Tuesday, October 30, 2018

Thought for the Day - 29th October 2018 (Monday)

God's love is totally selfless. It is absolutely pure, eternal and flawless. Human love is self-centred and tainted. Such a love cannot merge with God's love. It is only when you are free from egoism, pride, hatred and envy that God will abide in you. Without tyaaga (renunciation) if a person is immersed in worldly pleasures and leads a mundane life, all his devotion is only artificial and a kind of self-deception. Such devotion will not lead one to God. Today the world is full of such persons. People claim that they are loving God. But everyone loves God for one’s own sake and not for the sake of God. This is pure selfishness. You seek all things in the world for your own sake. Even God is sought for such a reason. God cannot be got so easily. The heart has only a single seat. There is room in it for only one person. If you install worldly desires on that chair, how can you expect God to sit on it? God will enter that seat only if you empty it of all other things.


Kasih Tuhan sepenuhnya tanpa mementingkan diri sendiri. Kasih Tuhan ini benar-benar suci, kekal dan sempurna. Kasih sayang manusia adalah mementingkan diri sendiri dan ternoda. Kasih yang seperti itu tidak bisa menyatu dengan kasih Tuhan. Hanya ketika engkau bebas dari egoisme, kesombongan, kebencian, dan iri hati maka Tuhan akan tinggal di dalam hatimu. Tanpa tyaaga (semangat pengorbanan) jika seseorang tenggelam dalam kesenangan duniawi dan menjalani hidup pada kehidupan yang biasa saja, semua bhaktinya adalah palsu dan sebagai sebuah penipuan diri. Bhakti seperti itu tidak akan membawa seseorang pada Tuhan. Saat sekarang dunia dipenuhi dengan orang seperti itu. Manusia menyatakan bahwa mereka mencintai Tuhan. Namun setiap orang mencintai Tuhan untuk kepentingan diri mereka sendiri dan bukan untuk kepentingan Tuhan. Ini adalah benar-benar mementingkan diri sendiri. Engkau mencari segala sesuatu di dunia untuk kepentingan dirimu sendiri. Bahkan Tuhan dicari oleh orang yang seperti itu. Tuhan tidak bisa di dapat dengan mudah. Hati hanya memiliki satu tempat duduk saja. Hanya ada satu kamar untuk satu orang saja. Jika engkau menempatkan keinginan duniawi di atas kursi itu, bagaimana engkau dapat mengharapkan Tuhan untuk duduk disana? Tuhan akan duduk di atas kursi itu hanya ketika engkau membuatnya kosong dari apapun juga. (Divine Discourse, Aug 12, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 28th October 2018 (Sunday)

You will have to follow the path of Radha, Meera, Gouranga and Tukaram. You must feel an inseparable affinity with the Lord, as inseparable as the wave and the sea. You are really of the same essence, the same taste, the same quality as the sea, though you have the name and form of the wave. The Lord is the form with attributes (Saguna aspect) of the Paramatma (Supreme Being), that is the Universe. Butter, when in the milk, is immanent in it, and has no separate name and form; but, when you convert milk to curd and take it out, it has a name and form which makes it distinct from milk. Ghee (clarified butter) too when liquid has no particular form, but when it solidifies, it gets a form. So too Madhava-tatwam (the Divine essence) when it assumes a form, is Manava (Human form).


Engkau harus mengikuti jalan dari Radha, Meera, Gouranga dan Tukaram. Engkau harus merasakan sebuah hubungan yang tidak terpisahkan dengan Tuhan, seperti halnya gelombang dan lautan. Engkau sesungguhnya adalah intisari yang sama, rasa yang sama, kualitas yang sama seperti lautan, walaupun engkau memiliki nama dan wujud gelombang. Tuhan adalah wujud dengan kualitas (Saguna) adalah aspek dari Paramatma (yang Maha tinggi), itu adalah alam semesta. Mentega ketika masih ada dalam susu adalah bersifat tetap ada di dalamnya, dan tidak memiliki nama dan wujud yang terpisah; namun ketika engkau merubah susu menjadi dadih dan mengeluarkannya, maka dadih itu memiliki nama dan wujud yang membuatnya terpisah dari susu. Ghee (clarified butter) juga ketika cair tidak memiliki wujud tertentu, namun ketika mengeras maka ia mendapatkan sebuah bentuk. Begitu juga dengan Madhava-tatwam (intisari Tuhan) ketika mengambil sebuah wujud, adalah Manava (wujud manusia). (Divine Discourse, Oct 10, 1964)

-BABA

Sunday, October 28, 2018

Thought for the Day - 27th October 2018 (Saturday)

Adi Shankara asks, "Who are you, who am I, where did I come from, where am I going, what is the nature and purpose of all this movement and change, is there any stable base, any goal, direction or director? (Kasthwam, koham, kutha ayatah?) Do not brush aside these questions from your mind. Each one of you gets this and it harasses you, when you are alone with something grand and awe-inspiring in Nature, or with some terrible or shocking incident in your own experience. It is unwise to forgo these precious moments and turn again to the humdrum of life, without pursuing the inquiry to which you are prompted. Guru comes to warn and awaken. He reveals the truth and encourages you to progress towards it. Unless you have the yearning, the questioning heart, and the seeking intelligence, he cannot do much. The hungry can be fed; the one without hunger will discard food as an infliction.

