Saturday, October 31, 2015

Thought for the Day - 31st October 2015 (Saturday)

The means of getting Divine grace are: Bhakti (devotion), Prapathi (surrender), Niyama (ethical discipline), Vicharana (enquiry) and Deeksha (determination). When you succeed in these tests, you will experience the grace of the Divine. Devotion should manifest itself in every action. Everything done out of love for God and as an offering to God becomes devotion. The devotee is filled with love and shares the love with all the others. The nine different forms of worship are only means to cultivate devotion. But the goal of all of them is to experience oneness with the Divine. Prapathi means total surrender - offering everything to the Divine. The sense of ego separates the individual from the Divine. When the individual offers everything to God, the barrier of ego is removed. Of all diseases to which man is prone, the disease arising from ahamkara (ego) is the most deadly. The only panacea for this disease is surrender to the Will of the Divine.



Cara mendapatkan anugerah Tuhan adalah: Bhakti (pengabdian), Prapathi (pasrah), Niyama (disiplin etika), Vicharana (penyelidikan), dan Deeksha (kebulatan tekad). Ketika engkau berhasil dalam ujian ini, engkau akan mengalami berkat Tuhan. Pengabdian harus memanifestasikan dirinya dalam setiap tindakan. Semuanya dilakukan karena kasih kepada Tuhan dan sebagai persembahan kepada Tuhan menjadi pengabdian. Para pemuja/bhakta dipenuhi dengan cinta-kasih dan berbagi kasih dengan semua orang. Sembilan bentuk pemujaan berarti untuk menumbuhkan pengabdian. Tapi tujuan dari semua itu adalah untuk mengalami kesatuan dengan Tuhan. Prapathi berarti pasrah total - mempersembahkan segalanya kepada Tuhan. Perasaan ego memisahkan individu dengan Tuhan. Ketika individu mempersembahkan segalanya kepada Tuhan, penghalang berupa ego dihapuskan. Dari semua penyakit yang rentan menyerang manusia, penyakit yang timbul dari ahamkara (ego) adalah yang paling mematikan. Satu-satunya obat mujarab untuk penyakit ini adalah pasrah kepada kehendak Tuhan. (Divine Discourse, 21-Jan-1988)

-BABA

Friday, October 30, 2015

Thought for the Day - 30th October 2015 (Friday)

Heaping respect and honour upon a person who does not follow Atmic dharma (righteousness driven by the Self) is like heaping decorations on a body that has no life in it. The soul that left the body cannot enjoy the respect shown to the corpse. So too is the case with the person who is unaware of the Reality and the purpose of life but is crowned with fame and glory. A modest woman will not care for such meaningless trash and tinsel. This characteristic is what confers on her the title ‘The Lakshmi of the home’. The woman is the prop of the home as well as of the practice of religion. She plants and fosters religious faith. Women have natural aptitude for faith and spiritual endeavour. Women with devotion, faith, and humility often lead men on the Godward path and the practice of holy virtues.
Mencurahkan rasa hormat dan penghargaan pada orang yang tidak mengikuti dharma Atma (kebenaran yang didorong oleh Atma) dapat diibaratkan seperti memberikan dekorasi/perhiasan pada badan yang tidak memiliki kehidupan di dalamnya. Jiwa yang telah meninggalkan badan, ditunjukkan dengan mayat, tidak dapat menikmati rasa hormat. Demikian juga halnya dengan orang yang tidak menyadari Realitas dan tujuan hidup tetapi dimahkotai dengan ketenaran dan kemuliaan. Seorang wanita yang sopan dan rendah hati tidak akan peduli dengan sampah yang tidak berarti dan kecemerlangan yang murahan seperti itu. Karena karakteristik inilah maka pada seorang wanita yang demikian diberikan gelar 'Lakshmi-nya rumah'. Wanita merupakan penyangga rumah serta mempraktikkan agama. Dia menanam dan memupuk keyakinan agama. Wanita memiliki bakat alami untuk keyakinan dan usaha spiritual. Wanita dengan pengabdian, keyakinan, dan kerendahan hati seringkali membawa laki-laki ke jalan Tuhan dan mempraktikkan kebajikan suci. (Dharma Vahini, Ch 4)

-BABA

Thursday, October 29, 2015

Thought for the Day - 29th October 2015 (Thursday)

Have high aims in life. Set before yourselves the examples of great men and women who have figured in the history of our country and the world. Take a lesson from their life of sacrifice and heroism. You need determination to face the challenges of life which is filled with ups and downs, successes and failures, and joys and sorrows. These challenges have to be faced with faith in God. The mind should not be allowed to waver and hop from one thing to the other. A steady mind is the mark of a truly educated person. Life should be governed by definite regulations. Self-control is essential for leading a righteous life. Our culture has always laid stress on the well-being of all. You should not be overwhelmed by difficulties that you may encounter in life. They are all transient; they come and go. The source of enduring bliss is within you. Do not give way to weakness of will.
Milikilah tujuan yang tinggi dalam kehidupan. Seperti yang telah ada sebelumnya, contoh orang-orang besar baik pria maupun wanita yang telah tercatat dalam sejarah negara kita dan juga dunia. Engkau hendaknya mengambil pelajaran dari hidup mereka mengenai pengorbanan dan kepahlawanan. Engkau memerlukan tekad untuk menghadapi tantangan hidup yang penuh dengan pasang - surut, keberhasilan dan kegagalan, serta suka dan duka. Tantangan-tantangan ini harus dihadapi dengan keyakinan kepada Tuhan. Pikiran seharusnya tidak diperbolehkan goyah dan melompat dari satu hal ke hal yang lainnya. Pikiran yang stabil adalah tanda dari orang yang benar-benar terdidik. Hidup harus diatur oleh peraturan yang pasti. Kontrol diri sangat penting untuk menjalani kehidupan yang benar. Budaya kita selalu menitikberatkan pada kesejahteraan bagi semuanya. Engkau seharusnya tidak kewalahan oleh kesulitan yang mungkin engkau hadapi dalam kehidupan. Itu semua bersifat sementara; datang dan pergi. Sumber abadi kebahagiaan ada di dalam dirimu. Janganlah memberi jalan kepada kelemahan kemauan. (Divine Discourse, 21-Jan-1988)

-BABA

Wednesday, October 28, 2015

Thought for the Day - 28th October 2015 (Wednesday)

You have had the valuable opportunity to listen to Divine discourses and directions, they have been printed upon your hearts; many of your conversations is centered on Me or on My divine play (leelas) and glory (mahima). My advice to you is: Apply this adoration in your life. Let your companions see how disciplined you are, how sincerely you obey your parents, and how deeply you revere your teachers. Be a light, radiating virtue and self-control wherever you live, just as commendably as you did when in My divine presence. Do not slide back into indiscipline, bad manners, irresponsibility and evil habits. Do not complain against food; eat with pleasure whatever you get. Do not protest against any errand that your parents may assign you. Run gladly and fulfil it. When they want you to nurse them, do it happily, intelligently, and feeling glad that you got the chance. Live anywhere but such that I can pour My Grace on you, more and more.


