Tuesday, June 30, 2020

Thought for the Day - 30th June 2020 (Tuesday)

The ideas and pronouncements of others may often be personal, or they may induce feelings of hatred between people. Why should we accept them as ours and mould our feelings accordingly? We should not try to shape our feelings and patterns of behaviour to conform to those of others. We should not relinquish our faith, our experience, and our innate holiness. We may not always be able to know the reasons for our faith. It originates and is shaped by our own personal likes and dislikes, our own dominant feelings. But we must not become the target for anger, hatred and jealousy and the evil deeds into which they lead us. Cultivate wide and inclusive feelings. Only then the aspirant is entitled to acquire higher learning. Only then you will earn respect in society. Keep far away from narrow, selfish thoughts, feelings, and plans. 


Gagasan dan pernyataan dari orang lain mungkin sering bersifat pribadi, atau mereka mungkin menimbulkan perasaan kebencian diantara banyak orang. Mengapa kita harus menerima semuanya itu sebagai milik kita dan membentuk perasaan kita sesuai dengan hal itu?  Kita seharusnya tidak mencoba membentuk perasaan kita dan pola tingkah laku untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Kita seharusnya tidak melepaskan keyakinan kita, pengalaman kita, dan kesucian bawaan kita. Kita mungkin tidak selalu mampu untuk mengetahui alasan untuk keyakinan kita. Hal itu muncul dan terbentuk dari rasa suka dan tidak suka yang bersifat pribadi, perasaan kita yang bersifat dominan. Namun kita seharusnya tidak menjadi sasaran dari amarah, kebencian, dan kecemburuan dan perbuatan jahat yang akan menuntun kita. Tingkatkan perasaan yang luas dan mencakup semuanya. Hanya dengan demikian para peminat spiritual berhak memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Hanya dengan demikian engkau akan mendapatkan rasa hormat dalam masyarakat. Menjauhlah dari rencana, perasaan, pemikiran yang bersifat sempit dan mementingkan diri sendiri. (Ch 16, Vidya Vahini)

-BABA

Thought for the Day - 29th June 2020 (Monday)

The Lord, it was said, punishes some and favours others. Let Me tell you, the Lord does neither. He is like the current in this electric wire. It rotates the fan and makes one’s life cooled; it operates the electric chair and makes one’s life shorter. It has no wish to allay the warmth of the atmosphere; it has no eagerness to kill. The Lord’s grace is like the wind that blows. Roll up your sails, and the boat lies limp and lame; unfurl them, and it moves faster and faster. It is like light: One person does good using the illumination; another executes an evil plan with its help. Have an “inner day” (let the light shine within like it is during the day) but an “outer night” (let the world outside be dark for you). The Vedas teach you this truth and impart the discipline needed to attain this fortune. 


Tuhan disebutkan menghukum beberapa dan menolong beberapa yang lainnya. Aku akan mengatakan kepadamu, Tuhan bukanlah kedua-duanya. Tuhan adalah seperti arus yang mengalir pada kabel listrik. Arus tersebut memutar kipas dan membuat hidup seseorang menjadi lebih sejuk; arus ini juga menyalakan kursi listrik yang mana mengambil hidup seseorang. Arus tersebut tidak memiliki keinginan untuk mendinginkan panasnya atmosfer; arus juga tidak memiliki keinginan untuk membunuh. Rahmat Tuhan adalah seperti angin yang berhembus. Dengan menggulung layarmu maka perahunya menjadi tidak dapat bergerak; membentangkan kembali layarnya dan perahu akan bergerak dengan semakin cepat dan lebih cepat lagi. Rahmat Tuhan adalah seperti cahaya: satu orang menggunakan cahaya untuk hal yang baik; sedangkan yang lain menggunakan cahaya untuk merencanakan kejahatan dengan bantuan cahaya. Milikilah “siang di dalam diri” (biarkan cahaya bersinar di dalam diri seperti pada saat siang hari) namun sebuah “malam di luar diri” (biarkan dunia luar tetap gelap bagimu). Weda mengajarkanmu kebenaran ini dan menanamkan disiplin yang dibutuhkan untuk mendapatkan keberuntungan ini. (Divine Discourse, Jan 25, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 28th June 2020 (Sunday)

The student seeking spiritual knowledge (vidya) must possess kindness, compassion, and love toward all living beings. Kindness to all beings should be the students' very nature. If it is absent, the student becomes a boor. More than anything else, spirituality is being compassionate toward living beings. If a person bears ill will against any being, his or her education has no meaning. The advice given in the Gita - adweshta sarva bhutanam - bear no ill-will toward any or all beings, conveys this message. In the same manner, Bhagawad Gita warns that any insult or injury or even neglect directed against any living being is an act that insults, injures or neglects the Divine (Sarva jiva thiraskaram Keshavam prati gacchati). The narrow vision that is limited to one’s family or community must be given up. Uniform compassion shown in this manner transforms itself into well-being for all the recipients. Wishing well for all is the sign of one who has earned spiritual knowledge. 


Pelajar yang mencari pengetahuan spiritual (vidya) harus memiliki kebaikan, welas asih, dan kasih kepada semua makhluk. Kebaikan kepada semua makhluk seharusnya menjadi sifat asli dari para pelajar. Jika sifat ini tidak ada maka pelajar akan menjadi seseorang yang kasar dan tidak berbudaya. Lebih daripada apapun yang lainnya, spiritual adalah menjadi penuh welas asih kepada makhluk hidup. Jika seseorang menyakiti yang lainnya maka itu berarti bahwa pendidikannya adalah tidak ada gunanya. Nasihat yang disampaikan dalam Gita adalah - adweshta sarva bhutanam – tidak menyakiti semua makhluk. Sama halnya dalam Bhagawad Gita memperingatkan kita bahwa menghina atau melukai atau bahkan mengabaikan makhluk hidup apapun adalah sebuah perbuatan yang menghina, menyakiti atau mengabaikan Tuhan (Sarva jiva thiraskaram Keshavam prati gacchati). Pandangan sempit yang dibatasi pada satu keluarga atau masyarakat harus dilepaskan. Kualitas welas asih yang sama dalam hal ini akan berubah menjadi kesejahteraan bagi semua penerimanya. Mengharapkan kebaikan bagi semuanya adalah tanda seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan spiritual (Ch 16, Vidya Vahini)

-BABA

Thought for the Day - 27th June 2020 (Saturday)

It is said that the Lord wishes that His devotees should be happier, more content and courageous than the rest. Devotion ought to make a person so, but all devotees do not cultivate these virtuous traits deep enough. Many let precious opportunities go wasted! If a father gives each of his children hundred acres of land, one may tend it well and reap golden harvests from it: another may allow it to lay barren and sink themselves into misery. The equipment each brought from their previous lives may be different, so there is no point in blaming the father for this state of affairs. Even within the family, the blood of one person may be fatal when transfused into another person, isn’t it? It is common for spiritual strength to be less in one and more in another; it is proportionate to the efforts of each, now and in the past. God’s grace is blemishless like light: One person does good using light; another executes an evil plan! Make the light within you shine! 