Adi Shankara bertanya, "Siapakah engkau, siapakah saya, darimana saya berasal, kemana saya akan pergi, apa yang menjadi sifat alami dan tujuan dari semua gerakan dan perubahan ini, apakah ada dasar, tujuan, arah, atau yang memberikan arahan (Kasthwam, koham, kutha ayatah) yang bersifat stabil? Jangan menyingkirkan pertanyaan ini dari pikiranmu. Setiap orang darimu mendapatkan pertanyaan ini dan mengusikmu, ketika engkau sendirian dengan sesuatu yang mengagumkan dan yang begitu hebat di alam, atau dengan beberapa kejadian yang mengerikan atau mengejutkan dalam pengalamanmu sendiri. Adalah tidak bijak untuk hidup tanpa moment yang berharga ini dan kembali lagi pada kehidupan yang membosankan, tanpa mencari serta menyelidiki jawaban dari pertanyaan yang engkau tanyakan. Guru datang untuk mengingatkan dan menyadarkan. Beliau mengungkapkan kebenaran dan mendorongmu untuk melangkah maju ke arah itu. Hanya jika engkau memiliki kerinduan, pertanyaan dalam hati, dan kecerdasan mencari, maka beliau tidak bisa berbuat banyak. Mereka yang lapar dapat diberi makan; mereka yang tidak lapar akan membuang makanan sebagai sebuah penderitaan. (Divine Discourse, Jul 14, 1965)

-BABA

Thought for the Day - 26th October 2018 (Friday)

One fatal weakness that prevents you from getting closer to experiencing God is dambha: conceit, egoism, pride, the desire to be talked about or praised! People take delight in talking tirelessly about their achievements and capabilities. They want that their names and deeds should appear in the daily papers in big bold letters! This indeed makes them ludicrous and pitiable. It is not in the newspapers that you should strive to get attention. Earn status in the realm of God; earn fame in the company of the good and the godly, progress in humility, in reverence to elders and parents! If you are forever in the primary class labouring over A B C, how can you make out the meaning of what experts teach? Spirituality and Divinity is beyond the reach of the senses and you must listen, practice, and cherish noble ideals in your minds. Practise virtues and live in joy.


Satu kelemahan fatal yang mencegah kita semakin dekat dalam mengalami Tuhan adalah dambha: kecongkakan, kesombongan, keinginan untuk dibicarakan atau dipuji! Manusia sangat senang dalam membicarakan tentang keberhasilan dan kemampuannya tanpa kenal lelah. Mereka ingin bahwa nama dan perbuatan mereka harus muncul dalam berita harian dengan huruf besar dan tebal! Hal ini sesungguhnya membuat diri mereka menjadi menggelikan dan menyedihkan. Engkau seharusnya tidak berusaha untuk mendapatkan perhatian di surat kabar. Dapatkan status dalam kerajaan Tuhan; dapatkan kemashyuran dalam pergaulan yang baik dan saleh, berkembang dalam kerendahan hati, hormat pada yang lebih tua, dan orang tua! Jika engkau selamanya ada di level sekolah dasar hanya belajar alphabet A B C, lantas bagaimana engkau bisa mengerti makna dari ajaran mereka yang ahli? Spiritualitas dan keilahian adalah melampaui jangkauan dari indera dan engkau harus mendengarkan, melatih, dan memiliki gagasan yang mulia di dalam pikiranmu. Praktikkan kebajikan dan hiduplah dalam suka cita. (Divine Discourse, Oct 10, 1964)

-BABA

Thursday, October 25, 2018

Thought for the Day - 25th October 2018 (Thursday)

There are four kinds of temples: One, Vidyalaya (the temple of learning); second, Bhojanalaya (the temple of food); third, Vaidyalaya (the temple of healing) and Devalaya (the temple of God). All the four are places of worship for man. You go to a Bhojanalaya (also means hotel or restaurant), eat good and tasty food you like and come out happy. You go to a Vaidyalaya (hospital), consult a doctor and only receive prescribed treatment for the illnesses you are suffering from. When you go to a Vidyalaya (an educational institution) you seek only knowledge in the subjects you are interested in. Similarly when you go to a Devalaya (temple), ask yourself, do you conduct yourself properly? In a temple you should be concerned only with worship. Instead of concentrating the mind on the Divine, why do you allow it to wander hither and thither and think about useless mundane affairs? Remember, if only you secure the grace of God, everything will be accomplished easily!


Ada empat jenis tempat suci: pertama adalah, Vidyalaya (tempat suci pembelajaran); kedua adalah, Bhojanalaya (tempat suci makanan); ketiga adalah, Vaidyalaya (tempat suci penyembuhan) dan keempat adalah, Devalaya (tempat suci bagi Tuhan). Keempat tempat suci tersebut adalah tempat ibadah bagi manusia. Anda pergi ke Bhojanalaya (juga berarti hotel atau restorant), makan makanan yang enak dan lezat yang anda sukai dan keluar dengan hati senang. Anda mengunjungi Vaidyalaya (rumah sakit), berkonsultasi dengan dokter dan hanya menerima resep obat untuk penyakit yang anda derita. Ketika anda pergi ke sebuah Vidyalaya (institusi pendidikan) anda hanya mencari pengetahuan pada mata pelajaran yang anda sukai. Sama halnya ketika anda pergi ke sebuah Devalaya (tempat suci), tanyakan diri anda sendiri, apakah anda mengatur diri anda dengan baik? Di dalam tempat suci anda seharusnya hanya fokus pada ibadah. Bukannya memusatkan pikiran pada Tuhan, mengapa anda mengizinkan pikiran anda berkeliaran kesana dan kemari serta memikirkan tentang hal sepele yang tidak ada gunanya? Ingatlah, hanya ketika anda bisa mendapatkan rahmat Tuhan maka segala sesuatu akan dapat diselesaikan dengan mudah! (Divine Discourse, Aug 7, 1988)

-BABA

Wednesday, October 24, 2018

Thought for the Day - 24th October 2018 (Wednesday)

We should be afraid of sin, and not difficulties. We have to develop Daiva preeti, papa bheeti and Sangha neeti (fear of sin, love of God and morality in society). Instead of developing fear of sin, we are enslaved by sin. Instead of seeking refuge in God, we are submitting ourselves to difficulties. Morality in society will lead to love of God which will in turn lead to fear of sin. Hence, we should uphold morality in society and dedicate ourselves to God. Saint Thyagaraja once prayed, “Oh Lord, I am deeply concerned about the fear of sin. I am unable to surrender to Your love. Please grant me the strength of conviction to bow down before Your divine love and bless me with strength to overcome difficulties”. Every true devotee of God must abstain from sinful acts and overcome sorrows and difficulties. Strive to attain the treasure of pure devotion!


