Sunday, March 23, 2025

Thought for the Day - 23rd March 2025 (Sunday)

During this Kaliyuga (age of moral decline), two Sadhanas (spiritual disciplines) are important Namam and Danam. Namam means the name of the Lord. It must activate every thought, word and deed and render them full of Love. It can certainly lead man to the vision of the bearer of the Name. The Name, the sound is the material which can reveal the non-material, the jada or inert which is the door to the Chaitanya or awareness enshrined in it. This is the purpose of the Sadhana - to recognise both the Kshetra (Field) and the Kshetrajna (the Master of the field) as the Lord. Danam, the second Sadhana, means gifting, caring and sharing. The gift of food to the hungry gives immediate contentment and relieves the pangs of hunger. Annam Brahma (Food is Divine) says the Upanishad. Gifts are to be given without inflating the ego of the giver or deflating that of the receiver. They should be offered with understanding, humility and love!


- Divine Discourse, Feb 26, 1987.

I need only your hearts, for My residence and happiness. I do not like other temples or altars. Purify the heart, by Namasmarana; I shall come, and dwell therein.


 

Selama jaman kemerosotan moral ini (Kaliyuga), ada dua sadhana (disiplin spiritual) yang penting yaitu Namam dan Danam. Namam mengandung makna nama suci Tuhan. Nama suci Tuhan harus menghidupkan setiap pikiran, perkataan dan perbuatan serta membuatnya penuh dengan kasih. Nama suci Tuhan pastinya menuntun manusia pada visi tentang Sang Pemilik Nama. Nama dan suara adalah materi yang dapat mengungkapkan yang bersifat non-materi, jada atau benda mati adalah pintu pembuka menuju pada Chaitanya atau kesadaran yang tersimpan di dalamnya. Ini adalah tujuan dari Sadhana – untuk menyadari keduanya yaitu Kshetra (tubuh) dan Kshetrajna (yang bersemayam dalam tubuh) sebagai Tuhan. Danam adalah Sadhana yang kedua berarti memberi, peduli dan berbagi. Memberikan makanan pada mereka yang kelaparan memberikan dampak kepuasan langsung dan meredakan penderitaan kelaparan. Annam Brahma (makanan adalah Tuhan) disebutkan dalam Upanishad. Pemberian harus diberikan tanpa membesarkan ego dari pemberi atau merendahkan penerima. Pemberian harus diberikan dengan pemahaman, kerendahan hati dan kasih!


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Aku hanya membutuhkan hatimu sebagai tempat tinggal dan kebahagiaan-Ku. Aku tidak menyukai tempat suci atau altar lainnya. Sucikan hati dengan Namasmarana; Aku akan datang dan tinggal disana.

Thought for the Day - 22nd March 2025 (Saturday)

When man is not trained to live a good and godly life, teaching him various skills and tricks, only makes him a danger to himself and to others. There is unending controversy about the language which should be the medium of instruction; but, no one seems interested in the language of the heart, which uses the vocabulary of Love and the expression of self-examination and self-sacrifice. Now, schools and colleges are engaged in stuffing facts and fancies into the heads of the pupils; they do not equip them to face the fortunes of life, to bring the best that is in them and place them at the service of the community. The habit of prayer will inculcate courage and confidence; it will provide the pupil with a vast new source of energy. No effort is made to introduce the pupil to the sweet experiences of meditation and Yoga, or to the joy of inquiry into one's own reality!


- Divine Discourse, May 13, 1970.

Politics without principles, education without character, science without humanity, and commerce without morality are not only useless, but positively dangerous.


 

Ketika manusia tidak dilatih untuk hidup yang baik dan bertakwa, dengan mengajarkannya berbagai jenis ketrampilan dan trik, hanya membuatnya menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Terdapat kontroversi yang tidak berkesudahan tentang bahasa yang harus digunakan sebagai media pengajaran; namun, tidak ada seorangpun yang kelihatan tertarik pada bahasa hati yang menggunakan kosakata kasih dan ungkapan introspeksi diri dan pengorbanan diri. Sekarang, sekolah dan perguruan tinggi sibuk menjejalkan fakta dan khayalan dalam kepala pelajar; mereka tidak membekali pelajar untuk menghadapi tantangan hidup, mengeluarkan yang terbaik yang ada dalam diri pelajar dan menempatkan pelajar dalam pelayanan kepada masyarakat. Kebiasaan berdoa akan meningkatkan keberanian dan kepercayaan diri; ini akan memberikan pelajar sumber energi baru yang besar. Namun, tidak ada usaha yang dilakukan untuk memperkenalkan kepada pelajar terkait rasa manis dari pengalaman meditasi dan yoga, atau suka cita dari pencarian pada hakikat diri sejati!


- Divine Discourse, 13 Mei 1970.

Politik tanpa prinsip, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan perdagangan tanpa moralitas bukan hanya tidak berguna, tetapi juga berbahaya.

Thought for the Day - 21st March 2025 (Friday)

People complain of grief, sorrow, distress. What exactly is grief? It is a reaction to the loss of something gained or the failure to gain something desired. Therefore, the only way to escape grief, sorrow, etc., is to conquer desire for the illusory. See the world as God (Brahma-mayam). That vision will scotch desire. When the desire is limited to God and concentrated on God, success is assured and each step contributes its ananda. The Gopis of Brindavan knew this and longed for the Lord, to the exclusion of all else. Pure undiluted Love expressed itself as selfless action. They were simple rural folks, with no knowledge of scriptural texts or of spiritual exercises. Unfaltering faith in Krishna endowed them with all the inspiration and instruction they needed. As Krishna told Arjuna, “Shradhavan labhate jnanam - the one with faith attains knowledge.”


- Divine Discourse, Feb 26, 1987.

God is hidden and obstructed by the clouds of egoism. Getting rid of egoism is the sadhana to be practised.



Orang-orang mengeluhkan kesedihan, penderitaan, kesulitan. Apa sesungguhnya kesedihan itu? Ini adalah reaksi dari kehilangan sesuatu yang telah diperoleh atau kegagalan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk terlepas dari kesedihan, penderitaan, dsb, adalah dengan menaklukkan keinginan yang bersifat semu. Lihatlah dunia sebagai Tuhan (Brahma-mayam). Pandangan itu akan melenyapkan keinginan. Ketika keinginan dibatasi pada Tuhan dan terpusat pada Tuhan maka keberhasilan pasti tercapai dan setiap langkah akan membawakan Ananda (kebahagiaan). Pada Gopi di Brindavan mengetahui hal ini dan merindukan Tuhan sampai tidak menginginkan hal lainnya. Kasih yang murni dan tampa pamrih tercermin dalam tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri. Para Gopi hanyalah penduduk desa yang sederhana, tanpa pengetahuan tentang naskah suci atau latihan spiritual. Keyakinan pada Sri Krishna yang tidak tergoyahkan memberikan mereka semua inspirasi dan petunjuk yang dibutuhkan. Seperti yang Sri Krishna katakana pada Arjuna, “Shradhavan labhate jnanam – seseorang dengan keyakinan mencapai pengetahuan.”


