbudakan itu. Senang dengan bhakti dari Garuda, Sri Vishnu mencurahkan karunia-Nya dengan menggunakan Garuda sebagai wahana-Nya! Apa alasan dibalik Garuda menjadi wahana atau kendaraan dari Sri Vishnu? Ini adalah keputusan mulia dari Garuda (sat-sankalpa) yang membuat dirinya mendapatkan kedekatan dengan Tuhan! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 13th March 2021 (Saturday)

Why should one pray, meditate, contemplate on God or engage in good actions when one is anyway bound to face the consequences of one’s actions? You may not be able to see the transformation that comes within you by your good actions and prayer. You may not even be able to visualise it with your mind. Yet, this transformation in you is sure to attract God’s grace. Take the example of a bottle of pills. You may note the date of expiration mentioned on the bottle as the year 1994. You may also find the bottle and its contents intact even in the year 1999. But this does not mean that the pills will be effective if used today. The pills may be there, but they lose their power after the date of expiry. Likewise, the consequences of one’s actions are inevitable, be they good or bad, but divine grace will let their effects lapse! 



Mengapa seseorang harus berdoa, melakukan meditasi, memusatkan pikiran pada Tuhan, atau melakukan perbuatan baik ketika bagaimanapun juga seseorang harus terikat menghadapi konsekuensi dari perbuatannya sendiri? Engkau tidak bisa melihat perubahan yang terjadi di dalam dirimu dengan melakukan perbuatan baik dan berdoa. Engkau bahkan tidak bisa menggambarkannya dengan pikiranmu. Namun, perubahan ini yang terjadi di dalam dirimu adalah pasti untuk dapat menarik rahmat Tuhan. Ambillah sebuah contoh botol pil. Engkau dapat melihat tanggal kadaluwarsa yang tercantum di botol yaitu tahun 1994. Engkau juga bahkan dapat melihat botol dan isinya masih tetap utuh di tahun 1999. Namun hal ini tidak berarti bahwa pil itu akan menjadi efektif jika digunakan hari ini. Pilnya masih tetap ada di sana, namun pil tersebut telah kehilangan keampuhannya setelah melewati tanggal kadaluwarsa. Sama halnya, konsekuensi dari perbuatan seseorang adalah tidak dapat dihindarkan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, namun rahmat Tuhan akan menghilangkan pengaruh dari konsekuensi tersebut! (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 12th March 2021 (Friday)

This world is a combination of time (kala), action (karma) and cause (karana). Every action has a reaction. When your finger gets cut with a knife, blood oozes out immediately. Here, the reaction is instantaneous. There is no time gap whatsoever. On the other hand, food we eat takes at least two hours to be digested. Take the case of a seed. A seed sown today takes three to four days to sprout. Here the time gap between action and reaction is slightly more as compared to the previous instances. On the other extreme, we have a case where it takes years for a sapling to grow into a gigantic tree and yield fruit. Thus, the time gap between action and reaction may vary depending on the nature of action. It is impossible to say when, how, and where one will face the consequences of one’s action. But know for sure that none can escape the consequences of their actions. 



Dunia ini merupakan kombinasi dari waktu (kala), perbuatan (karma), dan sebab (karana). Setiap perbuatan memiliki sebuah reaksi. Ketika jarimu teriris oleh pisau maka darah akan merembes keluar dengan segera. Dalam hal ini, reaksi yang terjadi bersifat seketika itu juga. Tidak ada waktu jeda. Sebaliknya, makanan yang kita makan setidaknya memerlukan waktu dua jam untuk dicerna. Coba perhatikan pertumbuhan benih. Sebuah benih yang disemai hari ini memerlukan tiga atau empat hari untuk tumbuh. Dalam hal ini ada waktu jeda diantara perbuatan dan reaksi dibandingkan dengan contoh sebelumnya. Dalam hal yang lebih besar, kita memiliki sebuah contoh dimana memerlukan tahunan bagi sebuah pohon kecil untuk tumbuh menjadi sebuah pohon yang besar dan menghasilkan buah. Jadi, jeda waktu diantara perbuatan dan reaksi sangat tergantung dari sifat dari perbuatan. Adalah tidak mungkin mengatakan kapan, bagaimana, dan dimana seseorang akan mengalami akibat dari perbuatannya. Namun ketahuilah dengan pasti bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan diri dari akibat dari perbuatan mereka sendiri. (Divine Discourse, Sep 3, 1999)

