Sunday, June 30, 2019

Thought for the Day - 29th June 2019 (Saturday)

When some friends, well-wishers or relatives place a gift-article in our hands, we accept it gladly, though it does not please us, because our acceptance pleases them. When the gift pleases us, our reaction is hearty. We treasure it and are filled with it. Know that God too reacts the same way to what man offers Him. If the offering is tainted, He may accept it in order to satisfy the longing of the devotee. But when the offering pleases Him in its purity and sincerity, He welcomes it and His joy translates itself as abundant grace. So you must introspect, discover and decide on the offering that gives Him delight! Offer Him your love and virtues, with purity and sincerity to receive His blessings and Grace in abundance. Education is a process of culture. Plant healthy and potent seeds in the inner field of your heart, and reap a plentiful harvest of the valuable fruit - the virtues. 


Ketika beberapa teman, sahabat atau kerabat menaruh sebuah hadiah di tangan kita, kita menerimanya dengan senang hati, walaupun hadiah itu tidak menyenangkan kita, karena penerimaan kita dapat menyenangkan mereka. Ketika hadiah itu menyenangkan kita, reaksi kita menjadi sepenuh hati. Kita menghargainya dan diliputi oleh perasaan itu. Ketahuilah bahwa Tuhan juga memberikan reaksi yang sama terhadap apa yang dipersembahkan manusia kepada-Nya. Jika persembahan itu tercemar, Tuhan mungkin menerimanya untuk memuaskan keinginan bhakta. Namun ketika persembahan itu menyenangkan Tuhan dalam kesucian dan ketulusan, Tuhan menerimanya dan suka cita Tuhan diterjemahkan dalam rahmat yang berlimpah. Jadi engkau harus memeriksa ke dalam diri, menemukan dan memutuskan pada persembahan yang membuat Tuhan menjadi senang! Persembahkan Tuhan cinta kasih dan sifat-sifat baikmu, dengan kesucian dan ketulusan untuk menerima rahmat dan karunia-Nya yang melimpah. Pendidikan adalah sebuah proses kebudayaan. Taburlah benih yang sehat dan bagus di ladang hatimu dan panenlah buah yang sangat berguna yaitu sifat-sifat baik. (Divine Discourse, Dec 05, 1985)

-BABA

Thought for the Day - 28th June 2019 (Friday)

Knowledge of the True Self (Atma Jnana) dawns only when you have purity of heart (Chitta Shuddhi). This purity can be achieved only through righteous discharge of all your assigned duties (karmas). The body, the mind and the Atma - all three are inextricably interdependent. When they are separate, life loses its meaning. When the body is submissive to the mind and the mind is controlled by the Atma, life finds fulfilment. When the body alone is predominant, the human descends to the level of the animal. When mind prevails over body and senses, human level is attained. When Atma prevails over mind and body, Divinity is realised. Hence, Geeta recommends a three-step path to Divinity. Engaging the body in good deeds, using the mind to develop good thoughts, and thus becoming qualified to contemplate on God through Upasana (worship)! Continue on the path, you will reach the stage when like a river joining the ocean you will merge in the Divine. 


Pengetahuan tentang Diri Sejati (Atma Jnana) hanya muncul ketika engkau memiliki kesucian di dalam hati (Chitta Shuddhi). Kesucian ini hanya dapat dicapai melalui menjalankan dengan benar dari semua kewajiban yang diemban (karma). Tubuh, pikiran, dan Atma – ketiganya saling tergantung satu dengan yang lainnya. Ketika ketiganya terpisah, kehidupan kehilangan maknanya. Ketika tubuh tunduk pada pikiran dan pikiran dikendalikan oleh Atma, hidup akan mencapai pemenuhan. Ketika hanya tubuh saja yang dominan dan utama, manusia merosot ke tingkat binatang. Ketika pikiran menguasai tubuh dan indera, tingkat manusia bisa dicapai. Ketika Atma menguasai pikiran dan tubuh, keilahian akan dapat disadari. Oleh karena itu, Geeta merekomendasikan tiga langkah menuju keilahian. Menggunakan tubuh dalam perbuatan yang baik, menggunakan pikiran untuk mengembangkan gagasan yang baik, dan dengan demikian memenuhi syarat untuk merenungkan Tuhan melalui Upasana (pemujaan)! Tetap lanjutkan perjalanan, engkau akan mencapai tahap ketika seperti sebuah sungai bergabung dengan lautan dan engkau menyatu dengan Tuhan. (Divine Discourse, Sep 28, 1984)

-BABA

Thursday, June 27, 2019

Thought for the Day - 27th June 2019 (Thursday)

It serves no purpose if you merely acknowledge that the Lord has come but do not yearn to benefit by the Advent. Offer your entire self, your entire life, to Him; then your adoration will transform and transmute you so fast and completely that you and He can be merged into One. He thinks, feels and acts as you do; you think, feel and act as He does. You will be transformed as a rock is transformed by the sculptor into an idol, deserving the worship of generations of sincere men. In the process you will have to bear many a hammer stroke, many a chisel-wound, for He is the sculptor. He is but releasing you from petrification! Offer your heart to the Lord, let the rest of you suffer transformation at His hands. Do not defile time, or the physical sheath, or this life's chance, using them for paltry ends. 


Tidak ada gunanya jika engkau hanya mengakui bahwa Tuhan telah datang namun tidak ingin mendapatkan manfaat dari kedatangan-Nya. Serahkan segenap dirimu, seluruh hidupmu kepada-Nya; kemudian pemujaanmu akan mengubah dirimu dengan cepat dan sepenuhnya sehingga engkau dan Tuhan dapat menyatu dalam kesatuan. Beliau berpikir, merasakan, dan berbuat seperti yang engkau lakukan; engkau berpikir, merasa, dan berbuat seperti yang Beliau lakukan. Engkau akan dirubah seperti halnya batu dirubah oleh pemahat menjadi sebuah arca, mendapatkan kelayakan untuk dipuja oleh generasi manusia yang tulus. Dalam prosesnya engkau harus tahan menanggung banyak pukulan palu, banyak luka pahatan karena Beliau sang pemahat. Beliau hanya melepaskanmu dari ketakutan! Persembahkan hatimu kepada Tuhan, biarkan semua darimu mengalami perubahan di tangan-Nya. Jangan mengotori waktu, atau lapisan fisik, atau kesempatan hidup ini, dan menggunakan semuanya itu untuk tujuan yang sepele. (Divine Discourse, Nov 23, 1968)

-BABA

Thought for the Day - 26th June 2019 (Wednesday)

Without the control of your senses, your spiritual practices (sadhana) will be ineffective; it is like keeping water in a leaky pot! When the tongue craves for some delicacy, assert that you will not cater to its whims. If you persist in giving yourself simple food that is not savoury or hot, but amply sustaining, the tongue may squirm for a few days, but it will soon welcome it. That is the way to subdue it and overcome the evil consequences of it being your master. Since the tongue is equally insistent on scandal and lascivious talk, you must curb that tendency also. Talk little, talk sweetly, and talk only when there is a pressing need. Also, talk only to those to whom you must, and do not shout or raise the voice in anger or excitement. Such control will improve health and mental peace. It will lead to better public relations and less involvement in contacts and conflicts with others. 


