Monday, July 30, 2018

Thought for the Day - 30th July 2018 (Monday)

Krodha (anger) is a deadly poison. It affects others by its fumes, manifested through the eye, the tongue and the hands. The seed of a poison tree sprouts into a poisonous plant and when it becomes a big tree, its leaves, flowers and fruits will also certainly be poisonous. So too, the person addicted to anger can only emanate poison, through thought, word and deed. An angry thought is like a pebble thrown into the calm waters of the Manasa-sarovar (Lake of the Mind) present inside man. It creates a circular effect which spreads through the entire lake. Anger is very injurious to the progress of youth. Strive by all means to prevent the poison entering your mental make-up. Cultivate love, kindliness, the spirit of service, and encourage all thoughts of cooperation with others. See the Divinity in each one, as you must see it in your own selves.


Krodha (amarah) adalah racun yang mematikan. Amarah mempengaruhi yang lain dengan bau busuknya, terwujud melalui mata, lidah, dan tangan. Benih dari pohon beracun ini berkembang menjadi sebuah tanaman beracun dan ketika menjadi sebuah pohon besar maka daun, bunga, dan buahnya juga pastinya beracun. Begitu juga, mereka yang kecanduan dan suka marah dapat mengeluarkan racun melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan. Pikiran yang marah adalah seperti sebuah batu kerikil yang dilempar ke dalam air yang tenang dari Manasa-sarovar (danau pikiran) yang ada dalam diri manusia. Hal ini akan menciptakan dampak yang bersifat tidak berujung pangkal menyebar ke seluruh danau. Amarah adalah sangat berbahaya bagi kemajuan pemuda. Berusahalah dengan segala daya dan upaya untuk mencegah racun memasuki keadaan batinmu. Tingkatkan kasih sayang, kebaikan hati, semangat melayani, dan mendorong semua pikiran dalam bekerjasama dengan yang lain. Pandang Tuhan dalam setiap orang seperti halnya engkau harus melihatnya dalam dirimu sendiri. (Divine Discourse, Dec 7, 1978)

-BABA

Sunday, July 29, 2018

Thought for the Day - 29th July 2018 (Sunday)

Man is a mixture of daiva, danava and manava (god, demon and man). The wickedness of the danava nature can be overcome by daya (the quality of mercy and charity), sympathy and the feeling of fellowship; the pride of the daiva aspect can be overcome by dama (self-control), detachment, and renunciation; the egoism of the manava aspect can be overcome by following dharma prescribed by the impartial sages who have been purified by penance, and by canalising their instincts and impulses into fruitful fields. When these three are thus sublimated, manava (man) is transformed into Madhava (God). Each one must take up this process of purification, by discovering his faults and failings and realise the road to success. If you have daya, dama and dharma (sympathy, self-control and righteousness), that will take you beyond the realm of the three qualities of the mind; there is no need then for getting a Name or mantra from the Guru and repeating it.


Manusia adalah campuran dari daiva, danava, dan manava (Tuhan, raksasa, dan manusia). Sifat jahat yang ada pada danava dapat diatasi dengan daya (sifat belas kasihan dan kemurahan hati), simpati dan perasaan persahabatan; aspek kebanggaan yang ada pada daiva dapat diatasi dengan dama (pengendalian diri), tanpa keterikatan dan meninggalkan kemelekatan; aspek egoisme yang ada dalam manava dapat diatasi dengan menjalankan dharma yang dijelaskan oleh guru suci yang adil yang telah disucikan melalui olah tapa dan mengarahkan insting dan dorongan hati mereka pada bidang yang bermanfaat. Ketika ketiga bagian ini dihaluskan maka manava (manusia) diubah menjadi Madhava (Tuhan). Setiap orang harus mengambil proses penyucian ini, dengan mencari kesalahannya dan kelemahannya sendiri serta menyadari jalan menuju keberhasilan. Jika engkau memiliki daya, dama, dan dharma (simpati, pengendalian diri, dan kebajikan), itu akan membawamu melampaui jangkauan dari tiga sifat pikiran; tidak ada perlu lagi untuk mendapatkan nama suci atau mantra dari Guru dan mengulang-ulanginya. (Divine Discourse, Jul 24, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 28th July 2018 (Saturday)

Once you have secured a Guru, leave everything to him, even the desire to achieve liberation. He knows you more than you yourself ever can. He will direct you as much as is good for you. Your duty is only to obey and to smother the tendency to drift away from Him. There is no need then for getting a Name or mantra from the Guru and repeating it. The command of the Guru or the Lord is even more important than the Name of the Guru or the Name of the Lord. Of what use is the repetition of the Name, without at the same time purifying the impulses by the observance of His commands. You must make the best use of the Guru, as you must of this Puttaparthi itself. You must acquire here the skills for winning shanti and santosha (peace of mind and bliss), the grace of God, the lessons of spiritual practices, and the fruits of satsang (company of the holy); do not fritter away your energy and time, seeking sensory satisfaction in ungodly company.


Sekali engkau telah mendapatkan seorang Guru, serahkan segala sesuatu kepadanya, bahkan keinginan untuk mendapatkan kebebasan. Guru mengetahuimu lebih daripada dirimu sendiri. Beliau akan mengarahkanmu sebanyak mungkin untuk kebaikanmu. Kewajibanmu adalah hanya dengan mematuhi dan menahan kecenderungan kehilangan hubungan dengan-Nya. Adalah tidak ada gunanya kemudian mendapatkan sebuah nama suci atau mantra dari Guru dan mengulang-ulangnya. Perintah dari Guru atau Tuhan adalah bahkan lebih penting daripada nama Guru atau nama Tuhan. Apakah gunanya mengulang-ulang nama sucinya, di saat bersamaan tanpa menyucikan dorongan hati dengan mematuhi perintah-Nya. Engkau harus memanfaatkan Guru dengan sebaik-baiknya, seperti halnya Puttaparthi sendiri. Engkau harus mendapatkan keahlian untuk bisa mendapatkan shanti dan santosha (kedamaian pikiran dan kebahagiaan), rahmat Tuhan, hikmah dari latihan spiritual, dan buah dari satsang (pergaulan dengan orang suci); jangan membuang-buang energi dan waktumu, dengan mencari kepuasan indria dalam pergaulan yang tidak bermanfaat. (Divine Discourse, Jul 24, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 27th July 2018 (Friday)

This day is called Vyasa Poornima. It is a holy day which must be celebrated with prayer and contrition. That alone can cleanse the heart, not feasting or fasting, which affect only the body. The fact that Sage Vyasa is associated with this day or that Lord Rama or Krishna is connected with some other day is merely an opportunity to mark the day as outstandingly important, when something holy has to be done. It is a full moon today, when the moon shines without any hindrance; when moonlight is bright, cool and full. The mind of man is compared to the moon, for it is as wayward as the moon with its swing from brightness to darkness; this day, the mind too has to be bright, effulgent and cool. Sage Vyasa is the Lokaguru (teacher to the entire world): he is Divine Effulgence. But, even Vyasa can only show you the road. You have to traverse it alone.