Engkau telah memiliki kesempatan yang sangat bernilai untuk mendengarkan wejangan illahi dan juga arahan-Nya, dan semuanya itu telah terpatri di dalam hatimu; banyak dari percakapan kalian terpusat kepada-Ku atau mukjizat-Ku (leela) dan kemuliaan (mahima). Nasehat-Ku kepadamu adalah: terapkan cinta yang mendalam ini di dalam kehidupanmu. Biarkan temanmu melihat betapa disiplinnya dirimu, betapa patuhnya kamu pada orang tua, dan betapa dalamnya engkau menghormati gurumu. Jadilah sebuah cahaya yang memancarkan kebaikan dan pengendalian diri dimanapun engkau tinggal, sama dengan hal yang terpuji yang engkau lakukan saat kehadiran-Ku. Jangan tergelincir pada ketidakdisiplinan, tingkah laku yang buruk, tidak bertanggung jawab dan kebiasaan buruk. Jangan mengeluh terhadap makanan. Makanlah dengan senang hati apapun yang engkau dapatkan. Jangan memprotes terhadap apapun yang disuruh oleh orang tuamu. Bergegaslah dalam melakukannya dan penuhilah permintaan orang tua. Ketika orang tua menginginkan kalian untuk merawat mereka, kerjakanlah dengan hati senang, cerdas dan merasa bahagia bahwa kalian telah mendapatkan kesempatan ini. Hiduplah dimanapun juga sedemikian rupa sehingga Aku dapat mengalirkan rahmat-Ku padamu semakin besar. (Divine Discourse, 22-Feb-1968)

-BABA

Tuesday, October 27, 2015

Thought for the Day - 27th October 2015 (Tuesday)

Some might question, “Women who have swallowed all the compunctions of modesty are being honoured today! They strut about with heads erect, and the world honours them not a whit less. How is that so, if modesty is all important?” I have no need to acquaint Myself with these activities of the present-day world. I do not concern Myself with them. They may receive honour and respect of a sort, but the respect is not authorized or deserved. When honour is offered to the undeserving, it is tantamount to insult; to accept it when offered is to demean the very gift. It is not honour but flattery that is cast on the immodest by the selfish and the greedy. A modest woman will never crave honour or praise. Her attention will always be on the limits that she should not transgress. Honour and praise come to her unasked and unnoticed. The honey in the flower or lotus does not crave for bees; so too is the relationship with a cultured woman who knows her limits and the respect she evokes and deserves.


Beberapa orang mungkin bertanya, "Wanita yang mencampakkan segala bentuk kesopanan, masih dihormati saat ini! Mereka berkeliaran dengan pongah tanpa rasa malu dan penghormatan dunia kepada mereka tidak sedikit pun kurang. Bagaimana ini bisa terjadi, jika kesopanan adalah hal yang paling penting? "Aku merasa tidak perlu untuk mengetahui  kegiatan dunia saat sekarang. Aku tidak berurusan dengan mereka. Mereka mungkin mendapatkan kehormatan dan penghargaan, tapi penghormatan itu tidak pada tempatnya  atau tidak layak. Ketika penghormatan diberikan untuk sesuatu yang tidak layak, maka hal itu sama dengan penghinaan; dan menerima penghormatan yang tidak layak diberikan itu, berarti  merendahkan makna pemberian itu. Bukannya penghormatan tetapi pujian yang bersifat menjilat yang diberikan kepada wanita yang tidak sopan oleh mereka yang egois dan serakah. Wanita yang sopan tidak akan pernah mendambakan penghormatan atau pujian. Perhatiannya akan selalu tertuju pada batas-batas yang tidak boleh dilanggarnya. Penghormatan dan pujian akan datang kepadanya tanpa diminta dan tanpa disadari. Madu yang berada di dalam bunga atau teratai tidak mendambakan kumbang datang; demikian juga hubungan dengan wanita yang berbudaya yang mengetahui batasannya dan penghormatan akan diberikan kepada mereka yang layak mendapatkannya. (Dharma Vahini, Ch 4)

-BABA

Monday, October 26, 2015

Thought for the Day - 26th October 2015 (Monday)

These days virtue is becoming rare at all levels - in the individual, family, society and community, and also in all fields of life - economic, political and even 'spiritual’. Life must be spent in accumulating and safeguarding virtue, not riches. Listen and ruminate over the stories of the great moral heroes of the past, so that their ideals may be imprinted on your hearts. There is also a decline in discipline, which is the soil on which virtue grows. Each one must be respected, whatever be their status, economic condition or spiritual development; else there will be no peace and happiness in life. This respect can be aroused only by the conviction that the same Real Self (Atma) that is in you is playing the role of the other person. See that Divinity (Atma) in others; feel that they too have hunger, thirst, yearning and desires as you have, develop sympathy and the anxiety to serve and be useful to everyone.


Pada saat sekarang kebajikan menjadi sangat jarang di semua level kehidupan baik dalam individu, keluarga, masyarakat, dan juga dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik dan bahkan ‘spiritual’. Hidup seharusnya digunakan dalam mengumpulkan dan menjaga sifat-sifat baik dan bukan kekayaan. Dengarkan dan renungkan cerita-cerita pahlawan hebat dalam moralitas di zaman dahulu, sehingga idealisme hidup mereka dapat terpatri di dalam hatimu. Ada juga kemerosotan disiplin yang mana merupakan tempat bagi tumbuhnya sifat-sifat baik. Setiap orang harus dihormati, apapun yang menjadi status hidup mereka yang meliputi keadaan ekonomi atau perkembangan spiritual; jika tidak maka tidak akan ada kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup. Rasa hormat ini dapat tumbuh hanya pada keyakinan bahwa diri yang sejati yang sama (Atma) yang bersemayam di dalam dirimu juga sedang memainkan perannya dalam diri yang lainnya. Lihatlah keillahian itu (Atma) dalam diri yang lainnya; rasakan bahwa mereka juga memiliki rasa lapar, haus, dan kerinduan dan keinginan seperti yang engkau miliki, kembangkanlah rasa simpati dan keinginan untuk melayani dan menjadi berguna bagi setiap orang. (Divine Discourse 22 Feb 1968)

-BABA

Sunday, October 25, 2015

Thought for the Day - 25th October 2015 (Sunday)

Modesty is essential for woman. Overstepping the limits of modesty is against her innate dharma; crossing its limits brings about many calamities, including destroying the very glory of womanhood. Without modesty, woman is devoid of beauty and culture. Absence of modesty makes the life of a woman, however rich in other accomplishments, a vacuum. Modesty lifts her to the heights of sublime holiness. Modesty is a blend of these qualities - humility, purity of thought and manners, meekness, surrender to high ideals, sensitivity and sweetness of temper. It is the most invaluable of all jewels for women. Through her innate sense of propriety, a modest woman will ever keep within limits. She becomes automatically aware which behaviour is proper and which is not. Modesty is the true test of a woman’s grandeur. A modest woman will stick only to virtuous deeds and behavior, and will wield authority in the home and outside, in the community as well as in the world.