Tanpa mengendalikan indriamu, latihan spiritualmu (Sadhana) akan menjadi tidak efektif; ini dapat diibaratkan seperti menyimpan air di dalam wadah yang bocor! Ketika lidah sangat menginginkan makanan yang lezat, tegaskan bahwa engkau tidak akan memenuhi keinginannya. Jika engkau bertahan memberikan dirimu dengan makanan yang sederhana yang tidak gurih atau pedas, namun tetap bertahan, lidah mungkin menggeliat selama beberapa hari, namun lidah segera akan menerimanya. Itulah caranya untuk menundukkannya dan mengatasi kecenderungan jahat darinya saat menjadi majikanmu. Karena lidah secara terus menerus terlibat dalam pembicaraan tentang skandal dan omong kosong, maka engkau harus mengekang kecenderungan ini juga. Berbicaralah sedikit dan hanya berbicara ketika sangat diperlukan. Berbicaralah pada mereka yang harus engkau ajak bicara, dan jangan membentak atau menaikkan suaramu dalam amarah dan suka cita. Pengendalian seperti itu akan meningkatkan kesehatan dan kedamaian batin. Ini akan menuntun pada hubungan masyarakat yang lebih baik dan mengurangi terlibat dalam kontak dan konflik dengan yang lain. (Divine Discourse, Nov 23, 1968)

-BABA

Thought for the Day - 25th June 2019 (Tuesday)

You have to read the newspaper to know how mad and foolish the world is; how futile is heroism and how momentary the glory. And after reviewing the information it conveys, you throw it aside; it is now a tasteless waste. So too, you should live but once; live such that you are born but once. Do not fall in love with the world so much that your false fascination brings you again and again into this delusive amalgam of joy and grief. Unless you stand back a little, away from entanglement with the world, knowing that it is all a play whose director is God, you are in danger of being too closely involved. Use the world as a training ground for sacrifice, service, expansion of the heart, and cleansing of the emotions. That is the only value it has. 


Engkau harus membaca surat kabar untuk mengetahui betapa gila dan bodohnya dunia ini; betapa sia-sianya kepahlawanan dan betapa sesaatnya kejayaan itu. Dan setelah meninjau informasi yang disampaikan, kemudian engkau akan membuangnya; sekarang surat kabar itu menjadi sampah yang tidak berguna. Begitu juga, engkau seharusnya hidup untuk sekali; hiduplah seperti itu sehingga engkau lahir untuk sekali. Jangan jatuh cinta dengan dunia begitu besar dimana pesona palsu akan menyebabkanmu berulang kali ke dalam campuran khayal dari suka dan duka cita. Kecuali engkau mundur sedikit menjauh dari keterikatan dengan dunia, mengetahui bahwa itu semua adalah permainan dimana Tuhan adalah sutradaranya, engkau dalam bahaya jika terlibat terlalu dekat. Gunakan dunia sebagai tempat latihan untuk berkorban, memperluas hati, dan membersihkan emosi. Itu adalah satu-satunya nilai yang dimiliki. (Divine Discourse, Mar 28, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 24th June 2019 (Monday)

During bhajans, all those singing in chorus have to maintain the same tune. Discordant singing will jar on the ears. Singing in unison in bhajans is a form of discipline. Similarly, in sports and games, you have an umpire to enforce the rules of the game. Every player has to observe the rules strictly. Sometimes while playing, in their enthusiasm, the players fail to observe the rules. The umpire, however, sees to it that the rules are enforced and the players obey him implicitly. Any player who does not obey will be violating the rules of the game. Today it is because people do not observe the rules, whether in sports or elsewhere, that life has become intolerable. Some people hold positions of authority in business, in administration or in other institutions. Here also discipline is very essential! Just because you hold an office of power or authority, you should not behave as you wish, disrespecting the rules! 


Selama bhajan, semua yang bernyanyi dalam paduan suara harus mempertahankan nada yang sama. Nyanyian sumbang akan terdengar kurang enak di telinga. Bernyanyi serempak dalam bhajan adalah bentuk disiplin. Demikian pula, dalam olahraga dan permainan, engkau memiliki wasit untuk menegakkan aturan permainan. Setiap pemain harus mematuhi aturan dengan ketat. Terkadang saat bermain, dalam antusiasme mereka, para pemain gagal mematuhi aturan. Wasit, bagaimanapun, memastikan bahwa aturan ditegakkan dan para pemain mematuhinya secara implisit. Setiap pemain yang tidak mematuhi akan melanggar aturan permainan. Saat ini karena orang tidak mematuhi peraturan, baik dalam olahraga atau di tempat lain, hidup menjadi amat berat. Beberapa orang memegang posisi otoritas dalam bisnis, administrasi, atau di lembaga lain. Disinilah disiplin juga sangat penting! Hanya karena engkau memegang kekuasaan atau otoritas di kantor, engkau tidak boleh berperilaku seperti yang engkau inginkan, tidak menghormati aturan! (Divine Discourse, Jun 19, 1996)

-BABA

Monday, June 24, 2019

Thought for the Day - 23rd June 2019 (Sunday)

You must cultivate love towards every one, however distinct the character and capacity of each may be. Though the same blood flows through the entire body, the eye cannot smell, the ear cannot taste, and the nose cannot see; do not over-emphasise the distinctions and quarrel. Emphasise the basic brotherhood and love. As sugar that has dissolved in the cup of water is invisible, but can be experienced by the tongue in every drop, so too the Divine is invisible but immanent; capable of being experienced, in every individual, whether he is at the bottom or on top. Do Namasmarana (repeated remembrance of the Lord) and taste the sweetness that is in the heart of every one; dwell on His glory and His compassion which those names signify. Then, it will be easier for you to visualise Him in all, to love Him in all, and to adore Him in all.


Engkau harus meningkatkan kasih sayang kepada setiap orang, betapapun perbedaan karakter dan kapasitas masing-masing. Walaupun darah yang sama mengalir dalam seluruh tubuh, mata tidak bisa mencium, telinga tidak bisa merasakan dan hidung tidak bisa melihat; jangan terlalu menekankan perbedaan dan pertikaian. Tekankan pada persaudaraan yang mendasar dan cinta kasih. Seperti halnya gula yang larut dalam secangkir air adalah tidak terlihat, namun dapat dirasakan oleh lidah dalam setiap tetesnya, begitu juga Tuhan adalah tidak bisa dilihat namun tetap ada; dapat dialami, dalam setiap individu, apakah di bagian atas atau di bagian bawah. Lakukan Namasmarana (mengulang-ulang nama Tuhan) dan rasakan rasa manis yang ada di dalam hati setiap orang; tinggallah dalam kemuliaan-Nya dan welas asih-Nya yang menandakan nama-nama itu. Kemudian, akan memudahkan bagimu untuk membayangkan Tuhan dalam semuanya, mengasihi Tuhan dalam semuanya dan memuliakan Tuhan dalam semuanya. (Divine Discourse, Jul 31, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 22nd June 2019 (Saturday)

The rulers who frame and foster the educational system of the country are responsible for the discontent, disillusionment and consequent delinquencies and disturbances of the students. They pay attention only to the physical and intellectual training of the youth; they forget that attention must also be paid to mental, moral and spiritual development, so that an integrated personality can emerge. Now, a child is put to school so that years later he may get a cushy job! Schooling is thought to be for gaining a living, not for gaining the ultimate in life. Nowhere the youth are trained to earn shanti (equanimity, peace); everywhere, the aim is a comfortable life. The search for comfort, riches, fame, power over others - these make one so egoistic that one is a danger to oneself and others. The only safe path is to seek bliss within oneself, not in or through others. There is great joy awaiting the person who radiates compassion, truth, patience, humility, reverence and piety.


