Wednesday, December 30, 2020

Thought for the Day - 30th December 2020 (Wednesday)

Prahlada never gave up the Name of the Lord even in times of adversities. As he surrendered himself to Lord Narayana completely, he was protected. When he was thrown into the ocean, the waves assumed the form of Lord Narayana. When he was pushed from a mountain top, Lord Narayana held him in His arms, and when he was bitten by venomous snakes, the poison became nectar. Never feel depressed when you are weighed down by difficulties. God will never impose on you ordeals that you cannot bear. Test is the taste of God. Never fear any test. When you purify your heart and surrender yourself to God completely, He manifests instantly. He does not delay even one moment. This was proved in the case of Saint Ramdas too! Vedanta says, Brahmavid Brahmaiva Bhavati - the knower of the Brahman (Divine) becomes Brahman. “As you think, so you become!” If you think of God incessantly, you will assume His form. 



Prahlada tidak pernah melepaskan Nama Tuhan bahkan dalam saat-saat yang sulit. Ketika dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Dewa Narayana, maka dia dilindungi. Ketika Prahlada dilempar ke dalam lautan, gelombang lautan mengambil bentuk Dewa Narayana. Ketika Prahlada didorong dari puncak gunung, Dewa Narayana memeluknya di tangan-Nya, dan ketika Prahlada digigit oleh ular yang berbisa, racun ular tersebut menjadi nektar. Jangan pernah merasa tertekan ketika engkau terbebani dengan kesulitan. Tuhan tidak akan pernah memberikanmu  cobaan yang tidak dapat engkau tanggung. Test adalah ‘taste’ (rasa) dari Tuhan. Janganlah takut pada ujian apa pun. Ketika engkau memurnikan hatimu dan menyerahkan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan, maka Beliau secara langsung mewujudkan diri-Nya. Beliau tidak akan menunda bahkan sesaat pun. Hal ini juga dibuktikan dalam kasus Guru suci Ramdas! Wedanta mengatakan, Brahmavid Brahmaiva Bhavati - yang mengetahui Brahman (Ilahi) akan menjadi Brahman. "Engkau menjadi seperti apa yang engkau pikirkan!" Jika engkau memikirkan Tuhan tanpa henti, engkau akan mengambil wujud-Nya. (Divine Discourse, Dec 25, 1998)

-BABA

 

Tuesday, December 29, 2020

Thought for the Day - 29th December 2020 (Tuesday)

Embodiments of Love! Everyone is born in this world, by the will of God. Having taken birth as a human being, one has to realise the Divinity within. Every human being is a messenger of God. The primary duty of every individual as a messenger of God, is to practice and propagate the principles of truth, love and peace, to experience the bliss, and to share it with others. The one who propagates the worldly, fleeting and ephemeral cannot be called a messenger of God. One should not waste one’s life in merely eating, drinking and sleeping. In fact, such a life is a blot on human nature itself! One has to overcome difficulties to be successful in life. Every activity should reflect the divine message. You see many people suffering. In what way are you helping them? Give happiness to those who are suffering. Consider your every activity as God’s work. 



Perwujudan kasih! Setiap orang lahir ke dunia ini dengan kehendak dari Tuhan. Dengan lahir sebagai manusia, seseorang harus menyadari kualitas Tuhan di dalam dirinya. Setiap manusia adalah pembawa pesan Tuhan. Kewajiban utama dari setiap individu sebagai pembawa pesan Tuhan adalah menjalankan dan menyebarkan prinsip kebenaran, kasih dan kedamaian untuk bisa mengalami kebahagiaan dan berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya. Seseorang yang menyebarkan keduniawian yang bersifat fana dan sementara adalah tidak bisa disebut sebagai pembawa pesan Tuhan. Seseorang seharusnya tidak menyia-nyiakan hidupnya hanya dalam makan, minum, dan tidur. Sejatinya, hidup yang seperti itu adalah sebuah noda dalam sifat manusia itu sendiri! Seseorang harus mengatasi kesulitan agar berhasil dalam hidup. Setiap perbuatan harus mencerminkan pesan-pesan Tuhan. Engkau melihat banyak orang menderita. Bagaimana caramu untuk membantu mereka? Berikan kebahagiaan pada mereka yang menderita. Anggaplah bahwa setiap perbuatanmu sebagai pekerjaan Tuhan. (Divine Discourse, Dec 25, 1998)

-BABA

 

Thought for the Day - 28th December 2020 (Monday)

Hold the rosary over the middle finger, keeping three Guna fingers together. This means that you are now transcending the world of attributes and qualities, of name and form, of multiplicity that is the consequence of all this transformation, and proceeding towards the knowledge of Unity. The Jeevi finger (index finger) now slowly passes each bead towards the thumb (Brahman), touching the tip of the Brahman finger. When the bead passes over, mergence is emphasised with every bead and every breath, for, while the fingers learn and teach the lesson, the tongue too repeats the mantra or the Name, with the pranava (the primal sound of OM). The japamala (rosary) is very useful for beginners in sadhana, but, as you progress, japa (chanting) must become the very breath of your life and so, the rotation of beads becomes a superfluous and cumbersome exercise in which you have no more interest! Always, at all times, in all places, Hari (Lord) is meditated upon. That is the stage the japamala should lead you. 



Pegang rosario/tasbih di atas jari tengah, menyatukan tiga jari Guna. Ini berarti bahwa engkau sekarang melampaui dunia atribut dan kualitas, nama dan bentuk, dari keberagaman yang merupakan konsekuensi dari semua transformasi ini, dan melanjutkan menuju pengetahuan tentang Kesatuan. Jari Jeevi (jari telunjuk) sekarang perlahan melewati setiap manik-manik ke arah ibu jari (Brahman), menyentuh ujung jari Brahman. Ketika manik-manik itu lewat, penggabungan ditekankan dengan setiap manik-manik dan setiap nafas, karena, sementara jari belajar dan mengajarkan pelajaran, lidah juga mengulangi mantra atau Nama, dengan pranava (suara utama OM). Japamala (rosario/tasbih) sangat berguna untuk pemula dalam sadhana, tetapi, seiring kemajuanmu, japa (pelantunan) harus menjadi nafas hidupmu dan karenanya, rotasi manik-manik menjadi tidak berguna dan tidak lagi menarik bagimu! Selalu, setiap saat, di semua tempat, Hari (Tuhan) direnungkan. Itulah tahap yang hendaknya dibawa oleh japamala-mu. (Divine Discourse, May 10, 1969)

-BABA

 

Monday, December 28, 2020

Thought for the Day - 27th December 2020 (Sunday)

Transcend anekatwa bhava (the feeling of multiplicity) and cultivate ekatwa bhava (the feeling of oneness), that will end strife, grief, pain and pride. See all as expressions of the same God, as appearances on the same screen, and as bulbs lit by the same current, though of manifold colours and wattage. Feel that you and they are able to talk and walk, and think and act because of the God within. Differences that strike you while you cast your eyes are illusory; you have not yet developed the vision that makes you apprehend the unity which is the truth of all the seeming diversity, that is all! The fault is in you, not the world. The world is One; but, each takes it to mean what pleases one most! The world is One, but, each sees it from one’s own angle and so, it appears as if it has multiple faces. 



