Tuesday, May 31, 2011

Thought for the Day - 31st May 2011 (Tuesday)

Be careful not to discuss the pros and cons of your spiritual practices with all and sundry. If the people consulted are treading another path, they will decry your practice of repetition of the name and meditation and treat them with scant respect. They will look down upon your practices, as if they were very elementary and as if your were but a beginner in school. As a result, you will start doubting the efficacy of your chosen path! You will get concern where earlier you had joy, disgust where earlier you had love. Therefore, reflect within yourself, or approach those who have tasted the nectar of that Name. Do not argue about these things with everyone you meet. The time spent in these disputations is better used in the cultivation of joy through the repeated contemplation of the Name (Nama) and meditation on the Form (Rupa) of the Lord.

Berhati-hatilah untuk tidak membahas pro dan kontra dari praktek spiritualmu dengan semua orang. Jika orang-orang membicarakan tentang jalan (spiritual) yang lain, mereka akan mencela praktek spiritualmu pada pengulangan Nama Tuhan dan meditasi dan kurang menghargainya. Mereka akan memandang rendah praktek spiritualmu, seolah-olah praktek spiritual tersebut sangat dasar dan diibaratkan engkau hanyalah seorang pemula di sekolah dasar. Sebagai hasilnya, engkau akan mulai meragukan kemanjuran jalan (spiritual) yang engkau pilih! Engkau akan mulai tidak menyukainya dimana sebelumnya engkau merasakan sukacita dari praktek spiritual ini. Oleh karena itu, refleksikanlah dalam dirimu, atau mendekatlah pada mereka yang telah merasakan nektar dari Nama Tuhan ini. Janganlah memperdebatkan tentang hal ini dengan semua orang yang engkau temui. Waktu yang dihabiskan dalam perdebatan ini lebih baik digunakan dalam perenungan Nama Tuhan dan meditasi pada Wujud Tuhan secara berulang-ulang.

-BABA

Monday, May 30, 2011

Thought for the Day - 30th May 2011 (Monday)

Every child arrives into the world, bearing the burden of consequences that were not carried to completion in previous lives. The child does not drop from the lap of Nature, as a streak of lightning from the clouds. It is born in this world in order to experience the beneficial and the malignant consequences that are the products of its own acts in past lives. This is the explanation for the differences that are evident among men. This is the principle of Karma.

Setiap anak yang lahir kembali ke dunia ini, menanggung beban akibat perbuatan yang belum terselesaikan pada kehidupan sebelumnya. Mereka tidaklah jatuh dari pangkuan Alam, seperti kilatan petir dari awan. Mereka lahir di dunia ini untuk mengalami berbagai hal yang baik dan buruk yang merupakan hasil dari perbuatannya sendiri dalam kehidupan di masa lampau. Inilah perbedaan yang jelas diantara manusia. Inilah prinsip Karma.

-BABA

Sunday, May 29, 2011

Thought for the Day - 29th May 2011 (Sunday)

Time is the manifestation of the power of God, and so it has no end or beginning which can be measured. Karma too is an important manifestation. Easwara or God is no wayward force, unmindful of bounds and limits. He creates circumstances strictly according to the activities that men have engaged in during their previous lives. Creation, Time and the Karma— all three are instruments which He uses. They are bound to Him. Easwara though not perceptible to the senses ordinarily, becomes so perceptible to the devotee who has deep attachment to Him that the devotee yearns to merge in Him. Such devotees can perceive God as clearly as they perceive external objects.

Waktu adalah perwujudan dari kekuasaan Tuhan, dan karena itu waktu tidak memiliki akhir atau awal yang dapat diukur. Karma juga merupakan manifestasi yang penting. Easwara atau Tuhan bukanlah kekuasaan yang tidak memperhatikan ikatan dan batas-batas tertentu. Beliau menciptakan keadaan tertentu dengan seksama sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan manusia dalam kehidupan mereka sebelumnya. Penciptaan, Waktu, dan Karma - ketiganya adalah instrumen yang Beliau gunakan. Ketiganya terikat pada-Nya. Easwara (Tuhan) meskipun tidak dapat dipahami oleh orang kebanyakan, menjadi begitu jelas bagi para bhakta yang memiliki keterikatan yang mendalam pada-Nya yang senantiasa merindukan untuk menyatu dengan-Nya. Bhakta yang seperti itu dapat merasakan Tuhan dengan jelas seperti mereka merasakan objek-objek eksternal.