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Tuhan tersembunyi dan terhalang di balik awan egoisme. Menyingkirkan egoisme adalah sadhana yang harus dilakukan.

Thought for the Day - 20th March 2025 (Thursday)

The ananda or bliss we get when hunger is appeased by a meal is short-lived. Hunger afflicts us again before long. However sweet and tasty the food may be, it causes nausea when consumed in big quantities. The mythological bird Chakora is said to feed on moonlight only, but we can be sure an excess of even that will certainly be unwelcome to it. Even nectar will cloy when one continues to eat it endlessly. Brahmananda (Supreme Divine Bliss), however, is different. For, it is native to man, his very source and sustenance. The purpose of human striving, through stage after stage of spiritual progress, is to attain that. A fish placed in an artistic golden gem-studded bowl is miserable. It has no ananda, for it has no water. Water is its home, its real source and sustenance. Man too must reach his original home, however far he may wander.


- Divine Discourse, Nov 23, 1983.

The more desires are controlled, the more blissful one will be.



Ananda atau kebahagiaan yang kita dapatkan ketika rasa lapar terpuaskan oleh makanan adalah bersifat sementara. Rasa lapar itu akan kembali menyerang kita dalam waktu dekat. Bagaimanapun enak dan gurihnya makanan itu akan menyebabkan rasa mual ketika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak. Kisah mitologi burung Chakora disebutkan hanya makan cahaya rembulan, namun kita pastinya yakin bahwa jika jumlahnya berlebihan maka itu pastinya tidak akan disukainya. Bahkan nektar menjadi memuakkan ketika seseorang secara terus menerus mengkonsumsinya tanpa henti. Brahmananda (kebahagiaan Tuhan tertinggi) adalah berbeda. Karena brahmananda ini adalah milik manusia yang merupakan sebagai sumber dan penopang hidupnya. Tujuan dari usaha manusia melewati berbagai tahapan dalam kemajuan spiritual adalah untuk mencapai brahmananda. Seekor ikan yang ditempatkan dalam mangkuk berhiaskan permata emas terlihat menyedihkan. Ikan tersebut tidak bisa merasakan kebahagiaan karena tidak ada air dalam mangkuk tersebut. Air adalah rumah sejati dari ikan yang merupakan sumber dan penopangnya sejati. Manusia juga harus mencapai rumahnya yang sejati, bagaimanapun jauh manusia telah mengembara.


- Divine Discourse, 23 November 1983.

Semakin banyak keinginan yang dapat dikendalikan maka semakin bahagia orang tersebut.

Thought for the Day - 19th March 2025 (Wednesday)

The Lord announced time and again that He showers grace on inner purity, not outer pomp. When one has established himself in equal-mindedness, Krishna installs Himself in his heart: His voice becomes the conscience that guides him at every step. Through Yoga, fortitude must be acquired; through Japa, sense-control must be earned; through Sadhana, the mind should be filled with peace. But, these effects are not noticeable, though the actions are practised. People close themselves in their shrine rooms and perform worship, offer flowers and fruit, and later, emerge from the place, only to shout and swear, frighten and fight with all and sundry. Man must be a yogi always, under all circumstances (satatam yoginah), says the Gita. This means he should ever be in bliss. Faith in God can ensure equanimity and balance. Knowledge must develop into skill, which must be directed and regulated by a sense of balance. Or else, skill degenerates into 'kill'.


- Divine Discourse, Sep 07, 1985.

Good qualities are not to be tied down to a particular time and place. They should be observed in one’s entire life continuously.



Tuhan menyampaikan berkali-kali bahwa Tuhan menganugerahkanr rahmat-Nya pada kemurnian batin dan bukan pada kemegahan lahiriah. Ketika seseorang mantap dalam pikiran yang seimbang maka Krishna menempatkan diri-Nya di dalam hati orang tersebut: suara Krishna menjadi suara nurani yang menuntun orang itu dalam setiap langkah. Melalui Yoga, ketabahan harus didapatkan; melalui Japa, pengendalian diri harus diraih; melalui Sadhana, pikiran harus diliputi dengan kedamaian. Namun, hasil dari semuanya ini tidak terlihat, walaupun prakteknya sudah dilakukan. Manusia menutup diri mereka dalam ruang doa dan melakukan puja, mempersembahkan bunga serta buah, dan kemudian keluar dari ruang doa hanya untuk berteriak dan memaki, menakuti dan bertengkar dengan semuanya. Manusia harus selalu menjadi seorang yogi dalam keadaan apapun juga (satatam yoginah), disebutkan dalam Bhagavad Gita. Hal ini berarti bahwa manusia harus dalam keadaan bahagia. Keyakinan pada Tuhan dapat menjamin ketenangan dan keseimbangan. Pengetahuan harus berkembang menjadi ketrampilan yang harus diarahkan serta diatur oleh rasa keseimbangan. Jika tidak, ketrampilan (skill) merosot menjadi kehancuran (kill).


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Sifat-sifat baik tidak terikat pada tempat dan waktu tertentu. Sifat-sifat baik tersebut harus terus menerus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Thought for the Day - 18th March 2025 (Tuesday)

Prahladha, as the Bhagavata text declares, was rooted in the faith in Lord Narayana and His Universal, Absolute Reality. His father, Hiranyakashipu, however, was drawn by external forms and the limiting names. Therefore, Prahladha was rooted in ananda (bliss) wherever he was, in whatever set of circumstances. Hiranyakashipu was ever worried and anxious, caught up in the multiplicity of names and forms. Those who are in such bliss as Prahladha had will have an aura around them and an effulgence on their faces. People can derive joy watching their faces and yearn to have that experience again and again. The faces of the worried and the anxious will infect others too with similar feelings. Besides, delight endows one with great power too whereas anxiety robs one of the strength one has. True delight cannot be acquired by effort or produced artificially or maintained by design. No course of Sadhana (spiritual effort) can be prescribed to enable one to gain ananda. For, one is, in fact, the very embodiment of ananda! But since he has failed to identify his truth, he is seeking it from outside, from the objects around him. For those who have realised that they are the Eternal, the True and the Pure Atma, ananda is ever accessible.


- Divine Discourse, Nov 23, 1983.

However much you may earn either wealth or strength, unless you tap the springs of bliss (ananda) you cannot have peace and lasting content.



