Tuesday, December 31, 2019

Thought for the Day - 31st December 2019 (Tuesday)

We are now bidding farewell to the current year and welcoming a New Year! There is an intimate relationship between the two. We give a send-off to one while we welcome the other. In the same token, should we not bid farewell to our bad qualities and welcome good and divine qualities? You may offer all your bad qualities to God. There is nothing wrong in this. Indeed, it is only God who can take them and bestow His grace on you to foster good qualities. For example, suppose you have a soiled, torn and mutilated hundred rupee currency note, no one will accept it. But if the number is intact, the Reserve Bank of India will accept it and give a good note of the same value in return. Similarly God alone can and will accept the bad qualities, provided you offer them with sincere devotion and repentance, and in return He will shower His abundant Grace on you! 


Kita sekarang mengucapkan selamat tinggal pada tahun ini dan menyambut tahun baru! Ada sebuah hubungan yang sangat mendalam diantara kedua tahun ini. Kita memberikan pelepasan pada tahun lama dan menyambut tahun yang baru. Dengan cara yang sama, bukankah kita seharusnya mengucapkan selamat tinggal pada sifat-sifat buruk kita dan menyambut sifat-sifat baik dan ilahi? Engkau mungkin mempersembahkan semua sifat-sifat burukmu kepada Tuhan. Tidak ada yang salah dengan ini. Sesungguhnya, hanya Tuhan yang dapat mengambil sifat-sifat buruk itu dan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu untuk mengembangkan sifat-sifat yang baik. Sebagai contoh, seandainya engkau memiliki uang kertas seratus ribu yang rusak dan kotor maka tidak orang yang akan menerima. Namun jika nomernya masih utuh, maka Bank Indonesia akan menerimanya dan menggantinya dengan uang kertas seratus ribu yang bagus. Sama halnya, hanya Tuhan yang dapat dan akan menerima sifat-sifat yang buruk, asalkan dirimu mempersembahkan semuanya itu dengan bhakti yang tulus dan penyesalan, sebagai gantinya Tuhan akan memberkatimu dengan rahmat-Nya berlimpah pada dirimu! (Divine Discourse, Jan 1, 1994)

-BABA

Thought for the Day - 30th December 2019 (Monday)

Plant the seed of devotion of remembering Lord’s name (namasmarana) in your mind. That will grow into a tree with branches of virtue, service, sacrifice, love, equanimity, fortitude and courage. You swallow food, without being aware of how it is transformed into energy, intelligence, emotion and health. Similarly, swallow the food for the spirit, this remembrance of Lord’s name, and watch how it gets transmuted into virtues without you being aware of it. Ravana discovered that Rama and kama (desire) cannot coexist in the mind. Develop steadiness in the recitation of the Name of God and in the worth of that Name. Then, even if the whole world says, “Do evil,” you will refuse to obey; your system itself will revolt against it. And even if the whole world asks you to desist, you will insist on doing right. 


Tanamlah benih bhakti dalam mengingat nama suci Tuhan (namasmarana) di dalam pikiranmu. Itu akan tumbuh menjadi sebuah pohon dengan cabang-cabangnya yaitu sifat-sifat yang luhur, pelayanan, pengorbanan, kasih, ketenangan hati, ketabahan, dan keberanian. Engkau menelan makanan tanpa menyadari tentang bagaimana makanan itu dirubah menjadi enegi, kecerdasan, emosi, dan kesehatan. Sama halnya, menelan makanan jiwa yaitu mengingat nama suci Tuhan, dan perhatikan bagaimana hal ini berubah menjadi sifat-sifat baik tanpa engkau menyadarinya. Ravana mengetahui bahwa Rama dan kama (keinginan) tidak bisa ada bersama-sama di dalam pikiran. Kembangkan ketetapan hati dalam pengulangan nama suci Tuhan dan kualitas dari nama suci Tuhan. Kemudian, bahkan jika seluruh dunia berkata, "Lakukan kejahatan," engkau akan menolak untuk mengikutinya; sistem dirimu sendiri akan memberontak melawannya. Dan bahkan jika seluruh dunia memintamu untuk berhenti, maka engkau akan tetap melakukan hal yang benar. (Divine Discourse, Feb 27, 1961)

-BABA


Thought for the Day - 29th December 2019 (Sunday)

Happiness and sorrow have to be experienced in the worldly life as they are inevitable like the sunset and sunrise. You think new year will give better experiences; this is not correct. It is the mind that is responsible for pleasure and pain. If your mind is good, you will find anything good. You are embodiments of the Divine which is nothing but bliss. While being so, is it not folly on your part to say that you are suffering from pain and grieve over this? Some want to have uninterrupted happiness. When you eat at 10 a.m. you do not go on eating every hour thereafter without break. So also when you experience pleasure it has to be digested before you meet with another bout of such experience. Just as you have to do some exercise for helping the food to digest, you have to go through the exercise of confrontation of pain after experiencing pleasure. Therefore, you must take whatever is given by God as good for you. 


Kesenangan dan penderitaan harus dialami dalam kehidupan duniawi sebagai hal yang tidak dapat dielakkan seperti halnya matahari terbit dan terbenam. Engkau berpikir bahwa tahun baru akan memberikanmu pengalaman yang lebih baik; ini adalah tidak benar. Ini adalah pikiran yang bertanggung jawab untuk kesenangan dan penderitaan. Jika pikiranmu baik, engkau akan menemukan segala sesuatunya baik. Engkau adalah perwujudan keilahian yang tiada lain adalah kebahagiaan. Meskipun begitu, bukankah sebuah kebodohan bagi dirimu dengan mengatakan bahwa engkau sedang menderita dari rasa sakit dan bersedih atas hal ini? Beberapa orang ingin memiliki kebahagiaan tidak terputus. Ketika engkau makan di jam 10 pagi, engkau tidak perlu untuk melanjutkan makan setiap jam sesudahnya tanpa istirahat. Begitu juga ketika engkau mengalami kesenangan maka pengalaman itu harus dicerna sebelum engkau mengalami hal yang lainnya seperti itu. Seperti halnya engkau melakukan olahraga untuk membantu mencerna makanan, engkau harus melewati latihan konfrontasi rasa sakit setelah mengalami kesenangan. Maka dari itu, engkau harus menerima apapun yang diberikan oleh Tuhan sebagai kebaikan bagi dirimu. (Divine Discourse, Jan 1, 1994)

-BABA

Thought for the Day - 28th December 2019 (Saturday)

What exactly is the meaning of ‘Sai Baba’? Sai means Sahasrapadma (thousand lotuses), Sakshatkara (realisation or direct experience of the Lord), etc., Ayi means mother, and Baba means father. Thus, ‘Sai Baba’ means “He who is both Father and Mother and the Goal of all yogic endeavour”, or “The ever-merciful Mother, the All-wise Father, and the Goal of all spiritual efforts”. When you are groping in a dark room, you must seize the chance when someone brings a lamp into the room. You have to hurriedly collect your belongings scattered there or discover where they are located and do whatever else needs to be done. Similarly, make the best of this chance when the Lord has come in human form to your very door and get ready to save yourself from disaster! The undue importance now attached to the satisfaction of sensual desires must diminish as a result of your association with sacred books and saintly personages. 


