Thursday, March 28, 2019

Thought for the Day - 28th March 2019 (Thursday)

Everyone is now seeking comfort and pleasure; that is the be-all and end-all of all efforts. If you tell a person that he can eat whatever he likes and as much as he likes, he will be delighted; but if you add that, as a consequence, he might develop some illness or other, he will treat you as an enemy. Control or regimen is never popular. But strength is derived only from control, restraint, and regulation. You become tough and capable of endurance only if you welcome hardships. Struggle, and you get the strength to succeed. Seek the basis for the seen, in the unseen. The tall skyscraper has a deep base reaching into the earth. This seen world has, as its base, the unseen Divine (Paramatma); your body is but the vehicle through which you can search, investigate, and discover that base!


Setiap orang pada saat sekarang sedang mencari kenyamanan dan kesenangan; itu adalah yang menjadi segalanya dan akhir dari semua usaha. Jika engkau mengatakan pada seseorang bahwa dia dapat makan apapun yang dia suka dan sebanyak yang dia suka, dia akan merasa sangat senang; namun jika engkau menambahkan bahwa sebagai akibatnya akan ada beberapa penyakit atau yang lainnya yang akan muncul, maka dia akan memperlakukanmu sebagai seorang musuh. Kontrol atau aturan hidup adalah tidak pernah populer. Namun kekuatan diperoleh hanya dari kontrol, pengendalian, dan aturan. Engkau menjadi tangguh dan mampu bertahan hanya jika engkau menerima kesulitan. Dengan berjuang maka engkau mendapatkan kekuatan untuk berhasil. Carilah dasar untuk bisa dilihat pada yang tidak terlihat. Gedung pencakar langit yang tinggi memiliki pondasi yang dalam ke dalam tanah. Dunia yang terlihat ini memiliki pondasinya yaitu Tuhan yang tidak terlihat (Paramatma); tubuhmu hanyalah wahana yang digunakan untuk mencari, investigasi, dan menemukan pondasi itu! (Divine Discourse, Nov 23, 1964)

-BABA

Wednesday, March 27, 2019

Thought for the Day - 27th March 2019 (Wednesday)

Now, engage yourself in spiritual discipline, spiritual thoughts and spiritual company. Forget the past. At least from now on, seek to save yourself. Never yield to doubt or unsteadiness. That is a sign of ignorance. Have faith in any one name and the form indicated by that name. If you revere Shiva and hate Vishnu, the plus and the minus cancel out and the net result is zero. I will not tolerate the slightest hatred of any Name or Form. The wife has to revere the husband, but that does not mean that she has to hate his parents, brothers or sisters. You can never attain the Lord through hatred of one or more of His many Forms and Names. If you throw contempt at the God that another reveres, the contempt falls on your own God. Avoid factions, quarrelling, hating, scorning and fault-finding; they recoil on you. Remember, everyone is a pilgrim towards the same goal; some travel by one road, some by another.


Sekarang, sibukkan dirimu dalam disiplin spiritual, pemikiran spiritual, dan pergaulan spiritual. Lupakan masa lalu. Setidaknya mulai dari sekarang, cari jalan untuk menyelamatkan dirimu sendiri. Jangan pernah menyerah pada keraguan atau keadaan tidak pasti. Ini adalah tanda dari kebodohan. Miliki keyakinan dalam satu nama dan bentuk yang ditunjukkan oleh nama itu. Jika engkau memuliakan Dewa Shiva dan membenci Dewa Wishnu, plus dan minus membatalkan semuanya dan hasilnya menjadi nol. Aku tidak akan memberikan toleransi kebencian sedikitpun pada Nama atau Wujud apapun. Istri harus memuliakan suami, namun itu tidak berarti bahwa sang istri harus membenci orang tuanya, saudaranya. Engkau tidak akan pernah bisa mencapai Tuhan melalui kebencian pada satu atau lebih pada Nama dan Wujud-Nya. Jika engkau menghina Tuhan yang dipuja oleh yang lainnya, maka penghinaan itu akan jatuh pada Tuhan yang engkau puja. Hindari golongan politik, pertengkaran, kebencian, mencemooh, dan mencari kesalahan; semuanya itu akan menghentak balik pada dirimu. Ingatlah, setiap orang adalah peziarah menuju pada tujuan yang sama; beberapa bepergian melalui satu jalan, yang lain dengan jalan yang berbeda. (Divine Discourse,Oct 10, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 26th March 2019 (Tuesday)

The eagle is pestered by crows so long as it has a fish in its beak. They swish past that so they could steal the fish out of its mouth, pursuing the bird wherever it sits for a little rest. Finally when the eagle gives up the attachment to the fish and drops it from its beak, the crows fly away, leaving the eagle free. So leave off sense pleasures and the crows of pride, envy, malice, and hatred will fly away, for they want only carrion. The snake moves in curves and not in a straight line. Individuals too move in a crooked path when they follow the senses. Practise renunciation from now on so that you may set out on the journey when the call comes; you don't know when. Else at that moment, you will be in tears, when you think of the house you have built, the property you have accumulated, the fame you have amassed, and the trifles you have won.


Elang diganggu oleh burung-burung gagak selama ada ikan di paruhnya. Burung-burung gagak terbang dengan suara mendesing agar mereka bisa mencuri ikan dari paruh elang, terus mengejar burung elang dimanapun hinggap dan istirahat. Sampai pada akhirnya ketika elang melepaskan keterikatan pada ikan dan melepaskan dari paruhnya, maka burung-burung gagak akan terbang menjauh dan meninggalkan elang dengan bebas. Jadi tinggalkan kesenangan indera dan burung gagak kesombongan, iri hati, kecongkakan, dan kebencian akan terbang menjauh, karena mereka hanya menginginkan bangkai saja. Ular bergerak dengan berliku-liku dan tidak bergerak dengan lurus. Para individu juga berjalan di jalan penuh liku ketika mereka mengikuti indera. Praktikkan pelepasan keterikatan mulai dari sekarang sehingga engkau dapat memulai perjalanan ketika panggilan sudah terdengar; engkau tidak tahu kapan itu terjadi. Kalau tidak pada saat itu, engkau akan menangisi saat engkau memikirkan rumah yang telah engkau bangun, kekayaan yang telah engkau kumpulkan, ketenaran yang engkau kumpulkan dan barang-barang sepele yang telah engkau dapatkan. (Divine Discourse,Oct 10, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 25th March 2019 (Monday)

The nature of mind is pure. Sensory impressions colour and soil it with likes and dislikes. The mind of the animal is unaffected by the many attachments and attractions, aversions and dislikes that hamper and haunt the human mind. The latent impressions (vasanas) warp the mind that is already bent by blows and buffetings suffered, birth after birth. There is no use laying all the blame on the mind. It is a mere watchman. Impress upon the watchman that the Lord is your master, then it will obey not only the Lord who is your master but even the Lord’s friends and companions. Join satsang and see whether the mind continues to be stubborn. It will not disobey you then. It is all about training; if the watchman comes to know that you are unrelated to the Lord, he will disobey you and take to his own misadventures! If you are on the Lord’s side, the watchman becomes your aide!


