Wednesday, February 27, 2019

Thought for the Day - 27th February 2019 (Wednesday)

Amongst all living beings, human birth is the rarest. Do not waste such a precious and rare opportunity. You will lose your humanness when you indulge in falsehood, injustice, and unrighteousness. Therefore have good thoughts, good speech and good vision. See good, do good and be good. This is the inner meaning of life. Suppose someone criticises you, you should think that this also is for your good. Whatever others may do, think that it is all for your own good. Perform all actions with the goal of redeeming your life. See to it that you do not lose your humanness under any circumstance. Lead your life always smilingly and blissfully. Perform all actions with good intentions. To perform good actions, your thoughts need to be good. When your mind is filled with good thoughts, all bad thoughts disappear. This leads to good health. Love all, serve all. If you adhere to these principles, you will always have good health.


Diantara semua makhluk hidup, kelahiran sebagai manusia adalah yang paling sulit didapatkan. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang berharga dan sulit diperoleh ini. Engkau akan kehilangan nilai-nilai kemanusiaanmu ketika engkau terlibat dalam kebohongan, ketidakadilan, dan kejahatan. Maka dari itu miliki pikiran yang baik, perkataan yang baik, dan pandangan yang baik. Lihatlah yang baik, lakukan yang baik, dan jadilah orang baik. Ini adalah makna inti dari hidup. Seandainya seseorang mengkritikmu, engkau seharusnya berpikir bahwa ini juga untuk kebaikanmu. Apapun yang orang lain mungkin lakukan, pikirkan bahwa itu juga adalah untuk kebaikanmu sendiri. Lakukan semua perbuatan dengan tujuan untuk menyucikan hidupmu. Pastikan bahwa engkau tidak kehilangan nilai-nilai kemanusiaanmu dalam keadaan apapun juga. Jalani hidupmu selalu tersenyum dan penuh kebahagiaan. Lakukan semua perbuatan dengan niat yang baik. Untuk melakukan perbuatan yang baik, pikiran yang baik haruslah baik. Ketika pikiranmu diisi dengan gagasan yang baik, maka semua gagasan buruk akan lenyap. Hal ini menuntun pada kesehatan yang baik. Kasihi semua, layani semua. Jika engkau menjunjung tinggi prinsip ini, engkau akan selalu memiliki kesehatan yang baik. (Divine Discourse, Jul 3, 2008)

-BABA

Thought for the Day - 26th February 2019 (Tuesday)

Whatever happens, never give up the virtuous path. When Hanuman saw Mother Sita in the Ashoka Vana at Lanka, he saw her forlorn and helpless in the midst of her captors, surrounded by ogresses. He experienced overpowering agony seeing her, and so proposed to her, "Mother, I cannot bear your suffering. I shall take you on my shoulder, leaping across the sea, and restore you to Lord Rama". But listen to Mother Sita’s response! Despite untenable suffering, she resisted temptation to escape from captivity and reunite with her Lord. She stuck to Dharma and explained, "I should not, out of my own will, touch any male other than my Lord. If you carry me now, you will perform the same act for which Ravana is condemned. It will detract the glory that awaits my Lord, who will certainly liberate me by the prowess of His arm." End results can never justify the means. Means are just as important as the goal; both must be noble!


Apapun yang terjadi, jangan pernah melepaskan jalan kebajikan. Ketika Hanuman melihat Ibu Sita di Ashoka Vana di Lanka, dia melihat kesedihan dan ketidakberdayaan Ibu Sita diantara para penjaga yang dikelilingi dengan para raksasa wanita. Hanuman mengalami perasaan sedih yang begitu mendalam melihat keadaan Ibu Sita, dan kemudian Hanuman mendekatinya, "Ibu, saya tidak tahan lagi melihat penderitaan Ibu. Aku akan membawa Ibu di atas bahu saya, melewati samudera dan bertemu kembali dengan Sri Rama". Namun dengarkanlah jawaban dari Ibu Sita! Meskipun dengan penderitaan yang tidak tertahankan, Ibu Sita bersikeras menolak untuk bebas dari tahanan dan bertemu kembali dengan Sri Rama. Ibu Sita memegang teguh Dharma dan menjelaskan, "Saya tidak akan pernah dengan keinginan sendiri untuk menyentuh laki-laki lain selain Sri Rama. Jika engkau membawaku sekarang, maka engkau akan melakukan tindakan yang sama dengan dilakukan oleh Ravana yang terkutuk. Ini akan mengurangi kemuliaan yang akan menunggu junjunganku, yang pastinya akan membebaskanku dengan keberanian dari senjata-Nya." Hasil akhir tidak bisa pernah membenarkan caranya. Cara atau sarana sama penting dengan tujuannya; keduanya harus mulia dan luhur! (Divine Discourse, Mar 31, 1965)

-BABA

Monday, February 25, 2019

Thought for the Day - 25th February 2019 (Monday)

The love that is concentrated on oneself is as a bulb that illuminates the room alone, without shedding light outside the four walls. It is confined to the senses and never opens out to others, who are your kith and kin in God. There is another type of love, larger and deeper, which expands into the members of one's family. It is like moonlight, not strong enough to make things clear, but enough to move about in. It also undergoes rise and fall, increase and decrease. But the most desirable type of love is like the sunlight - ever engaged in purifying, activating, and illumining without any distinction. This love will make one act ever in the spirit of dedication to the Lord. Then all the acts would be elevating and holy.

Cinta kasih yang dipusatkan pada diri sendiri adalah sebuah bola lampu yang cahayanya hanya menerangi kamar saja, tanpa menyebarkan cahayanya diluar pada empat dinding saja. Ini hanya terbatas pada indera dan tidak pernah terbuka pada yang lainnya, yang mana merupakan saudara serta kerabatmu dalam Tuhan. Ada jenis yang lain dari cinta kasih yang lebih besar serta lebih dalam, yang meluas ke anggota dalam satu keluarga. Ini seperti cahaya rembulan, tidak cukup kuat untuk menerangi sesuatu dengan jelas, namun cukup untuk bergerak. Cahaya rembulan yang seperti ini mengalami pasang dan surut, bertambah dan berkurang. Namun jenis cinta kasih yang paling diinginkan adalah seperti matahari – selalu memurnikan, mengaktifkan dan menerangi tanpa adanya perbedaan. Cinta kasih ini membuat seseorang selalu berbuat dalam semangat pengabdian kepada Tuhan. Kemudian semua perbuatan akan menjadi terangkat dan suci.  (Divine Discourse, Dec 17, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 24th February 2019 (Sunday)