Hari ini disebut dengan Vyasa Poornima. Ini adalah hari suci yang mana harus dirayakan dengan doa dan penyesalan yang mendalam. Hanya itu yang dapat membersihkan hati, bukan dengan pesta atau puasa yang mana hanya berdampak pada tubuh saja. Fakta bahwa Resi Vyasa dihubungkan dengan hari ini atau dimana Sri Rama atau Sri Krishna dihubungkan dengan beberapa hari lainnya adalah sebagai sebuah kesempatan untuk menandai hari sebagai hari yang sangat sangat penting, saat dimana hal yang suci dilakukan. Hari ini adalah bulan purnama, ketika bulan bersinar tanpa adanya halangan; ketika cahaya bulan cemerlang, sejuk dan penuh. Pikiran manusia dibandingkan dengan bulan, karena pikiran tidak patuh sama halnya dengan bulan yang bergerak dari terang menuju gelap; hari ini, pikiran juga harus menjadi cemerlang, bersinar, dan sejuk. Resi Vyasa adalah sebagai Lokaguru (guru bagi seluruh dunia): beliau adalah pancaran sinar Tuhan. Namun, Resi Vyasa hanya bisa menunjukkan jalannya kepadamu. Engkau harus melintasi jalan itu sendiri. (Divine Discourse, Jul 24, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 26th July 2018 (Thursday)

See God in everyone you meet; see God in everything you handle. His Mystery is immanent in all that is material and non-material; as a matter of fact, it has been discovered that there is no matter or material. It is all God, an expression of His Mystery! Derive joy from the springs of joy within you and without you; advance, do not stand still or recede. Every minute must mark a forward step. Rejoice that it is given to you to recognise God in all. Welcome all chances to sing His Glory, to hear His chronicle, and to share His presence with others. God has His hands in all handiworks, His feet on all altitudes, His eyes beyond all horizons, and His face before every face. The Kalpavriksha (Wish-fulfilling tree) in the human heart is being suffocated by wild greenery and bushy briars. Remove this stifling undergrowth and the tree will grow and yield fruit.


Lihat Tuhan dalam diri setiap orang yang engkau temui; lihat Tuhan dalam segala sesuatu yang engkau tangani. Misteri Tuhan adalah tetap ada dalam semuanya baik itu bersifat material dan non-material; sebagai sebuah fakta, telah ditemukan bahwa tidak ada yang bersifat zat atau material. Semuanya adalah Tuhan, sebuah ungkapan dari misteri-Nya! Dapatkan suka cita dari sumber-sumber suka cita di dalam serta di luar dirimu; kembangkan, jangan berdiri diam atau mundur. Setiap menit harus menandakan sebuah langkah maju. Bergembiralah bahwa diberikan kepadamu untuk mengetahui Tuhan dalam semuanya. Sambutlah semua kesempatan untuk melantunkan kemuliaan-Nya, untuk mendengarkan kisah-Nya dan untuk berbagi kehadiran-Nya dengan yang lain. Tuhan memiliki tangan-Nya dalam semua hasil karya, kaki-Nya dalam semua ketinggian, mata-Nya yang melampaui semua horison, dan wajah-Nya dihadapan setiap wajah. Kalpavriksha (pohon pemberi keinginan) dalam hati manusia sedang dicekik oleh tumbuhan hijau yang liar dan semak yang berduri. Hilangkan semak yang menyesakkan ini dan pohon akan tumbuh serta menghasilkan buah. (Divine Discourse, Mar 9, 1968)

-BABA

Thought for the Day - 25th July 2018 (Wednesday)

Some people today do not do any physical exercises and lead a sedentary life. My advice to office-goers and students is that it is good for them to commute by cycle at least five or six kilometers a day. This cycling exercise is very useful to maintain your good health and to reduce your expenses on automobiles. Another big advantage is to avoid accidents and reduce atmospheric pollution caused by the release of harmful fumes from automobiles. The carbon-dioxide smoke from motor vehicles and factories is already polluting the air in cities and affecting the ozone layer above the earth. All the five elements are affected immensely by pollution today. Hence you should try to reduce the use of automobiles and control the emission of harmful industrial effluents. You should always act in harmony with Nature, which is reflection of Divinity. Your primary task now is to purify the environment you live in.


Beberapa orang hari ini tidak melakukan latihan fisik dan menjalani hidup yang tidak banyak bergerak. Saran-Ku kepada pegawai kantor dan pelajar adalah bagus bagi mereka untuk pulang pergi dengan mengayuh sepeda setidaknya lima atau enam kilometer per hari. Latihan bersepeda ini sangat berguna untuk menjaga kesehatanmu dan untuk mengurangi pengeluaranmu dalam penggunaan mobil. Keuntungan besar lainnya adalah untuk menghindari kecelakaan dan mengurangi polusi atmosfer yang disebabkan oleh pelepasan asap yang berbahaya dari mobil. Asap karbondioksida dari kendaraan bermotor dan pabrik sudah mencemari udara di kota dan mempengaruhi lapisan ozon di atas bumi. Semua kelima unsur sangat terpengaruh oleh polusi hari ini. Oleh karena itu engkau seharusnya mencoba untuk mengurangi penggunaan mobil dan mengendalikan emisi limbah industri yang berbahaya. Engkau seharusnya selalu berbuat selaras dengan alam, yang merupakan pantulan dari Tuhan. Tugasmu yang utama sekarang adalah menyucikan lingkungan tempat engkau tinggal. (Divine Discourse, Feb 6, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 24th July 2018 (Tuesday)

Nature is a great store, where all things that help you grasp the truth are found. That truth is first cognised as, “All this is imbued with Brahman (Divinity), directed by and composed of Brahman (Sarvam Brahma Mayam)!” Then the seeker rises to a greater awareness of, “All this is Brahmam (Sarvam Brahmam),” only it appears as something else for a time to the unopened eyes! The final state is one where there is not even an, “All this (Sarvam)” to be posited as Brahman; there is just Brahman: the one and only. This lesson is learnt by people when they study Nature, analysing it and trying to understand it. It is at the mother’s lap that the child learns the art of living; so also it is Nature (Prakriti) that teaches one how to succeed in the hard struggle and win supreme peace (Prasanthi). Break the laws of Nature, and she boxes you in the ear; obey her commands and listen to her warnings, and she will pass on to you your heritage of immortality.