Sifat alami dari pikiran adalah murni. Pengaruh dari indera mewarnai dan  menjadikannya kotor dengan sifat suka dan tidak suka. Pikiran binatang tidak terpengaruh dengan banyaknya keterikatan dan daya tarik, serta ketidaksukaan yang menghalangi serta menghantui pikiran manusia. Pengaruh yang terpendam (vasanas) menyesatkan pikiran yang sudah bengkok dan menderita pukulan dari kelahiran ke kelahiran. Tidak ada gunanya menyalahkan semuanya pada pikiran. Pikiran hanyalah sebagai penjaga. Ingatkan pada penjaga bahwa Tuhan adalah junjunganmu, kemudian pikiran tidak hanya mematuhi Tuhan yang menjadi junjunganmu namun bahkan juga teman serta sahabat Tuhan. Bergabunglah dalam satsang dan lihatlah apakah pikiran terus untuk membandel. Pikiran kemudian tidak akan tidak mematuhimu. Ini semuanya hanyalah tentang latihan; jika penjaga datang dan mengetahui bahwa engkau tidak ada pertalian dengan Tuhan, maka pikiran akan tidak mematuhimu dan mengambil keuntungan bagi dirinya! Jika engkau ada di sisi Tuhan, maka penjaga itu akan menjadi pembantumu! (Divine Discourse, Oct 24, 1961)
-BABA


Thought for the Day - 24th March 2019 (Sunday)

Many grieve: “It is said that getting the opportunity to see a holy person (darshanam) is destruction of sin (papa nashanam). Well, I have had darshan not once but many times, and yet my evil fate has not left me and I am suffering even more than I did before.” True, you may have come and had darshan, and you have sown fresh seeds secured from then onwards - seeds of love, faith, devotion, good company, Godly thoughts, remembering God’s name and so on, and you have learnt the art of intensive cultivation and soil preparation. So you have now sown the seeds in a well-prepared field of cleansed hearts. Don’t you have to wait for the harvest? Until the new harvest comes in, like you consume the grain already stored from previous harvests, the troubles and anxieties are the crops you collected in previous harvests! Hence do not grieve and lose your heart. Persist in your sadhana!


Banyak yang bersedih hati berkata: “Disebutkan bahwa dengan mendapatkan kesempatan bertemu dengan orang suci (darshanam) menghancurkan dosa yang ada (papa nashanam). Saya telah mendapatkan berkali-kali kesempatan melihat orang suci, namun nasib burukku tidak meninggalkan saya dan saya sedang menderita bahkan lebih menderita dari sebelumnya.” Benar, engkau mungkin telah mendapatkan kesempatan melihat orang suci, dan engkau telah menabur benih segar yang kemudian dijaga dari sejak hari itu – benih kasih, keyakinan, bhakti, pergaulan baik, gagasan yang mulia, mengingat nama Tuhan, dan sebagainya, dan engkau telah belajar seni penanaman yang intensif dan persiapan lahan. Sekarang engkau telah menabur benih pada lahan yang sudah dipersiapkan dengan baik yaitu hati yang bersih. Bukankah engkau harus menunggu sampai panen? Sampai panen baru bisa terjadi, seperti engkau mengkonsumsi biji padi-padian yang sudah tersimpan dari panen sebelumnya, masalah dan kecemasan adalah tanaman yang engkau simpan saat panen sebelumnya! Oleh karena itu jangan bersedih hati dan kehilangan keyakinan. Tetap teguh dalam sadhanamu! (Shivaratri Discourse, March 1963)

-BABA

Monday, March 25, 2019

Thought for the Day - 23rd March 2019 (Saturday)

For treading the path of devotion, one needs no scholarship, nor wealth nor riches, nor ascetic rigours. Tell Me, what was the lineage of Valmiki, the wealth of Kuchela, the scholarship of Sabari, the age of Prahlada, the status of Gajaraja, and the attainments of Vidura? Pure Love (Prema) — that was all they had, and that was all they needed. The grace of the Lord is as the ocean - vast and limitless. By your spiritual disciplines, your repetition of a name of God, meditation, and systematic cultivation of virtue, this grace is converted into clouds of truth. This cloud rains on humanity as showers of prema, which collect and flow as the flood of bliss (ananda) back again into the ocean of the Lord’s grace. When prema embraces humanity, we call it compassion, the quality not of pity but of sympathy — sympathy that makes one happy when others are happy and miserable when others are unhappy.


Untuk menapaki jalan bhakti, seseorang tidak membutuhkan kesarjanaan, tidak kekayaan, dan tidak juga kerasnya pertapaan. Katakan kepada-Ku, apa yang menjadi silsilah dari Valmiki, kekayaan dari Kuchela, kesarjanaan dari Sabari, usia dari Prahlada, dan status dari Gajaraja, dan pencapaian dari Vidura? Kasih yang murni (Prema) — itu semuanya yang mereka miliki dan hanya itu yang diperlukan. Rahmat Tuhan adalah sebuah lautan – sangat luas dan tidak terbatas. Dengan disiplin spiritualmu, pengulang-ulangan nama Tuhanmu, meditasi dan peningkatan kebajikan secara teratur, rahmat ini diubah menjadi awan kebenaran. Awan ini menyirami manusia sebagai curahan hujan prema, yang berkumpul dan mengalir sebagai banjir kebahagiaan (ananda) kembali lagi ke lautan rahmat Tuhan. Ketika prema memeluk manusia, kita menyebutnya dengan welas asih, kualitasnya bukan karena kasihan namun simpati— simpati yang membuat seseorang bahagia ketika yang lainnya bahagia dan merasa sedih saat yang lainnya tidak bahagia. (Divine Discourse, Mar 24, 1958)

-BABA

Thought for the Day - 22 March 2019 (Friday)

Ask the Lord for the removal of your earthly troubles; there is no mistake in that. It is much better than asking other men or women, and losing self-respect and honour. For the sake of votes, people catch hold of the feet of all and sundry; if they fall at the feet of the Lord, that will bring them more votes, for the people will plead with Him to be led by a servant of the Lord. You can call Me on the phone, but I will not be available for all those who do not have the sincere and steady yearning for the Lord. For those who say "No! You are not my Lord," I say "No." For those who say, "Yes," I too echo "Yes." If I am available in your heart, I will be available over the phone. But remember, I have My own special postal and telephone systems. They operate from the heart, straight to the heart. There are rules and regulations for the operation of that system, which the scriptures declare. You can find them there.