Be good, be serviceable, be useful, be kind, be God-fearing — then the confidence of the people will be yours. Faith is the very breath of victory — faith in oneself, faith in the good work one has set upon, and faith in its success despite signs of failure. Attachment and hatred are the greatest enemies of progress in any work. If someone is deluded into believing that they are saving others, then woe be to them, for there is no ‘other’ at all! The fundamental flaw here is ignorance! If only you are wise, you will know that all individuals are waves on the surface of the self-same ocean. All are One, injury to the hand is pain to the whole body. Hence, selfless action is the ideal to be practised! Perform all actions without selfish desire (Nishkama Karma)! Desire for gain is like the poison fangs; when they are pulled out, the snake of karma is rendered harmless.
Jadilah baik, berfaedah, berguna, baik, sangat berbhakti kepada Tuhan -  kemudian kepercayaan orang-orang akan menjadi milikmu. Keyakinan adalah nafas utama dari keberhasilan - keyakinan pada diri sendiri, keyakinan pada kerja baik yang telah ditetapkan, dan keyakinan pada keberhasilannya walaupun ada tanda-tanda kegagalan. Kemelekatan dan kebencian adalah musuh yang paling berbahaya dalam kemajuan pekerjaan apapun juga. Jika seseorang ditipu untuk percaya bahwa mereka adalah menyelamatkan orang lain, kasihan sekali pada mereka, karena sejatinya sama sekali “tidak ada orang lain”! Kelemahan yang bersifat mendasar disini adalah kebodohan! Jika saja engkau bijaksana, engkau akan mengetahui bahwa semua individu adalah gelombang di permukaan dari samudera yang sama. Semuanya adalah Satu, rasa luka pada tangan sangat menyakitkan bagi seluruh tubuh. Oleh karena itu, perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri adalah hal yang ideal untuk dijalankan! Jalankan semua perbuatan tanpa keinginan yang mementingkan diri sendiri (Nishkama Karma)! Rasa ingin pada hasilnya adalah seperti taring beracun; ketika taring beracun itu dicabut, maka ular karma itu akan dianggap tidak berbahaya. (Divine Discourse, Sep 15, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 23rd February 2019 (Saturday)

Detachment (vairagyam) is the first sign of a spiritual life. Without it you are an illiterate in spirituality. It’s the ‘ABC’ of spiritual effort. Detachment must become strong enough for you to discard the bondage of the senses. A few minutes of thought will help you see the hollowness of earthly riches, fame, and happiness. When you are adding more and more sums of money to your bank account, consider whether or not you are accumulating troubles for yourselves and your children, making it harder for your children to lead clean, comfortable, and honourable lives. When you struggle to achieve paltry fame by devious means, remember who among crores of your countrymen are honoured today and for what. Don’t you see that only those are honoured everywhere who gave up, renounced, and sought the more difficult road of God-realisation instead of the easier path of world-realisation?

Tanpa kemelekatan (vairagyam) adalah tanda awal dari kehidupan spiritual. Jika engkau tidak memiliki sifat tanpa kemelekatan maka engkau buta huruf dalam spiritual. Ini adalah abjad ‘ABC’ dari usaha spiritual. Tanpa kemelekatan harus menjadi cukup kuat bagimu untuk melepaskan ikatan dari indria. Beberapa menit perenungan akan membantumu untuk melihat kekosongan dari kekayaan duniawi, ketenaran, dan kesenangan. Ketika engkau menambahkan lagi dan lagi pada rekening bankmu, pertimbangkan apakah ya atau tidak engkau sedang mengumpulkan masalah untuk dirimu sendiri dan anak-anakmu, membuat lebih sulit bagi anak-anakmu untuk menjalani hidup yang bersih, nyaman dan terhormat. Ketika engkau berjuang untuk mencapai ketenaran yang remeh serta tidak berharga ini dengan cara yang licik, ingatlah siapa yang ada diantara banyak masyarakat yang dihormati hari ini dan untuk apa? Tidakkah engkau melihat bahwa mereka hanya dihormati dimana saja ketika mereka melepaskan, meninggalkan hal itu dan mencari jalan kesadaran Tuhan yang lebih sulit daripada jalan yang lebih mudah dari kesadaran duniawi?  (Divine Discourse, Sep 8, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 22nd February 2019 (Friday)

First practise the attitude: “I am Yours.” Let the wave discover and acknowledge that it belongs to the sea. This step is not easy; the wave takes a long time to recognise the vast sea beneath that gives it its existence. For, the ego is so powerful that it does not permit it to be humble and bend before the sea. The second step is: “I am Yours; You are My Master. I am Your servant.” This mental attitude will tame the ego, and make every activity worthwhile. The next step is: “You are mine.” Here the wave demands the support of the sea as its right. The Lord has to take the responsibility of guarding and guiding the individual. Surdas said, “You are mine. I will not leave You; I shall imprison You in my heart. You shall not escape.” The next stage is: “You are I; I am but the image, and You are the Reality. I have no separate individuality; there is no duality.”
Pertama praktikkan sikap yang benar: “aku adalah milik-Mu.” Biarkan ombak menemukan dan mengetahui bahwa ombak adalah milik dari lautan. Langkah ini tidaklah mudah; ombak memerlukan waktu yang panjang untuk menyadari bahwa lautan yang luas yang ada dibawahnya yang memberikan keberadaannya. Karena, ego adalah sangat kuat sekali yang tidak mengizinkan ombak itu untuk rendah hati dan membungkuk di hadapan lautan. Langkah kedua adalah: “aku adalah diri-Mu; Engkau adalah junjunganku, aku adalah pelayan-Mu.” Sikap batin ini akan menjinakkan ego, dan membuat setiap kegiatan berguna. Langkah berikutnya adalah: “Engkau adalah milikku.” Disini ombak menuntut dukungan dari laut sebagai haknya. Tuhan harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga dan menuntun individu. Surdas berkata, “Engkau adalah milikku, aku tidak akan melepaskan-Mu; aku akan mengikat-Mu di dalam hatiku. Engkau tidak akan bisa lari.” Langkah berikutnya adalah: “Engkau adalah aku; aku hanyalah bayangan, dan Engkau adalah kenyataan yang sejati, aku tidak memiliki kepribadian yang terpisah; tidak ada lagi dualitas.”  (Divine Discourse, Sep 8, 1963)

-BABA

Thought for the Day - 21st February 2019 (Thursday)