Alam adalah toko yang sangat besar, dimana semua hal yang akan membantumu dalam memahami kebenaran ditemukan. Kebenaran itu pertama kali dikenali sebagai, “Semuanya ini dijiwai dengan Brahman (keilahian), diarahkan dan terdiri dari Brahman (Sarvam Brahma Mayam)!” kemudian peminat spiritual terangkat pada kesadaran yang lebih tinggi yaitu, “Semuanya ini adalah Brahmam (Sarvam Brahmam),” hal ini hanya nampak sebagai sesuatu yang lain untuk beberapa waktu bagi mata yang belum terbuka! Tahap terakhir adalah dimana bahkan tidak ada yang tidak diliputinya, “Semuanya ini (Sarvam)” sebagai fakta adalah Brahman; hanya ada Brahman: satu-satunya. Ini adalah hikmah yang dipelajari oleh mereka yang mempelajari alam, menganalisanya dan mencoba untuk memahaminya. Alam adalah pangkuan ibu dimana anak-anak belajar seni kehidupan; begitu juga alam (Prakriti) yang mengajarkan seseorang bagaimana untuk berhasil dalam perjuangan yang berat dan memenangkan kedamaian yang tertinggi (Prasanthi). Melawan hukum alam dan ibu pertiwi akan menghukummu; patuhi perintahnya dan dengarkan peringatannya dan beliau akan menyampaikanmu warisan keabadian. (Divine Discourse, Jun 3,1962)

-BABA

Thought for the Day - 23rd July 2018 (Monday)

The atheists (nastikas) are afflicted with a fever that spoils their sense of taste; they find everything bitter. A believer (astika) feels the taste as is: bitter as bitter, sour as sour, sweet as sweet. But the person of realisation (yastika) experiences all life events as sweet, filled with the Lord’s Grace. Prahlada was such a person; he was beaten, trampled upon, and cast into fire and water, but he tasted only sweetness at all times. He overcame every calamity with the reinforcement derived from the name Narayana in the heart. There is a secret spring in the heart that will well up when the name is uttered and that will slake your thirst. When in difficulty, pray for His guidance before jumping in any direction. Humans advice only as far as their cleverness goes, but the Lord will reveal to you the way out of every dilemma. Ask the Lord directly and He will not only answer you but also redeem you!


Kaum atheis (nastika) menderita demam yang merusak rasa selera mereka; mereka menemukan segalanya pahit. Seorang beriman (astika) merasakan rasanya seperti: pahit sebagai pahit, asam sebagai asam, manis sebagai manis. Tetapi orang yang dalam kesadaran Tuhan (yastika) mengalami semua peristiwa kehidupan yang manis, dipenuhi dengan berkat Tuhan. Prahlada adalah orang seperti itu; dia dipukuli, diinjak-injak, dan dilemparkan ke api dan air, tetapi setiap saat dia hanya merasakan manisnya. Dia mengatasi setiap malapetaka dengan penguatan yang berasal dari nama Narayana di dalam hati. Ada pegas rahasia di dalam hati yang akan terangkat ketika nama itu diucapkan dan itu akan memuaskan hausmu. Ketika dalam kesulitan, berdoalah untuk memohon bimbingan-Nya sebelum melompat ke segala arah. Manusia hanya dapat menggunakan akalnya sejauh kepandaian mereka, tetapi Tuhan akan mengungkapkan kepadamu jalan keluar dari setiap dilema. Tanyakan kepada Tuhan secara langsung dan Dia tidak hanya akan menjawabmu tetapi juga membebaskanmu! (Divine Discourse, Mar 10, 1962)

-BABA

Thought for the Day - 22nd July 2018 (Sunday)

Women, who were the bulwarks of Indian culture, the guardians of ancient spiritual wealth, are fast succumbing to flimsy attractions of foppish culture, as is evident from the modes of living and social behaviour of present times. This is the result of the artificial and empty system of education, as well as the subtle pulls of cheap literature and shoddy films. Today’s young women are the mothers and teachers of the generation of leaders to come. Everyone must respect their five Mothers: Deha mata, the mother who gave birth to you; Go mata, the cow that gives sustaining milk; Bhu mata, the land that grows the crops; Desha mata, your motherland that gives protection, care, love, rights and chances to serve and elevate yourself to great heights, and Veda mata, the spiritual treasure that reveals the purpose of life and leads you to Self-Realization. The Deha mata must reveal to the child the glories of all the others; so her responsibility is the greatest and most crucial.


Perempuan, yang merupakan benteng dari budaya India, penjaga kekayaan spiritual kuno, cepat mengalah pada budaya yang suka berdandan, seperti yang terlihat dari cara hidup dan perilaku sosial saat ini. Ini adalah hasil dari sistem pendidikan yang artifisial dan kosong, begitu juga dengan lekukan halus sastra murahan dan film-film yang mutunya rendah. Wanita muda saat ini adalah ibu dan guru generasi pemimpin yang akan datang. Setiap orang harus menghormati lima ibu mereka: Deha Mata, ibu yang melahirkanmu; Go mata, sapi yang memberi susu segar; Bhu mata, tanah yang menumbuhkan tanaman; Desha mata, tanah air yang memberi perlindungan, perhatian, cinta, hak, dan peluang untuk melayani dan mengangkat dirimu ke ketinggian, dan Veda mata, harta spiritual yang mengungkapkan tujuan hidup dan menuntunmu menuju Realisasi-Diri. Deha mata harus memberitahukan kepada anak-anak semua kemuliaan yang lainnya; jadi tanggung jawabnya adalah yang terbesar dan paling penting. (Divine Discourse, Jul 22, 1968)

-BABA

Friday, July 27, 2018

Thought for the Day - 21st July 2018 (Saturday)

Atma vidya (science of the Self) alone can fix the mind in Dharma. The students here will be given a glimpse of that Atma vidya; they will develop a keen desire to know about it. It is that knowledge and desire that will stand them in good stead when they encounter the problems of life. Prahlada told his father, "the father who leads his son to God is the only father who deserves the reverence due to that role." Fathers who lead their sons into the vortex of sense pleasure, the volcanoes of physical passion, the boggy marsh of pride and pomp are unaware of their duties and responsibilities. So too, an educational system that keeps children away from God - the only refuge, the only kinsman, the only guide and guard - is really a system where the blind are engaged in blinding those who depend on them.