-BABA

 

Thought for the Day - 11th March 2021 (Thursday)

Today is Shivaratri. It is an auspicious Night because the mind can be made to lose its hold by devoting the night to prayer. According to the scriptures, the Moon is the presiding deity of the mind. Shivaratri is prescribed for the fourteenth night of the dark half of the month, the night previous to the New Moon when the Moon suffers from total blackout. The Moon and the mind which it rules over are drastically reduced every month on this night. When that night is devoted to vigilant adoration of God, the remnant of the wayward mind is overcome and victory ensured. This month's Shivaratri is holier than the rest and so, it is called Mahashivaratri. With firm faith and a cleansed heart, the night should be spent in glorifying God. No moment should be wasted in other thoughts. Time flees fast. Like a block of ice, it melts soon and flows away; like water held in a leaky pot, it disappears drop by drop. The time allotted for one's life ticks off quite soon, and the span ends sometime somehow. So, be vigilant. Be warned. Be alert and aware. Seek the shelter of the Lord and transform every moment into a sacred celebration. 



Hari ini adalah Shivaratri. Ini adalah malam yang suci karena pikiran dapat dibuat melepaskan cengkeramannya dengan mendedikasikan malam dengan berdoa. Sesuai dengan naskah suci, bulan adalah Dewa yang mengarahkan pikiran. Shivaratri dijelaskan sebagai malam keempat belas dari paruh gelap bulan itu, malam sebelum bulan baru ketika bulan mengalami keadaan gelap total. Bulan dan pikiran yang dikuasainya mengalami pengurangan drastis setiap bulannya pada malam ini. Ketika malam ini didedikasikan pada pemujaan Tuhan dengan penuh perhatian, maka sisa-sisa pikiran yang sulit dikendalikan dapat diatasi dan kemenangan dapat dipastikan. Bulan Shivaratri ini adalah lebih suci daripada yang lainnya dan karenanya disebut sebagai Mahashivaratri. Dengan keyakinan yang teguh dan hati yang bersih, malam seharusnya dihabiskan dalam memuliakan Tuhan. Tidak ada momen yang terbuang dalam pikiran-pikiran yang lainnya. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Seperti sebuah balok es yang cepat mencair dan mengalir; seperti air yang disimpan dalam wadah yang bocor, dimana air itu akan hilang setetes demi setetes. Waktu yang disediakan untuk hidup seseorang segera berlalu, dan rentang waktu hidup itu entah bagaimana berakhir. Jadi, tetap waspada. Berhati-hatilah. Tetap waspada dan sadar. Carilah perlindungan pada Tuhan dan ubahlah setiap momen ke dalam perayaan yang suci. (Divine Discourse, Feb 26, 1987)

-BABA

 

Thought for the Day - 10th March 2021 (Wednesday)

Shivaratri makes one aware that the same Divinity is all-pervasive, and found everywhere. In our daily experiences, there are a number of instances which reveal the existence of Divinity in every person. Consider a cinema; on screen, we see rivers in flood, engulfing all surrounding land. Even though the scene is filled with flood waters, the screen does not get wet by even a drop of water. At another time, on the same screen we see volcanoes erupting with tongues of flame, but the screen is not burnt. The screen which provides the basis for all these pictures is not affected by any of them. Likewise in the life of man, good or bad, joy or sorrow, birth or death, will come and go, but they do not affect the Atma! In the cinema of life, the screen is the Atma; It is Shiva, it is Shankara, it is Divinity. When one understands this principle, one will be able to understand, enjoy and find fulfilment in life! 



