Friday, April 30, 2021

Thought for the Day - 8th April 2021 (Thursday)

Engage yourselves in pure activities with pure hearts and earn a good name. What you have to offer to Me is the good name earned by you. This is the highest expression of your gratitude. Do not bring a bad name by your conduct in the outside world. It does not matter much if you fail to bring a good name, but in no circumstances should you earn a bad name. Even if you fail to be helpful to others, do not cause harm to others. Students should bear this in mind. Not students alone, but all spiritual aspirants should cherish in their hearts with gratitude the good done to them by others and always remember whatever form in which help was rendered to them. Only those who lead such grateful lives will be able to find peace and happiness in their lives. 



Libatkan dirimu dalam aktivitas yang suci dengan hati yang murni dan dapatkan nama baik. Apa yang harusnya engkau persembahkan kepada Tuhan adalah nama baik yang engkau dapatkan. Ini adalah ungkapan tertinggi dari rasa terima kasihmu. Jangan membawa nama buruk karena tingkah lakumu di luar sana. Tidak masalah jika engkau gagal mendapatkan nama baik, namun dalam keadaan apapun engkau tidak boleh mendapatkan nama buruk. Bahkan jika engkau gagal untuk membantu yang lain, namun jangan menyebabkan penderitaan bagi yang lain. Para pelajar harus tetap mengingat hal ini di dalam pikiran. Tidak hanya para pelajar, namun semua peminat spiritual harus menghargai dalam hati mereka dengan rasa terima kasih kebaikan yang diberikan pada mereka oleh orang lain dan selalu mengingat apapun bentuk bantuan yang diberikan kepada mereka. Hanya mereka yang menjalani hidup yang penuh rasa terima kasih seperti itu akan mampu mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup mereka. (Divine Discourse, Dec 25, 1991)

-BABA

 

Thought for the Day - 7th April 2021 (Wednesday)

Consider what happens when a person sees the dry stump of a tree at night: they are afraid it is a ghost or a bizarre human being. It is neither, though it is perceived as either. The reason for this misperception is “darkness”. Darkness imposes on something another thing that is not there. In the same manner, the darkness that is spread through false perception (maya) veils and renders unnoticeable the Primal Cause, Brahman, and imposes the cosmos on It, as a perceptible reality. This deceptive vision is corrected by the awakened consciousness and transmuted into the vision of universal love (prema). The cosmos of which the Earth is a part and with which we are embroiled has Brahman Itself as its basic cause, just as the stump is the basic cause of the ghost. 



Bayangkan apa yang terjadi ketika seseorang melihat tunggul pohon kering di malam hari: maka orang itu akan ketakutan karena mengira bahwa itu adalah hantu atau seseorang yang menakutkan. Ini bukanlah keduanya tadi, walaupun diterima sebagai keduanya. Alasan dibalik persepsi yang salah tadi adalah “kegelapan”. Kegelapan memanipulasi sesuatu hal lain yang tidak ada disana. Sama halnya, kegelapan yang menyelubungi melalui persepsi yang salah (maya) menutupi dan membuat Brahman yang merupakan sebab utama yang sulit dilihat, dan meletakkan alam semesta pada Brahman, sebagai sebuah kenyataan yang jelas dan tampak. Pandangan yang menipu ini diperbaiki oleh kesadaran yang terjaga dan diubah menjadi pandangan kasih yang universal (prema). Alam semesta dimana bumi adalah menjadi bagiannya dan dimana kita ditarik memiliki Brahman sendiri sebagai sebab utama, seperti halnya tunggul pohon sebagai sebab utama dari penglihatan hantu itu. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

 

Thought for the Day - 6th April 2021 (Tuesday)

Give up body attachment. Only then can you develop attachment toward the Atma. As you are endowed with a physical body, you have to discharge your duties diligently. However, do not be deluded with the feeling that this is permanent. All the physical relationships are like passing clouds and are subject to change. Truth alone is that which does not undergo change. A mother has four sons. The first son asks her for red colour juice, the second for green colour juice, the third for black colour juice and the fourth for white colour juice. Then what does the mother do? Being an intelligent mother, she pours the same juice in red, green, black and white colour glasses to satisfy her sons. Our bodies are like those glasses. We should not go by differences in bodies. We should realise the oneness of the spirit within. The cups and colours may be different but the juice (Atma) is the same in all. 



