Sunday, October 27, 2019

Thought for the Day - 27th October 2019 (Sunday)

Navarathri is celebrated in commemoration of the victory of Daivatwam (Divinity) over Danavatvam (demons) through the intercession of the Mahashakti as Chandi, Durga and Kali. Deepavali commemorates the victory of heavenly over hellish influences; of virtue over vice as symbolised by the victory of Krishna-Satyabhama over Narakasura; of the upward pull into heaven and the drag down into hell. Sathya or Truth will always defeat the forces of falsehood. That is the inner significance of Satyabhama being the instrument which the Lord used to destroy Narakasura. When Narakasura was destroyed, implying, when the six foes of human beings (lust, anger, greed, infatuation, pride and jealousy) which drag them towards a fall are overpowered, the flame of wisdom will shine clearly, bright and beautiful. It is to demonstrate this truth that on Deepavali day, deepas or lamps are lit and arranged in every house, dispelling darkness which is the home of evil and vice. 


Navaraathri dirayakan sebagai peringatan kemenangan dari Daivatwam (ketuhanan) atas Danavatvam (raksasa) melalui campur tangan dari Mahashakti sebagai Chandi, Durga, dan Kali. Deepavali memperingati kemenangan dari pengaruh kebaikan atas pengaruh jahat, kebajikan atas kebatilan, sebagaimana dilambangkan oleh kemenangan dari Krishna-Satyabhama atas Narakasura, kemenangan dari tarikan ke atas menuju surga dan tarikan ke bawah menuju neraka. Satya atau kebenaran akan selalu mengalahkan kekuatan kejahatan. Itu adalah makna batin dari Satyabhama sebagai alat yang Tuhan gunakan untuk menghancurkan Narakasura. Ketika raksasa Narakasura sedang dihancurkan, hal ini menyatakan secara tidak langsung yaitu ketika enam musuh dalam diri manusia (nafsu, amarah, tamak, kegilaan, kesombongan, dan kecemburuan), dikuasai maka pelita kebijaksanaan akan bersinar dengan jelas, terang dan indah. Hal ini untuk memperlihatkan kebenaran ini bahwa pada saat hari Deepavali, deepa atau lentera dinyalakan dan diatur di setiap rumah, menghilangkan kegelapan yang merupakan rumah dari kejahatan dan keburukan. -Divine Discourse, Nov 11, 1966

-BABA

Thought for the Day - 26th October 2019 (Saturday)

No other element in this world is as significant as light. It is light that shows us the way by dispelling darkness. Only with the help of light, everyone attends to their daily duties. The flame of a lamp has two significant qualities. One is to banish darkness; the other is its continuous upward movement. Even if a lamp is kept in a pit, the flame is directed upward. All Indian festivals have a sacred inner significance to remind people of their own innate and immanent Divinity; the upward movement of the flame, as said by the ancients, must remind you of the path to wisdom and the path to Divinity! Lamp dispels external darkness. To dispel the internal darkness of ignorance within, you need to have vairagya (renunciation) as the container, love as the oil, one pointed concentration as the wick, and tattwa jnana (spiritual wisdom) as the matchbox. Only when you have all these four can you light the lamp of wisdom. 


Tidak ada unsur di dunia ini sama pentingnya dengan cahaya. Adalah cahaya yang memperlihatkan kepada kita cara untuk menghilangkan kegelapan. Hanya dengan bantuan cahaya, setiap orang dapat menjalankan kewajiban hariannya. Nyala api dari lampu memiliki dua kualitas makna. Makna yang pertama adalah menghilangkan kegelapan; makna yang kedua adalah nyala api dalam lampu selalu bergerak ke atas. Bahkan jika lampu ditempatkan di dalam lubang, nyala api itu selalu mengarah ke atas. Semua perayaan India memiliki makna dan arti yang suci untuk mengingatkan manusia pada ketuhanan yang menjadi sifat bawaan lahirnya dan tetap ada; Gerakan ke atas dari nyala api, seperti yang dikatakan oleh para leluhur, harus mengingatkanmu jalan menuju kebijaksanaan dan jalan menuju ketuhanan! Lampu menghilangkan kegelapan di luar. Untuk menghilangkan kegelapan kebodohan di dalam diri maka engkau perlu untuk memiliki vairagya (penolakan) sebagai wadah, cinta kasih sebagai minyaknya, konsentrasi yang terpusat sebagai sumbunya dan tattwa jnana (kebijaksanaan spiritual) sebagai korek apinya. Hanya ketika engkau memiliki keempatnya maka engkau dapat menyalakan pelita kebijaksanaan. - Divine Discourse, Oct 19, 1998

-BABA

Thought for the Day - 25th October 2019 (Friday)

Do karma (activity) based on the spiritual wisdom that all is One! Let it be suffused with devotion, humility, love, compassion and nonviolence. If devotion is not filled with spiritual wisdom it will be light as a balloon, which drifts along any gust of wind. Mere wisdom will make your heart dry; devotion makes it soft with sympathy, and karma gives the hands something to do, something that will sanctify your every minute you live. That is why devotion is referred to as upasana which also means ‘dwelling near’, feeling the Presence, and sharing the sweetness of Divinity. The yearning for upasana prompts you to go on pilgrimages, to construct and renovate temples, to consecrate images and offer prescribed worship. All this is karma of a high order; they lead to spiritual wisdom. First, you start with the idea, “I am in the Light.” Then you feel, “The light is in me,” leading to the conviction, “I am the Light.” That is supreme wisdom! 


Lakukan karma (perbuatan) berdasarkan pada kebijaksanaan spiritual bahwa semuanya adalah Satu! Biarkan perbuatan ini diliputi dengan bhakti, kerendahan hati, cinta kasih, dan tanpa kekerasan. Jika bhakti tidak diliputi dengan kebijaksanaan spiritual maka bhakti menjadi ringan seperti balon udara, yang terus tertiup oleh hembusan angin. Kebijaksanaan belaka akan membuat hatimu kering; bhakti membuatnya menjadi lembut dengan simpati dan karma memberikan bantuan untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang akan menyucikan setiap menit hidupmu. Itulah sebabnya mengapa bhakti disebut sebagai upasana yang juga berarti ‘tinggal dekat’, merasakan kehadiran dan berbagi rasa manis ketuhanan. Kerinduan akan upasana mendorongmu untuk pergi melakukan perjalanan suci, untuk memugar dan memperbaiki tempat suci, mempersucikan gambar dan mempersembahkan ibadah yang ditentukan. Semuanya ini adalah karma tingkat tinggi yang menuntun pada kebijaksanaan spiritual. Pertama, engkau mulai dengan gagasan, “aku ada di dalam cahaya.” Kemudian engkau merasakan, “cahaya ada di dalam diriku,” mengarah pada keyakinan, “aku adalah cahaya.” Itu adalah kebijaksanaan yang tertinggi!  - Divine Discourse, Jul 07, 1963

-BABA

Thought for the Day - 24th October 2019 (Thursday)

Once Krishna pretended to suffer from an unbearable headache. With warm clothes wound around His head and red eyes, He rolled restlessly in bed. Queens Rukmini and Satyabhama tried many remedies that proved ineffective. Along with Narada, when they consulted Lord Krishna, He directed to bring the dust of the feet of a true devotee! In a trice, Narada manifested himself in the presence of some celebrated devotees, but they were too humble to offer dust of their feet to be used for their Lord as a drug! Narada returned disappointed. Krishna asked, “Did you ask Gopis?” Narada hurried with disbelief! When the Gopis heard this, without a second thought, they shook the dust off their feet and filled his hands! Even before Narada reached Dwaraka, Krishna’s headache had disappeared! The Lord enacted this five-day drama to teach that self-condemnation is also egoism and when ego goes, you feel neither superior nor inferior, and a devotee must obey the Lord’s command without demur. 