Welcome all blows of fate, misfortunes and miseries as gold welcomes the crucible, hammer and anvil, in order to become a jewel. Like the cane, welcome the chopper, crusher, boiler, pan, sprayer and dryer, so that its sweetness is preserved and used as sugar by all. The Pandavas never demurred when disasters fell thick upon them. They accepted troubles as opportunities to remember Krishna and prayed fervently. God will foster you from within you, just as He saved and fostered so many saints who placed faith in Him.
Terimalah semua guncangan pada nasib, ketidakberuntungan dan penderitaan seperti emas yang menerima peleburan, pukulan martil, dan besi, dalam upaya membentuk emas itu menjadi perhiasan yang berharga. Seperti halnya tebu, menerima potongan dari pisau, penghancur, pemanas, tempayan, semprotan, dan pengering, sehingga rasa manisnya dapat dipertahankan dan digunakan sebagai gula oleh semuanya. Para Pandawa tidak pernah berkeberatan ketika bencana dan kemalangan menimpa mereka. Mereka menerima masalah sebagai kesempatan untuk mengingat Sri Krishna dan berdoa dengan penuh semangat. Tuhan akan membantu perkembanganmu dari dalam dirimu, seperti halnya Tuhan menyelamatkan dan menjaga begitu banyak orang suci yang menaruh keyakinan pada-Nya. - Divine Discourse, Sep 8, 1963.

-BABA

Thought for the Day - 20th February 2019 (Wednesday)

The tree of Life has to be watered at the roots, but now, those who plan to raise the standard of living, water the branches, the leaves and the blossoms. The roots are the virtues; they have to be fostered so that the flowers of actions, words and thoughts may bloom in fragrance and yield the fruit of seva (service), full of the sweet juice of bliss (ananda). Planning for food, clothing and shelter is only promoting the well-being of the cart; plan also for the horse, the mind of man which has to use the food, the clothing, the shelter and other material instruments for the high purpose of 'escaping from the ego into the universal'. Each one of you is fundamentally Divine, and so, naturally, the more you manifest the Divine attributes of Love, Justice, Truth and Peace, the more bliss you will be able to enjoy and impart. You must be ashamed when you manifest animal qualities, for you are living against your potential and heritage.  
Pohon kehidupan harus disiram pada akarnya, namun saat sekarang, mereka yang berencana untuk meningkatkan standar hidup, menyirami dahan, daun, dan bunga. Akar adalah kebajikan; akar-akar itu harus dikuatkan sehingga bunga perbuatan, perkataan, dan pikiran dapat mekar dalam keharuman dan menghasilkan buah seva (pelayanan), penuh dengan rasa manis jus kebahagiaan (ananda). Merencanakan untuk pangan, sandang, dan papan hanya meningkatkan kebaikan pada gerobaknya saja; rencanakan juga untuk kebaikan pada kudanya, pikiran manusia yang mana harus menggunakan sandang, pangan, papan serta sarana material lainnya untuk tujuan yang tinggi yaitu lepas dari ego menuju pada yang bersifat universal. Setiap orang darimu pada dasarnya adalah ilahi, dan begitu juga secara alami, semakin banyak engkau mewujudkan sifat-sifat ilahi dari kasih, keadilan, kebenaran dan kedamaian, maka semakin banyak kebahagiaan yang akan mampu engkau nikmati dan berikan. Engkau seharusnya malu ketika engkau menampilkan sifat-sifat binatang, karena engkau hidup bertentangan dengan potensi dan warisanmu. - Divine Discourse, Aug 03, 1966

-BABA

Thought for the Day - 19th February 2019 (Tuesday)

The epics teach the path of devotion and surrender. They ask that one should do every deed in a spirit of dedication. Allow the wind of doubt or the sun of despair to affect the pot of Ananda (bliss) you have filled, and it will evaporate quickly. But keep the pot in the cool waters of good company and good deeds; it can be preserved undiminished for ever. Ananda too grows when you dwell on it in silence and recapitulate the circumstances which yielded it. That is why manana or inner reflection is such an important part of spiritual effort. Like the child which throws off its toys and starts crying, you too must realise the paltriness of the toys of fame and fortune, and call out for the Mother. The child feels that all else is trash before the love of the Mother and the blessedness of Her presence. One should not aspire for anything less.  
Epos atau cerita kepahlawanan mengajarkan jalan bhakti dan berserah diri. Epos ini menginspirasi kita seharusnya melakukan setiap perbuatan dengan semangat dedikasi. Biarkan angin keragu-raguan atau mentari keputus-asaan untuk mempengaruhi wadah Ananda (kebahagiaan) yang telah engkau isi, dan semuanya itu akan menguap dengan cepat. Namun biarkan wadah tersebut tetap ada di dalam air yang dingin dari pergaulan yang baik serta perbuatan yang baik; kebahagiaan itu dapat dijaga tanpa berkurang selamanya. Ananda juga dapat tumbuh ketika engkau memikirkannya dalam keheningan dan menyimpulkan keadaan yang dapat memberikan kebahagiaan. Itulah sebabnya manana atau perenungan batin adalah bagian yang begitu penting dari usaha spiritual. Seperti halnya anak yang melemparkan mainannya dan mulai menangis, engkau juga harus menyadari betapa tidak ada artinya mainan berupa ketenaran dan keberuntungan, dan menangis memanggil Ibu. Anak merasakan bahwa segala yang lainnya adalah tidak ada artinya dihadapan kasih ibu dan menjadi berkat atas kehadirannya. Seseorang seharusnya tidak mengharapkan sesuatu yang kurang bernilai. - Divine Discourse, Jul 02, 1966

-BABA

Thought for the Day - 18th February 2019 (Monday)