Dikatakan bahwa Tuhan berharap bahwa bhakta-Nya seharusnya bahagia, lebih bersyukur dan lebih berani daripada yang lainnya. Bhakti seharusnya membuat seseorang menjadi seperti ini, namun semua bhakta tidak memupuk sifat-sifat mulia ini cukup dalam. Banyak yang melepaskan dan menyia-nyiakan kesempatan yang berharga hilang sia-sia! Jika seorang ayah memberikan setiap orang anak-anaknya ratusan hektar tanah, seseorang mungkin merawat tanah itu dan menghasilkan panen emas dari penggunaan tanah itu: sedangkan yang lainnya mungkin membiarkan tanah itu tandus dan memburuk sendiri menjadi rusak. Perlengkapan yang setiap orang bahwa dari kehidupan sebelumnya mungkin berbeda, jadi tidak ada alasan untuk menyalahkan ayah atas keadaan ini. Bahkan di dalam keluarga, darah dari seseorang mungkin bisa menjadi malapetaka Ketika ditransfusikan kepada orang lain, bukan? Adalah umum dalam kekuatan spiritual ada yang lebih kurang dan lebih besar pada yang lainnya; ini sebanding dengan upaya masing-masing sekarang dan di masa lalu. Rahmat Tuhan adalah tidak tercela seperti halnya cahaya: satu orang menggunakan kebaikan dalam menggunakan cahaya; sedangkan yang lain melakukan rencana jahat! Buatlah cahaya di dalam dirimu bersinar! (Divine Discourse, Jan 25, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 26th June 2020 (Friday)

To promote the best interest of mankind, you must cultivate the holy urge of service to others and the attitude of sharing. The parrot-talk, “Service to man is service to God (Manava seva is madhava seva)” does not extend to all people; those who reel off this axiom don’t enquire who has to be served. They are eager only to fill their own stomachs; for this purpose they restrict their mental horizons to the uplift of their own people. Thus they lay waste the valuable education they have received. One forgets the fact that God is in perceptible form in all beings. Service rendered to any being is service offered to God. This has to be the chief goal of the educated. A human is God (nara is Narayana). Every single act has to be elevated as an act of service to God. 


Untuk mempromosikan kepentingan terbaik umat manusia, engkau harus memupuk dorongan suci pelayanan kepada orang lain dan sikap berbagi. "Pelayanan kepada manusia adalah pelayanan kepada Tuhan (Manava seva adalah madhava seva)" tidak menjangkau semua orang; mereka yang hanya dapat menyebutkan aksioma ini tidak menanyakan siapa yang harus dilayani. Mereka hanya ingin mengisi perut mereka sendiri; untuk tujuan ini mereka membatasi cakrawala mental mereka untuk mengangkat rakyat mereka sendiri. Dengan demikian mereka membuang-buang pendidikan berharga yang mereka terima. Seseorang melupakan fakta bahwa Tuhan berada dalam wujud yang dapat dilihat dalam semua makhluk. Pelayanan yang diberikan kepada makhluk apa pun adalah pelayanan yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ini harus menjadi tujuan utama dari mereka yang berpendidikan. Manusia adalah Tuhan (nara adalah Narayana). Setiap tindakan harus diposisikan sebagai tindakan pelayanan kepada Tuhan. (Ch 15, Vidya Vahini)

-BABA

Friday, June 26, 2020

Thought for the Day - 25th June 2020 (Thursday)

“The leaf-plate on which a full lunch has been served will lie low on the floor. The leaf-plate on which nothing is placed will hop high with every gust of wind.” Thus says the proverb. So too, the person who has much scholarship and many skills will lead an unassuming life. But one who has not derived genuine education and the strength it can confer lives in pomp and pride. That person struggles to hide defects from being known to others. And, in the end, the struggles don’t succeed. One meets with double ruin — one doesn’t experience spiritual bliss (ananda) and one doesn’t impart it to others. In the end, one becomes the target of ridicule. Therefore, don’t allow the desire for ostentation to enter the mind; don’t allow egotism to approach you. Be humble and be loyal to high ideals. Only then can you serve the cause of world peace and prosperity. 


“Piring daun yang penuh dengan makan siang yang siap disajikan akan terletak rendah di atas lantai. Piring daun yang kosong dan tidak ada yang ditempatkan di atasnya akan terbang tinggi setiap hembusan angin.” Demikian kata pepatah. Begitu juga, seseorang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan dan banyak keterampilan akan menjalani hidup yang sederhana. Namun seseorang yang belum mendapatkan pendidikan yang sejati dan kekuatan yang ditimbulkan oleh pendidikan sejati ini, hidup dalam kesombongan dan kebanggaan. Orang seperti itu berusaha untuk menyembunyikan cacat celanya agar tidak diketahui oleh orang lain. Dan pada akhirnya, usahanya tidak berhasil. Orang itu mendapatkan kegagalan ganda – dia tidak mengalami kebahagiaan spiritual (ananda) dan tidak juga memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Pada akhirnya, dia menjadi sasaran dari cemoohan. Maka dari itu, jangan izinkan keinginan untuk kesombongan memasuki pikiran; jangan izinkan egoisme mendekatimu. Jadilah rendah hati dan setia pada idealisme yang tinggi. Hanya dengan demikian engkau dapat mengabdi bagi kedamaian dan kesejahteraan dunia. (Vidya Vahini, Ch 15)

-BABA

Thought for the Day - 24th June 2020 (Wednesday)

Imitation can never become culture. You may wear royal robes and act the role, but through imitation, can you become a king? Imitation is a sign of cowardice, it leads you down, step by step, into frightful consequences. It cannot further one’s progress. Endeavour to uplift yourselves, as yourselves. Be proud that you are Indians (Bharathiyas), children dear to God, be proud of your ancestors. We have much to learn from others, you must learn good things from all. However, never imitate and copy others’ attitudes. We sow seeds in the ground. We provide it with soil, manure, and water. The seed sprouts, becomes a sapling, and grows into a huge tree. It does not become the soil in which it is placed, nor the manure it feeds upon, nor the water it partakes. It only imbibes from each of them whatever it can benefit from them. It grows into what it essentially is, that is, a huge tree! May you grow likewise. 


