Friday, March 30, 2018

Thought for the Day - 30th March 2018 (Friday)

The kind-hearted Governor, did not want Jesus to be awarded a death sentence. He lamented that a great and noble man was being crucified for no fault of His. He told Jesus, “You are a great man. These stone-hearted people are trying to kill You without any reason.” Jesus replied, “I am happy that at least you understand My goodness!” Finally before crucifixion His mother, Mary, came near Him and started shedding tears. Jesus consoled her saying, “Why do you cry, mother? The body is like a water bubble. Let them do whatever they wish with this body. Don’t think they are trying to kill Me. I have no death!” Mary then asked, “Are You not my son?” Jesus replied, “Of course! I am related to you physically as a son - but, ‘I am I’ only. You are all like children to Me. All of you are embodiments of Divine.” Thus, Jesus attained the highest level of spirituality, having gone through all tests. Jesus was not merely a human form. He was the Embodiment of Divine Self, verily.


Gubernur yang baik hati tidak menginginkan Jesus diberikan dengan hukuman mati. Dia meratapi bahwa seseorang yang sungguh mulia dan agung sedang disalib untuk sesuatu yang bukan kesalahan-Nya. Dia berkata kepada Jesus, “Engkau adalah orang yang mulia. Mereka yang keras hati seperti batu ini sedang mencoba membunuh-Mu tanpa adanya alasan apapun.” Jesus menjawab, “Aku senang bahwa setidaknya engkau mengerti kebaikan-Ku!” Akhirnya sebelum disalib, bunda Jesus yaitu Mary, datang mendekati-Nya dan mulai menangis. Jesus menenangkannya dengan berkata, “Mengapa engkau menangis, ibu? Tubuh jasmani adalah seperti gelembung air. Biarkan mereka melakukan apapun yang mereka ingin lakukan dengan tubuh ini. Jangan berpikir bahwa mereka sedang mencoba membunuh-Ku. Aku tidak memiliki kematian!” Mary kemudian bertanya, “Apakah Engkau bukan anakku?” Jesus menjawab, “Tentu saja! Aku terkait denganmu secara fisik sebagai seorang anak - namun, ‘Aku adalah Aku’. Kalian semuanya adalah seperti anak-anak bagi-Ku. Semuanya darimu adalah perwujudan ilahi.” Jadi, Jesus mencapai tingkat tertinggi dari spiritual, telah mengalami semua cobaan. Jesus bukanlah hanya wujud manusia. Jesus sesungguhnya adalah perwujudan diri yang sejati. (Divine Discourse, Dec 26, 2007)

-BABA

Thursday, March 29, 2018

Thought for the Day - 29th March 2018 (Thursday)

Jesus instilled great faith in people who lived during his lifetime. One of those fishermen was named by Jesus as Peter. He developed intense love and faith towards Jesus. From then on, all the fishermen regularly used to take Jesus out on their fishing expeditions and after their return in the evening, Jesus used to expound spiritual matters to them. When Peter’s father passed away, his mother was filled with sorrow, but Jesus consoled her by telling, “Death is but a dress of life. Wherefore do you shed tears? Death is like changing one’s dress. Therefore stop grieving. These physical bodies come and go, so do not waste your thought on these ephemeral things. The indweller (dehi) who lives inside this body is the true Divinity! Anyone with a physical body cannot escape vicissitudes of life. Without hardships no one can exist. Death follows birth and with the same certainty misery follows happiness!”


Jesus menanamkan keyakinan yang mantap pada orang-orang yang hidup di masa hidupnya. Satu dari para nelayan yang diberi nama oleh Jesus yaitu Peter. Peter mengembangkan kasih dan keyakinan yang sangat kuat kepada Jesus. Mulai dari saat itu, semua nelayan secara teratur biasanya mencurahkan perasaan mereka terkait pelayaran memancing dan setelah mereka kembali di sore hari maka Jesus biasanya menguraikan secara terperinci terkait spiritual kepada mereka. Ketika ayah Peter meninggal dunia, ibunya diliputi dengan penderitaan, namun Jesus menenangkannya dengan mengatakan, “Kematian adalah sebuah pakaian dari kehidupan. Mengapa engkau meneteskan air mata kesedihan? Kematian adalah seperti seseorang sedang mengganti baju. Maka dari itu berhentilah untuk meratapi hal ini. Tubuh jasmani ini datang dan pergi, jadi jangan menyia-nyiakan pikiranmu untuk hal-hal yang sementara ini. Beliau yang bersemayam di dalam tubuh ini (dehi) adalah Tuhan yang sesungguhnya! Siapapun dengan tubuh jasmani tidak bisa melarikan diri perubahan hidup. Tanpa kesulitan maka tidak ada siapapun yang dapat hidup. Kematian mengikuti kelahiran dan dengan kepastian yang sama penderitaan mengikuti kebahagiaan!” (Divine Discourse, Dec 25, 2002)

-BABA

Thought for the Day - 28th March 2018 (Wednesday)

Start with this first lesson, from the spiritual primer. Do not merely boast that you have mastered the Bhagavad Gita, having read it a hundred times over, and learnt by rote all the slokas with all the commentaries so far written upon them. Among all the millions who were taught the Gita, Arjuna alone had the Vishwarupa Darshana, the vision that this Universe is but a partial manifestation of His immeasurable glory; why is it that these great pandits had no such experience? Realisation of that reality can come only to the aspirant who deserves it. Arjuna had reached the highest stage of surrender when the teaching started and during the process, he had unexcelled ekagrata or concentration. No wonder he was blessed. Unless you possess the same degree of surrender, the same yearning and the same concentration, how can you expect the result that Arjuna attained?


Mulailah dengan pelajaran pertama ini yaitu dari spiritual yang mendasar. Jangan hanya menyatakan dengan bangga bahwa engkau telah menguasai Bhagavad Gita, telah membaca Bhagavad Gita sebanyak seratus kali, dan belajar dengan hafal semua sloka dengan semua penjelasannya yang ditulis sejauh ini.  Diantara semua jutaan orang yang telah diajarkan Bhagavad Gita, hanya Arjuna saja memiliki Vishwarupa Darshana, pandangan bahwa alam semesta ini hanyalah sebuah manifestasi sebagian dari kemualiaan Tuhan yang tidak terukur; mengapa para pandit yang hebat tidak memiliki pengalaman seperti itu? Kesadaran akan kenyataan itu hanya dapat muncul pada peminat spiritual yang layak mendapatkannya. Arjuna telah mencapai tahapan tertinggi dari berserah diri ketika penyampain Gita dimulai, dalam prosesnya, Arjuna memiliki konsentrasi atau ekagrata yang tidak terkalahkan. Tidak mengherankan bahwa Arjuna diberkati. Kecuali engkau memiliki derajat rasa berserah diri yang sama, kerinduan yang sama dan konsentrasi yang sama, bagaimana engkau dapat mengharapkan hasil yang Arjuna telah capai? (Divine Discourse, Mar 16, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 27th March 2018 (Tuesday)

In present times, everyone is moaning that they have lost peace, security and happiness. There is a loud clamour from all quarters. But is anyone seeking to discover why has this tragedy happened? The reason is, ‘There is no coordination between what is said and what is done.’ Hypocrisy is rampant at homes, villages, offices and in council-halls of the nation. Some who turn beads with God's name on their lips are also engaged in ungodly pursuits. With Bhagavad Gita in their hands, they talk scandal and hatch evil plots. With rosaries on their fingers, they fume at servants, losing temper on the slightest pretext. This is no vow or discipline of the spirit! A true devotee who poses to be sincere must exercise constant vigilance and practice the discipline of being ever in the Divine Presence. God, who is now dormant in your consciousness, has to be recognised and made resurgent so that every act of yours will reflect the divine splendour.