Lepaskan keterikatan pada tubuh. Hanya dengan demikian engkau dapat mengembangkan keterikatan pada Atma. Karena engkau diberkati dengan badan jasmani maka engkau harus menjalankan kewajibanmu dengan rajin. Bagaimanapun juga, jangan menjadi terpedaya dengan perasaan bahwa badan jasmani ini adalah kekal. Semua hubungan yang berlandaskan pada badan jasmani adalah seperti awan yang berlalu dan mengalami perubahan. Hanya kebenaran yang tidak mengalami perubahan. Seorang ibu memiliki empat orang putra. Putra pertama meminta ibunya segelas jus merah, putra kedua meminta jus hijau, putra ketiga meminta jus warna hitam dan putra keempat meminta jus warna putih. Lantas apa yang dilakukan oleh sang ibu? Sebagai ibu yang pintar, dia menuangkan jus yang sama dalam gelas yang berwarna merah, hijau, hitam dan putih untuk memuaskan anak-anaknya. Badan jasmani kita adalah seperti gelas-gelas tersebut. Kita seharusnya tidak memiliki pandangan berdasarkan pada perbedaan fisik. Kita harus menyadari kesatuan pada jiwa di dalam diri. Cangkir dan warna mungkin berbeda namun jus di dalamnya (Atma) adalah sama di dalam semuanya. (Divine Discourse, Dec 25, 2001)

-BABA

 

Thought for the Day - 5th April 2021 (Sunday)

Each has its own dharma or innate specialty, individuality, or love characteristics. This rule applies equally to blades of grass and the stars. The cosmos is not one continuous flux. It progresses persistently toward achieving a totality in the qualities and circumstances. One can also transform oneself from the present status through self effort and discrimination. The moral forces permeating the cosmos will certainly promote our achievement. But people are too immersed in the all-pervasive delusion to take advantage of these and elevate themselves. They are not aware of the path of peace and harmony in the world. They are not able to hold on to the good and avoid the bad. They can’t establish themselves in the dharmic path. “That” from which the manifested cosmos emanated, with its moving and unmoving entities; “That” which prompts, promotes and fosters their progress; “That” in which they ultimately merge — know “That” as Brahman. 



Setiap orang memiliki dharmanya sendiri atau bakat khusus, individualitas, atau karakteristik cinta-kasih yang dibawa sejak lahir. Aturan ini berlaku sama pada gunting pemotong rumput dan bintang diatas langit. Alam semesta bukanlah satu aliran terus menerus. Alam semesta berkembang terus menerus menuju pada pencapain sebuah totalitas dalam kualitas dan keadaan. Seseorang juga dapat merubah dirinya sendiri dari keadaan sekarang melalui usaha sendiri dan kemampuan membedakan. Kekuatan moral yang meresapi alam semesta pastinya akan mendorong pencapaian kita. Namun manusia terlalu tenggelam dalam khayalan yang meliputi semuanya untuk memanfaatkan kekuatan moral yang ada dan mengangkat diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari jalan kedamaian dan keharmonisan di dunia. Mereka tidak mampu berpegang pada yang baik dan menghindari yang buruk. Mereka tidak bisa menetapkan diri mereka di jalan dharma. “Tuhan” yang merupakan asal dari alam semesta ini, dengan entitasnya yang bergerak dan tidak bergerak; “Tuhan” yang mendorong, meningkatkan, dan mengembangkan kemajuan mereka; “Tuhan” dimana pada akhirnya mereka akan menyatu - ketahuilah “Tuhan” sebagai Brahman. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

 

Thursday, April 29, 2021

Thought for the Day - 4th April 2021 (Sunday)

When Jesus was being crucified, he heard an ethereal voice, “All are one, my dear son, be alike to everyone”. When Mother Mary was shedding tears, Jesus told her, “Death is the dress of life.” Death is like changing of a dress. Do you find anybody wearing the same dress every day? Just as you change your dress every day, you change your body from birth to birth. The body has death, but not the life principle - the Spirit is immortal and non-dual! “To realise the non-dualistic nature of the Spirit was true wisdom”, said Jesus! The Romans addressed Jesus as ‘persona’ meaning "one of sacredness". The English word “person” has been derived from this. It means that there is Divinity in everyone. That is why I address you as embodiments of Divinity. I and you are one. There is Divine Spirit in everybody. The very self is called “persona”. There is no life principle without Divinity! 