Imitasi atau peniruan tidak akan pernah menjadi budaya. Engkau mungkin memakai jubah yang sangat mewah dan bermain sesuai peran itu, namun hanya melalui peniruan, dapatkah engkau menjadi seorang raja? Peniruan adalah sebuah tanda dari perasaan pengecut, hal ini menuntunmu pada kejatuhan Langkah demi Langkah menuju pada akibat yang buruk sekali. Peniruan tidak akan bisa membawa seseorang pada kemajuan. Berusahalah dengan keras untuk mengangkat dirimu sendiri sebagai dirimu. Berbanggalah bahwa engkau adalah orang India (Bharathiya), anak-anak yang sayang pada Tuhan, banggalah pada leluhurmu. Kita telah belajar banyak dari yang lainnya, engkau harus belajar hal-hal yang baik dari semuanya. Bagaimanapun, jangan pernah meniru dan menjiplak tingkah laku orang lain. Kita menabur benih di atas tanah. Kita menyediakan benih itu tanah, pupuk, dan air. Benih akan tumbuh menjadi pohon muda dan tumbuh menjadi sebuah pohon yang sangat besar. Benih itu tidak akan menjadi tanah tempat dia tumbuh, dan tidak juga menjadi pupuk yang memberikannya makan, dan tidak juga menjadi air yang diminumnya. Benih itu hanya mengambil dari setiap bagian itu apapun yang menguntungkannya. Benih itu tumbuh menjadi apa yang merupakan sifat dasarnya yaitu pohon yang besar! Semoga engkau tumbuh seperti itu. (Vidya Vahini, Ch 14)

-BABA

Thought for the Day - 23rd June 2020 (Tuesday)

You may master a billion fields of study, but if you have not cultivated the attitude of detachment, that mastery is of no consequence. Sharing with others and serving others selflessly with love is the main rule (sutra) of spiritual knowledge (vidya) - that is its genuine expression. Just as trees don’t eat their fruits but offer them to be eaten by others in an attitude of detachment; just as rivers, without drinking the waters they carry, quench the thirst and cool the heat from which others suffer; just as cows offer their milk, produced primarily for their calves, to be shared by others in a spirit of generosity born of renunciation (tyaga); so too, those who have acquired spiritual knowledge should offer it to others prompted by the motive of service and without consideration of selfish interests. Only thus can anyone justify their status as noble (sajjana). 


Engkau mungkin menguasai milyaran bidang pembelajaran, namun jika engkau tidak meningkatkan sikap tanpa keterikatan, apa yang engkau kuasai adalah tidak ada maknanya. Berbagi dengan yang lain dan melayani yang lain dengan tanpa pamrih dengan kasih adalah aturan utama (sutra) dari pengetahuan spiritual (vidya) – itu adalah ungkapan aslinya. Seperti halnya pohon tidak makan buahnya sendiri namun memberikan buahnya kepada yang lainnya dengan sikap tanpa keterikatan; seperti halnya sungai, yang tidak meminum air yang dibawanya, namun menghilangkan rasa haus dan menyejukkan rasa panas yang diderita oleh orang lain; sama halnya dengan sapi yang memberikan susu mereka, yang dihasilkan terutama untuk anak sapi, namun dibagi kepada yang lainnya dengan semangat kemurahan hati yang muncul dari pelepasan duniawi (tyaga); begitu juga, bagi mereka yang telah mencapai pengetahuan spiritual seharusnya mempersembahkan pengetahuan itu kepada yang lainnya yang di dorong oleh niat pelayanan dan tanpa adanya kepentingan pribadi. Hanya dengan demikian siapapun dapat membenarkan status mereka sebagai orang yang mulia (sajjana). (Vidya Vahini, Ch 15)

-BABA

Thought for the Day - 22nd June 2020 (Monday)

Through dhyana (meditation) you develop jnana (wisdom) and by japam (recitation of God's Name) you develop bhakti (devotion), and by both you cleanse your heart of ego. You can link yourselves with God, by a chain of love, through the recitation of the name, in silence and with full awareness of the meaning and its nuances. Each ‘Sai Ram, Hare Krishna, or Vitthala’ is a link; the more the links the longer the chain, and firmer the bond. But each link must be forged out of well-tempered steel. One false link, a Name once uttered in sloth or slight, indifference or anger, resentment or rancour, will constitute a weak link and that bond will not bind! Also be careful to not cavil at another's faith. There is a road from each heart to God who is the source of all joy. Each one will come in their own good time, at their own pace, through their own inner urge, along the path God reveals to them as their own. 