Di zaman sekarang, setiap orang suka mengeluh bahwa mereka telah kehilangan kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan. Ada suara gemuruh di segala penjuru. Namun apakah ada seseorang yang mencari untuk mengungkapkan mengapa tragedi ini bisa terjadi? Alasannya adalah, ‘Tidak adanya koordinasi diantara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.’ Kemunafikan merajalela di rumah, desa, kantor, dan gedung perwakilan rakyat. Beberapa yang memutar japa mala mengulang-ulang nama suci Tuhan di bibir mereka juga terlibat dalam pengejaran sesuatu yang tidak bermoral. Dengan Bhagavad Gita di tangan mereka, mereka membicarakan skandal dan rencana jahat. Dengan japa mala di tangan mereka, mereka mengomel pada pelayan dan kehilangan kendali pada hal yang remeh. Tidak ada tirakat atau semangat disiplin! Seorang bhakta sejati yang bersikap tulus harus senantiasa waspada dan mempraktikkan disiplin untuk selalu berada dalam kehadiran Tuhan. Tuhan, yang sekarang masih tertidur dalam kesadaranmu, harus diketahui dan dibuat bangkit kembali sehingga setiap perbuatanmu akan memantulkan kemuliaan Tuhan. (Divine Discourse, Apr 4, 1971)

-BABA

Monday, March 26, 2018

Thought for the Day - 26th March 2018 (Monday)

Everybody has to pass through the adversities of life. It is the nature of pravritti (outward path). There is another aspect to life - nivritti (inward path). A child goes to its mother and says, "I am hungry." The mother who follows just the outward path says, "Child, go and eat food. Your hunger will be satiated." This is the pravritti dharma. But the mother who treads the inward path does not merely say so. She would advise the child as to what type of food to eat, when and how to eat too. The mother who follows nivritti path advices you to eat such food which will bestow you with good health. One may have desires, but they should be under limit. They should be based on truth and righteousness. Do not eat whatever you get. Do not speak whatever comes to your mind. Speak only after proper enquiry. The Ramayana teaches the pravritti and nivritti aspects of life in a beautiful manner. There is no morality higher than what is depicted in it. The Ramayana should be the subject of our parayana (worship).


Setiap orang harus lewat melalui kesulitan hidup. Ini adalah sifat dari pravritti (jalan keluar). Ada aspek yang lain dalam hidup yaitu - nivritti (jalan ke dalam). Seorang anak pergi ke ibunya dan berkata, "Ibu, saya lapar." Ibu yang mengikuti jalan keluar akan berkata, "Nak, ayo pergilah makan makanan itu. Rasa laparmu akan dipuaskan." Ini adalah pravritti dharma. Namun Ibu yang menapaki jalan kedalam tidak hanya berkata seperti itu. Ibu itu akan menanyakan tentang apa jenis makanan yang akan dinikmatinya, kapan dan bagaimana makannya juga. Ibu yang mengikuti jalan nivritti akan menyarankan makan makanan yang akan memberikanmu kesehatan yang baik. Seseorang mungkin memiliki keinginan, namun keinginan itu harus dibatasi. Keinginan harus berdasarkan pada kebenaran dan kebajikan. Jangan makan apapun yang engkau dapatkan. Jangan berbicara apapun yang muncul dalam pikiranmu. Berbicaralah hanya setelah melakukan penyelidikan dengan tepat. Ramayana mengajarkan aspek hidup pravritti dan nivritti dengan sebuah cara yang indah. Tidak ada moralitas yang lebih tinggi daripada apa yang digambarkan dalam Ramayana. Ramayana seharusnya menjadi bagian dari parayana (pemujaan) kita. (Divine Discourse, Apr 11, 2003)

-BABA

Thought for the Day - 25th March 2018 (Sunday)

Embodiments of Love! The story of Rama is not an ancient one. It is eternal and ever new. It is full of auspiciousness. When you contemplate on Rama incessantly, you derive great joy and delight! Ramayana teaches the principles of righteousness (dharma) and the path of duty to every individual. Ramayana sets an ideal to parents, brothers, and sisters in every family and to humanity! It is to understand and assimilate the principle of Ramayana that we are celebrating the festival of Rama Navami today. It is not enough if the celebration is confined to merely partaking of sweet pudding and other delicious items. May you fill your heart with the sacred ideals of the Ramayana! Obey the commands of Lord Rama. Pain and pleasure, sorrow and happiness follow one another. One should treat them with equanimity. May you give up hatred and all differences. May you live in peace and harmony!


Perwujudan kasih! Kisah Rama bukanlah cerita yang lampau. Kisah ini adalah kekal dan selalu baru. Kisah ini penuh dengan kesucian. Ketika engkau memusatkan pikiran pada Rama secara terus menerus, engkau akan mendapatkan suka cita dan kebahagiaan yang sungguh besar! Ramayana mengajarkan prinsip-prinsip dari kebajikan (dharma) dan jalan kewajiban kepada setiap individu. Ramayana memberikan ideal kepada orang tua dan  saudara di dalam setiap keluarga dan kepada umat manusia! Adalah untuk memahami dan mengerti prinsip dari Ramayana maka kita merayakan perayaan Rama Navami hari ini. Adalah tidak cukup jika perayaan dilakukan hanya dibatasi pada makan puding manis dan makanan yang enak. Semoga engkau mengisi hatimu dengan ideal yang suci dari Ramayana! Patuhi perintah dari Sri Rama. Rasa sakit dan kesenangan, penderitaan dan kebahagiaan mengikuti satu dengan yang lainnya. Seseorang seharusnya memperlakukan semuanya itu dengan ketenangan hati. Semoga engkau melepaskan kebencian dan semua perbedaan. Semoga engkau hidup dalam kedamaian dan keharmonisan! (Divine Discourse, Apr 11, 2003)

-BABA

Saturday, March 24, 2018

Thought for the Day - 24th March 2018 (Saturday)

If in each family the virtues illustrated in Ramayana are embodied, the Universe will be resplendent with joy and peace! All of you know, Dasaratha ruled Ayodhya and had four sons: Rama, Lakshmana, Bharata and Shatrughna. Well, if in some city called Ayodhya, there was once a ruler named Dasharatha and had a son called Rama, why should we celebrate Rama’s birth, at this time and age? Go a little deep into the story and you will realise that Dasharatha is not the ruler of a far-off land! Ayodhya means a city that is unconquerable, into which the enemy cannot penetrate, an impregnable fortress. It represents the Atma, the heart where the Lord resides, which is beyond temptations, the subtle foes of passion and emotion, impulse and instinct. And Dasharatha? The person who was in full control of his ratha (chariot) - the ten entities namely, the body with the five senses of action and the five senses of knowledge!


