Wednesday, October 28, 2020

Thought for the Day - 28th October 2020 (Wednesday)

In the Gita, the Lord has declared that in humans He is the power of discrimination, Buddhi. Man cannot achieve greatness by the acquisition of all forms of wealth. It is intelligence that makes man respected. One who does not exercise this power of discrimination is no better than birds or beasts; it is to raise man to a higher level that the Divine comes down as Avatar. Avatar means descent. To stoop down to lift up the child to cuddle and to raise man, who is caught up in petty desires and trivial pursuits, Divinity descends to the human level and teaches how one can divinise oneself. This is the teaching of the Gita. All great scriptures, be it The Bible, The Quran and the others have originated for the same purpose. The scriptures by themselves, cannot redeem you. They serve only as guideposts. They indicate the roads to be taken to realise the Divine. 



Di dalam Bhagavad Gita, Tuhan telah menyatakan bahwa dalam wujud manusia Beliau adalah kekuatan membedakan yaitu Buddhi. Manusia tidak dapat mencapai kehebatan dengan mengumpulkan semua bentuk kekayaan. Adalah kecerdasan yang membuat manusia dihormati. Seseorang yang tidak melatih kemampuan membedakan ini adalah tidak lebih baik daripada unggas dan binatang buas.  Tuhan datang sebagai Avatar adalah untuk mengangkat manusia pada level  ketuhanan. Avatar berarti turun. Untuk membungkuk dan mengangkat anak pada pelukan dan mengangkat manusia, yang terjebak dalam keinginan yang remeh dan pengejaran yang bersifat sementara, Tuhan turun pada level manusia dan mengajarkan manusia tentang bagaimana mengangkat dirinya sampai pada ketuhanan. Ini adalah ajaran dari Gita. Semua naskah suci agung, apakah itu Alkitab, Quran, dan yang lainnya berasal dari tujuan yang sama. Naskah suci itu sendiri tidak dapat menyelamatkanmu. Naskah suci hanya sebagai tiang penunjuk arah serta jalan yang harus ditempuh untuk menyadari ketuhanan. (Divine Discourse, Aug 31, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 27th October 2020 (Tuesday)

The mother's lap is the school for every man. It is his first temple. Mother is every man's primary wealth. To recognise this truth about one's mother is the duty of every person. There is no higher God than the mother. Father is one's treasure; mother is one’s God. Instead of valuing such precious wealth and Divinity, men engage themselves in all kinds of activities to acquire riches and positions. The father and the mother are inseparable like the word and its meaning. Everyone should cherish one's parents as embodiments of the Divine. The mother and father may be physically separate, but spiritually they are one. Good mothers are more essential than good wives. A good wife is of value only to her husband. A good mother is a national asset. From ancient times, Indian scriptures have glorified the examples of great women like Maitreyi, Sita, and Savitri. Their lives continue to be a source of inspiration to this day. 



Pangkuan ibu adalah tempat belajar bagi setiap orang. Itu adalah kuil pertamanya. Ibu adalah kekayaan utama bagi setiap orang. Adalah kewajiban setiap orang untuk menyadari kebenaran tentang ibu ini. Di dunia ini, tidak ada Tuhan yang lebih tinggi daripada ibu. Ayah adalah harta berharga; ibu adalah Tuhan. Bukannya menghargai kekayaan dan keilahian yang begitu berharga, orang-orang melibatkan diri dalam semua jenis aktivitas untuk memperoleh kekayaan dan posisi. Ayah dan ibu tidak dapat dipisahkan seperti kata dan artinya. Setiap orang harus menghargai orang tua sebagai perwujudan Tuhan. Perbedaan antara ibu dan ayah hanya berhubungan dengan badan fisik, tetapi secara rohani mereka adalah satu. Ibu yang baik lebih penting daripada istri yang baik. Istri yang baik hanya berharga bagi suaminya. Ibu yang baik adalah aset nasional. Dari zaman dahulu, naskah suci di India telah memuliakan teladan yang diberikan oleh wanita-wanita hebat seperti Maithreyi, Sita, dan Savitri. Kehidupan mereka terus menjadi sumber inspirasi hingga hari ini.  (Divine Discourse, Sep 11, 1983)

-BABA

 

Tuesday, October 27, 2020

Thought for the Day - 26th October 2020 (Monday)

Aspirants for mental peace have also to reduce the luggage they have to care for; the more the luggage, the greater the bother. Objective possessions and subjective desires, both are handicaps in the race for realisation. A house cluttered with lumber will be dark, dusty, and without free movement of fresh air; it will be stuffy and suffocating. The human body too is a house; do not allow it to be cluttered with curios, trinkets, trash, and superfluous furnishings. Let the breeze of holiness blow as it wills through it; let not the darkness of blind ignorance desecrate it. Life is a bridge over the sea of change; pass over it, but do not build a house on it. Hoist the Prashanthi Flag, on the temple, that is your heart. Follow the prescription it teaches - subdue the six enemies that undermine the natural bliss in man, ascend the Yoga stage when the agitations are stilled and allow the splendour of the Divinity within (the Atma) to shine forth, embracing all for all time. 



Untuk menginginkan kedamaian batin juga harus mengurangi bagasi yang harus di jaga dan bawa; semakin banyak bagasinya maka semakin besar gangguan yang di dapat. Kepemilikan bersifat objektif dan keinginan bersifat subjektif, keduanya adalah kesulitan dalam pacuan untuk mencapai kesadaran. Sebuah rumah yang berantakan dengan tumpukan kayu akan menjadi gelap, berdebu dan udara segar tidak bisa berhembus dengan lancar; ini akan menjadi pengap dan mencekik. Tubuh manusia juga adalah sebuah rumah; jangan izinkan tubuh menjadi berantakan dengan dandanan, pernak-pernik, sampah, dan hal-hal yang tidak berguna. Biarkan angin kesucian dapat berhembus dengan bebas pada tubuh ini; jangan biarkan kegelapan kebodohan yang membutakan menodainya. Hidup adalah sebuah jembatan di atas lautan perubahan; berjalanlah melewati jembatan itu, namun jangan membangun rumah di atas jembatan. Kibarkan bendera Prashanthi, di tempat suci yaitu hatimu. Ikuti resep yang diajarkan – taklukkan enam musuh yang merusak kebahagiaan alami di dalam diri manusia, naik ke tahapan Yoga ketika kegelisahan diredakan dan mengizinkan kemegahan dari ketuhanan di dalam diri (Atma) bersinar cemerlang, merangkul semua sepanjang waktu. (Divine Discourse, Oct 12, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 25th October 2020 (Sunday)

On Vijayadasami day, the seven-day long Vedic ritual, performed for the promotion of peace and prosperity among all men in all lands concludes with the valedictory offering to the Gods who preside over various facets of nature. This is called Poornahuti and usually a number of valuable things are poured and placed in the sacrificial fire that was adored and fed during the entire week. The final offering is of one's self, which is the culmination of the sacrifices rendered all along. The significance of Poornahuti is fulfilling one's earthly life by dedicating oneself to the Omniwill or Brahman. This is also known as surrender or Saranagati. You have nothing in you or belonging to you that you can claim as yours to offer to God. Then, what does surrender of the self signify or imply? To experience God as Omnipresent, to be aware of nothing other than God - this is true surrender. To see God in everything, everywhere, at all times, is true Saranagati. He gives, He enjoys, and He experiences. 