Sekali Sri Krishna berpura-pura merintih kesakitan karena sakit kepala yang tidak tertahankan. Dengan kain hangat melingkari kepala dan dengan mata kemerahan, Krishna berbaring di tempat tidur dengan sangat gelisah. Ratu Rukmini dan Satyabhama mencoba banyak obat namun semua tidak efektif. Bersama dengan Narada, ketika mereka menanyakan Krishna, maka Krishna mengarahkan untuk membawa debu kaki dari bhakta yang sejati! Dalam tiga kali, Narada muncul dihadapan beberapa bhakta yang termashyur, namun mereka terlalu rendah hati untuk memberikan debu kaki mereka untuk digunakan sebagai obat oleh junjungan mereka yaitu Sri Krishna! Narada kemudian kembali dengan rasa kecewa. Krishna bertanya, “apakah kamu telah bertanya kepada para Gopi?” Narada menjadi terkejut dan tidak percaya! Ketika para Gopi mendengar berita ini, tanpa berpikir dua kali, mereka mengibaskan debu dari kaki mereka dan menaruh debu itu di tangan Narada! Bahkan sebelum Narada sampai di Dwaraka, sakit kepala Krishna telah sembuh! Sri Krishna memainkan drama selama lima hari untuk mengajarkan bahwa penghukuman diri adalah juga bentuk ego dan ketika ego hilang maka engkau tidak merasa superior ataupun juga inferior, dan seorang bhakta harus mematuhi perintah Tuhan tanpa keberatan. (Divine Discourse, Jul 07, 1963)

-BABA

Wednesday, October 23, 2019

Thought for the Day - 23rd October 2019 (Wednesday)

There are three types of people: (1) non-believers, who consider worldly objects as real; (2) those who believe in a will behind all that they see and experience, and bow to that will. They try to understand that will, adhere to it and will not run against it; and (3) those who have realised that the objective world has only relative value. The latter two will not blame anyone, including the Lord, for their ills and pains. Until the son or daughter is a minor, they will not be entitled to their share of parental property. When your spiritual practices are not strong enough to chart your own destiny, you suffer and struggle. When you say, “I, I, I”, you are on your own, you may even stumble and fall. Say, “Not I, but You,” then all things are added unto you! Results of past actions simply will melt away like fog before the sun when you call out to the Lord! 


Ada tiga jenis manusia: (1) mereka yang tidak percaya, yang menganggap objek-objek duniawi adalah yang sesungguhnya; (2) mereka yang percaya pada sebuah kehendak dibalik semua yang mereka lihat dan alami serta bersujud pada kehendak itu. Mereka mencoba untuk memahami kehendak itu, memujanya dan tidak akan bertentangan dengan kehendak itu; dan (3) mereka yang telah menyadari bahwa dunia objektif memiliki nilai yang sementara. Dua bagian yang terakhir tidak akan menyalahkan siapapun juga, termasuk Tuhan untuk penderitaan dan rasa sakit mereka. Selama seorang putra atau putri masih belum dewasa maka mereka tidak akan berhak atas kekayaan orang tua mereka. Ketika praktik spiritualmu tidak cukup kuat merencanakan takdirmu, maka engkau menderita dan berjuang. Ketika engkau berkata, “aku, aku, aku”, engkau ditinggalkan sendirian dan engkau bahkan bisa tersandung dan jatuh. Katakan, “bukan aku, namun engkau,” kemudian semua hal akan ditambahkan padamu! Hasil dari perbuatan yang lalu sederhananya akan mencair seperti kabut dihadapan matahari sebelum engkau memanggil Tuhan!  (Divine Discourse, Nov 24, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 22nd October 2019 (Tuesday)

If you stare at the sun for a second and then turn your eye to other things around, you will find that there is a dark patch over them, and you cannot recognise them. Similarly, once you get a vision of God, who is more effulgent than a thousand suns, you can no longer recognise the multiplicity called nature (prakriti). The world is black, it is blocked; indeed, you can no longer recognise or deal with variety once you have had a vision of the basic Unity. Take the screen in the cinema theatre. When the film is on, you do not see the screen, you see only the play. When the show is over, you see just a screen, a screen that has no message — neither voice nor name nor form nor colour nor creed. The entire screen was lost in the picture. The screen is Brahman. Brahman is Truth (Satyam); the Universe is Brahman. That is Being (Sat); this is Awareness (Chit). Knowing this and dealing with both is Bliss (Anandam)


Jika engkau menatap matahari untuk beberapa detik dan kemudian bawalah pandanganmu pada benda lain di sekitarmu, engkau akan menemukan bahwa ada sebuah bidang gelap pada benda tersebut, dan engkau tidak bisa mengetahui benda itu. Sama halnya, sekali engkau mendapatkan pandangan Tuhan, yang mana lebih bercahaya daripada ribuan matahari, engkau tidak akan bisa lagi mengenali keseberagaman yang disebut dengan alam (prakriti). Dunia adalah hitam, dan dihalangi; sesungguhnya engkau tidak bisa lagi mengetahui atau berurusan dengan berbagai jenis perbedaan saat sekali engkau memiliki pandangan akan kesatuan yang mendasar. Ambillah contoh layar yang ada di bioskop. Ketika film diputar, engkau tidak bisa melihat layarnya dan engkau hanya menyaksikan film itu saja. Ketika film itu sudah selesai, engkau hanya melihat layar saja, sebuah layar kosong yang tanpa pesan— dan juga tidak ada suara atau nama atau wujud atau warna atau keyakinan. Seluruh layar kehilangan gambar. Layar itu adalah Brahman. Brahman adalah kebenaran (Satyam); alam semesta adalah Brahman. Itu adalah kebenaran (Sat); in adalah kesadaran (Chit). Mengetahui hal ini dan berhubungan dengan keduanya adalah kebahagiaan (Anandam). (Divine Discourse, Oct 22, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 21st October 2019 (Monday)

Just reflect on this for a minute: How and why did men and women forget their innate Divinity? How did they fall into this delusion of little-ness? Inquire in such manner - then you will know that it must be the result of the mind running after momentary pleasures. What then is the remedy? Mastery over mountains of information has been attained by people now; but wisdom has lagged behind! Hence, your capacity to probe and progress into the realm of the Universal and the Absolute must be developed. The secret to success in this journey is just one word: Worship! Do everything as worship. ‘You become that which you feel (Yat bhavam tat bhavati).’ You can get the feeling for the Divine only if you have a taste of the love of the Divine. Divine incarnates as human (Avatar) to give you a taste of that sweet love so that the yearning for the Lord will be firmly implanted in your heart. 