Kesederhanaan sangat penting bagi wanita. Melangkahi batas-batas kesopanan adalah melawan dharma yang merupakan sifat bawaan dari lahir; melintasi batas-batasnya membawa banyak bencana, termasuk menghancurkan kemuliaan kewanitaan. Wanita tanpa kesederhanaan dan kerendahan hati, dapat diibaratkan seperti wanita yang tiada memiliki keindahan dan tidak berbudaya. Bagaimanapun kaya atau bagaimanapun pencapaian seorang wanita, maka akan hampa, jika tidak memiliki kesederhanaan. Dengan kesederhanaan seorang wanita dapat mengangkat dirinya ke puncak kemuliaan. Kesederhanaan merupakan campuran dari kualitas ini - kerendahan hati, kemurnian pikiran dan perilaku, kelemahlembutan, cita-cita yang tinggi, kepekaan, dan manis dalam perangai. Inilah yang paling berharga dari semua perhiasan untuk wanita. Melalui sifat bawaannya yang sopan santun, seorang wanita yang rendah hati akan tetap dalam batasan-batasannya. Dia secara otomatis menyadari yang mana perilaku yang tepat dan yang mana perilaku yang tidak tepat. Kesederhanaan adalah ujian sejati kemuliaan seorang wanita. Seorang wanita yang rendah hati akan senantiasa berperilaku dan melakukan perbuatan baik, dan akan mempunyai otoritas di rumah dan di luar rumah, di masyarakat maupun di dunia. (Dharma Vahini, Ch 4)

-BABA

Saturday, October 24, 2015

Thought for the Day - 24th October 2015 (Saturday)

Just as you prescribe minimum qualifications for every profession, the minimum qualification for grace is surrender of egoism, control over senses and regulated food and recreation (ahara and vihara). A person is made or marred by the company kept. A bad person who falls into good company is able to shed their evil quickly and shine forth in virtue. A good person falling into evil company is overcome by the subtle influence and slides down into evil. The lesser is overpowered by the greater. A drop of sour curd transforms milk, curdling it, separating the butter and turning it into whey. Sacred books are also equally valuable for this transmuting process, but they have to be read and pondered upon, and their lessons have to be put into daily practice. The Gayatri Mantra is a Vedic prayer to the Supreme Intelligence that is immanent in the Universe to kindle the intelligence of the supplicant.


Seperti halnya engkau menentukan kecakapan minimum dalam setiap pekerjaan, sedangkan untuk kualifikasi minimum untuk rahmat Tuhan adalah dengan menyerahkan egoisme, mengendalikan indera dan makan, serta hiburan yang teratur (ahara and vihara). Seseorang dibentuk atau dirusak oleh pergaulan yang ia miliki. Seseorang yang tidak baik yang masuk ke dalam pergaulan yang baik akan mampu melepaskan sifat jahatnya dengan cepat dan bersinar dalam kebajikan. Seseorang yang baik yang jatuh dalam pergaulan yang tidak baik akan dikuasai oleh pengaruh-pengaruh halus dan jatuh ke dalam kejahatan. Bahwa yang lemah dikuasai oleh yang lebih kuat. Setetes dadih asam mengubah susu dan mengentalkannya, memisahkan mentega dan mengubahnya menjadi air dadih. Buku-buku suci juga sama berharganya dalam proses mengubah manusia, namun mereka harus membaca dan merenungkannya dan semuanya itu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gayatri Mantra adalah doa Weda ditujukan untuk kecerdasan yang tertinggi yang ada di dalam alam semesta untuk membangkitkan kecerdasan dari pemohon. (Divine Discourse, 27 Sep 1965)

-BABA

Friday, October 23, 2015

Thought for the Day - 23rd October 2015 (Friday)

When the mind of a person is unattached to the ups and downs of life, but is able to maintain equanimity under all circumstances, then even physical health can be assured. The mental firmament must be like the sky, which bears no mark of the passage through it of birds or planes or clouds. Illness is caused more by malnutrition of the mind than of the body. Doctors speak of vitamin deficiency; I will call it the deficiency of Vitamin G, and I will recommend the repetition of the Name of God, with accompanying contemplation of the glory and grace of God. This Vitamin G is the medicine that is needed. Regulated life and habits are two-thirds of the treatment, while the medicine is just one-third. You must reveal the divine qualities of love, humility, detachment and contentment. Else, you could become worse than a beast and in fact more deadly.


Ketika pikiran seseorang tidak terpengaruh oleh naik dan turunnya kehidupan, namun mampu menjaga ketenangan hati di dalam semua keadaan, dan bahkan kesehatan fisik dapat terjamin. Cakrawala mental haruslah seperti langit yang tidak memberikan adanya tanda lintasan di langit walaupun banyak burung atau kapal terbang atau awan yang melintasinya. Penyakit banyak disebabkan oleh kekurangan gizi pada pikiran dan bukan pada tubuh. Para dokter berbicara tentang kekurangan vitamin; Aku akan menyebutnya dengan kekurangan vitamin G dan Aku menyarankan untuk mengulang-ulang nama Tuhan dengan memusatkan pikiran pada kemuliaan dan rahmat Tuhan. Vitamin G ini adalah obat yang diperlukan. Hidup dan kebiasaan yang teratur adalah 2/3 dari perawatan sedangkan obat hanyalah 1/3 saja. Engkau harus mengungkapkan kualitas keillahian seperti cinta kasih, kerendahan hati, tanpa keterikatan, dan rasa syukur. Kalau tidak, engkau dapat menjadi lebih buruk daripada binatang buas dan pastinya lebih mematikan. (Divine Discourse, 27-Sep-1965)

-BABA

Thursday, October 22, 2015

Thought for the Day - 22nd October 2015 (Thursday)