Para penguasa yang menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan adalah yang bertanggung jawab untuk ketidakpuasan, kekecewaan, dan akibat dari kenakalan dan gangguan pada pelajar. Penguasa hanya memberikan perhatian pada pelatihan fisik dan intelektual pada pemuda; mereka lupa perhatian juga harus diberikan untuk mental, moral, dan perkembangan spiritual, sehingga dapat muncul kepribadian yang terintegrasi. Sekarang, seorang anak ditaruh di sekolah sehingga pada tahun berikutnya anak ini bisa mendapatkan pekerjaan yang enak! Sekolah dianggap sebagai untuk mencari nafkah, dan bukan untuk mendapatkan hal yang mendasar dalam hidup. Tidak ada tempat dimana para pemuda dilatih untuk mendapatkan shanti (ketenangan, kedamaian); dimana saja tujuannya adalah hidup yang nyaman. Pencarian untuk kenyamanan, kekayaan, ketenaran, kekuasaan atas yang lainnya – hal-hal ini membuat seseorang menjadi sangat egois yang membuatnya berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Satu-satunya jalan yang aman adalah mencari kebahagiaan di dalam diri sendiri, dan bukan atau melalui orang lain. Ada sebuah suka cita yang besar menunggu orang-orang yang memancarkan welas asih, kebenaran, kesabaran, kerendahan hati, rasa hormat, dan kesalehan. (Divine Discourse, Jul 30, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 21st June 2019 (Friday)

Embodiments of love! Discipline is very vital, it is as important as the spinal column for a human-being. Discipline means the observance of certain well-defined rules and regulations. Without such regulation, it is not possible to maintain humanness; mankind will be ruined. Discipline cannot be acquired from books. Nor can it be learnt from teachers. It must become a natural component of your daily living in the discharge of your duties. Discipline is essential from the moment of waking to the time of going to sleep. It is essential for every group, for every society and for every institution. It is a basic insignia of social life. You must observe discipline in speech, in sports and in every kind of relationship. Whoever you may be, you cannot afford to be free with your tongue. While speaking and writing, you must be thoughtful of the future implications of your words and observe restraint. Your discipline will protect you in everything you do.


Perwujudan kasih! Disiplin adalah sangat vital, dan sama pentingnya dengan tulang belakang bagi manusia. Disiplin berarti mematuhi pada ketetapan aturan tertentu yang didefinisikan dengan baik. Tanpa adanya peraturan seperti itu, adalah tidak mungkin untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan; umat manusia akan hancur. Disiplin tidak bisa didapat melalui buku. Dan tidak juga dapat dipelajari dari guru. Ini harus menjadi sebuah komponen yang alami dari kehidupanmu sehari-hari dalam menjalankan kewajibanmu. Disiplin adalah mendasar dari saat bangun sampai saat akan kembali tidur. Disiplin sangat mendasar bagi setiap kelompok, untuk setiap masyarakat dan untuk setiap institusi. Disiplin adalah lambang dasar dari kehidupan sosial. Engkau harus mengikuti disiplin dalam berbicara, dalam olahraga dan dalam setiap bentuk hubungan. Siapapun dirimu, engkau tidak bisa bebas dengan lidahmu. Saat berbicara dan menulis, engkau harus penuh kesadaran akan dampaknya yang akan datang dari perkataanmu dan melakukan pengendalian diri. Disiplinmu akan melindungimu dalam segala apapun yang engkau lakukan. (Divine Discourse, Jun 19, 1996)

-BABA

Thursday, June 20, 2019

Thought for the Day - 20th June 2019 (Thursday)

Parents, teachers and leaders are inflaming the passions of young minds and encouraging them to indulge in violent thoughts and deeds. The very people who preach the message of peace, of child education and harp on love, harmony and mutual cooperation, and elaborate the principles of social progress and national uplift are undermining these hopes by their living examples! Children do not say one thing and do the opposite. They are very straight forward and innocent. Elders must imbibe this nature now from them, for many have strayed far from that ideal! Our culture emphasises humility, sincerity and unity as the best cure for emotional errors. More than the pursuit of luxurious life or competitive comfort, the acquisition of wealth or power, which are all liable to quick decline, the ideal of simple living and high thinking laid down by the sages of India will lead to happy lives and greater social peace.


Orang tua, guru, dan para pemimpin mengobarkan semangat pada pikiran anak-anak muda dan mendorong mereka untuk terlibat dalam pikiran dan perbuatan kekerasan. Orang-orang yang ceramah tentang kedamaian, pendidikan anak-anak, dan berbicara berulang-ulang tentang kasih, keharmonisan serta saling kerjasama, dan menguraikan prinsip-prinsip kemajuan sosial dan nasional sedang merusak harapan-harapan ini dengan contoh hidup mereka! Anak-anak tidak mengatakan satu hal dan melakukan yang lainnya. Mereka benar-benar jujur dan lugu. Para orang tua harus meresapi sifat ini sekarang dari anak-anak, karena banyak dari orang tua yang telah tersesat jauh dari ideal itu! Kebudayaan kita menekankan kerendahan hati, ketulusan, dan persatuan sebagai penyembuhan terbaik untuk gangguan emosional. Lebih daripada pengejaran kehidupan yang mewah atau kenyamanan yang kompetitif, pengumpulan kekayaan atau kekuasaan, yang mana semuanya itu dengan cepat merosot, ideal dari hidup sederhana, dan berpikiran maju telah diberikan oleh para orang suci di India yang akan menuntun pada hidup yang bahagia dan kedamaian sosial yang lebih besar. (Divine Discourse, Mar 31, 1975)

-BABA

Wednesday, June 19, 2019

Thought for the Day - 19th June 2019 (Wednesday)

Starting with self-confidence, get to self-satisfaction and then, self-sacrifice, and finally, self-realisation. The ultimate step of self-realisation begins with self-confidence as the basis. You must therefore develop confidence in your own self. Without developing self-confidence, if all the time you are thinking of some power being with someone else, when are ‘you’ going to acquire the requisite power and confidence to reach your goal? Peace and bliss are within you - they are not something external to you. You may think, going to the Himalayas will give you peace. Yes, your body may go to Himalayas; but what about your mind? If it is left behind in the city, how are you going to get peace? Similarly, you may have brought your body to Puttaparthi, but if you still have the same habits that you are used to in the past, what is the use? Body is not the essential thing. The transformation, the change should come in your mind.