Melampaui anekatwa bhava (perasaan keberagaman) dan meningkatkan ekatwa bhava (perasaan kesatuan), akan mengakhiri perselisihan, duka cita, rasa sakit, dan kesombongan. Melihat semuanya sebagai ungkapan dari Tuhan yang sama, sebagai penampakan di atas layar yang sama, dan sebagai bola lampu yang diterangi oleh arus yang sama, meskipun dengan berbagai jenis warna dan tegangan. Rasakan bahwa engkau dan mereka adalah mampu untuk berbicara dan berjalan, serta berpikir dan bertindak karena ada Tuhan yang bersemayam di dalam diri. Perbedaan yang mempengaruhimu ketika engkau mengarahkan pandanganmu adalah ilusi; engkau belum mengembangkan pandangan yang membuat engkau memahami kebenaran dari semua keberagaman yang nampak, itu saja! Kesalahan ada di dalam dirimu dan bukan di dunia. Dunia adalah Satu; namun, masing-masing mengartikannya sebagai apa yang paling menyenangkannya! Dunia adalah Satu, namun masing-masing melihatnya dari sudut pandangnya sendiri dan sehingga dunia kelihatan memiliki banyak sisi. (Divine Discourse, May 10, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 26th December 2020 (Saturday)

When Christ was born, three kings came to see the infant. One of them declared that the child would be a lover of God. The second one said that he would be the beloved of God. The third one declared that he was God. A lover of God is a messenger of God. The one whom God loves is a ‘Son of God’. When one experiences both of these, he becomes one with God - ‘Father and Son are one’. Therefore, at the outset you must prepare yourselves to be messengers of God. This means that you should live up to the message of God. The message calls for service to all. Compassion, morality and integrity are essential elements in the message. In propagating this message faith in God should be promoted. Love should be the watchword. The absence of love gives rise to hatred. Today there is no unity among the people. Without unity how can there be bliss? Without bliss how can anyone experience God? 



Ketika Kristus lahir, tiga raja datang untuk melihat bayi itu. Salah satu dari mereka menyatakan bahwa anak itu akan menjadi kesayangan Tuhan. Yang kedua berkata bahwa dia akan menjadi yang dikasihi Tuhan. Yang ketiga menyatakan bahwa dia adalah Tuhan. Seorang kesayangan Tuhan adalah utusan Tuhan. Orang yang Tuhan kasihi adalah 'Anak Tuhan'. Ketika seseorang mengalami keduanya, dia menjadi satu dengan Tuhan - 'Ayah dan Anak adalah satu'. Karena itu, sejak awal engkau harus mempersiapkan diri untuk menjadi utusan Tuhan. Ini berarti bahwa engkau harus hidup sesuai dengan pesan Tuhan. Pesan tersebut adalah melayani semuanya. Welas asih, moralitas, dan integritas adalah elemen penting dalam pesan ini. Dalam menyebarkan pesan ini, keyakinan kepada Tuhan harus ditingkatkan. Cinta-kasih harus menjadi sebuah semboyan. Ketiadaan cinta-kasih menimbulkan kebencian. Saat ini tidak ada kesatuan di antara orang-orang. Tanpa kesatuan, bagaimana bisa ada kebahagiaan? Tanpa kebahagiaan, bagaimana seseorang bisa mengalami Tuhan? (Divine Discourse, Dec 25, 1995)

-BABA

 

Thought for the Day - 25th December 2020 (Friday)

It was to teach mankind the greatness of divine love that Jesus came. He resolved on three tasks: one, to be filled with Divine love and to share it with others - this was the main purpose of his life; two, he should not succumb to praise or censure in carrying out his mission; three, to inspire in others the conviction that the Divinity within is omnipresent. Jesus considered spreading the gospel of love as his foremost task. He encountered many ordeals in carrying out his mission, but he regarded them all as challenges to be overcome. He was determined to treat pleasure and pain, and sickness and failure with equanimity. He could not bear to see anyone suffer. Every human being is potentially a messenger of God. Humanness demands that everyone should manifest the Divinity within him. Everyone should be a real messenger of God and strive to promote peace and security in the world. There is no other path to be followed. God's message is sacred and totally free from self-interest. 



Adalah untuk mengajarkan umat manusia kebesaran dari kasih Tuhan maka Jesus datang. Beliau menetapkan pada tiga tugas yaitu: pertama, untuk dipenuhi dengan kasih Tuhan dan berbagi kasih Tuhan kepada yang lainnya – ini adalah tujuan utama dari hidupnya; kedua, beliau seharusnya tidak mengalah pada pujian atau celaan dalam menjalankan misinya; ketiga, untuk menginspirasi yang lain tentang keyakinan bahwa Tuhan yang bersemayam di dalam diri ada dimana-mana. Jesus menganggap bahwa menyebarkan ajaran kasih adalah tugasnya yang paling utama. Beliau banyak mengalami cobaan berat dalam menjalankan misinya, namun beliau menganggap semuanya itu sebagai tantangan yang harus diatasi. Beliau memiliki keteguhan hati dalam memperlakukan kesenangan dan kepedihan, dan rasa sakit serta kemalangan dengan ketenangan. Beliau tidak tahan melihat siapapun yang menderita. Setiap manusia adalah memiliki potensi sebagai pembawa pesan Tuhan. Nilai kemanusiaan menuntut setiap orang seharusnya mewujudkan sifat ketuhanan di dalam dirinya. Setiap orang seharusnya menjadi pembawa pesan Tuhan yang sejati dan berusaha untuk mengembangkan kedamaian serta keamanan di dunia. Tidak ada jalan lain yang diikuti. Pesan Tuhan adalah suci dan sepenuhnya bebas dari kepentingan diri. (Divine Discourse, Dec 25, 1995)

-BABA

 

Thought for the Day - 24th December 2020 (Thursday)

One day, young Jesus went to a lonely hilltop. Jesus was sitting and meditating on God all the while. After some time, he returned. As he was returning, he ran into a group of worried men on the coast of the sea of Galilee. When Jesus enquired, they said that they were fishermen and that for quite some time they were unable to catch any fish in their nets. Jesus said, “Follow me; are there any waters that do not have fish?” He took them to the middle of the sea and asked them to cast their nets at a particular spot. To their utter astonishment and great joy, the fishermen found that their nets were full with fish. This event created a lot of faith in the minds of the fishermen. Faith is indispensable for humanity. Where there is faith, there is love. Where there is love, there is truth; Where there is truth, there is peace; Where there is peace, there is bliss; Where there is bliss, there is God. 



Pada suatu hari, Jesus muda pergi ke sebuah puncak bukit yang sunyi. Jesus duduk dan meditasi pada Tuhan sepanjang waktu. Setelah beberapa lama, beliau turun. Pada saat beliau turun, beliau bertemu dengan sekelompok orang yang cemas di tepi laut Galilee. Ketika Jesus bertanya, mereka berkata bahwa mereka adalah nelayan dan untuk beberapa waktu mereka tidak mampu untuk mendapatkan ikan di dalam jaring mereka. Jesus berkata, “Ikuti aku; apakah ada air yang tidak ada ikan di dalamnya?” Jesus membawa mereka ke tengah laut dan meminta para nelayan untuk melapaskan jaring mereka pada titik tertentu. Mereka sangat terkejut dan gembira, para nelayan mendapatkan bahwa jaring mereka penuh dengan ikan. Kejadian ini menciptakan keyakinan yang mendalam di dalam benak para nelayan. Keyakinan adalah sangat diperlukan untuk manusia. Dimana ada keyakinan, disana ada cinta kasih. Dimana ada cinta kasih, disana ada kebenaran; dimana ada kebenaran, disana ada kedamaian; dimana ada kedamaian, disana ada kebahagiaan; dimana ada kebahagiaan, disana ada Tuhan. (Divine Discourse, Dec 25, 2002)

-BABA

 

Thought for the Day - 23rd December 2020 (Wednesday)

Sat is the Existence Principle, the ‘IS’ that is the basic truth of the Universe. Align with the Truth, the Sat in you, the Satya (Reality) on which the Mitya (false) is imposed by minds that do not see light. By dwelling in that Sat, the flame is lit, light dawns, darkness flees and the Jnana Bhaskara (Sun of Realisation) rises. When there is hard rock below, you have to bore deeper for tapping the underground pure water. Softer the subterranean soil, quicker the success. Make your heart soft; then success is quick in sadhana. Talk soft, talk sweet, talk only of God - that is the process of softening the subsoil. Develop compassion, sympathy; engage in service, understand the agony of poverty, disease, distress and despair; share both tears and cheers with others. That is the way to soften the heart and help sadhana to succeed! 