For all our troubles and difficulties our conduct alone is responsible. If our actions are good the results will be good. Bad actions will lead to bad consequences. People think that good and bad are related to bad time. Not at all! Your thoughts alone are the root-cause. Hence, you should develop good thoughts and do good deeds. You should cherish good feelings and associate with good persons. Every one of you must also realise the preciousness of time. Today, most of you waste a lot of your available time.  This is utterly wrong. Time should be used always for the right purposes. That is the foremost duty of every individual. Waste of time is a waste of life. The Lord of time protects those who take refuge in Him, even against the Lord of death, Kala. In fact, the nation's prosperity is dependent on how people make use of their time in the performance of good actions!
Untuk semua masalah dan kesulitan yang kita hadapi maka tingkah laku kita satu-satunya yang bertanggung jawab. Jika tindakan kita adalah baik maka hasilnya akan baik. Perbuatan buruk akan membawa pada akibat atau hasil yang buruk. Orang-orang berpikir bahwa baik dan buruk terkait pada waktu yang buruk. Tidak sama sekali! Pikiranmu sendiri adalah akar penyebabnya. Oleh karena itu, engkau seharusnya mengembangkan pikiran yang baik dan melakukan perbuatan yang baik. Engkau seharusnya mengharapkan perasaan yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang baik. Setiap orang darimu juga harus menyadari pentingnya atau berharganya waktu. Hari ini, kebanyakan darimu menyia-nyiakan banyak waktumu yang tersedia. Hal ini adalah benar-benar salah. Waktu seharusnya selalu digunakan untuk tujuan yang benar. Itu adalah kewajiban yang paling utama untuk setiap individu. Menyia-nyiakan waktu adalah menyia-nyiakan hidup. Tuhan penguasa waktu melindungi mereka yang mencari perlindungan pada-Nya, bahkan menentang dewa kematian, Kala. Sesungguhnya, kesejahteraan sebuah bangsa tergantung dari bagaimana masyarakatnya menggunakan waktu mereka dalam menjalankan perbuatan yang baik! - Divine Discourse, Apr 7, 1997

-BABA

Monday, February 18, 2019

Thought for the Day - 17th February 2019 (Sunday)

You get the human body through the karma of the past; you get the ‘type of character’ according to the tendencies (vasanas) cultivated in the past. Do not delude yourself that you are the body or be fascinated into an attachment for it. But it is your task to guard it from harm and keep it in good trim. For, isn’t it with your body that you are imbibing the exhilaration of the bliss of the Lord, the Majesty of the Lord? Therefore, do not deride the body or treat it with contempt. That equipment is intended for your journey towards the Lord; it is the Lord’s chariot; do not neglect or keep it in disrepair. Do not lament, “Oh, this is my fate, my own past punishing me, I must suffer, I cannot escape it.” People get disheartened thus. If karma is so inescapable, what is the use of prayer, of remembering the Lord’s name, of meditation, or of the ritual of worship? Have faith, persist and win the grace of the Lord, and all the accumulated burden will be burnt into ashes in a moment!


Engkau mendapatkan tubuh manusia melalui karma masa lalu; engkau mendapatkan ‘jenis karakter’ sesuai dengan kecenderungan yang ada (vasana) yang ditingkatkan masa lalu. Jangan menipu dirimu sendiri bahwa engkau adalah badan atau menjadi terpikat serta melekat pada tubuh ini. Namun adalah tugasmu untuk menjaga tubuh ini dari bahaya dan tetap menjaganya dalam keseimbangan yang baik. Karena, bukankah dengan sarana tubuhmu engkau dapat menyerap suka cita kebahagiaan Tuhan, keagungan Tuhan? Maka dari itu, jangan mencemooh tubuh atau memperlakukan tubuh dengan jijik. Perlengkapan tubuh ini sesungguhnya untuk perjalananmu menuju Tuhan; ini adalah kendaraan dari Tuhan; jangan mengabaikannya atau membiarkannya rusak. Jangan menyesali, “Oh, ini adalah nasibku, karma masa lalu sedang menghukumku, aku harus menderita, aku tidak bisa melepaskannya.” Orang-orang menjadi berkecil hati. Jika karma adalah tidak bisa dielakkan, lantas apakah gunanya doa, mengingat nama Tuhan, meditasi, atau ritual pemujaan? Miliki keyakinan, terus berusaha untuk mendapatkan rahmat Tuhan, dan semua kumpulan itu akan terbakar hangus menjadi abu dalam sekejap! - Divine Discourse, 25-10-1961

-BABA

Saturday, February 16, 2019

Thought for the Day - 16th February 2019 (Saturday)

Do not yield to despair. Even the infant lotus buds bloom in their own good time. By the cumulative effect of the good done in many previous births, you have secured this fortune; you do not know how much you have gone through, but I know! And, whether you know or not, I shall certainly satisfy all your needs. You must take in the medicine I give and also follow the diet I prescribe and avoid the things I prohibit. Take the Form you like and meditate upon it, take the Name you love and repeat it, then no evil thought will arise. Wicked thoughts will flee. When they have fled, what remains is the Embodiment of Atma (Atmaswarupa). Lead your lives according to My Teachings, without the slightest modification. First have faith, then the experience is granted. You worship with faith and you will experience Grace. Faith results in Grace without your being aware of it.

Jangan menyerah pada keputus-asaan. Bahkan kuncup teratai mekar pada waktunya yang terbaik. Dengan akumulasi atau kumpulan dari kebaikan yang dilakukan pada banyak kelahiran sebelumnya, engkau mendapatkan keberuntungan ini; engkau tidak mengetahui berapa banyak yang telah engkau lalui, namun Aku mengetahuinya! Dan, apakah engkau mengetahuinya atau tidak, Aku pastinya akan memenuhi semua kebutuhanmu. Engkau harus meminum obat yang Aku berikan dan juga mengikuti diet yang Aku sarankan serta menghindari hal-hal yang Aku larang. Ambillah wujud yang engkau sukai dan pusatkan perhatian pada wujud itu, ambillah nama yang engkau cintai dan ualng-ulanglah nama itu, kemudian tidak akan ada pikiran jahat yang muncul. Pikiran-pikiran jahat akan terbang menjauh. Ketika semua pikiran jahat itu terbang, apa yang masih tersisa adalah perwujudan Atma (Atmaswarupa). Bawalah hidupmu sesuai dengan ajaran-Ku, tanpa sedikitpun ada modifikasi. Pertama milikilah keyakinan, kemudian pengalaman akan didapatkan. Engkau memuja dengan keyakinan dan engkau akan mengalami berkah. Keyakinan menghasilkan berkah tanpa engkau menyadarinya. Divine Discourse, Oct 25, 1961
-BABA


Friday, February 15, 2019

Thought for the Day - 15th February 2019 (Friday)

In one of the jails, there was once a very pure soul devoted to spiritual ideals who was carefully practising spiritual discipline. He had advanced very far in meditation and concentration. However, one day when he sat for meditation, he felt very savage emotions surging up in him and was shocked to find that he could not, in spite of tremendous struggle, suppress the hateful and murderous thoughts that took hold of him. He was rocked in agony, and his guru was also upset at the turn of events. The guru probed into the history of the disciple rather deeply but could not find any valid reason for the tragedy. At last, he found that a certain fanatic murderer had acted as the cook in the jail kitchen the day previous to the calamity, and his hateful thoughts had pervaded the food he cooked. Subtle invisible thought-forms can pass from one person to another by such means.  