Atma vidya (pengetahuan tentang diri sejati) saja yang dapat memperbaiki pikiran dalam Dharma. Pelajar disini akan diberikan sebuah pandangan tentang Atma vidya; mereka akan mengembangkan sebuah keinginan yang kuat untuk mengetahui tentang ini. Atma Vidya adalah pengetahuan dan keinginan itu yang akan memberikan mereka manfaat yang baik ketika mereka menghadapi masalah hidup. Prahlada berkata kepada ayahnya, "Ayah yang menuntun putranya kepada Tuhan adalah ayah satu-satunya yang layak dihormati akan peran itu." Ayah yang menuntun putranya pada pusaran kesenangan indria,  gunung berapi dari gairah fisik, lumpur rawa dari kesombongan, dan kebanggaan yang tidak menyadari tugas serta tanggung jawab mereka. Begitu juga, sistem Pendidikan yang tetap membuat anak-anak jauh dari Tuhan – yang merupakan satu-satunya tempat perlindungan dan sahabat, satu-satunya penuntun dan penjaga – adalah benar-benar sebuah sistem dimana seseorang yang buta terlibat dalam membutakan mereka yang tergantung padanya. (Divine Discourse, Jul 22, 1968)

-BABA

Friday, July 20, 2018

Thought for the Day - 20th July 2018 (Friday)

Love exists for love and nothing else; it is spontaneous and imparts delight. Love sees with the heart, not eyes. It listens not through ears but with tranquility of your heart. It speaks not with tongue but using compassion. Love has many synonyms – compassion and kindness also mean Love. Love can emanate only from the heart and not any other source. Love is immortal, nectarous, blissful and infinite. A heart filled with love is boundless. Just as rivers with different names merge in the ocean and become one with it, love in many forms enters the ocean of your heart and merges with it. Your thoughts, words and looks should be filled with love. This is divine love. One saturated with divine love can never be subject to suffering. People today are affected by praise or blame. But those filled with divine love transcend praise or censure. They are unaffected by criticism or flattery, and treat joy and sorrow, profit and loss, victory and defeat, alike.


Cinta kasih ada untuk kasih dan tidak ada yang lainnya; kasih bersifat spontan dan memberikan kegembiraan. Kasih melihat dengan hati dan bukan dengan mata fisik. Kasih tidak mendengar melalui telinga namun dengan kedamaian hatimu. Kasih tidak berbicara dengan lidah namun dengan menggunakan welas asih. Kasih memiliki banyak sinonim (persamaan arti) – welas asih dan kebaikan juga berarti kasih. Kasih hanya dapat muncul dari hati dan bukan dari sumber yang lainnya. Kasih adalah bersifat kekal, terasa nikmat seperti nektar, penuh kebahagiaan, dan tidak terbatas. Hati yang diliputi dengan kasih adalah tanpa batas. Seperti halnya sungai dengan nama yang berbeda menyatu di lautan dan menjadi satu dengannya, kasih dengan banyak bentuk memasuki lautan hatimu dan menyatu dengannya. Pikiran, perkataan, dan pandanganmu seharusnya diliputi dengan kasih. Ini adalah kasih Tuhan. Sekali seseorang dipenuhi dengan kasih Tuhan tidak akan pernah bisa mengalami penderitaan. Manusia saat sekarang dipengaruhi oleh pujian atau celaan. Namun mereka diliputi dengan kasih Tuhan melampaui pujian atau celaan. Mereka tidak terpengaruh dengan kritikan atau pujian berlebihan dan memperlakukan suka cita dan penderitaan, keuntungan dan kerugian, kemenangan dan kekalahan adalah sama. (Divine Discourse, Dec 25, 1995)

-BABA

Thought for the Day - 19th July 2018 (Thursday)

You insure life because you are not quite sure of it, isn't it? To assure yourselves of a comfortable life, you are persuaded to insure and pay premia. But God alone can guard you against the terror of death. You can derive happiness by controlling and conquering the mind and the senses. Iron and steel are produced in blast furnaces, where ore is melted and other components are added. The molten iron is carried in pails by cranes and poured by ladles. Though the ladle handles heat, it is immune to it. The crane holds other materials, but does not hold itself! The mind is like that. It holds, it manipulates, it handles all other things but it cannot carry itself or manipulate and transmute itself! The mind cannot hold the holder, that is to say, the Inner Motivator, God. So in order to save yourselves from the waywardness of the mind and its minions, you have to hold on to the 'Holder’.


Engkau mengasuransikan hidup karena engkau tidak yakin dengan pasti akan hidup, bukan? Untuk memastikan dirimu sendiri tentang hidup yang nyaman, engkau dibujuk untuk mengasuransikan dan membayar preminya. Namun hanya Tuhan saja yang dapat menjagamu terhadap teror kematian. Engkau bisa mendapatkan kebahagiaan dengan mengendalikan dan menaklukkan pikiran serta indria. Besi dan baja diproduksi dalam dapur suhu tinggi, dimana bijih besi dilelehkan dan komponen yang lainnya ditambahkan. Besi yang meleleh dibawa dalam ember oleh derek dan dituangkan dengan sendok besar. Walaupun sendok besar itu harus bersentuhan dengan panas, namun sendok itu tahan terhadap panas. Derek memegang material yang lain namun tidak memegang dirinya sendiri! Pikiran adalah seperti itu. Pikiran yang memegang, menggunakan dan menangani semua hal yang lain namun pikiran tidak bisa membawa dirinya sendiri atau menggunakan dan mengubah dirinya. Pikiran tidak bisa berpegang pada pemegangnya, motivator di dalam yaitu Tuhan. Jadi dalam upaya untuk menyelamatkan dirimu sendiri dari ketidakpatuhan pikiran dan kaki tangannya, engkau harus berpegang pada ‘sang pemegang’.  (Divine Discourse, Mar 11, 1968)

-BABA

Thursday, July 19, 2018

Thought for the Day - 18th July 2018 (Wednesday)

Divinity is in everyone and everywhere. You may not see Him with your physical eye, but you can visualise Him with your inner vision. Air exists, you cannot deny this even though you cannot see it or catch it. When it is hot, you can experience coolness either by using a hand fan or an electric fan. Air has not come from the fan. But whoever uses the fan receives and feels the air. Similarly God exists like air. The intellect is the fan. If you turn it toward Atma, you get Atmananda (Atmic bliss). On the other hand, you turn it towards the body, and you get temporary bodily pleasure. For crossing the ocean of life, you cannot depend on the body which is perishable and transient. It is indeed full of dirt and filth, flesh and bones. Hence you must surrender to the Divine within. Once you have God to help you, there is nothing that you cannot achieve.