Naskah suci Bhagavata menyatakan bahwa Prahladha memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhan dalam wujud Narayana dan Realitas-Nya yang mutlak dan Universal. Sedangkan ayah dari Prahlada yaitu Hiranyakashipu justru terikat pada bentuk-bentuk luar dan nama-nama yang membatasi. Maka dari itu, Prahladha senantiasa ada dalam keadaan ananda (kebahagiaan) dimanapun dia berada, dalam keadaan apapun juga. Sedangkan Hiranyakashipu selalu dalam keadaan cemas dan khawatir, terperangkap dalam banyaknya nama dan wujud. Bagi mereka yang berada dalam kebahagiaan seperti halnya Prahladha akan memiliki pancaran aura di sekitar mereka dan sebuah pancaran pada wajah mereka. Orang-orang bisa mendapatkan suka cita melihat wajah mereka dan rindu untuk dapat mengalami hal itu berulang kali. Wajah dari orang yang cemas dan khawatir akan mempengaruhi orang lain dengan perasaan yang sama juga. Disamping itu, kebahagiaan menganugerahi seseorang dengan kekuatan yang besar, sedangkan kecemasan merampas kekuatan yang seseorang miliki. Kebahagiaan sejati tidak bisa didapat dengan usaha atau dihasilkan secara artifisial atau dipertahankan dengan direncanakan. Tidak ada bentuk usaha spiritual (_Sadhana_) yang dapat dilakukan agar seseorang bisa mendapatkan ananda. Sebab sesungguhnya seseorang adalah perwujudan dari ananda! Namun karena manusia gagal untuk mengenali kenyataan dirinya yang sejati, manusia sedang mencari kebahagiaan di luar dirinya, dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Bagi mereka yang telah menyadari bahwa diri mereka adalah Atma yang bersifat kekal, murni dan sejati, maka ananda akan selalu hadir dalam hidup mereka.


- Divine Discourse, 23 Nopember 1983.

Sebanyak apapun kekayaan atau kekuatan yang engkau dapatkan, jika engkau tidak menggali dari sumber kebahagiaan (ananda) maka engkau tidak bisa memiliki kedamaian dan kepuasan yang kekal. 

Thought for the Day - 17th March 2025 (Monday)

Mahabharata offers four examples of bad men called Dushta Chatushtaya. The first one is Shakuni (Duryodhana’s maternal uncle). Shakuni was all the time filled with bad thoughts (Dhuralochana). He is a total stranger to good ideas. He was always plotting something bad for someone or other. Duryodhana had Shakuni as his advisor. Duryodhana was engaged in dhuscharya (bad deeds). They were comrades in evil. Then came Dusshasana (Duryodhana’s brother). In association with Shakuni and Duryodhana, Dhushasana became notorious for his Dush-pravartana (bad behaviour). When these three evil-minded men came together, "even stars fell during daytime," they say. The whole cosmos rebels against such evil-minded men. Karna, out of a false sense of Durabhimanam (bad attachment), joined this trio. Gratitude is doubtless a good quality. Because Duryodhana came to his rescue on a critical occasion, Karna developed a wrongful attachment to him. Karna was a good-natured person, noble-minded. But because he was associated with evil-minded men, he also became bad. Despite his valour, physical prowess and intellectual abilities, Karna met with disaster, as he made himself remote from God. Evil thoughts, evil deeds, evil conduct, and attachment to the evil-minded - these are Dushta Chatushtaya (the four evil persons). 


- Divine Discourse, Mar 04, 1993.

The mind immerses man in impenetrable darkness through bad thoughts. The same mind can lift man to sublime heights by good thoughts.

 


Mahabharata menggambarkan empat contoh manusia jahat yang disebut dengan Dushta Chatushtaya. (1) Orang yang pertama adalah Shakuni (paman dari pihak ibu Duryodhana). Shakuni sepanjang waktu dipenuhi dengan pikiran yang buruk (Dhuralochana). Dia sama sekali asing dengan gagasan-gagasan yang baik. Dia selalu merencanakan sesuatu yang buruk bagi seseorang atau yang lainnya. (2) Orang kedua adalah Duryodhana yang menjadikan Shakuni sebagai penasehatnya, sehingga Duryodhana terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang jahat (dhuscharya). Mereka berdua adalah sekutu dalam kejahatan. (3) Orang yang ketiga adalah Dusshasana (saudara laki-laki dari Duryodhana). Karena bergaul dengan Shakuni dan Duryodhana, maka Dhushasana menjadi terkenal dengan perilaku buruknya (Dush pravartana). Ketika ketiga orang jahat ini bersatu, dikatakan bahwa "bahkan bintang bisa jatuh di siang hari." Alam semesta memberontak terhadap orang yang pikiran jahat seperti itu. (4) Orang yang keempat adalah Karna yang terjebak dalam pergaulan yang salah (Durabhimanam) dengan ketiga orang jahat ini. Sikap berterima kasih tidak diragukan lagi adalah kualitas yang baik. Karena Duryodhana hadir menyelamatkannya pada saat-saat yang kritis, Karna menjadi berhutang budi dan terikat pada Duryodana. Karna pada dasarnya adalah orang yang baik, berpikiran mulia. Namun karena dia bergaul dengan orang-orang yang jahat, akhirnya dia juga menjadi buruk. Meskipun memiliki keberanian, kekuatan fisik dan kecerdasan, Karna tetap mengalami kehancuran karena menjauh dari Tuhan. Pikiran yang jahat, perbuatan yang jahat, tingkah laku yang jahat serta keterikatan pada pikiran-pikiran jahat – inilah yang disebut dengan Dushta Chatushtaya (empat orang jahat). 


- Divine Discourse, 4 Maret 1993.

Pikiran dapat menenggelamkan manusia dalam kegelapan yang tidak tertembus karena pikiran-pikiran buruknya. Namun, pikiran yang sama dapat mengangkat manusia pada ketinggian yang luhur dengan pikiran-pikiran yang baik. 

Thought for the Day - 15th March 2025 (Saturday)

(The five fields in which Samatvam is to be attained) (3) The field of knowledge with its ups and downs: Until the summit of knowledge, wherefrom one experiences the One which has become this vast make-believe, is attained there are many temptations and obstacles that lead the seeker astray. The student is inclined to give up the climb altogether when he feels exhausted or when he feels that he has reached the summit. The Gita defines a Pandit or learned man as a Samadarshi, he who has gained the awareness of the same One in all beings. The Jnani has gained Samatva when he is convinced of the One being the Truth of all and when his thoughts, words and deeds are guided by that conviction. (4) The field of devotion with its ups and downs: Here too there is a great deal of fanaticism, prejudice and persecution, which arise out of ignorance of the One, the sameness of the God whom all adore, through various rites and rituals, modes and methods. There is only One God, and He is Omnipresent! 


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Bhakti Samatva (equanimity in devotion) consists in the realisation of the truth that Easwara pervades the entire universe and that He is everything, the refuge for all.