Mulai dengan kepercayaan diri, kemudian mendapatkan kepuasan diri, dan selanjutnya adalah pengorbanan diri, dan akhirnya kesadaran diri. Langkah terakhir dari kesadaran diri dimulai dengan kepercayaan diri sebagai dasarnya. Maka dari itu engkau harus mengembangkan kepercayaan pada dirimu sendiri. Tanpa mengembangkan kepercayaan diri, jika sepanjang waktu engkau memikirkan suatu kekuatan ada pada orang lain, kapan engkau akan memperoleh kekuatan yang diperlukan dan kepercayaan diri untuk mencapai tujuanmu? Kedamaian dan kebahagiaan ada di dalam dirimu – keduanya itu bukanlah sesuatu yang ada di luar dirimu. Engkau mungkin saja berpikir bahwa dengan pergi ke Himalaya akan memberikanmu kedamaian. Ya, badanmu mungkin pergi ke Himalaya; namun bagaimana dengan pikiranmu? Jika pikiranmu tertinggal di kota, bagaimana engkau akan mendapatkan kedamaian? Sama halnya, engkau mungkin membawa tubuhmu ke Puttaparthi, namun jika engkau masih memiliki kebiasaan yang sama yang engkau lakukan di masa lalu, apa gunanya? Tubuh bukanlah hal yang paling mendasar. Perubahan harus terjadi di dalam pikiranmu. (Divine Discourse, Mar 28, 1975)

-BABA

Thought for the Day - 18th June 2019 (Tuesday)

Many think that concentration is the same as meditation and take to the wrong path. Concentration is below your senses, whereas meditation is above your senses. We use concentration involuntarily in our daily, normal routine life. When concentration is part and parcel of our daily life, why then do we need to practice it? What we have to practice is that which is beyond these normal senses. We must rise from being below the senses (that is the state of concentration) to the senses (the middle position called contemplation); and from there we must rise above the senses, which is called meditation. Between concentration and meditation there is an area which covers both and that is contemplation. To be in that area of contemplation is to free yourself of routine attachments of the world. When you have completely broken away all your attachments, you break through this area of contemplation and you get into the area of meditation.


Banyak orang yang berpikir bahwa konsentrasi adalah sama dengan meditasi dan mengambil jalan yang salah. Konsentrasi adalah dibawah inderamu, sedangkan meditasi adalah ada diatas inderamu. Kita menggunakan konsentrasi tanpa sadar dalam kehidupan sehari-hari kita, kehidupan normal rutin. Ketika konsentrasi adalah bagian hakiki dari kehidupan kita sehari-hari, mengapa kemudian kita perlu untuk mempraktikkannya? Apa yang harus kita praktikkan adalah yang melampaui indera yang normal ini. Kita harus bangkit dari yang ada di bawah indera (itu adalah tahapan konsentrasi) menuju pada indera (bagian tengah yang disebut dengan kontemplasi); dan dari bagian sana kita harus bangkit diatas indera, yang disebut dengan meditasi. Diantara konsentrasi dan meditasi ada area yang mencakup keduanya dan itu adalah kontemplasi. Untuk bisa ada di area kontemplasi itu adalah dengan membebaskan dirimu dari keterikatan rutin dunia. Ketika engkau telah sepenuhnya melepaskan keterikatanmu, engkau menerobos area kontemplasi dan engkau memasuki area meditasi. (Divine Discourse, Mar 28, 1975)

-BABA

Thought for the Day - 17th June 2019 (Monday)

An able monarch will have his ministers under control; he will direct them along proper lines and maintain the peace and security of the kingdom. On the other hand, a monarch who allows himself to be controlled by the ministers does not deserve the throne; he is spurned and disgraced. His kingdom has no peace and security. The mind is the monarch in you, the senses are the ministers. It is the slave of its servants and so, the realm has no peace. Every Sadhaka (spiritual aspirant) who aspires to achieve the expression and expansion of the Divine in oneself has therefore to earn mastery over the senses. That is the first step. The next one is the conquest of the mind. The third is uprooting the Vasanas (innate tendencies), and the fourth, attainment of Jnana (spiritual wisdom). The branches are the senses, the trunk is the mind and the roots are the innate tendencies. All three have to be overcome and destroyed, so that the awareness of the Atmic Reality can be gained.


Seorang raja yang terampil akan membuat para menterinya terkendali; sang raja akan mengarahkan para menteri sepanjang jalan yang tepat dan menjaga kedamaian serta keamanan kerajaan. Sebaliknya, seorang raja yang membiarkan dirinya dikendalikan oleh para menterinya tidak layak untuk tahta; dia ditolak dan direndahkan. Kerajaannya tidak memiliki kedamaian dan keamanan. Pikiran adalah raja dalam dirimu, indria adalah para menterinya. Ini merupakan budak dari pelayannya maka dari itu tidak ada kedamaian. Setiap Sadhaka (peminat spiritual) yang menginginkan untuk mencapai perasaan dan pengembangan keilahian dalam diri seseorang harus menguasai indera. Itu adalah langkah awal. Langkah berikutnya adalah menaklukkan pikiran. Langkah yang ketiga adalah mencabut Vasanas (kecenderungan dalam diri), dan langkah keempat adalah pencapaian Jnana (kebijaksanaan spiritual). Dahan-dahan itu adalah indera, ranting adalah pikiran, dan akar adalah kecenderungan dalam diri. Semua ketiganya itu harus diatasi dan dihancurkan, sehingga kesadaran kenyataan Atma dapat dicapai. (Divine Discourse, May 6, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 16th June 2019 (Sunday)

If someone says Sai Baba's powers have been given to so and so, you run to that person. Sai Baba's powers are such that they are not given to anybody else. Nobody has the ability to take powers from Sai Baba, nor the ability to give them to someone else. Sai Baba's powers are not given like that, and you should not be led astray by such statements. Each one's power is within him or her; it is not possible to give such power to another person. In this manner, by allowing a weak mind to take control over us, if we begin running from place to place, when are we going to get strength of mind, and control our own mind? We must be able to follow one thought, one path. One does not have to go around the world and spend a lot of money searching for spiritual powers. Be in your own house, develop it in yourself, such spiritual power is in you! You don't have to run for it here and there. God is not external, God is not outside you - God is inside you.