Meminta Tuhan untuk menghilangkan masalah duniawimu; tidak ada yang salah dengan hal itu. Hal ini adalah jauh lebih baik daripada meminta kepada yang lainnya yang menyebabkan kehilangan harga diri dan rasa hormat. Untuk kepentingan pemungutan suara, manusia memegang kaki semua orang; jika manusia sujud dan memegang kaki Tuhan, maka hal ini akan memberikan lebih banyak suara, karena mereka yang memohon kepada-Nya akan dituntun oleh seorang pelayan Tuhan. Engkau dapat menghubungi-Ku dengan telephone, namun Aku tidak akan ada bagi mereka yang tidak memiliki kerinduan yang tulus dan mantap pada Tuhan. Bagi mereka yang mengatakan "Tidak! Engkau bukanlah Tuhanku," Aku mengatakan "Tidak." Bagi mereka yang mengatakan, "Iya," Aku juga menggema dengan berkata "Iya." Jika Aku ada di dalam hatimu, Aku akan bisa dihubungi dengan telephone. Namun ingatlah, Aku memiliki kode pos dan sistem telephone tersendiri. Semuanya ini dioperasikan dari hati, langsung ke hati. Ada peraturan untuk menjalankan sistem itu, yang dijelaskan dalam naskah-naskah suci. Engkau dapat menemukannya disana. (Divine Discourse, Jul 29, 1964)

-BABA

Thursday, March 21, 2019

Thought for the Day - 21st March 2019 (Thursday)

The Lord’s name has much efficacy. By repeating the Lord’s name, His attributes can be easily recalled. Sanctify your tongue by the repetition of His name. It must also use sweet expressions which will spread contentment and joy. Be very careful about your speech. Animals have horns, insects have stings, beasts have claws and fangs, but your biggest weapon of offence is your tongue. The wounds that your tongue inflicts can scarcely be healed; they fester in the heart for long. They are capable of more damage than even an atom bomb. Speak so that your language is as sweet as your feelings are. Make the words true and pleasing (Satyam bruyat; priyam bruyat). But for the sake of pleasing another, do not speak falsehood or exaggerate. Cynicism which leads you to speak about a thing in a carping manner to bring it disrepute is as bad as flattery which makes you exaggerate and cross the boundaries of truth.


Nama Tuhan memiliki banyak keampuhan. Dengan mengulang-ulang nama Tuhan, kualitas-Nya dapat dengan mudah diingat. Sucikan lidahmu dengan pengulangan nama suci Tuhan. Lidah juga harus menggunakan ucapan yang lembut dan baik yang akan menyebarkan kepuasan hati dan suka cita. Berhati-hatilah dengan perkataanmu. Binatang memiliki tanduk, serangga memiliki sengat, hewan buas memiliki cakar dan gigi taring, namun senjata yang paling hebat yang engkau miliki untuk menyerang adalah lidahmu. Luka yang disebabkan oleh lidah sangat sulit untuk disembuhkan; luka itu membusuk di dalam hati dalam waktu yang lama. Luka yang diakibatkan oleh lidah adalah lebih berbahaya dari sebuah bom atom. Berbicaralah sehingga bahasamu semanis perasaanmu. Buatlah perkataan menjadi benar dan menyenangkan (Satyam bruyat; priyam bruyat). Namun untuk kepentingan menyenangkan yang lain, jangan berbicara kebohongan atau melebih-lebihkan. Sinisme akan menuntunmu membicarakan sesuatu untuk mencari masalah serta membawanya pada nama buruk dan seburuk pujian yang bersifat menjilat yang membuatmu berlebih-lebihan serta melewati batasan kebenaran. (Divine Discourse, Jul 29, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 20th March 2019 (Wednesday)

The divine name saves and liberates! It is the armour against the onslaughts of pride and self-pity. When you start pious repetition of a holy name or sacred formula in a systematic manner and fix your inner eye on the form that illustrates the name, you will meet with many obstacles, disquieting thoughts, and enticements. They should be ignored, bypassed and treated lightly. Strengthen your habits, stick to your discipline, and improve your inner administration. Mix more in the company of the good and the godly. The unruly bull has to be roped and tamed, its nose bored and ringed; it has to be yoked and trained to drag heavy loads and become the docile servant of its master. Some people condemn the six passions as dire enemies and advise you to eject them outright. But I would advise you to keep them with you as docile servants, and redirect them to be useful for your noble purposes.


Nama Tuhan menyelamatkan dan membebaskan! Ini adalah baju besi melawan serangan gencar dari kesombongan dan kasihan pada diri sendiri. Ketika engkau mulai mengulang-ulang nama suci Tuhan atau mantra suci dengan sistematis dan menetapkan pandangan batinmu pada wujud yang menggambarkan nama, engkau akan menemui banyak tantangan, pikiran yang mengganggu, dan daya tarik. Semuanya itu harus diabaikan, dilewati serta diperlakukan dengan enteng. Kuatkan kebiasaanmu, berpegang pada disiplinmu, dan tingkatkan tata kelola batinmu. Bergaulah lebih banyak dalam pergaulan yang baik dan saleh. Kerbau yang tidak patuh harus diikat dan dijinakkan, dan hidungnya harus ditindik dipasang tali kekang; kerbau itu harus dilatih untuk menarik barang yang berat dan menjadi pelayan yang jinak bagi majikannya. Beberapa orang menyalahkan enam kekaburan batin sebagai musuh yang mengerikan dan menasihatimu untuk mengusirnya sekaligus. Namun Aku menasihatimu untuk memperlakukannya sebagai pelayan yang jinak, dan mengarahkannya untuk berguna bagi tujuanmu yang mulia. (Divine Discourse, Nov 21, 1962)

-BABA

Thought for the Day - 19th March 2019 (Tuesday)

You can give Ananda (bliss) by your speech, only if you have attained the state of Ananda yourself. A lamp burning under a pot with five holes: that is the symbol of a person who has the flame of wisdom shining through the five senses. Cover the pot with a thick cloth and no light emerges. The cloth is the cover of anjana (ignorance), of tamas (slothfulness and dullness). Remove it; it shines feebly through the senses - that is the symbol of rajas (passion and activity). Remove the pot itself, that is to say, remove the identification with the body (the dehatma-buddhi), then the Atmajyoti (light of the Self) shines full and bright. The Divine light or Divine Bliss is ever there but, it was obstructed by the pot and the cloth. Ananda is your native character, your real stamp, your very reality.


