Tuesday, February 27, 2018

Thought for the Day - 27th February 2018 (Tuesday)

You are not educated if all that you have achieved is the study of a ton of books. The body and the mind have to be illumined by the light of love that emanates from the awareness of the Soul and its essential Divinity. Since education today deals only with the body and mind, and is unrelated to the Soul, the youth of the land are wafted hither and thither by every passing gust like rootless vegetation. Awareness of the Atman will grant unshakeable power and courage. The Vedas teach the means of securing this awareness and drawing on it to meet the challenges of life. That alone can crown education with success. That alone can strengthen youth to encounter the problems of unrest and anxiety. The colleges have to teach not only certain subjects, but the subject-object relationship too. The process by which one can transcend this duality and cognise the Unity has also to be communicated to render education complete.

Engkau sama sekali tidak berpendidikan jika semua yang engkau capai adalah belajar ribuan buku. Tubuh dan pikiran harus diterangi dengan pelita kasih yang muncul dari kesadaran tentang jiwa dan ke-Tuhanan yang bersifat mendasar. Karena pendidikan saat sekarang hanya berkaitan dengan tubuh dan pikiran namun tidak terkait dengan jiwa, para pemuda negeri ini tercampak kesana kemari dan kemanapun oleh hembusan yang sangat keras seperti halnya tumbuhan yang tanpa akar. Kesadaran akan Atman akan memberikan kekuatan dan keberanian yang tidak tergoyahkan. Weda mengajarkan sarana untuk mengamankan kesadaran ini dan memanfaatkannya untuk menghadapi tantangan hidup. Hanya kesadaran Atman yang dapat memberikan pendidikan dengan keberhasilan. Hanya ini saja yang dapat memperkuat para pemuda dalam menghadapi masalah keresahan dan kegelisahan. Perguruan tinggi harus mengajarkan tidak hanya mata kuliah tertentu saja, namun hubungan antara subjek dan objek. Proses yang mana seseorang dapat melewati dualitas dan menyadari kesatuan harus dikomunikasikan untuk memberikan pendidikan yang utuh dan lengkap. (Divine Discourse, Jan 31, 1974)

-BABA

Monday, February 26, 2018

Thought for the Day - 26th February 2018 (Monday)

All are God's children and are equally entitled to the love of the Lord. Why then are there differences amongst men and women? Why is there no equality or sameness? This is because of differences in the mental make-up of people. If the mind is impure, one's actions are bound to be impure. When the mind and the consciousness are warped by egoism, the human behaviour is also distorted. When these are turned towards the Divine, good actions follow naturally. Your mind is the cause of good and bad deeds. Hence, whatever you wish to achieve, you should try to accomplish without excitement or agitation. Wisdom or spiritual knowledge (Jnana) is regarded as the primary requisite for every human being. But what is truly primary is one’s conduct - righteous conduct. Your conduct determines your qualities and the qualities, in their turn, determine your behavior!


Semuanya adalah anak-anak Tuhan dan sama-sama berhak atas kasih Tuhan. Mengapa kemudian ada perbedaan diantara pria dan perempuan? Mengapa tidak ada kesamaan? Ini karena perbedaan dalam batin yang dibuat oleh manusia. Jika pikiran tidak suci, perbuatan seseorang pasti tidak murni. Ketika pikiran dan kesadaran diliputi dengan egoisme, tingkah laku manusia juga menyimpang. Ketika pikiran dan kesadaran diarahkan kepada Tuhan maka perbuatan baik secara otomatis mengikuti. Pikiranmu adalah penyebab dari perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, apapun yang ingin dicapai, engkau harus mencoba mencapainya tanpa kegembiraan atau pergolakan. Kebijaksanaan atau pengetahuan spiritual (Jnana) dianggap sebagai syarat utama untuk setiap manusia. Namun apa yang menjadi benar-benar utama adalah tingkah laku seseorang  - perilaku yang baik. Perilakumu menentukan kualitas dan kualitasmu, pada gilirannya, menentukan perilakumu! (Divine Discourse, Apr 08, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 25th February (Sunday)

Look on with an equal mind at good fortune and misfortune, happiness and sorrow, loss and gain. These are products of nature like heat and cold, summer and winter. They have their purposes to serve. Similarly the ups and downs of life have lessons to teach us. In fact, without reverses in life, we will not be able to experience Divinity. Without darkness, we cannot value light. Without experiencing difficulties, we will not be able to enjoy benefits. It is the lack of peace of mind which compels us to seek the means to realise enduring peace. The scriptures (Upanishads) have declared that through renunciation alone can immortality be attained. You must learn to practice true renunciation in your daily living so that you may discover the secret of enduring peace and bliss.


Lihatlah dengan sebuah pikiran yang sama pada keberuntungan dan kesialan, kesenangan dan penderitaan, serta kehilangan dan keuntungan. Semuanya ini adalah produk dari alam seperti panas dan dingin, musim panas dan musim dingin. Mereka memiliki tujuan untuk melayani. Sama halnya dengan pasang surut dalam kehidupan memiliki hikmah untuk mengajarkan kita. Sejatinya, tanpa kemalangan dalam hidup, kita tidak akan mampu untuk mengalami ke-Tuhanan. Tanpa kegelapan, kita tidak bisa menghargai cahaya. Tanpa mengalami kesulitan, kita tidak akan mampu menikmati keuntungan. Karena kurangnya kedamaian dalam pikiran yang mendorong kita untuk mencari makna untuk menyadari kedamaian yang abadi. Naskah suci (Upanishads) telah menyatakan bahwa hanya dengan melalui tanpa keterikatan dapat mencapai keabadian. Engkau harus belajar untuk mempraktikkan tanpa keterikatan yang sesungguhnya dalam kehidupanmu sehari-hari sehingga engkau dapat menemukan rahasia kedamaian dan kebahagian yang kekal. (Divine Discourse, Apr 06, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 24th February 2018 (Saturday)

You derive exaltation while worshipping a carved stone idol in the temple. How much more exalted should you be while worshipping the self-same God residing in the temple-hearts of the men and women amongst you! And not merely in the human frames; God lives in every bird, beast, tree, pebble and speck of dust! Remember, the grace of God cannot be won by merely repeating His glories! Recite the name of your chosen Lord, with its halo of meaning clear in your mind and soaked into your acts and feelings. The Americans who sang bhajans today paid attention to the tune and its beat; they also learnt the meaning of each song and sang it from their heart, respecting its spirit with bha-va (feelings), ra-ga (tune) and tha-la (rhythm) - Bha-ra-tha - that entitles them to be called Bharatiyas! The culture of ‘Bharat’ is built on rati (attachment) to Bhagawan; so, any person, independent of their race, who is attached to the Lord is a Bharatiya!