Coba renungkan hal ini untuk satu menit saja: bagaimana dan mengapa manusia apakah itu laki-laki dan perempuan melupakan ketuhanan yang merupakan kualitas bawaannya? Bagaimana mereka bisa jatuh dalam khayalan kerdil ini? Selidikilah dengan cara seperti itu – kemudian engkau akan mengetahui bahwa ini adalah hasil dari pikiran yang mengejar kesenangan sementara. Lalu apa yang menjadi obatnya? Penguasaan begitu banyak informasi telah dicapai oleh manusia saat sekarang; namun kebijaksanaan telah tertinggal di belakang! Oleh karena itu, kapasitas manusia untuk menyelidiki dan berkembang ke ranah universal dan absolut harus ditingkatkan. Rahasia keberhasilan dalam perjalanan ini hanya pada satu kata saja: Ibadah! Lakukan segalanya sebagai sebuah ibadah. ‘Engkau menjadi apa yang engkau rasakan (Yat bhavam tat bhavati).’ Engkau bisa mendapatkan perasaan ketuhanan hanya jika engkau memiliki rasa cinta kasih Tuhan. Tuhan datang sebagai manusia  (Avatar) untuk memberikanmu sebuah rasa manisnya cinta kasih sehingga kerinduan pada Tuhan akan benar-benar terpatri di dalam hatimu. (Divine Discourse, Nov 24, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 20th October 2019 (Sunday)

There can be no garland without the string that runs through the flowers. There can be no person without the inner kinship that God ensures for each. He is the Brahmasutra (the Brahman String), invisible but inevitable. When a balloon is blown, it bursts and the air inside it merges with the vast limitless expanse outside. Expansion is the heart of education. Your love must expand and fill your homes, society, and finally, burst these bonds and merge world-over. A drop of water held in the palm evaporates soon; it is too alone. But drop it into the sea and it survives as part of the sea. It assumes the name and taste, the majesty and might of the sea! Cultivate Love; sow the seeds of love in all hearts. Shower Love on the desert sands, let the green shoots, lovely flowers, sweet harvest of nectar of joy, peace and bliss be earned by every being. That is My Wish, My Mission, My Vow. 


Tidak akan ada garland (kalung bunga) tanpa adanya benang yang merangkai bunga tersebut. Tidak ada orang yang tanpa memiliki ikatan kekeluargaan batin dimana Tuhan bersemayam dalam diri setiap orang. Tuhan adalah Brahmasutra (benang Brahman), yang tidak terlihat namun tidak dapat dielakkan. Ketika sebuah balon ditiup, balon itu meledak dan udara yang ada di dalam balon menyatu dengan bentangan luas yang tak terbatas di luar. Ekspansi atau perluasan adalah hati dari pendidikan. Kasihmu harus berkembang dan meliputi rumahmu, masyarakat, dan pada akhirnya menghancurkan batasan-batasan ini serta menyatu dengan seluruh dunia. Setetes air yang ada di atas telapak tangan akan segera menguap; karena air itu cuma satu tetes saja. Namun saat setetes air dijatuhkan ke dalam lautan maka tetes air itu akan bertahan karena sebagai bagian dari lautan. Tetes air itu mengambil wujud dan rasa dari lautan yang luas dan besar itu! Tingkatkan kasih; taburlah benih kasih di dalam semua hati. Curahkan kasih pada padang pasir, biarkan tunas hijau tumbuh, bunga-bunga indah mekar, panen nektar manis yang penuh suka cita, kedamaian dan kebahagiaan dapat diraih oleh setiap makhluk hidup. Itu adalah harapan-Ku, misi-Ku dan janji-Ku. (Divine Discourse, Jul 25, 1975)

-BABA

Thought for the Day - 19th October 2019 (Saturday)

The reconstruction of humanity on moral foundations is today a universal problem. In all countries the emphasis is on standard of life, not on the way of living. Once you turn toward the path of worldly happiness, you will be led on to even greater discontent, competition, pride and jealousy. Just stop for a moment and examine your own experience; whether you are happier when you grow richer and whether you get more peace as and when your wants are satisfied. Then you will bear witness to the truth that an improved standard of living is no guarantee of happiness. Remember, education or the mastery of information and the acquisition of skills is no guarantee of mental equanimity. As a matter of fact, you find the educated everywhere more discontented and more competitive than the uneducated. So the reestablishment of righteousness (dharma), which is the task of the Avatar, is as urgent in other parts of the world as it is in India. 


Pembangunan kembali kemanusiaan di atas pondasi moralitas pada saat sekarang adalah sebuah masalah universal. Di semua negara penekanan sekarang pada standard hidup dan bukan cara hidup. Sekali engkau mengarahkan ke jalan kesenangan duniawi, engkau akan diarahkan bahkan pada rasa ketidakpuasan, persaingan, kesombongan, dan rasa cemburu yang semakin besar. Berhentilah sejenak dan periksa kembali pengalamanmu; apakah engkau lebih bahagia ketika tumbuh menjadi lebih kaya dan apakah engkau mendapatkan lebih banyak kedamaian saat ketika keinginanmu terpenuhi. Kemudian engkau akan memberikan kesaksian pada kebenaran bahwa peningkatan standar hidup bukanlah jaminan mendapatkan kebahagiaan. Ingatlah, pendidikan atau penguasaan informasi dan perolehan keterampilan bukan jaminan ketenangan batin. Kenyataannya, engkau menemukan orang-orang yang berpendidikan dimana saja lebih tidak bahagia dan lebih bersaing daripada mereka yang tidak berpendidikan. Jadi pembangunan kembali kebajikan (dharma), yang merupakan tugas dari Avatar, adalah bersifat mendesak di belahan dunia lain seperti halnya di India. (Divine Discourse, Apr 23, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 18th October 2019 (Friday)

Everyone should so lead life that no pain is caused to any living thing. That is their supreme duty. Also, it is the prime duty of everyone who has had the chance of this human birth to spare a part of their energies occasionally to prayer, repetition of the Lord’s name, meditation, etc. Everyone must equate living with truth, righteousness, peacefulness, and good works that are of service to others. One must be as afraid of doing acts that are harmful to others or deeds that are sinful as one is now afraid to touch fire or disturb a cobra. One must have as much attachment and steadfastness in carrying out good works, in making others happy and in worshiping the Lord as one now has in accumulating gold and riches. This is the dharma (duty) of all human beings. 


Setiap orang seharusnya menjalani hidup agar tidak menjadi penyebab penderitaan bagi makhluk hidup yang lainnya. Itu adalah kewajiban mereka yang tertinggi.  Juga, ini merupakan kewajiban yang utama bagi siapapun juga yang memiliki kesempatan lahir sebagai manusia untuk meluangkan bagian dari energi mereka sesekali untuk berdoa, mengulang-ulang nama Tuhan, meditasi, dsb. Setiap orang harus menyamakan hidup dengan kebenaran, kebajikan, kedamaian, dan kerja yang baik yaitu pelayanan kepada yang lainnya. Seseorang harusnya takut melakukan perbuatan yang menyakiti yang lainnya atau tindakan yang berdosa seperti halnya seseorang sekarang takut menyentuh api atau mengganggu ular kobra. Seseorang harus memiliki keterikatan dan ketabahan dalam melakukan kerja yang baik, dalam membuat yang lainnya bahagia dan dalam memuja Tuhan sebanyak keterikatan dalam mengumpulkan kekayaan dan emas. Ini adalah dharma (kewajiban) dari seluruh umat manusia. (Prema Vahini, Ch 65)

-BABA

Thought for the Day - 17th October 2019 (Thursday)

Study of the scriptures can reinforce the spiritual urges already in you and induce you to practise the precepts. Don’t treat the learning you derive from them as so much fodder for the brain. It must be sublimated into bliss (ananda) for the individual. Envy, pompousness, egotism — such evil traits have to be driven out of the individual. The source for wisdom is the Guru, the soul (Purusha) latent in you. This spiritual treasure can be obtained from others too. However, the giver has to possess supreme attainment, and the recipient has to possess the special merit that deserves the achievement. The seed may have life in it, but the soil must be ploughed and made fit to activate it. When both conditions are satisfied, the harvest of spiritual success is assured. Remember, the real guru steals your heart, not your wealth! 