Engkau dapat memberikan kebahagiaan (Ananda) dengan perkataanmu, hanya jika engkau telah mencapai keadaan Ananda untuk dirimu sendiri. Sebuah lampu menyala dalam sebuah wadah dengan lima lubang: itu adalah simbol dari seseorang yang memiliki pelita kebijaksanaan yang bersinar melalui lima indera. Jika wadah itu ditutupi dengan kain tebal maka tidak ada cahaya yang keluar. Kain penutup itu adalah anjana (kebodohan), dari tamas (kemalasan dan kedunguan). Hilangkan penutup ini maka lampu itu bersinar dengan lemah melalui indera – itu adalah simbol dari rajas (hasrat dan aktivitas). Hilangkan wadah itu; itu berarti hilangkan identifikasi dengan tubuh (dehatma-buddhi), kemudian Atmajyoti (cahaya jati diri) bersinar dengan terang. Cahaya ilahi atau kebahagiaan Tuhan akan selalu ada disana, namun ditutupi oleh wadah dan kain penutup. Ananda adalah karaktermu yang asli, tanda dari dirimu yang sejati, kenyataanmu yang sesungguhnya. (Divine Discourse, Jul 29, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 18th March 2019 (Monday)

Do not grieve that the Lord is testing you and putting you through the ordeal of undergoing tests, for it is only when you are tested that you can assure yourself of success or become aware of your limitations. You can then concentrate on the subjects in which you are deficient and pay more intensive attention, so that you can pass in them too when you are tested again. Don’t study for the examination at the last moment; study well in advance and be ready with the needed knowledge and the courage and confidence born out of that knowledge and skill. What you have studied well in advance must be rehearsed over and over in the mind, just previous to the examination; that is all that needs to be done. You will certainly emerge victorious - this is the pathway to victory.


Jangan bersedih bahwa Tuhan sedang mengujimu dan menempatkanmu pada cobaan berat dalam menjalani ujian, karena hanya saat engkau diuji maka engkau dapat memastikan dirimu sendiri akan keberhasilan atau menjadi sadar akan keterbatasanmu. Engkau kemudian dapat memusatkan pikiran pada bagian yang engkau kurang dan memberikan perhatian yang lebih intensif, sehingga engkau dapat melewati ujian itu saat engkau diuji kembali. Jangan belajar untuk ujian di saat-saat akhir; belajarlah dengan baik sebelumnya dan bersiap dengan pengetahuan yang diperlukan, dan keberanian dan kepercayaan diri akan muncul dari pengetahuan dan keahlian. Apa yang telah engkau pelajari sebelumnya harus diulang-ulang kembali di dalam pikiran, hanya sebelum ujian; itu yang seharusnya dilakukan. Ini adalah jalan menuju kemenangan. (Shivaratri Discourse, March 1963)

-BABA

Monday, March 18, 2019

Thought for the Day - 17th March 2019 (Sunday)

It is your duty to see that your conduct is right and you lead a righteous life, regardless of circumstances! Transform your heart by making it pure and sacred. Purity is the true characteristic of every human being. Purity should be manifested in everything one does: in your thoughts, in what you see or say, and in all that you do. It is only when you display such purity that you truly can become embodiments of the Divine Atma, that you really are! Then the distinction between the Divine and the mundane disappears and everything is Divinised. The difference between the object and the subject will also go. Everything then becomes the whole (purnam). Resolve today to turn your thoughts to God, to strive to purify your heart and senses, so that you can attain Self-realisation.


Merupakan kewajibanmu untuk menjaga agar tingkah lakumu adalah benar dan engkau menempuh hidup yang baik, dalam keadaan apapun! Ubahlah hatimu dengan membuatnya menjadi suci dan murni. Kesucian adalah karakteristik yang sebenarnya dari setiap manusia. Kesucian seharusnya diwujudkan dalam segala tindakan yang dilakukan: dalam pikiranmu, dalam apa yang engkau lihat atau katakan, dalam semua yang engkau lakukan. Hanya ketika engkau menampilkan kesucian yang seperti itu maka engkau benar-benar dapat menjadi perwujudan dari Atma yang ilahi, yang merupakan dirimu yang sebenarnya! Kemudian perbedaan antara Tuhan dan duniawi akan menghilang dan segala sesuatunya menjadi ilahi. Perbedaan antara objek dan subjek juga akan menghilang. Segala sesuatu kemudian menjadi kesempurnaan (purnam). Miliki ketetapan hari ini untuk mengarahkan pikiranmu kepada Tuhan, berusaha untuk menyucikan hati dan inderamu, sehingga engkau dapat mencapai kesadaran Diri. (Divine Discourse, Jul 13, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 16th March 2019 (Saturday)

Educated people do not seem to have any regard for moral values. They have no gratitude for those who helped them in times of need. They have no consideration for their kith and kin, and do not hesitate to inflict harm on them. Students who have gone through years of higher education are reported to have behaved in an unworthy manner. Many lead miserable lives. What is the value of an education which does not enable one to do one’s duty towards one’s spouse and children? The first requisite is the elimination of the bad qualities prevailing among educated persons. They have to return to the path of morality and right conduct. Many educated people have neither fear of sin nor love of God. Those who appear to be pious also have no genuine good qualities. Such hypocritical behaviour is vitiating the atmosphere everywhere and promoting disorder and confusion. Everyone should therefore embark upon getting rid of bad traits and implanting divine qualities.


Orang-orang berpendidikan sepertinya tidak memperhatikan nilai-nilai moralitas. Mereka tidak memiliki rasa berterima kasih kepada mereka yang telah membantunya pada saat diperlukan. Mereka tidak memiliki perhatian pada kerabat, dan tidak ragu-ragu menimbulkan penderitaan pada mereka. Para pelajar yang telah melalui bertahun-tahun menempuh pendidikan tinggi dilaporkan memiliki tingkah laku yang tidak layak. Banyak yang menempuh hidup yang menyedihkan. Apa nilai dari pendidikan yang tidak memungkinkan seseorang melakukan kewajibannya kepada pasangan dan anak-anaknya? Syarat pertama yang diperlukan adalah menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada pada orang-orang berpendidikan. Mereka harus kembali ke jalan moralitas dan kebajikan. Banyak orang yang berpendidikan tidak memiliki rasa takut dosa dan juga tidak mencintai Tuhan. Mereka yang kelihatan alim atau baik namun tidak memiliki sifat baik yang murni. Kualitas munafik adalah merusak suasana dimana saja dan meningkatkan kekacauan dan kebingungan. Maka dari itu setiap orang seharusnya memulai untuk melepaskan sifat yang tidak baik dan menanamkan kualitas keilahian. (Divine Discourse, Apr 2, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 15th March 2019 (Friday)

Look with an equal mind on good fortune and misfortune, on happiness and sorrow, loss and gain. These are products of nature like heat and cold, summer and winter. They have their purposes to serve. Similarly the ups and downs of life have lessons to teach us. In fact, without reverses in life, we shall not be able to experience Divinity. Without darkness, we cannot value light. Without experiencing difficulties, we will not enjoy benefits. It is the lack of peace of mind which compels us to seek the means to realise enduring peace. The Upanishads have declared that through renunciation alone is immortality to be attained. You should learn to practise renunciation so that you may discover the secret of enduring peace and bliss.