Engkau mendapatkan keagungan dengan memuja wujud Tuhan yang ada di dalam tempat suci. Berapa banyak lagi keagungan yang seharusnya engkau dapatkan dengan memuja Tuhan yang sama yang bersemayam dalam hati setiap manusia yang ada di sekitarmu! Dan tidak hanya dalam wujud manusia; Tuhan juga ada dalam setiap unggas, pohon, batu kerikil, dan pada debu! Ingat, rahmat Tuhan tidak bisa didapatkan hanya dengan mengulang-ulang kemuliaan-Nya! Mengulang-ulang nama suci Tuhan yang engkau pilih, dengan lingkaran dari artinya yang jelas dalam pikiranmu dan meresap dalam perbuatan dan perasaanmu. Orang Amerika yang melantunkan kidung suci bhajan memberikan perhatian pada nada dan ketukannya; mereka juga belajar arti dari setiap lagu dan melantunkannya dari hati mereka, menghormati nilai yang terkandung di dalamnya dengan bha-va (perasaan), ra-ga (nada) dan tha-la (irama) - Bha-ra-tha – semuanya itu yang memberikan mereka nama Bharatiya! Budaya ‘Bharat’ dibangun di atas rati (keterikatan) kepada Bhagawan; jadi, siapapun, terlepas dari ras mereka, yang terikat pada Tuhan adalah seorang Bharatiya! (Divine Discourse, Jul 19, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 23rd February 2018 (Friday)

Almost every activity is motivated by self-interest. This concern for self-interest is opposed to the Divinity that is immanent in one. Without realising this Divinity, how can one achieve peace internally or in the world outside? There is no greater quality than selfless love, which expresses itself in service to others. Understand the relationship between karma and karma yoga properly. Ordinary action (karma) done with attachment or desires causes bondage. But desireless selfless action becomes karmayoga. Our life should become one of Divine Communion (yoga) rather than a roga (disease). Today most of our actions result in roga because we are attracted to sensuous pleasures. Freedom from this disease can be obtained by pursuing the spiritual path. The spiritual path is not merely singing bhajans or reciting hymns. These are merely good deeds. Only those actions which are performed as a complete offering to the Divine can be regarded as spiritual.


Hampir dalam setiap aktifitas didorong oleh kepentingan diri. Perhatian untuk kepentingan diri adalah bertentangan dengan nilai ke-Tuhanan yang ada dalam diri seseorang. Tanpa menyadari nilai ke-Tuhanan ini, bagaimana seseorang dapat mencapai kedamaian di dalam diri dan di dunia luar? Tidak ada kualitas yang lebih besar daripada kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, yang mengungkapkan nilainya dalam bentuk pelayanan kepada yang lain. Pahamilah hubungan diantara karma dan karma yoga dengan baik. Perbuatan yang biasa (karma) dilakukan dengan keterikatan atau keinginan yang menyebabkan perbudakan. Namun perbuatan yang tanpa mementingkan diri sendiri menjadi karmayoga. Hidup kita seharusnya menjadi satu pertalian dengan Tuhan (yoga) daripada sebuah roga (penyakit). Hari ini kebanyakan perbuatan kita menghasilkan roga karena kita tertarik pada kesenangan indera. Bebas dari penyakit ini dapat diraih dengan menapaki jalan spiritual. Jalan spiritual tidak hanya melulu pada menyanyikan bhajan atau melantunkan doa. Semuanya ini adalah perbuatan yang baik. Hanya perbuatan yang dilakukan sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan dapat disebut sebagai spiritual. (Divine Discourse, Apr 06, 1983)

-BABA

Thursday, February 22, 2018

Thought for the Day - 22nd February 2018 (Thursday)

I am insisting on five points of discipline which will transform your homes and villages into Prasanthi Nilayams. ‘Silence’ is the first step that makes the other steps easy; it promotes self-control and reduces chances of anger, hate, malice, greed and pride. Besides, you can hear God’s footsteps only when silence reigns in the mind. ‘Cleanliness’ is the doorway to Godliness. Inner and outer cleanliness are essential to install God in your heart. ‘Service’ broadens your vision, widens awareness and deepens compassion. All are waves on the same sea. Service teaches you to be firm in this knowledge. ‘Love’ - Do not calculate or weigh the reaction, result or reward. Love calls; love responds. Love is God, live in Love. ‘Non-hatred’ towards all - No being must be looked down upon as inferior, unimportant, or expendable. Each of you are allotted your role in the drama designed by the Almighty. Do not slight, insult or injure any being; for, He is in every being and your slight becomes a sacrilege.


Aku mendesak pada lima point disiplin yang akan merubah rumah dan desamu menjadi Prasanthi Nilayam. ‘Hening’ adalah langkah pertama yang membuat langkah lain menjadi lebih mudah; point ini meningkatkan pengendalian diri dan mengurangi kesempatan untuk marah, benci, sombong, tamak, dan bangga. Disamping itu, engkau hanya dapat mendengar langkah kaki Tuhan hanya ketika keheningan terbentuk dalam pikiran. ‘Kebersihan’ adalah pintu masuk pada ke-Tuhanan. Kebersihan di luar dan di dalam adalah mendasar untuk menempatkan Tuhan di dalam hatimu. ‘Pelayanan’ memperluas pandanganmu, memperlebar kesadaran, dan memperdalam welas asih. Semuanya adalah gelombang di lautan yang sama. Pelayanan mengajarkanmu untuk mantap dalam pengetahuan ini. ‘Kasih’ – Jangan menghitung atau menimbang reaksi, hasil atau hadiah. Kasih memanggil; kasih menjawab. Kasih adalah Tuhan, hiduplah dalam kasih. ‘Tanpa kebencian’ kepada semuanya – Tidak ada makhluk yang mesti dipandang rendah sebagai lebih rendah, tidak penting atau dapat dibuang. Setiap orang darimu dibagikan peranmu dalam drama yang dirancang oleh Yang Maha Kuasa. Jangan merendahkan, menghina atau menyakiti makhluk apapun; karena Beliau bersemayam di dalam setiap makhluk dan penghinaanmu akan menjadi sebuah pelanggaran terhadap yang dianggap keramat. (Divine Discourse, Jul 19, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 21st February 2018 (Wednesday)

People earn much wealth and various degrees, but where is the defect? Many think that wealth causes all evil things, and degrees are detrimental. No, both of them are faultless. Water is pure and sweet, but when stored in a red coloured bottle, water appears to be red and when stored in purple bottle, it appears purple. From where did the colours appear? The individual is the bottle; bad or good is reflection of the individual attributes. If the individual is rajasic or passionate, then the wealth and education become useless. If the individual is of satwic or noble nature, then the actions and education would become noble too. Therefore the heart must be pure. In this context it is said: Chitta suddhi leni Shiva pooja yetiki? - What is the use of worship of Shiva (God) without purity of the heart? Atma sudhdhi leni acharamadiyela? - What is the use of rituals without purity of the individual? Patra sudhdhi leni pakamela? - How can one cook pure and delicious food without cleanliness of the vessels?