Apakah arti yang sebenarnya dari ‘Sai Baba’? Sai berarti Sahasrapadma (ribuan teratai), sakshatkara (kesadaran, pengalaman langsung pada Tuhan), dsb., Ayi berarti ibu, dan Baba berarti ayah. Jadi, ‘Sai Baba’ berarti Beliau keduanya sebagai ayah dan ibu, dan tujuan dari semua usaha para Yogi — Ibu yang selalu murah hati, Ayah yang penuh kebijaksanaan, dan tujuan dari usaha spiritual. Ketika engkau meraba-raba di ruangan gelap, engkau harus mengambil kesempatan ketika seseorang membawa lampu ke dalam ruangan. Engkau harus buru-buru mengumpulkan barang-barangmu yang tersebar di sana atau menemukan di mana mereka berada dan melakukan apa pun yang perlu dilakukan. Demikian pula, manfaatkan kesempatan ini ketika Tuhan datang dalam bentuk manusia ke depan pintumu dan bersiap-siap untuk menyelamatkan diri dari bencana! Kepentingan yang tidak semestinya yang sekarang melekat pada kepuasan hasrat sensual harus berkurang sebagai hasil dari pergaulanmu dengan buku-buku suci dan tokoh suci. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA

Friday, December 27, 2019

Thought for the Day - 27th December 2019 (Friday)

Embodiments of love! Brahman (Divinity) is full of love and is in fact the embodiment of love. Your love should merge with this love. This is only one; there is no second. It is the non-dual state. The essential nature of love is sacrifice. Under any circumstances true love does not give room for hatred. It is love that brings even a person far away closer and more intimate to you. It is love that drives away the feeling of separateness and promotes the feeling of oneness. Love also raises a person from the animal to the human. Prema (Love) is the Prana (Life Force) of mankind. Love is shown only to persons who are alive. No one loves a corpse. One without love is like a lifeless corpse. Love and life are therefore inter-related and intimately connected. 


Perwujudan kasih! Brahman (Tuhan) adalah penuh dengan kasih dan merupakan perwujudan dari kasih. Kasihmu seharusnya menyatu dengan kasih ini. Hanya ada satu; dan tidak ada duanya. Ini bukanlah keadaan tanpa dualitas. Intisari dari sifat kasih adalah pengorbanan. Dalam keadaan apapun juga kasih yang sejati tidak akan memberikan ruang bagi kebencian. Adalah kasih yang membawa seseorang yang begitu jauh semakin dekat dan lebih dekat denganmu. Adalah kasih yang menjauhkan perasaan perpecahan dan meningkatkan perasaan kesatuan. Kasih juga meningkatkan seseorang dari level binatang menuju manusia. Prema (kasih) adalah Prana (kekuatan hidup) dari manusia. Kasih ditunjukkan hanya pada mereka yang hidup. Tidak ada yang menyayangi mayat. Seseorang yang tanpa kasih adalah seperti mayat hidup. Kasih dan hidup adalah saling keterkaitan dan sangat terhubung. (Divine Discourse, Jan 1, 1994)

-BABA

Thought for the Day - 26th December 2019 (Thursday)

Hanuman is the brightest example of a realised soul who succeeded in the journey of life. When he first presented himself before Rama and offered his services, Rama turned to Lakshmana and said, "Brother, listen! Notice how Hanuman has mastered the Vedas. His speech is saturated with humility and dedication which the Rig Veda embodies, the retentiveness and reverence that Yajur Veda promotes and the intuitive vision that Sama Veda grants. Hanuman is a genuine devotee and knows all scriptural texts. Sugriva is fortunate to have Hanuman as his minister whose thoughts, words and deeds are offered to God.” When these three are in perfect harmony, they will surely win God’s Grace, just as Hanuman succeeded! 


Hanuman adalah teladan yang cemerlang dari jiwa yang tercerahkan dimana berhasil di dalam perjalanan hidup. Ketika Hanuman pertama kali memperkenalkan diri dihadapan Rama dan mempersembahkan pelayanannya, Rama berpaling kepada Lakshmana dan berkata, "Saudara-Ku, dengarkanlah! Bagaimana Hanuman telah menguasai Weda. Perkataannya dipenuhi dengan kerendahan hati dan dedikasi yang mana adalah perwujudan dari Rig Weda, pemeliharaan dan penghormatan yang ditingkatkan oleh Yajur Weda serta pandangan intuitif yang diberikan oleh Sama Weda. Hanuman adalah bhakta yang murni dan mengetahui semua naskah-naskah suci. Sugriva sangat beruntung memiliki Hanuman sebagai menterinya yang mana pikiran, perkataan, dan perbuatannya dipersembahkan kepada Tuhan." Ketika ketiga-tiganya ini dalam kesatuan yang baik, maka akan dipastikan mendapatkan rahmat Tuhan, seperti halnya keberhasilan dari Hanuman!  - Divine Discourse, Apr 18, 1986

-BABA

Thought for the Day - 25th December 2019 (Wednesday)

Jesus Christ demonstrated and preached the power of faith and ultimately, invited on Himself the supreme sacrifice of life itself. Jesus was conscious of His supreme purpose and duty, and sanctified His body by sacrificing it for protecting others. With faith in the oneness of humanity, Jesus stood against opponents and critics, and confronted their onslaughts. Jesus taught Peter, His foremost disciple, to live in love, for Love is God. Jesus advised that one can experience God only when one becomes the embodiment of Love, who doesn't seek anything or expect even gratitude in return! Love spontaneously becomes sacrifice and service! When Peter listened to such exhortations from the Master, he found a new joy welling up within him and also, a new meaning in the word ‘joy’. 'J' meant Jesus and the letter directed him to love Jesus first. 'O' meant others who must be loved next. 'Y' meant yourself who ought to be loved only last. 