Mempelajari naskah suci dapat menguatkan dorongan spiritual yang sudah ada di dalam dirimu dan mendesakmu untuk mempraktikkan ajaran yang ada. Jangan memperlakukan pelajaran yang engkau dapatkan dari naskah suci sebagai makanan yang begitu banyak untuk otak. Ini harus dihaluskan ke dalam kebahagiaan (ananda) untuk individu. Iri hati, kesombongan, egoisme — sifat-sifat jahat ini harus dilenyapkan dari setiap individu. Sumber dari kebijaksanaan adalah Guru yaitu jiwa (Purusha) yang tersembunyi di dalam dirimu. Harta karun spiritual ini juga dapat diperoleh dari yang lainnya. Namun, pemberi harus memiliki pencapaian yang tertinggi dan yang menerima harus memiliki kebaikan khusus yang pantas mendapatkan pencapaian. Benih mungkin memiliki kehidupan didalamnya, namun tanah harus digemburkan dan membuatnya sesuai untuk menghidupkan benih itu. Ketika kedua kondisi ini terpenuhi, maka keberhasilan dalam panen spiritual akan dapat dijamin. Ingatlah, guru sejati mencuri hatimu dan bukan kekayaanmu! (Sathya Sai Vahini, Chapter 13)

-BABA

Thought for the Day - 16th October 2019 (Wednesday)

Although God dwells in every person, this fact remains latent like oil in the seed of a mustard. To manifest God within you, you must go through certain trials and ordeals. Love for God should grow as a result of experiences of adversity. Just as gold improves in brilliance the more it is heated in the crucible, your devotion has to go through a constant purificatory process. Today all thoughts and actions are polluted in one way or another. Your thoughts, vision and words are contaminated. Young people should aim at becoming an ideal example to the world. For this purpose they should cultivate good company, that is, the company of persons filled with Divine Love. Unlike in previous ages, people today pretend to be what they are not. They have to get rid of their animal instincts and progress from the human to the Divine. 


Meskipun Tuhan bersemayam di dalam setiap orang, kenyataan ini masih tetap tersembunyi seperti halnya minyak yang ada di dalam biji sesawi. Untuk mewujudkan Tuhan di dalam dirimu, engkau harus melewati beberapa cobaan dan siksaan. Kasih untuk Tuhan seharusnya tumbuh sebagai hasil dari pengalaman akan kesulitan. Seperti halnya emas semakin berkilauan ketika semakin dipanaskan dalam tempat peleburan logam, bhaktimu harus melewati proses pemurnian yang konstant. Hari ini semua pikiran dan perbuatan dicemari dengan satu atau lain cara. Pikiran, visi, dan kata-katamu telah tercemar. Anak-anak muda seharusnya bercita-cita menjadi seseorang yang ideal bagi dunia. Untuk tujuan ini mereka seharusnya meningkatkan pergaulan yang baik, yaitu pergaulan dengan orang-orang dengan kasih Tuhan. Tidak seperti orang-orang zaman sebelumnya, manusia pada saat sekarang berpura-pura menjadi yang bukan diri mereka. Mereka harus menghilangkan naluri sifat binatang mereka dan maju dari manusia menuju Tuhan. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Wednesday, October 16, 2019

Thought for the Day - 15th October 2019 (Tuesday)

One may call oneself a great devotee or scientist but without a spirit of sacrifice there is no greatness. Service (seva) is the salt which lends savour to life. The spirit of sacrifice imparts fragrance to living. One may live for 60, 70, or 80 years but it is of no meaning unless their life has been devoted to the ennobling of their character and rendering devoted service to others. What you must aspire for are not buildings, positions or industries. A good character is the greatest wealth you can acquire. More vital than the five pranas are Sathya, Dharma, Santhi, Prema and Ahimsa. These are the vital life-breath for everyone. Of these the greatest is Prema (Love). Fill yourself with love. Love must express itself as service to society. Consider that we exist for society and society exists for the good of all. Sanctify your life by doing service and spreading joy and comfort all around. 


Seseorang mungkin menyebut dirinya sebagai bhakta yang hebat atau ilmuwan namun tanpa semangat pengorbanan maka tidak ada kehebatan. Pelayanan (seva) adalah garam yang memberikan kelezatan dalam hidup. Semangat pengorbanan memberikan keharuman bagi kehidupan. Seseorang mungkin hidup selama 60, 70, atau 80 tahun namun itu tidak ada artinya kecuali hidup mereka telah didedikasikan untuk mempermuliakan karakter mereka dan memberikan pelayanan yang penuh pengabdian kepada yang lainnya. Apa yang harus engkau cita-citakan bukanlah bangunan, jabatan, atau industri. Sebuah karakter yang baik adalah kekayaan yang paling besar yang dapat engkau dapatkan. Lebih penting daripada lima nafas adalah Sathya, Dharma, Santhi, Prema, dan Ahimsa. Kelima ini adalah nafas hidup yang teramat penting bagi setiap orang. Dari kelimanya maka yang paling utama adalah Prema (cinta kasih). Isilah dirimu dengan cinta kasih. Cinta kasih harus mengungkapkan dirinya sebagai pelayanan kepada masyarakat. Ingatlah bahwa kita ada untuk masyarakat dan masyarakat ada bagi kebaikan semuanya. Sucikan hidupmu dengan melakukan pelayanan dan menyebarkan suka cita dan kenyamanan bagi semuanya. (Divine Discourse, Dec 11, 1985)

-BABA

Thought for the Day - 14th October 2019 (Monday)

Real equality amongst people must be achieved not by equal distribution of material gains but by the cultivation of selfless love, which promotes a sense of Divinity that is inherent in all beings. Look beyond materialism to the Supreme Being who is the provider of all things. When you recognise the One as present in all beings and respect everyone as a manifestation of the Divine, you will achieve equality in the true sense. Internalise the fact that this body is given to you for performing selfless service. Also understand that nothing in creation is intended for the exclusive use of any one person. We should thus discard the feeling: "These things have been given for my exclusive use, they are my own.” Ancient sages emphasised the importance of Karma Yoga, that is, the discharge of one's duties in life in a dedicated spirit. Through Karma Yoga you must achieve sense-control and develop the qualities of universal love, forbearance and compassion. 