-BABA

Saturday, May 28, 2011

Thought for the Day - 28th May 2011 (Saturday)

Neither liberation from the cycle of birth and death nor purity of intellect and emotions is possible without devotion to the Lord. Those who have the spring of ecstatic devotion to the Presence of the Lord within them do not need any texts to ponder over. The very contemplation on the beauty, grace, and power of the Lord will give them the bliss they seek. In that ecstatic mood, they discard all self-consciousness and yearn to become the beloved of God, and remain in blissful Union with Him. They dance and sing aloud and merge with Him in genuine joy and Ananda (bliss). The agony of the devotee to attain their beloved Lord is the true sign of devotion.

Tiada seorangpun bisa bebas dari lingkaran kelahiran dan kematian ataupun memiliki kemurnian intelek dan perasaan tanpa pengabdian (bhakti) pada Tuhan. Mereka yang memiliki pengabdian akan Kehadiran Tuhan dalam diri mereka tidak lagi memerlukan ayat-ayat untuk merenungkan Tuhan. Kontemplasi pada keindahan Nama Tuhan, berkat Tuhan, dan kekuasaan Tuhan akan memberi mereka kebahagiaan yang mereka cari. Dalam suasana hati yang penuh kebahagiaan, mereka akan mengabaikan semua kesadaran-diri dan merindukan untuk dikasihi Tuhan, dan menyatu penuh kebahagiaan dengan-Nya. Mereka menari dan bernyanyi dengan suara keras dan menyatu dengan-Nya dalam sukacita dan Ananda (kebahagiaan sejati). Perjuangan susah payah yang dilakukan para bhakta untuk mencapai Tuhan yang dikasihi adalah tanda pengabdian (bhakti) yang sejati.

-BABA

Friday, May 27, 2011

Thought for the Day - 27th May 2011 (Friday)

Fish nurture their newly hatched young ones first in a safe and shallow spot. Then, they send them out into the wide open sea with its monstrous denizens. Only then can the young ones survive courageously and grow without fear. If they were bred in the open sea right from the beginning, they would certainly be swallowed up! In the same way, the practice of the contemplation of the name (nama), repetition of the name (japa), and meditation (dhyana) are to be practised with a great deal of care according to a set routine in the initial stages, until you become an expert who contemplates on the name constantly and repeats it with concentration. Repeating the Name of the Lord is the safest, surest and easiest spiritual practice.

Ikan yang baru saja menetas, pertama kali dipelihara di perairan yang aman dan dangkal. Selanjutnya, ikan-ikan akan hidup di laut terbuka menyatu dengan penghuni laut lainnya. Baru setelah itu ikan-ikan muda dapat bertahan hidup dengan berani dan tumbuh tanpa rasa takut. Jika sejak awal ikan-ikan dibesarkan di laut lepas, ikan-ikan tersebut pasti akan dimakan! Dengan cara yang sama, merenungkan Nama Tuhan, mengulang-ulang Nama Tuhan (japa), dan meditasi (dhyana) harus dipraktekkan dengan penuh perhatian sebagai suatu kebiasaan sehari-hari dari sejak dini, sampai engkau benar-benar memahami bagaimana merenungkan Nama Tuhan secara terus-menerus dan melakukannya dengan penuh konsentrasi. Mengulang-ulang Nama Tuhan adalah praktek spiritual yang paling tepat, paling manjur, dan yang termudah.

-BABA

Thursday, May 26, 2011

Thought for the Day - 26th May 2011 (Thursday)

A special feature about Namasmarana (repetition of the Divine Name) is this: it is possible to acquire various Siddhis (occult powers) through Yoga (spiritual practice) and Tapas (penance). And there is every likelihood of the Lord being forgotten when these powers come. Blinded by this pride, a person might even let go of the basic victory won by his/her spiritual practices. This is not the case with remembrance of the Name, repetition of the Name, and meditation; no such dangers beset these paths. These three paths make Prema (Love) grow in people more and more. Through love, Shanti (Peace) is achieved. Once peace of mind is achieved, all other conditions are automatically attained.