Orang-orang mendapatkan begitu banyak kekayaan dan berbagai jenis gelar, namun dimana cacatnya? Banyak yang berpikir bahwa kekayaan itu menyebabkan semua hal yang jahat, dan gelarnya adalah merugikan. Tidak, keduanya itu adalah tidak ada cacatnya. Air adalah murni dan nikmat, namun ketika disimpan dalam botol berwarna merah, maka air akan kelihatan merah dan ketika disimpan dalam botol berwarna ungu, maka air juga kelihatan ungu. Darimana warna itu muncul? Individu adalah botol; keburukan atau kebaikan adalah pantulan dari sifat-sifat seseorang. Jika seseorang memiliki sifat rajasik atau penuh gairah, maka kekayaan dan pendidikan itu menjadi tidak ada gunanya. Jika seseorang memiliki sifat satwik atau mulia, maka tindakan dan pendidikannya akan menjadi mulia juga. Maka dari itu hati harus murni dan suci. Dalam konteks ini dikatakan dengan: Chitta suddhi leni Shiva pooja yetiki? – apa gunanya memuja Dewa Shiva tanpa adanya kesucian di dalam hati? Atma sudhdhi leni acharamadiyela? – apa gunanya ritual tanpa adanya kesucian dalam diri seseorang? Patra sudhdhi leni pakamela? – Bagaimana seseorang bisa memasak makanan yang suci dan enak tanpa adanya kebersihan dari alat masaknya? (Divine Discourse, Apr 04, 1992)

-BABA

Tuesday, February 20, 2018

Thought for the Day - 20th February 2018 (Tuesday)

The seer should not attach himself to the seen; that is the way to get free. The contact of the senses with the object arouses desire and attachment, this leads to effort and either elation or despair. Then, there is the fear of loss or grief at failure, and the train of reactions lengthens. With many doors and windows kept open to all the winds that blow, how can the flame of the lamp within survive? That lamp is the mind, which must burn steadily unaffected by the dual demands of the world outside. Complete surrender to the Lord is one way to close windows and doors, for, then, in Saranagati (complete surrender to God), you are bereft of ego and so, you are not buffeted by joy or grief. Complete surrender enables you to draw upon the grace of the Lord for meeting all the crises in your career and it renders you heroic and better prepared for life’s battles.


Orang yang melihat seharusnya tidak mengikat dirinya pada yang dilihatnya. Itulah cara untuk bebas. Kontak indera dengan objek akan membangkitkan keinginan dan keterikatan, hal ini menuntun pada usaha dan juga kegembiraan atau rasa putus asa. Lalu, akan ada rasa takut kehilangan atau kesedihan akan kegagalan, dan rangkaian reaksi semakin panjang. Dengan banyak pintu dan jendela tetap terbuka pada semua angin yang berhembus, bagaimana dapat nyala api pelita di dalam dapat bertahan? Pelita itu adalah pikiran, yang mana harus menyala dengan teguh tanpa terpengaruh oleh tuntutan ganda dari dunia luar. Berserah sepenuhnya kepada Tuhan adalah satu cara untuk menutup jendela dan pintu, karena kemudian dalam Saranagati (berserah sepenuhnya pada Tuhan), engkau kehilangan ego dan engkau tidak diliputi oleh suka cita atau duka cita. Berserah diri sepenuhnya memungkinkan engkau untuk menarik rahmat Tuhan untuk menghadapi semua  saat-saat genting dalam hidupmu dan ini akan membuatmu menjadi gagah berani dan persiapan yang lebih baik untuk menghadapi pertempuran dalam kehidupan. (Divine Discourse, Jan 13, 1965)

-BABA

Monday, February 19, 2018

Thought for the Day - 19th February 2018 (Monday)

Pray to God and draw from Him the magnet of His grace and offer to the world the power of His electrical energy. This is the energy which everyone can mobilise for common good. It is all-powerful, because it is divine. It is within you. What a pity that people should be unaware of this and feel themselves powerless! All energy and all bliss are within us. It is because of ignorance that people are resorting to all kinds of useless and unnecessary exercises. Have full faith in your spiritual power (Atma-shakti). Adhere to the truth of your faith, without criticising others. Open your hearts and close your mouths. Today people are doing exactly the opposite. Practise silence as far as possible. The one who talks much will do little. One who acts will talk little. Whatever you do, have the name of the Lord on your lips and faith in God in your heart. Thereby work will be transformed into worship.


Berdoa kepada Tuhan dan tarik dari-Nya magnet rahmat-Nya dan persembahkan kepada dunia kekuatan energi listrik-Nya. Ini adalah energi yang mana setiap orang dapat bergerak untuk kebaikan semuanya.  Energi ini sungguh hebat sekali karena energi ini adalah Tuhan. Ini ada di dalam dirimu. Sayang sekali dimana manusia tidak menyadari akan hal ini dan merasakan diri mereka tidak berdaya! Semua energi dan semua kebahagiaan ada di dalam diri kita. Adalah karena kebodohan dimana manusia melakukan semua jenis latihan yang tidak perlu dan tidak berguna. Miliki keyakinan yang penuh dalam kekuatan spiritualmu (Atma-shakti). Junjung tinggi kebenaran akan keyakinanmu dan tanpa mengeritik yang lainnya. Bukalah hatimu dan tutup mulutmu. Hari ini manusia sedang melakukan sebaliknya. Berlatih untuk keheningan sebanyak mungkin. Seseorang yang berbicara terlalu banyak akan bekerja sedikit. Seseorang yang bekerja akan sedikit berbicara. Apapun yang engkau lakukan, miliki nama Tuhan di bibirmu dan keyakinan pada Tuhan di dalam hatimu. Dengan demikian kerja akan dirubah menjadi ibadah.  (Divine Discourse, Mar 08, 1997)

-BABA

Thought for the Day - 18th February 2018 (Sunday)

You may have the best of vegetables, you may be the most capable cook, but if the copper vessel in which you prepare the vegetable soup is not tinned, the dish you cook will be highly poisonous! So ‘tin’ your heart with satya, dharma, shanti and prema (truth, right conduct, peace and divine love), it will then become a vessel fit for repeating the holy name, and for meditation, religious vows, pilgrimage, ritualistic worship and other dishes that you prepare in it. It is an uphill task to reform one's tendencies and character. You may study all the text-books of spiritual practice, all the scriptures, and may even lecture for hours on them, but you will slip into error when temptation confronts you. The heart may appear like a land that is parched and free from any crop of evil, but when the first showers fall, the seeds and roots underneath the soil change the waste into a carpet of green. That is why the human values are so essential.