Jika seseorang mengatakan kekuatan Sai Baba telah diberikan untuk ini dan itu dan engkau langsung berlari menuju orang tersebut. Kekuatan Sai Baba tidak diberikan kepada orang lain. Tidak ada seorangpun memiliki kemampuan mengambil kekuatan dari Sai Baba, dan tidak juga memiliki kemampuan untuk memberikannya kepada orang lain. Kekuatan Sai Baba tidak diberikan seperti itu, dan engkau seharusnya tidak disesatkan oleh pernyataan yang seperti itu. Kekuatan masing-masing ada di dalam dirinya; adalah tidak mungkin untuk memberikan kekuatan itu kepada orang lain. Dalam hal ini, dengan mengizinkan pikiran yang lemah untuk memegang kendali pada diri kita, jika kita mulai berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, kapan kita akan mendapatkan kekuatan pikiran dan memegang kendali pada pikiran kita sendiri? Kita harus mampu untuk mengikuti satu pikiran dan satu jalan. Seseorang seharusnya tidak berkeliling dunia dan menghabiskan banyak uang untuk mencari kekuatan spiritual. Tetaplah tinggal di dalam rumah, kembangkan ini di dalam dirimu sendiri, kekuatan spiritual yang seperti itu ada di dalam dirimu! Engkau tidak perlu mengejarnya kemana-mana. Tuhan tidak bersifat external, Tuhan tidak ada di luar diri, - Tuhan ada di dalam dirimu. (Divine Discourse, Mar 28, 1975)

-BABA

Thought for the Day - 15th June 2019 (Saturday)

The years of life allotted to man as a result of the enormous amount of merit earned and accumulated through many lives in the past, have to be utilised for the purpose of rising higher into Divinity. Riches decline only when spent, but life is, in its own course, being clipped short every moment. Even when we sleep, unconcerned, every minute makes us older, takes us nearer the grave. In order to direct time into useful channels, life has to be regulated and limited, habits have to be sublimated, harmful tendencies have to be corrected and constructive attitudes fostered. A disciplined life is the best offering you can make to the country or to the Divine in you. So each of you must accept the ideal after analysing its implications and being convinced of its validity. Animal instincts and impulses have persisted in human nature as vestiges, and it is only when their upsurge is controlled and gradually eliminated, that the springs of Divinity can manifest themselves.


Tahun-tahun kehidupan yang diberikan kepada manusia sebagai hasil dari sejumlah besar pahala yang diperoleh dan diakumulasikan melalui beberapa kehidupan di masa lalu, harus dimanfaatkan untuk tujuan naik lebih tinggi ke Divinity. Kekayaan menurun hanya ketika dihabiskan, tetapi hidup, dalam perjalanannya sendiri, terpotong setiap saat. Bahkan ketika kita tidur, tidak peduli, setiap menit membuat kita lebih tua, membawa kita lebih dekat ke kuburan. Untuk mengarahkan waktu ke saluran yang bermanfaat, kehidupan harus diatur dan dibatasi, kebiasaan harus disublimasikan, kecenderungan berbahaya harus diperbaiki, dan dikembangkan sikap konstruktif. Kehidupan yang disiplin adalah persembahan terbaik yang dapat engkau lakukan untuk negara atau keilahian di dalam dirimu. Jadi masing-masing dari engkau harus menerima yang ideal setelah menganalisis implikasinya dan diyakinkan akan validitasnya. Naluri dan dorongan hati binatang telah bertahan dalam sifat manusia sebagai sisa-sisa, dan hanya ketika kebangkitan mereka dikendalikan dan secara bertahap dihilangkan, bahwa sumber Ketuhanan dapat memanifestasikan dirinya. (Divine Discourse, Aug 17, 1977)

-BABA

Friday, June 14, 2019

Thought for the Day - 14th June 2019 (Friday)

The company one keeps determines one's character; a person tries to join the group where one can freely express one’s innate nature. Man, by nature, is prone to cater to the desires that arise within or the urges that are prompted from without. Very often these are deleterious. So people ruin themselves by giving them the chance to overpower their personality. Consider the influence that good association can exert. A length of string is a worthless piece - none adores it or consider it useful. But when it associates itself with a few fragrant flowers, then women decorate their hair with those flowers and devotees place the garland on idols they adore. A block of stone in a public square is neglected and abused. But when the stone receives the company of a sculptor, it is transformed into a charming statue of God and installed in a temple to receive the homage of thousands. So satsang (holy company) is very important to grow morally and spiritually.


Pergaulan yang seseorang ikuti menentukan karakternya; seseorang mencoba bergabung dalam sebuah pergaulan dimana dia dengan bebas bisa mengungkapkan sifat sejati pembawaan lahirnya. Manusia secara alami cenderung untuk memenuhi keinginan yang muncul dari dalam diri atau dorongan dari luar. Sangat sering keinginan-keinginan ini bersifat mengganggu. Jadi manusia merusak dirinya sendiri dengan memberikan keinginan tersebut kesempatan dalam mengalahkan kepribadian mereka. Pertimbangan pengaruh yang dapat diberikan oleh pergaulan yang baik. Sebuah benang yang panjang adalah tidak berharga – tidak ada yang memujanya atau menganggapnya bermanfaat. Namun ketika benang itu dikaitkan dengan bunga yang wangi, maka para wanita menghias rambutnya dengan bunga-bunga tersebut serta bhakta menaruh kalung bunga itu (garland) di arca suci yang mereka puja. Sebongkah batu besar di lapangan akan diabaikan dan disalahgunakan. Namun ketika batu mendapatkan sentuhan dari pemahat, maka batu itu berubah menjadi wujud Tuhan yang indah serta ditempatkan di tempat suci dan menerima penghormatan dari ribuan orang. Jadi satsang (pergaulan suci) adalah sangat penting untuk bertumbuh dalam moral dan spiritual. (Divine Discourse, Aug 17, 1977)

-BABA

Thought for the Day - 13th June 2019 (Thursday)

You must constantly strive to get rid of evil tendencies. Trace, identify and give up inherited evil traits rooted in the mind. Of these traits, the worst are hatred and envy. They arise from intense selfishness. These are animal qualities and should not find place in a human being. As these traits make their appearance regularly, you should cast them off immediately. This calls for continuous internal yajna, as against the external yajna which is performed only once a year at one particular place. The internal yajna must be performed at all times, in all places and under all circumstances. Whenever an evil thought or desire occurs, it should be mercilessly scotched. It is only by constant vigilance and continuous endeavour that Divine grace can be earned. Only when evil traits are banished can Divinity manifest itself in all its glory.


Engkau harus dengan tanpa henti berusaha untuk melepaskan kecenderungan-kecenderungan jahat. Telusuri, identifikasi, dan lepaskan warisan sifat-sifat jahat yang berakar di dalam pikiran. Dari semua sifat jahat ini, yang paling jahat adalah kebencian dan iri hati. Keduanya muncul dari sifat mementingkan diri sendiri yang kuat. Keduanya ini adalah sifat-sifat binatang dan seharusnya tidak mendapatkan tempat dalam diri manusia. Ketika kedua sifat ini muncul secara teratur maka engkau seharusnya membuangnya segera. Panggilan ini adalah untuk Yajna internal yang berkelanjutan, sebagai kebalikan dari Yajna di luar diri yang hanya dilakukan sekali dalam setahun di tempat tertentu saja. Yajna yang bersifat internal harus dilakukan sepanjang waktu, di semua tempat, dan dalam segala keadaan. Kapanpun pikiran jahat atau keinginan muncul, maka harus dilenyapkan tanpa ampun. Hanya dengan kewaspadaan dan usaha terus-menerus maka rahmat Tuhan dapat diperoleh. Hanya ketika sifat-sifat jahat dihilangkan maka sifat keilahian dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala kemuliaan. (Divine Discourse, Oct 10, 1983)

-BABA

Wednesday, June 12, 2019

Thought for the Day - 12th June 2019 (Wednesday)

Birth as human is the final stage in the upward evolution of the 840,000 species of living beings. In previous lives, one may have been an insect, worm, bird or an animal and are perhaps now displaying those traits despite the presence of the divine qualities. For example, pride is not an innate human quality; it’s the natural trait of a buffalo. If you display pride, ask yourself, were you a buffalo in a previous life and are unable to shed this inherited quality? Some exhibit stupid stubbornness, which is a sheep’s quality, not a human trait. Sometimes some indulge in petty thefts, akin to a cat. Similarly, the vacillating and fickle nature displayed reminds a previous life as a monkey. Some are incurably ungrateful; indulge even in harming those who help them. The serpent is notorious, for emitting poison even when fed with milk. Isn’t it high time that you truly introspect within and promote beneficial human values in you?