Keutamaan dari Namasmarana (pengulangan Nama Tuhan) adalah: memungkinkan seseorang untuk memperoleh berbagai macam Siddhi (kekuatan gaib) melalui Yoga (praktek spiritual) dan Tapas (penebusan dosa). Dan ketika kekuatan-kekuatan ini diperoleh, ada kemungkinan Tuhan dilupakan. Dibutakan oleh kebanggaan dari kekuatan yang diperoleh ini, seseorang bahkan mungkin melepaskan kemenangan dasar yang telah diperolehnya melalui praktek-praktek spiritual. Bahaya ini tidak akan menimpa seseorang, jika selalu mengingat Nama Tuhan, mengulang-ulang Nama Tuhan, dan melakukan meditasi. Ketiga jalan ini membuat Prema (Cinta-kasih) di dalam hati para bhakta menjadi lebih berkembang. Melalui cinta-kasih, akan dicapai Shanti (kedamaian). Setelah kedamaian pikiran tercapai, semua manfaat yang lainnya secara otomatis akan tercapai.

-BABA

Wednesday, May 25, 2011

Thought for the Day - 25th May 2011 (Wednesday)

Riches are needed to secure any article in the world. With riches, articles are acquired, so it follows that the riches are superior to the articles obtained by means of them, right? With riches, one can get any article, any time. So too, it is by means of the riches of the Divine Name that the article, Divine Form, is to be earned. If the riches of the Divine Name are steadily accumulated, the Lord can be realised through the path of meditation, easily and without difficulty.

Kekayaan diperlukan untuk mendapatkan berbagai benda di dunia ini. Dengan kekayaan, benda-benda duniawi tersebut bisa diperoleh, dengan demikian bukankah kekayaan lebih unggul daripada benda-benda duniawi yang diperoleh? Dengan kekayaan, seseorang bisa mendapatkan benda-benda duniawi kapan saja. Demikian juga, dengan kekayaan ’Nama Tuhan’ maka ‘Wujud Tuhan’ akan didapatkan. Jika kekayaan ‘Nama Tuhan’ terakumulasi, Tuhan dapat disadari (keberadaan-Nya) dengan mudah dan tanpa kesulitan, melalui jalan meditasi.

-BABA

Tuesday, May 24, 2011

Thought for the Day - 24th May 2011 (Tuesday)

There is oil in the sesame seed. There is butter in milk. There is water underground. There is fire latent in wood. Similarly, the Omnipresent God is in the human body and the human mind. When one seeks to separate Him and identify Him, one has to make efforts and do Sadhana (spiritual exercise). Then, as a consequence of the effort and the Sadhana one will realise that God is oneself and there is no difference between the two.

Ada minyak di dalam biji wijen. Ada mentega di dalam susu. Ada air dibawah tanah. Ada api tersembunyi di dalam kayu. Demikian pula, Tuhan yang omnipresent (ada dimana-mana) ada dalam tubuh manusia dan juga pikiran manusia. Ketika seseorang berusaha untuk memisahkan Beliau dan mengenali-Nya, kita harus melakukan upaya-upaya dan melakukan Sadhana (praktek spiritual). Kemudian, sebagai konsekuensi dari usaha dan Sadhana yang telah dilakukan, seseorang akan menyadari bahwa kita sendiri adalah Tuhan dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

-BABA

Monday, May 23, 2011

Thought for the Day - 23rd May 2011 (Monday)

The Lord and His Name are both one, but the sweetness of the Name is seldom found in the Form. When the name of the flower, rose, is remembered, its fragrance, tender petals, and deep colour spring to memory; its thorns and the trouble one has undergone to get the flower are all forgotten. Instead, if its origin and previous story are considered, and if the plant, leaves, and branches are taken into account, the flower —the most important, most beautiful, and most attractive part— is likely to be forgotten and only the rest of the plant is discussed about. Crave for the Lord's Name rather than the Form.

Tuhan dan Nama-Nya kedua-duanya adalah satu, tetapi manisnya Nama Tuhan ini jarang ditemukan pada Wujud Beliau. Bila nama bunga mawar yang disebut, aromanya yang harum, kelopaknya yang lembut, dan penuh warna di musim semilah yang mncul dalam memori; duri dari mawar tersebut dan kesulitan untuk mendapatkan bunga mawar tersebut, semuanya terlupakan. Sebaliknya, jika asal-usul dan cerita sebelumnya diingat, dan jika tanaman, daun-daun, dan cabang-cabang diperhitungkan, bunga tersebut - yang paling penting, paling indah, dan bagian yang paling menarik - kemungkinan akan dilupakan dan hanya sisa tanaman tersebut yang dibahas. Rindukanlah Nama Tuhan, bukan Wujud-Nya.