Sat adalah prinsip dari keberadaan, ‘Sat’ adalah kebenaran mendasar dari Alam semesta. Selaras dengan Kebenaran, Sat di dalam dirimu, Satya (Kenyataan yang sejati) dimana Mitya (kepalsuan) dipaksakan oleh pikiran yang tidak melihat cahaya. Dengan berdiam di dalam Sat itu, pelita itu dinyalakan, terang fajar, kegelapan lenyap, dan Jnana Bhaskara (Matahari kesadaran) mulai terbit. Ketika ada batuan keras di bawah, maka engkau harus mengebor lebih dalam untuk bisa mendapatkan air tanah yang murni. Lebih lembut tanah yang ada di bawah tanah, maka semakin cepat keberhasilan didapatkan. Buatlah hatimu menjadi lembut; kemudian keberhasilan akan cepat dalam sadhana. Berbicaralah dengan lembut, berbicara dengan baik, bicaralah hanya tentang Tuhan – itu adalah proses melembutkan lapisan tanah. Kembangkan welas asih, simpati; terlibat dalam pelayanan, memahami penderitaan dari kemiskinan, penyakit, kesusahan, dan rasa putus asa; berbagilah duka dan suka cita dengan yang lainnya. Itu adalah jalan untuk melembutkan hati dan membantu sadhana menjadi berhasil! (Divine Discourse, May 10, 1969)

-BABA

 

Tuesday, December 22, 2020

Thought for the Day - 22nd December 2020 (Tuesday)

What is Sadhana, fundamentally? It is upavasam, upasana. ‘Upa’ means near, ‘Asana’ means sitting, and ‘Vasam’ means residing. We sit near a cooler so that we may feel cool. We sit near God, so that we might derive some Godly qualities and get rid of ungodly characteristics. God is not an external contrivance or convenience like the air cooler. He is the Antaryamin, the Inner Director, the Inner Reality, the Unseen Basis on which all this seeable world is built. He is like the fire-principle that is latent in wood, which can be made manifest, when one piece is rubbed vigorously against another. The heat that is produced consumes the wood in fire! Satsang (Company of the good and the godly) makes you meet with other individuals of like nature, and creates the contact that manifests the Inner Fire. Sat-sang means meeting the Sat, the Sat (Truth) which is spoken of while extolling God as Sat-chit-ananda. 



Apa itu Sadhana, secara fundamental? Sadhana adalah upavasam, upasana. ‘Upa’ berarti dekat, ‘Asana’ berarti duduk, dan ‘Vasam’ berarti berdiam. Kita duduk dekat dengan pendingin sehingga kita bisa merasakan rasa dingin itu. Kita duduk dekat Tuhan, sehingga kita mampu mendapatkan sifat-sifat ketuhanan dan melepaskan karakteristik yang tidak bermoral. Tuhan bukanlah sebuah alat atau kenyamanan di luar seperti halnya pendingin udara. Tuhan adalah Antaryamin, pengarah di dalam batin, kenyataan di dalam diri, dasar yang tidak terlihat dimana semua yang dapat dilihat di dunia ini dibangun. Tuhan adalah seperti prinsip api yang ada terpendam di dalam kayu, dimana api itu dapat dinyalakan ketika satu batang kayu digesekkan dengan kuat pada kayu yang lainnya. Panas yang dihasilkan membakar kayu dalam api! Satsang (pergaulan yang baik dan bermoral) membuatmu bertemu dengan orang-orang lain yang memiliki sifat serupa, dan menciptakan kontak yang dapat menimbulkan api di dalam batin. Sat-sang berarti bertemu dengan Sat, yaitu kebenaran yang dibicarakan sambil memuliakan Tuhan sebagai Sat-chit-ananda. (Divine Discourse, May 10, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 21st December 2020 (Monday)

To realise the Brahman through continuous meditation on Brahman is not an enjoyable path for all to take. This was why spiritual teachers like Ramanuja favoured the path of devotion. They experienced themselves the bliss flowing from love of God and propagated the love-principle as the easiest means to experience the Divine. There have been teachers who have emphasised the Karma Marga (the path of Action), the Jnana Marga (the path of knowledge), the different types of yoga or other means to realise the Divine. But the common under-current that flows through all of them is the path of Bhakti - the path of Divine Love. This is accepted by all of them. Love must expand from the individual to the whole universe. Love is God. The universe is permeated by God. To see God in everything, to love everything as a manifestation of God and to offer everything to God as an offering of Love - this is the way of Love! 



Untuk menyadari Brahman melalui meditasi yang berkelanjutan pada Brahman bukanlah jalan yang menyenangkan bagi semuanya untuk dilakukan. Inilah sebabnya mengapa para guru spiritual seperti Ramanuja menyukai jalan bhakti. Mereka mengalami sendiri kebahagiaan mengalir dari kasih Tuhan dan mengembangkan prinsip kasih sebagai sarana yang paling mudah untuk mengalami Tuhan. Ada beberapa guru yang telah menekankan Karma Marga (jalan tindakan), Jnana Marga (jalan pengetahuan), berbagai jenis yoga atau sarana lain untuk menyadari Tuhan. Namun arus sama yang mengalir di semua jalan tersebut adalah jalan Bhakti – jalan kasih Tuhan. Jalan ini diterima oleh semuanya. Kasih harus berkembang dari individual kepada seluruh alam semesta. Kasih adalah Tuhan. Alam semesta diliputi oleh Tuhan. Melihat Tuhan di dalam segalanya, mengasihi segalanya adalah sebuah perwujudan dari Tuhan dan mempersembahkan segalanya kepada Tuhan adalah sebuah persembahan cinta kasih – ini adalah jalan Kasih! (Divine Discourse, Jan 19, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 20th December 2020 (Sunday)

Without firm faith in the omnipresence of the Divine, devotion has no meaning. By developing faith, devotion is nourished and devotion enables one to face all the vicissitudes of life with fortitude and serenity, regarding them as dispensations of Providence. Finally one-pointed devotion for God leads to union with the Divine. Today devotion begins with the morning ritual of yoga (a form of worship), progresses towards bhoga (enjoyment) at mid-day and ends with roga (sickness) at night. "Satatam Yoginah," says the Gita. To be absorbed in the Divine always is the mark of a yogi. This cannot be achieved in one jump. But can be achieved through constant practice. Self-realisation is the goal. Love is the means. It is through the cultivation of Love that life can find fulfilment. Everyone must strive to achieve this fulfilment by filling this human adventure with the sweetness of love and transforming it into an expression of Divinity. This is My benediction for all of you. 



Tanpa adanya keyakinan yang mantap pada kehadiran Tuhan dimana-mana, bhakti menjadi tidak ada artinya. Dengan mengembangkan keyakinan, bhakti dipupuk dan memungkinkan seseorang untuk menghadapi semua perubahan hidup dengan ketabahan dan ketenangan, menganggap semuanya sebagai dispensasi perlindungan Tuhan. Pada akhirnya bhakti yang terpusat kepada Tuhan menuntun pada penyatuan dengan Tuhan. Bhakti pada saat sekarang dimulai dengan ritual pagi dari yoga (sebuah bentuk pemujaan), dilanjutkan dengan bhoga (kenikmatan) di tengah hari, dan diakhiri dengan roga (sakit) di malam hari. "Satatam Yoginah," disebutkan dalam Gita. Selalu tenggelam dalam Tuhan adalah tanda dari seorang yogi. Hal ini tidak bisa dicapai dalam satu lompatan. Namun dapat dicapai melalui latihan yang tanpa henti. Pencerahan diri adalah tujuan. Kasih adalah sebagai sarananya. Adalah melalui peningkatan kasih maka hidup dapat mencapai pemenuhannya. Setiap orang harus berusaha untuk mencapai pemenuhan ini dengan mengisi petualangan manusia ini dengan rasa manis dari kasih dan mengubahnya menjadi sebuah ungkapan keilahian. Ini adalah berkat-Ku untuk engkau semuanya. (Divine Discourse, Jan 19, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 19th December 2020 (Saturday)

Idols are inert in nature and do not possess the qualities of compassion, love, etc. It is for this reason that some people are against idol-worship. This is ignorance. Are you not worshipping the pictures of your parents and grandparents? Do these pictures have life in them? No. Nor do they have the qualities of compassion, love, sacrifice, etc. Then what is the point in worshipping them? It is through these pictures that we are reminded of their virtues and ideals they stood for. Take for instance a hundred rupee note. There is neither life nor virtues of love or compassion in it. Yet people love it and would like to possess it. Money is valuable because it bears the government’s seal. Similarly, we respect the national flag for the value it stands for, though it is merely a piece of cloth, which is inert. If idol worship is considered foolish, then the same should apply to love for money and respect for flag, which are also lifeless. Man’s beliefs are based on his likes and dislikes. 