Shivaratri membuat seseorang menyadari bahwa ketuhanan yang sama adalah meliputi semuanya, dan ditemukan di setiap tempat. Dalam pengalaman kita sehari-hari, ada beberapa bentuk contoh dimana mengungkapkan keberadaan Tuhan di dalam diri setiap orang. Bayangkan sebuah bioskop; di atas layar, kita dapat melihat air sungai yang membanjiri semua daratan di sekitarnya. Walaupun layar diliputi dengan air banjir, namun layar tersebut tidak menjadi basah bahkan oleh setetes air. Pada keadaan lainnya, pada layar yang sama kita bisa melihat letusan gunung merapi dengan juluran lidah apinya, namun layar tersebut tidaklah terbakar. Layar yang menjadi dasar dari semua gambaran ini tidak terpengaruh oleh semuanya itu. Sama halnya dalam kehidupan manusia, kebaikan atau keburukan, suka cita atau penderitaan, kelahiran atau kematian, akan datang dan pergi, namun semuanya itu tidak mempengaruhi Atma! Dalam bioskop kehidupan, layar itu adalah Atma; ini adalah Shiva, ini juga adalah Shankara, ini adalah ketuhanan. Ketika seseorang memahami prinsip ini, maka seseorang akan mampu memahami, menikmati, dan mendapatkan pemenuhan dalam hidup! (Divine Discourse, Feb 17, 1985)

-BABA

 

Thought for the Day - 9th March 2021 (Tuesday)

We should believe that God is the indweller of the heart and must follow the teaching that comes from the heart and adopt good methods to follow such a teaching. Our ancients have given us sacred paths of yoga (spiritual practices) and meditation to overcome evils and gain control over our senses. To control anger and hatred, the ancient sages left their villages and went to the forest. Today it is not necessary to retire to the forest to get rid of anger and hatred. Virtue cannot be practised in a vacuum. If you live in an atmosphere of anger and are able to control it, then it is a meritorious achievement. But if you live in a forest where there is no room for anger and say that you have controlled your anger, it is not meaningful. You must, therefore, remain in the worldly surroundings where there is ample scope for the rising up of emotions of anger and hatred, and then learn to control them. That will be a meritorious achievement. 



Kita harus percaya bahwa Tuhan-lah yang bersemayam di hati dan harus mengikuti ajaran yang datang dari hati dan mengadopsi metode yang baik untuk mengikuti ajaran semacam itu. Leluhur kita telah memberi kita jalan suci yoga (praktik spiritual) dan meditasi untuk mengatasi kejahatan dan mendapatkan kendali atas indera kita. Untuk mengendalikan amarah dan kebencian, orang bijak zaman dahulu meninggalkan desa (tempat tinggal) mereka dan pergi ke hutan. Saat ini, tidak diperlukan lagi untuk menarik diri dari dunia dan pergi ke hutan untuk menghilangkan amarah dan kebencian. Kebajikan tidak bisa dipraktikkan dalam kekosongan. Jika engkau hidup dalam suasana amarah dan mampu mengendalikannya, maka itu adalah pencapaian yang berharga. Tetapi jika engkau tinggal di hutan di mana tidak ada ruang untuk amarah dan mengatakan bahwa engkau telah mengendalikan amarahmu, itu tidak berarti. Oleh karena itu, engkau harus tetap berada di lingkungan duniawi di mana ada banyak ruang untuk timbulnya emosi kemarahan dan kebencian, dan kemudian belajar untuk mengendalikannya. Itu akan menjadi pencapaian yang berharga. (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Thought for the Day - 8th March 2021 (Monday)

Every person considered themselves as the child of immortality. The removal of immorality is the way to attain immortality. Injustice, impropriety, and inequity are weaknesses that must be got rid of. Control of the senses helps us to get rid of all evil tendencies. When your mind is troubled by bad thoughts, try to sit in a place and think of God, then you will be happy. Several great saints have taught the path of acquiring control over your senses. They used to offer to God all the tendencies that arise from the senses. They used to dedicate all their actions to God because they could divert their senses in the right channel. Their senses were not touched by temptations of sins. When you do any action just to please God, no evil result will flow out and cause you any suffering. What is offered to God is totally free from all defects and imperfections. 