Engkau mungkin memliki sayuran terbaik, engkau mungkin adalah tukang masak terbaik, namun jika kuali masak yang engkau persiapkan untuk memasak sup sayuran tidak dilapisi dengan timah maka masakan yang engkau masak akan sangat beracun! Jadi ‘lapisi’ hatimu dengan satya, dharma, shanti dan prema (kebenaran, kebajikan, kedamaian dan kasih Tuhan), maka dengan demikian layak menjadi wadah untuk mengulang-ulang nama suci Tuhan, dan untuk meditasi, tirakat agama, perziarahan, ibadah ritual dan bentuk yang lain yang engkau persiapkan di dalamnya.  Merupakan sebuah tugas yang berat untuk merubah kecenderungan dan karakter seseorang. Engkau mungkin mempelajari semua buku-buku praktik spiritual, semua naskah suci, dan bahkan mungkin memberikan ceramah berjam-jam tentang hal itu, namun engkau akan tergelincir pada kesalahan saat godaan menghadapimu. Hati mungkin kelihatan seperti sebuah daratan yang kering dan bebas dari berbagai jenis tanaman yang tidak baik, namun saat hujan pertama turun, maka benih dan akar yang ada di bawah tanah merubah sampah menjadi hamparan hijau. Itu adalah mengapa nilai-nilai kemanusiaan sangat mendasar.   (Divine Discourse, Jan 13, 1965)

-BABA

Saturday, February 17, 2018

Thought for the Day - 17th February 2018 (Saturday)

There are many, maybe a few lakhs or crores, who call themselves devotees of Sai. Even if one Sai devotee practices sacrifice and truth, the whole world would become a better place. Truth and spirit of sacrifice are the two primary principles that are necessary to change the world. Truth sanctifies the heart, and the sense of sacrifice leads us to the renunciation of the worldly. Through these two, one can experience the import of the statement, Antar bahischa tat sarvam vyapya Narayana stitaha - The Lord pervades all space, within and without. In the absence of this true knowledge people indulge in the worldly and transient things from birth till death. How then can they redeem themselves and attain liberation? Every individual must love God to redeem their lives. You are endowed with a body only to practice righteousness. Do not lead an idle life.


Ada banyak, mungkin ada puluhan sampai ratusan juta yang menyebut diri mereka sebagai bhakta Sai. Bahkan jika satu orang bhakta Sai menjalankan pengorbanan dan kebenaran, maka seluruh dunia akan menjadi tempat yang lebih baik. Kebenaran dan semangat berkorban adalah dua prinsip yang diperlukan untuk merubah dunia. Kebenaran menyucikan hati dan kualitas pengorbanan menuntun kita pada ketidakterikatan pada dunia. Melalui kedua hal ini, seseorang dapat mengalami makna dari pernyataan, Antar bahischa tat sarvam vyapya Narayana stitaha – Tuhan meresapi semua tempat baik di dalam mapun di luar. Dengan tidak adanya pengetahuan yang sejati ini orang-orang menuruti kesenangan duniawi dan sementara mulai dari sejak lahir sampai meninggal. Bagaimana kemudian mereka dapat menyucikan diri mereka sendiri dan mencapai kebebasan? Setiap individu harus mencintai Tuhan untuk menyucikan hidup mereka. Engkau diberkati dengan sebuah tubuh hanya untuk menjalankan kebajikan. Jangan menjalani hidup yang tidak bermakna atau bermalas-malasan. (Divine Discourse, Mar 08, 1997)

-BABA

Friday, February 16, 2018

Thought for the Day - 16th February 2018 (Friday)

Remove all negative feelings. Develop more and more positive thoughts. Along the way some might criticise you, that’s an opportunity of transformation for you! Think this way, “My parents gave me one name, friends gave another name and others gave me a nickname! This body has many names, that’s all!” Will you become bad if someone calls you bad? No! If they call you bad, try to become free of bad qualities, if they are present in you. If someone points out a mistake, try to free yourself from that mistake if it’s there in you – that’s all!” Handle criticism gracefully. Embodiments of love! In this Kali age, when desires are not fulfilled, people start blaming even God! Don't hate anybody and don't accuse anybody; as much as possible, love all and if not possible, at least don't hate anyone. Bhagawan wants all to develop the spirit of oneness and unity.


Hilangkan semua perasaan negatif. Kembangkan lebih banyak dan banyak lagi pikiran positif. Dalam perjalanan beberapa orang mungkin akan mengritikmu, itu adalah kesempatan melakukan perubahan bagi dirimu! Berpikirlah seperti ini, “Orang tua saya memberikan saya satu nama, teman-teman saya memberikan nama yang lain dan yang lainnya memanggil saya dengan nama panggilan yang lain! Tubuh ini memiliki banyak nama, itu saja!” akankah kamu menjadi buruk jika seseorang menyebutmu buruk? Tidak! Jika mereka menyebutmu buruk, cobalah untuk menjadi bebas dari sifat-sifat buruk itu, jika sifat-sifat itu ada di dalam dirimu. Jika seseorang menunjukkan kesalahanmu, cobalah untuk membebaskan dirimu dari kesalahan itu jika kesalahan itu ada pada dirimu – itu saja!” Tangani kritikan dengan penuh rahmat. Perwujudan kasih! Di zaman kali ini, ketika keiginan tidak terpenuhi, orang-orang mulai menyalahkan bahkan Tuhan! Jangan membenci siapapun juga dan jangan menyalahkan siapapun; sebanyak mungkin, kasihi semuanya dan jika tidak memungkinkan, setidaknya jangan membenci siapapun juga. Bhagavan menginginkan semuanya untuk mengembangkan semangat kesatuan dan persatuan. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)

-BABA

Thought for the Day - 15th February 2018 (Thursday)

You may doubt whether a small word like Rama, Sai or Krishna can ferry you across the boundless sea of worldly life. People cross vast oceans on a tiny raft; they can walk through dark jungles with a tiny lamp in their hands. The name Pranava (Om) which is even smaller, has vast potentialities. The raft need not be as big as the sea. Recitation of Lord’s Name is like the operation of boring to tap underground water; it’s like the chisel-stroke that will release the image of God imprisoned in the marble. Break the encasement and the Lord will appear; cleave the pillar, as Prahlada asked his father Hiranyakasipu to do, and the Lord who is ever-present will manifest Himself. Every mother teaches her daughter to churn and bring the butter latent in the milk into view. Similarly in the spiritual field, learn from yogis who gained and offered that fresh butter (navaneetam) to Krishna by reciting His Name.


Engkau mungkin ragu apakah sebuah kata kecil seperti Rama, Sai, atau Krishna dapat menyebrangkanmu dari lautan yang tidak bertepi dari kehidupan duniawi.  Manusia menyebrangi lautan yang luas hanya dengan rakit yang kecil; mereka dapat berjalan melewati hutan yang gelap dengan sebuah lampu kecil di tangan mereka. Nama Pranava (Om) yang mana bahkan lebih kecil memiliki potensi yang sangat besar. Rakit yang diperlukan tidak perlu sebesar lautan. Pengulang-ulangan nama Tuhan adalah seperti kegiatan membor untuk mendapatkan air bawah tanah; adalah seperti hantaman dari pahatan untuk memperlihatkan wujud Tuhan yang tersembunyi di dalam pualam. Hancurkan bungkusan yang menutupi dan Tuhan akan muncul; belah pilar seperti saat Prahlada meminta ayahnya yaitu Hiranyakasipu untuk melakukannya, dan Tuhan yang selalu ada akan mewujudkan diri-Nya sendiri. Setiap ibu mengajarkan putrinya untuk mengaduk dan mengambilkan mentega yang tersembunyi dalam susu. Sama halnya dalam bidang spiritual, belajar dari para yogi yang mendapatkan dan mempersembahkan mentega yang segar (navaneetam) kepada Krishna dengan melantunkan nama-Nya. (Divine Discourse, Jan 13, 1965)

-BABA

Wednesday, February 14, 2018

Thought for the Day - 14th February 2018 (Wednesday)

Developing faith in the Atma principle and loving it earnestly — this is the real worship. The Atma is the one and only Loved One for humanity. Feel that it is more lovable than any object here or hereafter — that is the true adoration one can offer to God. This is what the Vedas teach. The Vedas do not teach acceptance of a bundle of frightfully hard rules and restrictions; they do not hold before one a prison house where one is shut in by the bars of cause and effect. They teach us that there is One who is the sovereign behind all those rules and restrictions; One who is the core of each object, each unit of energy, and each particle or atom; and One under whose orders alone the five elements — ether, air, fire, water, earth — do operate. Love Him, adore Him, worship Him, say the Vedas. This is the grand philosophy of love as elaborated in the Vedas.