Kesetaraan yang sejati diantara manusia harus dicapai bukan dengan pembagian keuntungan material yang sama namun peningkatan cinta kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, yang menguatkan perasaan ke-Tuhan-an yang menjadi sifat dari semua makhluk hidup. Lihatlah melampaui materi kepada yang Maha Tinggi yang menyediakan segala sesuatunya. Ketika engkau menyadari yang ESA ada di dalam semua makhluk hidup dan menghormati setiap orang sebagai perwujudan dari ke-Tuhan-an, engkau akan mencapai kesetaraan dalam arti yang sesungguhnya. Internalisasikan kenyataan bahwa tubuh ini diberikan kepadamu untuk menjalankan pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri. Juga pahamilah bahwa tidak ada sesuatupun dalam ciptaan yang dimaksudkan untuk penggunaan secara eksklusif oleh siapapun juga. Kita seharusnya menghilangkan perasaan: "Hal-hal ini telah diberikan untuk penggunaan ekslusif bagi saya, mereka itu adalah milikku sendiri.” Para Rsi zaman dulu menekankan pentingnya Karma Yoga, yaitu menjalankan kewajiban seseorang dalam hidup dengan semangat pengabdian. Melalui Karma Yoga engkau harus mencapai pengendalian indera dan mengembangkan kualitas cinta kasih universal, ketabahan, dan welas asih. (Divine Discourse, Dec 11, 1985)

-BABA

Sunday, October 13, 2019

Thought for the Day - 13th October 2019 (Sunday)

Bhajans always gives bliss and peace. See that it is not used for increasing your egoism, or mutual recrimination, or envy or pride, as very often happens. Be humble, be calm, be tolerant. Cooperate with all and treat everyone with courtesy and kindness. Devotion is not a uniform to be worn on Thursday evenings, when you gather for bhajans, and to be laid aside when the bhajans are over. It must mean the promotion of an attitude of humility, of revering parents, teachers, elders, and others; it is a mental outlook, an attitude that is ever-present. It is the sustenance of the heart, just as food is sustenance for the body. Like the needle of the compass always pointing to the north, never deviating from that direction, and returning to it, readily, gladly, quickly, whenever it is shaken off that line, so too the devotee must face the Lord ever, must be happy only when he is focused on Him. 


Bhajan selalu memberikan kebahagiaan dan kedamaian. Pastikan bhajan bukan digunakan untuk meningkatkan egomu, atau saling tuduh menuduh, atau iri hati atau sombong seperti yang sering terjadi. Jadilah rendah hati, tenang, dan toleransi. Bekerjasama dengan semuanya dan memperlakukan setiap orang dengan rasa hormat dan kebaikan. Bhakti bukanlah sebuah seragam yang dipakai pada hari kamis malam saja, ketika engkau ikut dalam bhajan, dan kemudian dilepaskan ketika bhajan sudah selesai. Bhakti harus sebagai sarana untuk meningkatkan sebuah sikap kerendahan hati, menghormati orang tua, guru, yang lebih tua dan yang lainnya; ini adalah pandangan batin, sebuah sikap yang selalu ada. Ini adalah makanan bergizi untuk hati, seperti halnya makanan untuk menjaga tubuh. Seperti halnya jarum kompas yang selalu menunjukkan arah utara, tidak pernah menyimpang dari arah tersebut, dan kembali ke arah utara, dengan mudah, senang hati, dan dengan cepat, kapanpun kompas di goyang, begitu juga dengan bhakta harus selalu mengarah kepada Tuhan, harus bahagia hanya ketika dia fokus kepada Tuhan. (Divine Discourse, Dec 15, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 12th October 2019 (Saturday)

Death comes swooping like the falcon on chicken feeding on the ground. How can I receive you to me? Do I not know your past and present, crime and punishment, achievements and rewards? I am not affected in any way by the arrival into the world of some or the departure from it of some others. I carry out what is just and righteous, at times modified by My grace. Live in the true nature of the Self (Atma tatwam); that will ensure peace (Shanti). With the poison of attachment and hatred inside you, how can you be healthy? If you experience the true nature of the Self, you will become Bhagawan (Divinity) Himself. That is why I address you as Divyatma Swarupulara. Each one of you must transform yourself to become Bhagawan by merging your separate individual soul (jiva) in the Ocean of the Universal Atma. My nature is Eternal Bliss. You must experience bliss by following My instructions and practising My teachings. 


Kematian datang menyambar seperti burung elang yang menyambar anak ayam yang sedang makan di tanah. Dia yang meninggal berdoa kepada-Ku agar menerimanya; mereka yang sedih akan kepergiannya berdoa kepada-Ku agar membuatnya tetap hidup. Aku mengetahui kedua gambaran ini yaitu masa lalu dan masa sekarang, kejahatan dan hukuman, pencapaian dan penghargaan, jadi Aku melakukan apa yang tepat, kadang-kadang diubah dengan rahmat-Ku. Aku tidak terpengaruh oleh kelahiran beberapa ke dunia atau kepergian dari beberapa orang. Hiduplah dalam sifat alami dari Jati diri (Atma tatwam); itu akan memastikan kedamaian (Shanti). Dengan racun keterikatan dan kebencian di dalam dirimu, bagaimana engkau dapat menjadi sehat? Jika engkau mengalami sifat yang sesungguhnya dari Atma, engkau akan menjadi Bhagawan (Dewata) itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa Aku menyebutmu dengan Divyatma Swarupulara. Setiap orang darimu harus merubah dirimu sendiri menjadi Bhagawan dengan menyatukan jiwa individu ke dalam lautan Atma yang universal. Sifat-Ku adalah kedamaian yang kekal. Engkau harus mengalami kebahagiaan dengan mengikuti perintah-Ku dan menjalankan ajaran-Ku. (Divine Discourse, Oct 18, 1963)

-BABA

Friday, October 11, 2019

Thought for the Day - 11th October 2019 (Friday)

Faith - that is the very breath of victory! Faith in oneself, faith in the good work one has set upon, and faith in its success despite signs of failure. Be good, be useful, be kind, be God-fearing — then you’ll win the confidence of everyone! Attachment and hatred are the greatest enemies of progress in any scheme of work. If one is deluded into believing that they are saving others, then woe be unto them, for there is no other at all! All are one, one person’s sorrow is everyone’s sorrow. The ignorance of humanity is the fundamental flaw. If only you are wise, you would know that all individuals are waves on the surface of the self-same ocean. Selfless action is the ideal you must aim for. Desire for gain is like the poison fangs; when you pull them out, the snake of karma is rendered harmless and your actions become a worthy offering (Nishkama Karma)! 


Keyakinan – itu adalah nafas yang sangat penting dari sebuah kemenangan! Keyakinan pada diri sendiri, keyakinan dalam kerja baik yang seseorang telah tetapkan, dan keyakinan akan keberhasilannya meskipun ada tanda-tanda kegagalan. Jadilah baik, jadilah berguna, baik hati, takut akan Tuhan — kemudian engkau akan memenangkan kepercayaan dari setiap orang! Keterikatan dan kebencian adalah musuh utama dari kemajuan dalam bentuk kerja apapun juga. Jika seseorang ditipu dalam keyakinan bahwa mereka sedang menyelamatkan yang lain, maka itu sangatlah menyedihkan karena tidak ada orang lain sama sekali! Semuanya adalah satu, penderitaan seseorang adalah penderitaan setiap orang. Kebodohan dari manusia adalah kekurangannya yang paling mendasar. Jika engkau bijak, engkau akan mengetahui bahwa semua individu adalah gelombang di permukaan dari lautan diri yang sama. Perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri adalah ideal yang harus engkau tuju. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan adalah seperti taring yang beracun; ketika engkau mencabut taring beracun itu maka ular dari karma menjadi tidak berbahaya dan perbuatanmu menjadi sebuah persembahan yang layak (Nishkama Karma)! (Divine Discourse, Sep 15, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 10th October 2019 (Thursday)

The story of Rukmini Kalyana is not simply the story of a marriage. It is the union of Purusha (Supreme Spirit) with Prakriti (creation, objective world). Rukmini is the individual self (jiva), and Krishna is the Supreme Self (Paramatma). Rukmini suffered from the rules and restrictions imposed by the objective world; egoism is her brother and worldliness is her father. Just think of this fact: Rukmini never met Krishna before - her soul yearned for the Lord intensely. With earnest good conduct, she sought refuge in God. Her parents, brother and all relatives objected, but every individual is born to work out their destiny, not to act a role in someone else’s drama. Each one is born to serve their own sentence and in the end, they are free. Nobody remains in prison on the pretext that a dear comrade is still in! Rukmini’s prayers, repentance, yearning, and steadfastness were amply rewarded and the Lord rushed to accept her! 