Yesus Kristus menunjukkan dan memberitakan kekuatan iman dan pada akhirnya, mempersembahkan kepada diri-Nya pengorbanan tertinggi kehidupan itu sendiri. Yesus menyadari akan tujuan dan tugas tertinggi-Nya, dan menyucikan tubuh-Nya dengan mengorbankannya untuk melindungi orang lain. Dengan iman dalam keesaan manusia, Yesus berdiri menentang lawan dan kritik, dan menghadapi serangan gencar mereka. Yesus mengajar Peter, murid utamanya, untuk hidup dalam cinta-kasih, karena cinta-kasih adalah Tuhan. Yesus menasihati bahwa seseorang dapat mengalami Tuhan hanya ketika seseorang menjadi perwujudan cinta-kasih, yang tidak mencari apa pun atau mengharapkan balasan bahkan rasa terima kasih! Cinta-kasih secara spontan menjadi pengorbanan dan pelayanan! Ketika Peter mendengarkan nasihat seperti itu dari Guru, ia menemukan kegembiraan baru yang mengalir dalam dirinya dan juga, makna baru dalam kata 'kegembiraan'. 'J' berarti Jesus dan huruf itu mengarahkannya untuk mencintai Yesus terlebih dahulu. 'O' berarti orang lain yang harus dicintai selanjutnya. 'Y' berarti dirimu yang seharusnya dicintai hanya untuk yang terakhir. - Divine Discourse, Dec 25, 1986

-BABA

Thought for the Day - 24th December 2019 (Tuesday)

The destiny of a nation or community is dependent on the moral fibre of its people. Their character must be deep-rooted in faith and in truth. Today, in a world broken into racial and religious units, there is a great need to cultivate a broad outlook and large hearted attitudes. Narrow loyalties cause friction and conflict. Jesus emphasised the importance of faith and the danger caused by hypocrisy. Christ’s teachings must be interpreted, understood and followed from the universal point of view. Truth must be revealed as unity in Thought, Word and Deed. Jesus Christ proclaimed that God is all powerful and omnipresent, one without a second. This is the primary message of Jesus. His understanding of God grew within him in stages. First he looked upon himself as a Messenger of God. Later, developing a closer relationship with God, he announced himself as the Son of God. Finally, realising his identity with God, he asserted, "I and my Father are One." 


Takdir dari sebuah bangsa atau masyarakat adalah tergantung dari kekuatan karakter dari masyarakatnya. Karakter mereka harus berakar mendalam pada keyakinan dan kebenaran. Hari ini, di dunia yang terbagi ke dalam unit-unit ras dan agama, ada sebuah kebutuhan yang sangat besar untuk memupuk sebuah pandangan yang luas dan sikap hati yang lapang. Loyalitas yang sempit menyebabkan friksi dan konflik. Yesus menekankan pentingnya keyakinan dan bahaya yang disebabkan oleh kemunafikan. Ajaran Yesus harus diterjemahkan, dipahami, dan diikuti dari sudut pandang yang universal. Kebenaran harus diungkapkan sebagai kesatuan dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Yesus Krsitus menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan ada dimana-mana, Esa tidak ada duanya. Ini adalah pesan utama dari Yesus. Pemahaman-Nya tentang Tuhan tumbuh dalam dirinya secara bertahap. Pertama Dia melihat pada dirinya sendiri sebagai utusan Tuhan. Kemudian, mengembangkan hubungan yang dekat dengan Tuhan, Dia menyatakan dirinya sebagai putra dari Tuhan. Pada akhirnya, menyadari identitas dirinya dengan Tuhan, Yesus menyatakan, "Aku dan Bapa-Ku di surga adalah Satu." - Divine Discourse, Dec 25, 1986

-BABA

Monday, December 23, 2019

Thought for the Day - 23rd December 2019 (Monday)

The power of Love is infinite. It can conquer anything. Once while Lord Buddha was journeying, He was confronted by a demoness who threatened to kill Him. Smilingly, Buddha said: "You are not a demon; you are a deity! I love you even if you behave like a demon." Hearing these loving words, the demoness turned into a dove and flew away. Love can change the heart of even an inveterate enemy. It is this kind of Universal love that should be cultivated by everyone. There are people professing different faiths in the world - Christians, Muslims, Hindus, Zorastrians and so on. There should be no difference or distrust amongst religions, for all of them uphold Truth and Righteousness (Dharma). Today, the world is bedevilled by conflict and violence. Peace and prosperity can emerge only when people turn to the path of love and morality, and lead purposeful lives. 


Kekuatan kasih sayang adalah tidak terbatas. Kasih dapat menaklukkan apapun juga. Sekali saat sang Buddha sedang dalam perjalanan, Beliau dihadang oleh raksasa yang mengancam akan membunuhnya. Dengan tersenyum sang Buddha berkata,”engkau bukanlah raksasa; engkau adalah dewata! Aku menyayangimu walaupun engkau bersikap seperti halnya raksasa." Mendengar kata-kata yang penuh kasih ini, raksasa itu berubah menjadi burung merpati dan terbang jauh. Kasih sayang dapat merubah hati bahkan musuh yang berurat berakar. Kasih sayang universal yang seperti ini yang seharusnya ditingkatkan oleh setiap orang. Manusia memiliki keyakinan yang berbeda di dunia ini – Kristen, Islam, Hindu, Zorastrian, dsb. Seharusnya tidak ada perbedaan atau rasa tidak percaya diantara agama-agama yang ada, karena semua agama menjunjung tinggi kebenaran dan kebajikan (Dharma). Hari ini, dunia diganggu dengan konflik dan kekerasan. Kedamaian dan kesejahteraan hanya dapat muncul ketika manusia kembali ke jalan kasih sayang dan moralitas, dan menjalani hidup yang penuh makna. - Divine Discourse, Dec 25, 1986

-BABA

Sunday, December 22, 2019

Thought for the Day - 22nd December 2019 (Sunday)

The Gita does not encourage inertia, indifference or slothfulness. It recommends Karma as a divine communion (Yoga), as an activity in tune with the Divine Will, and directed to the promotion of one's spiritual consummation. Karma must be an act of fulfilment, of adoration and of one's duty to oneself and others. The Gita marks out the steps and the path towards the realisation of this goal. It accepts all attitudes as valuable and sublimates each one into a spiritual effort (sadhana). No one can do better than their best. The body is gifted with all its inherent excellences and defects so that every moment of life can be used for purposes that can sanctify time through service, sacrifice and love. Mundane action (Karma) then becomes Karma-yoga, karma yoked with unselfish ideals. 