Mengembangkan keyakinan pada prinsip Atma dan mencintainya dengan sungguh-sungguh - ini adalah pemujaan atau ibadah yang sebenarnya.  Atma adalah satu-satunya yang dicintai untuk seluruh umat manusia. Rasakan bahwa mencintai Atma adalah lebih menyenangkan daripada mencintai objek lainnya di bumi ataupun di akhirat - itu adalah pemujaan sejati yang seseorang dapat persembahkan kepada Tuhan. Ini adalah apa yang diajarkan dalam Weda. Weda tidak mengajarkan penerimaan pada kumpulan aturan serta batasan yang sangat sulit; Weda tidak menahan seseorang dalam penjara dimana seseorang ditutup oleh jeruji dari sebab dan akibat. Weda mengajarkan kita bahwa ada Beliau yang berkuasa dibalik semua aturan dan batasan itu; Beliau yang merupakan inti dari setiap objek, setiap unit dari energi, dan setiap partikel atau atom; dan hanya Beliau yang mengatur dan menjalankan kelima unsur yang ada — akasa, udara, api, air, tanah. Weda mengatakan untuk mencintai dan memuja-Nya. Ini adalah filosofi yang agung dari kasih yang dijabarkan dalam Weda. [Sathya Sai Vahini, Chap 1, “The Supreme Reality]

-BABA

Tuesday, February 13, 2018

Thought for the Day - 13th February 2018 (Tuesday)

The nature of man is a mixture of progressive and regressive characteristics. One must take note of this and foster the former, to the exclusion of the latter. The will to renounce, to share, and to give up, is a precious virtue. Curiosity, the longing to know, is another quality which must be used to know the Reality which appears as many and momentary. This knowledge can be attained only when the consciousness is purified by the grace of God. Holy days like Shivaratri are marked only to impress upon your mind your duty to impose a 'fast' on your senses and a 'vigil' on your intelligence, and to keep away from polluting impulses and inclinations. Even the thought that you have not benefited from the puja or japam (prayers and contemplation) you do should not pollute your faith. To adhere to spiritual practises is your duty, your innermost urge, and your genuine activity. Leave the rest to the will of God. This must be your resolve on holy Shivaratri.


Sifat alami manusia adalah campuran dari karakteristik untuk maju dan mundur. Seseorang harus mengingat hal ini dan mendorong kualitas yang pertama dan mengesampingkan kualitas yang kedua. Kehendak untuk melepaskan, berbagi dan menyerahkan adalah kebajikan yang berharga. Keingintahuan, keinginan untuk tahu adalah kualitas yang lainnya yang harus digunakan untuk mengetahui kenyataan sejati yang kelihatan banyak dan sementara. Pengetahuan ini hanya dapat diraih ketika kesadaran disucikan dengan rahmat Tuhan. Hari suci seperti halnya Shivaratri ditandai hanya untuk memberi kesan pada pikiran bahwa kewajibanmu untuk menentukan 'puasa' pada inderamu dan 'tetap terjaga' pada kecerdasanmu, dan menjauh dari dorongan dan kecenderungan yang mencemari. Bahkan pikiran bahwa engkau belum mendapatkan manfaat dari puja atau japam (doa dan perenungan) seharusnya tidak mencemari keyakinanmu. Untuk memperteguh latihan spiritual adalah kewajibanmu, dorongan hati yang paling dalam, dan aktifitas sejatimu. Tinggalkan sisanya pada kehendak Tuhan. Hal ini harus menjadi ketetapan hatimu di hari suci Shivaratri. [Divine Discourse, Feb 29, 1984]

-BABA

Monday, February 12, 2018

Thought for the Day - 12th February 2018 (Monday)

No living being, except the human, has been endowed with intelligence and discriminative faculty, heightened to this degree, in order to enable it to visualise the Atma (Divine Self). This is why humanity is acclaimed as the crown of creation and why the scriptures (sastras) proclaim that the chance of being born as a human is a rare piece of good fortune. People have the qualifications needed to seek the cause of creation; they have in them the urge and the capacity. Many great people have directed their intelligence toward the discovery of the omnipresent Lord (Atma) and succeeded in visualising that Divine Principle. However, amongst millions of people in the Universe, only few have been able to visualise the Universal Atma or the Self in All. The purpose and meaning of the process of living is the attainment of the Supreme Lord (Atma).


Tidak ada makhluk hidup, kecuali manusia yang telah diberkati dengan kecerdasan dan kemampuan membedakan, meningkat pada tingkat ini dalam upaya untuk memungkinkan untuk menggambarkan Atma (Tuhan dalam diri). Ini adalah alasan mengapa manusia dinyatakan sebagai puncak dari ciptaan dan mengapa naskah suci (sastra) menyatakan bahwa kesempatan untuk lahir sebagai manusia adalah sebuah keberuntungan yang baik dan sangat jarang di dapat. Manusia memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk mencari penyebab dari penciptaan; selain itu juga memiliki dorongan dan kapasitas dalam diri mereka. Banyak orang hebat telah mengarahkan kecerdasan mereka dalam mengungkap Tuhan yang ada dimana-mana (Atma) dan berhasil dalam menggambarkan prinsip ke-Tuhan-an. Bagaimanapun juga, diantara jutaan manusia di alam semesta ini, hanya beberapa saja yang telah mampu menggambarkan Atma yang universal atau jati diri yang sejati di dalam semuanya. Tujuan dan makna dari proses hidup adalah mencapai Tuhan yang tertinggi (Atma). [Sathya Sai Vahini, Chap 1, “The Supreme Reality]

-BABA

Thought for the Day - 11th February 2018 (Sunday)

It is good to love and adore God with a view to gain some valuable fruit either here or hereafter, but since there is nothing more valuable than God, the Vedas advise us to love God with no touch of desire in our minds. Love for love’s sake; love God, since whatever He can give is less than He Himself; love Him alone, with no other wish or demand. Once Draupadi asked Dharmaraja while in exile, “Lord! You are undoubtedly the best amongst those who follow dharma unwaveringly; how did such a terrible calamity happen to you?” She was stricken with sorrow. Dharmaja replied, “Look at this Himalayan range. How magnificent, glorious, beautiful and sublime it is! It is so splendid a phenomenon that I love it without limit. It will not grant me anything, but it is my nature to love the beautiful and the sublime. The embodiment of this sublime beauty is God. He is the only entity that is worth loving. This is why I am loving Him. I will not wish for any favour from Him. I will not pray for any boon. Let Him keep me where He loves to keep me. The highest reward for my love is His love, Draupadi!”