Melalui dhyana (meditasi) engkau mengembangkan jnana (kebijaksanaan) dan melalui japam (pengulangan nama suci Tuhan) engkau mengembangkan bhakti, dan melalui keduanya engkau membersihkan hatimu dari ego. Engkau dapat menghubungkan dirimu dengan Tuhan dengan rantai kasih, melalui pengulangan nama suci Tuhan, dalam keheningan dan dengan penuh kesadaran akan makna dan nuansanya. Setiap ‘Sai Ram, Hare Krishna, atau Vitthala’ adalah sebuah tautan; semakin banyak tautannya maka semakin panjang rantainya, dan semakin kuat ikatannya. Namun setiap tautan ditempa pada baja yang dikeraskan. Satu tautan palsu dalam bentuk nama Tuhan yang dilantunkan dalam kemalasan dan acuh, lalai atau marah, dendam atau benci, akan membentuk mata rantai yang lemah dan ikatan itu tidak akan mengikat! Juga berhati-hati untuk tidak mencela keyakinan yang lain. Ada sebuah jalan dari setiap hati kepada Tuhan yang merupakan sumber dari semua suka cita. Masing-masing akan datang dalam waktu baik mereka sendiri, dalam kecepatan mereka sendiri, melalui dorongan dalam batin mereka sendiri, sepanjang jalan dimana Tuhan mengungkapkan pada mereka sebagai milik mereka. (Divine Discourse, Jan 05, 1971)

-BABA

Sunday, June 21, 2020

Thought for the Day - 21st June 2020 (Sunday)

The Vedas have declared, “Revere the mother as God, father as God, and preceptor as God.” In daily existence, they are gods for worldly purposes. For the human body, the mother, father and preceptor are to be deemed as divine. But for the pursuit of life, the Supreme Divine is the only God. There is another Sanskrit saying that hails God as mother, father, kinsman, friend, wealth, knowledge, and in fact the Supreme Lord of everything. This means that for the spiritual life, God is everything. The mother and father are residents of the home. The preceptor dwells in his ashram. But God is the indweller of the heart. Only God can reside in the heart. It is true that mother, father, and preceptor are divine, but they are not entitled to dwell in the heart. They have to be revered, adored, and made happy. God alone deserves to be worshipped. God is nearer to man than his mother, closer than even the father. To give up such God is a heinous sin. This is the truth proclaimed by Sai. 


Weda menyatakan, “Muliakan ibu sebagai Tuhan, muliakan ayah sebagai Tuhan, dan muliakan guru sebagai Tuhan.” Dalam kehidupan sehari-hari, ibu, ayah, dan guru adalah Tuhan untuk tujuan duniawi. Untuk tubuh manusia, ibu, ayah dan guru dianggap sebagai Tuhan. Namun untuk pencarian hidup, Tuhan yang tertinggi adalah satu-satunya Tuhan. Ada juga pernyataan dalam Sansekerta menyatakan panggil Tuhan sebagai ibu, ayah, kerabat, sahabat, kekayaan, pengetahuan, dan sejatinya Tuhan yang tertinggi adalah segalanya. Ini berarti bahwa untuk kehidupan spiritual, Tuhan adalah segalanya. Ibu dan ayah adalah penghuni rumah. Guru tinggal di dalam ashramnya. Namun Tuhan adalah yang bersemayam di dalam hati. Hanya Tuhan dapat tinggal di dalam hati, adalah benar bahwa ibu, ayah, dan guru adalah Tuhan, namun mereka tidak berhak tinggal di dalam hati. Mereka harus dimuliakan, dipuja, dan membuat mereka bahagia. Hanya Tuhan yang layak untuk dipuja. Tuhan adalah lebih dekat dengan manusia daripada ibu dan ayahnya. Dengan melepaskan Tuhan adalah dosa yang sangat keji. Ini adalah kebenaran yang disampaikan oleh Sai. (Divine Discourse, May 06, 1998)

-BABA

Saturday, June 20, 2020

Thought for the Day - 20th June 2020 (Saturday)

Even though the human body is impermanent, it has to be carefully looked after, because it enshrines the divine Atma. Without a healthy and strong body, you will easily fall a victim to numerous ailments. Each organ has its own beauty, which has to be fostered. A weak and unhealthy body is incapable of any resolute action. Pure, noble, and sublime ideas can emanate only from a strong and healthy body. All religions are agreed on this point. Although the body is impermanent, special care should be taken to maintain it properly because it provides residence for the eternal Atma. The divine spirit illumines the body although the latter is composed of flesh, blood, faeces, urine and other foul smelling and impure things. Atma does not grow with the body, nor does it decay along with the body. The Atma principle is not subject to growth or decay. It is ever pure, precious and immutable. 


Walaupun tubuh manusia bersifat tidak kekal, namun tubuh dengan sewajarnya harus dijaga dengan baik karena tubuh adalah tempat suci dari Atma. Tanpa tubuh yang sehat dan kuat, engkau akan dengan mudah menjadi korban dari berbagai jenis penyakit. Setiap organ memiliki keindahannya masing-masing yang harus dikembangkan. Tubuh yang lemah dan tidak sehat tidak mampu melakukan perbuatan apapun juga. Pemikiran yang suci, mulia dan agung hanya dapat muncul dari tubuh yang kuat dan sehat. Semua agama setuju akan poin ini. Walaupun tubuh bersifat tidak kekal, perhatian khusus harus diberikan untuk menjaganya dengan baik karena tubuh menyediakan tempat bagi Atma yang kekal. Atma menyinari tubuh walaupun tubuh tersusun dari daging, darah, feses, urin, dan bagian-bagian yang berbau busuk dan tidak suci lainnya. Atma tidak tumbuh dengan tubuh, dan tidak juga membusuk bersama dengan tubuh. Prinsip Atma tidak tunduk pada pertumbuhan atau pembusukan. Atma selamanya bersifat suci, berharga, dan abadi. (Ch 03, Summer Showers 1990)

-BABA

Thought for the Day - 19th June 2020 (Friday)

The Atma, by its very nature, is self-sufficient and full. No other spiritual discipline is needed to realise that state. Purity is our nature; self-sufficiency (paripurnata) is also the nature of our Self. Students should not ignore or forget this fact. Real education must arouse this faith and infuse the awareness of this fullness in every activity. This is the essential aim, the core of the right type of education. One other truth has to be kept in mind, more than anything else. For Indians (Bharathiyas), religion means experience, nothing less. Our position is that no achievement is worthwhile unless one earns it by one’s own efforts. Everything valuable must be cultivated by oneself. Divine grace awaits individual striving and spiritual practice (sadhana). The doctrines and directives of religion have to be assimilated by means of actual experience. The truth has to be identified; this is the very first step. The sooner we understand the truth, the sooner religious conflicts and credal dissensions will disappear. 