Tuhan adalah ada dalam setiap orang dan setiap tempat. Engkau mungkin tidak bisa melihat-Nya dengan mata fisikmu, namun engkau dapat membayangkan-Nya dengan pandangan batinmu. Udara ada, engkau tidak bisa menyangkalnya walaupun engkau tidak bisa melihat atau menyentuhnya. Ketika cuaca panas, engkau dapat merasakan kesejukan dengan menggunakan kipasan tangan atau kipas listrik. Udara tidak datang dari kipas. Namun siapapun menggunakan kipas mendapatkan dan merasakan udara. Sama halnya Tuhan hadir seperti udara. Kecerdasan adalah kipas. Jika engkau mengarahkannya pada Atma, engkau mendapatkan Atmananda (kebahagiaan Atma). Sebaliknya, engkau mengarahkan kecerdasan pada badan, dan engkau mendapatkan kesenangan badan yang sementara. Untuk dapat menyeberangi lautan kehidupan, engkau tidak bisa bergantung pada tubuh yang dapat hancur dan sementara. Tubuh sejatinya penuh dengan kotoran dan jorok, daging dan tulang. Oleh karena itu engkau harus berserah kepada Tuhan di dalam diri. Sekali engkau mendapatkan bantuan dari Tuhan, tidak ada apapun yang engkau tidak bisa capai. (Divine Discourse, Apr 29, 1998)

-BABA

Tuesday, July 17, 2018

Thought for the Day - 17th July 2018 (Tuesday)

Ancient sages who experienced the fragrance of the Divine searched for the form. They sought Him in forests and bushes. They had renounced everything and made a lot of sacrifices, still they could not find the source. Some even gave up midway, being satisfied with the fragrance that they had experienced. But others, with relentless determination, were able to find the flower eventually. There were yet others who could not experience the fragrance itself due to ‘severe cold’, and were termed atheists. Even though they had the nose they could not experience the fragrance of divine Bliss; they indeed are the unfortunate ones. But those who were able to experience this bliss exclaimed in ecstasy, “Vedahametham Purusham Mahantam (We have realised the Supreme Personality of the Godhead).” How is one to realise this? In every human being, the bliss or Ananda emanates from the heart, just as fragrance from a flower. The heart truly is complete and full.


Guru suci zaman dulu yang mengalami keharuman pencarian wujud Tuhan. Mereka mencari Tuhan di hutan dan semak-semak. Mereka telah melepaskan segalanya dan melakukan banyak pengorbanan namun mereka masih tidak bisa menemukan sumbernya. Beberapa bahkan menyerah di tengah jalan, telah puas dengan keharusan yang telah mereka alami. Sedangkan yang lain, dengan keteguhan hati yang tidak kenal lelah, akhirnya mampu menemukan bunga itu. Ada beberapa yang lain tidak bisa mengalami serta mencium wangi harum karena ‘pilek yang berat’, dan disebut dengan ateis. Walaupun mereka memiliki hidung namun mereka tidak mampu mengalami serta mencium wangi harum kebahagiaan ilahi; mereka sesungguhnya adalah yang tidak beruntung. Namun bagi mereka yang mampu mengalami kebahagiaan ini menyatakan dalam penuh kebahagiaan, “Vedahametham Purusham Mahantam (Kami telah menyadari perwujudan yang tertinggi dari Tuhan).” Bagaimana seseorang bisa menyadari hal ini? Dalam setiap manusia, kebahagiaan atau Ananda muncul dari dalam hati, sama seperti halnya wangi harum pada bunga. Hati sejatinya adalah sempurna dan penuh. (Divine Discourse, Apr 29, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 16th July 2018 (Monday)

A single household now has ten factions and parties. Those who cannot reform their own homes have started reforming the country and are advising others about cooperation and harmonious living. Knowledge of the Atma as the very basis of all beings is now forgotten, and that is the cause for all the unrest, confusion, and moral crisis today! Decline in the discipline of constant thought of the Lord (namasmarana) is the root-cause of the decline of this country. It is to awaken the sleeping and communicate this message to them that God descends. If anyone calls you weak, do not believe it. You have intelligence, discipline, spiritual capacity, consciousness of others’ excellences, awareness of your faults, and eagerness to improve yourself — then how can you be called weak? Remember, a prayerful life will not yield to the fury of passion; it will be a source of strength and cooperation. I bless that all of you may have lives full of joy and peace.


Satu rumah tangga sekarang memiliki sepuluh golongan dan partai. Mereka yang tidak bisa membenahi rumahnya sendiri telah mulai mencoba membenahi bangsa dan menasihati yang lainnya tentang kerjasama dan hidup yang harmonis. Pengetahuan tentang Atma adalah dasar dari semua makhluk hidup yang sekarang telah dilupakan, dan itu adalah penyebab dari semua kegelisahan, kebingungan, dan krisis moral hari ini! Kemunduran dalam disiplin selalu mengingat Tuhan (namasmarana) adalah akar penyebab kemerosotan di negara ini. Adalah untuk membangunkan yang tertidur dan menyampaikan pesan ini kepada mereka bahwa Tuhan telah turun. Jika siapapun juga yang menyebutmu lemah, jangan mempercayainya. Engkau memiliki kecerdasan, disiplin, kapasitas spiritual, kesadaran akan keunggulan yang lain, kesadaran akan kesalahanmu sendiri, dan hasrat untuk meningkatkan diri sendiri — kemudian bagaimana engkau dapat disebut dengan lemah? Ingatlah, sebuah kehidupan yang penuh dengan doa tidak akan menghasilkan amukan nafsu; ini akan menjadi sumber dari kekuatan dan kerjasama. Aku memberkati bahwa semua darimu memiliki hidup penuh dengan suka cita dan kedamaian. (Divine Discourse, Dec 09, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 15th July 2018 (Sunday)

Let Me tell you - the greatest beauty aid for women is virtue! Attach importance to nishta (discipline and steadiness) and not to nashta (breakfast or food)! You can miss food but not discipline. Live a regulated disciplined life from now on; make it a habit and an armour that will protect you from harm. Pray to God and recite His name or meditate on His glory for some fixed period of time every day; you will find it amply rewarding. Don’t say, “Let me have a taste of the reward, and then I shall start the spiritual practice.” Practise, and the experience will follow; it must follow. If you desire that others honour you, you should honour them too. If others must serve you, serve them first. Love begets love; trust engenders trust. Self-aggrandizement and selfishness will bring disaster. As a matter of fact, no joy can equal the joy of serving others.