Jika dalam setiap keluarga dimana kebajikan dalam Ramayana diwujudkan maka alam semesta akan gemilang dengan suka cita dan kedamaian! Semua darimu mengetahui, Dasaratha memerintah Ayodhya dan memiliki empat orang putra: Rama, Lakshmana, Bharata, dan Shatrughna. Jika ada satu kota disebut dengan Ayodhya, dan ada seorang yang memerintah dengan nama Dasharatha dan memiliki seorang putra yaitu Rama, mengapa kita harus merayakan kelahiran Rama pada saat sekarang? Masuklah lebih sedikit ke dalam cerita dan engkau akan menyadari bahwa Dasharatha bukanlah penguasa di kerajaan yang jauh disana! Ayodhya berarti sebuah kota yang tidak terkalahkan dengan benteng yang kokoh dan musuh tidak dapat memasukinya. Ayodhya melambangkan Atma, hati dimana Tuhan bersemayam, yang mana melampaui godaan, musuh halus dari nafsu dan emosi, dorongan dan insting. Siapakah Dasharatha? Seseorang yang sepenuhnya mengendalikan ratha (keretanya) – sepuluh indera yaitu tubuh dengan lima indera perbuatan dan lima indera pengetahuan! (Divine Discourse, Apr 4, 1971)

-BABA

Friday, March 23, 2018

Thought for the Day - 23rd March 2018 (Friday)

The ministers of Ravana spoke only what was pleasing to him; they were afraid and so, they proved dangerous counsellors. His brother Vibheeshana alone gave him the beneficial drug which would have cured him; but since it was not priya or pleasing, Ravana rejected it and fell into perdition. This is the message I bring - the Message that will confer strength, peace, hope and fulfilment. This message surely is hitha (beneficial), though it may not be priya (pleasing). A patient must take drugs and put himself through regimen that is beneficial; one cannot ask for only sweet medicines and comfortable regimen which please them. The doctor knows best and must be obeyed for the sake of recovery. The Vedas and scriptures are the greatest repositories of hitha, as they were won by penance and travail by sages and seers who were interested only in the welfare of humanity and the liberation of man.


Para menteri dari Ravana hanya berbicara hal yang menyenangkan baginya; mereka takut sehingga mereka adalah penasihat yang berbahaya. Saudara Ravana yaitu Vibheesahana satu-satunya yang memberikannya obat yang mujarab yang dapat menyembuhkannya; namun karena obat itu tidak bersifat menyenangkan (priya), Ravana menolaknya dan akhirnya jatuh dalam kehancuran. Ini adalah pesan yang Aku bawa – pesan yang akan memberikan kekuatan, kedamaian, harapan, dan pemenuhan. Pesan ini pastinya adalah bersifat menguntungkan (hitha), walaupun ini mungkin tidak menyenangkan (priya). Seorang pasien minum obat dan mengatur dirinya dalam aturan yang bermanfaat; seseorang tidak bisa hanya meminta obat-obatan yang manis dan aturan yang menyenangkan baginya. Dokter mengetahui yang terbaik dan harus diikuti untuk kepentingan pemulihan kesehatan. Weda dan naskah suci adalah tempat penyimpanan yang terbesar dari hitha, karena naskah suci itu didapat melalui tapa brata dan kerja keras dari para guru suci yang hanya tertarik pada kesejahteraan umat manusia dan kebebasan dari manusia. (Divine Discourse, Mar 16, 1966)

-BABA

Thursday, March 22, 2018

Thought for the Day - 22nd March 2018 (Thursday)

The recognition of one's innate Divinity and the regulation of one's daily life in accordance with that Truth are the guiding stars for those who are caught in the currents and crosscurrents of strife and struggle! Without Atmajnana (awareness of your own reality that you are just a wave in the ocean of Divinity) life becomes a meaningless farce, a mockery, a game of fools. It is the acquisition of that awareness that makes life earnest, sweet and fruitful. When you try to prepare a meal, you may have with you all the materials you need: rice, lentils, salt, lime, spices, vegetables and so on. But unless you have the fire in the hearth, you cannot get the edible meal. So too in life, Atmajnana is the fire which makes the material world and the external activities and experiences, edible and tasty, digestible, health-granting and joy-giving. That joy is called Anandam; it is uplifting, illuminating and constructive!


Menyadari kualitas ke-Tuhanan yang merupakan pembawaan sejak lahir dalam diri seseorang dan aturan dalam hidup sehari-hari yang sesuai dengan kebenaran itu adalah bintang penuntun bagi mereka yang terjebak dalam arus dan pasang surut perselisihan dan perjuangan! Tanpa adanya Atmajnana (kesadaran akan sifat sejatimu bahwa engkau hanyalah gelombang di lautan Tuhan) maka hidup menjadi lelucon tanpa arti, ejekan, permainan orang bodoh. Dengan memperoleh kesadaran itu yang membuat hidup sungguh-sungguh, manis, dan berhasil. Ketika engkau mencoba untuk mempersiapkan sebuah makanan, engkau mungkin telah memiliki semua bahan yang engkau butuhkan: beras, lentil, jeruk nipis, rempah-rempah, sayuran, dsb. Namun kecuali jika engkau memiliki api dalam tungku maka engkau tidak akan bisa mendapatkan makanan yang bisa dimakan. Begitu juga dalam hidup, Atmajnana adalah api yang membuat dunia material dan kegiatan serta pengalaman eksternal, dapat dinikmati dan lezat, mudah dicerna, memberikan kesehatan, dan sukacita. Kegembiraan itu disebut Anandam; yang mana bersifat menggembirakan pikiran, mencerahkan, dan membangun! (Divine Discourse, Mar 16, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 21st March 2018 (Wednesday)

Students! You are embodiments of the Divine! There are two aspects of Vidya or education that you have to master: Vijnana - understanding the world around us, or science, and also Prajnana - the higher learning, the art of controlling the inner feelings and the many layers of Consciousness. Benefactors and beneficiaries of the educational field, listen to this: Each student has a watch on the wrist. And, you look at the watch at least a hundred times a day. Well, learn from the watch this great lesson. When you watch the watch, remember the five letters of the word, WATCH; each is giving you a fine lesson for life: ‘W’ tells you, "Watch your Words"; ‘A’ warns you, "Watch your Action"; ‘T’ indicates, “Watch your Thoughts”; ‘C’ advises, “Watch your Character”; and ‘H’ declares, “Watch your Heart.” When you are consulting your watch, imbibe this lesson that the watch is imparting!