Look at the trainers of wild beasts. They bring the tiger, the most ferocious of animals, like a cat into the circus ring and make it jump through a hoop of fire, lap milk from a plate or sit face to face with a goat on a chair! They tame it to become an unassuming toy! If a ferocious tiger can be subdued, can you not succeed with the ferocious denizens of your mind? You can! That is the message you must internalize when you celebrate the victory of the Primal Energy! On this day the Goddess of Energy (Parashakthi), immanent in the microcosm and macrocosm had destroyed all the evil forces (Asura). That same energy is present in you as the dormant spiritual energy (Kundalini Shakti), which when awakened, can destroy, the evil tendencies within your mind; So, by means of systematic Sadhana tap the inner resources that God has endowed you with and elevate yourselves to a purer and happier realm.
Lihatlah pada para pelatih hewan buas. Mereka membawa harimau, binatang yang paling buas, seperti kucing besar ke dalam sirkus dan membuatnya melompati cincin api, minum susu dari piring atau duduk saling berhadapan dengan seekor kambing di atas kursi! Mereka menjinakkannya untuk menjadi mainan yang tidak berlagak! Jika seekor harimau yang buas dapat ditaklukkan, tidak bisakah kamu berhasil menaklukkan kebuasan yang ada di dalam pikiranmu? Tentu saja kamu bisa! Itulah pesan yang harus engkau internalisasi ketika engkau merayakan kemenangan dari energi yang utama! Pada hari ini Ibu Dewi energi (Parashakthi), tetap ada di dalam mikrokosmos dan juga makrokosmos telah dihancurkan oleh kekuatan jahat (Asura). Energi yang sama itu ada di dalam dirimu sebagai energi spiritual yang tertidur (Kundalini Shakti), yang mana ketika dibangunkan dapat menghancurkan kecenderungan jahat yang ada di alam pikiranmu; Jadi, dengan latihan spiritual yang sistematis dapat membuka jalan pada sumber daya yang ada di dalam diri, yang mana Tuhan telah menganugerahkan kepadamu dan mengangkat dirimu sendiri pada kesucian dan dunia yang lebih bahagia. (Divine Discourse, Oct 4, 1967)

-BABA

Wednesday, October 21, 2015

Thought for the Day - 21st October 2015 (Wednesday)


Goddess Durga represents the power of Nature (Prakruthi-Shakti) and Goddess Lakshmi represents the thought power (Sankalpa-Shakti). Goddess Saraswati represents the power of speech (Vak-Shakti). It is to acquire these three powers that the various forms of worship are performed during the Navarathri festival. But prayers alone are not enough. Prayers issue from the lips, but they should emanate from the heart. The heart (hridaya) symbolises the Ocean of Milk (Ksheerasagara) from which emerges Mother Lakshmi. When Goddess Lakshmi emerges, purity of speech follows. Whatever you speak must conform to truth. Renunciation (Vairagya) is not abandonment of hearth and home, and retiring to a forest. It means developing divine thoughts and reducing worldly feelings. It is when this balanced development takes place that you acquire Prakruthi-Shakti (control over the power of Nature). When these powers are secured, your mental power, peace and bliss increases.


Dewi Durga melambangkan kekuatan dari alam (Prakruthi-Shakti) dan Dewi Lakshmi melambangkan kekuatan dari pikiran (Sankalpa-Shakti). Dewi Saraswati melambangkan kekuatan dari perkataan (Vak-Shakti). Adalah untuk bisa mendapatkan ketiga kekuatan ini maka berbagai jenis pemujaan dilakukan selama perayaan Navarathri. Namun doa saja tidaklah cukup. Doa keluar dari mulut, namun doa tersebut seharusnya muncul dari hati. Hati (hridaya) adalah simbul dari lautan susu (Ksheerasagara) dimana tempat munculnya Ibu Dewi Lakshmi. Ketika Dewi Lakshmi muncul maka kesucian perkataan akan mengikutinya. Apapun yang engkau katakan harus sesuai dengan kebenaran. Melepaskan kehidupan duniawi (Vairagya) bukanlah meninggalkan rumah dan tinggal di dalam hutan. Namun ini berarti mengembangkan pikiran-pikiran keillahian dan mengurangi perasaan-perasaan duniawi. Ketika keseimbangan ini dapat berkembang maka engkau bisa mendapatkan Prakruthi-Shakti (mengendalikan kekuatan alam). Ketika kekuatan bisa didapatkan maka kekuatan mentalmu, seperti kedamaian dan kebahagiaan akan meningkat. (Divine Discourse, 4 Oct 1992)

-BABA

Tuesday, October 20, 2015

Thought for the Day - 20th October 2015 (Tuesday)

Oblivious to the presence of the sacred Divine within, people embark on their quest for God. Avatars (incarnations) are of two kinds: Amsaavatar and Purnaavatar. All human beings are Amsaavatar (partial incarnation of the Divine). Mamaivaamso jeevaloke jeevabhutah sanatanah (In this world of living beings, it is a part of My Eternal Self that has become the Jiva, the individual soul), says Krishna in the Gita. These partial incarnations, caught up in Maya, develop egoism and possessiveness and lead worldly lives. However, the Purnaavatars (complete incarnations of the Divine), subduing and transcending Maya, manifest their full divinity to the world in their lives. The Purnaavatar may behave, according to the circumstances, as if subject to Maya, but in reality He is free from it at all times. But some, not understanding this truth owing to their own limitations, attribute wrong motives to His actions. In this they reflect their own feelings.


Terlupa dengan kehadiran Tuhan yang suci di dalam diri, manusia memulai pencarian mereka pada Tuhan. Awatara (inkarnasi) ada dua jenis yaitu : Amsaavatar dan Purnaavatar. Semua umat manusia adalah Amsaavatar (inkarnasi sebagian dari keillahian). Mamaivaamso jeevaloke jeevabhutah sanatanah (di dunia makhluk hidup ini, adalah bagian dari diri-Ku sendiri yang kekal yang telah menjadi jiwa), kata Krishna di dalam Bhagavad Gita. Inkarnasi yang sebagian ini terjebak di dalam maya, mengembangkan egoisme dan kepemilikan dan menjalani hidup duniawi. Bagaimanapun juga, Purnaavatara (inkarnasi yang sepenuhnya dari Tuhan), menundukkan dan melampaui Maya, mewujudkan keillahian sepenuhnya di dunia tempat Beliau tinggal. Purnaavatara bisa bertingkah laku sesuai dengan keadaan seakan-akan tunduk pada Maya, namun kenyataannya Beliau bebas dari Maya sepanjang waktu. Namun beberapa, tidak memahami kebenaran ini karena keterbatasan mereka sendiri, menghubungkan alasan yang salah pada tindakan dari Awatara. Dalam hal ini mereka memantulkan perasaan mereka sendiri. (Aug 14,1990)

-BABA

Monday, October 19, 2015

Thought for the Day - 19th October 2015 (Monday)

When people are asked to do spiritually salutary acts, initially no one has any inner urge. Still don’t give up in despair. Until the taste sprouts, strictly follow the disciplines. This taste is a result of training. No one has it from the very beginning, but constant practice will create the zest. The infant doesn’t know the taste of milk. By taking milk daily, it starts liking it; in fact the taste becomes so dear that when milk is to be given up to be substituted with rice, it starts to protest. But the mother doesn’t despair; she persuades the child to take small quantities of cooked rice daily, and over time the child starts liking rice and eventually gives up milk. Milk, its natural food, is now replaced with rice again in a natural way. Indeed now if no rice is available for one day, the child becomes miserable. Similarly with constant practice, the desire for worldly and sensual objects and matters, will wane and good company (Satsang) will prevail.