Kita seharusnya takut pada dosa, dan bukan pada kesulitan. Kita harus mengembangkan Daiva preeti, papa bheeti, dan Sangha neeti (takut berdosa, kasih pada Tuhan, dan moralitas dalam masyarakat). Bukannya mengembangkan rasa takut berdosa, kita diperbudak oleh dosa. Bukannya mencari perlindungan pada Tuhan, kita menyerahkan diri kita pada kesulitan. Moralitas dalam masyarakat akan menuntun pada kasih Tuhan yang mana mengarahkan kita kembali pada takut berdosa. Oleh karena itu, kita seharusnya menjunjung tinggi moralitas dalam masyarakat dan mengabdikan diri kita pada Tuhan. Guru suci Thyagaraja sekali pernah berdoa, “Oh Tuhan, hamba benar-benar takut berdosa. Hamba tidak mampu berserah pada kasih-Mu. Tolong berikan hamba kekuatan akan keyakinan untuk dapat bersujud dihadapan kasih ilahi-Mu dan memberkati hamba dengan kekuatan untuk mengatasi kesulitan”. Setiap bhakta sejati dari Tuhan harus menjauhkan diri dari tindakan penuh dosa dan mengatasi penderitaan serta kesulitan. Berusaha untuk mencapai harta karun dari bhakti yang sejati! (Divine Discourse, Aug 28, 2004)

-BABA

Thought for the Day - 23rd October 2018 (Tuesday)

Although God dwells in every person, this fact remains latent like oil in the gingelly seed. To manifest the Divine within you, you must go through trials and ordeals. Love for God should grow as a result of adversity. Just as gold improves in brilliance the more it is heated in the crucible, your devotion must shine when it goes through a constant purificatory process. Remember, for all the cruelty and violence that we find in the world today, the root cause is selfishness. This must be eradicated. Experience the Love Principle and rid the world of hatred. Once hatred is destroyed, world will be free from violence and strife. Cultivate Selfless Love and manifest love in all your thoughts and actions. You will experience bliss. When you are filled with Love for God, all pains and troubles will be forgotten. To propagate this principle of Divine Love, God descends in human form from time to time.


Walaupun Tuhan bersemayam di dalam setiap orang, kenyataan ini tetap tersembunyi seperti halnya minyak di dalam biji wijen. Untuk mewujudkan Tuhan di dalam dirimu, engkau harus melewati cobaan dan tantangan. Cinta kasih untuk Tuhan seharusnya tumbuh sebagai hasil dari kesulitan. Seperti halnya emas yang meningkat dalam kecemerlangan saat semakin dipanaskan dalam tempat peleburan, bhaktimu harus bersinar ketika melewati proses pemurnian secara terus menerus. Ingatlah, untuk semua kekejaman dan kekerasan yang kita temukan di dunia saat sekarang, akar penyebabnya adalah sifat mementingkan diri sendiri. Sifat ini harus dihapus. Alami prinsip cinta kasih dan hilangkan dunia kebencian. Sekali kebencian dihancurkan, dunia akan bebas dari kekerasan dan perselisihan. Tingkatkan kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri dan wujudkan kasih dalam semua pikiran dan perbuatanmu. Engkau akan mengalami kebahagiaan. Ketika engkau diliputi dengan kasih untuk Tuhan, semua penderitaan dan masalah akan dilupakan. Untuk menyebarkan prinsip kasih Tuhan ini, Tuhan turun dalam wujud manusia dari waktu ke waktu. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 22nd October 2018 (Monday)

Amongst the many who claim to be devotees of the Lord, only very few are real devotees. When the elements of selfishness and egoism are present in a devotee, God will take no notice of him or her. Divine Love is present all the time. But like the cloud that hides the sun from a person, selfishness and ego of the devotee comes between God's love and the devotee. To proceed from the human condition to the Divine in man, the only means is the Prema Tatwa (Love Principle). Worldly love cannot be equated with Divine Love (Prema). The term Prema is used in ordinary parlance to describe what is really worldly attachment. People are attached more to names and forms than to the inner spirit of things. To get over this false attachment to external forms and names, it is essential to cultivate love in its purest form. To manifest this love, the first requisite is to get rid of selfishness and self-interest.


Diantara banyak orang yang mengaku menjadi bhakta Tuhan, hanya sangat sedikit yang benar-benar bhakta. Ketika unsur-unsur mementingkan diri sendiri dan egoisme ada dalam diri bhakta, Tuhan tidak akan melihatnya. Kasih Tuhan adalah ada sepanjang waktu. Namun seperti halnya awan yang menyembunyikan matahari dari seseorang, sifat mementingkan diri sendiri dan ego bhakta ada diantara kasih Tuhan dan bhakta. Untuk terus melangkah maju dari keadaan manusia menuju pada keilahian dalam diri manusia, satu-satunya sarana adalah Prema Tatwa (prinsip cinta kasih). Kasih duniawi tidak bisa disamakan dengan kasih Tuhan (Prema). Istilah Prema digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menjelaskan apa sebenarnya keterikatan duniawi. Manusia terikat lebih pada nama dan wujud daripada pada jiwa yang ada di dalamnya. Untuk bisa mengatasi keterikatan yang salah ini pada bentuk dan nama di luar, adalah mendasar untuk meningkatkan cinta kasih pada wujudnya yang paling murni. Untuk mewujudkan kasih ini, syarat pertama adalah menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri dan kepentingan diri. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Sunday, October 21, 2018

Thought for the Day - 21st October 2018 (Sunday)

When you fill your hearts with love, you have no ill-will towards anyone. Cultivate the faith that God is in everyone. Surrender to the Divine in a spirit of dedication. The symbolic meaning in the relationship between Krishna and the Gopikas is this: Your heart is the Brindavan. Your thoughts are like the Gopikas. The Atma is Krishna. Bliss is the sport of Krishna. Everyone must convert their heart into a Brindavan and consider the indwelling Atma as Krishna. Every action should be regarded as a Leela of Krishna. Gokulashtami is celebrated by offering to Krishna Paramannam (a special rice dish cooked with jaggery). The real meaning of Paramannam is Annam (food) relating to Param (Supreme). Paramannam is sweet. Your love must be sweet. What you offer to God must be your sweet love. Your love must be all-embracing. This is the foremost message of the Avatar.