Setiap orang menganggap dirinya sebagai anak keabadian. Menghilangkan amoralitas (kualitas/sifat yang tidak bermoral) adalah jalan untuk mencapai keabadian. Ketidakadilan dan ketidaklayakan adalah kelemahan yang harus disingkirkan. Pengendalian indera akan membantu kita untuk menyingkirkan semua kecenderungan buruk. Ketika pikiranmu diganggu oleh pikiran-pikiran buruk, cobalah untuk duduk di suatu tempat dan memikirkan Tuhan, maka engkau akan merasa bahagia. Para orang suci telah mengajarkan jalan memperoleh kendali atas inderamu. Mereka biasa mempersembahkan kepada Tuhan semua kecenderungan yang muncul dari indera. Mereka biasa mendedikasikan semua tindakan mereka kepada Tuhan karena mereka bisa mengalihkan indera mereka di saluran yang benar. Indera mereka tidak tersentuh oleh godaan dosa. Ketika engkau melakukan tindakan apa pun hanya untuk menyenangkan Tuhan, tidak ada akibat buruk yang akan mengalir keluar dan menyebabkan engkau menderita. Apa yang dipersembahkan kepada Tuhan benar-benar bebas dari semua cacat dan ketidaksempurnaan. (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Monday, March 8, 2021

Thought for the Day - 7th March 2021 (Sunday)

Don't you say, “my nose, my mind, my hand, my reason”, just as you say, “my book, my umbrella?” Who is this ‘I’ that calls all these 'mine'? That is the real 'you'. It was there when you were born, when you were sleeping forgetful of all else, forgetful even of your body with all its equipment, internal and external. That ‘I’ cannot be harmed; it does not change, it knows no death or birth. Learn the discipline that makes you aware of this Truth and you will be ever free and bold. All men have to reach the goal, travelling along the path of wisdom. This knowledge comes as soon as you look into yourselves and analyse your own experience. But, in order to get the craving for that analysis, you have to educate yourselves into the attitude. Developing good habits, avoiding bad ones, mixing in the company of the pious, being active in good deeds, serving those in distress - these are all steps that will lead you into the glorious path of Self-knowledge. 



Bukankah engkau mengatakan, "hidung saya, pikiran saya, tangan saya, alasan saya", seperti yang engkau katakan, "buku saya, payung saya?" Siapakah 'aku' yang menyebut semua ini 'milikku'? Itu adalah 'dirimu' yang sejati. Itu ada di sana ketika engkau lahir, ketika tidur engkau melupakan semua yang lainnya, bahkan melupakan tubuhmu dengan semua perlengkapannya, internal dan eksternal. Ketahuilah bahwa 'aku' tidak bisa disakiti; tidak mengalami perubahan, tidak mengenal kematian atau kelahiran. Belajarlah disiplin yang membuatmu menyadari kebenaran ini dan engkau akan selalu bebas dan berani. Semua orang harus mencapai tujuan, berjalan di sepanjang jalan kebijaksanaan. Pengetahuan ini datang segera setelah engkau melihat ke dalam dirimu dan menganalisis pengalamanmu sendiri. Tetapi, untuk mendapatkan keinginan akan analisis tersebut, engkau harus mendidik dirimu sendiri ke dalam sikap: mengembangkan kebiasaan baik, menghindari yang buruk, bergaul dengan orang-orang yang baik, aktif dalam perbuatan baik, melayani mereka yang berada dalam kesusahan - ini semua adalah langkah-langkah yang akan membawamu ke jalan pengetahuan-diri yang mulia. (Divine Discourse, Feb 20, 1965)

-BABA

 

Thought for the Day - 6th March 2021 (Saturday)

The sages used to perform yagnas and yagas for gaining mastery over their senses. The real nature and meaning of a yagna is the overcoming of all our evil tendencies, and throwing them into the fire of sacrifice. This is described as bhutabali. The word bhutabali has been misinterpreted and some people think it means animal sacrifice and this has given rise to evil practices. This is not the right way. Bali means tax. Today we are paying taxes on our property, on our houses and on our income. But the intention of levying taxes in the olden times was different from the intention of taxing today. Today taxes are often collected but misappropriated by people in power. Taxes of olden days were used to further improve and increase the welfare of the people. Where there was no water supply, they used to provide water; where there were no roads, they used to build roads. By sacrificing all our evil tendencies to God, we are blessed with what man badly needs in this world as well as what is beyond man. 