Arca adalah bersifat statis secara alami dan tidak memiliki sifat seperti welas asih, kasih, dsb. Karena alasan inilah dimana beberapa orang menentang pemujaan arca. Ini adalah kedunguan. Apakah engkau tidak memuliakan gambar dari orang tuamu dan kakekmu? Apakah gambar-gambar tersebut memiliki kehidupan? Tidak. Gambar-gambar tersebut juga tidak memiliki sifat-sifat welas asih, kasih, pengorbanan, dsb. Lantas apa gunanya memuja gambar-gambar tersebut? Adalah melalui gambar-gambar ini bahwa kita diingatkan terhadap sifat-sifat baik dan ideal yang mereka perjuangkan. Ambillah sebuah contoh uang kertas seratus ribuan. Di uang kertas itu tidak ada kehidupan dan juga tidak ada sifat kebaikan dari kasih atau welas asih di dalamnya. Namun orang-orang mencintainya dan sangat berhasrat memiliki uang tersebut. Uang menjadi bernilai karena ada stempel pemerintah di atasnya. Sama halnya, kita menghormati bendera kebangsaan karena ada nilai yang diperjuangkan di sana, meskipun bendera itu hanyalah sehelai kain yang bersifat statis. Jika pemujaan arca dianggap sebagai hal yang bodoh, kemudian hal yang sama juga berlaku untuk semua yang mencintai uang dan menghormati bendera, yang mana juga tidak memiliki kehidupan. Keyakinan manusia berdasarkan pada rasa suka dan tidak suka. (Divine Discourse, Mar 12, 2002)

-BABA

 

Thought for the Day - 18th December 2020 (Friday)

When a drop of water falls into the ocean, it achieves immortality and infinitude. If you hold a drop of water in your palm, it evaporates in a few moments. But when you join it with the ocean, it becomes boundless and one with it. Only through Love can union with the Universal be realised. To a devotee who achieved such a union with the Eternal, everything appears as Divine. The Gopikas of Brindavan were such devotees. They experienced divine bliss through their intense devotion. Like a fish that cannot live out of water, the devotee who is immersed in the nectarous ocean of divine love, cannot exist for a moment without love of God. He cannot relish any other thing. Every part of his body is so much filled with love of God that each organ finds expression in proclaiming the glory of God or rendering service to God. This was the devotion Gopikas had for Krishna. It was something beyond intellect and power of reason. 



Ketika setetes air jatuh di lautan, maka tetes air itu mencapai keabadian dan ketidakterbatasan. Jika engkau menahan setetes air di telapak tanganmu, maka tetes air itu akan menguap dalam beberapa saat. Namun ketika engkau menjadikannya satu dengan lautan, maka tetes air itu menjadi tidak terbatas dan menjadi satu dengan lautan. Hanya melalui kasih maka penyatuan dengan Yang Semesta dapat diwujudkan. Bagi seorang bhakta yang mencapai penyatuan seperti itu dengan Yang Abadi, maka segala sesuatunya nampak sebagai Tuhan. Para Gopika di Brindavan adalah bhakta yang seperti itu. Mereka mengalami kebahagiaan Tuhan melalui bhakti mereka yang tidak pernah putus. Seperti halnya ikan yang tidak bisa hidup tanpa air, bhakta yang tenggelam dalam lautan nektar kasih Tuhan, tidak dapat hidup sesaat saja tanpa kasih Tuhan dan tidak bisa menikmati hal yang lain. Setiap bagian dari tubuhnya sepenuhnya diliputi dengan kasih Tuhan sehingga setiap organ menemukan cara mengungkapkan kemuliaan Tuhan atau melakukan pelayanan untuk Tuhan. Ini adalah bhakti para Gopika miliki kepada Krishna. Ini adalah melampaui kecerdasan dan kekuatan nalar. (Divine Discourse, Jan 19, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 17th December 2020 (Thursday)

One should never speak ill of others. Mounat kalaham nasti (strife does not arise out of silence). Salute those who offend you. Don’t return offence with offence. If you act in the same manner as your opponent, how can you become greater? While saying that the other is acting wrongly, will you be right if you act in the same manner? Never act in this manner. Let those who commit offence continue their offensive behaviour. Never react. Wish for the welfare of everyone. When all are happy, you are included. We pray for the welfare, wealth, and health of all. Never wish for the misfortune of any other person. There is no room for hatred in this world. All are friends. If you persist in this manner, wishing well for everyone, and praying for their prosperity, you become an ideal for the whole world. 



Seseorang seharusnya tidak pernah berbicara buruk tentang orang lain. Mounat kalaham nasti (perselisihan tidak muncul dari keheningan). Berikan hormat pada mereka yang menyinggung perasaanmu. Jangan membalas kejengkelan dengan kejengkelan. Jika engkau bertindak dengan cara yang sama seperti lawanmu, bagaimana engkau dapat menjadi lebih mulia? Dengan berkata bahwa orang lain melakukan hal yang salah, akankah engkau menjadi baik jika engkau melakukan hal yang sama? Jangan pernah melakukan hal yang sama. Biarkan mereka yang melakukan pelanggaran melanjutkan tingkah laku mereka. Jangan pernah bereaksi. Doakan kesejahteraan untuk setiap orang. Ketika semuanya bahagia, maka engkau juga termasuk di dalamnya. Kita berdoa untuk kesejahteraan, kekayaan, dan kesehatan bagi semuanya. Jangan pernah berdoa untuk kesialan bagi orang lain. Tidak ada ruang bagi kebencian di dunia ini. Semua adalah sahabat. Jika engkau tetap dalam tingkah laku seperti ini, mendoakan kebahagiaan bagi setiap orang, dan berdoa untuk kesejahteraan mereka, engkau menjadi ideal bagi seluruh dunia. (Divine Discourse, Mar 12, 2002)

-BABA

 

Thought for the Day - 16th December 2020 (Wednesday)

The heart of the devotee flows with love of the Lord through constant remembrance and recitation of His name. Out of this stream of love, devotion emerges. One who is nourished by the nectar of devotion will have no desire for anything else. Affection, attachment, and desire are natural qualities in man. When these qualities are directed towards God and when one is continuously engaged in good deeds, these qualities acquire purity and sacredness. The devotee is ever conscious that the universe is a manifestation of the Divine and is permeated by Him. His life is based on the recognition of the immanence of God in everything. This state of mind is called Prema Advaitam (unity in Love.) Through this love the devotee experiences his oneness with the Divine. Enjoying the bliss of this experience, the devotee does not even desire Liberation from birth and death. Unremitting love of the Lord is everything for him. Such devotion is known as Ananya Bhakti (Total devotion to One and One only). 