(Lima bidang pencapaian dari Samatvam) (3) Bidang pengetahuan dengan pasang surutnya: sampai pada puncak pengetahuan yang dari sana seseorang mengalami Tuhan yang telah menjelma menjadi khayalan yang luas ini, ada banyak godaan dan rintangan yang dapat menyesatkan pencari kebenaran ini. Pelajar cendrung menyerah sepenuhnya ketika dia merasa kelelahan atau ketika dia merasa bahwa dia telah mencapai puncak. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang pandit atau orang terpelajar sebagai seorang Samadarshi yaitu dia yang telah mendapatkan kesadaran dimana Tuhan yang sama ada dalam diri semua makhluk. Seorang Jnani telah mencapai Samatva ketika dia yakin bahwa Tuhan adalah kebenaran dari semua dan ketika pikiran, perkataan dan perbuatannya dituntun oleh keyakinan itu. (4) Bidang bhakti (pengabdian) dengan pasang surutnya: dalam bidang ini banyak juga terdapat fanatisme, prasangka dan penganiayaan yang muncul dari ketidaktahuan pada Tuhan, dimana Tuhan yang sama dipuja oleh semua orang dengan berbagai jenis ritual, cara dan metode yang berbeda. Hanya ada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang ada dimana-mana! 


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Bhakti Samatva (ketenangan batin dalam bhakti) terwujud dalam kesadaran kebenaran bahwa Iswara yang meresapi seluruh alam semesta dan bahwa Tuhan adalah segalanya dan tempat berlindung bagi semuanya. 

Thought for the Day - 14th March 2025 (Friday)

Yoga means union, the union of the self with its source. Samatvam Yogam Uchyate (equal-mindedness is what yoga means, says the Gita). We can distinguish five fields in the attainment of this Samatvam: (1) The field of naturally occurring ups and downs (Prakritika): One has to welcome both summer and winter, for they are both essential for the process of living. The alternation of seasons toughens and sweetens us. Birth and death are both natural events. We cannot discover the reason for either birth or death. They simply happen. We try to blame some person or some incident for the injury or loss we suffer, but the real reason is our own karma (action). When the background of the event is known, the impact can be lessened or even negated. (2) The field of social ups and downs: One must welcome with equal-mindedness fame and blame, respect and ridicule, profit and loss, and other such responses and reactions from society in which one grows and struggles. Fortune is as much a challenge to one's equanimity as misfortune! 


- Divine Discourse, Sep 07, 1985.

Balance, that is equipoise in praise or censure, is very important. For balance, skill is necessary. For skill, knowledge is necessary.


Yoga berarti penyatuan, penyatuan dari diri dengan sumbernya. Samatvam Yogam Uchyate (ketenangan batin adalah makna dari yoga, dikatakan dalam Gita). Kita dapat membedakan lima bidang dalam pencapaian dari Samatvam ini: (1) Bidang pasang surut yang terjadi secara alami (Prakritika): seseorang harus menyambut keduanya yaitu musim panas dan musim dingin, karena keduanya adalah bersifat mendasar bagi proses kehidupan. Pergantian musim bersifat menguatkan dan melembutkan kita. Kelahiran dan kematian adalah kejadian yang alami. Kita tidak bisa mengungkapkan alasan dibalik kelahiran dan kematian. Keduanya terjadi secara alami. Kita mencoba untuk menyalahkan beberapa orang atau beberapa kejadian untuk penderitaan atau kehilangan yang kita alami, namun alasan yang sejati adalah _karma_ (perbuatan) kita sendiri. Ketika latar belakang dari kejadian diketahui maka dampak dapat berkurang atau bahkan dihilangkan. (2) bidang pasang surutnya sosial: seseorang harus menyambut dengan ketenangan batin diantara pujian dan makian, penghormatan dan ejekan, keuntungan dan kerugian, serta berbagai respon dan reaksi seperti itu dari masyarakat dimana seseorang tumbuh dan berjuang. Keberuntungan adalah sama besar menantangnya pada ketenangan batin seseorang seperti halnya kesialan! 


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Keseimbangan, yaitu tetap teguh dalam pujian atau cemoohan adalah sangat penting. Untuk mencapai keseimbangan, dibutuhkan ketrampilan. Untuk ketrampilan, dibutuhkan pengetahuan.

Thought for the Day - 13th March 2025 (Thursday)

Those who don't believe in Karma Siddhanta (the theory of karma) today speak about the oneness of mankind. But how do they explain the vast and immeasurable differences among men - differences in abilities, conditions, attitudes and impulses? One is continually sick. Another is hale and hearty. One is always cheerful. Another is continuously miserable. People do not realise that these differences are the results of past karma (action). Karma is the cause of everything that happens. The fruits of one's actions may not be evident immediately, but sooner or later, they are bound to appear. "I shall do this, I shall do that - Vain is this boast, Oh man! As you sow, so shall you reap. As the seed, so will the fruit be (Telugu Poem).” Hence, it is only by doing good deeds can one achieve desirable results. It is for this purpose that the Vedas have laid down in the Karma Kanda (section of Vedas that emphasises on actions performed) the good deeds by which beneficial results can be got.


- Divine Discourse, 17 Maret 1983.

By failing to grasp the nature of karma (action) and not seeking the path of dharma (virtue), man is making himself remote from Brahman (Supreme Being).



Bagi mereka yang tidak percaya pada _Karma Siddhanta_ (teori tentang karma) pada hari ini berbicara tentang kesatuan umat manusia. Namun bagaimana mereka menjelaskan perbedaan yang begitu besar dan tidak bisa diukur diantara manusia – perbedaan dalam kemampuan, keadaan, sikap dan dorongan dari dalam diri? Satu orang selalu sakit. Sedangkan yang lainnya sehat dan bugar. Satu orang yang lain selalu gembira. Sedangkan yang lain selalu dalam keadaan sedih. Manusia tidak menyadari bahwa perbedaan-perbedaan ini adalah hasil atau akibat dari karma (perbuatan) masa lalu. Karma adalah penyebab segala sesuatu yang terjadi. Hasil dari perbuatan seseorang mungkin tidak langsung kelihatan, namun cepat atau lambat, hasil dari perbuatan itu pasti akan muncul. “Aku akan melakukan ini, aku akan melakukan itu – kesombongan ini adalah sia-sia, Oh manusia! Sebagaimana yang engkau tabur maka begitulah yang engkau panen. Sebagaimana benihnya, maka begitulah buah yang dihasilkan (puisi Telugu).” Karena itu, hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik seseorang dapat mendapatkan hasil yang diinginkan. Hanya untuk tujuan ini dimana Weda telah menetapkan dalam Karma Kanda (bagian Weda yang menekankan pada perbuatan yang dilakukan) bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghasilkan hasil yang bermanfaat. 


- Divine Discourse, 17 Maret 1983.