Biarkan Aku mengatakan kepadamu – bantuan kecantikan yang paling besar bagi wanita adalah sifat baik! Sematkan akan pentingnya nishta (disiplin dan keteguhan) dan bukan pada nashta (sarapan atau makanan)! Engkau dapat melewatkan makanan namun tidak dengan disiplin. Hidup dengan disiplin yang teratur mulai dari saat sekarang dan selanjutnya; jadikan ini sebagai kebiasaan dan sebuah baju besi yang akan melindungimu dari bahaya. Berdoa kepada Tuhan dan lantunkan nama-Nya atau meditasi pada kemuliaan untuk waktu yang tetap setiap harinya; engkau akan mendapatkan banyak pahala. Jangan mengatakan, “Biarkan saja menikmati pahalanya dan kemudian baru saya memulai latihan spiritual.” Latih dan pengalaman akan mengikuti; pahala pasti mengikuti. Jika engkau menginginkan bahwa orang lain menghormatimu, engkau seharusnya menghormati mereka juga. Jika orang lain harus melayanimu, layani mereka terlebih dahulu. Kasih menurunkan kasih; kepercayaan melahirkan kepercayaan. Pembesaran diri dan mementingkan diri akan membawa pada bencana. Sebagai sebuah fakta, tidak ada suka cita yang dapat menyamai suka cita dalam melayani yang lainnya. (Divine Discourse, Dec 09, 1963)

-BABA

Saturday, July 14, 2018

Thought for the Day - 14th July 2018 (Saturday)

What a pitiable fate is this? The little ego in man is fed into a huge conflagration by the mind and the senses, and one is caught in the fire of distress. Egoism makes a person see glory in petty achievements, happiness in trivial acquisitions, and joy in temporary authority over others. But, the Immortal within is awaiting discovery to confer bliss and liberation from birth and death. There is a definite technique by which the Immortal spark can be discovered. Though it may appear difficult, each step forward makes the next one easier and a mind made ready by discipline, in a flash discovers that the Divine is the basis of creation. There is no shortcut to this consummation. You must give up all the impediments you have accumulated so far and become light for the journey. Lust, greed, anger, malice, conceit, envy, hate - all these pet tendencies must be shed.


Sungguh nasib yang menyedihkan ini? Ego yang kecil dalam diri manusia dimasukkan dalam api yang sangat besar oleh pikiran dan indria, dan seseorang terperangkap dalam api penderitaan. Ego membuat seseorang melihat kebesaran dalam pencapaian yang sepele, kesenangan dalam perolehan yang sementara, serta suka cita dalam kekuasaan yang sementara pada yang lainnya. Namun, yang ada dalam diri bersifat abadi sedang menunggu untuk ditemukan agar bisa memberkati dengan kebahagiaan dan kebebasan dari kelahiran dan kematian. Ada teknik tertentu dimana percikan dari keabadian dapat diungkapkan. Walaupun ini mungkin kelihatan sulit, setiap langkah ke depan membuat langkah selanjutnya menjadi lebih mudah dan pikiran dibuat siap dengan disiplin, dan dalam sekejap menemukan bahwa Tuhan adalah dasar dari ciptaan. Tidak ada jalan pintas untuk menuju keberhasilan ini. Engkau harus melepaskan semua rintangan yang engkau telah kumpulkan sejauh ini dan menjadi ringan dalam perjalanan. Nafsu, ketamakan, kemarahan, kesombongan, kedengkian, iri hati, dan kebencian – semuanya binatang kesayangan ini cenderung harus dilenyapkan. (Divine Discourse, Dec 8, 1964)

-BABA

Friday, July 13, 2018

Thought for the Day - 13th July 2018 (Friday)

The search for truth must become your daily spiritual discipline; every moment must be used for this primary duty. Truth can reflect itself in your intelligence only when your intelligence is purified by penance (tapas). Tapas means all acts undertaken with higher motives, all activities indicating yearning for the spirit, repentance for past blunders, staunch determination to adhere to virtue and self-control, and finally, serene equanimity in the face of success or failure. It is tapas that fosters renunciation and discipline. This discipline is essential when the temptations to deviate are so many like it is now. In this iron age, when darkness is enveloping the mind of people, any little lamp that can light the steps is most welcome. That is why I advise you to resort to good deeds, good conduct, and good behaviour (sat-karma, sad-achara and sath-pravartana), so that you are constantly established in the presence of the Lord!


Pencarian kebenaran harus menjadi disiplin spiritual harianmu; setiap momen harus digunakan untuk kewajiban yang utama ini. Kebenaran dapat memantulkan dirinya pada kecerdasanmu hanya ketika kecerdasanmu disucikan oleh penebusan dosa (tapa). Tapa berarti semua perbuatan yang dilakukan dengan niat atau motif yang lebih tinggi, semua aktifitas yang menandakan kerinduan akan jiwa, pertobatan pada kesalahan di masa lalu, tekad yang kuat untuk mematuhi kebajikan dan pengendalian diri, dan pada akhirnya ketenangan hati yang tenang dalam menghadapi keberhasilan atau kegagalan. Adalah tapa yang menumbuhkan tanpa keterikatan dan disiplin. Disiplin ini adalah mendasar ketika godaan untuk menyimpang sangat banyak seperti saat sekarang. Di zaman besi ini, ketika kegelapan menyelimuti pikiran manusia, setiap cahaya kecil yang dapat menerangi langkah adalah sangat ditunggu. Itulah sebabnya mengapa Aku menasihatimu untuk melakukan perbuatan baik, tingkah laku baik dan sikap yang baik (sat-karma, sad-achara dan sath-pravartana), sehingga engkau secara konstan ada dalam kehadiran Tuhan! (Divine Discourse, Nov 23, 1965)

-BABA

Thought for the Day - 12th July 2018 (Thursday)

When you suspect the strength of the foundation of a house, you are afraid to enter it; when you suspect the skill of the manufacturer, you are nervous to ride in the car. The present times have become an age of fear, anxiety and ashanti (absence of peace) because people do not have deep faith in the Creator. Bhishma, Shankara and other Jnanis (wise ones) knew that the Lord is the basis (Aadhara) for all creation and had no fear at all. In recent times, Mahatma Gandhi relied on the Lord's Grace and His Might and won freedom for the Nation. Know that the Lord is the unseen foundation on which your life is built. He is your source, sustenance and strength. Without His Will, no leaf can turn, no blade of grass can quiver. What firmer foundation can you desire than this? Having known the Lord, the Omnipotent Power as the mainspring of your life, you should not fear any more!