Hati bhakta mengalir dengan kasih Tuhan melalui perenungan dan pengulangan nama suci Tuhan tanpa henti. Dari aliran kasih ini akan muncul bhakti. Seseorang yang dijaga dengan nektar bhakti ini tidak akan memiliki keinginan untuk yang lainnya. Rasa sayang, keterikatan dan keinginan adalah sifat alami dari manusia. Ketika sifat-sifat ini diarahkan kepada Tuhan dan ketika seseorang secara berkesinambungan melakukan perbuatan yang baik, maka sifat-sifat ini mendapatkan kesucian dan kemurnian. Bhakta selalu menyadari bahwa alam semesta adalah perwujudan dari Tuhan dan diresapi oleh Tuhan. Hidup seorang bhakta didasarkan pada pengertian akan kesadaran bahwa Tuhan ada di dalam segalanya. Keadaan pikiran ini disebut dengan Prema Advaitam (kesatuan dalam kasih). Melalui kasih ini bhakta mengalami kesatuannya dengan Tuhan. Menikmati kebahagiaan dari pengalaman ini, bhakta bahkan tidak menginginkan pembebasan dari kelahiran dan kematian. Kasih Tuhan yang tiada henti adalah segalanya bagi seorang bhakta. Bhakti yang seperti itu dikenal dengan Ananya Bhakti (bhakti sepenuhnya kepada Tuhan saja). (Divine Discourse, Jan 19, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 15th December 2020 (Tuesday)

Everyone must strive to fill the heart with true devotion. Constant contemplation on the form of the Lord and frequent repetition of the Lord's name are the means by which the heart is filled with the love of God. When there is this love, the devotee is filled with inexpressible ecstasy. It was out of such ecstasy that Kulasekhara Alwar, the royal saint, exclaimed: "Oh Lord! People talk of Moksha (liberation) as the means of redeeming life and getting rid of birth and death. I do not ask for such redemption. I shall be content with loving You and serving You in countless lives. Allow me to love You and serve You - that is the only blessing I seek from You and not Moksha." The universe is permeated with love. It is the embodiment of Vishnu. There is nothing in the cosmos, no place in it where He is not present. To regard the Universe as a manifestation of God and to experience it as such is real devotion. 



Setiap orang harus berusaha untuk mengisi hati dengan bhakti yang sejati. Perenungan yang tanpa henti pada wujud Tuhan dan pengulangan nama suci Tuhan yang terus menerus adalah sarana dimana hati diisi dengan kasih Tuhan. Dimana ada kasih Tuhan seperti ini, maka bhakta akan diliputi dengan suka cita yang tidak bisa diungkapkan. Adalah karena suka cita yang seperti ini dimana Kulasekhara Alwar yaitu seorang guru suci kerajaan menyatakan: "Oh Tuhan! Orang-orang membicarakan tentang Moksha (pembebasan) sebagai sarana untuk menyelamatkan hidup dan melepaskan kelahiran dan kematian. Hamba tidak meminta untuk bentuk penyematan yang seperti itu. Hamba akan merasa puas dengan mencintai dan melayani-Mu dalam kehidupan yang tidak terhitung jumlahnya. Izinkan hamba untuk mencintai dan melayani-Mu – itu adalah satu-satunya rahmat yang hamba cari dari-Mu dan bukan Moksha." Alam semesta diliputi dengan kasih. Alam semesta ini adalah perwujudan dari Vishnu. Tidak ada apapun dan tidak ada tempat di kosmos ini dimana Tuhan tidak hadir. Untuk memandang alam semesta sebagai perwujudan dari Tuhan dan untuk mengalaminya seperti itu adalah bhakti yang sejati! (Divine Discourse, Jan 19, 1986)

-BABA

 

Thought for the Day - 14th December 2020 (Monday)

The sages addressed all human beings as ‘Children of Immortality, Amirtasya-putrah." But in spite of this definite assurance and the inexhaustible joy that can be experienced therefrom, man degrades himself into an Anrita-putra (child of falsehood) and starts wailing that he lacks this, that or some other comfort or contraption! Thieves who rob him of valuable treasures like peace and contentment, equipoise and courage, are being honoured as masters, and masters who ensure peace and happiness are treated with irreverence and disgust. You can bolt your doors and windows against thieves, but who can bolt the door against death? The thieves - lust, anger, greed, attachment, pride and hate - are honoured as welcome guests and the real well-wishers like tranquillity and humility are shown the door! 



Orang-orang suci menyebut semua manusia sebagai ‘anak-anak keabadian, Amirtasya-putrah." Namun terlepas dari jaminan pasti dan suka cita yang tidak terbatas yang dapat dialami darinya, manusia merendahkan dirinya menjadi Anrita-putra (anak kepalsuan) dan mulai meratapi bahwa dia kekurangan ini-itu atau beberapa kenyamanan atau peralatan lainnya! Pencuri yang merampok harta berharga seperti kedamaian dan kepuasan, keseimbangan dan keberanian, sedang dihormati sebagai tuan atau majikan, sedangkan majikan yang memastikan kedamaian dan kebahagiaan diperlakukan dengan tidak hormat dan menjijikkan. Engkau dapat mengunci pintu dan jendelamu dari pencuri itu, namun siapa yang dapat mengunci pintu terhadap kematian? Para pencuri yaitu – nafsu, amarah, ketamakan, keterikatan, kesombongan, dan kebencian – dihormati serta disambut sebagai tamu sedangkan penopang yang sejati seperti ketenangan dan kerendahan hati ditunjukkan pintu keluar! (Divine Discourse, Feb 15, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 13th December 2020 (Sunday)

Plant in the tender hearts of children, the seeds of love, sympathy, truth, justice, charity, compassion, repentance and self-control. That is the prime duty of all who deal with children. When the father asks the child to tell someone at the door that he is not at home, or when the son asks his brother to reply to a phone call, saying he has gone out, the vice of dishonesty is implanted in the child. Do not burden the tender brains with all kinds of lumber, information that can never be put to use, facts that warp and twist the truth, and so on. Teach them only as much as they can use beneficially and as much as can be of direct help to them in their lives. Train their character more than their brains. The parents first and foremost, teachers next, comrades, playmates and companions next, and the various levels of society later - these shape the character of the children, and the destiny of the country! 



Tanamkan benih kasih, simpati, kebenaran, keadilan, derma, welas asih, rasa tobat, dan pengendalian diri di dalam hati anak-anak yang lembut. Itu adalah kewajiban yang utama bagi semua orang yang bersentuhan dengan anak-anak. Ketika ayah meminta kepada anaknya untuk mengatakan pada seseorang di depan pintu bahwa ayahnya tidak ada di rumah, atau ketika anak meminta kepada saudaranya untuk menjawab telepon dengan mengatakan bahwa dia sedang keluar, maka sifat buruk kebohongan ditanamkan dalam diri anak. Jangan membebani otak yang lembut pada anak dengan berbagai jenis rongsokan, informasi yang tidak pernah bisa dijalankan, fakta yang membelokkan dan memutarbalikkan kebenaran, dan sebagainya. Ajarkan anak-anak hanya sebanyak yang mereka dapat gunakan bermanfaat dan sebanyak yang dapat langsung membantu mereka di dalam hidupnya. Latih karakter mereka lebih daripada otak mereka. Orang tua adalah yang pertama dan utama, baru kemudian guru, kawan, teman bermain dan pergaulan, serta selanjutnya adalah tingkat lapisan masyarakat – semuanya ini membentuk karakter anak-anak dan nasib sebuah bangsa! (Divine Discourse, Jan 19, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 12th December 2020 (Saturday)

The body is the chariot, buddhi (intelligence) is the charioteer, desires are the roads through which it is drawn by the rope of sensual attachments, moksha (liberation) is the goal, and Moola-Virat-Swarupa (the primal-all-pervasive-Divine) is the Master in the chariot. The car which you carry about has to be treated thus. Instead, people are wildly milling round and round, in dreary circles, from birth to death, pulled by wishes or pushed by needs. No milestones on the pilgrim road are crossed, no bridges are negotiated, and no progress is registered. The very process of the journey is ignored. You may say that progress is possible only through My grace; but though My Heart is soft as butter, it melts only when there is some warmth in your prayer. Unless you make some disciplined effort or undertake some sadhana, grace cannot descend on you. The yearning and the agony of unfulfilled aim melts My Heart. That is the Avedana (anguish) that wins grace. 