Ketika engkau mengisi hatimu dengan cinta kasih, engkau tidak memiliki kehendak jahat pada siapapun juga. Tingkatkanlah keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di dalam diri setiap orang. Berserah kepada Tuhan dalam semangat pengabdian. Makna simbolis dari hubungan diantara Sri Krishna dan para Gopika adalah: Hatimu adalah Brindavan. Pikiranmu adalah seperti para Gopika. Sang Atma adalah Krishna. Kebahagiaan adalah permainan dari Krishna. Setiap orang harus merubah hati mereka menjadi Brindavan dan menganggap Atma yang ada di dalam adalah sebagai Krishna. Setiap perbuatan seharusnya dianggap sebagai sebuah permainan dari Krishna. Gokulashtami dirayakan sebagai persembahan kepada Krishna Paramannam (nasi spesial yang dimasak dengan gula merah). Makna yang sesungguhnya dari Paramannam adalah Annam (makanan) terkait dengan Param (yang tertinggi). Paramannam adalah manis. Cinta kasihmu harus manis. Apa yang engkau persembahkan kepada Tuhan haruslah cinta kasihmu yang manis. Ini adalah pesan utama dari Avatar. (Divine Discourse, Aug 3, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 20th October 2018 (Saturday)

The evil deeds of the wicked and the good deeds and yearning of the righteous are responsible for the advent of Avatars. The Narasimha Avatar (God incarnating as half-man and half-lion) was due to the great devotion of Prahlada and the bad qualities of Hiranyakashipu (Prahlada's father). God descends in response to the yearning and actions of people. Here are two simple examples. Crops grown on the ground look up to the skies for rain. They cannot reach up to the clouds. So, the clouds come down in the form of rain to provide water to the crops. Another example: There is an infant crawling on the floor. It wants its mother but it cannot jump up to her. So, the mother bends down, takes the child and caresses it to make it happy. In the same manner, to offer relief to devotees, to nurture, protect and foster them, the Divine comes in the human form to give them joy.


Perbuatan jahat dari mereka yang jahat dan perbuatan baik serta kerinduan dari mereka yang baik adalah yang bertanggung jawab akan kedatangan Avatara. Narasimha Avatar datang (Tuhan berinkarnasi setengan manusia setengah singa) karena bhakti yang kuat dari Prahlada dan sifat yang buruk dari Hiranyakashipu (ayah dari Prahlada). Tuhan datang untuk menjawab pada kerinduan dan perbuatan dari manusia. Disini ada dua contoh yang sederhana. Tanaman tumbuh di atas tanah mengarah ke atas langit untuk mendapatkan hujan. Tanaman ini tidak bisa mencapai awan di atas. Jadi, awan turun dalam wujud hujan untuk memberikan air bagi tanaman. Contoh yang lainnya: ada seorang bayi yang sedang merangkak di atas lantai. Bayi ini menginginkan ibunya namun bayi itu tidak bisa melompat di pangkuannya. Jadi, sang ibu membungkuk, mengangkat anaknya serta membelainya untuk membuatnya senang. Sama halnya, untuk memberikan keringanan pada bhakta, untuk memelihara, melindungi, dan membantu perkembangan mereka, Tuhan datang dalam wujud manusia untuk memberikan mereka suka cita. (Divine Discourse, Sep 15, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 19th October 2018 (Friday)

The world is a manifestation of the three gunas (Sattva, Rajas and Tamas). When selfishness and self-interest are rampant, people forget kindness and compassion, when the forces of injustice, immorality and untruth grow to monstrous proportions and indulge in a death-dance, the Atmic principle, Divine Mother Shakti, takes on the Rajasic form to suppress and win over the dark forces of evil, and protect Sattvic qualities. This is the inner meaning of the Dasara festival. During the ten days of the Dasara Festival, ask yourself, has the Divine Mother destroyed the 10 demons (rakshasas) within you? Rakshasas are not demonic beings but wicked qualities. Arrogance, bad thoughts, lust, anger, delusion, greed, pride, envy, ego, and hatred are the demons that must be destroyed. You must decide for yourself whether you are now a Ravana or Rama according to your qualities! Embodiments of Divine Love! From today, lead your life with selfless love and live in peace and joy!


Dunia adalah manifestasi dari tri guna (Sattva, Rajas, dan Tamas). Ketika sifat mementingkan diri sendiri dan kepentingan diri merajalela, manusia melupakan kebaikan dan welas asih, ketika kekuatan ketidakadilan, ketidaksopanan, dan ketidakbenaran tumbuh dengan ukuran yang mengerikan dan memuaskan diri dalam tarian kematian, maka prinsip atma yaitu kekuatan ibu ilahi mengambil wujud Rajasik untuk membenamkan dan memenangkan kekuatan gelap kejahatan serta melindungi kualitas Sattvik. Ini adalah makna yang terkandung dari perayaan Dasara. Selama  sepuluh hari perayaan Dasara, tanyakan dirimu sendiri, sudahkan ibu ilahi menghancurkan 10 raksasa yang ada di dalam dirimu? Raksasa bukanlah makhluk yang jahat namun sifat yang jahat. Arogan, pikiran buruk, nafsu birahi, khayalan, ketamakan, iri hati, ego, dan kebencian adalah iblis yang harus dihancurkan. Engkau harus memutuskan untuk dirimu sendiri apakah engkau sekarang adalah Rawana atau Rama sesuai dengan sifatmu! Perwujudan kasih Tuhan! Mulai hari ini, bawalah hidupmu dengan kasih tanpa mementingkan diri sendiri dan hidup dalam kedamaian serta suka cita! (Divine Discourse, Oct 18, 1991)

-BABA

Thought for the Day - 18th October 2018 (Thursday)

What can you achieve with your paltry intelligence? A man once laughed at God for giving the majestic banyan tree a tiny seed and conferring on the ash gourd, a gigantic fruit. “No sense of proportion,” he thought! He was travelling, and as time passed, he felt tired and happened to sleep under the shade of a banyan tree. When he woke up, he saw many seeds that had fallen on his body. If only the banyan tree had seeds in proportion to its size, a single seed falling from that height would have killed the critic in no time! He thanked God for His perfect logic and wisdom and continued the journey, feeling safe and secure. Take everything as it comes, and cultivate contentment. Do not multiply your wants and foster greed and despair. You take off your warm clothing when you start feeling warm yourself. The coat of desire has to be taken off when the warmth of devotion increases. Strive to secure grace, do not strive to secure any lesser fruit.