Pada perayaan suci Vijayadasami, selama tujuh hari ritual Weda dilakukan untuk meningkatkan kedamaian dan kesejahteraan diantara seluruh manusia di semua tempat termasuk yang diakhiri dengan persembahan terakhir pada Tuhan yang meliputi berbagai aspek alam. Persembahan ini disebut dengan Poornahuti dan biasanya sejumlah barang-barang yang berharga dituangkan ke dalam api suci yang dipuja dan dituangkan persembahan selama seminggu. Persembahan terakhir adalah diri sendiri, yang mana merupakan puncak dari pengorbanan yang dilakukan selama ini. Makna dari Poornahuti adalah memenuhi kehidupan duniawi dengan mendedikasikan diri pada Yang Maha Kuasa atau Brahman. Ini juga dikenal dengan berserah diri atau Saranagati. Engkau tidak memiliki apapun juga dalam dirimu atau milik yang engkau dapat katakan sebagai milikmu yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kemudian, apa yang dimaknai atau diimplikasikan dengan berserah diri? Untuk mengalami Tuhan sebagai yang ada dimana-mana, untuk tidak menyadari apapun selain Tuhan – ini adalah berserah diri yang benar. Untuk melihat Tuhan di dalam segalanya, di setiap tempat, sepanjang waktu adalah Saranagati yang sebenarnya. Beliau yang memberi, Beliau yang menikmati, dan Beliau yang mengalami.(Divine Discourse, Oct 08, 1975)

-BABA

 

Thought for the Day - 24th October 2020 (Saturday)

The students think that their 'duty' is only to be punctual when one attends college or school, and to be attentive during the lectures and other academic exercises. The teachers too consider their duty done, when they attend during prescribed hours and perform the assignments allotted to them. This misconception has to be given up. Education has to be welcomed as a Sadhana for the establishment of peace in the individual heart as well as in society. Education is a spiritual endeavour, over which Goddess Saraswati presides. Saraswati is the Shakti of Brahma, the First Member of the Trinity, and She is the source and sustenance of all creative activity. Gayatri, the vital Vedic mantra, which prays to the ‘Source of Light’, to illumine the intellect of the aspirant is also a facet of that Shakti. Gayatri mantra is a universal eternal call from the heart of man to the Embodiment of Love and Light. It is the very basis of the educational effort in all lands and at all times. 



Para pelajar berpikir bahwa ‘kewajiban’ mereka hanyalah pada tepat waktu ketika menghadiri kelas atau kuliah, dan penuh perhatian selama kelas berlangsung dan tugas akademik lainnya. Para guru juga menganggap kewajiban mereka telah selesai, ketika mereka datang pada saat mereka mengajar dan menjalankan tugas yang diberikan kepada mereka. Kesalahpahaman ini harus dilepaskan. Pendidikan harus disambut sebagai sebuah Latihan spiritual (sadhana) untuk dapat menegakkan kedamaian dalam hati setiap orang dan juga di dalam masyarakat. Pendidikan adalah sebuah usaha spiritual, dimana Dewi Saraswati bersemayam. Dewi Saraswati adalah Shakti dari Dewa Brahma, anggota pertama dari Tri Murti, dan Dewi Saraswati adalah sumber dan penopang dari semua kegiatan kreatifitas. Gayatri, adalah Mantra Weda yang vital dimana berdoa pada ‘sumber cahaya’, untuk menerangi kecerdasan dari para peminat spiritual yang juga aspek dari Shakti. Mantra Gayatri adalah sebuah panggilan abadi universal dari hati manusia kepada perwujudan kasih dan cahaya. Ini adalah sangat mendasar dari usaha pendidikan di semua tempat dan sepanjang waktu. (Divine Discourse, Jul 06, 1975)

-BABA

 

Thought for the Day - 23rd October 2020 (Friday)

We do not get all that we ask for. What is the reason? Has God no compassion? The child is sick but it asks for many varieties of sweets which the mother refuses to give. Does it mean that she hates the child? Or is she hard-hearted? Has she lost her affection? The refusal is itself a sign of compassion. For, each person is an invalid, suffering from recurrent birth and death. Granting whatever is asked can only lengthen suffering. Hence arises withholding and the denial. And, you too do not ask for the indispensable! You do not pray for the peace that knows no break. If you do, the boon will be granted! God will respond when the call arises from the heart. I know you knock at the door. But, at which door? Keeping the door of your own heart closed, how can your clamour succeed in getting the other door opened? Knock at the door of your own heart. God, the Resident, will come into view. 



Kita tidak mendapatkan semua yang kita minta. Apa alasannya? Apakah Tuhan tidak memiliki belas kasihan? Seorang anak ketika sakit meminta berbagai jenis manisan, namun ibunya tidak mau memberikannya. Apakah itu berarti ibunya membenci sang anak? Atau apakah ibunya berhati keras? Apakah ibunya kehilangan kasih sayangnya? Penolakan itu sendiri merupakan tanda belas kasih. Setiap orang cacat, menderita kelahiran dan kematian berulang-ulang. Memberi apapun yang diminta hanya akan memperpanjang penderitaan. Karenanya muncullah penolakan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan. Dan, engkau juga tidak meminta apa yang sangat diperlukan! Engkau tidak berdoa untuk kedamaian yang tidak mengenal henti. Jika engkau melakukannya, anugerah akan diberikan! Tuhan akan menjawab ketika panggilan itu muncul dari hati. Aku tahu engkau mengetuk pintu. Tapi, di pintu mana? Dengan tetap menutup pintu hatimu sendiri, bagaimana kebisinganmu berhasil membuka pintu lain? Ketuk pintu hatimu sendiri. Tuhan, Sang Penghuni, akan terlihat. (Divine Discourse, Oct 21, 1982)

-BABA

 

Thought for the Day - 22nd October 2020 (Thursday)

During Navaratri there is a form of worship called Anga-arpana Puja (dedicating various limbs and organs to God). In the performance of this Puja, there is a form of self-deception. When a devotee says, "Netram Samarpayami" (I offer my eyes to the Lord) and offers only a flower to the Lord, one is indulging in deception. The proper thing would be to say that one is offering a flower. Mantras like "Netram Samarpayami" are intended to indicate that one is using one’s eyes only to see God. The real significance of the Mantra is that you think of the Divine in whatever you see or do. Therefore, true Anga-arpana Puja is to declare that you offer all your limbs in the service of the Lord. This means that whatever work you do should be done as an offering to God. Navaratri festival should be used as an occasion to examine one's own nature whether it is human, animal or demonic, and strive to transform animal nature to human, and finally divinize human nature. 



Selama Navaratri ada sebuah bentuk pemujaan yang disebut dengan Anga-arpana Puja (mempersembahkan berbagai jenis organ dan anggota badan kepada Tuhan). Dalam melaksanakan puja ini, ada sebuah bentuk penipuan diri sendiri. Ketika seorang bhakta berkata, "Netram Samarpayami" (hamba mempersembahkan mata kepada Tuhan) namun hanya mempersembahkan bunga kepada Tuhan, seseorang sedang terlibat dalam penipuan. Hal yang tepat dikatakan adalah seseorang mempersembahkan bunga. Mantra seperti "Netram Samarpayami" adalah ditujukan untuk mengindikasikan bahwa seseorang sedang menggunakan matanya hanya untuk melihat Tuhan. Makna yang sesungguhnya dari Mantra adalah bahwa engkau memikirkan Tuhan apapun yang engkau lihat dan kerjakan. Maka dari itu, makna yang benar dari Anga-arpana Puja adalah untuk menyampaikan bahwa engkau mempersembahkan semua anggota tubuhmu dalam pelayanan kepada Tuhan. Ini berarti bahwa apapun pekerjaan yang engkau lakukan adalah sebuah persembahan kepada Tuhan. Perayaan Navaratri seharusnya digunakan sebagai keadaan untuk memeriksa sifat asli seseorang apakah sifat manusia, binatang atau raksasa, dan berusaha merubah sifat binatang menjadi manusia dan pada akhirnya merubah sifat manusia menjadi sifat Dewata. (Divine Discourse, Oct 06, 1992)

-BABA

 

Thought for the Day - 21st October 2020 (Wednesday)

The Navaratri festival is observed by contemplating on God for ten days and cleansing one's self of all impurities, to experience the Divinity within. The penultimate day of the festival is dedicated to what is termed as Ayuda Puja (worship of weapons). The weapons to be worshipped are the divine powers within. When the Divine is worshipped in this way, one is bound to progress spiritually. On the contrary, the usual practice now is to treat the Divine and the devotee as separate from each other. This is wrong. The Divine is omnipresent and is in everyone and in every object. Realising this oneness, all actions should be done as an act of dedication to the Divine. Imagine the bliss that can be experienced in such a state of mind! It is essential to celebrate the festival in this sacred spirit. It is not enough to do this for only ten days during the Navaratri festival. It should become the rule all through one's life, till the time one draws one's life-breath. 