Tubuh adalah kereta, buddhi (kecerdasan) adalah kusir, keinginan adalah jalan yang ditarik oleh tali keterikatan sensual, moksha (pembebasan) adalah tujuan, dan Moola-Virat-Swarupa (Tuhan utama yang meresapi semuanya) adalah majikan yang ada di dalam kendaraan. Mobil yang engkau kendarai harus diperlakukan sedemikian rupa. Sebaliknya, orang-orang berputar-putar secara intens dalam lingkaran yang suram, dari kelahiran ke kematian, ditarik oleh keinginan atau didorong oleh kebutuhan. Tidak ada batu peringatan di atas jalan yang dilewati, tidak ada jembatan yang dirundingkan, dan tidak ada kemajuan yang dicatat. Setiap proses perjalanan diabaikan. Engkau mungkin mengatakan bahwa kemajuan hanya bisa terjadi oleh rahmat-Ku; namun walaupun hati-Ku lembut seperti halnya mentega, hati-Ku hanya luluh ketika ada kehangatan dalam doamu. Kecuali engkau melakukan usaha disiplin atau menjalani beberapa Sadhana, maka rahmat tidak dapat dianugerahkan kepadamu. Kerinduan dan penderitaan karena tujuan tidak terpenuhi meluluhkan hati-Ku. Itu adalah Avedana (kesedihan) yang bisa memenangkan rahmat itu! (Divine Discourse, Jan 13, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 11th December 2020 (Friday)

Children are fresh charming saplings. With care and love, they can be made to blossom into ideal citizens of this land who can understand and practise the great disciplines laid down by the sages for their liberation, through self-realisation. The parents must bear a major share of the responsibility for the proper upbringing of children. The earliest years of life are the most crucial. The skills, attitudes, emotions, and the impulses that make or mar the future are built into the foundation of life in those years. Parents can help or hinder in the process of making that foundation strong and straight. But parents have no equipment now for this basic role. They have no faith in their own ancient culture; they themselves have no mental peace or sadhana which the children can imbibe from them. Children must grow up in homes, where their parents honour their parents, and are happy only when they serve their elders. This must be taught to them by example, rather than by precept! 



Anak-anak adalah tunas muda segar yang mempesona. Dengan kasih dan kepedulian, anak-anak dapat dibentuk menjadi warga negara yang ideal bagi bangsa ini yang mampu memahami serta menjalankan disiplin besar yang telah ditetapkan oleh para guru-guru suci untuk pembebasan mereka, melalui pencerahan diri. Orang tua harus memikul tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak dengan baik. Tahun-tahun awal kehidupan anak yang paling penting. Keterampilan, sikap, emosi, dan dorongan hati yang dapat membangun atau merusak masa depan ke dalam pondasi kehidupan pada tahun-tahun itu. Orang tua dapat membantu atau menghalangi proses membuat pondasi itu kuat dan tegak. Namun orang tua sekarang tidak memiliki peralatan untuk peran yang mendasar ini. Mereka tidak memiliki keyakinan pada kebudayaan leluhur mereka sendiri; mereka sendiri tidak memiliki kedamaian batin atau sadhana dimana anak-anak dapat mencontoh dari mereka. Anak-anak harus tumbuh di dalam rumah, dimana orang tua menghargai orang tua mereka, dan hanya merasa bahagia saat melayani orang tua mereka. Hal ini harus diajarkan kepada anak-anak melalui contoh, daripada hanya dengan ceramah saja! (Divine Discourse, Jan 19, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 10th December 2020 (Thursday)

Man (manava) is called so, because he has the skill to do manana - inner meditation on the meaning and significance of what one has heard. But you have not yet emerged out of the stage of Shravanam (listening)! All the joy you crave for is in you. But like a man who has vast riches in the iron chest, yet who has no idea where the key is, you suffer. Hear properly the instructions, dwell upon them in the silence of meditation, practise what has been made clear therein; then, you can secure the key, open the chest and be rich in joy. All have Love in them, in some form or other, towards some one or other or towards their work or goal. That Love is God, a spark of the God in them. They have Ananda (bliss), however small or temporary. That is another spark of the Divine. They have inner peace, detachment, discrimination, sympathy, and the spirit of service. These are Divine in the mirror of their minds. 



Manusia (manava) dipanggil demikian karena memiliki keahlian untuk melakukan manana – meditasi di dalam diri pada makna dan arti dari apa yang seseorang dengarkan. Namun engkau belum keluar dari tahap Shravanam (mendengarkan)! Semua suka cita yang engkau inginkan adalah ada di dalam dirimu. Namun seperti seseorang yang memiliki kekayaan yang begitu besar di dalam peti besi, namun dia tidak menemukan dimana kunci peti besi tersebut, akhirnya engkau menderita. Dengarkanlah ajaran dengan benar, renungkanlah di dalam kedalaman meditasi, praktikkan apa yang telah dijelaskan di dalamnya; kemudian, engkau dapat menyimpan kunci itu dan membuka peti serta kaya akan suka cita. Semuanya memiliki kasih di dalam diri mereka, ada dalam satu bentuk atau bentuk yang lainnya, kepada seseorang atau yang lainnya atau kepada tujuan dari kerja mereka. Kasih itu adalah Tuhan, sebuah percikan Tuhan di dalam diri mereka. Mereka memiliki Ananda (kebahagiaan), betapapun kecil atau bersifat sementara. Itu adalah percikan lain dari Tuhan. Mereka memiliki kedamaian batin, tanpa keterikatan, kemampuan membedakan, simpati, dan semangat pelayanan. Semua ini adalah Tuhan dalam cermin pikiran mereka! (Divine Discourse, Shivaratri day, 1969)

-BABA

 

Wednesday, December 9, 2020

Thought for the Day - 9th December 2020 (Wednesday)

Sadhana (spiritual efforts) must make you calm, unruffled, poised, and balanced. Make the mind as cool and comforting as moonlight, for the Moon is the Deity holding sway over the mind. Be calm in speech, and in your response to malice, cavilling and praise. You complain that others are disturbing your equanimity; but you do not know that though your tongue does not speak, your thoughts can unsettle the equanimity of those around you. Detachment, Faith and Love - these are the pillars on which peace rests. Of these, faith is crucial. For without it, all Sadhana is an empty rite. Detachment alone can make Sadhana effective, and love leads one quickly to God. Faith feeds the agony of separation from God, detachment canalises it along the path of God and Love lights the way. God will grant you what you need and deserve; there is no need to ask and no reason to grumble, be content. Nothing can happen against His will! 



Sadhana (latihan spiritual) harus membuatmu menjadi tenang, tidak tergoyahkan, dan seimbang. Buatlah pikiran sejuk dan senyaman cahaya bulan, karena Bulan adalah Dewa yang menguasai pikiran. Jadilah tenang dalam berbicara, dan dalam memberikan responmu pada kebencian, keluhan, dan pujian. Engkau mengeluh bahwa orang lain sedang mengganggu ketenanganmu; namun engkau tidak mengetahui bahwa walaupun lidahmu tidak berbicara, pikiranmu dapat mengganggu ketenangan orang-orang yang ada di sekitarmu. Tanpa keterikatan, keyakinan, dan kasih – ketiga ini adalah pilar dimana kedamaian bersandar. Dari ketiga pilar ini, keyakinan adalah yang paling krusial. Karena tanpa keyakinan, semua bentuk Sadhana adalah sebuah ritual kosong. Hanya dengan tanpa keterikatan yang membuat Sadhana menjadi efektif, dan hanya kasih yang menuntun seseorang dengan cepat menuju Tuhan. Keyakinan mendorong penderitaan akan keterpisahan dari Tuhan, tanpa keterikatan mengarahkannya pada jalan Tuhan dan kasih menerangi jalan itu. Tuhan akan memberkatimu dengan apa yang pantas dan apa yang engkau butuhkan; tidak perlu untuk meminta dan tidak ada alasan untuk mengomel, bersyukurlah. Tidak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak-Nya! (Divine Discourse, Jan 13, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 8th December 2020 (Tuesday)

Schooling is a waste, if children do not learn lasting virtues and do not develop strength of character, as a result of the process. Now they learn a number of copybook maxims; but do not put a single one into practice in daily life! They must learn reverence for parents, teachers, and elders. Even as children, they must learn the glory of God who is their inner Reality; they must understand that they are not the body, but they are the one dehi (indweller), who is the dehi in all. Through bhajan (singing devotional songs) and shravana (listening to tales of God's Glory), these elevating truths can be handed to them by teachers and parents who are themselves aware of these and are practicing them in daily life. Learn your own news, before getting excited about the news of others. Learn A,B,C,D of your own alphabet and then, you will be better able to guide others, in their learning and life! 