Ketika engkau meragukan kekuatan dari pondasi sebuah rumah maka engkau takut masuk ke dalamnya; ketika engkau meragukan keterampilan dari pabrikan maka engkau akan gugup dalam mengendarai mobil. Masa sekarang telah menjadi masa ketakutan, kecemasan, dan ashanti (tidak adanya kedamaian) karena manusia tidak memiliki keyakinan mendalam pada sang Pencipta. Bhishma, Shankara dan Jnani yang lain (mereka yang bijaksana) mengetahui bahwa Tuhan adalah sebagai dasar (Aadhara) untuk semua ciptaan dan tidak memiliki rasa takut sama sekali. Di akhir-akhir ini, Mahatma Gandhi bergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan-Nya dan memenangkan kemerdekaan bagi bangsa. Ketahuilah bahwa Tuhan adalah pondasi yang tidak terlihat dimana hidupmu dibangun diatasnya. Tuhan adalah sumber, penopang, dan kekuatanmu. Tanpa kehendak-Nya, tidak ada daun yang dapat berputar, tidak ada rumput yang bisa bergetar. Apa pondasi yang lebih kuat yang dapat engkau inginkan daripada ini? Setelah mengetahui Tuhan, kekuatan yang Maha Kuasa sebagai sumber utama kehidupanmu, engkau seharusnya tidak merasa takut lagi! (Divine Discourse, Dec 8, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 11th July 2018 (Wednesday)

In a vessel filled with some water, when the vessel moves, water also moves. If the vessel is steady, the water will also be steady and you can see your own image! But if the water shakes, your image too shakes. Similarly to meditate, you must keep your body still. Your body is like the vessel, and your mind is the water inside. If your body moves, your mind inside will be agitated. Therefore control your mind and make it steady by keeping your back straight and body steady. The Kundalini power travels from Mooladhara, at the base of the spinal column, to the Sahasrara, thousand-petalled energy centre, in the crown of the head. Therefore, head, neck and body must be straight, with no bends. This is extremely important for students and seekers. I often ask students, "Why do you study? To become steady!" From young age, keep your body under control, you can achieve very useful things in life!


Dalam sebuah wadah terisi dengan air, dan ketika wadah itu bergerak maka air di dalamnya juga bergerak. Jika wadah itu tidak bergoyang maka air di dalamnya juga tidak bergoyang dan engkau bisa melihat bayanganmu sendiri dalam air itu! Namun jika air itu bergoyang, maka bayanganmu dalam air itu juga bergoyang. Sama halnya dalam meditasi, engkau harus menjaga tubuhmu tetap tenang. Tubuhmu adalah seperti wadah, dan pikiranmu adalah seperti air di dalam wadah itu. Jika tubuhmu bergerak, pikiranmu di dalam juga akan tidak tenang. Maka dari itu kendalikan pikiranmu dan buatlah pikiran menjadi tenang dengan menjaga tulang belakangmu tetap lurus dan tubuhmu juga tenang. Kekuatan dari Kundalini bergerak dari Mooladhara yang ada di dasar dari tulang belakang menuju Sahasrara yaitu energi terpusat dengan ribuan kelopak di ubun-ubun kepala. Maka dari itu, kepala, leher, dan tubuh harus tegap, dan tidak membungkuk. Hal ini sangatlah penting bagi para pelajar dan peminat spiritual. Aku sering bertanya kepada para murid, "Mengapa engkau belajar? Untuk menjadi mantap dan kokoh!" Mulai dari usia muda, tetap jaga tubuhmu dan engkau bisa mencapai hal-hal yang sangat berguna dalam hidup! (Divine Discourse, Sep 12, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 10th July 2018 (Tuesday)

Today the spiritual exercises are confined to listening to talks and not to practising the teachings. Listening has become a kind of disease. Merely after listening, people go about bragging that they know everything. This crazy boastfulness is deepening people's ignorance. One should ruminate over what has been heard. After rumination, one should do Nididhyasana (put into practice the lessons). Only then there is the triple purity of thought, word and deed. Today people are content with mere listening to discourses. This will not lead to Realisation. The practice of Nama Likhita Japam (repeated writing of the Lord’s Name as a spiritual exercise) promotes harmony in thought, word and deed (first think of the Lord’s Name, then utter it and write). All these three processes should be carried out only with a pure heart.


Hari ini latihan spiritual dikurung dalam bentuk mendengarkan ceramah dan bukan menjalankan ajarannya. Mendengarkan telah menjadi sebuah penyakit. Hanya mendengarkan saja membuat seseorang menjadi membual bahwa mereka mengetahui segalanya. Kesombongan yang gila ini memperdalam kebodohan seseorang. Seseorang seharusnya merenungkan apa yang telah didengarnya. Setelah perenungan, seseorang seharusnya melakukan Nididhyasana (mempraktikkan ajarannya). Hanya dengan demikian ada kesucian dalam ketiganya yaitu kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hari ini orang-orang puas hanya dengan mendengarkan ceramah. Hal ini tidak akan menuntun pada kesadaran. Jalankan Nama Likhita Japam (mengulang-ulang dalam menulis nama Tuhan sebagai latihan spiritual) meningkatkan kesatuan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (pertama pikirkan nama Tuhan, kemudian mengucapkannya dan menuliskannya). Semua ketiga proses ini hanya dilakukan dengan kemurnian hati. (Divine Discourse, Oct 7, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 9th July 2018 (Monday)

These days when one goes on a picnic, one takes a mirror, a comb and a handkerchief. Why do people keep them? While travelling, wind may blow their hair out of place, so they use a mirror and comb to tidy it. These help you look beautiful. Similarly, don’t you need a few tools to correct the disturbed beauty of your mind? Just as your mirror tells you whether your hair is disheveled or not, the utility of devotion reveals the state of your mind! With this clean mirror, it will be easy to see whether there is impurity in the mind or not. When we recognise that the mind is disturbed, we must correct it immediately and to do so, we need the comb of wisdom! Detachment (Vairagyam) is the cloth that wipes the dirt from our heart. As you journey along life, wherever you are, always carry the virtues of devotion, wisdom and detachment.


Hari-hari ini ketika seseorang pergi piknik, maka dia akan membawa cermin, sisir, dan sapu tangan. Mengapa mereka membawa semuanya itu? Saat dalam perjalanan, angin yang berhembus dapat merusak rambut mereka jadi mereka menggunakan sebuah cermin dan sisir untuk merapikannya. Dengan bantuan benda-benda ini maka engkau kelihatan cantik kembali. Sama halnya, tidakkah engkau memerlukan beberapa alat untuk memperbaiki keindahan pikiran yang terganggu? Seperti halnya cermin yang menyatakan bahwa apakah rambutmu kusut atau tidak, bhakti adalah alat untuk mengungkapkan keadaan pikiranmu! Dengan cermin yang bersih ini, adalah lebih mudah mengetahui apakah ada ketidakmurnian dalam pikiran atau tidak. Ketika kita mengetahui bahwa pikiran terganggu, maka kita harus memperbaikinya dengan segera, kita memerlukan sisir kebijaksanaan! Tanpa keterikatan (Vairagyam) adalah kain yang menyeka kotoran dari dalam hati kita. Ketika engkau melakukan perjalanan sepanjang hidup, dimanapun engkau berada, selalulah membawa kemuliaan dari bhakti, kebijaksanaan, dan tanpa keterikatan. (Divine Discourse, Sep 12, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 8th July 2018 (Sunday)

Whatever scriptures you may study, whatever spiritual efforts (sadhanas) you may practise or pilgrimages you may undertake, unless one succeeds in getting rid of the impurities in the heart, life will remain worthless and meaningless. Purification of the heart is the essence of all scriptural teachings and the basic goal of life. No spiritual study or sadhana can help in purifying your heart unless you makes the effort yourself. And when the heart is purified, it becomes a worthy abode for the Divine. Recognising this fact, the Bhagavad Gita has indicated a three-stage path to Divinity: engaging the body in good deeds, using the mind to develop good thoughts and human qualities, and contemplating on God through Upasana (worship of the Divine). Through this, any individual can reach the stage where, like a river joining the ocean, they merge in the Divine (Brahman).