Di salah satu sebuah penjara, pernah ada seorang yang berjiwa sangat murni dan memegang teguh pada idealisme spiritual yang dengan tekun menjalankan disiplin spiritual. Dia telah maju sangat jauh dalam meditasi dan konsentrasi. Bagaimanapun juga, pada suatu hari ketika dia duduk untuk meditasi, dia merasakan perasaan emosi yang sangat liar serta biadab muncul di dalam dirinya dan sangat terkejut karena dia tidak mampu untuk mengendalikannya, sekalipun sudah berjuang keras, dan menekan pikiran yang penuh kebencian serta pembunuhan yang menguasai dirinya. Dia terguncang dalam rasa sakit yang mendalam, dan gurunya juga kecewa dengan perubahan keadaan yang terjadi. Sang guru menyelidiki pada sejarah muridnya dengan cukup mendalam namun tidak dapat menemukan alasan tepat atas keadaan ini. Pada akhirnya, dia mendapatkan kenyataan bahwa ada seorang pembunuh yang sangat agresif yang bertugas sebagai tukang masak di dapur penjara satu hari sebelum masalah ini muncul, dan pikiran yang penuh kebencian telah menyelimuti makanan yang dimasaknya. Bentuk pikiran halus yang tidak terlihat ini dapat berpindah dari satu orang ke yang lainnya dengan melalui cara seperti ini (makanan). → Divine Discourse, Oct 10, 1961

-BABA

Thought for the Day - 14th February 2019 (Thursday)

You may ride in a smart car of your own, but you are entrusting daily, without a second thought, the car, yourself and your family to the skill and presence of your chauffeur’s mind. However, when advised to entrust your affairs to the Lord, you hesitate and decline to surrender to the divine Power (Mahashakti) because of the power of illusion (mayashakti). By all means be concerned about success or failure in achieving the real purpose of your life. Yearn, yearn, yearn hard, and success is yours. Remember, you will definitely win; that is why you heard the inner call and responded to it by coming to Me. What other task have I than the showering of grace? Treat Me not as one afar but as very close to you. Insist, demand, claim grace from Me; do not praise, extol, and cringe. Bring your hearts to Me and win My Heart. Not one of you is a stranger to Me. Bring your promises to Me and I shall give you My promise. But first see that your promise is genuine and sincere, and if your heart is pure; that is enough.


Engkau mungkin mengendarai mobil mewahmu, namun engkau mempercayakan setiap hari, tanpa berpikir dua kali, mobil, dirimu sendiri dan keluargamu pada keahlian serta kehadiran dari pikiran sang sopir. Bagaimanapun juga, ketika disarankan untuk mempercayakan urusanmu pada Tuhan, engkau menjadi ragu-ragu serta menolak untuk berserah diri pada kekuatan Tuhan (Mahashakti) karena kekuatan dari khayalan (mayashakti). Dengan segala cara, pusatkan perhatian pada keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan yang sebenarnya dari hidupmu. Teruslah untuk tetap mendambakan serta merindukan dan keberhasilan akan menjadi milikmu. Ingatlah bahwa engkau pastinya akan berhasil; itulah sebabnya mengapa engkau mendengar panggilan dari dalam dirimu dan meresponnya dengan datang kepada-Ku. Apa tugas-Ku yang lain selain mencurahkan karunia? Perlakukan Aku bukan sebagai seseorang yang jauh namun yang sangat dekat denganmu. Tetap mendesak, menuntut, meminta karunia dari-Ku; jangan memuji, menyanjung dan merasa jijik. Bawalah hatimu kepada-Ku dan menangkanlah hati-Ku. Tidak ada satupun darimu adalah orang asing bagi-Ku. Berikan janjimu pada-Ku dan Aku akan memberikan janji-Ku padamu. Namun pertama-tama perhatikan bahwa janjimu adalah bersifat murni dan tulus, dan jika hatimu suci, itu sudah cukup. → Divine Discourse, Oct 10, 1961

-BABA

Thought for the Day - 13th February 2019 (Wednesday)

Virtuous conduct also ensures mental peace, and that in turn saves you from many a physical and mental illness. If you overstep the bounds (mithi), you will not progress (gathi). Coming to the topic of physical illness, I must tell you that you must practice moderation in food, drink, sleep and exercise. Good food taken in moderate quantities, at regular intervals — that is the prescription. Pure, wholesome (satwic) food promotes self-control and intelligence more than passion-producing (rajasic) and impure (tamasic) food. For spiritual aspirants, pure and wholesome food is very necessary. Subtle invisible thought-forms can pass from one person to another through food. Hence you must be very careful about food, especially where you are proceeding Godward, through the steep path of yoga. Sleep too should be regulated and moderate; it is as important as work and food. Remember also that dress is primarily for protection against heat and cold, not for vain display even at the cost of health.


Perbuatan yang mulia juga memastikan kedamaian batin, dan ini akan menyelamatkanmu dari banyak penyakit fisik dan batin. Jika engkau melewati batasan (mithi), engkau tidak akan mengalami kemajuan (gathi). Kembali pada topik penyakit fisik, Aku harus mengatakan kepadamu bahwa engkau harus mempraktikkan sikap tidak berlebihan dalam makanan, minuman, tidur, dan latihan. Makanan yang bagus dikonsumsi dalam takaran yang tidak berlebihan, pada interval yang teratur - itu adalah resepnya. Makanan yang suci, sehat (satwik) meningkatkan pengendalian diri dan kecerdasan daripada makanan yang membangkitkan nafsu (rajasik) dan tidak murni (tamasik). Untuk peminat spiritual, makanan yang suci dan sehat adalah sangat dibutuhkan. Pikiran halus yang tidak terlihat dapat menular dari satu orang ke orang yang lainnya melalui makanan. Oleh karena itu engkau harus sangat hati-hati berkaitan dengan makanan, khususnya saat engkau berjalan di jalan Tuhan, melalui jalan terjal yoga. Tidur juga seharusnya teratur dan tidak berlebihan; ini sama pentingnya dengan bekerja dan makanan. Juga ingatlah bahwa pakaian adalah pelindung utama dari panas dan dingin, dan bukan untuk pamer yang tidak bermakna bahkan dengan mengorbankan kesehatan. (Divine Discourse, Oct 10, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 12th February 2019 (Tuesday)

When we spend so much time and effort to understand the contents of our scriptures, should we not use all that knowledge to understand and experience the Divinity in us? To merely read and then teach others without putting them into practice in your life is an useless occupation – you are wasting your time and life as well! What you really need is the grace of God. In the present times, there is too much confusion. To overcome this, handle your mind very steadily and slowly, and bring it under your control. Never be in a hurry and use force to control the mind. If a cow in our home wants to go out and eat the harvest in the field, how is it tamed and brought back? We try to find out the kind of food that it is after and feed it with something even better at home. Gradually, it gives up the tendency to go out of the house. Tame your mind similarly!