-BABA

Thought for the Day - 22nd May 2011 (Sunday)

There is milk in the body of the cow. The milk has ghee (clarified butter) latent in it. But the cow cannot derive any strength through that ghee. The milk has to be taken out of the animal, it has to be boiled, and a little sour curd poured into it in order to curdle it. Then, when the milk is transformed into curds, it has to be churned and butter separated and rolled. Afterwards, the butter has to be melted and clarified, to get the ghee. The ghee thus prepared can be fed to the cow and then, it would be rendered stronger. So too, God is omnipresent. Yet, He is not amenable to individuals, unless they undertake Sadhana (spiritual exercises).

Di Dalam tubuh sapi terdapat susu dan susu memiliki ghee (mentega murni) yang terpendam di dalamnya. Tetapi sapi tidak bisa memperoleh kekuatan apapun melalui ghee tersebut. Susu harus dibawa keluar dari tubuh sapi, kemudian susu tersebut harus direbus, dan dadih asam sedikit dituangkan ke dalamnya agar bisa mengental. Lalu, ketika susu berubah menjadi dadih, dadih harus diaduk dan mentega dipisahkan. Setelah itu, untuk mendapatkan ghee, mentega harus dicairkan dan dimurnikan. Ghee kemudian dapat dipersiapkan menjadi makanan untuk sapi dan kemudian membuat sapi menjadi lebih kuat. Demikian juga, Tuhan ada di mana-mana. Namun, Beliau tidak dipahami oleh manusia, kecuali mereka melakukan Sadhana (praktek spiritual).
-BABA

Saturday, May 21, 2011

Thought for the Day - 21st May 2011 (Saturday)

Each actor must be conscious of God's presence behind the screen of Maya (illusion); each must be anxious to catch the faintest suggestion He might give, keeping a corner of the eye always on Him and having the ear pitched to catch His voice. Instead of this, if a person forgets the plot and the story (that is to say, the work for which one has come and the duties that appertain thereto), neglects to watch the presence behind the screen, and simply stands dumb on the stage, the audience will laugh at their folly and charge the person with spoiling the show. For these reasons, every actor who has to play the role of a person on the world stage must first learn the lines well and then, remembering the Lord behind the screen, await His orders. The attention must be on both: the lines one learned for the role and the stage manager’s directions. Meditation alone gives one this concentration and this awareness.

Setiap aktor harus menyadari akan kehadiran Tuhan di balik layar Maya (ilusi); masing-masing dari mereka harus bisa menangkap saran-saran yang Beliau berikan, menjaga pandangan selalu pada-Nya dan memiliki telinga untuk menangkap suara-Nya. Selain hal tersebut, jika seseorang lupa alur dan cerita, mengabaikan kehadiran-Nya di belakang layar, dan hanya berdiri bisu di atas panggung, para penonton akan menertawakan kebodohan mereka dan menganggap orang tersebut telah merusak pertunjukan. Untuk alasan inilah maka setiap aktor harus memainkan peran di panggung dunia ini, pertama-tama harus mempelajari aturan main dengan baik dan selanjutnya mengingat bahwa Tuhanlah yang berada di belakang layar, tunggulah perintah-Nya. Perhatian harus diarahkan pada keduanya: mempelajari aturan main dan mematuhi perintah Manajer (Tuhan). Hanya meditasi yang bisa memberikan konsentrasi dan kesadaran ini

-BABA

Friday, May 20, 2011

Thought for the Day - 20th May 2011 (Friday)

Some are born healthy and some others, unhealthy. Some lead prosperous, carefree lives, while others toil throughout their lives in dire poverty. Certainly, it can be argued that there are signs enough of the partiality that the Creation or Creator reveals. Such inference may even appear justified from the ordinary man’s point of view. The pure stream of spiritual culture declares that this is not true at all! God is not the cause of either misery or joy, of good fortune or bad! Then, who brings about the evil and the good? The answer is—we ourselves! Rain falls equally on ploughed land and on unploughed. Only the ploughed land derives benefit therefrom! The clouds are not to blame. The fault lies in the ignorant idler who lets his land lie fallow. The grace of God is ever at hand. It has no ‘more or less,’ no ups or downs. We draw upon it, more or less, or let it go by, or use it for our good.