Para pelajar! Engkau adalah perwujudan dari Tuhan! Ada dua aspek dari Vidya atau Pendidikan yang harus engkau kuasai: Vijnana – memahami dunia di sekitar kita, atau ilmu pengetahuan, dan juga Prajnana – pelajaran yang lebih tinggi, seni dalam mengendalikan perasaan batin dan banyak lapisan kesadaran. Penolong dan penerima bantuan dalam bidang Pendidikan harus mendengarkan hal ini: Setiap murid memiliki sebuah jam tangan. Dan, engkau melihat jam tangan setidaknya seratus kali dalam sehari. Belajarlah dari jam tangan tentang hikmah yang besar ini. Saat engkau melihat jam tangan, ingat lima huruf yang menyusun kata ‘WATCH’ (jam tangan); setiap bagian huruf memberikanmu sebuah pelajaran hidup yang sangat baik: Huruf ‘W’ mengatakan kepadamu, "Jaga dan perhatikan perkataanmu (Words)"; huruf ‘A’ mengingatkanmu untuk menjaga perbuatanmu (Action)"; huruf ‘T’ menandakan untuk menjaga pikiranmu (Thoughts)”; ‘C’ memberitahukanmu untuk menjaga karaktermu (Character)”; dan huruf ‘H’ menyatakan untuk menjaga hatimu (Heart).” Ketika engkau melihat jam tanganmu, renungkan pelajaran ini yang diberikan oleh jam tangan! (Divine Discourse, May 13, 1970)

-BABA

Tuesday, March 20, 2018

Thought for the Day - 20th March 2018 (Tuesday)

A copy of the Geetha may be available for twenty-five paise; a puerile novel may cost ten rupees. Which is more worthwhile? Which can transmute base metal into gold? Remember, Seva (service) is more fruitful than japa, dhyana, yajna and yaga (recitations, meditation, sacrifices and rituals) usually recommended for spiritual aspirants. For, it serves two purposes: the extinction of the ego, and the attainment of ananda (bliss). When someone sitting near you is sunk in sorrow, can you be happy? No. When a baby weeps most pathetically within hearing, tears well up in your eyes in sympathy. Why? There is an unseen bond between the two. Human beings alone have this quality of empathy; they alone can be happy when others are happy, and miserable when others are miserable. That is why human beings are the paragon of all creation. Human beings alone are capable of seva; that is your special glory and unique skill. Make full use of this precious birth!


Sebuah salinan naskah suci Bhagavad Geeta mungkin tersedia dengan harga murah sekali; sebuah novel anak-anak mungkin dengan harga lebih mahal sedikit. Yang mana yang lebih berharga? Yang mana dapat merubah logam dasar menjadi emas? Ingatlah, Seva (pelayanan) adalah lebih bermanfaat daripada japa, dhyana, yajna, dan yaga (pengulangan nama Tuhan, meditasi, pengorbanan, dan ritual) yang biasanya direkomendasikan untuk peminat spiritual. Pelayanan memiliki dua tujuan yaitu: memadamkan ego, dan mencapai ananda (kebahagiaan). Ketika seseorang dekat denganmu tenggelam dalam penderitaan, dapatkah engkau merasa senang? Tidak. Ketika seorang bayi menangis dengan sangat menyedihkan, air mata menetes karena simpati. Mengapa? Ada sebuah ikatan yang tidak terlihat diantara dua. Hanya manusia yang memiliki kualitas empati ini; manusia sendiri dapat bahagia ketika yang lainnya juga bahagia, dan merasa menderita saat yang lainnya menderita. Itulah sebabnya mengapa manusia adalah teladan yang sempurna dari semua ciptaan. Hanya manusia yang mampu untuk seva; itu adalah kemuliaanmu yang khusus dan keahlian yang unik. Manfaatkan sepenuhnya kelahiran sebagai manusia yang sangat berharga ini! (Divine Discourse, Mar 4, 1970)

-BABA

Monday, March 19, 2018

Thought for the Day - 19th March 2018 (Monday)

When you sing bhajans, maintain the proper rhythm by clapping your hands. The clapping should be done according to the bhajan. And bhajans should be sung with proper tune and wholeheartedly. The three syllables in the name Bha-ra-ta stand for bhava (feeling), raga (tune) and tala (beat). It means true Bhartiyas are those who sing the glory of God with bhava, raga, and tala. You should join both hands and clap. The five fingers of one hand symbolise karmendriyas (senses of action) and that of other hand stand for jnanendriyas (senses of perception). When you sing the glory of God, there should be harmony between these two. Let your every action be pleasing unto God. You may call Him Rama, Krishna, or Govinda, but God is one. Develop the feeling of oneness and attain the vision of the Divine Self (Atma).


Ketika engkau melantunkan bhajan, pertahankan ritme dengan tepat melalui tepuk tangan. Tepuk tangan harus dilakukan sesuai dengan bhajan. Dan bhajan seharusnya dikidungkan dengan nada yang benar dan sepenuh hati. Tiga suku kata dalam nama Bha-ra-ta adalah singkatan dari bhava (perasaan), raga (irama), dan tala (ketukan). Hal ini berarti Bhartiya yang sejati adalah mereka yang melantunkan kemuliaan Tuhan dengan bhava, raga, dan tala. Engkau seharusnya menjadikan satu kedua tangan melalui tepuk tangan. Lima jari dari satu tangan melambangkan karmendriya (indera perbuatan) sedangkan lima jari tangan yang lainnya melambangkan jnanendriya (indera persepsi). Ketika engkau melantunkan kemuliaan Tuhan, disana harus ada keharmonisan diantara kedua indera ini. Biarkan setiap perbuatan dilakukan untuk menyenangkan Tuhan. Engkau dapat menyebut-Nya dengan Rama, Krishna, atau Govinda, namun Tuhan adalah satu. Kembangkan perasaan kesatuan dan capailah pandangan diri yang sejati (Atma). (Divine Discourse, Apr 2, 2003)

-BABA

Sunday, March 18, 2018

Thought for the Day - 18th March 2018 (Sunday)

Some people keep the rosary revolving in their hands but their minds roam in the market. Can this be called japa (chanting)? While meditating, both your body and mind should be steady! The body is made of five elements, so it is bound to suffer. You should not be affected by it. This is true sadhana (spiritual exercise). All other sadhanas will prove futile if you do not give up body attachment. Today marks the beginning of a very sacred year. Not only in this year, but throughout your life, you should cultivate sacred thoughts. Embodiments of love, develop more and more love in you. Experience love and share it with others. You are not merely mortals. You are the sparks of divine. Lead your life in such a manner. This is the most important message for this New Year! When you understand and internalise your divine origin, your thoughts, words, and deeds will become sacred!