Ketika Jesus sedang disalib, beliau mendengar sebuah suara yang sangat halus berkata, “semuanya adalah satu, putra-Ku terkasih, jadilah sama kepada setiap orang”. Ketika Bunda Maria sedang meneteskan air mata, Jesus berkata kepadanya, “kematian adalah pakaian kehidupan.” Kematian adalah seperti mengganti pakaian. Apakah engkau dapat menemukan siapapun juga memakai pakaian yang sama setiap hari? Seperti halnya engkau mengganti pakaianmu setiap hari, begitu juga engkau mengganti tubuhmu dari kelahiran ke kelahiran. Tubuh memiliki kematian, namun tidak dengan prinsip hidup – jiwa adalah bersifat kekal dan tanpa dualitas! “Untuk menyadari sifat alami dari tanpa dualitas jiwa adalah kebijaksanaan yang sejati”, kata Jesus! Orang-orang Roma menyebut Jesus sebagai ‘persona’ yang berarti "seseorang dengan kesucian ". Kata Bahasa inggris “person” berasal dari kata persona. Ini berarti bahwa ada ketuhanan di dalam diri setiap orang. Itulah sebabnya mengapa Aku mengatakan sebagai perwujudan ketuhanan. Aku dan engkau adalah satu. Ada jiwa Tuhan di dalam setiap orang. Kenyataan diri sejati disebut dengan “persona”. Tidak ada prinsip hidup tanpa Tuhan. (Divine Discourse, Dec 25, 2001)

-BABA

 

Thought for the Day - 3rd April 2021 (Saturday)

The Divine is the base — and is also the superstructure. The beads are many, but the interconnecting and integrating string of the rosary is one. So also for the entire world of living beings; God, the permanent, omnipresent, Supreme Divine Consciousness (Parabrahman), is the base. “I am God (soham)”, “He is I”, “I am that” - all these axioms indicate that even those that differentiate themselves under names and forms are in fact God Himself. The bubble born of water floats in it and bursts to become one with it. All the visible objective worlds are like the bubbles emanating from the vast ocean of Divinity, Brahman. They are on the water and are sustained by water. How else can they arise and exist? Finally, they merge and disappear in water itself. Water is one; bubbles are plentiful. Water is real; bubbles are appearances. Water is the basis; bubbles are delusive forms of the same imposed on it. 



Tuhan adalah sebagai dasar dan juga sebagai bangunan diatasnya. Biji dari japa mala ada begitu banyak, namun benang yang menghubungkan dan menyatukannya adalah satu. Begitu juga seluruh dunia bagi makhluk hidup; Tuhan yang bersifat abadi, ada dimana-mana, kesadaran Tuhan tertinggi (Parabrahman), adalah sebagai dasar. “Aku adalah Tuhan (Soham)”, “Beliau adalah aku”, “aku adalah Tuhan” – semua aksioma ini menunjukkan bahwa bahkan mereka yang membedakan diri mereka dengan nama dan wujud sejatinya adalah Tuhan sendiri. Gelembung-gelembung air muncul dari air mengapung di atas air dan kemudian lenyap serta kembali menyatu ke dalam air. Semua benda-benda yang kasat mata di dunia ini adalah seperti gelembung-gelembung air dari lautan luas Tuhan atau Brahman. Semuanya ada di air dan ditopang oleh air. Bagaimana lagi cara mereka muncul dan ada? Pada akhirnya, semuanya itu menyatu dan menghilang di dalam air itu sendiri. Air adalah satu; sedangkan gelembung-gelembungnya ada begitu banyak. Air adalah yang nyata; gelembung-gelembung air itu adalah aspeknya. Air adalah dasarnya; gelembung air adalah wujud-wujud delusi (yang tidak nyata) dimana hal yang sama yang dikenakan padanya. (Sutra Vahini, Ch 2)

-BABA

 

Thought for the Day - 2nd April 2021 (Friday)

There are two points of view that struggle for acceptance by you - the Paramarthika and the Vyavaharika - the spiritual and the worldly, the reality-based and the appearance-based. Imagine you see a snake appearing on the road. In reality, it is only a length of rope. But it appears as a snake and you feel a sense of terror. Your terror does not change the rope into a snake! When you apply light from a torch, you discover that the rope was always a rope! The Universe is what appears; the reality is Divinity, Brahman. When the light of wisdom shines, the Truth is revealed! The Universe is enveloped by Divinity; it is its vesture! Jesus knew that God wills all. So even on the cross, when he suffered agony, he bore no ill-will towards any one and he exhorted those with him to treat all as instruments of His Will. "All are one; be alike to everyone." Practise this attitude in your daily lives. 