Bhagavad Gita tidak menyarankan kemalasan dan ketidakpedulian. Gita menyarankan Karma sebagai penyatuan dengan Tuhan (Yoga), sebagai sebuah aktifitas yang selaras dengan kehendak Tuhan, dan diarahkan untuk kemajuan penyempurnaan spiritual seseorang. Karma harus menjadi sebuah perbuatan pemenuhan, pemujaan, dan kewajiban seseorang pada dirinya dan orang lain. Bhagavad Gita menandai langkah dan jalan menuju kearah penyadaran akan tujuan ini. Gita menerima semua sikap sebagai hal yang berharga dan meningkatkan setiap orang ke dalam usaha spiritual (sadhana). Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan yang lebih baik dari kemampuan terbaik mereka. Tubuh diberikan dengan semua keunggulan dan kelemahannya yang melekat sehingga setiap momen kehidupan dapat digunakan untuk tujuan yang dapat menyucikan waktu melalui pelayanan, pengorbanan, dan kasih. Perbuatan duniawi (karma) kemudian menjadi Karma-yoga, karma disatukan dengan ideal yang tidak mementingkan diri sendiri. - Divine Discourse Sep 10, 1984

-BABA

Thought for the Day - 21st December 2019 (Saturday)

A piece of mysorepak (an Indian sweet made of gram flour) has sweetness, weight, and shape; the three cannot be separated, one from the other. Each little part of the sweet has sweetness, weight, and shape. We don’t find shape in one part, weight in another and sweetness in a third. And when it is placed on the tongue, taste is recognised, weight is lessened, and shape is modified - all at the same time. So too, the individual soul (jiva), the Atma and the Supreme Lord (Parameshwara) are not separate; they are one and the same. Similarly every individual deed, all activities in life must be full of the spirit of selfless service (seva), divine love (prema), and spiritual wisdom (jnana). This is verily the yoga of the Supreme (Purushothama-yoga). It must be practiced in action, not merely spoken in words. Spiritual discipline must be constantly done with an ever expanding heart full of devotion and spiritual wisdom. 


Sepotong mysorepak (manisan India terbuat dari tepung) memiliki rasa manis, berat, dan bentuk; ketiga kualitas itu tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Setiap bagian kecil dari manisan tersebut memiliki rasa manis, berat, dan bentuk. Kita tidak menemukan ada bentuk dalam satu bagian, berat di bagian yang lain dan rasa manis pada bagian berikutnya. Ketika manisan itu ditaruh di atas lidah, rasa manisan dapat dirasakan, beratnya akan menyusut dan bentuk akan berubah – semuanya pada saat bersamaan. Begitu juga, jiwa setiap individu, Atma dan Tuhan yang tertinggi (Parameshwara) tidaklah terpisahkan; ketiganya adalah satu dan sama. Sama halnya setiap perbuatan individu, semua aktifitas dalam hidup harus penuh dengan semangat pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri (seva), kasih Tuhan (prema), dan kebijaksanaan spiritual (jnana). Ini adalah sesungguhnya yoga yang tertinggi (Purushothama-yoga). Hal ini harus dijalankan dalam perbuatan, tidak hanya dikatakan dalam kata-kata saja. Disiplin spiritual harus terus dijalankan dengan hati yang terus berkembang penuh dengan bhakti dan kebijaksanaan spiritual. - Prema Vahini, Ch 9

-BABA

Thought for the Day - 20th December 2019 (Friday)

You must be happy that the Lord has placed newer and newer materials to serve Him and worship Him in various means and forms. Pray for ever new opportunities and exult in the chance that your hands receive. This attitude gives immeasurable joy. To lead a life suffused with this joy is indeed bliss. Whatever is done from sunrise to sunset must be consecrated as if it is the worship of the Lord. Just as care is taken to pluck only fresh flowers and to keep them clean and unfaded, so too, ceaseless effort should be made to do deeds that are pure and unsullied. If this vision is kept before the mind’s eye everyday and life is lived accordingly, then it becomes one long unbroken service of the Lord. The feeling of ‘I’ and ‘You’ will soon disappear; all traces of self will be destroyed. Life then transmutes itself into a veritable devotion to the Lord. 


Engkau harus senang bahwa Tuhan telah menempatkan material lebih baru dan lebih baru untuk melayani-Nya dan memuja-Nya dalam berbagai jenis sarana dan bentuk. Berdoalah untuk kesempatan baru dan bersuka ria pada kesempatan yang engkau dapatkan. Sikap ini memberikan suka cita yang tidak bisa diukur. Untuk menjalani hidup yang diliputi dengan kegembiraan ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Apapun yang dilakukan mulai dari matahari terbit sampai terbenam harus disucikan seolah-olah kegiatan itu adalah pemujaan kepada Tuhan. Seperti halnya kehati-hatian diperlukan saat hanya memetik bunga yang segar dan membuatnya tetap bersih serta tidak layu, begitu juga, usaha terus menerus harus dibuat untuk melakukan perbuatan yang murni dan tidak ternoda. Jika pandangan ini tetap dijaga dalam pikiran setiap harinya dan hidup sesuai dengan itu, kemudian ini menjadi pelayanan yang tidak terputus kepada Tuhan. Perasaan akan 'aku' dan 'kamu' akan segera menghilang; semua jejak dari keakuan akan dihancurkan. Hidup kemudian mengubah dirinya menjadi sebuah bhakti yang sejati kepada Tuhan. - Prema Vahini, Ch 8

-BABA

Thursday, December 19, 2019

Thought for the Day - 19th December 2019 (Thursday)

When work is undertaken with an egoistic attitude, impelled by selfish motives and inspired by hopes of self-advancement, it feeds greed and pride, envy and hatred. Then it fastens the bond and fosters the feeling of attachment to more profitable work. It promotes ingratitude to those who lent their hands and brains, and to God Himself who endowed the person with the urge and the skill. "I did it", one declares when the work succeeds and say "Others spoiled it" when it fails. Resentment, depression and despair follow when the work results in failure. The more deeply one is attached to the fruits, the more intense and painful is one's grief when one is disappointed. The only means therefore, to escape from both pride and pain is to leave the result to the Will of God, while one is happy in the thought that one has done one's duty with all the dedication and care that one is capable of. 