Ketika kita menghabiskan waktu begitu banyak dan usaha untuk memahami isi dari naskah suci kita, bukankah kita seharusnya menggunakan semua pengetahuan itu untuk memahami dan mengalami keilahian di dalam diri kita? Dengan hanya membaca dan kemudian mengajarkan pada orang lain tanpa menjalankannya di dalam kehidupanmu maka itu adalah pekerjaan yang sia-sia – engkau sedang menyia-nyiakan waktumu dan juga hidupmu! Apa yang benar-benar diperlukan adalah karunia Tuhan. Pada saat sekarang, terlalu banyak ada kebingungan. Untuk mengatasi hal ini, tangani pikiranmu dengan mantap dan pelan serta bawalah pikiranmu dibawah kendalimu. Jangan pernah tergesa-gesa dan menggunakan kekuatan untuk mengendalikan pikiran. Jika seekor sapi di rumahmu ingin keluar dan makan panen di sawah, bagaimana cara menjinakkannya dan membawanya kembali? Kita mencoba menemukan jenis makanan yang dicarinya dan memberikannya dengan sesuatu yang bahkan lebih baik di rumah. Secara teratur, sapi itu akan melepaskan kecenderungannya untuk keluar dari rumah. Jinakkan pikiranmu dengan cara yang sama! (Summer Showers in Brindavan 1973, Ch 27)

-BABA

Tuesday, February 12, 2019

Thought for the Day - 11th February 2019 (Monday)

Our journey is from the individual to the Universal, from 'Swa' (mine) to 'So-ham' (oneness with God), from 'I' to 'we'. The effulgent Sun can be seen only with its own light. Similarly only by the grace of the Divine can one obtain a vision of the Divine. No skill, intellectual effort or scholarship is required to experience the Divine. Just as clouds may obscure the Sun, the clouds of egoism, attachment and hatred prevent one from seeing the Divine. Prayer and sadhana are the means by which these clouds are dispersed. Sadhana (spiritual discipline) is the royal road to reach the Divine. The human make-up is a mixture of good and bad traits. One in whom the good traits predominate, tends to see only the good in others. Those who have equal-mindedness see the good and bad qualities impartially. It is necessary therefore to cultivate good qualities.

Perjalanan kita adalah dari individu menuju ke Universal, dari 'Swa' (milikku) menuju pada 'So-ham' (kesatuan dengan Tuhan), dari 'aku' menuju 'kita'. Cahaya mentari dapat dilihat hanya dengan cahayanya sendiri. Sama halnya hanya dengan karunia dari Tuhan maka seseorang dapat mencapai pandangan keilahian. Tidak ada keahlian, usaha intelektual atau kesarjanaan yang diperlukan untuk mengalami keilahian. Sama halnya awan mungkin dapat menutupi matahari, awan dari egoisme, kemelekatan dan kebencian menghalangi seseorang dalam melihat keilahian. Doa dan sadhana adalah sarana dimana awan-awan dihilangkan. Sadhana (latihan spiritual) adalah jalan besar untuk mencapai Tuhan. Manusia adalah gabungan dari sifat baik dan buruk. Seseorang yang dominan dengan sifat baik, cenderung untuk melihat hanya kebaikan pada diri yang lain. Sedangkan mereka yang memiliki pikiran yang sama melihat sifat baik dan buruk dengan seimbang. Makanya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan sifat-sifat yang baik. (Divine Discourse, Feb 11, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 10th February 2019 (Sunday)

Chaitanya or consciousness is present in the smallest to the biggest. From your point of view, an object may appear to be inert, but from the Vedic point of view, everything is Chaitanya. It is foolish to overlook the existence of Chaitanya. One may question, if it is all-pervasive, why is it not visible to the naked eye? You are all well aware of the fact that there is butter in every drop of milk. Can you deny its existence merely because it is not visible to the naked eye? The process of obtaining butter involves curdling the milk and then churning it. People are unable to perceive this Chaitanya principle because of two defects: 1. They overlook their innumerable mistakes, and 2. Magnify the minutest mistake of others. One can attain Divinity only when one stops this. It is a great sin to search for others’ faults. Instead, look for your own. Consider your smallest defect as a great blunder and try to rectify the same.


Chaitanya atau kesadaran hadir dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Dari sudut pandangmu, sebuah objek mungkin kelihatan tidak aktif, namun dari sudut pandang Weda, segala sesuatu adalah Chaitanya. Adalah kebodohan mengabaikan keberadaan dari Chaitanya. Seseorang mungkin bertanya, jika semuanya diliputi Chaitanya, lantas mengapa tidak kelihatan secara kasat mata? Engkau semuanya sadar kenyataan bahwa ada mentega dalam setiap tetes susu. Dapatkah engkau menyangkal keberadaannya hanya karena tidak terlihat oleh kasat mata? Proses dalam mendapatkan mentega termasuk membekukan serta mengaduknya. Orang-orang tidak mampu menerima prinsip Chaitanya ini karena  adanya dua cacat: 1. Mereka mengabaikan kesalahan mereka yang tidak terhitung, dan 2. Membesar-besarkan kesalahan paling kecil dari yang lain. Seseorang dapat mencapai keilahian hanya ketika seseorang menghentikan hal ini. Ini merupakan dosa terbesar dengan mencari kesalahan orang lain. Sebaliknya, carilah kesalahanmu sendiri. Anggaplah kesalahanmu yang paling kecil sebagai kesalahan terbesar dan cobalah untuk memperbaiki kesalahan itu. (Divine Discourse, Mar 12, 2002)

-BABA

Saturday, February 9, 2019

Thought for the Day - 9th February 2019 (Saturday)

Our ancients enquired into the nature of Divinity through many paths, but were not successful in recognising the reality. Hence, they started worshipping Prakriti (Nature). Thereafter, the Bharatiyas took to murti aradhana (idol-worship). Every creature that takes birth in this universe has a form (murti). Idols are inert in nature and do not possess the qualities of compassion, love, forbearance, etc. It is for this reason that some people are against idol-worship. This is ignorance. Are you not worshipping the pictures of your parents and grandparents? Do these pictures have life in them? No. Nor do they have the qualities of compassion, love, sacrifice, etc. Then what is the point in worshipping them? It is through these pictures that we are reminded of the virtues and ideals they stood for. You use your forefinger to point to a specific object, say, a flower or a tumbler. Similarly idols are like pointers to Divinity. Once you recognise Divinity, you don’t need the pointers. Such being the case, is it not foolish to object to idol worship?