Kelahiran sebagai manusia adalah tahapan akhir dalam evolusi menaik dari 840.000 spesies makhluk hidup. Dalam kehidupan sebelumnya, seseorang mungkin lahir sebagai serangga, cacing, unggas, atau binatang dan mungkin sekarang sedang memperlihatkan sifat-sifat tersebut walaupun kehadiran sifat-sifat Tuhan. Sebagai contoh, kesombongan bukanlah sifat bawaan dari manusia; sifat ini adalah sifat bawaan dari kerbau. Jika engkau memperlihatkan kesombongan, tanyakan pada dirimu sendiri, apakah engkau kerbau pada kehidupan sebelumnya dan tidak mampu melepaskan sifat bawaan ini? Beberapa orang lainnya memperlihatkan sifat keras kepala yang bodoh, yang merupakan sifat dari domba, dan bukan sifat dari manusia. Kadang-kadang beberapa orang terlibat dalam pencurian kecil-kecilan, seperti halnya kucing. Sama halnya, sifat bimbang memperlihatkan serta mengingatkan kehidupan sebelumnya sebagai seekor monyet. Beberapa yang lainnya tidak tahu terima kasih yang tidak tersembuhkan; bahkan menyakiti mereka yang menolongnya. Ular itu terkenal jahat, karena memberikan racun bahkan ketika diberikan makan dengan susu. Bukankah sudah saatnya engkau benar-benar introspeksi ke dalam diri dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam dirimu? (Divine Discourse, Oct 10, 1983)

-BABA

Tuesday, June 11, 2019

Thought for the Day - 11th June 2019 (Tuesday)

Attachment to the body complex implies accumulation and acquisition of things that cater to its needs and greed. Accumulation promotes exploitation, it cannot win Grace. It has no limit! Can a lake be filled with a drizzle? Can live cinders be secured by burning of blades of grass? Thirst increases with each gulp. It always asks for more. Accumulation of things or scholarship or fame can yield no good, unless what is acquired is put to practical use for oneself and others. The wisdom to recognise that the body that you believe in, is in fact only an instrument wielded by you, has to dawn in you. That is the first step to the higher spiritual consciousness. How can renunciation and non-attachment result in joy, one may ask. Discard the sense of egotism while engaged in activity; discard, while experiencing any emotion or reaction, the feeling of being a partaker - then, one can be ever in joy. Then the Bhogi (enjoyer) transforms into a Yogi (spiritually advanced person).


Keterikatan pada tubuh jasmani menandakan penimbunan dan pencarian benda-benda dalam memenuhi kebutuhan dan ketamakannya. Penimbunan mengarah pada eksploitasi dan ini tidak akan bisa mendapatkan rahmat Tuhan karena hal ini tidak memiliki batas! Dapatkah sebuah danau diisi dengan gerimis hujan? Dapatkah arang hidup hanya dengan membakar rumput? Rasa haus bertambah dalam setiap tegukan dan akan selalu meminta lebih banyak. Pengumpulan benda-benda atau kepintaran atau ketenaran tidak dapat menghasilkan yang baik, hanya jika apa yang diperoleh dapat digunakan dan berguna untuk diri sendiri dan yang lainnya. Kebijaksanaan untuk menyadari bahwa tubuh jasmani yang engkau percayai sebagai dirimu sendiri, kenyataannya hanyalah sebuah alat yang dapat engkau manfaatkan, harus mulai jelas dalam dirimu. Itu adalah langkah awal untuk kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Bagaimana bisa pengendalian diri dan tanpa keterikatan menghasilkan suka cita, seseorang mungkin bertanya. Buang rasa egois saat melakukan kegiatan; buang, saat mengalami emosi atau reaksi apapun, perasaan menjadi bagian – kemudian, seseorang dapat selamanya dalam suka cita. Selanjutnya Bhogi (penikmat) berubah menjadi seorang Yogi (seseorang berkembang dalam spiritual). (Divine Discourse, Apr 21, 1983)

-BABA

Monday, June 10, 2019

Thought for the Day - 10th June 2019 (Monday)

The seed of Divinity must be fostered by human effort and steady care to blossom and fructify. Remove from your mind all traces of desire to harm others, in thought, word and deed. The result of indulging in such temporarily satisfying behavior to cause harm is disastrous. Each such thought is a seed, a wild weed planted in your own mind. It will grow and destroy your own peace and joy. So, be vigilant against such tendencies. Cleanse your thoughts, words and deeds to be appropriate to those marching towards the Divine. Selfishness is the canker that destroys charity. Though you are aware that it is wrong, selfishness will not allow you to desist. You can overcome it through steady determination. Joyfully share with others the knowledge, skills and wealth you earned, ideas and ideals you benefited from, and the joy of practising discipline and dedication. Sharing will not diminish them or devalue them, but will make them shine with added splendour.
Benih dari keilahian harus dibantu perkembangannya oleh usaha manusia dan terus peduli untuk bisa menjadi mekar dan menghasilkan buah. Hilangkan dari pikiranmu semua jejak keinginan dalam menyakiti yang lainnya dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hasil dari menurutkan kesenangan diri dalam kepuasan sementara dalam mencelakai adalah mendatangkan malapetaka. Setiap gagasan yang seperti itu adalah benih, rumput liar yang ditanam dalam pikiranmu sendiri. Hal ini akan tumbuh dan menghancurkan kedamaian serta suka citamu sendiri. Jadi. Waspadalah terhadap kecenderungan seperti itu. Bersihkan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu agar sesuai dengan mereka yang melangkah menuju Tuhan. Mementingkan diri sendiri adalah kanker yang merusak kedermawanan. Walaupun engkau sadar bahwa ini adalah salah, mementingkan diri sendiri tidak akan membiarkanmu berhenti. Engkau dapat mengatasinya melalui keteguhan hati yang mantap. Berbagi secara suka cita dengan yang lainnya pengetahuan, keahlian, dan kekayaan yang engkau dapatkan, gagasan dan ideal yang engkau dapatkan manfaatnya serta suka cita dari menjalankan disiplin dan dedikasi. Berbagi tidak akan mengurangi atau kehilangan nilai dari semuanya itu, namun akan membuatnya menjadi bersinar dengan kemegahan. (Divine Discourse, Apr 21, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 9th June 2019 (Sunday)