Cerita dari Rukmini Kalyana bukanlah hanya sebatas cerita pernikahan. Ini adalah penyatuan dari Purusha (Jiwa yang tertinggi) dengan Prakriti (ciptaan, dunia objektif). Rukmini adalah jiwa setiap individu (jiva), dan Sri Krishna adalah Jiwa yang tertinggi (Paramatma). Rukmini menderita dari aturan dan batasan yang ditentukan oleh dunia objektif; egoisme adalah kakaknya dan duniawi adalah ayahnya. Coba pikirkan kenyataan ini: Rukmini tidak pernah bertemu dengan Sri Krishna sebelumnya – jiwanya sangat merindukan Sri Krishna dengan sungguh-sungguh. Dengan kesungguhan dalam tingkah laku yang baik, Rukmini mencari perlindungan pada Tuhan. Orang tua, saudara, dan seluruh kerabatnya merasa keberatan, namun setiap individu lahir untuk mencapai takdirnya, bukan untuk memainkan drama dari kehidupan orang lain. Setiap orang lahir untuk menjalani hukuman mereka sendiri sampai habis dan pada akhirnya mereka bebas. Tidak ada yang tetap tinggal di dalam penjara dengan alasan bahwa kerabat tersayang mereka masih ada di dalam penjara! Doa pertobatan, kerinduan, dan ketabahan dari Rukmini sangat dihargai dan Tuhan bergegas untuk menerimanya! (Divine Discourse, Oct 28, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 9th October 2019 (Wednesday)

Many people consider all acts of worship as ‘His’ and all acts of earning and spending as ‘Mine’. But this is a mistake! There is no such distinction between actions; all karma either leads you towards God (Madhava) or away from Him! All acts are His! When you say that you fall ill, that you are in good health, etc., you feel that the body is ‘you’, whereas you are really only the Atma, with the five sheaths superimposed on it. What is the use of modern civilization that induces its people to float with the current that drags humanity down to fear, anxiety, and despair? Modern education only teaches that bliss (ananda) is what one derives from the senses. There is no training in the art of acquiring mental peace. Isn’t it high time you start learning that the eternal source of bliss is present within oneself? 


Banyak orang menganggap semua tindakan pemujaan sebagai ‘Milik-Nya’ dan semua tindakan pendapatan dan pengeluaran sebagai ‘Milikku’. Namun ini adalah kesalahan! Tidak ada perbedaan seperti itu diantara perbuatan; semua karma apakah itu menuntunmu kepada Tuhan (Madhava) atau menjauh dari Tuhan! Semua perbuatan adalah milik-Nya! Ketika engkau berkata bahwa engkau jatuh sakit, atau bahwa engkau dalam keadaan sehat, dsb., engkau merasa bahwa tubuh ini adalah ‘dirimu’, sedangkan engkau sesungguhnya adalah Atma, dengan lima lapisan yang menutupinya. Apakah gunanya dari peradaban modern yang mengajak masyarakatnya mengapung dalam arus yang menarik kemanusiaan jatuh ke dalam ketakutan, kecemasan, dan keputusasaan? Pendidikan modern yang hanya mengajarkan kebahagiaan itu (ananda) berasal dari indera. Tidak ada pelatihan dalam seni untuk mendapatkan kedamaian batin. Bukankah sudah waktunya bagimu untuk mulai belajar bahwa sumber yang kekal dari kebahagiaan ada di dalam diri masing-masing? (Divine Discourse, Oct 18, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 8th October 2019 (Tuesday)

You may have studied many sacred texts and listened to many discourses. You may also have had the darshan of holy and pious souls. What is the use? Due to the effect of unsacred food and bad company, all your good thoughts are subdued. Good thoughts can express themselves only when you get rid of bad thoughts. Each one of you must make conscious efforts to dispel bad thoughts. Like you open the door of your home only to your family members and friends, and not to stray dogs, you must not permit wicked feelings and wicked thoughts to enter your mind. Today is auspicious Vijayadashami. This is the conclusion (samapti) of the sacred Navaratri festival. Samapti is that which confers deservedness (prapti) in every possible way. Embodiments of Love! On this sacred and holy occasion I desire that each one of you takes an oath to discover and give up all vices you know are present within you! 


Engkau mungkin telah mempelajari buku-buku suci dan mendengarkan banyak ceramah. Engkau mungkin juga telah mendapatkan darshan dari orang suci dan jiwa yang luhur. Apa gunanya? Karena dampak dari makanan yang tidak suci dan pergaulan yang buruk, semua pikiran baikmu menjadi lemah. Pikiran yang baik dapat mengungkapkan wujudnya hanya ketika engkau melenyapkan pikiran-pikiran yang buruk. Setiap orang darimu harus melakukan usaha yang sadar untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang buruk. Seperti halnya engkau membuka pintu rumahmu hanya untuk anggota keluarga dan para sahabat dan bukan untuk anjing jalanan, engkau seharusnya tidak mengizinkan perasaan yang jahat dan gagasan yang buruk memasuki pikiranmu. Hari ini adalah Vijayadashami yang suci. Ini adalah kesimpulan (samapti) dari perayaan suci Navaratri. Samapti adalah yang menganugrahkan kelayakan (prapti) dalam setiap cara yang memungkinkan. Perwujudan kasih! Dalam perayaan yang suci ini, Swami mengharapkan setiap orang darimu mengambil sebuah janji untuk mengungkapkan dan melepaskan semua sifat-sifat buruk yang engkau ketahui berada di dalam dirimu! (Divine Discourse, Oct 01, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 7th October 2019 (Monday)

There is no compulsion that you should have an external altar (for the Yajna) as here. Only, you should be vigilant about the purity of the words you utter or listen to and the deeds you engage in. Really speaking, your heart is the ceremonial altar; your body, the fireplace; your hair, the holy grass (darbha); your wishes, the fuel-sticks that feed the fire; desire, the ghee that is poured into the fire to make it burst into flame; anger is the sacrificial animal; and the fire is the tapas (penance) we accomplish. People sometimes interpret tapas as ascetic practices like standing on one leg or on the head. No, tapas is not physical contortion. It is the complete and correct coordination of thought, word and deed. When this is achieved, the splendour of fire will manifest. 