Beberapa orang terlahir dengan badan yang sehat dan beberapa yang lainnya, lahir dalam keadaan yang tidak sehat. Beberapa orang hidup dalam kemakmuran, hidup tanpa beban, sementara yang lainnya harus bekerja keras sepanjang hidup mereka dan hidup dalam kemiskinan. Tentu saja, dari sini bisa dikatakan bahwa ada cukup tanda-tanda keberpihakan pada Pencipta maupun ciptaan-Nya. Kesimpulan seperti itu mungkin dibenarkan dari sudut pandang manusia biasa. Dari sudut pandang spiritual, hal ini tidaklah benar sama sekali! Tuhan bukanlah penyebab penderitaan atau kebahagiaan, nasib baik atau buruk! Lalu, siapakah yang membawa baik dan buruk? Jawabannya adalah - kita sendiri! Hujan turun dengan sama di atas tanah, baik tanah yang telah dibajak ataupun tanah yang tidak dibajak. Hanya tanah yang telah dibajak yang merasakan manfaatnya! Dalam hal ini, awan tidak bisa disalahkan. Kesalahannya terletak pada si pemalas yang bodoh yang membiarkan tanahnya terbengkalai. Berkat Tuhan selalu ada di tangan. Tidak 'lebih atau kurang,' dan tidak berubah. Kita bisa memanfaatkannya, membiarkannya berlalu, atau menggunakannya untuk kebaikan kita.

-BABA

Thursday, May 19, 2011

Thought for the Day - 19th May 2011 (Thursday)

All living beings are actors on this stage. They make their exit when the curtain is rung down or when their part is over. On that stage, one may play the part of a thief, another may be cast as a king, a third may be a clown, and another a beggar. For all these characters in the play, there is only One who gives the cue! The prompter will not come upon the stage and give the cue, in full view of all. If He does so, the drama will lose interest. Therefore, standing behind a screen at the back of the stage, He gives the cue to all the actors, regardless of their role — be it dialogue, speech, or song— just when each is in most need of help. In the same way, the Lord is behind the screen on the stage of Prakriti (Creation), giving the cue to all the actors for their various parts.

Semua makhluk hidup adalah aktor di atas panggung dunia ini. Mereka keluar panggung dunia ini ketika tirai diturunkan atau ketika peran mereka sudah selesai. Di panggung itu, seseorang dapat memainkan peran sebagai pencuri, yang lain mungkin berperan sebagai raja, yang ketiga mungkin berperan sebagai badut, dan yang lainnya sebagai pengemis. Bagi semua karakter dalam permainan tersebut hanya ada Satu yang memberikan isyarat! Beliau tidak akan muncul di atas panggung dan memberikan isyarat, yang dapat dilihat oleh semua penonton. Jika Beliau melakukannya, drama tidak akan menarik lagi. Oleh karena itu, Beliau berdiri di belakang layar di belakang panggung, Beliau memberikan isyarat kepada semua aktor, apapun peran mereka - baik itu dialog, ucapan, atau lagu - hanya ketika setiap pemain membutuhkan bantuan. Dengan cara yang sama, Tuhan berada di belakang layar di panggung Prakriti (Penciptaan), memberikan isyarat kepada semua aktor dalam berbagai peran mereka.

-BABA

Wednesday, May 18, 2011

Thought for the Day - 18th May 2011 (Wednesday)

The scriptures from the sacred texts describe the codes of conduct for the people during the various stages of life as well as when they occupy various statuses in society. These are adored by followers of all religions. Everyone should consider social codes and individual guidelines given by the prophets and seers as valuable and binding. We must continue to revere them as regulations set up for the good of society and the progress of mankind. For, we must admit that they were framed by Mahapurushas, outstanding sages and well-wishers of the people.

Kitab-kitab suci dari teks-teks suci menjelaskan kode etik bagi masyarakat selama berbagai tahapan kehidupan dan ketika mereka menempati berbagai status dalam masyarakat. Inilah yang diikuti oleh pengikut semua agama. Setiap orang harus memandang kode sosial dan pedoman individu yang diberikan oleh para nabi dan para pencari kebenaran (pencari spiritual) sebagai sesuatu yang berharga dan mengikat. Kita harus terus menghormatinya sebagai suatu peraturan yang mengatur kebaikan masyarakat dan kemajuan umat manusia. Oleh karena itu, kita harus mengakui bahwa aturan tersebut telah disusun oleh para Mahapurusha, orang yang bijaksana dan terpandang dalam masyarakat.