Ramadas of Bhadrachalam was thrown into prison; he was whipped without mercy. But, he never lost faith in Rama. He pleaded plaintively for grace, and he was able to earn Divine intervention to save himself from torture. Unwavering faith is the sign of spiritual success. That is the result of the awareness of one's Inner Reality, the stabilising core, the Divine in man. Practise this ideal of inner peace and universal love. Shower selfless love on ten others and bring about once again the Rama Rajya (righteous rule of Lord Rama). 'Rama' means 'He who pleases'. Be pleasant to everyone; let everyone be pleased with you. Do not hurt or harm, in thought, word and deed. Purify your heart; cleanse it of narrow selfishness. Offer your virtues as flowers, that spread beauty and fragrance. Offer the lotus of your heart freed from pests like lust, anger and hate, to the Lord and He will be pleased with you!
Ramadas Bhadrachalam dijebloskan ke dalam penjara; dia dicambuk tanpa ampun. Namun, dia tidak pernah kehilangan keyakinan pada Rama. Dia memohon dengan penuh kesedihan untuk rahmat, dan dia mampu mendapatkan campur tangan Tuhan untuk menyelamatkan dirinya dari penyiksaan. Keyakinan yang tidak tergoyahkan adalah tanda dari keberhasilan spiritual. Itu adalah hasil dari kesadaran seseorang pada kenyataan dalam diri, inti penyeimbang, keilahian dalam diri manusia. Praktikkan kedamaian di dalam diri yang ideal ini dan kasih yang universal. Taburkan kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri pada sepuluh orang lainnya dan membawa sekali lagi Rama Rajya (aturan kebajikan dari Sri Rama). 'Rama' berarti 'Beliau yang menyenangkan’. Menyenangkan bagi setiap orang; biarkan setiap orang senang denganmu. Jangan menyakiti atau melukai dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sucikan hatimu; bersihkan hati dari sifat mementingkan diri sendiri yang sempit. Persembahkan kebajikanmu sebagai bunga, yang menyebarkan keindahan dan keharumannya. Persembahkan bunga teratai hatimu yang bebas dari hama seperti nafsu, amarah, dan kebencian, kepada Tuhan dan Tuhan akan senang denganmu! (Divine Discourse, Apr 21, 1983).

-BABA

Thought for the Day - 8th June 2019 (Saturday)

First and foremost, you should show gratitude to your parents, love and respect them. Your blood, food, head, and money - all these are the gifts of your parents. You do not receive these gifts directly from God. All that is related to God is only indirect experience. It is only the parents whom you can see directly and experience their love. Children can understand the meanings of the words ‘fox’ or ‘dog’ only when they see their pictures. Similarly, it is only after seeing the parents that one can understand the existence of God. Only when you love and respect your parents you can understand the love of the Jagatmata and Jagatpita (Divine Parents). This is what I tell you often: if you understand the ‘I’ principle in you, you will understand the ‘I’ in everybody. Vyashti (individual) has emerged from samashti (society), samashti from srushti (creation), and srushti from Parameshti (Creator). Only when you understand the principle of creation, can you understand the Creator.
Pertama dan utama, engkau seharusnya memperlihatkan rasa syukur kepada orang tuamu, sayangi dan hormati mereka. Darah, makanan, kepala, dan uangmu – semuanya ini adalah berkah dari orang tuamu. Engkau tidak menerima berkah ini secara langsung dari Tuhan. Semua yang terkait dengan Tuhan adalah hanya pengalaman tidak langsung. Hanya orang tua yang engkau dapat lihat secara langsung dan mengalami cinta kasih mereka. Anak-anak dapat memahami makna kata-kata ‘rubah’ atau ‘anjing’ hanya ketika mereka melihat gambarnya. Sama halnya, hanya setelah melihat orang tua maka seseorang dapat memahami keberadaan Tuhan. Hanya ketika engkau menyayangi dan menghormati orang tuamu maka engkau dapat mengerti cinta kasih dari Jagatmata dan Jagatpita (orang tua ilahi). Itulah yang Aku sering katakan kepadamu: jika engkau mengerti prinsip ‘Aku’ di dalam dirimu, engkau akan mengerti ‘Aku’ dalam diri setiap orang. Vyashti (individual) telah muncul dari samashti (masyarakat), samashti dari srushti (ciptaan), dan srushti dari Parameshti (sang Pencipta). Hanya ketika engkau mengerti prinsip ciptaan, maka engkau dapat mengerti sang Pencipta. (Divine Discourse, May 6, 1999)

-BABA

Friday, June 7, 2019

Thought for the Day - 7th June 2019 (Friday)

Look upon good fortune and misfortune, happiness and sorrow, loss and gain with an equal mind. These are products of nature like heat and cold, summer and winter. They have their purposes to serve. Similarly the ups and downs of life have lessons to teach us. In fact, without reverses in life, we shall not be able to experience Divinity. Without darkness, we cannot value light. Without experiencing difficulties, we will not enjoy benefits. It is the lack of peace of mind which compels us to seek the means to realise enduring peace. The Upanishads have declared that immortality can be attained only through renunciation. You must learn to practice this virtue so that they may discover the secret to enduring peace and bliss.


Lihatlah keberuntungan dan kesialan, kebahagiaan dan kesedihan, kehilangan dan keuntungan dengan keseimbangan batin. Ini adalah produk dari alam seperti panas dan dingin, musim panas dan musim dingin. Semuanya itu memiliki tujuan untuk melayani. Sama halnya pasang surut kehidupan memiliki hikmah untuk diajarkan kepada kita. Sejatinya, tanpa kebalikan dalam kehidupan, kita tidak akan mampu mengalami keilahian. Tanpa adanya kegelapan, kita tidak bisa menghargai cahaya. Tanpa mengalami kesulitan, kita tidak akan menikmati manfaatnya. Ini karena kurangnya kedamaian dalam pikiran yang mendorong kita untuk mencari sarana untuk menyadari kedamaian yang abadi. Upanishad telah menyatakan bahwa keabadian hanya dapat diraih melalui pengendalian diri. Engkau harus belajar mempraktikkan pengendalian diri sehingga berhasil mengungkap rahasia kedamaian dan kebahagiaan yang abadi. (Divine Discourse, Apr 6, 1983).

-BABA

Thought for the Day - 6th June 2019 (Thursday)

Of the twenty four hours that are available to you, let Me advise you to devote a small fraction to meditation or prayers or reading the scriptures or listening to discourses on the leelas (divine sport) of the Lord. Think of God, and the gratitude you owe to Him for the human life He has gifted you and the various material, moral and intellectual talents He has endowed you with; do this before you commence any task or piece of work. You will certainly experience great benefit, and you will have peace, joy and success in your endeavours through Divine Grace. Do not get disheartened if you do not progress in meditation. Utter the Name of the Lord, dwelling on the glory and the grace; that is equally effective. No one particular name is necessary; all names denote only The One. The steadiness, the faith, the love that you cultivate in the heart and express through your words, deeds and thoughts are the essential requisites for earning the grace of God.