Ketika kerja dilakukan dengan sikap egois, di dorong dengan niat mementingkan diri sendiri dan diilhami oleh harapan untuk kemajuan diri maka kerja tersebut sedang memberi makan pada ketamakan dan kesombongan, iri hati dan kebencian. Kemudian kerja ini akan menguatkan ikatan dan menumbuhkan perasaan keterikatan pada pekerjaan yang lebih menguntungkan. Bentuk kerja ini akan menguatkan rasa tidak berterima kasih pada mereka yang memberikan bantuan dengan tangan dan pikiran, serta pada Tuhan sendiri yang telah menganugerahi seseorang dengan dorongan dan keahlian. "aku yang melakukannya", seseorang menyatakan hal ini ketika kerjanya berhasil dan akan berkata "orang lain yang telah merusak kerja ini" ketika pekerjaan itu gagal. Kebencian, depresi, dan putus asa mengikuti ketika kerja mengalami kegagalan. Semakin dalam seseorang terikat pada buahnya, maka semakin sering dan menyakitkan kesedihan yang dirasakan ketika seseorang kecewa. Satu-satunya sarana untuk bisa terlepas dari kesombongan dan penderitaan adalah melepaskan semua hasilnya pada kehendak Tuhan, sementara seseorang bahagia dalam pikiran saat telah menyelesaikan kewajibannya dengan penuh dedikasi dan perhatian yang mampu dilakukannya. (Divine Discourse Sep 10, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 18th December 2019 (Wednesday)

The one who is unable to imbibe true wisdom which broadens the mind and explore the inner truth about life, cannot promote the welfare of the world. The well-being of the world depends on the well-being of society and the latter depends on the welfare of individuals. All these are mutually interdependent. They are integrally related to one another. Hence the need for individuals in society to be truthful in thought, word and deed. This spiritual principle dearly warns those who mouth slogans of peace but indulge in acts inimical to peace. Human life can be truly understood only in the context of harmony and co-operation. For this to be realised, one must engage oneself in service to society. Such service is rooted in spiritual faith. 


Seseorang yang tidak mampu untuk menyerap kebijaksanaan sejati yang mana memperluas pikiran serta mengeksplorasi kebenaran batin tentang hidup, maka dia tidak akan bisa meningkatkan kesejahteraan dunia. Kesejahteraan dunia tergantung dari kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat tergantung dari kesejahteraan para individu. Semuanya ini adalah saling tergantung. Semuanya itu secara utuh terkait satu dengan yang lainnya.  Karena itu, yang diperlukan dalam masyarakat adalah para individu yang benar dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Prinsip spiritual ini sangat memberikan peringatan kepada mereka yang yang hanya berbicara slogan-slogan tentang kedamaian namun terlibat dalam perbuatan yang bertentangan dengan kedamaian. Hidup manusia benar-benar dapat dipahami hanya dalam konteks kerukunan dan kerjasama. Agar ini dapat disadari, seseorang harus melibatkan dirinya dalam pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan seperti itu berakar pada keyakinan spiritual.  (Divine Discourse, Feb 11, 1983)

-BABA

Tuesday, December 17, 2019

Thought for the Day - 17th December 2019 (Tuesday)

Study of the Upanishads and Shastras (spiritual sciences) and reciting God's names may be good acts in themselves. But, if there is no love, which is the basis of all sadhana (spiritual discipline), they are of no use. They are like buttermilk. But the love of God is like well-boiled milk; it contains all the proteins and vitamins. Love reinforces one's physical, mental and spiritual energies. Devotional acts without love are like diluted buttermilk in which there are no nutrients. Dhyana (meditation) and japa (repetition of the holy name) without love are lifeless rituals. Love which expresses itself in service to all living things is the best expression of the love of God. There is no true devotion without such love. It is love which is unchanging and which does not mind any sacrifice in serving others. 


Mempelajari Upanishad dan Shastra (pengetahuan spiritual) dan mengulang-ulang nama Tuhan adalah latihan yang bagus bagi diri mereka sendiri. Namun, jika tidak ada kasih yang merupakan dasar dari semua sadhana (disiplin spiritual), maka semuanya itu tidak ada gunanya. Semua latihan itu seperti cairan susu. Namun kasih pada Tuhan adalah seperti susu yang direbus dengan baik dimana mengandung semua protein dan mineral. Kasih menguatkan energi fisik, mental, dan spiritual seseorang. Kegiatan bhakti tanpa adanya kasih adalah seperti cairan susu yang encer yang tidak memiliki nutrisi lagi. Dhyana (meditasi) dan japa (pengulangan nama suci) tanpa kasih adalah ritual yang tidak memiliki kehidupan. Kasih yang mengungkapkan dirinya dalam pelayanan kepada semua makhluk hidup adalah ungkapan terbaik dari kasih Tuhan. Tidak ada bhakti yang sejati tanpa kasih yang seperti itu. Ini adalah kasih yang tidak berubah dan tidak keberatan untuk berkorban dalam melayani yang lainnya. (Divine Discourse, Feb 5, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 16th December 2019 (Monday)

Do we use the clothes worn during winter in summer too? Likewise, as long as the gales of worldly attachment blow and till we are unable to withstand such gales, this dull and dirty human vesture is essential. Once this gale does not affect one's mind, body or words, then one can assume a subtle body. “This Supreme Divine is repeatedly offering me newer instruments to do service and getting loving acts of service done through me; He is conducting this beautiful play through me and engaging me in a variety of useful endeavours” - if one were to journey through life with this feeling, would it not be one filled with immense joy? 