Dengan tidak memahami hakikat dari karma (perbuatan) dan tidak mencari jalan dharma (kebajikan), manusia sedang membuat dirinya sendiri jauh dari Brahman (Tuhan yang tertinggi). 

Thought for the Day - 12th March 2025 (Wednesday)

There are in the world various kinds of subjects for which knowledge is available - knowledge of music, literature, art, sculpture, economics, politics, and the like. All these are only components of worldly knowledge, knowledge relating to the phenomenal world. All worldly knowledge can help to increase one's comforts but will not contribute to his mukti (liberation). However much we may acquire control over material conditions, this will not serve to produce peace of mind or the bliss of the soul. In a sense, the more the worldly knowledge, the less likely one is to have mental peace. Worldly knowledge is no doubt necessary. But it is not the be-all and end-all. Many great kings in the past, who had ruled over vast empires and enjoyed every kind of pleasure, chose at the close of their lives to renounce everything for the sake of realising spiritual peace. Yaddhrushyam tannashyati - "Whatever is perceptible is perishable." In the pursuit of fleeting and impermanent pleasures, we are throwing away the permanent, the unchanging and the real elements in human life.


- Divine Discourse, Mar 17, 1983.

it is very necessary that you recognise that real education means the development of character.



Ada berbagai jenis mata pelajaran dimana ilmu pengetahuan tersedia di dunia, contohnya: ada  pengetahuan musik, kesusastraan, seni, seni patung, ekonomi, politik, dan sejenisnya. Semuanya ini hanyalah komponen dari pengetahuan duniawi, pengetahuan yang terkait dengan dunia fenomenal. Semua pengetahuan duniawi dapat membantu untuk meningkatkan kenyamanan seseorang namun tidak akan memberikan sumbangsih dalam kebebasannya _(mukti)_. Betapapun banyaknya kita mampu mengendalikan kondisi material, hal ini tidak akan menghasilkan kedamaian pikiran dan kebahagiaan jiwa. Dalam artian, semakin banyak pengetahuan duniawi, semakin kecil kemungkinan seseorang memiliki kedamaian batin. Pengetahuan duniawi tidak diragukan memang dibutuhkan. Namun ini bukanlah yang menjadi tujuan akhir. Banyak raja-raja hebat di masa lalu yang telah memerintah kerajaan besar dan menikmati setiap jenis kesenangan, akhirnya memilih di akhir hidupnya untuk melepaskan semuanya untuk tujuan menyadari kedamaian spiritual. _Yaddhrushyam tannashyati_ - "Apapun yang dapat dirasakan akan musnah." Dalam pengejaran kesenangan yang cepat berlalu dan tidak kekal, kita membuang jauh unsur sejati dalam hidup manusia yang bersifat kekal dan tidak berubah.


- Divine Discourse, 17 Maret 1983.

Adalah sangat penting bagi dirimu untuk menyadari bahwa pendidikan yang sejati sama artinya dengan pengembangan karakter. 

Tuesday, March 11, 2025

Thought for the Day - 11th March 2025 (Tuesday)

While taking our food, if we use exciting words, ideas related to those exciting words will sprout in us. The lesson that we should learn is that when we take our bath, when we sit for meditation or when we take our food, we should not think of other activities and other ideas. Too much talk while we take our food will also cause harm to us. We should not give room to any kind of talk when we take our food. With a happy heart and with a sacred word, we must undertake to utter the food prayer (Brahmarpanam mantra) and then take our food. In this way, whatever has been offered to Brahman will become the prasad, which comes to us as a gift of Brahman. The meaning of the verse (aham vaishvanaro… ) is that God Himself, who is in a human form in you, is taking the food. Therefore, this changes our food into food for God. While taking food, we should not be excited, and we should not get into passion, but we should eat very peacefully. Even if we cannot perform japa, tapa or yagas, at least if we take care to see that we eat in this manner, we will develop good ideas.


- Ch 18, Summer Showers 1977.

All the agitation and lack of peace in the world may be traced to our own food habits.



Ketika saat sedang makan, jika kita menggunakan kata-kata yang menarik maka akan muncul gagasan-gagasan yang berhubungan dengan kata-kata menarik itu. Hikmah yang harus kita ambil bahwa ketika kita bernafas, ketika kita duduk meditasi atau ketika kita makan, kita tidak boleh memikirkan aktifitas atau gagasan yang lain. Terlalu banyak bicara pada saat kita makan juga akan merusak diri kita. Kita tidak boleh memberikan ruang pada pembicaraan jenis apapun ketika kita makan. Dengan hati yang senang dan dengan perkataan yang suci, kita harus melantunkan doa sebelum makan (mantra Brahmarpanam) dan baru kita makan. Dengan cara ini, apapun yang dipersembahkan kepada Brahman akan menjadi prasad, yang mana kita terima sebagai berkah dari Brahman. Arti dari sloka (aham vaishvanaro… ) adalah bahwa Tuhan sendiri yang mengambil wujud manusia yaitu dirimu, sedang makan. Maka dari itu, hal ini merubah makanan kita menjadi makanan untuk Tuhan. Pada saat sedang makan, kita tidak boleh bersemangat, dan kita hendaknya tidak terbawa nafsu, namun kita seharusnya makan dengan penuh kedamaian. Sekalipun kita tidak bisa melakukan japa, tapa atau yaga, setidaknya jika kita memperhatikan cara makan kita, kita akan mengembangkan gagasan-gagasan yang baik.


- Ch 18, Wacana Musim Panas 1977.

Segala bentuk keresahan dan kurangnya kedamaian di dunia bisa disebabkan oleh kebiasaan makan kita sendiri. 

Thought for the Day - 10th March 2025 (Monday)

The mind moves only towards the right and the pure, of its own accord; but the senses and the outer world drag it towards the wrong and the impure. The white cloth gets dirty, and when the dirt is removed, it regains its whiteness. Note down all the things for which you cried so far. You will find that you have craved only for paltry things, for momentary distinctions, for fleeting fame; you should cry only for God, for your own cleansing and consummation. You should weep, wailing for the six cobras that sheltered themselves in your mind, poisoning it with their venom: Lust, anger, greed, attachment, pride and malice. Quieten them as the snake charmer does with his swaying flute. The music that can tame them is the singing aloud of the Name of God. And when they are too intoxicated to move and harm, catch them by the neck and pull out their fangs as the charmer does. Thereafter, they can be your playthings; you can handle them as you please. When these are laid low, you will gain equanimity. You will be unaffected by honour or dishonour, profit or loss, joy or grief! 


- Divine Discourse, Mar 26, 1968.

You must be resolute in striving to achieve what you aim at. Only then will your devotion and discipline bear fruit.