Pandanglah dengan pikiran yang seimbang pada keberuntungan yang baik dan ketidakberuntungan, pada kebahagiaan dan penderitaan, kerugian dan keuntungan. Ini adalah produk dari alam seperti panas dan dingin, musim panas dan musim dingin. Semuanya itu memiliki tujuannya untuk melayani. Sama halnya pasang surutnya kehidupan memiliki hikmah untuk diajarkan pada kita. Sejatinya, tanpa pasang surut dalam kehidupan, kita tidak akan mampu mengalami keilahian. Tanpa adanya gelap, kita tidak bisa menghargai cahaya. Tanpa mengalami kesulitan, kita tidak akan menikmati keuntungan. Adalah karena kurangnya kedamaian dalam pikiran yang mendorong kita untuk mencari sarana untuk menyadari kedamaian yang kekal. Upanishad telah menyatakan bahwa melalui tanpa kemelekatan saja maka keabadaian dapat dicapai. Engkau harus belajar untuk mempraktikkan tanpa kemelekatan sehingga engkau menemukan rahasia dari kedamaian dan kebahagiaan yang kekal. (Divine Discourse, Apr 6, 1983)

-BABA

Thursday, March 14, 2019

Thought for the Day - 14th March 2019 (Thursday)

Temples in stone are reminders of the existence of God. When you see a lawyer you are reminded of your legal troubles. When you see a doctor you think of your illness. Likewise, when you see a temple, you are reminded of God. However what pleases Me most is the permanent temples constructed in your hearts. True worship consists in heartfelt devotion to God present within each and every one. Purify the temple in your heart, and dedicate your life to service. It is such dedicated service, done in the spirit of sadhana, that must distinguish Sathya Sai Organisations from other spiritual organisations. People talk about Swami's vibhuti (sacred ash) and Swami's miracles. But the real miracle of Swami is His boundless love which propels innumerable Sai devotees - men and women, young and old to render selfless service in various forms to express their love for Sai. Relentlessly practice purity, love and renunciation, and discover the secret of enduring peace and bliss yourself!


Tempat suci dari batu adalah pengingat akan keberadaan Tuhan. Ketika engkau melihat seorang pengacara maka engkau diingatkan pada masalah hukummu. Ketika engkau bertemu seorang dokter maka engkau memikirkan penyakitmu. Sama halnya, ketika engkau melihat tempat suci maka engkau diingatkan akan Tuhan. Bagaimanapun juga, apa yang paling membuat-Ku senang adalah tempat suci yang abadi di dalam hatimu. Pemujaan yang sesungguhnya terkandung dalam bhakti yang sepenuh hati pada Tuhan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Menyucikan tempat suci di dalam hatimu, dan dedikasikan hidupmu dalam pelayanan. Dedikasi pelayanan yang seperti ini, yang dilakukan dengan semangat sadhana, itu yang membedakan Organisasi Sathya Sai dari organisasi spiritual yang lainnya. Orang-orang berbicara tentang Vibhuti dari Swami (abu suci) dan mukjizat Swami yang lainnya. Namun mukjizat yang sesungguhnya adalah kasih sayang Swami yang tidak terbatas yang menggerakkan bhakta Sai yang tidak terhitung jumlahnya – laki-laki dan perempuan, muda dan tua untuk memberikan pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri dalam berbagai bentuk untuk mengungkapkan kasih mereka kepada Sai. Menjalankan kesucian, kasih dan tanpa kemelekatan secara tanpa henti dan mengungkapkan rahasia kedamaian yang abadi serta kebahagiaan dirimu sendiri! - Divine Discourse, Apr 6, 1983

-BABA

Thought for the Day - 13th March 2019 (Wednesday)

The relationship between karma and karma-yoga should be properly understood. Ordinary karma (action) done with attachment or desires causes bondage. But the same action, when performed desirelessly, with selflessness, becomes karma-yoga. Our life should become a yoga (Divine Communion) rather than a 'roga' (disease). Today most of our actions result in roga because they are related to sensuous pleasures. Freedom from this disease can be obtained by pursuing the spiritual path. Spiritual path does not consist merely in singing bhajans or reciting hymns. These are good deeds. Only actions performed as a complete offering to the Divine can be regarded as spiritual. The individual who is in a state of ignorance about the Self is like the bud of a flower that has not yet bloomed. When the flower blossoms, it sheds its fragrance all round. Likewise, the person who has realised the Divinity within oneself becomes a source of light and strength!


Hubungan antara karma dan karma-yoga seharusnya dengan benar dipahami. Karma biasa (perbuatan) dilakukan dengan keterikatan atau keinginan yang menyebabkan perbudakan. Namun, perbuatan yang sama ketika dilakukan tanpa adanya keinginan menjadi karma-yoga. Hidup kita seharusnya menjadi sebuah yoga (penyatuan dengan Tuhan) daripada sebuah 'roga' (penyakit). Hari ini kebanyakan perbuatan kita menghasilkan roga karena semua perbuatan itu terkait dengan kesenangan indera. Bebas dari penyakit ini dapat dicapai dengan menempuh jalan spiritual. Jalan spiritual tidak hanya melulu terkait dengan menyanyikan bhajan atau mengidungkan pujian. Semuanya ini adalah perbuatan yang baik. Hanya perbuatan yang dilakukan sebagai persembahan yang utuh kepada Tuhan dapat dianggap sebagai spiritual. Individu yang ada dalam tahap kebodohan tentang diri sejati adalah seperti kuncup bunga yang belum mekar. Ketika bunga itu mekar maka akan menebarkan keharumannya ke semua tempat. Sama halnya seseorang yang telah menyadari keilahian di dalam dirinya akan menjadi sumber cahaya dan kekuatan! (Divine Discourse, Apr 6, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 12th March 2019 (Tuesday)

When our clothes get soiled, we are ashamed to appear in dirty garments and so we change them. We clean our houses regularly and remove all dirt to keep it clean for family and friends. But when our minds and hearts are polluted, we do not feel ashamed! Is it not strange that we should be so much concerned about the cleanness of our clothes or our homes, but are not concerned about the purity of our hearts and minds which affect our entire life? To purify our hearts and minds, the first thing we must do is to lead a righteous life. Our actions must be based on morality. Indulging in abuse of others or inflicting pain on them is not a sign of human nature. The evil that we do to others ultimately recoils on us. Auspicious days like festivals should be used for making resolutions to change our ways of life and to purify our behaviour by giving up all bad qualities.


Ketika pakaian kita menjadi kotor, kita menjadi malu untuk muncul dengan penampilan pakaian kotor jadi kita akan menggantinya. Kita membersihkan rumah kita secara teratur dan membuang segala jenis kotoran untuk tetap menjaga rumah bersih bagi keluarga dan sahabat. Namun ketika pikiran dan hati kita tercemar, kita tidak merasa malu! Apakah tidak aneh bahwa kita harus begitu perhatian tentang kebersihan dari pakaian atau rumah kita, namun tidak ada perhatian tentang kesucian hati dan pikiran kita yang mempengaruhi seluruh hidup kita? Untuk menyucikan hati dan pikiran kita, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menjalani hidup yang baik. Perbuatan kita harus berdasarkan pada moralitas. Terlibat dalam menyakiti yang lainnya atau menyebabkan penderitaan pada mereka bukanlah tanda dari sifat alami manusia. Kejahatan yang kita lakukan pada orang lain pada akhirnya akan kembali kepada kita. Hari yang suci seperti perayaan seharusnya digunakan untuk membuat sebuah resolusi untuk merubah cara hidup kita dan menyucikan tingkah laku kita dengan melepaskan semua sifat buruk kita. (Divine Discourse, Apr 02, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 11th March 2019 (Monday)

Young men and women of present times are ready to listen to a thousand lies, but do not have the patience to pay heed to a single truth. Always remember, one honest person who speaks with love is better than a hundred flatterers. Young people should also not underestimate the value of good health and the strength they enjoy during their years of youth. You should use it to learn and lead purposeful and unselfish lives, and maintain good health instead of dissipating all your energies and talents in the pursuit of sensuous objects and evil desires. An evil-minded person in a village is more harmful to the community than even a polluted pond! Always remember, to secure the grace of God one must adhere to right conduct and observe purity in thought, word and deed. Kindness and compassion are the hallmark of a true human being.