Perayaan Navaratri dilakukan dengan perenungan kepada Tuhan selama sepuluh hari dan membersihkan diri kita dari segala ketidakmurnian, untuk dapat mengalami ketuhanan di dalam diri. Hari terakhir perayaan didedikasikan untuk apa yang disebut dengan Ayuda Puja (pemujaan pada senjata). Senjata dipuja adalah kekuatan Tuhan di dalam diri. Ketika Tuhan dipuja dengan cara ini, seseorang dipastikan maju secara spiritual. Sebaliknya, pemujaan yang dilakukan sekarang adalah memperlakukan Tuhan dan bhakta-Nya terpisah satu dari yang lainnya. Hal ini adalah salah. Tuhan adalah bersifat ada dimana-mana dan ada di dalam setiap orang serta di dalam setiap objek. Sadarilah kesatuan ini, semua perbuatan seharusnya dilakukan sebagai perbuatan yang dipersembahkan kepada Tuhan. Bayangkan kebahagiaan yang dapat dialami dalam keadaan pikiran seperti itu! Ini adalah bersifat mendasar untuk merayakan hari suci dengan semangat yang suci. Adalah tidak cukup melakukan ini hanya selama sepuluh hari saja saat perayaan Navaratri. Ini seharusnya menjadi aturan sepanjang hidup, sampai waktu dimana seseorang menghembuskan nafas terakhirnya. (Divine Discourse, Oct 14, 1994)

-BABA


Thought for the Day - 20th October 2020 (Tuesday)

You have come, most of you, to get from Me tinsel and trash, petty little cures and promotions, joys and comforts. Very few of you desire to get from Me the thing I have come to give - liberation itself. And even among these few, those who stick to the path of spiritual practice and succeed are a handful. Many are drawn away by the outer signs of sainthood - the long gown, the beard, the rosaries, the matted hair, and so on; they keep track of many such who move about in this land and follow them into the wilderness. It is very difficult to demarcate clearly the manifestation of the Lord, so I am announcing Myself and am Myself describing My mission, the task, the characteristics, the qualities that mark out the Avatar from the rest. Do not hunger for comfort or riches; hunger for bliss (ananda). 



Engkau telah datang, kebanyakan darimu datang untuk mendapatkan hal yang bersifat murahan dan remeh dari-Ku, penyembuhan yang bersifat sepele dan promosi, suka cita dan kenyamanan. Sangat sedikit darimu menginginkan untuk mendapatkan dari-Ku sesuatu yang Aku datang untuk berikan yaitu – pembebasan itu sendiri. Dan bahkan diantara yang sedikit ini, mereka yang tetap berjalan di jalan spiritual dan berhasil hanyalah segelintir orang. Banyak yang tertarik oleh tanda-tanda luar dari kesucian seperti: gaun yang panjang, jenggot, japa mala, rambut yang kusut, dan sebagainya; mereka mencari orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti itu yang ada di negeri ini dan mengikutinya ke alam liar. Adalah sangat sulit untuk membatasi dengan jelas wujud Tuhan, jadi Aku menyatakan diri-Ku sendiri dan Aku sendiri menjelaskan misi-Ku, tugas, karakteristik, sifat yang menandai Avatara dari yang lain. Jangan lapar akan kenyamanan atau kekayaan; laparlah pada kebahagiaan (ananda). (Divine Discourse, Feb 04, 1963)

-BABA


Thought for the Day - 19th October 2020 (Monday)

Celebration of Dasara festival is meant to purify the actions performed by the dasendriyas (five senses of action and five senses of perception). Every human being in this world has to perform some kind of karma (action). The presiding deity or the driving force behind these actions is Devi (also known as Durga), who is the personification of energy. She is the bestower of all kinds of energy to perform various kinds of karma. Goddess Lakshmi bestows various kinds of wealth like money, food grains, gold, different kinds of objects, vehicles for movement, etc., to human beings so that they can lead a happy life in this world. The third facet of the Divine Female Principle is Saraswati, the goddess of learning and intellect. Thus, the Trinity of Durga (goddess of energy), Lakshmi (goddess of wealth) and Saraswati (goddess of learning and intellect) are worshipped during this festival of Dasara. 



Perayaan suci Dasara adalah sebagai sarana untuk menyucikan perbuatan yang dilakukan oleh  sepuluh indria yaitu Dasendriya (lima indera perbuatan dan lima indera persepsi). Setiap umat manusia yang ada di dunia ini harus menjalankan beberapa bentuk karma (perbuatan). Tuhan yang bersemayam di dalam atau kekuatan pendorong tindakan ini adalah Dewi (juga dikenal dengan Durga), yang merupakan perwujudan dari energi. Dewi Durga adalah penganugerah dari semua bentuk energi untuk melakukan berbagai jenis karma. Dewi Lakshmi menganugerahkan berbagai jenis kekayaan seperti uang, biji-bijian, emas berbagai jenis barang, kendaraan untuk bergerak, dsb., kepada umat manusia sehingga manusia dapat menjalani sebuah hidup yang bahagia di dunia ini. Aspek ketiga dari prinsip Dewi adalah Saraswati, Dewi pengetahuan, dan kecerdasan. Jadi, ketiga Dewi yaitu Dewi Durga (Dewi energi), Dewi Lakshmi, (Dewi kekayaan) dan Dewi Saraswati (Dewi pengetahuan dan kecerdasan) dipuja selama perayaan suci Dasara. (Divine Discourse, Sep 10, 2008)

-BABA


Thought for the Day - 18th October 2020 (Sunday)

The progress of modern technology, by polluting the atmosphere with carbon dioxide smoke, is causing a threat to life on earth. This smoke has already created a hole in the ozone ring above the earth which has been serving as a protecting cover against harmful radiation from the Sun. If the ozone layer is destroyed, the effect of the Sun's rays may be disastrous. All nations are now worried about this threat. All that needs to be done to avert this danger is to reduce the pollution of the atmosphere caused by automobiles and industrial effluents. Economy in the use of every natural resource is vital. Pollution of the air has many evil consequences. The Navaratri celebration is an occasion for revering Nature and also for considering how natural resources can be used properly in the best interests of mankind. Resources like water, air, power and minerals should be used properly and not misused or wasted 



Kemajuan dari teknologi modern, dengan mencemari atmosfer dengan asap karbondioksida, yang menjadi penyebab ancaman bagi kehidupan di bumi. Asap ini telah menciptakan sebuah lubang di lapisan ozone di atas bumi yang merupakan pelindung terhadap radiasi yang berbahaya dari matahari. Jika lapisan ozon hancur, akibatnya cahaya matahari dapat membawa malapetaka. Semua bangsa sekarang cemas tentang ancaman ini. Semua yang perlu kita lakukan mencegah ancaman bahaya ini adalah dengan mengurangi polusi atmosfer yang disebabkan oleh mobil dan pembuangan industri. Ekonomi dalam setiap penggunaan sumber daya alam adalah vital. Polusi udara memiliki banyak akibat yang mengerikan. Perayaan Navaratri adalah kesempatan untuk menghormati alam dan juga mempertimbangkan bagaimana seharusnya sumber daya alam digunakan secara tepat untuk kepentingan terbaik manusia. Sumber daya alam seperti air, udara, daya, dan mineral seharusnya digunakan dengan benar dan tidak disia-siakan atau disalahgunakan. (Divine Discourse, Sep 27, 1992)

-BABA

 

Thought for the Day - 17th October 2020 (Saturday)

Navaratri means nine nights. Darkness is associated with night. What is this darkness? It is the darkness of ignorance. The purpose of the Navaratri celebration is to enable man to get rid of nine types of darkness which have taken hold of him. When a reference is made to Devi, it signifies the unified form of Durga, Lakshmi and Saraswati. The three together represent Shakti. Shakti is the energy that accounts for all the phenomena of Prakruti (Nature). Nature is energy and the controller of that energy is the Lord. Prakruti is made up of the three qualities - Satwa, Rajas and Tamas. Saraswathi represents the Satwa Guna (serenity). Lakshmi represents the Rajo Guna (activity) and Parvati represents the Tamo Guna (destructiveness). As Prakruti is made up of these three qualities, to get control over Nature, man has been offering worship to Durga, Lakshmi and Saraswati. These are not goddesses but deified symbols of the three qualities. 