Para bijak biasanya melakukan yagnas dan yaga untuk menguasai indera mereka. Sifat dan makna sebenarnya dari sebuah yagna adalah mengatasi semua kecenderungan buruk yang ada dalam diri kita, dan melemparkannya ke dalam api pengorbanan. Ini dijelaskan sebagai bhutabali. Kata bhutabali telah disalahartikan dan beberapa orang mengira itu berarti pengorbanan hewan dan ini telah menimbulkan praktik-praktik yang buruk. Ini bukan cara yang benar. Bali artinya pajak. Saat ini, kita membayar pajak atas properti, rumah, dan pendapatan kita. Namun niat memungut pajak di masa lalu berbeda dengan niat memungut pajak saat ini. Saat ini pajak sering dipungut tetapi disalahgunakan oleh orang-orang yang berkuasa. Pajak masa lalu digunakan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika tidak ada persediaan air, mereka biasanya menyediakan air; di mana tidak ada jalan, mereka biasa membangun jalan. Dengan mengorbankan semua kecenderungan buruk yang ada pada diri kita kepada Tuhan, kita diberkati dengan apa yang sangat dibutuhkan manusia di dunia ini serta apa yang melampaui manusia. (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Thought for the Day - 5th March 2021 (Friday)

Remember always that it is easy to do what is pleasant; but it is difficult to be engaged in what is beneficial. Not all that is pleasant is profitable. Success comes to those who give up the path strewn with roses, and brave the hammer-blows and sword-thrusts of the path fraught with danger. As a matter of fact, no road is strewn with rose petals. Life is a battlefield, a Dharmakshethra, where duties and desires are always in conflict. Smother the fiery fumes of desire, hatred and anger that rise up in your hearts; it is sheer cowardice to yield to these enemies that turn you into beasts. When obstacles come, meet them with courage. They harden you, make you tough. The best way to get rid of weakness is to strike at the very taproot of the tree - the mistaken notion that you are the body, with this name and this form, these senses, this intelligence and this mind. These are all only the luggage you carry. 



Ingatlah selalu bahwa adalah mudah untuk melakukan apa yang menyenangkan; namun adalah sulit untuk terlibat dalam sesuatu yang bermanfaat. Tidak semua yang menyenangkan adalah menguntungkan. Keberhasilan datang pada mereka yang meninggalkan jalan yang penuh dengan mawar, dan berani menerima pukulan martil dan tusukan pedang dari jalan yang penuh dengan bahaya. Pada kenyataannya, tidak ada jalan yang ditutupi oleh kelopak mawar. Hidup adalah medan perang, sebuah Dharmakshethra, dimana kewajiban dan keinginan selalu bertentangan. Menahan asap membara dari keinginan, kebencian, dan kemarahan yang muncul di dalam hatimu; merupakan sikap pengecut dengan menyerah pada musuh-musuh ini yang mengubahmu menjadi binatang buas. Ketika halangan datang, hadapi semuanya dengan berani. Semua halangan itu menguatkanmu dan membuatmu tangguh. Cara terbaik untuk melepaskan kelemahan adalah dengan menyerang langsung pada akar pohon – yaitu sebuah anggapan salah bahwa engkau adalah tubuh, dengan nama dan wujud ini, indera-indera ini, kecerdasan ini, dan pikiran ini. Semuanya ini hanyalah beban yang engkau bawa. (Divine Discourse, Feb 20, 1965)

-BABA

 

Thought for the Day - 4th March 2021 (Thursday)

We offer to God so many things, because it gives us pleasure. We offer flowers not because God doesn’t have flowers, but because it makes us happy. The word ‘leaf’ does not refer to tulasi or any other leaf. Our body is the leaf that is offered to God. Because this body is full of three gunas, we consider it a leaf and offer it to God. The word pushpa stands for the flower of the heart. The flowers we talk of in the context of God, do not refer to the earthly flowers which fade away. Similarly, the word ‘fruit’ is the fruit of the mind. It means that we must do our deeds without expecting any reward; and if action is done in that spirit, it becomes a holy sacrifice. Water does not mean that which is drawn from the taps. It refers to the tears of joy that spring from the depths of your heart. You should not offer leaves gathered from trees or flowers from plants in the garden or water drawn from the well or fruit got from somewhere else; but you must offer all these from the tree of your body, which is sacred, to God. 