Para leluhur kita menyelidiki sifat alami dari Tuhan melalui berbagai jalan, namun tidak berhasil menyadari kenyataan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mereka mulai memuja Prakriti (Alam). Sesudah itu, para penduduk Bharat mulai melakukan murti aradhana (pemujaan arca suci). Setiap ciptaan yang lahir di alam semesta ini mengambil sebuah wujud (murti). Arca adalah tidak bergerak di alam dan tidak memiliki sifat seperti welas asih, kasih, ketabahan, dsb. Karena alasan ini beberapa orang menentang pemujaan pada arca suci. Ini adalah kebodohan. Apakah engkau tidak memuliakan gambar dari orang tua dan kakek serta nenekmu? Apakah gambar itu memiliki kehidupan? Tidak, dan juga tidak memiliki sifat welas asih, kasih, pengorbanan, dsb. Lalu apa gunanya memuliakan gambar-gambar itu? Adalah melalui gambar-gambar itu kita diingatkan akan kebajikan dan idealisme yang mereka teladani. Engkau menggunakan jari telunjukmu untuk menentukan sebuah objek yang spesifik, contohnya adalah sebuah bunga atau sebuah ember. Sama halnya arca suci adalah seperti petunjuk pada keilahian. Sekali engkau menyadari keilahian, engkau tidak memerlukan petunjuk lagi. Karena itu, bukankah merupakan sebuah kebodohan menolak untuk memuja arca suci? (Divine Discourse, Mar 12, 2002)

-BABA

Friday, February 8, 2019

Thought for the Day - 8th February 2019 (Friday)

Do puja (ritual worship) with flowers, japam (repetition) with rosaries, and so on, but only until you are prepared for higher endeavours. You must offer the Lord, not the flowers that plants grow; that will reward the plant, not you! The Lord wants you to offer the lotus that blooms in the Lake of your Heart, and the fruit that ripens on the tree of your earthly career. You may ask, "Where can I find the Lord?" Well, He has given His address, in Chapter 18, Sloka 61 of the Gita. He declares, “Ishwarassarvabhoothaanam hriddese, Arjuna, tistati - O Arjuna, the Lord resides in the heart of all beings." Now, after knowing that, how can you look down on any living being in contempt or how can you revel in hating him or indulge in the pastime of ridiculing? Remember, every individual is charged with the Divine Presence, moved by Divine attributes. Love, honour, friendliness - that is what each one deserves from you. Give these freely, in full measure!


Melakukan puja (pemujaan ritual) dengan bunga, japam (pengulangan nama Tuhan) dengan japa mala, dan sebagainya, namun hanya sampai engkau siap untuk usaha yang lebih tinggi. Engkau harus mempersembahkan kepada Tuhan, bukan bunga yang muncul dari tumbuhan; karena itu akan memberikan pahala pada tumbuhan dan bukan untuk dirimu! Tuhan ingin agar engkau mempersembahkan bunga teratai yang mekar di danau hatimu, dan buah yang matang pada pohon karir duniawimu. Engkau mungkin bertanya, "Dimana saya bisa menemukan Tuhan?" Tuhan telah memberikan alamat-Nya di bab 18 dalam Gita. Tuhan bersabda, “Ishwarassarvabhoothaanam hriddese, Arjuna, tistati - O Arjuna, tempat tinggal Tuhan adalah dalam hati semua makhluk." Sekarang, setelah mengetahui itu, bagaimana engkau bisa memandang rendah makhluk hidup dengan jijik atau bagaimana engkau dapat bersuka ria dalam membencinya atau bersenang-senang sebagai hiburan dalam mengolok-oloknya? Ingatlah, setiap individu adalah diisi dengan kehadiran Tuhan, digerakkan oleh sifat-sifat Tuhan. Cinta kasih, rasa hormat, keramahan – itu adalah yang pantas diterima oleh masing-masing darimu. Berikan semuanya ini dengan gratis dan dalam ukuran penuh! (Divine Discourse, Apr 16, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 7th February 2019 (Thursday)

In the Treta age, vanaras (monkeys) were made to act and talk like naras (humans). In the Dwapara age, nara (human) was transformed into Narayana (God) by the grace of Narayana. In the Kali age (the era we are in now), the declaration is made that the nara is Narayana Himself! The space in the pot and the space in the monastery are identical with the vast space in the sky; only the disguises of the pot and monastery keep up the illusion of separateness. The senses are the villains; they instill the delusion that you are the body. Curb them as the bull is curbed by the nose ring, the horse by the bit in the mouth, and the elephant by the goad. First self, then help. Improve yourself, teach yourself, reconstruct yourself. Then proceed to solve the problems of others. This reconstruction is quite easy, provided you inquire calmly into your own personality - “Am I the body or the senses or the mind or the intellect,” and so on.


Pada zaman Treta yuga, para kera (vanara) diciptakan dapat berbuat dan berbicara seperti halnya manusia (nara). Pada zaman Dwapara yuga, manusia (nara) diubah menjadi Narayana (Tuhan) dengan karunia dari Narayana. Pada zaman Kali yuga (zaman saat sekarang), pernyataan telah dibuat bahwa manusia (nara) adalah Narayana sendiri! Ruang yang ada dalam periuk dan ruang yang ada dalam biara adalah sama dengan ruang luas di langit; hanya penyamaran dari periuk dan biara yang tetap mempertahankan khayalan keterpisahan. Indera adalah jahat; indera menanamkan khayalan bahwa engkau adalah badan jasmani. Kendalikan indera seperti seekor kerbau yang dikekang dengan cincin di hidungnya, kuda dikekang dengan kekang di mulut, dan gajah dikekang dengan tongkat. Pertama adalah diri sendiri, kemudian membantu. Tingkatkan dirimu sendiri, ajarkan dirimu sendiri, memugar kembali dirimu sendiri. Kemudian lanjutkan untuk memecahkan masalah orang lain. Rekonstruksi ini cukup mudah, asalkan engkau bertanya dengan tenang pada kepribadianmu sendiri - “Apakah saya adalah badan ini atau indera atau pikiran atau intelek,” dan sebagainya. (Divine Discourse, Oct 26, 1963)