Navaratri berarrti 9 malam. Kegelapan dihubungkan dengan malam. Apa kegelapan ini? Ini adalah kegelapan dari kedunguan. Tujuan dari perayaan Navaratri adalah untuk memungkinkan manusia menyingkirkan 9 jenis kegelapan yang telah menyelimutinya. Ketika sebuah acuan dibuat kepada Dewi, ini mengandung makna penyatuan dari Dewi Durga, Lakshmi, dan Saraswati. Ketiga Dewi bergabung menjadi satu melambangkan Shakti. Shakti adalah energi yang bertanggung jawab atas semua fenomena dari Prakruti (alam). Alam adalah energi dan pengendali dari energi itu adalah Tuhan. Prakruti disusun dari tiga sifat yaitu - Satwa, Rajas, dan Tamas. Saraswathi melambangkan sifat Satwa Guna (ketenangan). Lakshmi melambangkan sifat Rajo Guna (aktifitas) dan Parvati melambangkan sifat Tamo Guna (pelebur). Karena Prakruti disusun oleh tiga sifat ini, untuk mengendalikan alam, manusia telah memuja Durga, Lakshmi, dan Saraswati. Ketiganya bukanlah Dewi namun simbol Tuhan dari tiga sifat itu. (Divine Discourse, Sep 27, 1992)

-BABA


Thought for the Day - 16th October 2020 (Friday)

Man constantly strives in various ways to elevate his status and condition. As he succeeds in one effort, he seeks success in another, and so it goes on. But, what is the hallmark of a true human being? Human life is bound up with gains and losses, ups and downs. One has to face them. Only the one who overcomes these challenges with fortitude is a true human being. What is the reason for the vicissitudes in life? The cause is to be found in one's desires. It is beyond doubt that desires are inescapable. For instance, one seeks to achieve some ideals. Another may seek to do well in studies and secure a good job. Yet another may desire to acquire a good name and bring up a good family. There is nothing wrong in such desires. But what we are witnessing in the Kali Age is the limitless growth of desires. As a consequence, people fall into bad ways. There should be limits to every desire. There should be a limit even to the pursuit of power and position. 



Manusia senantiasa berusaha dalam berbagai cara untuk meningkatkan status dan keadaannya. Ketika manusia berhasil dalam satu usaha, manusia mencari keberhasilan dalam hal lainnya, dan hal ini terus berlanjut. Namun, apa tanda dari manusia yang sejati? Hidup manusia terikat pada keuntungan dan kerugian, pasang dan surut. Seseorang harus menghadapi semuanya itu. Hanya seseorang yang mengatasi tantangan ini dengan ketabahan adalah seorang manusia yang sejati. Apa alasan dari perubahan dalam hidup ini? Penyebabnya dapat ditemukan pada keinginan seseorang. Tidak diragukan lagi bahwa keinginan adalah tidak bisa dihindari. Sebagai contoh, seseorang mencoba untuk mencapai beberapa cita-cita. Sedangkan yang lain mencoba untuk tenggelam dalam belajar dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Namun yang lainnya mungkin menginginkan untuk mendapatkan nama baik dan membangun keluarga yang baik. Tidak ada yang salah dengan keinginan yang seperti itu. Namun apa yang sedang kita saksikan di zaman kali ini adalah tumbuhnya keinginan yang tidak terbatas. Sebagai akibatnya, manusia jatuh ke dalam jalan yang salah. Harus ada batas untuk setiap keinginan. Harus ada batas bahkan untuk pengejaran kekuasaan dan jabatan. (Divine Discourse, Oct 14, 1991)

-BABA

 

Thought for the Day - 15th October 2020 (Thursday)

Ardent seekers have sought keys to all knowledge, the one thing that, if known, all else is known, that is latent in every atom of the Universe. They described it as something that is beyond words, beyond the ken of human imagination and understanding. It is best, they have themselves admitted, that God is pictured in the human form, so that man can easily comprehend Him and approach Him and derive bliss out of that contemplation. Man can conceive only human qualities and human attainments, though he can multiply them to the maximum and allow the resultant quantum to fill and overflow his heart. Release the twin doors of lust and anger, and remove the bolt of greed, then, you can enter the sacred precincts of Moksha (Liberation)! Greed is the monstrous evil that drags man down. Greed arises from attachment to the senses and catering to them. Put the senses in their proper place; they are windows for knowledge, not channels of contamination. 



Pencari spiritual yang sangat tekun telah mencari kunci untuk semua pengetahuan, satu hal yang jika diketahui maka semua yang lainnya akan diketahui, dan hal itu terpendam di dalam setiap atom dari alam semesta. Para pencari ini menjabarkan hal ini sebagai sesuatu yang melampaui kata-kata, melampaui pengetahuan dan pemahaman dari imajinasi manusia. Cara yang terbaik, dimana para pencari ini mengakui, bahwa Tuhan digambarkan dalam wujud manusia, sehingga manusia dapat dengan mudah memahami Tuhan dan mendekati-Nya serta mendapatkan kebahagiaan dari perenungan itu. Manusia hanya dapat memahami sifat-sifat manusia dan pencapaian manusia, meskipun manusia dapat melipatgandakannya sampai maksimal dan mengizinkan kuantum yang dihasilkan mengisi dan memenuhi hatinya. Lepaskan dua pintu kembar yaitu nafsu dan amarah, dan lenyapkan palang ketamakan, maka kemudian engkau dapat memasuki kawasan suci Moksha (pembebasan)! Ketamakan adalah kejahatan yang mengerikan yang menyeret manusia jatuh. Ketamakan muncul dari keterikatan pada indera dan melayaninya. Tempatkan indera pada tempat yang tepat; indera adalah jendela pengetahuan dan bukan saluran kontaminasi. (Divine Discourse, Jan 14, 1970)

-BABA

 

Thursday, October 15, 2020

Thought for the Day - 14th October 2020 (Wednesday)

You sit before the idol and offer praise, and the incense of worship, but you do not now try to grasp the significance of God that you see in the idol. Inquire into the Will of God, discover the commands of God, guess what will please Him most, and regulate your life accordingly. Do not get caught in the sticky tangles of outer nature. Do not harden your heart through greed and hate. So long as a trace of 'I-am-the-body' consciousness persists in you, you yourself have to search for God; you have to approach the mirror, the mirror will not proceed towards you to show you as you really are! Soften your heart with love. Cleanse it through pure habits of living and thinking. Use it as a shrine, wherein you install your God. Be happy that you have within you the source of power, wisdom and joy. Announce that you are unconquerable and free, that you cannot be tempted or frightened into wrong! 