Pikiran bergerak hanya menuju ke arah yang benar dan murni, atas kehendaknya sendiri; namun indria dan dunia luar menarik pikiran menuju pada arah yang salah dan tidak murni. Pakaian putih menjadi kotor, dan ketika kotoran itu dihilangkan, maka pakaian itu kembali menjadi putih. Catatlah semua hal yang membuatmu menangis selama ini. Engkau akan mendapatkan bahwa engkau hanya mendambakan hal-hal yang remeh, perbedaan-perbedaan yang sementara, ketenaran yang cepat berlalu; engkau seharusnya hanya menangis untuk Tuhan, untuk pembersihan dan penyempurnaan dirimu sendiri. Engkau harus menangis, meratapi enam ular kobra berbisa yang berlindung di dalam pikiranmu, meracuni pikiranmu dengan racunnya seperti : birahi, amarah, keterikatan, kesombongan dan kedengkian. Tenangkan ular berbisa itu seperti halnya pawang ular yang memainkan serulingnya. Alunan musik yang dapat menjinakkan enam ular itu adalah dengan melantunkan dengan keras nama suci Tuhan. Dan ketika enam ular itu terlalu teler untuk bergerak dan menyakiti, tangkap leher ular itu dan cabut taringnya seperti yang pawang ular lakukan. Setelah itu, ular-ular tersebut bisa menjadi mainanmu; engkau dapat menanganinya seperti yang engkau inginkan. Ketika ular-ular ini direndahkan, engkau akan mendapatkan ketenangan hati. Engkau tidak akan terpengaruh oleh penghormatan atau penghinaan, keuntungan atau kerugian, suka atau duka cita! 


- Divine Discourse, 26 Maret 1968.

Engkau harus bertekad dalam perjuangan untuk mencapai tujuanmu. Hanya dengan demikian bhakti dan disiplinmu akan mendapatkan hasil. 

Thought for the Day - 9th March 2025 (Sunday)

The aspirant must not exult when his happiness is promoted, nor be disheartened when misery becomes his lot. "Thy will, not mine" shall be his constant assertion to himself. Few seekers seek to unravel the intention of God, to tread the path that leads to Him, and to follow the ideals He lays down. They follow their own instincts and judgements and get distress and despair as reward. They are not aware of the sacrilege they commit. They proclaim that God is the inner motivator and that He is present everywhere but behave as if He is absent in places they do not like Him to be. They fritter away precious time in dry discussions and controversies about God. Each one can explore the truth of God and delve into His mystery only as far as their moral, intellectual and mental capacities permit. One can collect from the ocean only as much water as one’s vessel holds. God is immeasurably vast; He is beyond the reach of the most daring imagination! A pupil of a particular standard in school has to study the texts prescribed for pupils of that level of intelligence. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

God can be known only by an intellect that has been cleansed of all traces of attachment and hatred, of egotism and the sense of possession.



Peminat spiritual tidak boleh terlalu merasa bersuka ria ketika kebahagiaannya meningkat, dan tidak boleh juga berkecil hati ketika penderitaan selalu menghampirinya. "Kehendak-Mu dan bukan kehendaku" harus selalu ditanamkan di dalam dirinya. Hanya sedikit pencari spiritual yang berusaha memahami kehendak Tuhan, menapaki jalan yang mengarah pada Tuhan, dan mengikuti ajaran yang Tuhan telah berikan. Sebaliknya, mereka mengikuti naluri dan penilaian mereka sendiri yang mana menuntun pada penderitaan dan keputusasaan sebagai hasilnya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan penghinaan pada ajaran suci. Mereka menyatakan bahwa Tuhan adalah penggerak batin dan Tuhan ada dimana-mana, namun mereka bertingkah laku seolah-olah bahwa Tuhan tidak ada di tempat yang mereka tidak sukai. Mereka membuang-buang waktu yang berharga dalam perdebatan kering dan kontroversi tentang Tuhan. Setiap orang dapat menyelidiki tentang kebenaran Tuhan dan menyelami misteri-Nya hanya sejauh diijinkan oleh kapasitas moral, intelektual dan batin mereka. Seseorang dapat mengumpulkan air dari lautan sebanyak yang bisa ditampung oleh wadahnya. Tuhan adalah luas yang tidak bisa diukur; Tuhan berada di luar jangkauan imajinasi yang paling berani sekalipun! Seorang murid yang berada di kelas tertentu harus belajar pelajaran yang ditentukan untuk murid tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasannya. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

Tuhan hanya dapat diketahui dengan kecerdasan yang telah dibersihkan dari semua jejak keterikatan dan kebencian, egoisme dan rasa kepemilikan. 

Thought for the Day - 8th March 2025 (Saturday)

Do not allow the mind to dwell on the faults and vices of others; it will be contaminated thereby. Fix it on the fairness and virtues of others; it will be sanctified thereby. I know that during moments of emotional frenzy, you set aside your real nature and you indulge in abusing others or wish that they come to harm or exult over their distress. Such evil thoughts get implanted in your own minds and grow wild, leading to distress and dishonour in return in your own life. Why worry about others? Speak to them if you like them. If you do not like them, leave them alone. Why seek faults in them and talk ill of them? To do so is to invite spiritual downfall. Such people lose all the gains they hope to secure by japa, puja, dhyana, or darshan (repetition of the Lord's Name, ritual worship, meditation and divine vision). They will remain bitter despite all these sadhanas (spiritual disciplines), like the bitter gourd which a pilgrim carried with him, intending to make it sweet by dipping it in holy waters. 


- Divine Discourse, Feb 29, 1984.

It is enough if you search and discover one fault of yours - that is better than discovering tens of hundreds of faults in others.



Jangan biarkan pikiran berkutat pada kesalahan dan keburukan orang lain; karena hal itu akan mencemari pikiran. Arahkan pikiran pada kebaikan dan kemuliaan orang lain; hal ini akan menyucikan pikiran. Aku tahu pada saat emosi tidak terkendali, engkau mengesampingkan sifat aslimu dan engkau akan menghina orang lain atau berharap bahwa mereka celaka atau senang melihat penderitaan mereka. Gagasan yang jahat seperti itu tertanam dalam pikiranmu dan tumbuh liar yang mengarah pada penderitaan dan penghinaan bagi dirimu sendiri. Mengapa kita mencemaskan orang lain? Berbicaralah pada mereka jika engkau menyukai mereka. Jika engkau tidak menyukai mereka, biarkan saja. Mengapa mencari kesalahan-kesalahan dalam diri mereka dan membicarakan hal buruk tentang mereka? Itu hanya membawa kejatuhan dalam spiritual. Orang-orang seperti itu kehilangan semua berkah yang seharusnya didapatkan melalui japa, puja, dhyana, atau darshan (pengulangan nama suci Tuhan, ritual, meditasi dan penglihatan ilahi). Mereka akan tetap merasa getir meskipun telah melakukan semua sadhana ini (disiplin spiritual), seperti halnya buah pare yang dibawa oleh seseorang, berharap menjadi manis dengan mencelupkannya ke dalam air suci. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

Adalah cukup bagimu jika engkau menemukan dan menyadari satu kesalahanmu sendiri – hal itu adalah lebih baik daripada mengungkapkan ratusan kesalahan dalam diri orang lain. 