Atma, yang sesuai dengan sifatnya adalah mencukupi kebutuhannya sendiri dan lengkap. Tidak ada latihan spiritual yang dibutuhkan untuk menyadari keadaan itu. Kesucian adalah sifat kita; mencukupi kebutuhan sendiri (paripurnata) adalah juga sifat dari diri kita yang sejati. Para pelajar seharusnya tidak mengabaikan atau melupakan kenyataan ini, pendidikan yang sejati harus membangkitkan keyakinan ini dan menanamkan kesadaran akan kesempurnaan ini dalam setiap aktifitas. Ini adalah tujuan yang mendasar, inti dari jenis pendidikan yang benar. Satu kebenaran lain yang harus tetap di ingat di dalam pikiran lebih daripada yang lainnya. Bagi para putra (Bharathiya), agama berarti pengalaman, tidak kurang dari itu. Pengalaman kita menyatakan tidak ada pencapaian yang berharga kecuali jika tidak diraih dengan usahanya sendiri. Segala sesuatu yang berharga harus ditingkatkan dengan usaha sendiri. Rahmat Tuhan menunggu usaha dan latihan spiritual pribadi. Doktrin dan petunjuk agama harus dipahami melalui pengalaman nyata. Kebenaran harus dikenal; ini adalah langkah awal. Semakin cepat kita memahami kebenaran, semakin cepat pertikaian agama dan konflik kepercayaan akan lenyap. (Ch 14, Vidya Vahini)

-BABA

Thought for the Day - 18th June 2020 (Thursday)

The growing crop in the fields thirsts for rain. It sees the heavy rain clouds sail across the sky, but it cannot rise up to that altitude and drink the life-giving rain; nor can it bring the clouds down to the ground. Humanity too sizzles in the hot sun, the unbearable heat of ego and greed. It needs the rain of grace; it knows only then it can flourish in peace and joy. Just as the clouds form droplets and fall upon the fields that they choose to foster, the Formless Absolute individualises Itself, assumes form, and comes down in the midst of humanity to save and sustain - that is the secret of God (Madhava) coming down as man (manava), the cloud taking pity on the crop parching in the sun. Once the rains come, the sun has its uses! So too, when the grace of the Lord is gained, ego and greed can be put to profit by being made to flow into useful channels. 


Tanaman yang tumbuh di sawah sangat memerlukan air hujan. Tanaman itu menyaksikan awan hujan yang gelap bergerak di atas langit, namun tanaman itu tidak bisa naik sampai pada ketinggian langit dan menikmati air hujan pemberi kehidupan; dan tidak juga bisa membawa awan gelap itu turun ke tanah. Umat manusia juga tidak tahan di bawah terik matahari, panas yang tidak tertahankan dari ego dan ketamakan. Untuk itu diperlukan hujan rahmat; umat manusia mengetahui hanya dengan begitu dapat tumbuh dalam kedamaian dan suka cita. Sama seperti awan yang membentuk tetes-tetes air hujan yang jatuh di sawah yang telah dipilih untuk dikembangkan, Absolut yang tidak berbentuk membentuk dirinya sendiri, mengambil wujud, dan hadir diantara manusia untuk menyelamatkan dan menopangnya – itu adalah rahasia dari Tuhan (Madhava) datang ke dunia mengambil bentuk manusia (manava), awan merasa sangat kasihan dengan tanaman yang kering di bawah terik matahari. Sekali hujan turun, maka matahari memiliki kegunaannya! Begitu juga, ketika rahmat Tuhan didapatkan, ego, dan ketamakan dapat dimanfaatkan dengan dibuat mengalir ke saluran yang bermanfaat. (Divine Discourse, Jan 25, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 17th June 2020 (Wednesday)

One who condemns oneself day and night as petty and weak can never accomplish anything. One who thinks that one is unlucky and low thereby becomes unlucky. Instead, when you cultivate the awareness that you are a spark of God, that you have as your reality Divinity Itself, you can become really divine, and you can have command over all powers. As you feel, so you become (Yad bhavam, tat bhavati). It is how you feel that matters most. That is the basis for all that you are. Have faith in the Atma, the Self. In its absence, you are reduced to a monster, reveling in vice and wickedness. Your forefathers achieved prosperity, peace, and joy and successfully attained their goals through that faith alone. Remember, when you lose faith, you are certain to fall, for faith is the very breath of life. Faith in the Self is the expression of the Divine (Shiva) principle. Faith will endow one with all forms of power and render you full and complete (purna). 


Seseorang yang menyalahkan dirinya sendiri siang dan malam sebagai seseorang yang rendah dan lemah tidak akan pernah bisa menyelesaikan apapun juga. Seseorang yang berpikir bahwa dirinya adalah tidak beruntung dan hina maka dengan demikian hidupnya menjadi tidak beruntung. Sebaliknya, ketika engkau meningkatkan kesadaran bahwa engkau adalah percikan dari Tuhan, bahwa kenyataanmu yang sejati adalah Tuhan sendiri, engkau memiliki sifat-sifat Tuhan, dan engkau dapat mempunyai kuasa atas segala kekuatan. Engkau akan menjadi seperti apa yang kaupikirkan atau kaurasakan (Yad bhavam, tat bhavati). Bagaimana engkau merasakannya, itulah yang paling penting. Itu adalah dasar dari semua dirimu. Miliki keyakinan pada Atma, Jati Diri yang sejati. Tanpa adanya keyakinan ini maka engkau merosot menjadi raksasa, yang bersuka ria dalam kejahatan dan kekejian. Nenek moyangmu mencapai kemakmuran, kedamaian dan suka cita dan telah berhasil mencapai tujuan mereka hanya melalui keyakinan saja. Ingatlah, ketika engkau kehilangan keyakinan, engkau pastinya akan terjatuh, karena keyakinan adalah sebagai nafas kehidupan. Yakin pada Diri yang Sejati adalah ungkapan dari prinsip Tuhan (Shiva). Keyakinan akan menganugerahkan seseorang dengan semua bentuk kekuatan dan memberikanmu kesempurnaan (purna)! (Ch 14, Vidya Vahini)

-BABA

Thought for the Day - 16th June 2020 (Tuesday)

As part of religions, creeds and cults may exist as branches of a tree. None should condemn them as wrong. Also, no branch should fight against another or compete with another. When that happens, the tree will be destroyed and all will end in ruin. When creeds indulge in competitive rivalry, religion is ruined and the world is destroyed. Only One exists; wise describe it in many ways (Ekam sath; viprah bahudha vadanti). Each of us may have different ideas on the nature and characteristics, form and attributes of God. One person may believe God as having qualities and form of humans. Another may believe in a God devoid of human form and signs, but yet manifesting in all embodiments. Another may believe in God as altogether formless. The real truth is, all have faith in God, in a mysterious power (sakti) that is the source, support, and sustenance of all, a power that subsumes all creation! 