Engkau duduk di hadapan arca suci Tuhan dan mempersembahkan pujian dan dupa pada saat doa, namun engkau sekarang tidak mencoba untuk mendapatkan makna dari Tuhan yang engkau lihat pada arca itu. Selidiki kehendak Tuhan, temukan perintah Tuhan, tebak apa yang paling dapat menyenangkan Tuhan, dan atur hidupmu sesuai dengan itu. Jangan terjebak dalam ikatan lengket dari dunia luar. Jangan memperkeras hatimu dengan ketamakan dan kebencian. Selama masih ada jejak kesadaran 'aku – adalah - tubuh' di dalam dirimu, engkau sendiri harus mencari Tuhan; engkau harus mendekati cermin, karena cermin tidak akan mendekat kepadamu untuk memperlihatkan dirimu yang sesungguhnya! Lembutkan hatimu dengan kasih. Bersihkan hatimu dengan kebiasaan hidup dan berpikir yang suci. Gunakan hati sebagai tempat suci, dimana engkau menempatkan Tuhan di sana. Berbahagialah bahwa engkau memiliki kekuatan seperti itu di dalam dirimu yaitu kebijaksanaan dan suka cita. Umumkan bahwa engkau tidak terkalahkan dan bebas, bahwa engkau tidak bisa tergoda atau ditakuti untuk berbuat salah! (Divine Discourse, Jan 14, 1970)

-BABA

 

Thought for the Day - 13th October 2020 (Tuesday)

When one person exudes the pride that he alone can sing Bhajans well among the group, naturally others develop anger, jealousy, hate, malice and such other deleterious traits. Love alone can root out the weed of pride from the heart. Love all considering all as so many forms of God, appearing in these various roles. A heart without Love is as dreary as a town without a temple. Spiritual pride is the most poisonous of all varieties of pride; it blinds and leads the person suffering from it into ruin. Beware of pride; be always aware that you are but instruments in My Divine Mission of Dharma sthapana - Revival of Righteousness. Try to be more and more efficient as such instruments. The Hand that wields the Instrument knows how and when it has to be applied. If there is righteousness in the heart, there will be beauty in character. If there is beauty in character, there will be harmony in the home. 



Ketika seseorang memancarkan kesombongan dimana hanya dia sendiri yang dapat melantunkan lagu bhajan dengan baik dalam satu kelompok bhajan, secara alami yang lain akan mengembangkan rasa marah, iri hati, benci, congkak, dan sifat-sifat seperti itu yang mengganggu. Hanya kasih yang dapat mencabut sampai ke akarnya rumput liar kesombongan yang ada di dalam hati kita. Kasihi semuanya dengan menganggap semuanya sebagai wujud Tuhan yang begitu banyak, yang tampil dengan berbagai jenis peran. Sebuah hati tanpa kasih adalah sama suramnya dengan sebuah kota tanpa tempat suci. Kesombongan spiritual adalah racun yang paling berbahaya diantara jenis kesombongan yang lainnya; kesombongan spiritual membutakan dan mengarahkan seseorang pada penderitaan sampai pada kehancuran. Waspadalah terhadap kesombongan; selalulah sadar bahwa engkau hanyalah alat di dalam misi Tuhan dalam Dharma sthapana – kebangkitan kebajikan. Cobalah untuk lebih dan lebih efisien sebagai alat. Tangan yang menggunakan alat mengetahui bagaimana dan kapan alat ini harus digunakan. Jika ada kebajikan di dalam hati, akan ada keindahan di dalam karakter. Jika ada keindahan dalam karakter, akan ada keharmonisan di dalam rumah. (Divine Discourse, Jan 13, 1970)

-BABA

 

Thought for the Day - 12th October 2020 (Monday)

Fill the reservoir with water; then, when you turn the taps, the buckets will be full. Cultivate love and devotion, then your activities will be saturated with compassion and charity; they will yield the golden harvest of joy and peace. The water must be pure; Love must be unselfish and universal. You can yourself judge whether your Love is narrow or broad, whether your Devotion is shallow or deep. Are you content with your achievement? Examine it yourself - pronounce the verdict on yourself, by your own discrimination. Purity of motive is the best guarantee that you will have peace. An uneasy conscience is a tormenting companion. Righteous action will leave no bad effects to disturb your sleep or health. So be righteous, and avoid all prejudices against others on the basis of caste, creed, colour, mode of worship, status or degree of affluence. Do not look down on any one; look upon all as Divine as you really are. 



Isilah tangki dengan air, ketika engkau membuka kerannya maka ember akan terisi penuh. Tingkatkan kasih dan bhakti, kemudian perbuatanmu akan disucikan dengan welas asih dan kedermawanan; kedua bentuk kualitas ini akan menghasilkan panen emas berupa suka cita dan kedamaian. Airnya harus murni; kasih harus tidak mementingkan diri sendiri dan bersifat universal. Engkau dapat menilai dirimu sendiri apakah kasihmu bersifat sempit atau lapang, apakah bhaktimu dangkal atau dalam. Apakah engkau puas dengan pencapaianmu? Periksalah dirimu sendiri – ungkapkan keputusan tentang dirimu sendiri dengan kemampuan memilah yang engkau miliki. Menyucikan niat yang ada merupakan jaminan terbaik bagimu untuk memiliki kedamaian. Hati nurani yang gelisah adalah pendamping yang menyiksa. Perbuatan yang benar tidak akan meninggalkan pengaruh yang buruk yang dapat mengganggu tidur dan kesehatanmu. Jadilah orang baik, dan hindari semua bentuk prasangka terhadap orang lain yang berdasarkan pada kasta, keyakinan, warna kulit, bentuk ibadah, status, atau tingkat kemakmuran. Jangan memandang rendah siapapun juga; pandanglah semuanya sebagai Tuhan seperti dirimu sendiri yang sejati. (Divine Discourse, Jan 13, 1970)

-BABA

 

Thought for the Day - 11th October 2020 (Sunday)

The Lord cares for ekagrata and chitta-suddhi (concentration and purity of mind). You need not feel that you are physically away from Him. He has no 'near' and 'far'. Provided the address is clear and correct, your letter will be delivered, either at the next street or at Calcutta or Bombay for the same stamp. Smarana (remembering) is the stamp; manana (recapitulation) is the address. Have the Name for smarana; the Form for manana, that is enough. Select one Name and one Form for smarana and manana; but, do not talk ill of other names and forms. Behave like the woman in a joint family; she respects and serves the elders of the family such as the father-in-law, and his brothers and her own brother-in-law, but her heart is dedicated to her husband, whom she loves and reveres in a special manner. If you carp at the faith of others, your devotion is fake. If you are sincere, you will appreciate the sincerity of others. You see faults in others because you yourself have those faults, not otherwise. 



Tuhan memperhatikan ekagrata dan chitta-suddhi (konsentrasi dan kemurnian pikiran). Engkau tidak perlu merasa bahwa secara fisik engkau jauh dari-Nya. Beliau tidak memiliki 'dekat' dan 'jauh'. Asalkan alamatnya jelas dan benar, suratmu akan dikirimkan, baik di jalan berikutnya atau di Kalkuta atau Bombay untuk stempel yang sama. Smarana (mengingat nama Tuhan) adalah stempelnya; manana (mengulang nama Tuhan) adalah alamatnya. Memiliki Nama untuk smarana; Wujud untuk manana, itu sudah cukup. Pilihlah satu Nama dan satu Wujud untuk smarana dan manana; Tetapi, janganlah berbicara buruk mengenai Nama dan Wujud lainnya. Engkau hendaknya berperilaku seperti wanita dalam sebuah keluarga besar; dia menghormati dan melayani para penatua keluarga seperti ayah mertua, dan saudara laki-laki dan saudara iparnya sendiri, tetapi hatinya didedikasikan hanya untuk suaminya, yang dia cintai dan hormati dengan cara yang khusus. Jika engkau mencari kesalahan pada keyakinan orang lain, pengabdianmu palsu. Jika engkau tulus, engkau akan menghargai ketulusan orang lain. Engkau melihat kesalahan orang lain karena engkau sendiri yang memiliki kesalahan itu, bukan sebaliknya (Divine Discourse, Aug 15, 1964)

-BABA


Sunday, October 11, 2020

Thought for the Day - 10th October 2020 (Saturday)

Some, afraid of cynical criticism by unbelievers, are reluctant to participate in Nagarasankirtan. When you have the very Embodiment of Fearlessness installed in your heart, why should the slightest tremor of fear affect you? If others do not join, for fear of derision or ridicule, move out alone, singing the Name. You came into this world alone, with no companion, isn't it? During the years of life, you collected all this kith and kin, and acquaintances who attached themselves to you. When you return to the realm from which you came, you enter the portals alone, with no one to keep company. So too let it be with the journey called Nagarasankirtan. Come into the street alone, collect kith and kin, if they come unto you; move with them, unconcerned and unaffected; revel in your own sweet solitariness; and finally enter your home, in the satisfaction that your job is well done. People may laugh at you as insane, but this insanity is infectious and very soon, even the irreverent will be initiated into the fold. 