Apa yang dapat engkau capai dengan kecerdasanmu yang remeh? Suatu waktu ada seseorang yang menertawakan Tuhan karena telah memberikan pohon beringin yang besar dengan sebuah biji yang sangat kecil dan membandingkan dengan buah labu, sebuah buah yang besar. “Tidak ada rasa proporsional,” dia berpikir! Dia sedang melakukan perjalanan, ketika waktu berlalu, dia merasa letih dan tertidur di bawah bayangan pohon beringin. Ketika dia terbangun, dia melihat begitu banyak biji yang jatuh di atas tubuhnya. Jika pohon beringin memiliki biji sesuai dengan ukurannya, maka satu biji saja yang jatuh dari ketinggian akan langsung membunuhnya pada saat itu juga! Dia bersyukur kepada Tuhan untuk logika dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna dan akhirnya dia melanjutkan perjalanan dengan perasaan aman. Menerima segala sesuatu apa adanya, dan tingkatkan rasa syukur. Jangan meningkatkan keinginanmu dan mengembangkan ketamakan dan keputusasaan. Engkau melepaskan pakaian hangatmu ketika engkau merasakan hangat. Pakaian keinginan harus dilepaskan ketika kehangatan bhakti meningkat. Berusahalah untuk mendapatkan rahmat, jangan berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih kecil. (Divine Discourse, Oct 4, 1962)

-BABA

Thought for the Day - 17th October 2018 (Wednesday)

It is only to enable you to put good thoughts into practice that goddesses Durga, Lakshmi and Saraswati are worshipped during these Dasara celebrations. Durga is not to be understood as a ferocious goddess. She is the Goddess Supreme who protects you. Lakshmi is the embodiment of all wealth. Saraswati is the goddess of speech. Good thoughts, good words and good actions represent the tatwa (essence) of these three goddesses. He who teaches good things to you is verily the embodiment of Goddess Saraswati. He who teaches evil is verily a demon. Goddess Durga destroys only such demons. Durga, Lakshmi and Saraswati are, in fact, not different from you. They are very much installed in your own heart. They exhort you to lead the life of a human being, since you are a human being. Durga, Lakshmi and Saraswati are the three mothers to a human being.


Ini hanya untuk memungkinkanmu memiliki pikiran yang baik ke dalam tindakan maka Dewi Durga, Lakshmi, dan Saraswati dipuja selama perayaan Dasara ini. Dewi Durga bukanlah dipahami sebagai Dewi yang ganas. Beliau adalah Dewi yang melindungimu. Dewi Lakshmi adalah perwujudan dari semua kekayaan. Dewi Saraswati adalah dewi dalam perkataan. Pikiran yang baik, perkataan yang baik, dan perbuatan yang baik adalah melambangkan tatwa (intisari) dari ketiga Dewi ini. Dia yang mengajarkan perbuatan yang baik kepadamu sejatinya adalah perwujudan dari Dewi Saraswati. Dia yang mengajarkan kejahatan sejatinya adalah iblis. Dewi Durga hanya menghancurkan iblis seperti itu saja. Durga, Lakshmi, dan Saraswati sejatinya adalah tidak berbeda dari dirimu. Ketiganya ada bersemayam di dalam hatimu serta mendorongmu untuk menjalani hidup sebagai manusia, karena engkau adalah manusia. Durga, Lakshmi, dan Saraswati adalah tiga ibu bagi manusia. (Divine Discourse, Sep 28, 2006)

-BABA

Tuesday, October 16, 2018

Thought for the Day - 16th October 2018 (Tuesday)

Every yajna has a great unseen influence on human life, for these sacred formulae are potent sounds, charged with subtle mysteries. The ritual sacrifice (yajna) has a deeper meaning; the meanings that symbols have is really valuable and essential for human progress. Every rite is a symbolic act. Yajna is correlated at every step with human aspirations and spiritual practices. It is kept in touch with human life and aspirations in its minutest detail. Butter is the product of the churning of the emotions, impulses, impressions, and instincts of people - the purest and the most authentic essence of the divine in people. That butter, when it is still more clarified, becomes ghee, and that is what is offered to the Gods! When you pray, always concentrate on the everlasting fruit - the universal, the spiritual. Do not pray for small mundane desires; direct your mind to follow the guidelines taught by the Lord to re-establish righteousness (dharma) in the Universe.


Setiap yajna memiliki sebuah pengaruh besar yang tidak terlihat dalam kehidupan manusia, karena mantra suci ini adalah bunyi yang kuat yang diisi dengan misteri yang halus. Pengorbanan dalam bentuk ritual (yajna) memiliki sebuah makna yang lebih mendalam; makna yang dimiliki simbol tersebut sangat berharga dan mendasar bagi kemajuan manusia. Setiap ritual adalah sebuah tindakan simbolis. Yajna adalah berhubungan dengan setiap langkah dengan aspirasi manusia dan latihan spiritual. Yajna tetap berhubungan dengan kehidupan manusia dan aspirasi dalam setiap detail terkecilnya. Mentega adalah produk dari pengadukan emosi, gerak hati, kesan, dan naluri manusia – esensi yang paling murni dan asli dari Tuhan dalam diri manusia. Mentega itu, ketika masih lebih jelas akan menjadi ghee dan itu yang dipersembahkan kepada Tuhan! Ketika engkau berdoa, selalu konsentrasi pada buah yang kekal - universal, spiritual. Jangan berdoa untuk keinginan duniawi yang sepele; arahkan pikiranmu untuk mengikuti tuntunan yang diajarkan oleh Tuhan untuk membangun kembali kebajikan (dharma) di alam semesta. (Divine Discourse, Oct 4, 1962)