Apapun naskah suci yang engkau pelajari, apapun usaha spiritual yang mungkin engkau jalankan atau perjalanan suci yang engkau ambil, kecuali seseorang berhasil dalam melenyapkan ketidakmurnian dalam hati, hidup akan tetap tidak berharga dan tidak bernilai. Pemurnian hati adalah mendasar bagi ajaran spiritual dan tujuan dasar dari hidup. Tidak ada pembelajaran spiritual atau sadhana dapat membantu dalam menyucikan hatimu kecuali engkau membuat usaha dari dirimu sendiri. Dan ketika hati disucikan, maka hati telah layak menjadi tempat tinggal dari Tuhan. Menyadari kenyataan ini, Bhagavad Gita telah menyatakan tiga tahapan jalan menuju Tuhan: menggunakan tubuh dalam perbuatan baik, menggunakan pikiran untuk mengembangkan pikiran baik dan sifat manusia, dan kontemplasi pada Tuhan melalui Upasana (pemujaan pada Tuhan). Melalui ini, siapapun dapat mencapai tahapan dimana seperti halnya sungai menyatu dengan lautan, mereka juga bisa menyatu dengan Tuhan (Brahman). (Divine Discourse, Sep 28, 1984)

-BABA

Saturday, July 7, 2018

Thought for the Day - 7th July 2018 (Saturday)

A farmer desirous of raising crop must remove all weeds from his field. All varieties of weeds adversely affect the crop. Hence weeding is an essential pre-condition to get a good yield. Similarly, a spiritual aspirant eager to realise bliss (Atmananda), must remove from one’s heart the various manifestations of rajo and tamo gunas (qualities of passion and dullness) in the form of malice, desire, greed, anger, hatred and jealousy. These six types of enemies of man are the children of rajo and tamo gunas. None can experience the joy and bliss of the soul as long as these weeds are present. The entire world is a manifestation of the three gunas. Of these three, rajo and tamo gunas are the source of all trouble, sorrow, grief and problems. The six attributes of tamo guna are sleep, drowsiness, fear, anger, laziness and inertia. Hence Lord Krishna asked Arjuna to remove the rajo and tamo gunas from his heart.


Seorang petani menginginkan mendapat panen harus mencabut semua rumput liar dari sawahnya. Semua jenis rumput liar memberikan dampak kurang baik bagi panen. Oleh karena itu penyiangan adalah prasyarat bersifat mendasar untuk mendapatkan hasil yang bagus. Sama halnya, seorang peminat spiritual ingin sekali untuk menyadari kebahagiaan (Atmananda), harus menghilangkan dari hatinya berbagai bentuk sifat rajo dan tamo guna (sifat nafsu dan kemalasan) dalam wujud kedengkian, keinginan, ketamakan, kemarahan, kebencian, dan cemburu. Keenam jenis musuh manusia ini adalah anak-anak dari rajo dan tamo guna. Tidak ada seorangpun dapat mengalami suka cita dan kebahagiaan dari jiwa selama rumput-rumput liar ini masih ada. Seluruh dunia adalah perwujudan dari tiga guna. Dari ketiganya ini, rajo dan tamo guna adalah sumber dari semua masalah, penderitaan, duka cita, dan kesulitan. Enam sifat dari tamo guna adalah tidur, mengantuk, takut, marah, malas, dan lamban. Oleh karena itu Sri Krishna meminta Arjuna untuk menghilangkan rajo dan tamo guna dari hatinya. (Divine Discourse, Sep 12, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 6th July 2018 (Friday)

The performance of Vaidika Karmas (actions prescribed by the scriptures) like sacrificial rites (yagnas), charity and penance, is regarded as punya karmas or meritorious actions. While engaged in these acts, if you are concerned with worldly gains, egotism (ahamkara) arises - there is the feeling, “I am doing these sacred rites”. All actions, good or bad, result in bondage! Chains that bind may be made of gold or iron, but they are chains all the same! Hence the scriptures declare that realising God (Sakshatkaram) and attaining union with God (Brahma prapti) cannot be attained by rituals or good deeds alone. As they are external acts related to the body, they are not conducive to the development of your inner vision. Only when you are able to get rid of egotism and attachment, you can develop the inner vision. To realise the Divine always, the sense of duality must be eradicated. Perceiving divinity everywhere is Wisdom (Advaita Darshanam Jnanam)!


Menjalankan Vaidika Karma (perbuatan yang dijabarkan oleh naskah suci) seperti ritual suci (yagna), bersedekah, dan pengendalian diri, disebutkan sebagai punya karma atau perbuatan yang baik. Sedangkan ketika terlibat dalam tindakan-tindakan diatas dan jika engkau menyangkut pada keuntungan duniawi, egoisme (ahamkara) muncul – ada perasaan, “Saya sedang melakukan ritual suci”. Semua perbuatan, baik atau buruk, maka hasilnya ada dalam perbudakan! Seperti halnya rantai yang mengikat mungkin terbuat dari emas atau besi, namun semua rantai adalah sama! Oleh karena itu naskah suci menyatakan bahwa menyadari Tuhan (Sakshatkaram) dan mencapai penyatuan dengan Tuhan (Brahma prapti) tidak bisa dicapai dengan ritual atau perbuatan baik saja. Karena keduanya itu terkait dengan tindakan di luar dan terkait dengan tubuh, dan tidak mendatangkan perkembangan pada pandangan batinmu. Hanya ketika engkau mampu melepaskan egoisme dan keterikatan, engkau bisa mengembangkan pandangan batin. Untuk selalu menyadari Tuhan, maka perasaan dualitas harus dihilangkan. Merasakan Tuhan dimana-mana adalah kebijaksanaan (Advaita Darshanam Jnanam)! (Divine Discourse, Sep 28, 1984)

-BABA