Beberapa merasa takut terhadap kritik sinis dari mereka yang tidak percaya dan menjadi enggan untuk ikut berpartisipasi dalam Nagarasankirtan. Ketika engkau memiliki perwujudan dari keberanian yang tertanam di dalam hatimu, mengapa goncangan sedikit dari ketakutan mempengaruhimu? Jika yang lainnya tidak mau bergabung, karena takut akan ejekan atau cemoohan, berjalanlah sendiri dalam melantunkan nama Tuhan. Engkau datang ke dunia ini sendiri dan tanpa yang mendampingi, bukan? Selama bertahun-tahun kehidupan, engkau mengumpulkan semua bentuk ikatan sanak saudara ini, dan juga kenalan yang mengikatkan diri mereka pada dirimu. Ketika engkau kembali ke tempat darimana engkau berasal, engkau memasuki gerbang itu sendirian, tanpa siapapun yang menemanimu. Begitu juga dengan perjalanan yang disebut dengan Nagarasankirtan. Datanglah ke jalan sendiri, ajak sanak saudara bersamamu jika mereka datang padamu; bergeraklah dengan mereka, tidak terpengaruh dan tidak peduli; bersuka cita di dalam kesendirian yang indah; dan pada akhirnya memasuki rumahmu dalam kepuasan bahwa pekerjaanmu selesai dengan baik. Orang-orang mungkin menertawakanmu sebagai orang gila, namun kegilaan ini adalah cepat menular, bahkan yang tidak sopanpun akan masuk ke dalamnya. (Divine Discourse, Jan 13, 1970)

-BABA

 

Thought for the Day - 9th October 2020 (Friday)

Reform the body, reconstruct the mind, and regulate the way of living; then, the country will become automatically strong and prosperous. Do not wail that it is a mud pot if it contains nectar; it is far better than having a gold pot with poison in it. The land may be rich, but if life is mean, it is deplorable. It does not matter if the standard of life is poor, provided the way of life is pure, full of love, filled with humility, fear-of-sin, and reverence towards elders. It is easy to restore this way of life, provided the Vedas are once again studied and followed. The Vedamatha (mother of Vedas) will foster in you love and kindness. Have faith; do not discard a diamond, dismissing it as a piece of glass. The Dharma laid down in the Vedas is the best armour to guard you against sorrow. 



Perbaharui tubuh, merekonstruksi pikiran, dan mengatur cara hidup, bangsa secara otomatis akan menjadi kuat dan makmur. Jangan meratapi bahwa ini adalah mangkuk lumpur jika mangkuk itu terkandung nektar di dalamnya; adalah jauh lebih baik daripada memiliki mangkuk emas namun dengan racun di dalamnya. Tanah mungkin sangat kaya, namun jika hidup kejam maka ini menjadi menyedihkan. Tidak masalah jika standar hidup adalah buruk, asalkan cara hidupnya suci, penuh kasih, diliputi dengan kerendahan hati, takut dosa, dan hormat kepada orang tua. Mudah untuk memulihkan cara hidup ini, asalkan Weda dipelajari dan diikuti. Wedamatha (ibu dari Weda) akan menumbuhkan kasih dan kebaikan di dalam dirimu. Miliki keyakinan; jangan membuang berlian dengan menganggapnya sebuah pecahan kaca. Dharma yang ditetapkan dalam Weda adalah baju besi pelindung terbaik untuk menjagamu dari penderitaan. (Divine Discourse, Aug 15, 1964)

-BABA

 

Thursday, October 8, 2020

Thought for the Day - 8th October 2020 (Thursday)

You must offer the Lord, not flowers that plants grow; that will reward the plant, not you! The Lord wants you to offer the lotus that blooms in the Lake of your Heart, the fruit that ripens on the tree of your earthly career, not the lotus and the fruit available in the marketplace! You may ask - "Where can we find the Lord?" Well, He has given His address, in Chapter 18, Shloka 61 of Bhagavad Gita. Turn to it and note it down - Ishwarah sarva bhutanam hrid-dese, Arjuna, tisthati - “O Arjuna, the Lord resides in the heart of all beings." Now, after knowing that, how can you look down on any living being in contempt or how can you revel in hating him or indulge in the pastime of ridiculing? Every individual is charged with the Divine Presence, moved by Divine attributes. Love, honour, friendliness - that is what each one deserves from you. Give these in full measure. 



Engkau harus mempersembahkan kepada Tuhan, bukan bunga yang ditanam, karena penghargaan itu akan mengarah pada tanaman bunga itu dan bukan pada dirimu! Tuhan menginginkan dirimu untuk mempersembahkan bunga teratai yang mekar di danau hatimu, buah yang matang di pohon pekerjaan duniawimu, bukan dari bunga teratai dan buah yang tersedia di pasar! Engkau mungkin bertanya - "Dimana kita bisa menemukan Tuhan?" Sejatinya Tuhan memiliki alamat yang jelas dalam Bab 18, sloka 61 dari Bhagavad Gita. Lihat dan catat halaman tersebut - Ishwarah sarva bhutanam hrid-dese, Arjuna, tisthati - “O Arjuna, Tuhan tinggal di dalam hati semua makhluk hidup." Sekarang, setelah mengetahui alamat Tuhan, bagaimana engkau dapat memandang rendah makhluk hidup lainnya atau bagaimana engkau dapat bersuka cita dalam membenci yang lain atau terlibat dalam kesenangan menghina? Setiap orang diliputi dengan kehadiran Tuhan, digerakkan oleh sifat-sifat Tuhan. Kasih, rasa hormat, keramahan – itu adalah yang layak setiap orang layak dapatkan dari dirimu. Berikan semua kualitas ini sepenuhnya. (Divine Discourse, Apr 16, 1964)

-BABA


Thought for the Day - 7th October 2020 (Wednesday)

It is a hard job to know about your own Self. Take the case of the food that you eat with your own mouth. You feel it in your stomach but after that you do not experience what happens to it at each stage. How then can you know, without acquiring the special means for it, the Truth that lies behind the sheaths that encase and enclose you - the Annamaya, Pranamaya, Manomaya, Vijnanamaya and Aanandhamaya (sheaths of material, vital energy, mind, intelligence and bliss)? Clear your intellect or intellectual power (dhee shakti) of the cobwebs of the ego, the dust of desire, the soot of greed and envy, and it becomes a fit instrument for revealing the Swarupa - the Inner Truth. "Know yourself, know the Inner Motivator, the Antaryamin” - that is the exhortation of the scriptures of all faiths. For, unless you are armed with that knowledge, you are like a ship without a compass, sailing on a stormy sea. 