Sekolah menjadi sia-sia, jika anak-anak tidak belajar kebajikan yang kekal dan tidak mengembangkan kekuatan karakter, sebagai hasil dari sebuah proses. Sekarang anak-anak belajar sejumlah peribahasa dari buku; namun mereka tidak menjalankan satupun dalam kehidupan sehari-hari! Mereka harus belajar menghormati orang tua, guru, dan yang lebih tua. Bahkan sebagai anak-anak, mereka harus belajar kemuliaan Tuhan yang merupakan kenyataan dalam diri mereka yang sejati; mereka harus memahami bahwa mereka bukanlah tubuh fisik, namun mereka adalah yang bersemayam di dalam diri yang juga bersemayam di dalam semuanya. Melalui bhajan (melantunkan kidung suci) dan shravana (mendengarkan kisah kemuliaan Tuhan), kebenaran-kebenaran yang mengangkat ini dapat diberikan kepada anak-anak oleh guru dan orang tua dimana mereka sendiri harus sadar akan kebenaran ini dan menjalankannya dalam hidup mereka sehari-hari. Belajarlah tentang berita dirimu sendiri, sebelum engkau bersemangat tentang berita orang lain. Belajarlah A,B,C,D dari abjad hidupmu dan kemudian, engkau akan menjadi lebih baik untuk menuntun yang lain dalam pembelajaran dan kehidupan mereka! (Divine Discourse, Jan 19, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 7th December 2020 (Monday)

Sadhana (spiritual striving) will disclose to you your identity. But be careful; Sadhana can foster even pride and envy as the by-product of progress. You calculate how much or how long you have done Sadhana and you are tempted to look down on another, whose record is less. You are proud that you have written the name of Sai ten million times; you talk about it whenever you get the chance, so that others may admire your faith and fortitude. But it is not the millions that count but the purity of mind that results from genuine concentration on the name. Your Sadhana must avoid becoming like drawing water from a well in a cane basket! You get no water however often you may dip and pull the basket up. Each vice is a hole in the bucket. Keep the heart pure, keep it whole. 



Sadhana (usaha spiritual) akan membukakan padamu tentang jati dirimu. Namun berhati-hatilah; Sadhana dapat mengembangkan bahkan kesombongan dan iri hati sebagai bentuk dari kemajuan. Engkau menghitung berapa banyak atau berapa lama engkau telah melakukan Sadhana dan engkau tergoda untuk memandang rendah yang lain, yang mana hitungannya lebih rendah dari milikmu. Engkau menjadi bangga dengan engkau telah menulis nama Sai sebanyak 10 juta kali; engkau membicarakannya dimanapun engkau mendapatkan kesempatan, sehingga orang lain mungkin mengagumi keyakinan dan ketabahanmu. Namun ini bukan jutaan yang dihitung namun kesucian hati yang dihasilkan dari konsentrasi yang sunguh-sungguh pada nama itu. Sadhanamu harus menghindari dirimu agar tidak menjadi seperti menimba air dari dalam sumur dengan keranjang anyaman! Engkau tidak akan mendapatkan air bagaimanapun seringnya engkau menimba air dari sumur itu. Setiap sifat buruk adalah sebuah lubang dalam keranjang itu. Tetap jaga kemurnian hati dan tetap jaga agar tetap utuh! (Divine Discourse, Jan 13, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 6th December 2020 (Sunday)

Every morning, as soon as you sit up in bed, ask yourself this question: "For what purpose have I come into this world? What is the task set for me? What is the triumph for which this struggle is preparing me? Which is the grand victory for which I have to strive?" You must’ve witnessed chariot festivals in famous pilgrimage centres. The colossal chariots will be gorgeously decorated; stalwart bands of men draw them along broad roads to the music of blowpipes and conches; acrobats, dancers, chanters, minstrels - all precede it and add to the exhilaration of the occasion. Thousands crowd around and their attention is naturally drawn towards entertainments provided, but they feel happiest only when they fold their palms and bow before the Idol installed in the chariot. The rest is all subsidiary, even irrelevant! So too in the process of life, body is the chariot, Atma is the Idol installed therein. Earning, spending, laughing, weeping, hurting, healing, and all the various acrobatics of daily life are but subsidiary to the adoration of God, the attainment of Atma! 



Setiap pagi, segera setelah engkau duduk di tempat tidur, tanyakan dirimu tentang pertanyaan ini: "Untuk tujuan apa aku datang ke dunia ini? Apa tugas yang telah ditentukan bagiku? Apa yang menjadi kemenangan dari perjuangan ini? Apa kemenangan besar yang harus aku perjuangkan?" Engkau pasti pernah menyaksikan perayaan iring-iringan kereta di pusat ziarah yang terkenal. Kereta yang terbesar akan dihias dengan indah; sekelompok laki-laki yang tegap menarik kereta besar itu sepanjang jalan yang diiringi dengan musik dan suara kerang, tarian, lagu dan penyanyi – semuanya berjalan mendampingi kereta ini dan menambahkan kemeriahan pada acara yang terjadi. Ribuan orang berkumpul dan perhatian mereka tertuju pada hiburan yang disuguhkan, namun mereka hanya senang hanya ketika mereka mencakupkan tangan dan menundukkan kepala pada wujud Tuhan yang disemayamkan dalam kereta. Sedangkan bagian acara yang lainnya hanyalah sebagai tambahan saja, bahkan ada yang tidak terkait dengan acara! Begitu juga dengan proses hidup, tubuh adalah kereta, Atma adalah wujud Tuhan yang disemayamkan di dalamnya. Penghasilan, menghabiskan, tertawa, menangis, menyakiti, menyembuhkan, dan semua bentuk akrobat hidup sehari-hari hanyalah hiasan tambahan pada pemujaan Tuhan, yaitu pencapaian Atma! (Divine Discourse, Jan 13, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 5th December 2020 (Saturday)

You desire to drink a sweet drink, but instead of sugar, you drop salt into the cup, imagining salt to be sugar. That is the state of man today. He craves for peace, but does not know how to attain it. The means he adopts do not lead him to the anticipated end. A large percentage of people who come to me ask for moksha (Self-Realisation or Liberation) from the bondage of grief and joy, birth and death. But, when I offer to bless them with the consummation of their wish, they do not come forward; they would rather have it ten years or five years later. So all the thirst and craving are just a pose; it is a fashionable slogan, and nothing more. Man must be sincere; his word must be in conformity with his feeling, and his action must be in conformity with his word. Resolve on this practice, at least from today. Do not be false to yourself. 



Engkau menginginkan untuk minum minuman yang manis, namun bukannya menambahkan gula ke dalam cangkir malahan engkau menuangkan garam ke dalamnya dengan membayangkan bahwa garam adalah gula. Itu adalah keadaan manusia saat sekarang. Manusia menginginkan kedamaian, namun tidak mengetahui cara mencapainya. Sarana yang manusia ambil tidak menuntunnya pada tujuan akhir. Sebagian besar orang yang datang kepada-Ku menanyakan tentang moksha (pembebasan) dari perbudakan duka dan suka cita, kelahiran dan kematian. Namun, ketika Aku menawarkan mereka karunia sesuai dengan keinginan mereka, malahan mereka tidak datang; mereka lebih suka memilikinya sepuluh atau lima tahun lagi. Jadi semua rasa haus dan keinginan itu hanyalah sebuah pajangan; sebuah slogan yang indah, dan tidak lebih dari itu. Manusia harus bersifat tulus, perkataannya harus sesuai dengan perasaannya, dan perbuatannya harus sesuai dengan perkataannya. Miliki ketetapan hati untuk menjalankan hal ini, setidaknya mulai dari hari ini. Jangan menyesatkan dirimu sendiri. (Divine Discourse, Feb 15, 1969)

-BABA

 

Thought for the Day - 4th December 2020 (Friday)

The mind is the puppet of the food that is consumed by man. It is prompted one way or the other by the subtle pull of the food it is fed on. The quality of the food determines the direction of the desire that diverts the mental flow. That is why in the Gita as well as in all scriptural texts, Satwik (pure) food is recommended for the upward seeking individual. Satwik food, according to some, consists in milk and fruits. But it is much more; it may not even be these. For, the calories that one takes in through the mouth are but a small part of the intake of man. The intake by the senses are part of the food that builds the individual. The sounds heard, the sights seen, the tactile impressions sought or suffered, the air breathed, the environment that presses for attention, appreciation and adoption - all these are 'food.' They have considerable impact on the character and career of the individual. 