Para pemuda dan pemudi pada masa sekarang siap sedia untuk mendengarkan ribuan kebohongan, namun tidak memiliki kesabaran untuk memberikan perhatian pada satu kebenaran. Selalulah untuk mengingat, satu orang jujur yang berbicara dengan cinta kasih adalah lebih baik daripada ratusan penyanjung. Anak-anak muda tidak seharusnya meremehkan nilai dari kesehatan yang baik dan kekuatan yang mereka nikmati saat masa-masa muda mereka. Engkau seharusnya menggunakan ini untuk belajar dan menuntun pada hidup yang penuh makna dan tidak mementingkan diri sendiri, dan menjaga kesehatan yang baik daripada menyia-nyiakan seluruh energi dan bakatmu dalam pengejaran objek-objek indera dan keinginan yang jahat. Seorang dengan pikiran yang jahat di desa adalah lebih berbahaya bagi masyarakat daripada bahkan sebuah kolam yang tercemar! Selalulah ingat, untuk mengamankan rahmat Tuhan maka seseorang harus menjunjung tinggi kebajikan dan menjalankan kesucian dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Kebaikan dan welas asih adalah tanda dari manusia yang sejati. (Divine Discourse, Feb 9,1984)

-BABA

Thought for the Day - 10th March 2019 (Sunday)

Propagation of dharma does not mean spreading knowledge about something that is not known. Its basic purpose is to promote the practice of dharma. Only those who practice dharma are qualified to propagate it. It is because dharma and satya (righteousness and truth) have not been propagated by persons practising them that they have been eclipsed, as it were, and are not perceivable. It is only when they are practised in daily life that their true nature and value will be realised. A person is judged by the nature of one’s actions. If one’s actions are good, one is described as a good person. If his actions are bad, the person is described as being wicked. One's qualities and actions are interdependent. Actions reveal qualities and qualities determine actions. Hence everyone should strive to reform oneself by developing good qualities.


Penyebaran dharma tidak berarti menyebarkan pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui. Tujuan dasarnya adalah untuk meningkatkan praktik dharma. Hanya mereka yang mempraktikkan dharma yang memenuhi syarat untuk menyebarkannya. Karena dharma dan satya (kebenaran dan kebenaran) belum disebarkan oleh orang-orang yang mempraktikkannya, dharma dan satya telah dikalahkan, seolah-olah, dan tidak dapat dipahami. Hanya ketika dharma dan satya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, sifat dan nilai sejati-nya akan terwujud. Seseorang dinilai berdasarkan sifat dari tindakannya. Jika tindakan seseorang baik, ia digambarkan sebagai orang baik. Jika tindakannya buruk, orang tersebut digambarkan sebagai orang jahat. Kualitas dan tindakan seseorang memiliki hubungan saling ketergantungan. Tindakan mengungkapkan kualitas dan kualitas menentukan tindakan. Karena itu setiap orang harus berusaha untuk mereformasi diri dengan mengembangkan kualitas yang baik. (Divine Discourse, Jan 7, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 9th March 2019 (Saturday)

Ponder on a river merging in the ocean. The waters of the ocean rise up as vapour when warmed by the Sun and form clouds, which come down as drops of rain. Each drop has inside it the yearning to return to the ocean from which it has been exiled. But, the feeling of individuality overcomes the yearning. The raindrops accumulate and flow as brooks and streams which swell into tributaries of rivers, flooding the plains. At last, the river merges into the ocean and loses its name, form and attributes. In spite of all modifications undergone in the journey from ocean to ocean, water remains as water in vapour, cloud, rain and river. Names, forms and qualities do change but the core remains unchanged. Man too emerges from the ocean of Divinity and his destiny is to merge in it. This is the Truth. This is the Reality. That Thou Art. Be firm in that faith.


Merenungkan saat sebuah sungai menyatu pada lautan. Air di lautan akan menguap naik sebagai uap air ketika disinari oleh matahari dan membentuk awan, yang kemudian jatuh sebagai air hujan. Setiap tetes air hujan memiliki kerinduan di dalamnya untuk kembali ke lautan yang mana merupakan asal mulanya. Namun, perasaan individualitas mengatasi kerinduan. Tetesan air hujan berkumpul dan mengalir sebagai sebuah air selokan dan alirannya yang bertambah besar menjadi aliran anak sungai, membanjiri daratan. Pada akhirnya, sungai menyatu pada lautan dan kehilangan Nama, bentuk, dan sifatnya. Sekalipun berbagai jenis perubahan yang dialami dalam perjalanan dari lautan menuju ke lautan kembali, air tetap sama sebagai air dalam uap air, awan, hujan, dan sungai. Nama, bentuk, dan kualitas mengalami perubahan namun intinya tetaplah tidak berubah. Manusia juga muncul dari lautan keilahian dan takdirnya adalah menyatu kembali ke asalnya. Ini adalah kenyataan sejati. Engkau adalah Tuhan. Yakinlah pada keyakinan itu. (Divine Discourse, Jan 2, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 8th March 2019 (Friday)

You might have heard some people say that I became Sai Baba when a scorpion stung Me! Well, I challenge anyone of you to get stung by scorpions and transform into Sai Baba. No, the scorpion had nothing to do with it! In fact, there was no scorpion at all! I came in response to the prayers of sages, saints, and spiritual aspirants for the restoration of dharma. When there is a sign of a little unrest, the police constable appears on the scene; if the mob gets unruly, the Inspector rushes in; and if it becomes violent, the Superintendent of Police has to be personally present on the scene to quell it. If, however, the situation waxes hot, the Inspector General (IG) has to make himself available, is it not? This is a situation in which the IG is taking over all charge of the situation. The sages, savants, saints, yogis and divine personalities have had their try, and they will all be cooperating in the task of reestablishing righteousness and clearing the path for the world to attain absolute peace.