Ini merupakan pekerjaan yang sulit untuk dapat mengetahui jati dirimu yang sejati. Ambillah contoh makanan yang engkau makan dengan mulutmu sendiri. Engkau merasakan makanan itu di dalam perutmu namun setelah itu engkau tidak merasakan atau mengalami apa yang terjadi di setiap tahapannya. Bagaimana engkau kemudian dapat mengetahui, tanpa menggunakan sarana khusus untuk itu, Kebenaran yang ada di balik selubung yang membungkus dan melingkupimu adalah - Annamaya, Pranamaya, Manomaya, Vijnanamaya, dan Aanandhamaya (lapisan material, energi vital, pikiran, kecerdasan, dan kebahagiaan)? Bersihkan kecerdasan atau kekuatan intelektualmu (dhee shakti) dari jarring laba-laba ego, debu keinginan, jelaga ketamakan, dan iri hati, dan kemudian menjadi sarana yang cocok untuk mengungkapkan Swarupa – kebenaran di dalam diri. "Ketahuilah dirimu sendiri, ketahui penggerak di dalam diri, Antaryamin” – itu adalah nasehat dari naskah-naskah suci dari semua keyakinan. Karena, kecuali jika engkau dilengkapi dengan pengetahuan itu, engkau adalah seperti sebuah perahu tanpa kompas, berlayar di tengah lautan badai. (Divine Discourse, Apr 16, 1964)

-BABA


Tuesday, October 6, 2020

Thought for the Day - 6th October 2020 (Tuesday)

The temptation to ignore Dharma grows from egoism and the acceptance of false values. The wish to satisfy lower desires is the root of Adharma (unrighteousness). This wish takes hold of you slyly, silently, like a thief in the night; or like a comrade come to save you; or like a servant come to attend on you; or, like a counsellor come to warn you. Oh, wickedness has a thousand tricks to capture your heart. You must be ever alert against the temptation. The wish makes a chink in your consciousness, enters and establishes itself and then multiplies its brood and eats into the personality you have built up with laborious care. The fort is no longer under your control. You have been reduced into a puppet manipulated by these inner enemies. Whenever you try to rebuild yourselves, they undermine the structure and you have to do it all over again. That is the extent of the harm they do! 




Godaan untuk mengabaikan Dharma tumbuh dari egoisme dan penerimaan dari nilai-nilai yang salah. Dengan berharap untuk memuaskan keinginan rendahan adalah akar dari Adharma (kejahatan). Keinginan ini menguasaimu dengan licik, diam-diam, seperti seorang pencuri di malam hari; atau seperti seorang sahabat yang menyelamatkanmu; atau seperti seorang pelayan yang datang menemanimu; atau seperti penasihat yang mengingatkanmu. Oh, kejahatan memiliki seribu tipu muslihat untuk mendapatkan hatimu. Engkau harus selalu waspada terhadap godaan ini. Keinginan membuat sebuah celah di dalam kesadaranmu, memasukinya dan tinggal di sana serta memperbanyak induknya dan memakan kepribadian yang telah engkau bangun dengan perhatian yang melelahkan. Gerbang itu bukanlah lagi ada dibawah kendalimu. Engkau telah hancur menjadi wayang yang dikendalikan oleh musuh-musuh di dalam diri ini. Kapanpun engkau mencoba untuk membangun dirimu kembali, musuh-musuh itu merusak strukturnya dan engkau harus mengulang membangunnya kembali. Sejauh itulah kerusakan yang musuh-musuh itu lakukan! (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA

 

Thought for the Day - 5th October 2020 (Monday)

Every single thing has its Dharma. Water has as its Dharma, the nature and obligation to move. Fire, the Dharma to burn and consume. And the magnet, to attract and draw unto itself. Every one of these is keeping up its Dharma unchanged, including the Solar system and the stars of the firmament. Among the things endowed with Consciousness or Chaithanya - the plants and trees, the insects and the birds, born out of eggs or the mammals - all have managed to treasure their specific Dharmas unaffected through the passage of time. But the human being, whose intelligence sweeps from the inert and the infinitesimal to the Super-conscious and the Universal, is the only living thing that has slipped, and is sliding down. The experience of many generations of seekers, who sought the means of contentment and joy, embodied in the precepts of practical living collectively called Shaastras is neglected, and new-fangled nostrums are recommended and tried on a vast scale. 



Setiap bagian memiliki Dharmanya sendiri. Air memiliki Dharmanya sendiri, Dharma dari alam adalah untuk bergerak. Api dengan Dharmanya untuk membakar dan melahap. Dan magnet, dengan menarik benda pada dirinya sendiri. Setiap bagian dari ini tetap menjaga Dharmanya tidak berubah, termasuk tata surya dan bintang di langit. Diantara benda-benda yang diberkati dengan kesadaran atau Chaithanya – tanaman dan pohon, serangga dan burung, berasal dari telur dan mamalia – semuanya telah berhasil menghargai Dharma mereka tidak terpengaruh melewati perjalanan waktu. Namun manusia, yang memiliki kecerdasan bergerak dari yang tidak aktif dan kecil sekali menuju pada kesadaran super dan universal, adalah satu-satunya makhluk hidup yang tergelincir, dan merosot. Pengalaman dari banyak generasi pencari spiritual yang mencari sarana untuk rasa syukur dan suka cita, yang diwujudkan dalam ajaran kehidupan praktis yang secara kolektif disebut dengan naskah suci atau Shaastra diabaikan, dan formula baru direkomendasikan serta dicoba dalam skala yang besar. (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 4th October 2020 (Sunday)

Dharma says 'Satyam vada' and 'Dharmam chara': Speak the truth and practise righteousness. Sathyannasti paro dharmah: there is no better stabilising factor in society, no more support for individual progress than Satya, Truth. Hiding the truth or perverting it or denying it or defacing it are all signs of cowardice; no bold person will stoop to cover the face of Truth. Besides, you must know that the Vedic injunction is: “Dharmam chara - Practise Dharma." It is not enough if you learn about it; you must act it, fill every moment with word, deed and thought that reflect your awareness of Dharma. That type of living is the hallmark of what is called seelam (character) in statements such as “Seelam param bhushanam - Character is the most precious jewel." You must examine every moment of your waking time to check if you are observing the precepts of Dharma or straying away! 




Dharma mengatakan 'Satyam vada' dan 'Dharmam chara': Ucapkan kebenaran dan praktikkan kebenaran. Sathyannasti paro dharmah: tidak ada faktor penstabil yang lebih baik dalam masyarakat, tidak ada lebih banyak dukungan untuk kemajuan individu daripada Satya, Kebenaran. Menyembunyikan kebenaran atau memutarbalikkan atau menyangkalnya atau merusaknya, adalah tanda kepengecutan; tidak ada orang yang berani akan membungkuk untuk menutupi wajah Kebenaran. Selain itu, engkau harus tahu bahwa perintah Veda adalah: “Dharmam chara - Melatih Dharma.” Tidaklah cukup jika Anda mempelajarinya; Anda harus bertindak, mengisi setiap momen dengan kata, perbuatan, dan pikiran yang mencerminkan kesadaranmu tentang Dharma. Jenis kehidupan itu adalah ciri khas dari apa yang disebut seelam (karakter) dalam pernyataan seperti "Seelam param bhushanam - Karakter adalah permata yang paling berharga." Engkau harus memeriksa setiap saat dalam waktu terjagamu untuk memeriksa apakah engkau sedang menjalankan Dharma atau menyimpang! (Divine Discourse, Apr 15, 1964)

-BABA


Thought for the Day - 3rd October 2020 (Saturday)

You go from place to place, like postal parcels, collecting impressions on the outer wrapper, not on the core of your being. A blind man going places is not worried whether it is night or day. So too, you do not differentiate between one place and another. You behave equally unconcerned, equally senses-centred, in all types of places. You do not allow the holiness of the place to act on your mind. As a result of pilgrimages, your habits must change for the better, your outlook must widen, and your inward look must become deeper and become more-steady. You must realise the Omnipresence of God, and Oneness of Humanity. You must learn tolerance and patience, charity and service. After the pilgrimage is over, sitting in your own home, you must ruminate over your experiences and determine to seek the higher, richer and more real experience of God-realisation. I bless you that you may form that determination, and striving step by step, achieve that Goal. 