Beberapa orang tetap memutar japa mala di tangannya namun pikiran mereka berkeliaran di pasar. Dapatkah kita menyebut ini sebagai japa (pelantunan)? Saat meditasi, keduanya baik tubuh dan pikiranmu harus mantap! Tubuh dibuat dari lima unsur maka ditakdirkan untuk menderita. Engkau seharusnya tidak terpengaruh dengan hal ini. Ini adalah sadhana sejati (latihan spiritual). Semua sadhana yang lain akan menjadi sia-sia belaka jika engkau tidak melepaskan kemelekatan pada tubuh. Hari ini ditandai sebagai awal dari tahun yang suci. Tidak hanya dalam tahun ini saja, namun sepanjang hidupmu, engkau seharusnya meningkatkan pikiran-pikiran yang suci. Perwujudan kasih, kembangkan lebih banyak lagi dan lagi kasih di dalam dirimu. Alamilah kasih itu dan bagi dengan yang lainnya. Engkau tidak hanya makhluk hidup. Engkau adalah percikan dari Tuhan. Jalani hidupmu dengan cara seperti itu. Ini adalah pesan yang paling penting untuk tahun baru ini! Ketika engkau memahami dan menginternalisasi bahwa asalmu adalah dari Tuhan maka pikiran, perkataan, dan perbuatanmu akan menjadi suci! (Divine Discourse, Apr 2, 2003)

-BABA

Thought for the Day - 17th March 2018 (Saturday)

There are some people who get up from bed with a disturbed and agitated mind. Don’t do that! Arise from your sleep with a peaceful mind. Think of God. If parents criticise each other as soon as they get up from bed, surely, children also will start quarrelling and fighting with each other! Children always try to emulate their parents and hence, parents should set an example to their children. You should teach them by practice, not merely by precept. Under any circumstance, do not give room for anger or hatred. Never hate anybody. The hatred in you will come back to you as reflection and make you suffer. You may have to face some difficulties and sorrows, but never mind. Be calm and composed. Consider everyone as embodiments of Divinity. Your salutation or ridicule, whoever it may be addressed to, reaches God. Offer your respects to everybody. Share your love with one and all.


Ada beberapa orang yang bangun dari tempat tidur dengan pikiran yang terganggu dan gelisah. Jangan lakukan hal itu! Bangkitlah dari tidurmu dengan pikiran yang penuh kedamaian. Pikirkan tentang Tuhan. Jika orang tua saling mengeritik satu dengan yang lainnya segera setelah mereka bangun dari tempat tidur, pastinya anak-anak juga akan mulai bertengkar satu dengan yang lainnya! Anak-anak selalu mencoba untuk berusaha menyamai atau melebihi orang tua mereka dan oleh karena itu, orang tua harus memberikan teladan mereka. Engkau seharusnya mengajarkan anak-anak dengan praktik dan tidak hanya dengan kata-kata. Dalam keadaan apapun, jangan memberikan ruang bagi kemarahan atau kebencian. Jangan pernah membenci siapapun juga. Kebencian dalam dirimu akan kembali padamu sebagai sebuah pantulan dan membuatmu menderita. Engkau mungkin harus menghadapi beberapa kesulitan dan penderitaan, namun lupakan. Jadilah tenang dan sabar. Anggaplah setiap orang sebagai perwujudan dari keillahian. Salam atau ejekan darimu, kepada siapapun itu diberikan akan mencapai Tuhan. Berikan rasa hormat kepada setiap orang. Bagilah kasihmu dengan semuanya. (Divine Discourse, Apr 2, 2003)

-BABA

Saturday, March 17, 2018

Thought for the Day - 16th March 2018 (Friday)

Bharatiya Culture is the very basis of human progress. It will uplift humanity by promoting brotherhood, upholding righteousness, and saturating every thought, word and act with reverence and humility. This culture will stand unshaken so long as the Ganga flows; no attempt to suppress or destroy it can succeed. The history and traditions of Bharat are as pure, holy, sanctifying, curative and precious as the Ganges. The origins of both are cool, comforting, and spotless snows! When young men and women are not trained to live a good and godly life, teaching them various skills and tricks, only makes them a danger to themselves and to others. The habit of prayer will inculcate courage and confidence; it will provide the student with a vast new source of energy. Every effort must be made to introduce the students to the sweet experiences of meditation and Yoga, or to the joy of inquiry into one's own reality!


Kebudayaan Bharatiya adalah sangat mendasar bagi kemajuan manusia. Ini akan mengangkat umat manusia dengan meningkatkan persaudaraan, menegakkan kebajikan, dan memenuhi setiap pikiran, perkataan, dan tindakan dengan rasa hormat dan kerendahan hati. Kebudayaan ini akan berdiri tidak tergoyahkan sepanjang sungai Gangga mengalir; tidak ada usaha yang berhasil untuk menekan atau menghancurkannya. Sejarah dan tradisi Bharat adalah suci, murni, menyucikan, menyembuhkan, dan berharga seperti halnya sungai Gangga. Sumber dari keduanya ini adalah dingin, menenangkan, dan salju yang tidak ternoda! Ketika pria dan wanita muda tidak dilatih untuk menjalani kehidupan yang baik dan saleh, mengajarkan mereka berbagai keahlian dan cara, hanya membuat mereka berbahaya bagi diri mereka dan yang lainnya. Kebiasaan berdoa akan menanamkan keberanian dan kepercayaan; hal ini akan memberikan pelajar dengan sebuah sumber energi yang sangat luas. Setiap usaha harus dibuat untuk memperkenalkan pelajar pada pengalaman yang indah dari meditasi dan Yoga, atau untuk menikmati suka cita dalam penyelidikan jati diri! (Divine Discourse, May 13, 1970)

-BABA

Thursday, March 15, 2018

Thought for the Day - 15th March 2018 (Thursday)

The important qualification for seva (service) is a pure heart, uncontaminated by conceit, greed, envy, hatred or competition. Along with this, we need faith in God as the spring of vitality, virtue, and justice. Seva is the worship you offer to the God in the heart of everyone. Do not ask another which country or state you belong to, or which caste or creed you profess. See your favourite form of God in that ‘other person’; as a matter of fact, he or she is not ‘other’ at all - it is the Lord’s image, as much as you are. You are not helping ‘one individual’; you are adoring Me, in them. God is before you in that form; so, what room is there for the ego in you to raise its hood? Duty is God; Work is worship. Even the tiniest work is a flower placed at the Feet of God. Approach everyone you serve with a heart filled with the treasure of Love!


Kualifikasi penting untuk seva (pelayanan) adalah sebuah hati yang suci yang tidak terjangkiti dengan kesombongan, ketamakan, iri hati, atau kompetisi. Bersamaan dengan ini, kita memerlukan keyakinan pada Tuhan sebagai sumber dari kekuatan, kebajikan, dan keadilan. Seva adalah persembahan yang engkau persembahkan kepada Tuhan di dalam hati setiap orang. Jangan bertanya pada yang lain dari negara mana engkau berasal atau dari kasta dan keyakinan mana engkau berasal. Lihatlah wujud Tuhan yang engkau puja dalam diri ‘orang lain itu’; sebagai sebuah fakta, mereka yang engkau layani sama sekali bukanlah ‘orang lain’ – mereka adalah wujud Tuhan sama halnya dengan dirimu. Engkau tidak menolong ‘satu individu’; engkau sedang memuja Aku dalam diri mereka. Tuhan ada di hadapanmu dalam wujud itu; jadi, dimana ada ruang untuk ego dalam dirimu untuk mengangkatkan kepalanya? Kewajiban adalah Tuhan; kerja adalah ibadah. Bahkan pekerjaan yang paling kecil sekalipun adalah bunga yang ditempatkan di kaki Tuhan. Dekati setiap orang yang engkau layani dengan hati yang diliputi dengan harta kasih sayang! (Divine Discourse, Mar 4,1970)

-BABA

Monday, March 12, 2018

Thought for the Day - 12th March 2018 (Monday)

Long ago, there was a person who had three friends. Quite by accident, he was charged for some crime and a warrant was issued against him by the court. He approached one friend and asked him to bear witness to his innocence. He said, "I will not move out of this house; I can help you only from within this." The second friend said, "I can come only upto the porch of the court. I will not enter the witness box." The third friend said, "Come, I shall speak for you wherever you want me to." The first friend is the 'property and possessions' which can bear witness only from within the house. The second is 'the kinsmen and the members of the family’, who come as far as the cemetery but would not accompany the person to the seat of judgement. The third friend is the fair name earned by one's virtues and service. These persist even after death and burial; they stand witness for ages, and announce the innocence and greatness of the individual. They decide the nature of the next birth too.