Thought for the Day - 7th March 2025 (Friday)

 Dharma (the code of righteousness) lays down for men a regulatory path. Like the effulgence of the rays of the Sun, Dharma illumines the paths which men should follow for the welfare and progress of society. Among the laws of Dharma, Nyayam (fairness) is the most important. Rectitude means that one should earn his living by just means and be an example to others by fair and just living. Justness consists in making no difference between oneself and others. Whatever may happen to oneself or one's relations, whatever difficulties one may have to face, one should not swerve from the path of rectitude. Justness is like the mariner's compass. In whatever way you put it, the needle will point only towards the North. Similarly, justness reveals the Divinity in man and makes him enjoy the bliss of the Divine. Hence, the ideal human life should be one in which rectitude forms the basis for every action. 


- Divine Discourse, May 14, 1984.

Dharma is the boundary, the limit that intelligence lays down for the passion, emotions, and impulses of man!



Dharma (pedoman kebajikan) menetapkan jalan yang teratur bagi manusia. Seperti halnya kilauan sinar matahari, Dharma menerangi jalan dimana manusia harus ikuti untuk kesejahtraan dan kemajuan masyarakat. Diantara hukum Dharma, Nyayam (keadilan) adalah yang paling penting. Kejujuran berarti bahwa seseorang harus mendapatkan nafkah dalam hidupnya dengan cara yang adil dan menjadi teladan bagi yang lainnya dengan hidup adil dan jujur. Keadilan berarti tidak membedakan diantara dirinya dan orang lain. Apapun yang mungkin terjadi pada dirinya atau keluarga, apapun kesulitan yang seseorang hadapi, maka seseorang tidak boleh menyimpang dari jalan kebenaran. Keadilan adalah seperti Kompas angkatan laut. Kemanapun engkau mengarahkannya, maka jarum dalam kompas hanya menunjuk arah utara. Sama halnya, keadilan mengungkapkan keilahian dalam diri manusia dan membuatnya dapat merasakan kebahagiaan Ilahi. Karena itu, hidup manusia yang ideal adalah dimana kejujuran dijadikan dasar dalam setiap perbuatan. 


- Divine Discourse, 14 Mei 1984.

Dharma adalah batasan, batas yang kecerdasan tetapkan untuk nafsu, emosi dan dorongan dalam diri manusia! 

Thought for the Day - 5th March 2025 (Wednesday)

“Bhaga” means "the One who is the repository of all Divine attributes and is uniquely worthy of adoration." “Ga” refers to "One who has all the excellences and who creates, sustains and reabsorbs everything." The letter “Bha” has two meanings: Sam-bharta and Bharta. Sambharta means, "One who is competent to make Nature the instrument of the creative process." Because He is also competent to sustain what is created, He is called Bharta. “Bha” has other meanings as Shanti (peace), light, effulgence, and illumination. “Ga” means "all-pervasive”. “Van” (Vanthudu in Telugu) means "One who is capable." Hence the term Bhagawan means "the One who is capable of lighting the Divine effulgence, illuminating wisdom and is the Eternal Inner Light of the Soul." Can there be anything greater than earning the love of such an omniscient and omnipotent Lord? There is nothing on earth or beyond it which is equal to Divine Love. To make all endeavour to earn that love is the whole purpose and meaning of human existence. 


- Divine Discourse, Jan 14, 1988.

The love of God is the foremost reward to be attained in human life. It is more precious than all the wealth in the world.



“Bhaga” berarti "Beliau yang merupakan gudangnya semua sifat-sifat Tuhan dan sangat layak untuk dipuja." “Ga” mengacu pada "Beliau yang memiliki semua keunggulan dan yang menciptakan, menjaga dan menyerap kembali segalanya." Huruf “Bha” memiliki dua arti yaitu: Sam-bharta dan Bharta. Sambharta berarti, "Beliau yang membuat alam sebagai sarana dari proses kreatif." Karena Beliau juga yang memiliki kemampuan dalam menjaga segala sesuatu yang diciptakan, Beliau disebut dengan Bharta. “Bha” memiliki makna yang lain sebagai Shanti (kedamaian), cahaya, sinar cahaya, dan menerangi. “Ga” berarti "meliputi semuanya”. “Van” (Vanthudu dalam bahasa Telugu) berarti "Beliau yang mampu." Karena itu istilah Bhagawan berarti "Beliau yang mampu menerangi dengan cahaya Ilahi, menerangi kebijaksanaan dan lentera batin yang bersifat kekal dari jiwa." Dapatkah ada yang lebih agung daripada mendapatkan kasih Tuhan yang maha tahu dan maha kuasa seperti itu? Tidak ada di dunia atau diluar dunia yang sama dengan kasih Tuhan. Untuk melakukan segala usaha agar bisa mendapatkan kasih itu adalah seluruh tujuan dan arti dari keberadaan manusia. 


- Divine Discourse, 14 Januari 1988.

Kasih Tuhan adalah pahala yang paling utama yang harus dicapai dalam hidup manusia. Kasih Tuhan adalah lebih berharga daripada semua kekayaan di dunia. 


Thought for the Day - 4th March 2025 (Tuesday)

Body, mind and spirit - these three together make up Man. If only the body were to be considered, it would be akin to the existence of an animal. The Mind raises man to the human state. The spirit or Atma will elevate him to Divinity. The three are intertwined and interdependent. Each promotes the other. Without the mind, the body cannot decide on any step. Mind and body have to subserve the spirit and become aware of the Atma (Divine Self). Health is very important for a fully moral and disciplined life. The senses and the mind have to be controlled and regulated, so that man can experience the fullness of life. The one who can command oneself will alone have the right to command others. Sense control in Sanskrit is called Dama. This Dama must be evident in every aspect of life while studying, eating, sleeping, playing games etc. This is what is called discipline. Without discipline, no activity can attain its fulfilment. 


- Divine Discourse, Mar 23, 1984.

Removal of immorality is the only way to immortality.