Ketika manusia diminta untuk menjalankan kegiatan spiritual yang bermanfaat, pada awalnya tidak satupun yang memiliki dorongan dari dalam diri. Meskipun demikian jangan menyerah dalam keputusasaan. Sampai rasa itu tumbuh maka ikutilah disiplin dengan ketat. Rasa ini muncul akibat dari latihan. Tidak ada seorang pun memiliki nilai rasa itu dari permulaan, namun dengan latihan yang terus-menerus akan menciptakan semangat. Bayi tidak tahu rasa dari susu. Dengan minum susu itu setiap hari maka bayi mulai menyukainya; selanjutnya rasa itu menjadi sangat disukainya sehingga ketika tiba waktunya maka susu harus digantikan dengan nasi dan si bayi mulai memprotes. Namun sang ibu tidak putus asa; sang ibu membujuk anaknya untuk makan sedikit nasi setiap hari, dan proses ini sang anak akan mulai menyukai nasi dan berhenti minum susu. Susu adalah makanan yang wajar baginya dan sekarang digantikan dengan nasi lagi dengan cara yang wajar. Malahan sekarang jika tidak ada nasi tersedia untuk satu hari saja, sang anak menjadi menderita. Sama halnya dengan latihan secara terus-menerus, keinginan duniawi dan pada objek-objek sensual dan berbagai hal, akan berkurang dan pergaulan yang baik (Satsang) akan terbentuk. (Bhagavatha Vahini, Ch 1)
-BABA


Sunday, October 18, 2015

Thought for the Day - 18th October 2015 (Sunday)


Jnana Yajna is specially recommended by scriptures for all. Jnana does not simply mean knowledge gained from scholars and books, but actually conducting in accordance with that knowledge. Knowledge can never ripen into wisdom so long as the ego persists in craving for results to satisfy its desires. When ego fades away, knowledge shines as Wisdom. When yajnas are performed solely for the peace and prosperity of the world (Loka-Kalyan), they reach God. Jnana reveals that in every sacrifice, God is the Prompter, the Promoter, the Sacrificer, the Sacrifice, the Product achieved and the Recipient of the product. God is the consumer of every sacred offering (Yajnabhuk); He is guardian of the yajna (Yajna-bhrith) and its performer (Yajna krith). He is all; it is only when He is all that the act becomes a genuine yajna. If this attitude can soak into every activity, it will sanctify every moment of your life and make it a yajna.


Jnana Yajna khusus direkomendasikan oleh naskah-naskah suci kepada semuanya. Jnana tidak hanya berarti pengetahuan yang diperoleh dari sekolah dan buku, namun sejatinya adalah bertingkah laku sesuai dengan pengetahuan itu. Pengetahuan tidak pernah bisa matang menjadi kebijaksanaan sepanjang masih ada ego untuk mencari hasil untuk memuaskan keinginan. Ketika ego sudah memudar, maka pengetahuan akan bersinar sebagai kebijaksanaan. Ketika Yajna dilaksanakan semata-mata hanya untuk kedamaian dan kemakmuran dunia (Loka-Kalyan), maka Yajna tersebut akan mencapai Tuhan. Jnana mengungkapkan bahwa di dalam setiap pengorbanan, Tuhan adalah pendorongnya, penyelenggaranya, yang melakukan pengorbanan, yang berkorban, hasil yang diraih dan penerima dari hasilnya. Tuhan adalah yang menerima setiap persembahan suci (Yajnabhuk); Tuhan adalah penjaga dari setiap Yajna (Yajna-bhrithdan) dan Beliau juga yang melakukannya (Yajna krith). Tuhan adalah segalanya; hanya ketika Tuhan adalah segalanya maka perbuatan itu menjadi persembahan yang sejati. Jika sikap ini dapat meresapi dalam setiap tindakan maka ini akan menyucikan setiap momen hidupmu dan membuatnya menjadi sebuah Yajna. (Divine Discourse, 2 Oct 1981)

-BABA

Saturday, October 17, 2015

Thought for the Day - 17th October 2015 (Saturday)

Normally people are drawn to sense objects, for they are victims of instincts. Instincts easily seek sense objects - they come along with the body and aren’t derived by any training. The infant seeks milk from the mother’s breast, and the newborn calf naturally nestles at the udder. However for the infant to walk and talk, some training is necessary, because these actions are either socially prompted or learnt by example or picked up by imitation of others. Training is essential even for the proper pursuit of sense pleasure, for wild untrained search for such pleasure promotes anger, hatred, envy, malice and conceit. Hence to train the senses along salutary lines and to hold them under control, certain good disciplines like repeating Lord’s Name (japa), meditation (dhyana), fasts (upavasa), worship at dawn and dusk, etc. are essential. Though sense pleasures are ‘natural’ at first, by constant practice, training and listening to the wise, slowly the greater and everlasting bliss derived by divine adoration is grasped.


Biasanya manusia tertarik oleh objek-objek indera dan mereka menjadi korban dari naluri. Naluri dengan mudah mencari objek-objek indera – objek indera datang dengan badan dan tidak didapat dari hasil latihan. Bayi mencari susu dari susu ibu dan anak sapi yang baru lahir secara alami menikmati ambing induknya. Tetapi bagi bayi untuk bisa berjalan dan berbicara, beberapa latihan sangat diperlukan karena jenis tindakan ini adalah dorongan sosial atau belajar dari contoh atau meniru yang lainnya. Latihan adalah mendasar bahkan bagi untuk pencarian kesenangan indera yang layak, karena untuk pencarian kesenangan yang tidak terlatih atau liar dapat menghasilkan kemarahan, kebencian, iri hati, dendam, dan kesombongan. Oleh karena itu untuk melatih indera tetap dalam jalur yang bermanfaat dan agar tetap bisa mengendalikan indera maka diperlukan disiplin tertentu seperti mengulang-ulang nama Tuhan (japa), meditasi (dhyana), puasa (upavasa), sembahyang di pagi dan sore hari, dsb adalah bersifat mendasar. Walaupun kenikmatan indera adalah ‘alami’ pada awalnya, namun dengan latihan yang terus menerus, berlatih dan mendengarkan yang bijak, secara perlahan semakin besar dan kekal kebahagiaan yang didapatkan dari pemujaan kepada Tuhan. (Bhagavatha Vahini, Ch 1)

-BABA

Friday, October 16, 2015

Thought for the Day - 16th October 2015 (Friday)

Five yajnas are prescribed as mandatory for every human being: (1) Activities devoted to the study of scriptures (Rishi Yajna); (2) Activities devoted to parents who confer your birth, foster and guide you (Pitr Yajna); (3) Acts done as reverential homage to God who endowed you with mind, intelligence, memory and consciousness, and who is inherent in your every cell as Rasa, the vital energy (Raso Vai Sah). Indeed, the right use of these instruments that God has given you is Deva Yajna; (4) The fourth is adoration of guests. Everyone must welcome the chance of entertaining a guest and treat them with affection, and please them with sincere hospitality as if sent by God, be it one's own kith and kin or strangers (Atithi Yajna); (5) The final yajna is unselfish acts done while dealing with trees, plants, animals, birds and pets like cats and dogs (Bhoota Yajna). Remember to make every act of yours from sunrise to the onset of sleep as a Yajna!