Apakah kita menggunakan pakaian yang dikenakan selama musim dingin di musim panas juga? Demikian juga, selama angin kencang keterikatan duniawi menerpa dan kita tidak mampu menahan angin kencang itu, jubah tubuh manusia yang kusam dan kotor ini adalah penting. Sekali angin kencang ini tidak memberikan pengaruh pada pikiran, tubuh, atau perkataan seseorang, maka seseorang itu dapat mengambil tubuh halus. “Tuhan yang tertinggi secara berulang kali menawarkanku instrumen yang lebih baru untuk melakukan pelayanan dan melakukan perbuatan pelayanan yang penuh kasih melaluiku; Tuhan melakukan permainan yang indah ini melaluiku dan melibatkanku dalam berbagai jenis perbuatan yang bermakna” - jika seseorang melakukan perjalanan hidup dengan perasaan ini, bukankah seseorang akan dipenuhi dengan suka cita yang besar sekali? (Prema Vahini, Ch 4)

-BABA

Thought for the Day - 15th December 2019 (Sunday)

Education must be regarded as a sacred process and preparation for unselfish service to society. There are innumerable people in the world who are suffering from various physical and other disabilities. It is the duty of educated persons to serve them and help to relieve their suffering to the maximum extent possible. This is the best form of service to the Divine. There is pollution and impurity in the air, water and in many things around us. You must use the knowledge you acquire to purify what is impure. Service to society must become the primary purpose of education. Students of Sai should devote their knowledge not only to earn a living, but to use their talents and energies in whatever walk of life they may be engaged in to render service to society in all ways open to them. 


Pendidikan harus dihormati sebagai proses suci dan persiapan untuk pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri kepada masyarakat. Ada begitu banyak orang di dunia yang menderita dari berbagai jenis cacat fisik dan lainnya. Merupakan kewajiban dari orang-orang yang terpelajar untuk melayani mereka dan membantu mereka untuk meringankan penderitaannya semaksimal mungkin. Ini adalah bentuk pelayanan yang terbaik kepada Tuhan. Ada pencemaran dan kotoran di udara, air, dan banyak hal di sekitar kita. Engkau harus menggunakan pengetahuan yang engkau dapatkan untuk memurnikan apa yang tidak murni. Pelayanan kepada masyarakat harus menjadi tujuan utama pendidikan. Para pelajar Sai seharusnya mendedikasikan pengetahuan mereka tidak hanya untuk mencari nafkah, namun menggunakan bakat dan energi mereka dalam jalan hidup apapun yang mereka geluti untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dengan segala jalan yang terbuka bagi mereka. (Divine Discourse, Feb 5, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 14th December 2019 (Saturday)

When Dharmaja lost his vast empire to his enemies and had to live in caves amongst the Himalayan ranges with his consort Draupadi, she asked him one day, “Lord! You are undoubtedly the foremost amongst those who follow the path of righteousness (dharma) unwaveringly; why did such a terrible calamity happen to you?” She was stricken with sorrow. Dharmaja replied, “Draupadi! Do not grieve. Look at this Himalayan range. How magnificent and glorious it is! How beautiful and sublime! It is so splendid a phenomenon that I love it endlessly. The embodiment of this sublime beauty is God. Mountains need not grant me anything, but I just love them and their Creator for their beauty. I do not wish for any favour, nor will pray for any boon. The highest reward for my love is His love, Droupadi! Let Him keep me where He loves to keep me.” Thus Dharmaja explained that love must be divine, spontaneous and must be practiced accordingly! 


Ketika Dharmaja kehilangan kerajaannya yang luas karena musuh-musuhnya dan harus hidup di dalam gua diantara gugusan pegunungan Himalaya dengan permaisurinya Draupadi, suatu hari Draupadi bertanya kepada Dharmaraja, “Penguasa tertinggi! Engkau adalah yang terpenting diantara mereka yang mengikuti jalan kebenaran (dharma) tanpa diragukan; mengapa penderitaan yang begitu besar terjadi padamu?” Draupadi sangat menderita sekali. Dharmaja menjawab, “Draupadi! Jangan bersedih hati. Lihatlah jajaran pegunungan Himalaya. Betapa besar dan megahnya gunung Himalaya! Betapa indah dan agungnya Himalaya! Ini adalah fenomena yang sangat indah sehingga aku sangat menyukainya tanpa henti. Perwujudan dari keindahan luhur ini adalah Tuhan. Gunung tidak perlu memberikanku apapun, namun aku mencintainya dan penciptanya atas keindahan ini. Aku tidak mengharapkan bantuan apapun, dan juga tidak berdoa untuk anugerah apapun. Hadiah tertinggi untuk kasihku adalah kasih-Nya, Draupadi! Biarkan Beliau menjagaku dimana Beliau suka menjagaku.” Demikianlah Dharmaja menjelaskan bahwa kasih adalah Tuhan, spontan dan harus dipraktikkan sesuai dengan itu! (Sathya Sai Vahini, Chap 1)

-BABA

Thought for the Day - 13th December 2019 (Friday)

Tat Twam Asi – You are the embodiment of the Atma. This is the highest and holiest Mahavakya or divine axiom. You are that indestructible fruit and its inner essence. You are that Atma Tatwa, the Atmic principle which is different from the body and is blemishless. It is for the sake of this Atmic principle alone that you are given this body. You, the Atma, is always steady. Have you come with the body as a vehicle to destroy yourself? Surely not. You are here to exercise authority over the body to thereby promote welfare of the world. The body has to be utilised for this mahat tatwa – great purpose. This body is meant for performing actions; it is a mere implement and instrument gifted by God. Once its intended purpose is served, it is needed no more. Until you have realised your true self, the body has to be protected by all means. 


Tat Twam Asi – engkau adalah perwujudan dari Atma. Ini adalah pernyataan Tuhan (Mahavakya) yang tertinggi dan paling suci. Engkau adalah buah yang tidak dapat dihancurkan dan intisari yang ada di dalamnya. Engkau adalah Atma Tatwa, prinsip Atma yang berbeda dari tubuh dan tidak ternoda. Adalah hanya untuk tujuan prinsip Atma ini bahwa engkau diberikan tubuh. Engkau, sang Atma, yang selalu tidak tergoyahkan. Apakah engkau datang dengan tubuh sebagai sarana untuk menghancurkan dirimu sendiri? Pastinya tidak. Engkau ada disini untuk menggunakan otoritas atas tubuh untuk meningkatkan kesejahteraan dunia. Tubuh harus digunakan untuk maha tatwa ini– tujuan yang sangat besar. Tubuh ini adalah sarana untuk menjalankan perbuatan; tubuh hanyalah alat dan sarana yang diberikan oleh Tuhan. Setelah tujuan yang dimaksudkan tercapai, tubuh ini tidak diperlukan lagi. Sampai engkau menyadari dirimu yang sejati, tubuh harus dilindungi dengan segala cara. (Prema Vahini, Chap 4)