Dahulu kala, ada seseorang yang memiliki tiga orang teman. Secara tidak sengaja, ia didakwa karena melakukan beberapa kejahatan dan sebuah surat tuntutan baginya telah dikeluarkan oleh pengadilan. Dia mendekati satu temannya dan meminta temannya itu untuk memberikan kesaksian bahwa ia tidak bersalah. Temannya berkata, "Saya tidak akan keluar dari rumah; saya hanya dapat membantumu dari dalam rumah." Temannya yang kedua berkata, "Saya hanya dapat membantu sampai pada teras pengadilan. Saya tidak akan memasuki tempat kesaksian." Temannya yang ketiga berkata, "Ayo, saya akan berbicara untukmu dimanapun engkau menginginkannya." Teman yang pertama adalah 'kekayaan dan kepemilikan’ yang mana hanya dapat menjadi saksi dari dalam rumah. Teman kedua adalah 'kerabat dan anggota keluarga’, yang datang sejauh pemakaman namun tidak akan menemani seseorang sampai pada tempat pengadilan. Teman ketiga adalah nama baik yang didapat seseorang dari sifat baik dan pelayanan seseorang. Hal ini bertahan bahkan setelah kematian dan penguburan; hal ini tetap berdiri sebagai saksi selama berabad-abad, dan mengumumkan kepolosan dan kebesaran seseorang. Hal ini juga memutuskan sifat kelahiran selanjutnya. [Divine Discourse, May 24, 1973]

-BABA

Thought for the Day - 11th March 2018 (Sunday)

The emperor of the Cholas sought to visit the Srirangam Gopuram Temple, of which he had heard much. He got his chariot ready and in the next six months tried to make this journey many times. But on every occasion a recluse in ochre robes with a rosary around his neck and a halo around his head intercepted the vehicle. When the emperor alighted to honour him, he kept him engaged in conversation which was so enchanting that he forgot his journey and its goal. One day, when he lamented over his failure to fill his eyes with the glory of Srirangam, the Lord appeared before him and said, "Why do you lament? I am the Master who came to you so often as soon as you set out for Srirangam; recognise Me in all, that is the genuine pilgrimage to Srirangam." Consider all whom you meet as the Lord of Srirangam, your Master. Show untarnished love towards all who come to you.


Kaisar dari Cholas berusaha untuk mengunjungi tempat suci Srirangam Gopuram, yang beliau banyak dengar tentang tempat suci ini. Beliau mempersiapkan keretanya dan dalam enam bulan berikutnya mencoba untuk melakukan perjalanan ini berkali-kali. Namun pada setiap kesempatan seorang pertapa dengan jubah oranye dengan sebuah japa mala di lehernya dan lingkaran cahaya di kepalanya mencegat keretanya. Ketika kaisar turun untuk memberikan hormat, kaisar mengajak pertapa itu dalam sebuah percakapan yang menarik sehingga kaisar lupa akan perjalanan dan tujuannya. Pada suatu hari, ketika kaisar meratapi kegagalannya untuk dapat menyaksikan keagungan dari tempat suci Srirangam, Tuhan yang bersemayam di sana muncul di hadapannya dan berkata, "Mengapa engkau meratap seperti itu? Aku adalah pertapa yang sering menemuimu saat engkau bergegas untuk pergi ke Srirangam; kenali Aku dalam semuanya, itu adalah perjalanan suci yang sejati menuju Srirangam." Anggap semua yang engkau temui sebagai Tuhan di Srirangam, sebagai junjunganmu. Perlihatkan kasih yang tidak ternoda kepada semua yang engkau temui. [Divine Discourse, Jan 14, 1967]

-BABA

Thought for the Day - 10th March 2018 (Saturday)

The word shastra used to indicate scriptures means, ‘that which commands, orders, and directs with authority’. The shastras need not contain orders like, “Before eating food, cook it well; before sowing seeds, prepare the soil through ploughing.” Who commands the newborn calf to seek food at the udder of the mother cow? Birth takes place along with sustenance for those being born. As a matter of fact, sustenance is ready first, and the birth of the individual to be sustained takes place later. The individual’s food and standard of living are dependent on the merit or demerit accumulated in previous lives while struggling for these two. But the really valuable guidelines for human progress are beyond the understanding of people and their intelligence. The learned should realise that activities recommended in the scriptures promote the best interests of people here and lead to peace and harmony in the hereafter.


Kata shastra digunakan untuk menyatakan naskah suci mengandung makna, ‘dimana perintah, aturan dan arahan diberikan dengan kewenangan’. Shastra tidak perlu memiliki perintah seperti, “Sebelum makan, masaklah makanan dengan baik; sebelum menabur benih, persiapkan lahan dengan dibajak.” Siapa yang memerintahkan anak sapi yang baru lahir untuk mencari makan pada ambing induk sapi? Kelahiran terjadi seiring dengan rejeki bagi mereka yang lahir. Sebenarnya, rejeki sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dan kelahiran seorang individual yang akan ditopang terjadi selanjutnya. Rejeki dan standar hidup seseorang tergantung dari kebaikan dan kesalahan yang terkumpul dari kehidupan sebelumnya sambil berjuang untuk kedua hal ini. Namun tuntunan yang benar-benar berguna bagi kemajuan manusia adalah melampaui pemahaman dan kecerdasan manusia. Mereka yang terpelajar seharusnya menyadari bahwa tindakan yang direkomendasikan dalam naskah suci adalah untuk meningkatkan kepentingan yang terbaik dari orang-orang disini dan mengarah pada kedamaian dan harmoni di dunia akhirat. [Sathya Sai Vahini, Ch 19]

-BABA

Friday, March 9, 2018

Thought for the Day - 9th March 2018 (Friday)

Once a sage had a cat in his hermitage. Whenever he performed a homa (offering oblations to gods into the consecrated fire), the cat frisked about the fire and gave a lot of trouble to him. So he caught it in advance and kept it under an inverted basket for the duration of the homa. His son who watched this operation for years thought that this cat-catching and cat-imprisonment were vital parts of the ritual itself. So he took great trouble to seek out a cat before every homa and felt happy when he got one which he could keep under an inverted basket in the same room. That is an example of meaningless mechanical repetition. Spiritual effort should not become mechanical repetition of set formulae or execution of dry formalities! Remember, your spiritual endeavours must be to attract the grace of God on yourselves. Your spiritual practices must be accompanied by a sincere prayer from the heart!