Lima jenis Yajna yang ditentukan sebagai perintah bagi setiap manusia : (1) Perbuatan yang dipersembahkan untuk mempelajari naskah-naskah suci (Rishi Yajna); (2) Perbuatan yang dipersembahkan kepada orang tua yang melahirkanmu, membesarkan, dan menuntunmu (Pitr Yajna); (3) Perbuatan yang dilakukan sebagai memuliakan dan penghormatan kepada Tuhan yang telah menganugrahkanmu dengan pikiran, kecerdasan, daya ingat, dan kesadaran dan Beliau yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap sel sebagai Rasa, energy yang paling penting (Raso Vai Sah). Sejatinya, menggunakan dengan benar semua bentuk sarana ini yang Tuhan telah berikan kepada kita adalah Deva Yajna; (4) yang keempat adalah menghormati tamu. Setiap orang harus menyambut kesempatan dalam menjamu tamu dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih dan membuat mereka senang dengan keramah-tamahan yang tulus dan perlakukan mereka seperti utusan oleh Tuhan baik itu adalah kawan dan kerabatmu sendiri atau orang asing (Atithi Yajna); (5) Yajna yang terakhir adalah perbuatan yang dilakukan tanpa adanya sifat mementingkan diri sendiri ketika bersentuhan dengan tumbuh-tumbuhan, binatang, burung dan binatang peliharaan seperti kucing dan anjing (Bhoota Yajna). Ingatlah untuk membuat setiap perbuatanmu dari mulai matahari terbit sampai terbenam sebagai sebuah Yajna! (Divine Discourse, 2 Oct 1981)

-BABA

Thursday, October 15, 2015

Thought for the Day - 15th October 2015 (Thursday)

Krishna says in the Gita, “In all yajnas, I am the Doer, the Donor, the Consumer and the Acceptor.” That is the reason the chief priest in a yajna, is named Brahma. He must guide the rest of the ritualists with his wife by his side, or else, his credentials are inadequate. The wife represents faith (shraddha). Without faith, praise is hollow, adoration is artificial and sacrifice is a barren exercise. Really speaking, the heart is the ceremonial altar, the body is the fire-place, the hair is the holy grass (darbha), wishes are the fuel-sticks to feed the fire, desire is the ghee poured into the fire to make it burst into flame, anger is the sacrificial animal, and the fire is the tapas (penance) we accomplish. People sometimes interpret tapas as ascetic practices like standing on the head. This is not correct; tapas is not physical contortion. It is the complete and correct coordination of thought, word and deed. When this is achieved, the Divine splendour will manifest.


Krishna bersabda di dalam Gita, “di dalam semua Yajna, Aku adalah pelakunya, Aku adalah yang menikmati Yajna itu, dan Aku juga yang menerima yajna itu.” Itulah alasannya pendeta di dalam Yajna disebut dengan Brahma. Ia harus menuntun seluruh bagian dalam Yajna dengan istrinya berada di sisinya, atau yang lain, kewenangan saja adalah tidak cukup. Karena istri melambangkan keyakinan (shraddha). Tanpa adanya keyakinan maka segala pujian adalah hampa, pemujaan adalah palsu dan pengorbanan adalah sebuah kegiatan yang gersang. Berbicara yang sesungguhnya, hati adalah altar untuk pemujaan, tubuh adalah tungku api, rambut adalah rumput suci (darbha), harapan adalah kayu bakar untuk menyalakan api, keinginan adalah cairan ghee yang dituangkan ke dalam api untuk membuatnya terbakar dalam kobaran api, kemarahan adalah kualitas binatang yang dipersembahkan, dan api adalah tapa (penyucian diri) yang kita raih. Kebanyakan orang kadang-kadang menerjemahkan tapa sebagai kegiatan para pertapa seperti berdiri di atas kepala. Ini adalah tidak benar; tapa bukanlah perubahan pada tubuh. Tapa adalah koordinasi yang benar dan utuh dari pikiran, perkataan dan perbuatan. Ketika hal ini dapat dicapai maka kemuliaan Tuhan akan dapat diraih. (Divine Discourse, 2-Oct-1981)

-BABA

Wednesday, October 14, 2015

Thought for the Day - 14th October 2015 (Wednesday)

Dharma is the moral path, which is the light; the light is bliss (ananda). Scriptures convey that Dharma is the essence of spiritual wisdom (jnana). Dharma is characterized by sacredness, peace, truth, and fortitude. Dharma is yoga (union); it is truth (sathya). Its attributes are justice, sense control, sense of honour, love, dignity, goodness, meditation, sympathy, and nonviolence. It leads you onto universal love and unity. It is the highest discipline and the most profitable. All this ‘unfoldment’ began with Dharma; this is stabilized by truth (sathya). Truth is inseparable from dharma. Truth is the law of the universe, which makes the sun and moon revolve in their orbits. Dharma is the course, the path, the law. Wherever there is adherence to morality, there you can see the law of Truth (sathya-dharma) in action. In the Bhagavata too, it is said, “Where there is Dharma, there is Krishna; where there are both Dharma and Krishna, there is victory.”