-BABA

Thursday, December 12, 2019

Thought for the Day - 12th December 2019 (Thursday)

It is not wrong to love children. But parents should learn how to love them. Whenever the children go astray, wittingly or unwittingly, parents should hasten to correct their faults and bring them to the righteous path. The obligations of parents do not end with providing food, schooling and knowledge on worldly matters. Children should also be provided with right values. They should not be made to think that the acquisition of wealth is the be-all and end-all of life. Wealth does not accompany one when they leave the world. Wealth is necessary only for meeting one's essential needs. Too much wealth is an embarrassment like an oversized shoe. Too little of it is likely to be painful, like a tight-fitting shoe. So it is desirable to have only that amount of wealth that is adequate for one's basic needs. It is deplorable that in the mad pursuit of money, people are forgetting or compromising human virtues. 


Adalah tidak salah untuk mencintai anak-anak. Namun orang tua seharusnya belajar bagaimana mencintai mereka. Kapanpun anak-anak menjadi nakal, sengaja atau tidak sengaja, orang tua harus segera memperbaiki kesalahan mereka dan membawa mereka ke jalan kebajikan. Kewajiban dari orang tua tidak selesai hanya dengan menyediakan makanan, menyekolahkan dan pengetahuan tentang duniawi saja. Anak-anak seharusnya juga disediakan dengan nilai-nilai yang benar. Mereka seharusnya tidak dibuat berpikir bahwa pengumpulan kekayaan adalah yang paling penting dalam hidup. Kekayaan tidak menemani mereka ketika mereka meninggalkan dunia. Kekayaan adalah perlu hanya untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Terlalu banyak kekayaan adalah sebuah keadaan memalukan seperti sepatu yang kebesaran. Sangat sedikit memiliki kekayaan juga menyakitkan, seperti sepatu yang kekecilan. Jadi, kekayaan diperlukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang. Sangat disayangkan bahwa dalam pengejaran kekayaan yang menggila, orang-orang melupakan atau melonggarkan kebajikan manusia. (Divine Discourse, Feb 5, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 11th December 2019 (Wednesday)

Man does not live long. However in this short span of life he has the ability to experience divine bliss. Two people might appear ostensibly made of the same mould. Their limbs might look alike. Nevertheless, one could turn out to be an angel and another a beast. What is the reason for this? Looking at their behaviour, it is hard to believe that both of them belong to the same community. Therefore, primarily behaviour is important for man. Each and every moment, human life may superficially appear to be simple but truly it is not so; there is a great meaning inherent in it. The entire life is a great act of sacrifice or yajna karma. If the sleep that one enjoys after offering all the experiences of the day to the Lord in a spirit of surrender, is not Samadhi then what else is it? Because of the all pervasive feeling of “I am the Body”, man, without discrimination, explores various ways to boost his physical being. Therefore, instead of thinking day and night about the body, preserve it only for the purpose of serving all living beings with Trikarana shuddhi - purity of thought, word and deed, so that you can realize the Higher Self, as you are not the body but the Atma. 


Manusia tidak hidup lama. Bagaimanapun juga dalam rentang hidup yang pendek ini, manusia memiliki kemampuan untuk mengalami kebahagiaan Dewata. Dua orang mungkin kelihatan seolah-olah terbuat dari cetakan yang sama. Anggota badan mereka mungkin kelihatan sama. Meskipun demikian, seseorang dapat berubah menjadi malaikat dan yang lainnya menjadi binatang buas. Apakah alasan untuk ini? Melihat pada tingkah laku mereka, adalah sulit dapat dipercaya bahwa keduanya dari mereka berasal dari komunitas yang sama. Maka dari itu, perilaku adalah penting bagi manusia. Setiap saat, kehidupan manusia mungkin kelihatan dangkal namun sesungguhnya tidaklah demikian; ada makna yang sungguh luar biasa yang melekat di dalamnya. Seluruh hidup adalah sebuah tindakan pengorbanan yang hebat atau yajna karma. Jika tidur yang seseorang nikmati setelah mempersembahkan semua pengalaman hari itu kepada Tuhan dalam semangat berserah diri, kalau ini bukan Samadhi lantas apakah ini? Karena semua perasaan yang meresapi “aku adalah tubuh”, manusia tanpa kemampuan membedakan, mengeksplorasi berbagai cara untuk meningkatkan fisiknya. Maka dari itu, daripada berpikir siang dan malam tentang tubuh, pelihara tubuh hanya untuk tujuan melayani semua makhluk hidup dengan Trikarana shuddhi – kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan, sehingga engkau dapat menyadari Diri yang Sejati, bahwa engkau bukanlah badan namun sang Atma. (Prema Vahini, Chap 4)

-BABA

Thought for the Day - 10th December 2019 (Tuesday)

People have faith in the results given by scientists of the calculation of planetary distances and sizes. But they hesitate when confronted with conclusions arrived at by investigators who have seen and shown, experienced and enjoyed the Truths by going into the inner space and inner regions of the Spirit. It is unreasonable willfulness that makes people stick to the beliefs they have accepted as unchallengeable. As the statement goes, “The subterranean fire can be grasped in the palm and the sky can be contacted as a concrete entity; but one can never refine the mind of an obtuse and obstinate person." For one can awaken a person who sleeps; one can make a person who is not asleep to rise and move; but one can never awaken a fellow who pretends to be asleep. Willfully avoiding the illumination of knowledge is a sin against spirituality. Our students must welcome light at all times and from all quarters. 