Adalah baik untuk mencintai dan memuja Tuhan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan hasil yang bernilai di bumi dan di akhirat, namun karena tidak ada yang lebih bernilai daripada Tuhan, Weda menasihati kita untuk mencintai Tuhan dengan tanpa sedikitpun keinginan dalam pikiran kita. Kasih adalah untuk kepentingan kasih itu sendiri; cintai Tuhan, karena apapun yang Tuhan dapat berikan tiada lain adalah diri-Nya sendiri; hanya cintai Tuhan, tanpa adanya keinginan atau tuntutan. Sekali Draupadi menanyakan Dharmaraja saat masa pembuangan, “Tuanku! Engkau tidak diragukan lagi adalah yang terbaik diantara mereka yang mengikuti dharma dengan mantap; bagaimana malapetaka yang begitu mengerikan terjadi padamu?” Draupadi diliputi dengan penderitaan. Dharmaja menjawab, “Lihatlah gugusan gunung Himalaya. Betapa megahnya, agung, indah dan luhur! Ini adalah fenomena yang indah sekali yang saya suka tanpa batas. Gugusan gunung ini tidak akan memberikan saya apapun, namun sifat saya yang menyukai keindahan dan kemegahan. Perwujudan dari keindahan ini adalah Tuhan. Saya tidak akan memohon bantuan apapun dari-Nya. Tuhan adalah satu-satunya perwujudan yang layak dicintai. Inilah alasan mengapa saya mencintai-Nya. Saya tidak akan mengharapkan bantuan dari-Nya. Saya tidak akan berdoa untuk anugerah apapun. Biarkan Tuhan untuk menjaga saya ditempat dimana Tuhan inginkan untuk menjagaku. Hadiah tertinggi bagi kasihku adalah kasih-Nya, Draupadi!” [Sathya Sai Vahini, Chap 1, “The Supreme Reality]

-BABA

Saturday, February 10, 2018

Thought for the Day - 10th February 2018 (Saturday)

Most people today are lacking in Love and so in Bliss too. When people form conflicting groups and plot to destroy each other, how can joy and peace reside in them? Ancient myths speak of wars of extermination between Gods and demons and between men and rakshasa (demons). But history today is recording wars between rakshasas who call themselves ‘human’. Why? Because, love is directed towards selfish ends. Sacrifice and charity are indulged in for the sake of self-aggrandizement. People take part in social service only in order to advertise themselves. How can the sweet contents be consumed when the bottle is tightly closed by the two corks - pomp and personal publicity? Remove these corks by the screw of selflessness. Selfless Love implies understanding, and consequently, sympathy and compassion. They will confer Ananda (Divine Bliss). To experience happiness, peace and joy you must allow the innate virtues of Love and sacrifice to emerge from within and thus sanctify your lives.


Kebanyakan orang hari ini kurang dalam kasih dan juga dalam kebahagiaan. Ketika mereka membentuk kelompok-kelompok yang saling bertikai dan bersekongkol untuk saling menghancurkan satu dengan yang lainnya, lantas bagaimana bisa suka cita dan kedamaian ada di dalam diri mereka? Mitos yang ada zaman dahulu menyebutkan terjadinya perang antara para Dewa dan para iblis serta diantara manusia dan raksasa (setan). Namun sejarah sekarang mencatat bahwa perang terjadi diantara raksasa (setan) yang menyebut diri mereka ‘manusia’. Mengapa?  Karena, kasih diarahkan pada tujuan akhir yaitu mementingkan diri sendiri. Pengorbanan dan amal dilakukan untuk kepentingan kesombongan diri. Orang-orang melakukan pelayanan sosial hanya untuk mengiklankan diri mereka sendiri. Bagaimana isi manis yang terkandung di dalamnya dapat dinikmati jika botolnya ditutup rapat dengan penutup botol yaitu rasa pamer diri dan membesarkan diri? Lepaskan kedua tutup botol ini dengan sekrup tanpa mementingkan diri sendiri. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri menyatakan secara tidak langsung pemahaman, dan hasilnya adalah simpati serta welas asih. Semuanya ini akan memberikan Ananda (kebahagiaan Tuhan). Untuk mengalami kebahagiaan, kedamaian, dan suka cita maka engkau harus mengizinkan nilai kemanusiaan berupa kasih dan pengorbanan muncul dari dalam diri dan menyucikan hidupmu. [Divine Discourse, 29-Feb-1984]

-BABA

Thought for the Day - 9th February 2018 (Friday)

Of what avail is the study of the Upanishads and the Gita if there is no transformation in our thoughts or way of life? You must examine where all your spiritual practices are leading you to. There must be an urge to change and progress towards a higher state of consciousness. In reality all are embodiments of Sat-chit-ananda (Truth-Consciousness-Bliss)! Your real ‘I’ exists in all the stages of waking, dream and deep sleep. But in dream and deep sleep states you are not conscious of your body. The entity that exists in all three states undergoes no change. You must try to understand the nature of this ‘I’. You may regard this as extremely difficult, but if you have dedication and perseverance, it will be quite easy. There is nothing in the world easier than the spiritual path. But when there is no earnestness, it appears difficult. Hence Gita declared: Shraddhavan labhate Jnanam (The earnest aspirant acquires the Supreme Wisdom).


Apakah gunanya mempelajari Upanishad dan Gita jika tidak ada perubahan dalam pikiran serta cara hidup kita? Engkau harus memeriksa kemana latihan spiritual akan membawamu. Pastinya harus ada keinginan untuk berubah dan melangkah maju untuk level kesadaran yang lebih tinggi. Sejatinya, semua adalah perwujudan dari Sat-chit-ananda (kebenaran – kesadaran - kebahagiaan)! ‘keakuanmu’ yang sejati terdapat dalam semua keadaan yaitu keadaan sadar, mimpi, dan tidur lelap. Namun dalam keadaan mimpi dan tidur lelap engkau tidak sadar akan tubuhmu. Perwujudan yang ada dalam ketiga keadaan tidak mengalami perubahan. Engkau harus mencoba untuk memahami sifat alami dari ‘aku’ ini. Engkau mungkin menganggap hal ini adalah benar-benar sulit, namun jika engkau memiliki dedikasi dan ketekunan maka hal ini akan cukup mudah. Tidak ada apapun di dunia yang lebih mudah daripada jalan spiritual. Namun ketika tidak ada kesungguhan maka hal ini akan kelihatan sulit. Oleh karena itu Gita: Shraddhavan labhate Jnanam (peminta spiritual yang tekun mencapai kebijaksanaan yang tertinggi). [Divine Discourse, Feb 16, 1988]

-BABA

Thursday, February 8, 2018

Thought for the Day - 8th February 2018 (Thursday)

More effulgent than the Sun, whiter and purer than snow, subtler than ether in space, the Supreme Lord (Paramatma) dwells in all, permeating the entire Cosmos, shining in every atom. You are in that Brahman (Divinity), and that Brahman is in you. You are that Brahman, and that Brahman is you. What greater truth can I convey to you? The first task I ask you to do is to develop awareness of the Divinity within you. The next stage is the realisation of the truth that the Divinity that is within one's self is equally present in all others. You must recognise that the veil or barrier that appears to separate Him from others is born of delusion and every effort should be made to remove it. Only then will it be possible to experience the oneness of all living things which is the declaration of the Sruti or Vedas: Aham eva idam Sarvam - I am indeed all of this.