Dharma adalah jalan moral yang merupakan pelita; pelita adalah kebahagiaan (ananda). Naskah suci menyampaikan bahwa Dharma adalah intisari dari kebijaksanaan spiritual (jnana). Dharma ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran, dan ketabahan. Dharma adalah yoga (kemanunggalan); Dharma adalah kebenaran (sathya). Sifat-sifat dari Dharma adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, cinta kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Dharma membimbingmu menuju pada cinta kasih yang universal dan kesatuan. Ini adalah disiplin yang tertinggi dan yang paling menguntungkan. Semua ‘perkembangan’ ini dimulai dengan Dharma; dan distabilkan oleh kebenaran (sathya). Kebenaran adalah tidak terpisahkan dari dharma. Kebenaran adalah hokum dari alam semesta yang membuat matahari bersinar dan bulan berputar di dalam orbitnya. Dharma adalah tujuan, jalan dan hukum. Dimanapun manusia berpegang teguh pada moralitas maka disana engkau dapat melihat hukum kebenaran (sathya-dharma) dalam perbuatan. Di dalam Bhagavata juga dikatakan, “Dimana ada Dharma, disana ada Krishna; dimana ada keduanya baik Dharma dan Krishna, maka disana ada kemenangan.” (Dharma Vahini, Ch 3)

-BABA

Tuesday, October 13, 2015

Thought for the Day - 13th October 2015 (Tuesday)

People resort to gurus to receive mantras (mystically powerful formulae to be recited by them for their spiritual uplift); others seek medicine men and holy monks to get yantras (esoteric talismans to ward off evil forces); some others learn thanthras (secret rites for attaining superhuman powers) from scholars (pandits). But all of this is wasteful effort. One should accept the body as the thanthra, one's own breath as the mantra and the heart as the yantra. There is no need to seek them outside oneself. When all words emanating from you are sweet, your breath becomes Rig Veda. When you restrict what you listen to and prefer only sweet speech, all that you hear becomes Sama gana (rendition of Sama Veda). When you do only sweet deeds, all that you do is Yajur homa (ritualistic sacrifice). Then you will be performing every day the Veda Purusha Yajna, the yajna which propitiates the noblest and highest Vedic Spirit!


Banyak orang memohon pertolongan kepada Guru untuk menerima mantra (sebuah formula yang sangat ampuh yang dilantunkan di dalam batin untuk meningkatkan spiritual); sedangkan yang lainnya mencari dukun dan pendeta suci untuk bisa mendapatkan Yantra (jimat yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja untuk menangkis kekuatan jahat); beberapa yang lainnya mempelajari thanthra (upacara rahasia untuk mendapatkan kekuatan manusia super) dari para cendekiawan (pandit). Namun semuanya ini adalah usaha yang sia-sia saja. Seseorang selayaknya menerima badan sebagai sebuah thanthra, nafasnya sebagai sebuah mantra, dan hatinya sebagai sebuah yantra. Tidak ada gunanya mencari semuanya itu di luar diri. Ketika semua kata-kata yang keluar darimu adalah manis maka nafasmu menjadi Rig Veda. Ketika engkau membatasi apa yang mesti engkau dengar dan hanya memilih perkataan yang manis saja, maka semua yang engkau dengar menjadi Sama gana (terjemahan dari Sama Veda). Ketika engkau hanya melakukan perbuatan yang baik saja, maka semua yang engkau lakukan adalah Yajur homa (korban suci). Dengan seperti ini maka kemudian engkau akan mengadakan Yajna Weda Purushan setiap harinya, dimana Yajna ini mendamaikan jiwa yang paling mulia dan tertinggi dalam Weda! (Divine Discourse, 2 Oct 1981)

-BABA

Monday, October 12, 2015

Thought for the Day - 12th October 2015 (Monday)

The same person is king to his subjects, son to his parents, enemy to his enemies, husband to his wife, and father to his son. He plays many roles. Yet, if you ask him who he is, he would be wrong if he gave any of these relationships as his distinctive mark, for these marks pertain to physical relationship or activities. They denote physical kinships or professional relationships; they are names attached to temporary statuses. Nor can he reply that he is the head, the feet, the hands, etc., for they are but the limbs of the physical form. He is more real than all the limbs, and is infact beyond all names and forms which are falsities that hide the basic Brahman; he is known as ‘I’. Reflect over that entity well and discover who that ‘I’ really is. When it is so hard to analyse and understand your own entity, how can you pronounce judgement on other entities with any definiteness?


Orang yang sama adalah raja bagi rakyatnya, sebagai anak bagi orang tuanya, musuh bagi musuhnya, suami bagi istrinya, dan ayah bagi putranya. Ia memainkan banyak peran. Namun, jika engkau menanyakannya, siapakah dia? maka ia akan salah jika ia memberikan jawaban dari salah satu diantara hubungan ini sebagai ciri khasnya karena ciri-ciri ini hanya berkenaan dengan hubungan atau kegiatan fisik. Semua hubungan fisik atau hubungan profesi hanyalah nama yang bertalian dengan status yang bersifat sementara. Ia juga tidak dapat menjawab bahwa dirinya adalah kepala, kaki, tangan dan sebagainya, karena semuanya itu adalah anggota badan dari wujud fisik saja. Ia adalah lebih nyata daripada semua anggota badan dan pada kenyataannya melampaui segala nama dan wujud yang hanyalah kepalsuan yang menyembunyikan Brahman yang hakiki; ia dikenal sebagai 'Aku’. Renungkan sebutan itu dan carilah siapa sebenarnya ‘Aku’ itu. Ketika sangat sulit untuk menganalisa dan memahami dirimu yang sejati, bagaimana engkau dapat memberikan penilaian pada yang lainnya secara pasti? (Dharma Vahini, Ch 3)

-BABA

Sunday, October 11, 2015

Thought for the Day - 11th October 2015 (Sunday)

One important verse in the Gita (Ch 12 Verse 20) states: Those who revere the dharmic way to immortality, and completely engage themselves making Me as their ultimate goal with all faith, are exceedingly dear to Me. What a grand idea this verse conveys! The Lord has clearly declared therein that those who have these qualities, that is, those who trust Him as the only ultimate goal and are attached to Him single-mindedly — they are dearest and nearest to Him. Note the expression, ‘righteous way to immortality’ (dharmya-amritham) used here. Ponder over it and draw inspiration from it. The nectar of the Lord’s grace is deserved only by those who adhere to the Lord’s dharma. Simple folks believe they have devotion toward the Lord, but they do not pause to inquire whether the Lord has love towards them. People who pine to discover the Lord’s love are rather rare. That is really the true measure of spiritual success.


Satu ayat penting dalam Gita (Bab 12 ayat 20) menyatakan: Mereka yang menghormati jalan dharma untuk keabadian, dan benar-benar melibatkan diri mereka membuat Aku sebagai tujuan akhir mereka dengan semua keyakinan, mereka mengasihi-Ku. Betapa mulianya maksud yang disampaikan dalam ayat ini! Tuhan telah jelas menyatakan di dalamnya bahwa mereka yang memiliki sifat-sifat ini, yaitu orang yang percaya kepada-Nya sebagai satu-satunya tujuan akhir dan melekat kepada-Nya dengan pikiran yang senantiasa mengarah pada-Nya - mereka adalah dekat dan kesayangan-Nya. Perhatikan pernyataan ini, 'jalan kebajikan untuk keabadian' (dharmya-Amritham) digunakan di sini. Renungkanlah itu dan tariklah inspirasi dari itu. Nektar rahmat Tuhan hanya pantas bagi mereka yang mematuhi dharma Tuhan. Orang-orang biasa percaya bahwa mereka memiliki pengabdian terhadap Tuhan, tetapi mereka tidak berhenti untuk menanyakan apakah Tuhan memiliki cinta-kasih pada mereka. Orang-orang yang merindukan untuk menemukan kasih Tuhan, sesungguhnya luar biasa. Ini benar-benar ukuran sebenarnya dari keberhasilan spiritual. (Dharma Vahini, Ch 3)