Tidak ada keharusan dimana engkau harus memiliki sebuah altar di luar (untuk Yajna) seperti ini. Hanya, engkau harus waspada pada kesucian dari kata-kata yang engkau ucapkan atau dengarkan serta perbuatan yang engkau lakukan. Berbicara sesungguhnya, hatimu adalah altar untuk upacara; tubuhmu adalah tempat api suci; rambutmu adalah rumput suci (darbha); harapanmu adalah kayu bakar untuk menghidupkan api; keinginan adalah ghee yang dituangkan ke dalam api untuk membuatnya tetap menyala; kemarahan adalah binatang yang dikorbankan; dan api adalah tapa (pengendalian diri) yang kita lakukan. Orang-orang kadang-kadang menerjemahkan tapa seperti yang dilakukan oleh para pertapa yaitu berdiri dengan satu kaki atau dengan kepala. Bukan, tapa bukanlah gerakan fisik. Ini merupakan sepenuhnya dan koordinasi yang benar dari pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ketika hal ini dicapai, kemuliaan api akan terwujud. (Divine Discourse, Oct 02, 1981)

-BABA

Thought for the Day - 6th October 2019 (Sunday)

The Navaratri festival is celebrated to proclaim to the world the power of the goddesses. The supreme Shakti (Energy) manifests Herself in the form of Durga, Lakshmi and Saraswati. Durga grants us energy - physical, mental and spiritual. Lakshmi bestows on us wealth of many kinds; not just money, the wealth of character and many more. Even health is wealth. Saraswati bestows on us intelligence, the capacity for intellectual enquiry and the power of discrimination. One's own mother is a combination of all these Divine Beings. She provides us energy, wealth and intelligence. She constantly desires our advancement in life. So she represents all the three goddesses we worship during the Navaratri festival. The life of a person who cannot respect and love their mother, is despicable. Recognising one's mother as the very embodiment of all divine forces, one must show reverence to her and treat her with love. This is an important message that the Navaratri, the nine-night festival gives us. 


Perayaan suci Navaratri dirayakan untuk menyatakan kepada dunia kekuatan dari Ibu Dewi. Shakti tertinggi (energi) mewujudkan diri-Nya dalam wujud Dewi Durga, Lakshmi dan Saraswati. Durga menganugrahkan kita energi yaitu - fisik, mental dan spiritual. Lakshmi menganugrahkan kepada kita berbagai jenis kekayaan yaitu; tidak hanya uang, kekayaan karakter dan banyak lagi. Bahkan kesehatan adalah kekayaan. Saraswati menganugrahkan kepada kita kecerdasan, kemampuan untuk pencarian intelektual dan kekuatan dalam membedakan (diskriminasi). Seorang ibu adalah gabungan dari semua sifat-sifat Dewata ini. Ibu Dewi menyediakan kita energi, kekayaan, dan kecerdasan. Beliau secara terus menerus mengharapkan kemajuan dalam hidup kita. Jadi Beliau melambangkan semua ketiga Dewi yang kita puja selama perayaan suci Navaratri. Hidup seseorang yang tidak bisa menghormati dan menyayangi ibunya, adalah orang yang tercela. Menyadari ibu adalah perwujudan dari semua kekuatan Dewata, maka seseorang harus memperlihatkan rasa hormat kepadanya dan memperlakukannya dengan cinta kasih. Ini adalah pesan penting dalam Navaratri untuk kita, perayaan suci sembilan malam hari. (Divine Discourse, Oct 14, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 5th October 2019 (Saturday)

Navaratri is celebrated in honour of the victory that Parashakti (the Goddess of Divine Power) achieved over the evil forces, as described in the Devi Mahatmyam and Devi Bhagavatam. That Primordial Divine Energy, when it is manifested in its Satwik (pure and gentle) aspect is delineated as the great teacher and inspirer, Maha-Saraswati; when it is Rajasik (active and potent), it is the great provider and sustainer, Maha Lakshmi; when it is Tamasik (dull and inactive) but latent as the great dark destroyer and deluder, She is Maha-kali. By means of systematic Sadhana it is possible to tap the inner resources that God has endowed you with and elevate yourselves to the purer and happier realm of the Reality. That Parashakti is in every one as the Kundalini Shakti (dormant spiritual energy), which is capable of destroying the evil tendencies inside the mind when awakened. So dedicate this Navaratri to propitiate the omniscient Mother Goddess, and live in peace and joy. 


Navaratri dirayakan dalam menghormati kemenangan yang dicapai oleh Parashakti (kekuatan ilahi dari ibu Dewi) melawan kekuatan jahat, seperti yang dijabarkan dalam Devi Mahatmyam dan Devi Bhagavatam. Energi Tuhan yang Primordial itu ketika mewujudkan diri-Nya dalam aspek Satwik (murni dan suci) digambarkan sebagai guru yang agung dan pemberi inspirasi yaitu Maha-Saraswati; ketika diwujudkan dalam aspek Rajasik (aktif dan kuat), digambarkan sebagai penyedia dan penopang yang hebat yaitu Maha Lakshmi; ketika diwujudkan dalam aspek Tamasik (tidak aktif) namun adalah kekuatan yang tersembunyi sebagai pelebur yang besar, Beliau adalah Maha-kali. Dengan sarana Sadhana yang sistematik adalah memungkinkan untuk memanfaatkan sumber daya batin yang Tuhan telah berikan kepadamu dan mengangkat dirimu pada realitas yang lebih suci dan bahagia. Parashakti itu ada di dalam diri setiap orang sebagai Kundalini Shakti (energi spiritual yang tertidur), yang mampu untuk menghancurkan kecendrungan jahat di dalam pikiran ketika dibangkitkan. Jadi dedikasikan Navaratri ini untuk mengambil hati ibu Dewi yang Maha tahu dan hidup dalam damai dan suka cita. (Divine Discourse, Oct 04, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 4th October 2019 (Friday)

Embodiments of Divine Love! Do not give room for doubts which may arise on account of the food you consume, the company you keep or the environment in which you live. Meet the doubts with courage and faith. To start with, get rid of the blemishes in you, strengthen your devotion and make it firm and unshakeable. That is the effort which everyone should make (Purusha prayatna). Then you will automatically earn God's grace (Daiva anugraha). Don't pray to Baba to change your mind. It is your duty to change your own mind and stay focussed. If you expect Baba to do everything, what is your contribution? Do your sadhana with steady faith regularly and intensely. God's help will automatically come when you do your part. Do your duty and leave the results to God. Treading on this path of truth, traversing the road of Jnana (spiritual wisdom), you must not stop until you merge yourself in the Divine. 