Kita mempersembahkan banyak hal kepada Tuhan, karena itu dapat memberi kesenangan bagi kita. Kita mempersembahkan bunga kepada-Nya, bukan karena Tuhan tidak memiliki bunga, tetapi karena melalui persembahan tersebut, membuat kita menjadi bahagia. Kata 'daun' bukan sekedar mengacu pada tulasi atau daun yang lainnya. Badan jasmani kita adalah daun yang dipersembahkan kepada Tuhan. Karena badan ini penuh dengan tiga guna (tiga sifat = Satwam, Rajas, dan Tamas), kita menganggapnya sebagai daun dan mempersembahkannya kepada Tuhan. Kata pushpa (bunga) berarti bunga hati. Bunga yang kita bicarakan dalam konteks Tuhan, tidak mengacu pada bunga duniawi yang mudah layu. Demikian pula, kata 'buah' merupakan buah pikiran. Itu artinya bahwa kita harus melakukan perbuatan kita tanpa mengharapkan imbalan apa pun; dan jika tindakan dilakukan dalam semangat tersebut, maka akan menjadi korban suci. Air bukan berarti air yang diambil dari keran. Air dalam hal ini, mengacu pada air mata kegembiraan yang muncul dari lubuk hatimu. Engkau seharusnya tidak  mempersembahkan daun yang dikumpulkan dari pohon atau bunga dari tanaman di taman atau air yang diambil dari sumur atau buah yang didapat dari suatu tempat; tetapi engkau harus mempersembahkan semuanya ini yang berasal dari pohon badan-mu, yang suci, kepada Tuhan. (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Thought for the Day - 3rd March 2021 (Wednesday)

Many students pray, “If I pass with a first class, I’ll break five coconuts at Your feet.” Does this mean God does not have coconuts at His disposal? All objects we offer, like leaf, flower, water, etc., have an allegorical significance. The word narikela stands for a coconut. Every Indian must grasp the inner meaning of offering a coconut to God. We never offer the coconut as it is. We remove the fibre that covers it and offer the fruit that is free from all the external fibre. Only then is it possible to break the coconut. By breaking the coconut, the water in it flows out. The heart is the coconut and it is covered by the fibre of desire. The water that flows out is the samskara or purification. The fibres on the surface are the desires. We must strip the heart of all desires and offer the core without the fibre. It then becomes an offering to God. 



Banyak siswa berdoa, “Jika saya lulus dengan nilai terbaik, saya akan memecahkan lima buah kelapa di kaki-Mu.” Apakah ini berarti Tuhan tidak memiliki kelapa untuk digunakan-Nya? Semua benda yang kita persembahkan, seperti daun, bunga, air, dll., memiliki makna alegoris/kiasan. Kata narikela berarti kelapa. Setiap orang India harus memahami makna batin mempersembahkan kelapa kepada Tuhan. Kita tidak pernah mempersembahkan kelapa apa adanya, secara langsung. Kita menghilangkan serat yang menutupinya dan mempersembahkan buah yang telah bebas dari semua serat luar. Hanya dengan demikian, kelapa bisa dipecah. Dengan memecah kelapa, air di dalamnya mengalir keluar. Hati dapat diibaratkan sebagai kelapa dan ditutupi oleh serat nafsu keinginan. Air yang mengalir keluar adalah samskara atau pemurnian. Serat di permukaan adalah keinginan. Kita harus mengupas serat-serat luar tersebut sehingga melepaskan semua keinginan dan mempersembahkan hati yang murni. Itulah kemudian yang menjadi persembahan kepada Tuhan. (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Thought for the Day - 2nd March 2021 (Tuesday)

So long as there is the feeling of anger and ego in our hearts, we will not be able to feel well in our life, and will feel sick in our mind. He who is possessed by anger will be hated by people because he will commit a number of bad deeds. Anger leads to many great sins. Hence we must endeavour to control this emotion of anger. If we aim to achieve transcendental reality and Divinity, we must decide to bring this great emotion of anger under control. Anger is caused by weakness. It is not the weakness of the body but of the mind. To give strength to our mind and remove the weakness from our mind, it is necessary to fill it with good thoughts, good feelings and good ideas. One’s anger is one’s greatest enemy and one’s calmness is one’s protection. One’s joy is one’s heaven and one’s sorrow is one’s hell. 