-BABA

Saturday, October 10, 2015

Thought for the Day - 10th October 2015 (Saturday)

How amazing is this! You can get sacrifices of the highest order performed by yourself or through scholars versed in Vedic ritual. You can visit and praise the holiness of diverse shrines and inspire others to journey thereto. Similarly you can master the highest scriptures and teach them to many and make them experts. But how many of you have succeeded in mastering your own bodies, senses and wayward minds, and turned them inward to gain perpetual and unchanging equanimity? You embark upon an undertaking with a purpose, goal, or an end in view. But the endeavour is sublimated into a yajna (sacrificial rite) only if the purpose, goal or end is the glorification of God. God is the yajna, for He is the Goal. His grace is the reward. His creation is used to propitiate Him; He is the performer as well as the receiver. Every act, where the ego of the doer does not surface, becomes a Divine offering.



Betapa menakjubkannya ini! Engkau bisa mencapai pengorbanan tertinggi melalui persembahanmu sendiri ataupun melalui para orang suci berpengalaman dalam ritual Veda. Engkau dapat mengunjungi dan memuliakan kesucian bermacam-macam kuil dan mengilhami orang lain untuk melakukan perjalanan dengan tujuan tersebut. Demikian pula engkau dapat menguasai naskah-naskah suci tertinggi dan mengajarkannya kepada banyak orang dan membuat mereka ahli. Tetapi berapa banyak dari engkau yang telah berhasil menguasai badan-mu sendiri, menguasai indera serta pikiran yang senantiasa berubah-ubah, dan mengubahnya untuk mendapatkan keabadian dan ketenangan batin? Engkau memulai suatu usaha dengan tujuan, sasaran, atau akhir dalam pandangan. Namun usaha tersebut disublimasikan menjadi yajna (ritual korban) hanya jika tujuan, sasaran, atau akhirnya adalah memuliakan Tuhan. Tuhan adalah Yajna, karena Beliau adalah Tujuan. Rahmat-Nya adalah pahala. Ciptaan-Nya digunakan untuk mendamaikan-Nya; Dia adalah pemain serta penerima. Setiap tindakan, di mana ego dari pelaku tidak muncul, maka itu akan menjadi persembahan pada Tuhan. (Divine Discourse, 2 Oct 1981)

-BABA

Friday, October 9, 2015

Thought for the Day - 9th October 2015 (Friday)

People everywhere are degrading themselves from their status as children of eternity (amrita-putra) to that of children of futility (anrita-putra)! Holding nectar in their grasp, they are drinking the poison of sensual pleasure. Neglecting the joy of contemplation of the fundamental divine reality of the universe, they are entangling themselves in the external trappings of this objective world of appearances. This immortal dharma (amrita-dharma) is described in the Upanishads, and since the Gita is the kernel of the Upanishads, the same is emphasized in the Gita too. The Gita teaches Arjuna to develop certain qualities that help the practice of the Atma Dharma (the righteousness that springs from the True Self). These are delineated in verses 13 to 20 of Chapter 12. The dharmic (righteous) way of life is like the very breath; it is the road to self-realization. Those who walk along it are dear to the Lord.


Dimana-mana manusia menistakan diri mereka sendiri dari statusnya sebagai putra keabadian (amrita-putra) ke status putra kesia-siaan (anrita-putra)! Meskipun menggenggam nektar di tangan mereka, namun mereka meneguk racun kenikmatan nafsu jasmani. Dengan mengabaikan suka cita dari perenungan pada realitas keiilahian yang bersifat mendasar dari alam semesta ini, manusia melibatkan dirinya dalam perangkap lahiriah duniawi yang kasat mata ini. Dharma yang abadi ini (amrita-dharma) diuraikan dalam Upanishad, dan karena Gita adalah inti dari Upanishad, maka hal yang sama juga ditekankan di dalam Gita. Gita mengajarkan kepada Arjuna untuk mengembangkan sifat-sifat tertentu yang membantunya dalam menjalankan kebajikan yang bersumber dari diri yang sejati (Atma Dharma). Sifat-sifat ini dijelaskan dalam sloka 13 sampai 20 pada Bab 12. Jalan hidup yang mengikuti Dharma adalah seperti nafas hidup kita; ini adalah jalan pada kesadaran diri. Bagi mereka yang berjalan sepanjang jalan ini adalah yang dikasihi oleh Tuhan. (Dharma Vahini, Ch 3)

-BABA

Thursday, October 8, 2015

Thought for the Day - 8th October 2015 (Thursday)

Joy is your birthright; peace is your innermost nature. The Lord is your staff and support. Do not discard it; do not be led away from the path of faith by stories invented by malice and circulated by spite. Take up the name of God; it could be any one of His innumerable ones that appeals to you the most, and also chose the form appropriate to that name, and then start repeating it from now on - that is the royal road to ensure Joy and Peace. That will train you in the feeling of brotherhood and remove enmity towards fellowmen. When you sow seeds in the field, they can be eaten away by ants or washed off by rains or picked on by birds or destroyed by pests, still some seeds stave off all these and grow as strong and sturdy seedlings. Similarly, you must do everything to uphold the privilege of this birth and strive to return to the Lord.


Kebahagiaan adalah hak asasi-mu; kedamaian adalah sifat sejatimu. Tuhan adalah staf dan pendukungmu. Janganlah mencampakkannya; janganlah terlepas dari jalan keyakinan dengan cerita yang diciptakan oleh kebencian dan diedarkan oleh kedengkian. Ambillah nama Tuhan; pilihlah salah satu nama Tuhan yang paling menarik bagimu dari sekian banyak nama-Nya yang tak terhitung jumlahnya dan juga pilihlah salah satu wujud (Tuhan) yang tepat untuk nama itu, dan kemudian mulailah untuk menchantingkan-Nya dari sekarang – inilah jalan raya yang dapat memastikan engkau menuju Kebahagiaan dan Kedamaian, serta melatih engkau dalam perasaan persaudaraan dan menghapus permusuhan terhadap sesama. Bila engkau menabur benih di ladang, benih itu dapat dimakan oleh semut atau dicuci oleh air hujan atau dimakan oleh burung atau dihancurkan oleh hama, namun ada beberapa biji yang bisa bertahan terhadap semua ini dan bibit tersebut tumbuh menjadi tanaman yang kuat dan kokoh. Demikian pula, engkau harus melakukan segala sesuatu untuk menegakkan hak asasi ini dan berusaha untuk kembali kepada Tuhan (Divine Discourse, 23-Nov-1960)

-BABA