Perwujudan kasih Tuhan! Jangan memberikan ruang untuk keraguan yang mungkin muncul dari makanan yang engkau makan, pergaulan yang engkau ikuti atau lingkungan tempat engkau tinggal. Hadapi segala keraguan dengan keberanian dan keyakinan. Memulainya dengan menyingkirkan noda dalam dirimu, menguatkan bhaktimu dan membuatnya menjadi kokoh dan tidak tergoyahkan. Itu adalah usaha dimana setiap orang harus lakukan (Purusha prayatna). Kemudian secara otomatis engkau akan mendapatkan rahmat Tuhan (Daiva anugraha). Jangan berdoa kepada Tuhan untuk merubah pikiranmu. Merupakan kewajibanmu untuk merubah pikiranmu sendiri dan tetap fokus. Jika engkau mengharapkan Tuhan untuk melakukan segalanya, lantas apa yang menjadi kontribusimu? Lakukan sadhanamu dengan keyakinan mantap secara teratur dan intens. Pertolongan Tuhan secara otomatis datang ketika engkau melakukan bagianmu. Jalankan kewajibanmu dan serahkan hasilnya kepada Tuhan. Berjalanlah di jalan kebenaran ini, melintasi jalan Jnana (kebijaksanaan spiritual), engkau tidak boleh berhenti sampai engkau menyatukan dirimu pada Tuhan. (Divine Discourse, Oct 6, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 3rd October 2019 (Thursday)

When forces of injustice, immorality and untruth grow to monstrous proportions and indulge in a death-dance, when selfishness and self-interest are rampant, when men and women have lost all sense of kindness and compassion, the Atmic principle, assuming the form of Divine, emerges to destroy the evil elements. This is the inner meaning of the Dasara festival. Each one must decide for themselves whether they are Ravana or Rama according to the qualities they manifest in daily living. Who is Ravana and what are his ten heads? Kama (lust), Krodha (anger), Moha (delusion), Lobha (greed), Mada (pride), Matsarya (Envy), Manas (the mind), Buddhi (intellect), Chitta (will) and Ahamkara (the Ego) - these ten constitute the ten heads. Arrogance is a demon. Bad thoughts are demons. Rama is the destroyer of the bad qualities. During the ten days of Dasara, you must pray to God to destroy all the wicked traits present in you. 


Ketika kekuatan ketidakadilan, pelanggaran susila dan ketidakbenaran tumbuh berkembang dalam proporsi yang mengerikan dan memuaskan dalam tarian kematian serta kepentingan diri sendiri semakin merajalela, ketika laki-laki dan perempuan kehilangan semua sifat kebaikan dan welas asih, prinsip Atma mengambil wujud Tuhan untuk datang menghancurkan semua unsur-unsur kejahatan. Ini adalah makna yang terkandung dalam perasaan Dasara. Setiap orang harus memutuskan bagi diri mereka sendiri apakah mereka adalah termasuk Ravana atau Rama sesuai dengan sifat yang mereka tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapakah Ravana dan apa makna dari sepuluh kepalanya? Kama (nafsu), Krodha (amarah), Moha (khayalan), Lobha (ketamakan), Mada (kesombongan), Matsarya (iri hati), Manas (pikiran), Buddhi (intelek), Chitta (kehendak) dan Ahamkara (Ego) – kesepuluh ini yang menyusun sepuluh kepalanya. Sifat arogan adalah kualitas raksasa. Pikiran yang jahat adalah raksasa. Rama adalah penghancur dari sifat-sifat jahat. Selama sepuluh hari dari Dasara, engkau harus berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan semua sifat jahat yang ada di dalam dirimu. - Divine Discourse, Oct 18, 1991

-BABA

Thought for the Day - 2nd October 2019 (Wednesday)

Every child’s life is greatly influenced by parents’ qualities. The loving care of mother Jijabai made Shivaji a great warrior. Gandhi became a Mahatma because of his pious mother Putlibai. Putlibai observed a strict vow wherein she would wait for the cooing of the cuckoo before having food. One day, she waited for a very long time for the cuckoo’s call without taking food. The young Gandhi could not bear to see his mother fasting for such a long time. Hence, he went out of the house and imitated a cuckoo’s coo. Then he came inside and said, "Mother, please take your food now, as we heard the cuckoo." Unable to contain her grief that her son lied, she slapped Gandhi and cried, "What sin did I commit that a liar should be born to me!" Gandhi immediately repented and prayed for her forgiveness. He pledged that he would never utter a lie, and lived for truth until the end. 


Setiap kehidupan seorang anak adalah sangat dipengaruhi oleh kualitas dari orang tuanya. Kepedulian kasih sayang dari ibu Jijabai membuat Shivaji menjadi seorang pejuang yang hebat. Gandhi menjadi seorang Mahatma karena ibunya yang mulia yaitu ibu Putlibai. Putlibai menjalankan sebuah disiplin yang ketat dimana beliau akan menunggu bunyi burung tekukur sebelum makan. Pada suatu hari, ibu Putlibai menunggu sangat lama sekali untuk bunyi burung tekukur itu sampai tidak makan. Gandhi kecil tidak tahan melihat ibunya berpuasa dalam jangka waktu yang lama. Karena itu, Gandhi keluar dari rumah dan menirukan suara burung tekukur itu. Kemudian Gandhi masuk ke dalam rumah dan berkata kepada ibunya, "Ibu, silahkan makan sekarang karena kita telah mendengar bunyi burung itu." Karena tidak mampu menahan kesedihan karena anaknya berbohong, Ibu Putlibai menampar Gandhi dan menangis, "Apa dosa yang telah aku lakukan sehingga seorang pembohong lahir dari rahimku!" Gandhi dengan segera menyesal dan memohon maaf mendalam kepada ibunya. Gandhi bersumpah bahwa dia tidak akan pernah lagi mengucapkan kebohongan, dan hidup untuk kebenaran sampai akhir hayat.  - Divine Discourse, Nov 23, 2003

-BABA

Thought for the Day - 1st October 2019 (Tuesday)

The Dasara festival honours the victory of the devas (God) over the asuras (demons) - the forces of righteousness over the forces of evil. They won because Parashakthi (the dynamic aspect of Divinity), the Power that has elaborated God into all this variety and beauty, came to give them succour and fight on their behalf. Holy company such as this helps to arouse the desire to know oneself, to know the true nature of the world around us and to know how to discover and experience the unity of both, expressed as the vedic dictum, ‘That-thou-art’. It is through the subtle influence of the company into which he was inducted that Narada, the son of a maid, was transformed into the foremost practitioner and exponent of Bhakti-marga (path of devotion); that Valmiki, a highway robber, was transmuted into a great sage and foremost amongst poets; and that many sinners were shown the path of repentance and redemption. 


Perayaan suci Dasara adalah untuk menghormati kemenangan para Dewa melawan raksasa – kekuatan kebajikan menang melawan kekuatan kejahatan. Kebajikan menang karena Parashakthi (aspek dinamis dari Tuhan), kekuatan yang menjelaskan Tuhan dalam semua jenis dan keindahan-Nya, datang untuk memberikan mereka pertolongan dan berjuang atas nama mereka. Pergaulan suci yang seperti ini membantu untuk membangunkan keinginan untuk mengetahui jati diri yang sesungguhnya, untuk mengetahui sifat yang sesungguhnya dari dunia di sekitar kita dan untuk mengetahui bagaimana menemukan dan mengalami kesatuan dari keduanya seperti yang dinyatakan dalam Weda, ‘Tat Twam Asi’ – aku dan Engkau adalah satu. Melalui pengaruh halus dari pergaulan yang merubah seorang Narada, putra dari seorang pembantu, diubah menjadi pelaksanaan dan contoh dari Bhakti-marga (jalan bhakti) yang terkemuka; dimana seorang Walmiki, merupakan dulunya seorang perampok jalanan diubah menjadi seorang Resi yang agung dan paling terkemuka diantara para pujangga; dan banyak lagi mereka yang berdosa ditunjukkan jalan penyesalan dan pertobatan. - Divine Discourse, Sep 26, 1965

-BABA