Lebih cemerlang daripada matahari, lebih putih dan lebih murni daripada salju, lebih halus daripada ruang kosong di angkasa, Tuhan yang tertinggi (Paramatma) bersemayam di dalam semuanya, meresapi seluruh kosmos, bersinar dalam setiap atom. Engkau ada di dalam Brahman itu (Tuhan), dan Brahman itu ada di dalam dirimu. Engkau adalah Brahman itu, dan Brahman itu adalah dirimu. Apa kebenaran yang lebih tinggi lagi yang dapat Aku sampaikan kepadamu? Langkah pertama yang Aku minta padamu untuk dilakukan adalah mengembangkan kesadaran ke-Tuhan-an di dalam dirimu. Tahap selanjutnya adalah kesadaran akan kebenaran bahwa Tuhan yang bersemayam dalam diri seseorang adalah sama bersemayam dalam diri semuanya. Engkau harus menyadari bahwa selubung rintangan yang muncul untuk memisahkan Tuhan dari yang lainnya adalah lahir dari khayalan dan setiap usaha harus dilakukan untuk menghilangkan khayalan ini. Baru setelah itu dapat memungkinkan untuk mengalami kesatuan dalam semua makhluk yang dinyatakan dalam Sruti atau Weda: Aham eva idam Sarvam – aku sejatinya adalah semua dari hal ini (Tuhan). [Divine Discourse, Feb 16, 1988]

-BABA

Thought for the Day - 7th February 2018 (Wednesday)

Love is vital. Love is Divine. To render an act fit to be offered to God and pure enough to win His Grace, it must be a manifestation of Love. Preserve Love from being poisoned from evil. Endeavour to cultivate love that is free from hatred and bias of all kinds. The root of all religions, the substance of all scriptures, the rendezvous of all roads, and the inspiration of all individuals is the Principle of Love (Prema). It is the firmest foundation for man's mission of Life. It is the Light that ensures world peace and world prosperity. Fill every word and every act of yours with Love. The word that emerges from your tongue shall not stab like the knife, nor wound like the arrow, nor hit like the hammer. It must be a foundation of sweet nectar, a counsel of consoling Vedhantic wisdom, and a soft path of blossoms; it must shower peace and joy.


Kasih adalah vital. Kasih adalah Tuhan. Untuk membuat sebuah tindakan layak untuk dipersembahkan kepada Tuhan dan cukup suci untuk mendapatkan rahmat-Nya, maka tindakan itu harus perwujudan dari kasih. Lindungi kasih dari diracuni oleh kejahatan. Berusaha untuk meningkatkan kasih yang bebas dari kebencian dan semua jenis prasangka. Akar dari semua agama, intisari dari semua naskah suci, pertemuan dari semua jalan, dan inspirasi dari semua individu adalah prinsip dari kasih (Prema). Kasih adalah pondasi yang paling kokoh dari misi hidup manusia. Kasih adalah pelita yang memastikan kedamaian dunia dan kesejahteraan dunia. Isi setiap perkataan dan setiap perbuatanmu dengan kasih. Perkataan yang keluar dari lidahmu seharusnya tidak menusuk seperti halnya pisau, dan juga tidak melukai seperti halnya anak panah, serta tidak menghantam seperti palu. Perkataan harusnya sebuah dasar dari nektar yang manis, nasihat yang menghibur dari kebijaksanaan Weda, dan sebuah jalan bunga yang lembut; perkataan harus memberikan kedamaian dan suka cita [Divine Discourse, July 29, 1969]

-BABA

Tuesday, February 6, 2018

Thought for the Day - 6th February 2018 (Tuesday)

Lord Dakshinamurthy was walking along a wide seashore alone, immersed in deep meditation. He saw a dry little twig on the crest of a wave in the distance being passed on from one wave to another, from trough to crest, from crest to trough, until it was cast on the sands on the shore. He was astounded at the egoism of the Ocean that would not give asylum to even a tiny twig. Sensing His reaction, the Ocean declared, in words that He could understand, "Mine is neither egoism nor anger; it is only the duty of self-preservation. I should not allow the slightest blot to deface my grandeur. If I allow this twig to mar my splendour, it will be the first step in my downfall." Then, Dakshinamurthy smiled admiring the vigilance of the mighty Ocean. He pictured the incident as a great lesson in spiritual endeavour. The slightest twig of desire, if it falls on the mind, has to be immediately lifted out of the pure waters and thrown off. That was the lesson to be learnt.


Shri Dakshinamurthy sedang berjalan sendirian sepanjang bibir pantai yang luas, tenggelam dalam meditasi yang mendalam. Beliau melihat sebuah ranting kering di atas gelombang di kejauhan yang dihempas dari satu gelombang ke gelombang yang lainnya, dari puncak gelombang sampai pada dasar gelombang, dari dasar gelombang sampai puncak gelombang, sampai ranting kering itu terdampar di pasir di pesisir pantai. Beliau menjadi tercengang dengan egoisme dari lautan yang tidak memberikan perlindungan pada ranting kecil sekalipun. Merasakan reaksi dari Shri Dakshinamurty, lautan menyatakan dalam kata-kata yang Beliau dapat pahami, "aku bukanlah egois atau juga bukan marah; ini hanya kewajiban untuk menjaga diri sendiri. Lautan tidak akan mengizinkan sedikitpun noda mengotori keagunganku. Jika aku mengijinkan ranting ini mengotori kebesaranku, ini akan menjadi langkah awal kehancuranku." Kemudian Shri Dakshinamurthy tersenyum memuji kewaspadaan dari lautan yang luas ini. Beliau membayangkan kejadian tersebut sebagai pelajaran yang besar dalam usaha spiritual. Sekecil apapun ranting keinginan, jika jatuh pada pikiran maka harus dengan segera diangkat keluar dari air yang murni dan dibuang. Itu adalah pelajaran yang harus dipelajari. [Divine Discourse, Jun 26, 1969]

-BABA

Monday, February 5, 2018

Thought for the Day - 5th February 2018 (Monday)

One discipline everyone of you must heed is the control of the senses; if you give them free rein, they will drag you into calamity. Education must render you monarch of your talents which are your tools for acquiring knowledge. The eye, the ear and the tongue are wild horses. Learn the art of meditation (dhyana) by which the senses can be controlled and the will directed inwards, towards the mastery of feelings and emotions. You must learn also how to steer clear of hatred, malice, greed, anger, anxiety, pride and other obstacles that come in the way of inner peace. It is not enough if your home budget is balanced; you must learn the art of having a balanced view of life, which does not get affected by triumphs and troubles, gains or losses, victory or defeat. This balance can be got only by reliance and faith in the in-dwelling God.