Engkau mungkin pernah mendengar orang-orang mengatakan bahwa Aku menjadi Sai Baba ketika seekor kalajengking menyengat-Ku! Aku menantang siapapun darimu untuk tersengat kalajengking dan berubah menjadi Sai Baba. Tidak, kalajengking tidak ada kaitannya dengan hal ini! Sejatinya, tidak ada kalajengking sama sekali! Aku datang untuk menjawab doa-doa yang dipanjatkan para orang suci dan peminat spiritual untuk pemulihan kembali Dharma. Ketika ada sebuah tanda kerusuhan maka polisi akan hadir di tempat perkara; jika kelompok orang mulai tidak patuh, inspektur akan turun tangan; dan jika terjadi kekerasan maka pemimpin tertinggi di daerah secara langsung akan hadir di tempat kejadian untuk meredakan keadaan. Namun jika situasi masih memanas, kepala kepolisian harus mengambil alih keadaan. Ini adalah sebuah situasi dimana kepala kepolisian mengambil alih semua keadaan. Para orang suci, cendekiawan, yogi dan kepribadian suci telah mencoba dengan usaha mereka, dan mereka akan bekerjasama dalam tugas memulihkan kembali kebajikan dan membersihkan jalan bagi dunia untuk mencapai kedamaian yang bersifat mutlak. (Divine Discourse, Feb 23, 1958)

-BABA

Thought for the Day - 7th March 2019 (Thursday)

To light a lamp, you need four things - a container, oil, a wick and a match box. If any one of these is missing, you cannot light the lamp. This lamp can, however, remove only the outside darkness. How is the darkness in the heart to be removed? It can be dispelled only by the Light of Wisdom (Jnana Jyothi). How is this Light of Wisdom, this spiritual light, to be lit? This also needs four elements - detachment (Vairagya) is the container, devotion (Bhakti) is the oil, one-pointed concentration (Ekagrata) is the wick and knowledge of the Supreme Truth (Jnana) is the match stick. Without these four, the light of spiritual wisdom cannot shine. Of these, primary requisite is the spirit of vairagya (renunciation). Without detachment, all knowledge of scriptures is of no avail. What is this detachment? It is absence of attachment to the body. Give up the ego-feeling, which makes one think of the "I" all the time.


Untuk menyalakan sebuah pelita, engkau memerlukan empat unsur – sebuah wadah, minyak, sumbu dan korek api. Jika salah satu dari keempat ini tidak ada maka engkau tidak bisa menyalakan pelita. Cahaya dari pelita ini hanya dapat menghilangkan kegelapan yang ada di luar diri. Bagaimana engkau menghilangkan kegelapan yang ada di dalam hati? Ini dapat dihilangkan hanya dengan menyalakan pelita kebijaksanaan (Jnana Jyoti). Bagaimana menyalakan pelita spiritual, pelita kebijaksanaan? Hal ini juga memerlukan empat unsur. Tanpa keterikatan (Vairagya) adalah sebagai wadah. Bhakti adalah sebagai minyaknya. Fokus pada satu titik (Ekagrata) adalah sumbunya. Pengetahuan tentang kebenaran yang tertinggi (Jnana) adalah korek apinya. Tanpa keempat ini maka tidak akan bisa menyalakan pelita spiritual. Diantara keempatnya, prasyarat pertama adalah semangat tanpa keterikatan (Vairagya). Tanpa adanya unsur tanpa keterikatan maka pengetahuan naskah suci adalah tidak ada gunanya. Apa itu tanpa keterikatan? Tanpa keterikatan artinya tidak adanya keterikatan pada badan jasmani. Ego perasaan yang membuat seseorang berpikir ‘aku’ sepanjang waktu harus dilepaskan. (Divine Discourse, 9 Nov 1988) (Divine Discourse, Nov 9, 1988)

-BABA

Wednesday, March 6, 2019

Thought for the Day - 6th March 2019 (Wednesday)

Take a lump of salt and drop it in water. The salt dissolves soon and disappears, though we know it exists in every drop. The lump cannot be found, but we know its presence by tasting the water. Similarly, God is present everywhere, though invisible. But, He can be known by the taste. You are the taste, the Divine droplet. This is the Truth - ‘That thou Art’. A tree has a trunk covered with bark and myriad roots to feed it and hold it firm. It has branches spreading in all directions, tapering into twigs. It has millions of leaves which breathe and borrow energy from the Sun. It fulfills itself by attracting bees to fertilise the flowers into seeds. All this variety of colour, fragrance, taste, smell and softness, of strength, toughness and tenderness has emanated from one single seed. Similarly, all creation emanated from God. This is the reality. Be firm in that faith.
Ambillah segumpalan garam dan jatuhkan ke dalam air. Garam akan larut segera dan tidak lagi kelihatan, walaupun kita mengetahui bahwa garam itu ada dalam setiap tetes air. Gumpalan garam itu tidak dapat ditemukan lagi, namun kita mengetahui keberadaannya dengan mencicipi air. Sama halnya, Tuhan ada dimana-mana, walaupun tidak terlihat. Namun, Tuhan dapat diketahui dengan dirasakan. Engkau adalah rasa dari tetes kecil Tuhan. Ini adalah kebenaran - ‘Tat Twam Asi’. Sebuah pohon memiliki sebuah dahan yang ditutupi dengan kulit kayu dan begitu banyak akar yang memberikannya makan dan menopangnya dengan kuat. Pohon ini memiliki cabang menyebar ke segala arah, dan semakin kecil menjadi ranting. Pohon ini juga memiliki jutaan daun yang bernafas dan meminjam energi dari matahari. Pohon melengkapi dirinya dengan menarik lebah untuk melakukan penyerbukan pada bunga menjadi benih. Semua jenis dari warna, keharuman, rasa, bau dan kehalusan, kekuatan, ketangguhan dan kelembutan muncul dari satu benih. Sama halnya, seluruh ciptaan muncul dari Tuhan. Ini adalah kenyataan. Mantaplah dalam keyakinan itu. (Divine Discourse, Jan 2, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 5th March 2019 (Tuesday)

This all-pervading Universal Consciousness has been called Chit-Tapas. It is the highest consciousness which encompasses all other levels of consciousness and is the basis for all of them. That is the Shuddha Satwa (the all-effective Will), the Super Divine life. This is the Sai tatwa (the Sai Principle). It is omnipotent. There is nothing that is beyond its power. It is the embodiment of all powers. It should be everyone's aim to strive to recognise this Supreme Principle. There are some clearly defined methods for achieving this aim. One’s vision, which is now turned outward towards the phenomenal universe, should be turned inwards towards the Indwelling Spirit. One should manifest the Divine consciousness inherent in oneself. One should submit oneself to that consciousness as a spiritual discipline. This is called "Conscious Realisation of the Inner Divine."
Kesadaran Universal yang meresapi semuanya disebut dengan Chit-Tapas. Ini adalah kesadaran yang tertinggi yang meliputi semua level kesadaran yang lainnya dan dasar dari semuanya. Itu adalah Shuddha Satwa (kehendak yang sangat ampuh), kehidupan super ilahi. Ini adalah Sai tatwa (Prinsip Sai). Ini adalah Maha Kuasa. Tidak ada yang melampaui kekuatannya. Ini adalah perwujudan dari semua kekuatan. Ini seharusnya yang menjadi tujuan setiap orang untuk berusaha menyadari prinsip yang tertinggi ini. Ada beberapa metode yang jelas untuk mencapai tujuan ini. Pandangan seseorang yang saat sekarang diarahkan keluar pada alam semesta yang bersifat fenomenal, seharusnya diarahkan kedalam mengarah pada jiwa yang bersemayam dalam diri. Seseorang seharusnya mewujudkan kesadaran ilahi yang menjadi sifatnya. Seseorang seharusnya tunduk pada kesadaran itu sebagai displin spiritual. Ini disebut dengan "Perwujudan suara hati dari Tuhan di dalam diri." (Divine Discourse, Feb 16, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 4th March 2019 (Monday)