Suatu saat seorang guru suci memiliki seekor kucing di pertapaannya. Kapanpun ia melaksanakan sebuah homa (persembahan kepada Tuhan melalui api suci), kucing itu mengganggu jalannya homa dan memberikan banyak masalah kepadanya. Jadi guru suci itu menangkap kucing itu dan menyimpannya di bawah keranjang saat pelaksanaan homa. Putra guru suci ini yang menyaksikan kegiatan ini selama bertahun-tahun berpikir bahwa menangkap kucing dan menyimpannya di bawah keranjang adalah sangat vital dari bagian ritual. Jadi, dia berusaha dengan keras untuk mencari kucing setiap homa dan merasa senang ketika ia bisa menangkap satu kucing dan menaruhnya di bawah keranjang di ruang yang sama. Itu adalah contoh pengulangan yang bersifat mekanis yang tanpa arti. Usaha spiritual seharusnya tidak menjadi sebuah pengulangan yang bersifat mekanis dari sebuah aturan atau pelaksanaan formalitas yang kering! Ingatlah, usaha spiritualmu harus dapat menarik rahmat Tuhan pada dirimu. Latihan spiritualmu harus dibarengi dengan doa yang tulus dari dalam hati! [Divine Discourse, Jan 14, 1967]

-BABA

Thursday, March 8, 2018

Thought for the Day - 8th March 2018 (Thursday)

People who wish to check the quality of gold, draw a line with it on a piece of stone and assess its quality by examining that streak. The test that will reveal the quality of your faith is whether you are practising sincerely the injunctions laid down by God. Your beliefs and actions must be expressions of faith. They must have holiness as their core. They must be so full of love and compassion that they attract to you the grace of God. Such karma (actions) is what is advocated through karma kanda of Vedic scriptures. It is the taproot of human progress, the very breath of happy human existence, the food that alone can allay the hunger of people and the life-sustaining water that can cure their thirst. Therefore the first and continuing duty is to engage oneself in activities that are taught or approved in the Vedas. Three types of activity reach God and earn His grace: (1) Activity not prompted by personal desire (2) Activity emanating from unselfish love and (3) Prayer arising from pure hearts.


Orang-orang yang memeriksa kualitas emas, menarik sebuah garis dengan emas di atas sebuah batu dan menilai kualitas emas itu dari goresannya. Tes atau ujian akan mengungkapkan kualitas dari keyakinanmu apakah engkau menjalankannya dengan tulus perintah yang ditetapkan oleh Tuhan. Kepercayaan dan perbuatanmu harus merupakan ungkapan dari keyakinan. Keduanya itu harus memiliki kesucian sebagai intinya dan harus penuh dengan kasih yang menarik rahmat Tuhan padamu. Perbuatan (karma) yang seperti itu adalah apa yang dianjurkan melalui karma kanda dalam naskah suci Weda. Ini adalah akar kemajuan dari manusia, nafas hidup dari keberadaan manusia yang bahagia, hanya makanan ini yang dapat menghilangkan rasa lapar dari manusia dan air yang menopang hidup yang dapat menyembuhkan rasa haus mereka. Maka dari itu kewajiban pertama dan selanjutnya adalah melibatkan diri dalam kegiatan yang diajarkan atau disetujui dalam Weda. Ada tiga jenis kegiatan yang mencapai Tuhan dan mendapatkan rahmat-Nya: (1) Perbuatan yang tidak didorong oleh keinginan pribadi (2) Perbuatan yang muncul dari kasih yang tidak menentingkan diri sendiri dan (3) doa yang muncul dari kemurnian hati. [Sathya Sai Vahini, Chap 19]

-BABA

Thought for the Day - 7th March 2018 (Wednesday)

As dedicated sevaks (servitors), whether your beneficiaries thank you or traduce you, gladly perform your allotted tasks. For, you are serving yourselves, not them, remember! Bouquets or brickbats, receive them with equal calm. It is only those who identify themselves with the body, that exult or feel pained! Remember, you are the Dehi (Indweller), not the deha (body) - this will give you strength to serve well. While doing Seva do not argue that this particular task is yours and that is not; do not be sticklers for boundaries and limits. Support and complement each other in joyful co-operation. Act as ideal satsanga (noble company), infusing energy and enthusiasm to all. Also, do not carry a greater burden than that is allotted to you and do not interfere with what other people are doing, or criticise others. Malice, envy or competition must have no place in your heart. Do not rush about discovering faults where none exists. That is misdirected enthusiasm. Instead, spread peace and joy!


Sebagai pelayan (sevak) yang berdedikasi, apakah si penerima manfaat mengucapkan terima kasih atau mencelamu, dengan senang hati lakukan tugas yang diberikan kepadamu. Karena, engkau melayani dirimu sendiri dan bukan mereka, ingatlah! Karangan bunga atau makian pedas, terimalah keduanya dengan ketenangan yang sama. Hanya mereka yang menganggap diri mereka dengan tubuh jasmani yang bersuka ria dan merasakan rasa sakit! Ingatlah, engkau adalah Dehi (yang bersemayam dalam diri), dan bukan deha (tubuh) – ini akan memberikanmu kekuatan untuk melayani dengan baik. Saat melakukan Seva jangan berdebat bahwa tugas ini adalah milikmu dan tugas itu bukan; jangan bersikukuh pada batasan. Dukung dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya dalam kerjasama penuh suka cita. Bertindaklah sebagai satsanga (pergaulan luhur) yang ideal, masukkan energi dan semangat pada semuanya. Selain itu, jangan membawa beban yang lebih besar daripada yang diberikan kepadamu dan jangan mengganggu apa yang orang lain lakukan, atau memberikan kritik pada yang lain. Kedengkian, iri hati, atau kompetisi harus tidak memiliki tempat di dalam hatimu. Jangan terburu-buru menemukan kesalahan jika itu tidak ada. Itu adalah semangat yang salah arah. Malahan, sebarkan kedamaian dan suka cita! [Divine Discourse, Feb 24, 1965]

-BABA

Tuesday, March 6, 2018

Thought for the Day - 6th March 2018 (Tuesday)

The service rendered by a person ensures a bright future when that service is performed devoid of ego and in gratefulness considering it an opportunity given by God. Whatever you do for others, do it with a feeling that you are doing for oneself. In truth the service you render does more good to you! A small example: A friend is warmly welcomed, taken to the drawing room and offered a cup of coffee. This good act gets imprinted in the person’s heart and that person will remember the warm welcome received and reciprocate it. If you look after a friend who is hospitalised with none to look after, will that friend not reciprocate the help when you need it? So, remember that the service you render to others is a reserve that will help you with your future needs. Similarly, if you extend this idea and consider that bad deeds done to others are truly deeds being done to oneself, you will never do bad deeds!