Satu disiplin yang setiap orang darimu harus diperhatikan adalah pengendalian indera; jika engkau memberikan indera itu bebas tanpa kendali maka indera itu akan menjerumuskanmu ke dalam malapetaka. Pendidikan harus memberikan kuasa pada bakatmu yang mana sebagai sarana bagimu untuk mendapatkan pengetahuan. Mata, telinga, dan lidah adalah kuda-kuda liar. Pelajari seni meditasi (dhyana) dimana indera dapat dikendalikan dan akan diarahkan ke dalam diri, mengarah pada menguasai perasaan dan emosi. Engkau harus belajar juga bagaimana untuk menghindari kebencian, kesombongan, ketamakan, kemarahan, kecemasan, dan hambatan yang lainnya yang menghalangi dalam jalan mendapatkan kedamaian di dalam diri. Adalah tidak cukup jika keuangan dalam rumah seimbang; engkau harus belajar memiliki pandangan hidup yang seimbang, yang mana tidak terpengaruh dengan kemenangan dan masalah, keuntungan atau kerugian, kemenangan atau kekalahan. Keseimbangan ini hanya bisa didapat dengan kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan yang bersemayam di dalam diri. [Divine Discourse, Jun 26, 1969]

-BABA

Sunday, February 4, 2018

Thought for the Day - 4th February 2018 (Sunday)

A home must be filled with love, with the sacrifice that love involves, the joy that love radiates, and the peace that love imparts. Any brick and mortar structure where parents and children spend their lives cannot be a home if children do not yearn for it, and if parents do not find peace therein. The home is the temple where the family, each member of which is a moving temple, is nurtured and nourished. The mother is the high priest of this House of God. Humility is the incense with which the house is filled. Reverence is the lamp that is lit, with love as the oil and faith as the wick. Spend the years of your lives dedicating them for such worship in the homes that you live in. I bless you that through your faith and strength, your devotion and dedication may increase.



Sebuah rumah harus dipenuhi dengan cinta-kasih, dengan pengorbanan yang melibatkan cinta-kasih, kegembiraan yang memancarkan cinta-kasih, dan kedamaian yang memberikan cinta-kasih. Setiap struktur batu bata dan diplester,  dimana orang tua dan anak-anak menghabiskan kehidupan mereka tidak bisa menjadi rumah jika anak tidak merindukannya, dan jika orang tua tidak menemukan kedamaian di dalamnya. Rumah adalah kuil dimana keluarga, masing-masing anggotanya bergerak, dipelihara dan diberi makan. Ibu adalah imam/pendeta tertinggi dari Rumah Tuhan ini. Kerendahan hati adalah dupa yang memenuhi rumah. Rasa hormat adalah lampu yang menyala, dengan cinta-kasih sebagai minyak dan keyakinan sebagai sumbunya. Gunakan tahun-tahun kehidupanmu untuk mendedikasikannya bagi pemujaan seperti itu di rumah tempat engkau tinggal. Aku memberkatimu melalui keyakinan dan kekuatanmu, pengabdian dan dedikasimu dapat meningkat. [Divine Discourse, Jun 26, 1969]

-BABA

Saturday, February 3, 2018

Thought for the Day - 3rd February 2018 (Saturday)

Nowadays, the common accessory in every ladies’ bag and in gents’ pockets is a mirror and a comb. You dread that your charm is endangered when your hair is in slight disarray, or when your face reveals patches of powder; so, you try to correct the impression immediately. While so concerned about this fast-deteriorating personal charm, how much more concerned should you really be about the dust of envy and hate, and the patches of conceit and malice that desecrate your mind and hearts? Have a mirror and a comb for this purpose too! Have the mirror of Bhakti (devotion) to judge whether they are clean and bright. The comb of Jnana or wisdom, earned by discrimination straightens problems, resolves knots and enables you to control and channelise your feelings and emotions that are scattered wildly in all directions. Whatever you do, wherever you are, remember that I am with you and in you. This will save you from conceit and error.


Saat ini, aksesori umum di setiap tas wanita dan di saku pria adalah cermin dan sisir. Engkau takut bahwa pesonamu terancam saat rambutmu sedikit berantakan, atau saat wajahmu memperlihatkan bercak bedak; Jadi, engkau segera mencoba memperbaiki kesan itu. Sementara sangat memperhatikan pesona pribadi yang bisa memudar dengan cepat, seberapa jauh engkau seharusnya benar-benar peduli tentang debu iri dan benci, dan tambalan kesombongan dan kejahatan yang menodai pikiran dan hatimu? Milikilah cermin dan sisir untuk tujuan ini juga! Miliki cermin Bhakti (pengabdian) untuk menilai apakah mereka bersih dan cerah. Sisir Jnana atau kebijaksanaan, yang didapat dengan diskriminasi meluruskan masalah, menyelesaikan simpul dan memungkinkan engkau mengendalikan dan menyalurkan perasaan dan emosimu yang tersebar dengan liar ke segala arah. Apapun yang engkau lakukan, di manapun engkau berada, ingatlah bahwa Aku bersamamu dan dalam dirimu. Ini akan menyelamatkan engkau dari kesombongan dan kesalahan. [Divine Discourse, Jun 26, 1969]

-BABA

Thought for the Day - 2nd February 2018 (Friday)

Human birth is the noblest of all, the final product of untold ages of your own progressive evolution. Ask yourself this: Are you consciously striving to live up to this precious gift you’ve won? From now on, make every living day a continuous offering of Love, like an oil lamp that exhausts itself in illumining the surroundings. Wear the invisible badge of a volunteer of God at all hours and in all places. Bend the body, mend the senses, and end the mind - that is the process of attaining the status of 'the children of immortality,' which the Upanishads have reserved for you. God is the embodiment of sweetness. Attain Him by offering Him the sweetness that He has endowed you with. Crush the cane in the mill of service, boil it in the cauldron of penitence, decolorise it of all sensual itch, and offer the crystallised sugar of compassionate Love to Him.


Kelahiran sebagai manusia adalah yang paling mulia dari semuanya, produk akhir zaman yang tak terhitung dari evolusi progresifmu sendiri. Tanyakan kepada dirimu sendiri: Apakah engkau secara sadar berusaha untuk memenuhi harapan hadiah berharga yang telah engkau menangkan ini? Mulai sekarang, buatlah setiap hari sebagai persembahan Cinta-kasih yang terus-menerus, bagaikan lampu minyak yang menguras dirinya sendiri dalam menerangi lingkungan sekitar. Pakailah lencana relawan Tuhan yang tak terlihat setiap saat dan di semua tempat. Bungkukkan badan, perbaiki indera, dan akhiri pikiran - itulah proses untuk mencapai status 'anak-anak keabadian,' yang telah dipesankan dalam Upanishad untukmu. Tuhan adalah perwujudan dari kemanisan. Raihlah Beliau dengan mempersembahkan kepada-Nya rasa manis yang Beliau anugerahkan kepadamu. Hancurkan tebu di penggilingan pelayanan, rebuslah pada kuali penyesalan, dekolorasi dari semua keinginan sensual, dan persembahkan gula cinta kasih kepada-Nya. [Divine Discourse, Jun 26, 1969]

-BABA