Dari 24 jam waktu yang tersedia untukmu, biarkan Aku menasihatimu agar menyediakan sebagian kecil waktu untuk meditasi atau berdoa atau membaca buku-buku suci atau mendengarkan wejangan pada leela (permainan Tuhan). Pikirkan Tuhan, dan ucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan manusia yang Tuhan telah berikan kepadamu dan juga berbagai jenis materi, moral, dan talenta intelektual yang Tuhan telah anugerahkan kepadamu; lakukan hal ini sebelum engkau melakukan tugas atau pekerjaan apapun. Engkau pastinya akan mengalami keuntungan yang sangat besar, dan engkau akan memiliki kedamaian, suka cita, dan sukses dalam usahamu melalui karunia Tuhan. Jangan menjadi berkecil hati jika engkau belum mendapatkan kemajuan dalam meditasi. Lantunkan nama Tuhan, pikirkan kemulian dan karunia-Nya; itu juga sama efektifnya. Tidak ada satu nama khusus yang diperlukan; semua nama hanya menunjukkan pada Tuhan yang esa. Keteguhan, keyakinan, cinta kasih yang engkau tingkatkan di dalam hati serta diungkapkan melalui perkataan, perbuatan dan pikiranmu adalah syarat penting untuk mendapatkan karunia Tuhan. (Divine Discourse, Mar 16, 1973)

-BABA

Wednesday, June 5, 2019

Thought for the Day - 5th June 2019 (Wednesday)

Devotion should not be confined to the four walls of the shrine-room, or the few minutes you perform meditation. It is a full-time spiritual discipline. Your devotion must be expressed as worship of every one, considering them as living embodiments of Divinity. See God in every one, even in persons whom you regard as your enemies. Practise that broad, inclusive type of Love. How can you derive happiness by showing love and reverence to a stone idol, that does not respond or reflect the feelings? Find out the difficulties and troubles burdening others and help them to the extent you can to tide over them. Learn to live with others, and share your joys and sorrows with them; be forbearing, not overbearing. Living beings will return appreciation and gratitude and wish you well. You can see joy growing in their faces. That will confer satisfaction on you. If you cannot love your fellow man, how can you be devoted to God?


Bhakti seharusnya tidak dibatasi hanya pada empat dinding dari tempat doa, atau beberapa menit dalam melakukan meditasi. Ini adalah disiplin spiritual penuh waktu. Bhaktimu harus diungkapkan sebagai ibadah kepada setiap orang, menganggap bahwa mereka adalah sebagai perwujudan hidup dari Tuhan. Lihatlah Tuhan dalam diri setiap orang, bahkan dalam diri orang yang engkau anggap sebagai musuhmu. Praktikkan pandangan yang luas, termasuk jenis dari cinta kasih. Bagaimana engkau bisa mendapatkan kebahagiaan dengan memperlihatkan kasih dan penghormatan pada arca, yang tidak memberikan respon atau memantulkan perasaan? Temukan kesulitan dan masalah yang membebani orang lain dan bantulah mereka semampu yang engkau bisa untuk mengatasi kesulitan dan masalah mereka. Belajarlah untuk hidup dengan yang lain, dan berbagi suka cita dan penderitaanmu dengan mereka; jadilah sabar dan tidak sombong. Makhluk hidup akan mengembalikan penghargaan dan rasa terima kasih serta berharap engkau baik. Engkau dapat melihat suka cita memancar di wajah mereka. Itu akan memberikan kepuasan pada dirimu. Jika engkau tidak bisa menyayangi sesamamu, bagaimana engkau bisa berbhakti kepada Tuhan? (Divine Discourse, Mar 16, 1973)

-BABA

Tuesday, June 4, 2019

Thought for the Day - 4th June 2019 (Tuesday)

Bharatiya culture condemns violence as bestial and even worse. Though epics and ancient tales of India speak of demons, men and gods as diverse, they are names only for traits, which all share, more or less. Humanity must endeavor to get rid of the dross of demonism and invest itself with splendour of Divinity. Be therefore ever vigilant that your activities do not drag you down into the depths of demonhood; let them elevate you into the heights of Divinity. It is really commendable that so many of you are engaged in Bhajans, Nagar Sankirtan and Namasmarana. Let the Name of the Lord proceed from the heart, not from the lips. Be Prahladas in the land that is sick with too many Hiranyakashipus. The name of the Lord is the Narasimha that will save and sustain! Purify yourselves and purify the atmosphere in which and by which you have to live. That is My advice and My blessing.


Kebudayaan Bharatiya mengutuk kekerasan sebagai binatang dan bahkan lebih buruk lagi. Walaupun epos dan kisah kuno India berbicara tentang raksasa, manusia, dan Dewa berbeda, namun semua nama yang berbeda itu hanya berkaitan pada sifat, yang mana semuanya berbagi, lebih, atau kurang. Umat manusia harus berusaha dengan keras untuk menyingkirkan sifat keraksasaan dan menanamkannya dengan kemegahan dari keilahian. Maka dari itu selalulah waspada agar perbuatanmu tidak menyeretmu sampai pada kedalaman sifat raksasa; biarkan perbuatan itu mengangkatmu pada ketinggian dari keilahian. Adalah sangat patut dipuji bahwa banyak darimu ikut dalam Bhajan, Nagar Sankirtan, dan Namasmarana. Biarkan nama Tuhan muncul dari dalam hati, dan bukan dari bibir. Jadilah seperti Prahlada di negeri yang sakit karena terlalu banyak Hiranyakashipu. Nama Tuhan adalah Narasimha yang akan menyelamatkan dan menopang! Sucikan dirimu sendiri dan sucikan atmosfer dimana engkau harus hidup. Itu adalah pesan dan rahmat-Ku. (Divine Discourse, May 12, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 3rd June 2019 (Monday)

Let the petty wishes for which you now approach God be realised or not; let the plans for promotion and progress which you place before God, be fulfilled or not - these are not important! Your primary goal should be to become Master of yourself, to hold intimate and constant communion with the Lord who is in you and in the Universe. Welcome disappointments, for they toughen you and test your fortitude. Never give up God, holding Him responsible for your ills. Believe that troubles draw you nearer, making you call on Him always when you are in difficulty. You suffer stomach pain and the doctor gives you the pain of operation, in order to reduce that pain and give you relief. Then you are joyful. Joy is but the interval between two moments of pain, and pain the interval between two moments of joy.


Biarkan keinginan-keinginan sepele dimana engkau sedang mendekati Tuhan sekarang terwujud atau tidak; biarkan rencana untuk kemajuan yang sekarang engkau letakkan dihadapan Tuhan, terwujud atau tidak – semua hal ini tidaklah penting! Tujuan utamamu seharusnya adalah menjadi tuan bagi dirimu sendiri, tetap menjaga hubungan yang intim dan konstan dengan Tuhan yang bersemayam di dalam dirimu dan di semesta. Sambutlah kekecewaan, karena rasa kecewa adalah untuk menguatkan dan menguji ketabahanmu. Jangan pernah melepaskan Tuhan dan pegang Tuhan dalam kesusahanmu. Percayalah bahwa masalah membawamu semakin dekat, membuatmu memanggil-Nya selalu di dalam kesulitan. Engkau menderita sakit perut dan dokter melakukan operasi pada dirimu, dalam upaya untuk mengurangi rasa sakit dan memberikanmu pertolongan. Kemudian engkau menjadi penuh suka cita. Suka cita adalah hanya interval diantara dua momen rasa sakit, dan rasa sakit adalah interval diantara dua momen suka cita. (Divine Discourse, May 12, 1970)

-BABA