'Shiva' means auspiciousness. ‘Night’ (ratri) signifies darkness. Shivaratri describes an auspiciousness which is inherent in darkness. It refers to wisdom that exists in the midst of ignorance. Ignorance and wisdom are not two different things; they are the opposite polarities of the same underlying principle. The stage that transcends both wisdom and ignorance is called Paratatwa, where birth and death do not occur! Thus Shivaratri reminds you of the fact that the same Divinity within you is present everywhere. Some people believe Shiva lives in Kailasa. Where is Kailasa? Kailasa is your own joy and bliss. If you cultivate pure joy and delight in your mind, your heart will become Kailasa, the abode of Lord Shiva! How can you experience pure bliss? Bliss results when you cultivate purity, steadiness and holiness. Then your heart itself will become Kailasa, filled with peace and bliss. Lord Shiva will then reside in the sanctum sanctorum of your heart, within the temple of your body.
'Shiva' berarti suci. ‘Malam’ (ratri) melambangkan kegelapan. Shivaratri menjelaskan sebuah kesucian yang tidak bisa dipisahkan dalam kegelapan. Ini mengacu pada kebijaksanaan yang ada diantara kebodohan. Kebodohan dan kebijaksanaan bukanlah dua hal yang berbeda; keduanya adalah dua kutub yang berlainan dari prinsip sama yang mendasari. Tahapan dimana melampaui keduanya baik itu kebodohan dan kebijaksanaan disebut dengan Paratatwa, dimana kelahiran dan kematian tidak terjadi! Jadi Shivaratri mengingatkanmu kenyataan bahwa keilahian yang sama ada di dalam dirimu juga ada dimana-mana. Beberapa orang percaya Shiva tinggal di Kailasa. Dimana Kailasa itu? Kailasa adalah suka cita dan kebahagiaanmu sendiri. Jika engkau meningkatkan suka cita dan kegembiraan yang murni di dalam pikiranmu, hatimu akan menjadi Kailasa, kediaman dari Dewa Shiva! Bagaimana engkau dapat mengalami kebahagiaan yang suci? Kebahagiaan terjadi ketika engkau meningkatkan kesucian, keteguhan dan kemurnian. Kemudian hatimu sendiri akan menjadi Kailasa, diliputi dengan kedamaian dan kebahagiaan. Dewa Shiva kemudian akan bersemayam dalam hatimu yang paling suci, di dalam kuil tubuhmu. (Divine Discourse, Feb 17, 1985)

-BABA

Thought for the Day - 3rd March 2019 (Sunday)

We have not only the Maha Shivaratri once a year, we have a Shivaratri every month dedicated to the worship of Shiva. And why is this ratri (night) so important? The night is dominated by the Moon. The Moon has 16 kalas (fractions of divine glory), and each day or rather night, during the dark fortnight, one fraction is reduced, until the entire Moon is annihilated on the New-Moon night. From then on, each night, a fraction is added, until the Moon is a full circle on the Full-Moon night. The Moon is the presiding deity of the mind; the mind waxes and wanes just like the Moon. Chandrama manaso jatha - Out of the mind of the Purusha (Supreme Being), the Moon was born. It must be remembered that the chief aim of all sadhana is to eliminate the mind and become an Amanaska. Then only can maya (illusion) be rent asunder and the reality revealed.
Kita tidak hanya memiliki Maha Shivaratri sekali dalam setahun, kita memiliki Shivaratri setiap bulan yang didedikasikan pada pemujaan pada Shiva. Dan mengapa pada malam (ratri) menjadi begitu penting? Malam banyak dipengaruhi oleh bulan. Bulan memiliki 16 kala (bagian dari kemuliaan Tuhan), dan setiap hari atau lebih tepatnya malam, selama dua minggu yang gelap, satu kala atau bagian dikurangi, sampai seluruh bulan gelap saat bulan mati. Mulai dari saat itu, setiap malam, satu kala atau bagian ditambahkan, sampai bulan dalam lingkaran penuh saat malam bulan purnama. Bulan adalah dewa utama dari pikiran; pikiran berkurang dan bertambah sama seperti halnya bulan. Chandrama manaso jatha – dari pikiran Purusha (Tuhan yang tertinggi), bulan itu lahir. Ini harus diingat bahwa tujuan utama dari semua sadhana adalah untuk melenyapkan pikiran dan menjadi Amanaska. Hanya dengan demikian maya (khayalan) menjadi hancur dan kenyataan sejati diungkapkan. (Divine Discourse, Shivaratri, Feb 1969)

-BABA

Thought for the Day - 2nd March 2019 (Saturday)

Now, the only thing that is cheap is ‘man’! All else have gone up in value. Human beings are the most defamed and most neglected. When costly projects are planned and finished, when the area becomes rich and prosperous, the inevitable result is an unfortunate increase in crime and vice. This is because there is no plan to build up the moral stamina of the human community the project is intended to benefit! The community can be really happy only if it has fine health, steady peace of mind and intelligence that is valued and directed to the service of others. The recognition of the evanescence of the body and all things material must overrule the tendency towards pride and pomp, and check avarice and ambition.
Sekarang, hanya satu hal yang murah yaitu ‘manusia’! semua yang lainnya telah berkembang dalam nilai. Manusia adalah yang paling difitnah dan diabaikan. Ketika proyek yang sangat mahal direncanakan dan diselesaikan, ketika daerah itu menjadi makmur dan kaya, hasil yang tidak menguntungkan serta tidak dapat dihindarkan adalah naiknya angka kejahatan. Ini disebabkan karena tidak ada rencana untuk membangun stamina moral dari komunitas manusia yang diharapkan dapat bermanfaat dalam proyek ini! Komunitas dapat bernar-benar bahagia hanya jika memiliki kesehatan yang bagus, keteguhan dalam pikiran dan kecerdasan yang dihargai dan diarahkan pada pelayanan kepada yang lainnya. Menyadari akan hancurnya badan jasmani dan semua benda-benda material harus mengesampingkan kecenderungan pada kesombongan dan kebanggaan serta memeriksa ketamakan dan ambisi. (Divine Discourse, Mar 31, 1965)

-BABA