Ada dua sudut pandang yang bergumul agar dapat diterima olehmu - Paramarthika dan Vyavaharika – spiritual dan duniawi, berlandaskan pada kenyataan dan berlandaskan pada penampilan. Bayangkan engkau melihat seekor ular yang muncul di jalan. Pada kenyataannya, ini hanyalah seutas tali yang panjang. Namun ini kelihatan seperti seekor ular dan engkau merasa ketakutan. Rasa takutmu itu tidak merubah seutas tali menjadi seekor ular! Ketika engkau meneranginya dengan cahaya, engkau mendapatkan bahwa tali akan selalu seutas tali! Alam semesta apa yang nampak; pada kenyataannya adalah Tuhan atau Brahman. Ketika cahaya kebijaksanaan bersinar maka kebenaran akan terungkap! Alam semesta dibungkus oleh ketuhanan; alam semesta adalah pakaian Tuhan! Jesus mengetahui bahwa Tuhan yang berkehendak pada semuanya. Jadi bahkan ketika di kayu salib, ketika Jesus menderita kesakitan yang mendalam, beliau tidak memiliki kehendak buruk kepada siapapun juga dan beliau menasihati orang-orang yang ada bersamanya untuk memperlakukan semuanya sebagai alat dari kehendak-Nya. "Semuanya adalah satu; bersikaplah sama bagi setiap orang." Praktikkan sikap ini di dalam hidupmu sehari-hari. (Divine Discourse, Dec 24, 1980)

-BABA

 

Friday, April 2, 2021

Thought for the Day - 1st April 2021 (Thursday)

Members appear to be confused about the true meaning of this programme of ‘Ceiling on Desires’ decided on at the Tenth All India Conference of Sathya Sai Organisations. There are four components in the term ‘Ceiling on Desires’. They are - curb on excessive talk, curb on excessive desires and expenditure, control of consumption of food, and check on waste of energy. Man needs some essential commodities for his sustenance and he should not aspire for more. We can learn a lesson in this respect from Nature. Only if air is available in sufficient quantity will it be comfortable and good. If it is excessive and there is a gale, you will feel uncomfortable. When you are thirsty, you can consume only a limited quantity of water. You can't consume the entire water of the Ganga! We take only as much as is needed for the sustenance of the body. 



Para anggota/bhakta cenderung menjadi kelihatan bingung tentang arti sesungguhnya dari program ‘pembatasan keinginan’ yang diputuskan pada konferensi Organisasi Sathya Sai seluruh India ke-10. Ada empat komponen terkait dengan istilah ‘pembatasan keinginan’. Keempat komponen tersebut adalah – membatasi pembicaraan yang berlebihan, membatasi pada keinginan dan pengeluaran yang berlebihan, mengendalikan konsumsi makanan, dan memeriksa dalam pemborosan energi. Manusia membutuhkan beberapa komoditas mendasar untuk keberlangsungan hidupnya dan seharusnya tidak menginginkan lebih. Kita dapat belajar sebuah hikmah dalam hal ini dari alam. Hanya jika udara yang tersedia dalam jumlah yang cukup maka udara akan menjadi nyaman dan bagus. Jika udara yang ada berlebihan dan ada angin kencang, engkau akan merasa tidak nyaman. Ketika engkau haus, engkau hanya dapat meminum air pada batas tertentu. Engkau tidak bisa meminum seluruh air yang mengalir di sungai Gangga! Kita hanya mengambil sebanyak yang dibutuhkan untuk keberlangsungan tubuh kita. (Divine Discourse, Jan 19, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 31st March 2020 (Wednesday)

In a football game, six players on either side go on kicking the ball till it’s sent to the goal. The goal of life consists of two posts: secular and spiritual. You must see that the ball does not go beyond the posts. It should be hit within two posts. You are born as human with the goal that you are not born again. You must live within frames of secular and spiritual pursuits. Then you will attain liberation. Six bad qualities - lust, anger, greed, desire, pride and jealousy - are on one side and the good qualities - truth, right conduct, peace, love, nonviolence, and sacrifice - are on the other side. The game is between these two teams. Another lesson we learn from this game is, football is kicked as long as it's inflated with air (ego). When it’s deflated, you take it in your hands! To lead a fruitful and meaningful life, render service to mankind, which will take you nearer to God. 



Dalam permainan sepakbola, enam pemain di kedua tim terus menendang bola sampai mencapai gawang. Gawang hidup terdiri dari tiang gawang yaitu : duniawi dan spiritual. Engkau harus paham bahwa bola tidak boleh melewati tiang gawang itu. Bola harus masuk ke dalam gawang. Engkau lahir sebagai manusia dengan tujuan bahwa engkau tidak terlahir kembali. Engkau harus hidup di dalam bingkai pengejaran duniawi dan spiritual. Kemudian engkau akan mencapai pembebasan. Enam sifat-sifat buruk yaitu – nafsu, kemarahan, ketamakan, keinginan, kesombongan, dan iri hati adalah sebagai satu tim, sedangkan tim lainnya adalah sifat-sifat baik yaitu – kebenaran, kebajikan, kedamaian, cinta kasih, tanpa kekerasan, dan pengorbanan. Permainan adalah ada diantara kedua tim ini. Hikmah lain yang dapat kita pelajari dari permainan ini, bola yang dapat dipakai adalah bola yang terisi dengan udara (ego). Ketika bola itu kempis, engkau mengambil bola itu! Untuk menjalani hidup yang bermakna dan bernilai, berikan pelayanan kepada umat manusia yang akan membawamu semakin dekat kepada Tuhan. (Divine Discourse, Apr 18, 1998)