-BABA

Thought for the Day - 15th October 2018 (Monday)

The ten-day Dasara festival is meant to encourage you to control your ten senses. Legend says that Goddess Chamundi killed the demon Mahisha during this Dasara festival. What is the inner meaning of this story? We should not under any circumstance associate ourselves with demons. Your thoughts, words and actions must be pure, worthy of being human and not demoniac. Avoid bad company and always be in good company. Do not develop hatred towards anyone. Whomever you come across, consider them as embodiments of Divinity and salute them. Always speak truth, observe righteousness (Dharma). Be peaceful. Be happy and blissful. You should conduct yourself with love in society. I am suffused with love. I distribute that love to one and all. I do not hate anyone. I have no selfishness at all! My love is selfless love. Love is My property. You all are heirs to that property. Love is God, God is Love. Hence, live in love.


Perayaan sepuluh hari Dasara adalah untuk mendorongmu dalam mengendalikan sepuluh indriamu. Dalam legenda dijelaskan bahwa Dewi Chamundi menghancurkan raksasa Mahisha saat perayaan Dasara. Apakah makna yang ada di balik kisah ini? Kita seharusnya tidak ada dibawah keadaan dimana kita menghubungkan diri kita dengan raksasa. Pikiran, perkataan, dan perbuatanmu haruslah suci, pantas sebagai manusia dan bukan raksasa. Jauhi pergaulan yang buruk dan selalu berada dalam pergaulan yang baik. Jangan mengembangkan kebencian kepada siapapun juga. Siapapun yang engkau temui, anggaplah mereka sebagai perwujudan dari Tuhan dan berikan hormat pada mereka. Selalu bicara yang benar, jalankan kebajikan (Dharma). Jadilah damai. Jadilah senang dan bahagia. Engkau seharusnya membimbing dirimu sendiri dengan kasih dalam masyarakat. Aku diliputi dengan kasih sayang. Aku membagi kasih sayang itu kepada semuanya. Aku tidak membenci siapapun juga. Aku sama sekali tidak memiliki sifat mementingkan diri sendiri! Kasih sayang-Ku adalah kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih sayang adalah kekayaan-Ku. Engkau adalah pewaris dari kekayaan itu. Kasih sayang adalah Tuhan, Tuhan adalah kasih sayang. Oleh karena itu, hiduplah dalam kasih sayang. (Divine Discourse, Sep 27, 2006)

-BABA

Sunday, October 14, 2018

Thought for the Day - 14th October 2018 (Sunday)

In the Mahavakya from the Vedas, Tat Twam Asi (That Thou Art), Tat denotes that which is outside and Twam stands for innate Divinity. It means that the same Divinity is present within and without. Antarbahischa Tatsarvam Vyapya Narayana Stitaha (That all pervasive God is present within and without). That which is seen, heard and experienced outside is nothing but the reflection, resound and reaction of the inner being. When reality is within, why crave for its reflection outside? It is sheer madness. Man is the embodiment of time. Man is the master of time. In order to understand one’s reality, one has to control the mind. Hence, it is said, master the mind and be a mastermind. The five elements that are seen outside are present in you. You are the master of the five elements. You should master the mind; do not become a slave to it.


Dalam Mahavakya dari Weda, Tat Twam Asi (Itu atau Dia adalah kamu), Tat menunjukkan yang ada di luar dan Twam berarti kualitas Tuhan pembawaan sejak lahir. Ini berarti kualitas Tuhan sama ada di dalam dan di luar diri. Antarbahischa Tatsarvam Vyapya Narayana Stitaha (Tuhan yang meresapi semuanya ada di dalam dan di luar). Apa saja yang dapat dilihat, didengar dan dialami di luar hanyalah pantulan, gema dan reaksi dari di dalam diri. Ketika kenyataan sejati ada di dalam diri, mengapa mencari bayangannya di luar? Ini adalah kegilaan belaka. Manusia adalah perwujudan dari waktu. Manusia adalah penguasa waktu. Untuk bisa memahami kenyataan diri sejati, seseorang harus mengendalikan pikiran. Oleh karena itu disebutkan, kuasai pikiran dan jadilah penguasa pikiran. Lima unsur yang dilihat di luar ada di dalam dirimu. Engkau adalah penguasa dari kelima unsur. Engkau seharusnya menguasai pikiran; jangan menjadi budak dari pikiran. (Divine Discourse, Oct 9, 2001)

-BABA

Thought for the Day - 13th October 2018 (Saturday)

Everyone must consider it their foremost duty today to revere one’s own mother as divine and serve her, regardless of country or circumstance. If you cannot respect and serve your mother who bore you for nine months, brought you into the world and reared you over the years, who else are you likely to respect? Lord Sri Rama Himself declared that one's mother and motherland are greater than even heaven. Maternal love is akin to that of the Creator who protects this infinite cosmos in countless ways. The Navaratri festival teaches this profound truth. One must remember that reverence to one's own mother is one's paramount duty. If one's mother is unhappy, all the expenditure one incurs and all the worship one offers in the name of Durga, Lakshmi and Saraswati during the Navaratri festival will yield no fruit.