Pelayanan yang dilakukan oleh seseorang memastikan sebuah masa depan yang cerah ketika pelayanan itu dilakukan tanpa adanya ego dan penuh rasa syukur dengan menganggap bahwa pelayanan itu adalah sebuah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan. Apapun yang engkau lakukan bagi yang lainnya, lakukan dengan perasaan bahwa engkau sedang melakukan untuk dirimu sendiri. Sebenarnya bahwa pelayanan yang engkau lakukan memberikan lebih banyak kebaikan bagimu! Sebagai contoh sederhana: seorang teman disambut dengan hangat, dibawa ke dalam ruang tamu dan disuguhkan dengan secangkir kopi. Perbuatan baik ini terpatri dalam hati orang itu dan ia akan mengingat sambutan hangat yang diterima dan akan membalasnya. Jika engkau merawat teman yang diopname saat tidak ada orang yang merawatnya, apakah temanmu itu tidak akan membalas bantuan itu saat engkau memerlukannya? Jadi, ingatlah bahwa pelayanan yang engkau berikan pada yang lain adalah berbalik yang akan menolongmu pada saat engkau membutuhkannya di masa yang akan datang. Sama halnya, jika engkau memperluas pandangan ini dan menganggap bahwa perbuatan buruk yang dilakukan pada orang lain sebenarnya adalah perbuatan yang dilakukan untuk diri sendiri, maka engkau tidak akan pernah melakukan perbuatan buruk! [Divine Discourse, May 27, 1973]

-BABA

Monday, March 5, 2018

Thought for the Day - 5th March 2018 (Monday)

Reduce your wants to the minimum! A foolish desire to be up-to-date and to keep up with fashion, has made you gather needless habits and unnecessary articles. Examine your room, table, wardrobe, etc. and find out how many superfluous things you have accumulated. You have acquired them because you saw someone having them and you felt that unless you too possessed them you will look small in their company. You can all be happy with much less equipment than you seem to think essential. Once an article is with you for some time, you feel it is indispensable and you do not know how to live without it. Like the silkworm, you weave a cocoon for yourself, out of your fancy! Do not allow costly habits to grow; they are costly from the monetary as well as spiritual point of view. Watch your likes and dislikes with a vigilant eye and discard anything that threatens to encumber your spiritual path.


Kurangi keinginanmu seminimal mungkin! Keinginan bodoh untuk selalu mengikuti dan mendapatkan mode terbaru, telah membuatmu mengumpulkan kebiasaan yang tidak berguna dan barang yang tidak diperlukan. Periksa kamar, meja, lemarimu, dan sebagainya serta temukan berapa banyak benda yang tidak berguna dan berlebihan yang telah engkau kumpulkan. Engkau telah mendapatkannya setelah engkau melihat seseorang memilikinya dan engkau merasa bahwa kecuali engkau juga memiliki benda tersebut, engkau akan kelihatan sepele dalam pergaulan. Engkau sepenuhnya dapat menjadi senang dengan peralatan yang jauh lebih sedikit daripada yang engkau pikirkan. Sekali sebuah barang bersamamu untuk beberapa waktu, engkau merasa sangat memerlukan dan engkau tidak tahu bagaimana hidup tanpa barang itu. Sama halnya dengan ulat sutra, engkau menenun sebuah kepompong untuk dirimu sendiri, karena khayalan! Jangan izinkan kebiasaan yang mahal untuk tumbuh; kebiasaan itu mahal dari nilai keuangan dan juga dari sudut pandang spiritual. Perhatikan yang engkau sukai dan yang engkau tidak sukai dengan pandangan waspada dan lepaskan apapun yang mengancam untuk membebani jalan spiritualmu. [Divine Discourse, Feb 24, 1965]

-BABA

Thought for the Day - 4th March 2018 (Sunday)

The mind has become fickle as we have been feeding it with worldly tendencies. How can we stabilise it? Give such work that will keep the mind ever-busy, then it will not trouble us! It is the nature of the monkey to keep climbing up and down, and so people who catch monkeys, take it from house to house and make it climb up and down a pole; this way they keep the monkey busy and also earn alms for themselves. Our mind is also a mad monkey, isn’t it? And monkeys must be engaged in an absorbing work to keep it away from its fickleness! So, first and foremost, sit still and give the monkey mind the duty of a watchman. The monkey mind so entrusted, will watch the breath going in - ‘So’ and the breath coming out - ‘ham’ and it will be kept busy. After five minutes of this exercise, your mind will calm down.


Pikiran telah menjadi berubah-ubah karena kita memberinya makan dengan kecendrungan duniawi. Bagaimana kita dapat menenangkannya? Berikan pikiran pekerjaan yang membuatnya tetap sibuk, kemudian pikiran tidak akan mengganggu kita! Adalah merupakan sifat alami dari monyet untuk terus memanjat naik dan turun, jadi mereka yang menangkap monyet, membawa monyet dari rumah ke rumah dan membuatnya memanjat sebuah tiang naik dan turun; cara ini membuat monyet sibuk dan juga belajar untuk mendapatkan sedekah untuk diri mereka sendiri. Pikiran kita juga seekor monyet liar, bukan? Dan monyet harus dilibatkan dalam kerja yang mengasyikkan untuk menjauhkannya dari kegelisahan! Jadi, pertama dan terpenting, duduk dengan tenang dan berikan pikiran yang seperti monyet tugas sebagai penjaga. Pikiran yang seperti monyet ini dipercayakan, akan memperhatikan jalannya nafas masuk - ‘So’ dan nafas keluar - ‘ham’ dan hal ini akan tetap menyibukkannya. Setelah lima menit latihan ini, pikiranmu akan tenang. [Divine Discourse, May 25, 1979]

-BABA

Thought for the Day - 3rd March 2018 (Saturday)

I would like to tell you something about the attitude you must cultivate when you volunteer. I Myself have selected you for this role and that itself is a rare privilege. There are so many among the thousands who are pleading with all their heart to be given the chance; but you alone have been picked. I must tell you that volunteering is not just a momentary spurt; it cannot be done well without deep discipline, long training and humility. You must develop prema (love) for all. Do not think that a volunteer is a superior person, more devoted than the rest; do not look down upon the rest as disturbances and nuisances. When you treat any one harshly, you are treating Me harshly. When you are insulting any one, you are insulting Me. If you have love for Me, have prema towards all, since Sai is in every one.

Aku ingin mengatakan kepadamu sesuatu tentang sikap yang harus engkau tingkatkan saat engkau menjadi relawan. Aku sendiri telah memilihmu untuk peran ini dan itu adalah hal yang istimewa dan jarang di dapat. Ada begitu banyak diantara ribuan orang yang memohon dengan sepenuh hati mereka agar diberikan kesempatan ini; namun hanya engkau yang telah dipilih. Aku harus mengatakan kepadamu bahwa menjadi relawan bukanlah dorongan sesaat; ini tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa disiplin yang mendalam, latihan yang berkesinambungan dan kerendahan hati. Engkau harus mengembangkan prema (kasih) bagi semuanya. Jangan berpikir bahwa seorang relawan adalah seseorang yang hebat, lebih berbhakti daripada yang lainnya; jangan memandang rendah yang lainnya sebagai gangguan dan rintangan. Ketika engkau memperlakukan siapapun dengan kasar, engkau sedang memperlakukan-Ku dengan kasar. Ketika engkau menghina siapapun juga, engkau sedang menghina Aku. Jika engkau memiliki kasih kepada-Ku, maka miliki kasih untuk semuanya, karena Sai ada dalam setiap orang. [Divine Discourse, Feb 24, 1965]

-BABA