Sebagai bagian dari agama, mungkin timbul beberapa aliran kepercayaan seperti cabang-cabang yang muncul dari batang pohon. Tidak ada seorangpun yang boleh mencela atau menyalahkan semuanya itu. Dan juga, tidak boleh ada cabang-cabang pohon itu yang saling bertengkar dengan cabang yang lain atau saling bersaing satu dengan yang lainnya. Ketika itu terjadi, pohon juga akan roboh dan semua cabang itu akan berakhir dalam kehancuran. Ketika berbagai kepercayaan terlibat dalam persaingan, agama akan runtuh dan dunia akan hancur. Hanya Tuhan yang Maha Esa yang masih tetap ada; orang bijak menyebutnya dengan banyak nama (Ekam sath; viprah bahudha vadanti). Setiap orang dari kita memiliki pemikiran yang berbeda mengenai sifat dan karakteristik dari wujud Tuhan. Satu orang mungkin percaya bahwa Tuhan memiliki sifat dan wujud manusia. Yang lainnya mungkin percaya pada Tuhan yang tidak memiliki wujud dan tanda-tanda manusia, namun menampilkan dalam satu perwujudan. Sedangkan yang lain mungkin percaya pada Tuhan yang sama sekali tanpa wujud. Kebenaran yang sesungguhnya adalah, semuanya memiliki keyakinan pada Tuhan, pada kekuatan misterius (sakti) yang merupakan sumber, penopang dan pemelihara semuanya, suatu kekuatan yang mencakup semua ciptaan! (Vidya Vahini, Ch 13)

-BABA

Thought for the Day - 15th June 2020 (Monday)

When you come across a big fault in others, just consider it to be trivial. Then you will not be critical. Suppose there is a small fault in you; try to magnify it such that you will never think of committing a similar fault again. By looking at it that way, you will never have occasion to be guilty of the same fault again. On the other hand, if you conceal your fault and try to point out the fault of others, it will not be good either for you or for the others. Do not always lead in pointing out others' faults. Also, if anyone points out a fault in you, humbly accept it, because you, by yourself, will not be able to find out where you are in the wrong. It is difficult to identify your own faults, because your vision is directed outward, you will not be able to find the fault in your own nature! 


Ketika engkau mendapatkan kesalahan besar dalam diri orang lain, anggaplah kesalahan itu adalah sepele. Kemudian engkau tidak akan menjadi mencela. Seandainya ada sebuah kesalahan kecil pada dirimu; cobalah untuk merasakan bahwa itu adalah kesalahan yang sangat besar sehingga engkau tidak akan pernah berpikir untuk melakukan kesalahan yang sama lagi. Dengan melihatnya dengan cara seperti itu, engkau tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk merasa bersalah pada kesalahan yang sama lagi. Sebaliknya, jika engkau menyembunyikan kesalahan dan mencoba mencari kesalahan dalam diri orang lain, hal ini tidaklah baik bagi dirimu dan juga bagi yang lainnya. Jangan selalu melihat atau menunjukkan kesalahan orang lain. Namun, jika siapapun juga yang menunjukkan kesalahan pada dirimu, dengan rendah hati terima hal itu, karena engkau tidak akan mampu menemukan kesalahanmu sendiri ketika engkau salah. Adalah sulit untuk mengenali kesalahan kita sendiri, karena pandanganmu diarahkan keluar diri, engkau tidak akan mampu untuk menemukan kesalahan pada sifatmu sendiri! (Ch 16, Summer Showers 1978)

-BABA

Sunday, June 14, 2020

Thought for the Day - 14th June 2020 (Sunday)

So long as there is the feeling of anger and ego in our hearts, we will not be able to feel well in our life; we will feel sick in our mind. One’s anger is one’s greatest enemy and one’s calmness is one’s protection. The one who is possessed by anger will be hated by people because the person will commit a number of bad deeds. Sometimes, ego also joins the feeling of anger. Living life obsessed with pride, ego and anger is harmful. If we aim at transcendental reality and Divinity, we must decide to bring this great emotion of anger under control. While the funeral pyre consumes the dead, chinta, or an agitated mind, reduces to ashes the living body. It is a living death if one is obsessed by pride, ego and anger. Anger is caused by weakness. It is not the weakness of the body but of the mind. To give strength to our mind and remove the weakness from our mind, it is necessary to fill it with good thoughts, good feelings and good ideas. 


Selama masih ada perasaan marah dan ego di dalam hati kita, kita tidak akan mampu untuk merasa baik di dalam hidup kita; kita akan merasa sakit di dalam pikiran kita. Kemarahan yang seseorang miliki adalah musuh yang paling besar dan ketenangan adalah perlindungannya. Seseorang yang diliputi oleh amarah akan dibenci oleh banyak orang karena dia akan melakukan banyak perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Kadang-kadang, ego juga bergabung dengan perasaan marah. Menjalani hidup dengan diliputi oleh kesombongan, ego, dan amarah adalah berbahaya. Jika kita memiliki tujuan pada kerohanian dan ketuhanan, kita harus memutuskan untuk dapat mengendalikan emosi yang sangat besar ini yaitu amarah. Ketika tumpukan kayu bakar kematian membakar yang sudah mati, cinta, atau pikiran yang gelisah, menjadikannya abu. Ini merupakan sebuah kematian saat hidup jika seseorang diliputi oleh kesombongan, ego, dan kemarahan. Kemarahan disebabkan oleh kelemahan. Ini bukanlah kelemahan pada tubuh namun pada pikiran. Untuk memberikan kekuatan pada pikiran kita dan menghilangkan kelemahan pikiran kita, adalah perlu untuk mengisi pikiran dengan pemikiran yang baik, perasaan yang baik, dan ide yang baik. (Ch 17, Summer Showers 1978)

-BABA

Thought for the Day - 13th June 2020 (Saturday)

The lotus leaf is born underwater and it floats on water but it does not get wet. Likewise, you must be in the world — in it, by it, for it, but not of it. The special feature of higher education is to prepare you for this role. That is to say, you must live thus on earth with your heart immersed in the Divine and your hands busy in work. Love should not degenerate into an article of commerce. Love fulfils itself in love. According to the point of view of great people and of the spiritual teachers of India, one advances not from falsehood to truth but from the partly true to the fully true. Each individual Atma can be called a garuda bird, which soars higher and higher and, gathering supernatural strength, at last reaches the solar orb with unlimited splendour and majesty. 