Setiap orang harus menganggap bahwa kewajiban mereka yang utama hari ini adalah memuliakan ibu mereka sebagai Tuhan dan melayaninya, tanpa memandang bangsa atau keadaan. Jika engkau tidak bisa menghormati dan melayani ibumu yang mengandungmu selama sembilan bulan, melahirkanmu ke dunia ini dan membesarkanmu selama bertahun-tahun, lantas siapa lagi yang layak untuk dihormati? Sri Rama sendiri menyatakan bahwa ibu pertiwi adalah lebih hebat daripada surga. Kasih sayang dari ibu adalah sama dengan sang pencipta yang melindungi alam semesta yang luas ini dalam cara yang tidak terhitung. Perayaan Navaratri mengajarkan kebenaran yang agung ini. Seseorang harus ingat bahwa memuliakan ibu sendiri adalah kewajiban yang tertinggi. Jika ibu sendiri merasa tidak senang, maka semua bentuk pengeluaran yang seseorang lakukan dan semua pemujaan yang seseorang persembahkan atas nama Durga, Lakshmi, dan Saraswati selama perayaan Navaratri tidak akan menghasilkan apa-apa. (Divine Discourse, Oct 14, 1988)

-BABA

Thought for the Day - 12th October 2018 (Friday)

Vedas have given four Mahavakyas (divine axioms) to the world. One of which is, Prajnanam Brahma (Knowledge is Divinity). What is Prajnana? Is it bookish knowledge? Is it the knowledge that is forgotten with the passage of time? Is it related to the experience of the body? No. Not at all. Prajnana is the unchanging and eternal principle, which is in you at all times and under all circumstances. People call it supreme knowledge but the correct translation for this term is Constant-Integrated-Awareness. Though God is present within, man goes in search of Him thinking that He is present only in a particular place. It is tantamount to somebody going in search of one’s own self elsewhere. Realise that the five elements present in you are the very forms of Divine. Divinity is present in every being. The life principle that flows through each and every nerve of the body is verily divine.


Weda telah memberikan empat Mahavakya (pernyataan Tuhan) kepada dunia. Salah satunya adalah, Prajnanam Brahma (pengetahuan adalah Tuhan). Apa itu Prajnana? Apakah pengetahuan yang ada di buku? Apakah pengetahuan yang dilupakan seiring berjalannya waktu? Apakah terkait dengan pengalaman tubuh? Tidak. Tidak sama sekali. Prajnana adalah prinsip yang bersifat kekal dan tidak mengalami perubahan, yang ada di dalam dirimu sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan. Manusia menyebutnya dengan pengetahuan tertinggi namun terjemahan yang benar untuk bagian ini adalah Kesadaran kesatuan yang terus menerus (semua wujud dan nama adalah milik Tuhan). Walaupun Tuhan bersemayam di dalam diri, manusia pergi mencari Tuhan dan berpikir bahwa Tuhan hanya hadir di sebuah tempat tertentu. Ini sama halnya seseorang yang mencari dirinya sendiri di tempat lain. Sadarilah bahwa lima unsur yang ada dalam dirimu adalah perwujudan yang sebenarnya dari Tuhan. Keilahian ada di dalam setiap makhluk. Prinsip hidup yang mengalir melalui setiap syaraf dari tubuh adalah sejatinya Tuhan. (Divine Discourse, Oct 9, 2001)

-BABA

Friday, October 12, 2018

Thought for the Day - 11th October 2018 (Thursday)

You have come from God, a spark of His Glory, a wave of that Ocean of Bliss; you will be peaceful only when you again merge in Him. Like a child who has lost his way, you can have joy only when you rejoin your mother. The ocean drop rose as vapour, joined the congregation called cloud, fell on the earth, flowed along the ravines, and at last reached the ocean. Start on that journey and travel quick and light. It is in Sanatana Dharma that the importance of karma in shaping one’s destiny, the fact of the individual undergoing many births towards birthlessness, and the mighty Grace of God's coming as Avatar to gather around Him in holy companionship individuals for saving them and saving the world through them, is so strongly and clearly laid down. Doubt in any of these great truths will lead to sure suffering and grief. Every one of you must be saved, sooner or later, by the Grace of the All-Merciful. Make it sooner rather than later. Keep the goal clear before the eye and march on.


Engkau telah datang dari Tuhan, percikan dari kemuliaan-Nya, sebuah gelombang dari lautan kebahagiaan; engkau akan penuh kedamaian hanya ketika engkau kembali menyatu dengan-Nya. Seperti seorang anak yang tersesat, engkau dapat memiliki suka cita hanya ketika engkau bertemu dengan ibumu kembali. Butiran air laut naik sebagai uap, bergabung bersama-sama menjadi awan, jatuh ke bumi, mengalir sepanjang jurang dan pada akhirnya mencapai lautan kembali. Memulai perjalanan itu dan berjalanlah dengan cepat dan ringan. Dalam Sanatana Dharma dinyatakan pentingnya karma dalam membentuk takdir seseorang, kenyataan dari setiap individu yang menjalani banyak kelahiran menuju untuk tidak lahir kembali, dan karunia Tuhan yang sangat besar datang sebagai Avatara menarik mereka datang pada-Nya dalam perkumpulan yang suci dalam menyelamatkan mereka dan dunia melalui mereka, adalah sangat jelas dan kuat dinyatakan. Keraguan pada kebenaran ini akan menuntun pasti pada penderitaan dan duka cita. Setiap orang darimu harus diselamatkan, cepat atau lambat, dengan karunia Tuhan yang maha pengasih. Buatlah hal ini semakin cepat daripada lambat. Tetap buat tujuan menjadi jelas di depan mata dan tetap melangkah maju. (Divine Discourse, Oct 17, 1966)

-BABA

Wednesday, October 10, 2018

Thought for the Day - 10th October 2018 (Wednesday)

Dasara Programme at Puttaparthi has various activities like Vedic chanting, worship of Divine Mothers, feeding the poor, drama, music, Harikathas, reading moral epics, lectures on scriptural text, etc. All these are designed for good reasons, which are not superficially evident. You might think this is but customary and traditional. No! Each activity has a deeper significance; intended to bring a definite benefit. Vedas are for all mankind; Vedic recitation promotes world peace and human welfare, subjugating the anger of the elements and of human communities; they invoke the forces of nature to be calm and beneficent. For those who derive joy when the Lord’s names are recited, each name evoking one facet of the splendour of God, we have the pujas (ritual worships). For those thirsting for direction along the path of Sadhana, we have the discourses by experts. Musical recitations, dramas and discourses relate the essential lessons and scriptural wisdom in pleasant palatable ways. All these unfold the petals of the human heart!