-BABA

Wednesday, February 6, 2019

Thought for the Day - 6th February 2019 (Wednesday)

Devotees must not be agitated by controversies promoted by people who have no divine or intuitive experience. You must all endeavour to be free from anxiety and fear, pride and envy. All of you have four enemies intent on ruining you - anger, envy, hatred and the horde of desires. You must regard both high and low as roles allotted to you in the Divine play. Always remember, whenever you insult, injure or reject anyone, you are, indeed inflicting them on the Loving God you adore. You can not reap the harvest of grace or the bliss from the Divine if you sow spiritual ardour on a heart full of the weeds of greed and hate. The basic moral prescription for any devotee who aspires to be near and dear to the Avatar is, ‘Worship God and offer love to Him in every living being.’
Para bhakta seharusnya tidak menjadi terganggu dengan kontroversi yang digerakkan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengalaman Illahi atau intuisi. Engkau semua harus berusaha untuk bebas dari kecemasan dan ketakutan, kesombongan dan iri hati. Semua darimu memiliki empat musuh yang bertujuan untuk merusakmu – kemarahan, iri hati, kebencian, dan sekumpulan keinginan. Engkau harus menganggap keduanya yaitu tinggi atau rendah sebagai peran yang dibagikan untukmu dalam permainan Illahi ini. Selalulah ingat, kapanpun engkau menghina, menyakiti, atau menolak siapapun juga, engkau sesungguhnya mengarahkan semuanya itu pada Tuhan yang engkau puja dan cintai. Engkau tidak bisa mendapatkan panen rahmat atau kebahagiaan dari Tuhan jika engkau menabur semangat spiritual pada hati yang penuh dengan rumput liar ketamakan dan kebencian. Resep dasar moralitas bagi setiap bhakta yang menginginkan untuk dekat dan disayang oleh Avatar adalah, ‘Puja Tuhan dan persembahkan kasih pada Tuhan dalam setiap makhluk.’ (Divine Discourse, Aug 2, 1986)

-BABA

Thought for the Day - 5th February 2019 (Tuesday)

You say, ‘I have fallen ill, or I am in good health’, and so on. That is because you feel that the body is ‘you’; whereas you are really only the Atma, with the five sheaths (Panca-koshas) superimposed on it. This misunderstanding is the result of the education system prevalent now, which teaches that the bliss one derives from the senses is all the bliss that one can get. It does not disclose to the individual the eternal source of bliss that one has within oneself. There is no training in the art of acquiring mental peace. No one is told the secret of attaining the state of equanimity amidst the confusion of modern civilisation. Everyone is induced to float with the current that drags humanity down to fear, anxiety, and despair. Life today is similar to the situation when the master of the house is restricted to a tasteless regimen while the members of the family revel in a banquet. The senses revel without limit, but the Atma is ignored.
Engkau berkata, ‘saya telah jatuh sakit, atau saya dalam keadaan sehat’, dan sebagainya. Itu dikarenakan engkau merasakan bahwa tubuh itu adalah ‘dirimu’; sedangkan engkau sejatinya hanyalah Atma, dengan lima lapisan (Panca-koshas) yang melapisinya. Kesalahpahaman ini adalah hasil dari sistem pendidikan yang ada pada saat sekarang, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan yang seseorang dapatkan dari indera adalah semua kebahagiaan yang bisa didapatkan. Sistem pendidikan tidak menyingkap pada individu tentang sumber kebahagiaan yang bersifat kekal yang seseorang miliki di dalam dirinya. Tidak ada latihan dalam seni untuk mendapatkan kedamaian batin. Tidak ada seorangpun yang diberitahu tentang rahasia mencapai keadaan ketenangan hati diantara kebingungan dalam peradaban modern. Setiap orang ditarik untuk mengapung pada arus yang menyeret manusia pada ketakutan, kecemasan dan keputusasaan. Kehidupan hari ini sama halnya dengan situasi ketika pemilik rumah dibatasi pada bentuk hidup yang hambar sedangkan anggota keluarga lainnya bersuka ria dalam sebuah perjamuan. Indera bersuka ria tanpa batas, sedangkan Atma diabaikan. (Divine Discourse, Oct 18, 1963)

-BABA

Monday, February 4, 2019

Thought for the Day - 4th February 2019 (Monday)

The Lord has revealed to Arjuna, and thereby to all mankind, that He is pleased by the devotion offered by aspirants for grace. He declares: Bhaktiman me priyo narah (A truly devoted person is very dear to Me, Gita Ch 12, Verse 19). Many may assert with the pride of achievement that they love God. That takes them only half-way through in the journey. One will not gain much therefrom. You must ask yourself, did God respond with ‘me priyo narah’ (he or she is dear to Me)? Only then you can claim to have achieved Divine Grace. Divine Grace alone confers the most precious gift of His Love. How can one become 'dear' to God? The Gita emphasises two qualifications: Santushta Satatam (ever contented) and Dhruda niscayah (with firm resolve). The devotee has to be contented and cheerful always, without regard for the changing tides of fortune.


Tuhan telah mengungkapkan kepada Arjuna, dan juga kepada seluruh umat manusia, bahwa Tuhan disenangkan dengan bhakti yang dipersembahkan oleh peminat spiritual untuk mendapatkan rahmat. Tuhan menyatakan: Bhaktiman me priyo narah (seorang bhakta sejati adalah sangat dekat dengan-Ku, Gita bab, sloka 19). Banyak yang mungkin menyatakan dengan bangga atas pencapaiannya bahwa mereka disayangi oleh Tuhan. Hal itu cuma membawa mereka setengah jalan dalam perjalanan. Seseorang tidak akan mendapat banyak dari hal itu. Engkau harus menanyakan dirimu sendiri, apakah Tuhan menjawab dengan ‘me priyo narah’ (dia adalah tersayang bagi-Ku)? Hanya dengan demikian engkau dapat menyatakan telah mendapatkan rahmat Tuhan. Hanya rahmat Tuhan yang memberikan hadiah yang paling berharga dari kasih Tuhan. Bagaimana seseorang bisa menjadi disayang oleh Tuhan? Gita menekannya dua syarat: Santushta Satatam (selalu bersyukur) dan Dhruda niscayah (dengan tekad yang mantap). Bhakta harus selalu bersyukur dan ceria, tanpa memperhatikan pasang surut keberuntungan. (Divine Discourse, Aug 2, 1986)

-BABA