Daun bunga teratai muncul dari bawah air dan terapung di atas air namun daun itu tidak menjadi basah oleh air. Sama halnya, engkau harus ada di dunia – di dalamnya, olehnya, untuknya, tetapi tidak dari dunia. Ciri khusus dari pendidikan yang lebih tinggi adalah untuk mempersiapkan untuk peran ini. Dengan kata lain, engkau harus hidup di dunia dengan hatimu tenggelam di dalam Tuhan dan tanganmu sibuk bekerja. Kasih seharusnya tidak merosot menjadi sebuah barang dagangan. Kasih mendapatkan pemenuhan dari kasih. Sesuai dengan sudut pandang dari orang-orang yang hebat dan guru-guru spiritual India, seseorang maju berkembang bukan dari kesalahan menuju kebenaran namun dari kebenaran sebagian menuju kebenaran sepenuhnya. Setiap Atma individu dapat dimisalkan sebagai burung garuda, yang terbang semakin tinggi dan tinggi serta mengumpulkan kekuatan supernatural, pada akhirnya mencapai matahari dengan kemegahan dan keagungan yang tidak terbatas. (Vidya Vahini, Ch 13)

-BABA

Thought for the Day - 12th June 2020 (Friday)

All of you must forget two things. First, forget whatever help you have done to others. Second, forget whatever harm others have done to you. Because, if you remember the harm others did to you, you will plan to take revenge. If you forget, the thought of doing harm will not arise. If you remember the help you rendered, you will look forward to a return from them. Hence, forget both! On the contrary, always remember these two eternal truths! “God is One”, and second, “death is pre-ordained”. We make preparations when we desire to go for a marriage or a cinema. If you do not want to go to a marriage, you can choose not to. Similarly, if you do not want to go to a cinema, you can postpone it for later. But the last journey, the journey to your death, can neither be cancelled nor postponed. What preparations are we making for the final journey? 


Semua darimu harus melupakan dua hal. Hal pertama adalah melupakan apapun pertolongan yang engkau telah lakukan pada orang lain. Hal kedua adalah melupakan apapun penderitaan yang orang lain telah lakukan kepadamu. Karena, jika engkau mengingat penderitaan yang orang lain lakukan kepadamu, engkau akan berencana untuk membalas dendam. Jika engkau melupakannya, maka pemikiran untuk melakukan pembalasan tidak akan muncul. Jika engkau mengingat pertolongan yang telah engkau lakukan, engkau akan memikirkan balasan dari mereka. Oleh karena itu, lupakan keduanya itu! Sebaliknya, selalulah ingat akan dua kebenaran yang abadi! Bagian pertama adalah “Tuhan adalah Esa”, dan yang kedua adalah, “kematian adalah sebuah takdir”. Kita melakukan persiapan ketika kita ingin pergi ke sebuah pernikahan atau ke bioskop. Jika engkau tidak ingin pergi ke sebuah pernikahan, engkau dapat memilihnya untuk membatalkannya. Sama halnya, jika engkau tidak ingin pergi ke bioskop, engkau dapat menundanya untuk nanti saja. Namun perjalanan terakhir, perjalanan pada kematianmu, tidak bisa dibatalkan dan ditunda. Apa persiapan yang kita sedang lakukan untuk perjalanan terakhir ini? (Ch 15, Summer Showers 1972)

-BABA

Thought for the Day - 11th June 2020 (Thursday)

You are the dearly loved children of the Lord. You are as pure and as sacred as air. Don’t condemn yourselves as sinners. You are lion cubs, not sheep. You have taken birth as inheritors of eternal bliss. You are wavelets of immortality, not bodies compounded from matter. Material objects are here to serve you at your bidding: not the other way around. Don’t think that scriptures (Vedas) lay down a bundle of frightening rules, regulations and laws. Every rule is given to you by the Lord, as law-giver. All elements in the cosmos, every particle everywhere, are acting every moment as ordered by Him, remember! No worship can be higher and more beneficial than serving such a Lord. One has to offer love to Him, more love than one bears to anything else in this world and the next. He must be loved as the One and Only. Remember Him adoringly with such love always! 


Engkau adalah anak-anak Tuhan yang sangat dikasihi. Engkau adalah murni dan suci seperti udara. Jangan mengutuk dirimu sendiri sebagai pendosa. Engkau adalah anak singa dan bukan domba. Engkau telah lahir sebagai ahli waris kebahagiaan yang abadi. Engkau adalah riak gelombang samudera keabadian, dan bukan tubuh yang disusun oleh unsur. Objek-objek material yang ada adalah untuk melayani dan melakukan perintahmu: jangan mengabdi dan melakukan perintah mereka. Jangan berpikir bahwa naskah suci (Veda) menetapkan setumpuk peraturan serta ketentuan dan hukum yang menakutkan kita. Setiap peraturan yang diberikan kepadamu oleh Tuhan sebagai pemberi hukum. Semua unsur di alam semesta, setiap partikel di mana saja, semuanya bergerak atas perintah-Nya, ingatlah! Tidak ada ibadah yang dapat lebih tinggi dan lebih bermanfaat daripada melayani Tuhan seagung itu. Kita harus mempersembahkan kasih kepada-Nya, lebih banyak kasih daripada yang disandangnya pada apapun yang lain di dunia dan di akhirat. Tuhan harus disayangi sebagai Yang Maha Esa dan Tunggal. Tuhan harus diingat selalu dengan kasih dan hormat. (Vidya Vahini, Ch 13)

-BABA

Wednesday, June 10, 2020

Thought for the Day - 10th June 2020 (Wednesday)

Learn to do good things with the body; contemplate about good things with your mind. Cultivate good thoughts and perform good deeds. Sometimes, people ask: “Yes, we should learn to love everyone, but what should be done if the other person hates us in spite of our loving them so much?” Why should you be bothered whether others reciprocate your love or not? Your duty is to see that you do not swerve from the right path. If you also hate, how can you claim that you are still good? Endeavour your best to influence and transform others, but do not swerve from being good. I will give an example with Myself as the basis: I love everyone — I love even those who do not love Me. I do not ask whether they are loving Me or not. We must see whether our love is pure or not. Hatred has no place at all in Me. People who do not want Me also come to Me when need arises and bend before Me. To delve deep and experience true love, you must shed all bodily considerations, and cultivate Universal Vision (Atma drishti). 