-BABA

Tuesday, May 17, 2011

Thought for the Day - 17th May 2011 (Tuesday)

Lord Buddha's emphasis was entirely on purity in every aspect of daily life. Purity in vision, purity in thought, purity in speech and purity in action. He considered the spirit of sacrifice as the true Yajna (sacred offering). Sacrifice is the means for attaining Nirvana, freedom from the bondage of mundane existence. Buddha was totally opposed to anyone being forced to lead a worldly life against his will. The Buddhist prayer must be properly understood. When the Buddhists say: "Buddham sharanam gachchaami, Dharmam sharanam gachchaami, Sangham sharanam gachchaami," the real meaning of the prayer is: One must divert one’s Buddhi (intellect) towards Dharma (right conduct). And right conduct should be aimed at serving society. When this is done, society gets purified.

Sang Buddha memberikan perhatian sepenuhnya pada kemurnian dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Kemurnian pada vision (pandangan), kemurnian pada pikiran, kemurnian pada kata-kata, dan kemurnian dalam tindakan. Beliau menganggap semangat pengorbanan sebagai Yajna sejati (korban suci). Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai Nirvana, bebas dari belenggu eksistensi duniawi. Sang Buddha benar-benar menentang seseorang yang dipaksa untuk menjalani kehidupan duniawi melawan kehendak-Nya. Doa para penganut Buddha harus dipahami dengan baik. Ketika para penganut Buddha berdoa: "Buddham sharanam gachchaami, Dharmam sharanam gachchaami, Sangham sharanam gachchaami," arti sebenarnya dari doa tersebut adalah: Seseorang harus mengalihkan Buddhi (intelek)-nya menuju Dharma (kelakuan yang benar/ kebajikan). Dan kebajikan harus diarahkan untuk melayani masyarakat. Setelah hal ini dilakukan, masyarakat akan dimurnikan.

-BABA

Monday, May 16, 2011

Thought for the Day - 16th May 2011 (Monday)

Karma (action), really speaking, is the practice of Dharma (right conduct). The Upanishads (scriptures) give us guidance on what has to be done and what should be avoided on the spiritual journey. Dharmo Rakshati Rakshitah: Dharma protects those who protect it, say the scriptures. If people come forward to foster the sources of Dharma, that good act, by itself, will help foster those who practice it. The scriptures direct us to revere the mother, father, preceptor and guest as God and also, warn us that Truth and Right Conduct should never be neglected. So, there are both positive and negative instructions—follow these counsels, not others. Whatever conduces to your progress in goodness, accept them; avoid other counsels—thus instruct the scriptures.

Karma (tindakan), sesungguhnya merupakan praktek Dharma (kebajikan). Upanishad (kitab suci) memberikan kita petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari pada suatu perjalanan spiritual. Dalam kitab suci disampaikan, “Dharmo Rakshati Rakshitah”: Dharma melindungi mereka yang melindungi Dharma. Jika orang-orang berhasrat untuk mengembangkan sumber Dharma, bertindak yag baik, dengan sendirinya, akan membantu mendorong orang-orang lainnya untuk melakukan hal tersebut. Kitab-kitab suci mengarahkan kita untuk menghormati ibu, ayah, guru, dan tamu sebagai Tuhan dan juga mengingatkan kita bahwa Kebenaran dan Kebajikan tidak boleh diabaikan. Jadi, ini adalah petunjuk positif dan negatif - ikuti petunjuk ini, bukan yang lainnya. Apapun yang dapat membawamu untuk kemajuan dalam kebaikan, terimalah; hindari nasihat-nasihat lainnya – ini merupakan instruksi dari kitab-kitab suci.

-BABA

Thought for the Day - 15th May 2011 (Sunday)

Everything in this world is ephemeral, transitory; it is here today but may not be here tomorrow. So, if you want to crave something wholeheartedly, seek the Lord, who has no decline. In this transitory life, joy and pain are also perforce transitory. The self-same Lord gives and takes as and when He wishes. Everything is His, so how foolish it is to lament when things belonging to Him are taken back by Him! Therefore, the wise person doesn’t pine over anyone or feel undue attachment to anything. Let all the pining and all the attachment be for the Lord; He alone is eternal, the source of all joy. Love a person as a person, not more. If you love them more, it is a sign that you have been deceived about their real nature. You can behave only for a short time as if the house you have rented is your own! For, as soon as the lease period is over, it passes on to another.