Orang-orang memiliki keyakinan pada hasil yang diberikan oleh ilmuwan tentang kalkulasi jarak dan ukuran dari planet. Namun mereka menjadi ragu ketika dihadapkan dengan kesimpulan yang didapat oleh para penjelajah yang telah melihat dan menunjukkan, mengalami, dan menikmati kebenaran dengan masuk ke dalam ruang batin dan ruang jiwa. Merupakan kesengajaan yang tidak masuk akal dengan membuat orang-orang tetap berpegang pada keyakinan yang mereka terima sebagai hal yang tidak dapat ditentang. Sebagaimana pernyataan ini berbunyi, “api dibawah tanah dapat digenggam dengan telapak tangan dan langit dapat disentuh sebagai sebuah entitas yang nyata; namun seseorang tidak akan pernah bisa memperbaiki pikiran orang yang bodoh dan keras kepala." Karena seseorang dapat membangunkan orang yang tidur; seseorang dapat membuat orang yang tidak tidur untuk bangun dan bergerak; namun seseorang tidak akan pernah bisa membangunkan orang yang pura-pura tidur. Dengan sengaja menghindari penerangan pengetahuan adalah dosa terhadap spiritual. Para murid-murid kita harus menerima cahaya sepanjang waktu dan dari semua penjuru. (Divine Discourse, Dec 1, 1982, Anantapur Campus)

-BABA

Monday, December 9, 2019

Thought for the Day - 9th December 2019 (Monday)

One must take up work, that is of some use to the world. Move into the villages and help to keep them clean. Instruct the women of the village in the basic principles of child-health, child-care and child-training. When health fails, people become despondent and even desperate. When health prevails, vitality pervades both mind and body. By the process of loving service, you can become the promoters of much joy. Do not consider any act of service as demeaning. Sweeping the streets, for example, is not below your dignity. Do you not sweep the floor of your home? Do you not scrub and wash off dirt? When you undertake such tasks, the villagers will also gladly share in them. Why be ashamed to be good? The ridicule that may be cast on you has been the reward of many saints. It will soon fade away. 


Seseorang harus bekerja, itu adalah berguna bagi dunia. Pergilah ke desa dan bantu mereka tetap bersih. Ajari para wanita di desa dalam prinsip-prinsip dasar kesehatan anak, perawatan anak, dan pelatihan anak. Ketika jatuh sakit, maka orang-orang menjadi sangat sedih dan putus asa. Ketika kesehatan terjaga, vitalitas meliputi pikiran dan tubuh. Melalui proses pelayanan dengan kasih, engkau dapat menjadi promotor dari suka cita yang besar. Jangan menganggap pelayanan apapun sebagai hal yang rendahan. Sebagai contoh, menyapu jalanan bukanlah ada di bawah harga dirimu. Apakah engkau tidak menyapu lantai rumahmu? Apakah engkau tidak menggosok dan membersihkan kotoran? Ketika engkau melakukan kegiatan seperti itu, para penduduk desa juga dengan senang hati berbagi di dalamnya. Mengapa harus menjadi malu untuk menjadi baik? Cemoohan yang dilemparkan kepadamu telah menjadi hadiah bagi para orang-orang suci. Semua cemoohan itu akan segera menghilang. (Divine Discourse, Dec 1, 1982, Anantapur Campus)

-BABA

Sunday, December 8, 2019

Thought for the Day - 8th December 2019 (Sunday)

As our vision, so is the creation. Will not the colour of creation change based on the colour of glasses we wear? There have been and there are great masters now too who demonstrate to man the great heights one can attain, and also reveal the great power that is latent in the human body. Mind of man is often wasted wandering on things outside, criticising others and similar such activities. When one is always engaged in seeing faults in others, how can one attain ekagrata or one-pointedness? Ask yourself this question: When many valorous and great ones, who have physical bodies just like me, have attained such exalted status, why should my position be anything less? What do I gain in finding faults of others? I have to search within myself for my own faults and keep my mind under control – Making this firm resolve is the first step in spiritual practice. 


Sebagaimana pandangan kita maka begitulah ciptaan. Tidakkah warna ciptaan berubah sesuai dengan warna kacamata yang kita pakai? Telah ada para guru suci yang hebat sekarang juga yang memperlihatkan kepada manusia ketinggian yang begitu tinggi yang seseorang dapat capai, dan juga mengungkapkan kekuatan yang luar biasa yang tersembunyi di dalam tubuh manusia. Pikiran manusia sering disia-siakan untuk mengejar hal-hal di luar diri, mengritik yang lainnya dan kegiatan yang sama seperti itu. Ketika seseorang selalu terlibat dalam mencari kesalahan orang lain, bagaimana dia bisa mencapai ekagrata atau keterpusatan perhatian? Tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan ini: ketika banyak orang yang gagah dan hebat, yang memiliki tubuh fisik seperti halnya diriku, telah mencapai status yang begitu mengagungkan, mengapa posisiku harus kurang seperti dari itu? Apa yang aku dapatkan dalam mencari kesalahan orang lain? Aku harus mencari kesalahanku pada diriku sendiri dan tetap mengendalikan pikiran – membuat tekad yang teguh adalah langkah awal dalam latihan spiritual. (Prema Vahini, Ch 3)

-BABA

Thought for the Day - 7th December 2019 (Saturday)

To battle against the tendency of body identification and to win the grace of God, spiritual exercises such as philosophical inquiry (Tatwa Vicharana), mind and sense control (sama-dama) and other six-fold spiritual disciplines (shat-sampatti) have been laid down. Their practice will ensure the purification of the consciousness; it will then become like a clean mirror that can reflect any object, and the Atma will stand revealed clearly. For the attainment of the highest wisdom (jnana-siddhi), cleansing of the consciousness (chitta-suddhi) is the royal path. For the pure in heart, this is easy to achieve. This is the central truth of the Bharatiya search for the ultimate reality (Paramartha). This is the very vital breath of the teaching. 


Untuk melawan kecenderungan identifikasi tubuh dan untuk mendapatkan karunia Tuhan, latihan spiritual seperti penyelidikan filosofi (Tatwa Vicharana), pengendalian pikiran dan indera (sama-dama) dan enam bentuk disiplin spiritual (shat-sampatti) telah ditunjukkan. Menjalankan latihan spiritual itu memastikan pemurnian kesadaran; dan ini akan menjadi seperti cermin bersih yang dapat memantulkan objek apapun juga, dan Atma akan dapat diungkapkan dengan jelas. Untuk mencapai kebijaksanaan yang tertinggi (jnana-siddhi), membersihkan kesadaran (chitta-suddhi) adalah jalan yang utama. Bagi yang murni hatinya, ini adalah gampang untuk dicapai. Ini adalah kebenaran utama dari pencarian Bharatiya untuk kenyataan yang tertinggi (Paramartha). Ini adalah nafas hidup yang paling dari ajaran. (Sathya Sai Vahini, Ch 1)

-BABA