Belajarlah untuk melakukan hal-hal yang baik dengan tubuh; renungkan hal-hal yang baik dengan pikiran. Tingkatkan pikiran-pikiran yang baik dan lakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Kadang-kadang, orang-orang bertanya: “Iya, kita seharusnya belajar menyayangi setiap orang, namun apa yang seharusnya dilakukan jika orang lain membenci kita walaupun kasih sayang kita kepadanya begitu besar?” Mengapa engkau menjadi terganggu apakah orang lain membalas kasihmu atau tidak? Kewajibanmu adalah melihat bahwa engkau tidak melenceng dari jalan yang benar. Jika engkau juga balas membenci, bagaimana engkau dapat menyatakan bahwa engkau masih tetap baik? Berusahalah dengan kemampuanmu yang terbaik untuk mempengaruhi dan merubah orang lain, namun jangan beralih dari kebaikan. Aku akan memberikan sebuah contoh dengan diri-Ku sendiri sebagai rujukannya: Aku menyayangi setiap orang – Aku bahkan menyayangi mereka yang tidak menyayangi-Ku. Aku tidak meminta apakah mereka menyayangi-Ku atau tidak. Kita harus melihat apakah kasih kita suci atau tidak. Kebencian tidak memiliki tempat sama sekali di dalam diri-Ku. Orang-orang yang tidak menginginkan-Ku juga datang kepada-Ku ketika kebutuhan muncul dan membungkuk di depan-Ku. Untuk menggali lebih dalam dan mengalami kasih yang sejati, engkau harus melepaskan semua pertimbangan badan, dan meningkatkan pandangan universal yaitu Atma drishti. (Ch 15, Summer Showers 1978)

-BABA

Tuesday, June 9, 2020

Thought for the Day - 9th June 2020 (Tuesday)

There are two kinds of essential reforms (samskara). One is based on the gunas (good qualities) and the other is based on doshas (defects). The first is comparable to watering a fruit-bearing tree, the second is comparable to removing dust from the surface of a mirror. Giving water and manure to a fruit tree in order to get the fruit (of good qualities) may be referred to as the Upasana Khanda (aspect relating to worship). This involves the act of offering pure selfless love to God and thereby seeking Him. To regard our daily work as being related to God is the aspect of Karma Khanda (relating to the path of Karma). The process of removing the impurities from our mind and thereby seeing Atma with the help of Upasana and Karma Khanda is a very essential process. This creates a form for the Atma and gives us bliss of realisation. 


Ada dua jenis perbaikan yang mendasar (samskara). Bagian pertama adalah berdasarkan pada guna (sifat-sifat yang baik) dan yang kedua adalah berdasarkan pada dosha (kerusakan). Bagian pertama dapat diibaratkan seperti menyirami pohon yang berbuah, sedangkan bagian kedua adalah  menghilangkan sifat-sifat buruk seperti menghilangkan debu dari permukaan cermin. Menyirami dan memupuk pohon yang berbuah dalam upaya untuk mendapatkan buah (sifat-sifat yang baik) dapat disebut sebagai Upasana Khanda (aspek yang berkaitan dengan pemujaan). Hal ini juga berkaitan dengan kegiatan yang mempersembahkan kasih suci yang tanpa pamrih kepada Tuhan dan dengan demikian mencari-Nya. Untuk menganggap kerja harian kita berkaitan dengan Tuhan adalah aspek dari Karma Khanda (berkaitan dengan jalan Karma). Proses dalam menghilangkan ketidaksucian dari pikiran kita dan dengan demikian melihat Atma dengan bantuan dari Upasana dan Karma Khanda adalah sebuah proses yang mendasar. Hal ini menciptakan sebuah bentuk untuk Atma dan memberikan kita kebahagiaan akan pencerahan. (Ch 15, Summer Showers 1978)

-BABA

Thought for the Day - 8th June 2020 (Monday)

True education directs and counsels the mind and intellect toward earning pure (sathwic) happiness. Of course, it can be secured only by untiring effort. The scriptures declare, “Happiness cannot be acquired through happiness (Na sukhat labhyate sukham).” Only by undergoing unhappiness can happiness be won. This truth has to be instilled through spiritual education (vidya). When one knows of the bliss (ananda) that pure happiness can confer, spiritual education will become easy and palatable. Having been born as humans, all efforts must be directed to acquiring this education for immortality along with earth-bound material-centred education, for it is only education for immortality that can reveal the Atma and enable people to experience the immortal Atmic bliss (Atma-ananda). 


Pendidikan yang sejati mengarahkan dan membimbing pikiran serta intelek menuju pada mendapatkan kebahagiaan yang suci (sathwik). Tentu saja, hal ini bisa didapatkan hanya dengan usaha yang tanpa kenal lelah. Naskah suci menyatakan, “Kebahagiaan tidak bisa diperoleh melalui kebahagiaan (Na sukhat labhyate sukham).” Hanya dengan mengalami ketidakbahagiaan maka kebahagiaan bisa didapatkan. Kebenaran ini harus ditanamkan melalui pendidikan spiritual (vidya). Ketika seseorang mengetahui kebahagiaan yang sempurna (ananda) yang dapat diberikan oleh kebahagiaan yang suci (satwik), pendidikan spiritual akan menjadi mudah dan menyenangkan. Dengan lahir sebagai manusia, semua usaha harus diarahkan untuk mendapatkan pendidikan ini untuk keabadian bersamaan dengan pendidikan duniawi yang berpusat pada material, karena hanya pendidikan untuk keabadian yang dapat mengungkapkan Atma dan memungkinkan manusia untuk mengalami kebahagiaan sempurna Atma yang kekal (Atma-ananda). (Vidya Vahini, Ch 11)

-BABA