-BABA

 

Thought for the Day - 30th March 2021 (Tuesday)

Doctors know that the body temperature is normally 98.4 degrees. If this temperature goes up to 99, they say fever has set in due to some disorder in the body. We inhale and exhale at a normal rate. If there is a slight increase or decrease in the rate it indicates disorder in the body. Changes in the pulse rate or blood pressure also indicate disorder. So you find that if you cross the limits even to a little extent it is dangerous or harmful to the body. There is a limit for everything to function in a normal way. When your eyes happen to see a flash of lightning or a flash light while taking photographs, they automatically close because they can't withstand such high illumination. Ear drums also cannot tolerate hearing beyond a certain volume and we close our ears or keep cotton inside the ears. Our life thus is a limited company! Similarly our desires also should be limited. 



Dokter mengetahui bahwa suhu tubuh normalnya adalah 36-37 derajat Celsius. Jika suhu tubuh naik menjadi 38 derajat Celsius, maka dokter mengatakan bahwa demam telah terjadi karena beberapa gangguan di dalam tubuh. Kita menarik dan menghembuskan nafas dalam kecepatan normal. Jika ada sedikit kenaikan dan penurunan rasio laju nafas maka itu menandakan ada gangguan di dalam tubuh. Perubahan yang terjadi pada denyut nadi atau tekanan darah juga menandakan gangguan. Jadi sekarang engkau mengerti bahwa jika engkau melewati batas bahkan sedikit saja maka itu akan berbahaya atau membahayakan tubuh. Ada sebuah batas untuk segala sesuatunya agar semuanya dapat berfungsi secara normal. Ketika matamu kebetulan melihat kilatan petir atau kilatan cahaya saat pengambilan foto, maka mata secara otomatis akan terpejam karena mata tidak tahan melihat cahaya yang begitu tinggi. Genderang telinga juga tidak bisa tahan mendengar melebihi volume tertentu dan kita akan menutup telinga dengan kapas. Hidup kita adalah sebuah perkumpulan terbatas! Sama halnya keinginan kita seharusnya juga dibatasi. (Divine Discourse, Jan 19, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 29th March 2021 (Monday)

Whatever activities you do, love should be its foundation. There is no life (prana) without love. Life without love is of no use at all. Education system should be so transformed as to develop the principle of love in one’s heart. Truth (Sathya) and righteousness (Dharma) are the reflections of love (Prema). They give you the much-desired supreme peace (Prashanti). If love springs out from your heart, it is enough. It will give you salvation. In the Dwapara Yuga, Gopikas said to Lord Krishna, “Lord! Kindly pour down the nectar of love on our barren hearts. Sow the seeds of love. May the flood of love flow from our hearts!” They earnestly prayed to Krishna to fill their hearts’ yearnings. If the world is to prosper, the rain of love should pour on all hearts! 



Apapun aktifitas yang engkau lakukan, cinta kasih harus menjadi dasarnya. Tidak ada hidup (prana) tanpa cinta kasih. Hidup yang tanpa cinta kasih adalah sama sekali tidak ada gunanya. Sistem Pendidikan harus dirubah agar dapat mengembangkan prinsip cinta kasih di dalam hati setiap orang. Kebenaran (Sathya) dan kebajikan (Dharma) adalah cerminan dari cinta kasih (Prema). Semuanya ini memberikanmu kedamaian yang tertinggi (Prashanti) yang sangat diinginkan. Jika cinta kasih mekar di dalam hatimu, itu sudah cukup. Hal ini akan memberikanmu keselamatan. Di zaman Dwapara Yuga, para Gopika berkata kepada Sri Krishna, “Tuhan! Bermurah hatilah untuk mencurahkan nektar cinta kasih-Mu pada hati kami yang tandus. Taburlah benih cinta kasih di dalamnya. Semoga limpahan cinta kasih mengalir dari dalam hati kami!” Para Gopika beroda dengan sungguh-sungguh kepada Sri Krishna untuk memenuhi kerinduan dari hati mereka. Jika dunia ingin dalam keadaan sejahtera, hujan cinta kasih harus jatuh di semua hati! (Divine Discourse, Jan 27, 2004)

-BABA