Pikiran adalah boneka dari makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Ini didorong oleh satu atau lain cara oleh tarikan halus makanan yang dikonsumsinya. Kualitas makanan menentukan arah keinginan yang mengalihkan aliran mental. Itulah sebabnya dalam Gita dan juga di semua teks kitab suci, makanan Satwik (murni) direkomendasikan bagi individu yang ingin menuju ke level yang lebih tinggi. Makanan satwik menurut sebagian orang terdiri dari susu dan buah-buahan. Tetapi lebih dari itu; bahkan mungkin bukan ini. Sebab, kalori yang masuk melalui mulut hanyalah sebagian kecil dari asupan manusia. Asupan oleh indera merupakan bagian dari makanan yang membangun individu. Suara yang didengar, pemandangan yang terlihat, kesan sentuhan yang dicari atau diderita, udara yang dihirup, lingkungan yang menekan perhatian, penghargaan dan adopsi - semua ini adalah 'makanan'. Mereka berdampak besar pada karakter dan karier individu. (Divine Discourse, Jan 28, 1971)

-BABA

 

Thought for the Day - 3rd December 2020 (Thursday)

The eyes should see only what is good. The hands should be engaged in good actions. The ears should hear no evil and listen only to what is good. Talk no evil. Talk only what is good. Think no evil. Think what is good. Do no evil. Do what is good. This is the way to God. The eyes should see only sacred objects. The whole world will be transformed when your vision becomes holy. Devote every moment to actions that will please God. Develop love for God, which will confer every blessing on you. This is exemplified by the life of Harishchandra. He sacrificed everything in the cause of truth. And ultimately he got back everything by the grace of God. Lead a long life, happy life, peaceful life, loving life and divine life. Redeem your lives by practicing Divine Love. Life is a Game, Play it! Life is a Dream, Realise it! Life is Love, Enjoy it! 



Mata seharusnya hanya melihat apa yang baik. Tangan seharusnya melakukan perbuatan yang baik. Telinga seharusnya tidak mendengarkan yang jahat dan hanya mendengar apa yang baik. Tidak berbicara yang jahat. Hanya berbicara yang baik. Tidak memikirkan yang jahat. Memikirkan yang baik saja. Tidak melakukan hal yang jahat. Melakukan hanya yang baik. Ini adalah jalan menuju Tuhan. Mata seharusnya hanya melihat objek-objek yang suci saja. Seluruh dunia akan berubah ketika pandanganmu menjadi suci. Persembahkan setiap saat pada tindakan yang akan menyenangkan Tuhan. Kembangkan kasih pada Tuhan, yang mana akan menganugerahkanmu karunia setiap saat. Hal ini dicontohkan oleh kehidupan dari Harishchandra. Harischandra mengorbankan segalanya dalam prinsip kebenaran. Dan pada akhirnya Harischandra mendapatkan kembali segalanya dengan karunia Tuhan. Jalani hidup yang panjang, hidup yang bahagia, hidup yang penuh kedamaian, dan hidup yang Ilahi. Sucikan hidupmu dengan menjalankan kasih Tuhan. Hidup adalah sebuah permainan, mainkanlah! Hidup adalah sebuah mimpi, sadarilah! Hidup adalah kasih, nikmati! (Divine Discourse, Jan 1, 1998)

-BABA

 

Thought for the Day - 2nd December 2020 (Wednesday)

Most people confine themselves to ritualistic worship for a brief time everyday. They don’t attempt to know what for they are performing these rituals. There is no meaning in performing rituals without understanding the purpose and goal of life. The ultimate purpose of all spiritual exercises is to realise the Love Principle (Love of Divine). To foster love is the purpose of all spiritual endeavors. In no circumstance should love be given up or ignored. Where there is love, there can be no hatred, grief or want. Time is passing. You are all growing in years. But there is little change in your attitudes. Purity in thought results in purity in knowledge and wisdom. Self-Realisation comes only through spiritual wisdom (Jnana). To lead a sacred life and have sacred experiences, engage yourself in sacred actions. The good and evil in the world can be changed only when there is a change in men’s actions. Transformation of society must start with transformation of individuals. 



Kebanyakan orang membatasi diri mereka pada pemujaan ritual untuk waktu yang singkat setiap harinya. Mereka tidak berusaha untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan dalam ritual itu. Tidak ada faedahnya dalam menjalankan ritual tanpa memahami tujuan dari hidup. Tujuan terakhir dari semua praktik spiritual adalah untuk menyadari prinsip kasih (kasih Tuhan). Untuk mengembangkan kasih adalah tujuan dari semua usaha spiritual. Dalam keadaan apapun juga kasih seharusnya tidak dilepaskan atau diabaikan. Dimana ada kasih, tidak akan ada kebencian, kesedihan, atau keinginan. Waktu terus berlalu. Engkau semuanya bertumbuh dalam beberapa tahun. Namun hanya ada sedikit perubahan di dalam sikapmu. Kesucian di dalam pikiran menghasilkan kemurnian dalam pengetahuan dan kebijaksanaan. Kesadaran diri hanya datang melalui kebijaksanaan spiritual (Jnana). Untuk menjalani hidup yang suci dan memiliki pengalaman suci, libatkan dirimu dalam perbuatan yang suci. Kebaikan dan kejahatan di dunia dapat diubah hanya ketika ada perubahan dalam perbuatan manusia. Perubahan dalam masyarakat harus dimulai dengan perubahan dalam individu! (Divine Discourse, Jan 1, 1998)

-BABA

 

Thought for the Day - 1st December 2020 (Tuesday)

Embodiments of Love! Eschew bad qualities like hatred and envy. See that your love for God does not fluctuate according to whether your wishes are fulfilled or not. Remember that you reap the fruits of your actions, according to whether they are good or bad. Love of God alone can confer enduring bliss. Many in the world acquire wealth, fame and position. But what have they achieved in terms of the goal of life? Their failure is due to lack of understanding of the unity that underlies the apparent diversity. It is a mark of spiritual goodness to recognise the divine in everyone. Prahlada declared that you can find God wherever you seek Him. His father, Hiranyakasipu, was a great person because of his attainments. But he failed to achieve goodness because of his denial of the Divine. The lesson for students today is that they should follow the sacred path of righteousness. They should work for the welfare of society. 



Perwujudan Kasih! Hindari kualitas buruk seperti kebencian dan iri hati. Perhatikan bahwa cinta-kasihmu kepada Tuhan tidak berfluktuasi sesuai dengan keinginanmu terpenuhi atau tidak. Ingatlah bahwa engkau menuai buah dari tindakanmu, menurut apakah itu baik atau buruk. Hanya cinta-kasih Tuhan yang bisa memberikan kebahagiaan abadi. Banyak orang di dunia memperoleh kekayaan, ketenaran, dan posisi. Tetapi apa yang telah mereka capai dalam kaitannya dengan tujuan hidup? Kegagalan mereka terjadi karena kurangnya pemahaman tentang persatuan yang mendasari keberagaman yang tampak. Mengenali ketuhanan dalam diri setiap orang merupakan tanda kebaikan spiritual. Prahlada menyatakan bahwa engkau dapat menemukan Tuhan dimanapun engkau mencari-Nya. Ayahnya, Hiranyakasipu, adalah orang yang hebat karena pencapaiannya. Tetapi dia gagal mencapai kebaikan karena penyangkalannya terhadap Yang Ilahi. Pelajaran bagi siswa saat ini adalah bahwa mereka hendaknya mengikuti jalan suci kesalehan. Mereka harus bekerja untuk kesejahteraan masyarakat. (Divine Discourse, Jan 1, 1998)

-BABA