Selama ada perasaan amarah dan ego di dalam hati kita, kita tidak akan mampu merasa baik-baik saja di dalam hidup, dan merasa sakit di dalam pikiran kita. Dia yang dikuasai oleh amarah akan dibenci oleh orang-orang karena dia akan melakukan beberapa perbuatan yang tidak baik. Amarah menuntun pada dosa yang paling besar. Karena itu kita harus berusaha untuk mengendalikan emosi amarah ini. Jika kita memiliki tujuan untuk mencapai kenyataan spiritual dan Tuhan, kita harus memutuskan untuk mengendalikan emosi amarah yang besar ini. Amarah disebabkan oleh kelemahan. Ini bukanlah kelemahan tubuh namun pikiran. Untuk memberikan kekuatan pada pikiran kita dan melepaskan kelemahan dalam pikiran kita, adalah perlu untuk mengisi pikiran dengan pemikiran yang baik, perasaan yang baik dan ide yang baik. Kemarahan seseorang adalah musuh yang paling kuat dan ketenangan seseorang adalah perlindungannya. Suka cita seseorang adalah surganya dan penderitaan seseorang adalah nerakanya! (Ch 17, Summer Showers in Brindavan, 1972)

-BABA

 

Thought for the Day - 1st March 2021 (Monday)

The sparks that leap out of the flame of fire go into the distance and soon become ash or dark dust. Of course, everyone is fundamentally Atma, but, moving away from the awareness of that Reality, one reduces oneself into ash or dark dust. When your thoughts revolve around your desire to attain Prashanti (Supreme Peace), when your deeds are directed by the regimen laid down for attaining it, when your words are soft, sweet and soaked in Love, you can, without fail, enjoy the warmth of this Fire. Often, when you watch the range of hills around Prasanthi Nilayam, you can see, especially in summer, streaks of light creeping fast over the top. This is due to vegetation catching fire. You can see light from afar, but you cannot bask in the warmth. So too, you only see Sai Baba; you do not derive the grace He is ready to grant. The reason is - You do not dedicate all your thoughts, words and deeds to Swami! 




Percikan api yang keluar dari nyala api serta pergi menjauh pada akhirnya segera menjadi abu dan debu gelap. Tentu saja, setiap orang pada dasarnya adalah Atma, namun, dengan bergerak menjauh dari kesadaran kenyataan Atma, seseorang menurunkan nilainya menjadi abu atau debu hitam. Ketika pikiranmu berkisaran sekitar keinginanmu untuk mencapai Prashanti (kedamaian tertinggi), ketika perbuatanmu diarahkan oleh aturan yang ditetapkan untuk mencapai hal itu, ketika perkataanmu lembut, manis, dan diliputi dengan kasih, engkau bisa dan tanpa gagal untuk menikmati kehangatan dari nyala pelita ini. Sering, ketika engkau mengamati perbukitan di sekitar Prasanthi Nilayam, engkau dapat melihat, khususnya di musim panas, seberkas cahaya dengan cepat merambat ke atas. Hal ini terjadi karena tumbuh-tumbuhan yang terbakar oleh api. Engkau dapat melihat cahaya dari kejauhan, namun engkau tidak bisa menikmati kehangatannya. Begitu juga, engkau hanya melihat Sai Baba; engkau tidak mendapatkan karunia yang Beliau siap berikan. Alasannya adalah – engkau tidak mendedikasikan semua pikiran, perkataan dan perbuatanmu kepada Swami! (Divine Discourse, May 1981)

-BABA