Program Dasara di Puttaparthi memiliki berbagai jenis kegiatan seperti Vedhapaaraayanam (pelantunan Weda), memuja Ibu ilahi, memberikan makan pada yang membutuhkan, drama, musik, Harikatha, membaca epos moral, diskusi tentang naskah spiritual, dsb. Semuanya ini dirancang untuk alasan yang baik, yang jelas tidak bersifat dangkal. Engkau mungkin berpikir hal ini hanyalah bersifat biasa dan tradisional. Tidak! Setiap aktifitas memiliki sebuah makna yang mendalam; sesungguhnya adalah membawa sebuah keuntungan yang pasti. Weda adalah untuk seluruh umat manusia; pelantunan Weda meningkatkan kedamaian dunia dan kesejahteraan manusia, menaklukkan amarah dari unsur alam dan komunitas manusia; pelantunan Weda memohon kekuatan alam untuk menjadi tenang dan murah hati. Bagi mereka yang mendapatkan suka cita ketika nama Tuhan dilantunkan, setiap nama membangkitkan satu sisi kemuliaan Tuhan, kita memiliki puja (pemujaan secara ritual). Bagi mereka yang haus akan arah sepanjang jalan Sadhana, kita memiliki wacana dari yang ahli. Pelantunan musik, drama, dan wacana terkait dengan pembelajaran yang mendasar dan kebijaksanaan naskah suci dengan cara yang menyenangkan. Semua hal ini membukakan kelopak hati manusia! (Divine Discourse, Oct 17, 1966)

-BABA

Tuesday, October 9, 2018

Thought for the Day - 9th October 2018 (Tuesday)

When a person dies, the property and things remain at home; they do not go with the person into the beyond. Even the relatives cannot accompany; only the good or the bad name one has earned will last. So every one of you must live in such a way that posterity will remember you with gratitude and joy. To lead the good life, constant prompting from the God within is a great help. That inspiration can be got only by constantly reciting the Lord's Name (Namasmarana) and calling on the inner springs of Divinity. Practice incessant Namasmarana. Also remember, by simply singing loud or shouting Shivoham, you cannot become Shiva; you must develop the qualities of Divinity like universal love, absence of attachment, etc. Then you will be entitled to assert Shivoham, and even if you do not assert at all, you will be Shiva, for you will then have no aham feeling (no egoism)!


Ketika seseorang meninggal, kekayaan dan benda-benda masih tetap di rumah; semuanya itu tidak ikut pergi bersama orang yang meninggal ke alam baka. Bahkan para kerabat tidak bisa menemani; hanya nama baik dan buruk yang seseorang miliki akan tetap ada. Jadi setiap orang darimu harus hidup seperti itu sehingga keturunan akan mengingatmu dengan rasa syukur dan suka cita. Untuk menjalani hidup yang baik, dorongan secara terus-menerus dari Tuhan di dalam diri adalah sebuah bantuan yang sangat besar. Inspirasi itu hanya dapat diperoleh dengan tanpa henti mengulang-ulang nama Tuhan (Namasmarana) dan menggunakan sumber keilahian di dalam diri. Praktikkan Namasmarana terus menerus. Juga ingat, hanya dengan melantunkan dengan kuat atau berteriak Shivoham, engkau tidak bisa menjadi Shiva; engkau harus mengembangkan kualitas keilahian seperti kasih yang bersifat universal, ketiadaan kemelekatan, dsb. Kemudian engkau akan berhak untuk Shivoham, dan bahkan jika engkau tidak menuntut sama sekali, engkau akan menjadi Shiva, karena engkau tidak lagi memiliki perasaan aham (tidak ada ego)! (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 27)

-BABA

Thought for the Day - 8th October 2018 (Monday)

Nag Mahasaya, the householder disciple of Sri Ramakrishna Paramahamsa, was able to escape the chains of samsara (worldly life) by becoming humbler and smaller, with less and less egoism; he became so tiny that he could creep through to safety. Nag Mahasaya felt, "I am the servant of the servants of God" - Dasoham. Vivekananda, another disciple of Sri Ramakrishna Paramahamsa, on the other hand expanded himself until he identified himself with the entire Universe and so, the chain broke unable to contain his majesty. Vivekananda felt that he was the Master, the Isa who was Idam Sarvam, Sadaa Soham - he was always steady in the conviction that he was That. This is the identity of the Individual and the Universal (Jiva-Brahma-aikya-anusandhanam), the true celestial wedding. Every individual must endeavour to practice this Consciousness and celebrate this union in their lives. Choose one path that best suits your personality and persist in practice until you attain victory!


Nag Mahasaya, kepala keluarga yang merupakan murid dari Sri Ramakrishna Paramahamsa, mampu melepaskan diri dari rantai samsara (kehidupan duniawi) dengan menjadi lebih rendah hati dan lebih kecil, dengan semakin sedikit dan lebih sedikit ego; dia menjadi sangat kecil sehingga dia dapat bergerak dengan pelan-pelan ke tempat yang aman. Nag Mahasaya merasa, "saya adalah pelayan dari Tuhan " - Dasoham. Vivekananda, murid yang lain dari Sri Ramakrishna Paramahamsa, sebaliknya mengembangkan dirinya sampai dia mengidentifikasikan dirinya dengan seluruh alam semesta dan sehingga rantai tidak mampu menahan keagungannya. Vivekananda merasa bahwa dia adalah guru, Isa yang adalah Idam Sarvam, Sada Soham – dia yang selalu teguh dalam keyakinan bahwa dia adalah Tuhan. Ini adalah identifikasi dari individu dan Universal (Jiva-Brahma-aikya-anusandhanam), pernikahan surgawi yang sejati. Setiap individu harus berusaha untuk mempraktikkan kesadaran ini dan merayakan persatuan ini dalam hidup mereka. Pilihlah satu jalan yang terbaik dengan kepribadianmu dan terus berlatih sampai engkau mencapai kemenangan! (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 27)

-BABA