Tubuh, pikiran dan jiwa – ketiganya ini bersama-sama membentuk manusia. Jika hanya tubuh saja yang benar-benar diperhatikan maka itu akan mirip dengan keberadaan binatang. Pikiran mengangkat manusia pada tingkat manusia. Jiwa atau Atma akan mengangkat manusia sampai pada keilahian. Ketiganya ini saling terkait dan saling tergantung. Masing-masing saling mendukung. Tanpa adanya pikiran, tubuh tidak bisa memutuskan langkah apapun. Pikiran dan tubuh harus melayani jiwa dan menjadi sadar pada Atma (Diri Sejati). Kesehatan adalah sangat penting untuk hidup yang penuh moral dan disiplin. Indera dan pikiran harus dikendalikan dan diatur, sehingga manusia dapat mengalami kesempurnaan hidup. Seseorang yang dapat memerintahkan dirinya sendiri maka hanya dialah yang berhak untuk memerintah orang lain. Pengendalian Indera dalam sansekerta disebut dengan Dama. Dama ini harus terlihat dalam berbagai aspek kehidupan seperti belajar, makan, tidur, melakukan permainan, dsb. Hal ini disebut dengan disiplin. Tanpa adanya disiplin, maka tidak ada aktifitas yang dapat mencapai pemenuhannya. 


- Divine Discourse, 23 Maret 1984.

Menghilangkan imoralitas adalah satu-satunya jalan untuk menuju kebadian. 

Thought for the Day - 3rd March 2025 (Monday)

In order to experience Divinity, understand this example. The very nature of mother is love. Mother has a form, but love has no form. Mother herself is the form of love. Due to the presence of the Atmic Principle, you are able to see its reflection in the form of the world. The whole world is nothing but reflection, reaction, and resound. The Atma is the only reality. But man has forgotten the reality and is seeing only the reflection. You cannot have reaction without action; you cannot have resound without sound. Though the Sound is everywhere, you are not able tohear it. Though the Reality is everywhere, you are not able to see it. How will you be able to see it? With unflinching faith and selfless love, think of God continuously. God will certainly manifest before you. Today, man chants the name of God and desires to see Him. But since he lacks steady faith, he is not able to experience Divinity. Man has become blind having lost the two eyes of faith. Faith is most important. 


- Divine Discourse, Sep 30, 1998.

Whatever things of beauty you see in the world are but the reflections of the one source of all beauty - the divine Lord.



Dalam upaya untuk mengalami Tuhan, pahamilah contoh ini. Kualitas alami dari seorang ibu adalah kasih. Ibu memiliki sebuah wujud, namun kasih tidak memiliki wujud. Ibu sendiri adalah wujud dari kasih itu sendiri. Karena adanya kehadiran dari prinsiap Atma maka engkau mampu melihat pantulannya dalam wujud dunia. Seluruh dunia tiada lain hanyalah pantulan, reaksi dan gema. Hanyalah Atma yang merupakan kebenaran. Namun manusia telah melupakan kebenaran itu dan hanya melihat pantulannya saja. Engkau tidak bisa memiliki reaksi tanpa aksi; engkau tidak bisa mendapatkan gema tanpa suara. Walaupun suara ada dimana-mana, engkau tidak bisa mendengarnya. Walaupun kebenaran ada dimana-mana, engkau tidak mampu melihatnya. Bagaimana engkau akan mampu melihatnya? Dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan dan kasih tanpa mementingkan diri sendiri, pikirkan Tuhan secara terus menerus. Tuhan pastinya akan mewujudkan diri-Nya dihadapanmu. Hari ini, manusia melantunkan nama suci Tuhan dan berhasrat untuk melihat-Nya. Namun karena manusia kurang keyakinan yang teguh, manusia tidak mampu mengalami keilahian. Manusia telah menjadi buta karena telah kehilangan dua mata keyakinan. Keyakinan adalah yang paling penting. 


- Divine Discourse, 30 September 1998.

Apapun keindahan yang engkau saksikan di dunia hanyalah pantulan dari satu-satunya sumber semua keindahan – Tuhan. 

Thought for the Day - 1st March 2025 (Saturday)

The four goals laid down by Sai, are those laid down by Vedas. They are Satya, Dharma, Shanti and Prema. Mankind must understand the importance of these four goals, accept them, adore them, and practise them in daily life. Only then can Divinity latent in man shine forth in all its glory. Truth (Satya) is the first ideal. It is realised by sadhana of the tongue. The second, Dharma (righteous living), is realised by the sadhana of the body and its components in relation to society which surrounds man and the objective world which affects him and is affected by him. By his right action and right conduct, man can attain the third goal, Shanti - unaffected poise or peace. This can be won by the discipline of the mind. Satya establishes itself on the tongue through satwik sadhana; Dharma is achieved by the exercise of rajasik (active) regulation; Shanti or peace is the consequence of tamasik withdrawal and even inactivity. But, Prema (love), the fourth goal, is beyond these three modes and beyond thought, word and deed! Divine Love is not easily comprehensible. Prema is God. God is Prema. To consider it as a method of speech, an attitude of mind or as physical behaviour is to sorely demean it. Prema has no trace of selfishness; it is not bound by motives. 


- Divine Discourse, Mar 08, 1981.

The human values can progress and thrive only in a spiritual environment.



Empat tujuan yang ditetapkan oleh Sai, juga ditetapkan dalam Weda. Empat tujuan itu adalah _Satya, Dharma, Shanti dan Prema. Manusia harus mengerti pentingnya keempat tujuan ini dengan menerima, memuliakan dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan demikian keilahian yang terpendam dalam diri manusia dapat bersinar dengan segala kemuliaannya. Kebenaran (Satya) adalah tujuan yang pertama. Kebenaran dapat disadari dengan sadhana dari lidah. Tujuan kedua adalah Dharma (hidup yang benar) yang dapat disadari dengan sadhana dari tubuh dan bagian-bagiannya dalam hubungan kepada masyarakat yang mengelilingi manusia dan dunia objektif yang mempengaruhi dan dipengaruhi olehnya. Melalui perbuatan dan tingkah laku yang benar, manusia dapat mencapai tujuan yang ketiga yaitu Shanti – ketenangan atau kedamaian yang tidak terpengaruh. Hal ini dapat dicapai dengan disiplin dari pikiran. Satya terbentuk pada lidah melalui satwik sadhana; Dharma dicapai dengan praktek aturan yang bersifat aktif (rajasik); Shanti atau kedamaian merupakan konsekuensi dari tamasik yaitu penarikan diri dan bahkan ketidakterlibatan. Namun, Prema (kasih) yang merupakan tujuan keempat adalah melampaui ketiga tujuan tersebut dan melampaui pikiran, perkataan dan perbuatan! Kasih Tuhan bukanlah sesuatu yang mudah dipahami. Prema adalah Tuhan dan Tuhan adalah Prema. Dengan menganggap prema sebagai cara untuk berbicara, sebuah sikap pikiran atau sebuah perilaku fisik sejatinya merendahkan makna sesungguhnya. Prema tidak memiliki jejak dari mementingkan diri sendiri; prema tidak terikat pada motif apapun juga. 


- Divine Discourse, 08 Maret 1981.

Nilai-nilai kemanusiaan dapat berkembang dan tumbuh subur hanya dalam lingkungan spiritual.