Engkau pergi dari satu tempat ke tempat lainnya seperti paket pos, mengumpulkan kenangan di sampul luarnya, dan bukan pada inti dari dalam dirimu. Seseorang yang buta pergi ke sebuah tempat tidak merasa cemas apakah hari itu siang atau malam. Begitu juga, engkau tidak membedakan diantara satu tempat dengan tempat lainnya. Engkau bertingkah laku sama yaitu tidak peduli, sama-sama terpusat pada indera, di semua jenis tempat. Engkau tidak mengizinkan kesucian dari tempat itu memainkan peran di dalam pikiranmu. Sebagai hasil dari peziarahan, kebiasaanmu harus berubah untuk lebih baik, pandanganmu harus lebih luas, dan pandangan batinmu harus menjadi lebih dalam dan menjadi lebih mantap. Engkau harus menyadari kehadiran Tuhan dimana-mana, dan kesatuan dari kemanusiaan. Engkau harus belajar toleransi dan kesabaran, kedermawanan dan pelayanan. Setelah peziarahan selesai, duduklah di dalam rumah dan engkau merenungkan kembali pengalaman itu dan memutuskan untuk mencari yang lebih tinggi, lebih berharga dan pengalaman lebih dalam kesadaran Tuhan. Aku memberkatimu agar engkau dapat membentuk keteguhan hati, dan berusaha langkah demi langkah untuk mencapai tujuan. (Divine Discourse, Feb 28, 1964)

-BABA


Thought for the Day - 2nd October 2020 (Friday)

When the reservoir is full, the water taps will flow; when the heart is the reservoir of love, sympathy and faith, acts, words and thoughts will help peace and joy. Politicians however do not recognise these needs; they fill the young hearts with hate, envy and greed, and spur them on to violence and vituperation. They draw them away from the classroom, the library and the laboratory and make them tramp the streets. They prod them to injure innocents, damage property and behave wildly, with fury. Indian Culture never encourages the use of force for effecting changes in law or social conditions or people's attitudes. Gandhi directed the movement for Indian Independence along spiritual lines which drew courage and confidence, and communicated to people both recitation and reflection on the Names of God. He cleansed the heart of the nation, of hatred and envy, of fear and doubt. He stuck to the ideal and the path; you too should do the same. 




Ketika tangki air penuh dengan air, maka keran air dapat mengalirkan air; ketika hati adalah tangki kasih sayang, simpati dan keyakinan, maka perbuatan, perkataan, dan pikiran akan membantu kedamaian dan suka cita. Para politisi bagaimanapun juga tidak menyadari pada kebutuhan ini; mereka mengisi hati anak-anak muda dengan kebencian, iri hati dan ketamakan serta mendorong mereka pada kekerasan dan makian. Para politisi menarik anak-anak muda dari ruang kelas, perpustakaan, dan laboratorium serta membuat mereka demo di jalanan. Mereka mendorong anak-anak muda untuk menyakiti yang tidak berdosa, menghancurkan properti dan bertingkah laku dengan liar, dengan kemarahan. Kebudayaan India tidak pernah mendorong dalam menggunakan kekerasan untuk melakukan perubahan pada hukum atau keadaan sosial atau sikap masyarakat. Gandhi mengarahkan pergerakan kemerdekaan India sejalan dengan jalan spiritual menarik keberanian dan keyakinan, serta mengomunikasikan pada masyarakat keduanya yaitu pelantunan dan perenungan nama suci Tuhan. Beliau membersihkan hati bangsa ini dari kebencian dan iri hati, ketakutan dan keraguan. Beliau berpegang pada ideal dan jalannya; engkau juga seharusnya melakukan hal yang sama. (Divine Discourse, May 31,1972)

-BABA


Thought for the Day - 1st October 2020 (Thursday)

You call yourselves devotees, so I shall talk to you about the dharma of people who seek to acquire devotion. No one can become a devotee by naming themself so, nor by others calling them so. Devotion involves dedication, with nothing held back; not even a wisp of ego should remain. His command alone counts; His will prevails. Like a drunkard, the devotee has no sense of honour or decency, pride or conceit. The devotee is a drunkard (matta), a mad person (unmatta), unconcerned with all that is unrelated to the ideal. The devotee is deaf to the call of hunger and thirst, misses steps in logic, and calculates wrongly while dealing in the marketplace. Narada says that those full of the liquor of ignorance stumble after the shadows of the world, while those drunk with nectar of wisdom never move away from the Highest, which they have discovered as themselves. 




Engkau menyebut dirimu sebagai bhakta, jadi Aku akan berbicara kepadamu tentang dharma dari orang-orang yang mencari untuk mendapatkan bhakti. Tidak ada seorangpun dapat menjadi seorang bhakta hanya dengan menyebut diri mereka sendiri, dan tidak juga dengan orang lain menyebut mereka seperti itu. Bhakti terkait dengan dedikasi, tanpa ada yang menahan; bahkan tidak dengan segumpal ego yang masih tersisa. Hanya perintah-Nya yang penting; kehendak-Nya yang terjadi. Seperti seorang pemabuk, bhakta tidak memiki rasa hormat atau kesopanan, kesombongan atau kecongkakan. Bhakta adalah seorang pemabuk (matta), seorang yang gila (unmatta), tidak peduli dengan semua yang tidak berhubungan pada yang ideal. Bhakta adalah tuli pada panggilan rasa lapar dan haus, melewatkan langkah-langkah dalam logika, dan salah menghitung saat bertransaksi di pasar. Narada mengatakan bahwa mereka yang penuh dengan minuman keras ketidaktahuan tersandung pada bayang-bayang duniawi, sedangkan mereka yang mabuk pada nektar kebijaksanaan tidak akan pernah menjauh dari Yang Tertinggi, yang telah mereka temukan sebagai diri mereka sendiri. (Divine Discourse, Jan 25, 1963)

-BABA


Thought for the Day - 30th September 2020 (Wednesday)

To be happy, one of two things must happen: All your desires must be fulfilled or you should not have any desire. Of these, the reduction of desire is the easier path. Take the troubles that come to you as tests and opportunities to learn non-attachment. The hot summer sends you to air-conditioning. Grief sends you to God. When a child dies, ask yourself the question, “Is it for my sake that the child was born?” The child had their own destiny to fulfil, their own history to work out. Gauthama Buddha’s father was so overcome with grief when he saw his son with a begging bowl in the street that he told him thus: “Every one of my ancestors was a king: what misfortune is this that a beggar was born in this line?” Buddha replied, “Every one of my ancestors had a beggar’s bowl; I know of no king in my line.” The father and the son walked different paths, traveled along divergent routes. 




Untuk menjadi bahagia, satu dari dua hal harus terjadi: semua keinginanmu harus terpenuhi atau engkau seharusnya tidak memiliki keinginan apapun. Dari kedua hal ini, mengurangi keinginan adalah jalan yang lebih mudah. Terimalah masalah yang datang padamu sebagai ujian dan kesempatan untuk belajar tanpa keterikatan. Musim panas yang terik membuatmu mencari pendingin udara. Duka cita membuatmu mencari Tuhan. Ketika seorang anak meninggal, tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan, “apakah untuk kepentinganku anak itu lahir?” anak memiliki takdirnya sendiri untuk dipenuhi, sejarahnya sendiri yang harus diselesaikan. Ayah dari Gauthama Buddha begitu sangat sedih sekali ketika beliau melihat putranya memegang mangkuk mengemis di jalanan  sehingga beliau mengatakan kepada Gautama Buddha: “Setiap orang dari leluhurku adalah seorang raja: malapetaka apakah ini dimana seorang pengemis lahir dalam garis keturunan ini?” Buddha menjawab, “Setiap orang leluhurku memiliki mangkuk mengemis; saya mengetahui tidak ada raja dalam garis hidup saya.” Ayah dan putranya berjalan di jalan yang berbeda, menempuh rute yang berbeda. (Divine Discourse, Nov 26, 1962)

-BABA