Segala sesuatu di dunia ini adalah fana dan bersifat sementara; mereka ada di sini hari ini, namun mungkin tidak di lain hari. Jadi, jika engkau menginginkan sesuatu dengan sepenuh hati, carilah Tuhan. Dalam kehidupan yang fana ini, kebahagiaan dan penderitaan juga bersifat sementara. Tuhan memberi dan mengambil sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu hanya karena kehendak-Nya, jadi betapa bodohnya kita meratapi sesuatu milik -Nya diambil kembali oleh-Nya! Oleh karena itu, orang yang bijaksana tidak akan menginginkan sesuatu yang lebih atau menginginkan kemelekatan/ keterikatan duniawi yang tidak semestinya. Biarlah semua kerinduan dan keterikatan hanya pada Tuhan, Beliau sendiri adalah kekal dan merupakan sumber kebahagiaan. Cinta-kasih dari seseorang hanyalah cinta-kasih sebagai manusia biasa, tidak lebih. Jika engkau mengasihi mereka lebih dari itu, itu adalah tanda bahwa engkau telah mengabaikan sifat sejati seseorang. Engkau dapat melakukan apapun di rumahmu dalam waktu yang singkat hanya jika rumah itu telah engkau sewa untuk dirimu sendiri! Karena segera setelah masa sewa selesai, rumah itu akan diberikan pada orang lain.

-BABA

Saturday, May 14, 2011

Thought for the Day - 14th May 2011 (Saturday)

The Divine is the only kith and kin of the Yogis (spiritually advanced souls). They know no other. They do not entertain any other urge, attachment, or desire. God is their all in all. They will not be affected by grief or joy, failure or success. They experience only one unbroken, unchallenged stream of bliss. For those firmly established in this state, the world and its ups and downs appear trivial and illusory. They counter the pulls of the senses and face the fascinations of the world without any agitation of mind. They are also vigilant against the temptations held before them by the senses, and turning them aside, they approach the Divine and seek strength and solace there. Their actions, thoughts, and words reveal the vision they have experienced. This is the Paramartha Drishti, the Supravision, where all the five elements are present as the Divine itself and all beings, man, beast, bird, and worm are emanations from God and therefore fully Divine.

Tuhan adalah satu-satunya sanak dan kerabat bagi para Yogi. Mereka tahu tidak ada yang lain, selain Tuhan. Mereka tidak menyimpan dalam hati keinginan atau keterikatan yang lainnya. Tuhan adalah segala-galanya bagi mereka. Mereka tidak akan dipengaruhi dengan kesedihan atau kebahagiaan, kegagalan atau kesuksesan. Mereka hanya mengalami kebahagiaan sejati yang tiada putusnya. Bagi mereka yang sudah mantap pada keadaan seperti ini, dunia dan pasang surutnya nampak sebagai ilusi. Mereka menarik indera dan pikiran mereka dari pergulatan dunia ini. Mereka juga waspada terhadap godaan yang mempengaruhi indera, dan berpaling darinya, serta mendekati Tuhan dan mencari kekuatan dan pelipur lara pada-Nya. Tindakan, pikiran, dan kata-katanya mengungkapkan visi yang telah mereka alami. Inilah Drishti Paramartha, Supravision, dimana kelima unsur yang ada pada Tuhan dan semua makhluk, manusia, binatang, burung, dan cacing merupakan pancaran dari Tuhan.

-BABA

Thought for the Day - 13th May 2011 (Friday)

Prakriti (Nature) is the basis of everything in the universe. It is the basis of creation and existence. Men and women, beasts and birds, trees and plants, are all inseparable from nature. In this endless creation, the active element is the Purusha, the Lord. This truth has to be experienced, so that it will not slip away from consciousness, and the discipline needed for this is repetition of the Divine Name and meditation. This Prakriti is like a sea. When the sea becomes slightly rough, ships turn into hollow reeds. You can never cross this sea by your own effort, alone. The Lord’s grace is essential. So pray for that raft of Divine grace, and when you secure it, you can reach the shore in a trice.

Prakriti adalah dasar dari segala sesuatu di alam semesta. Prakriti merupakan dasar dari penciptaan dan kehidupan. Pria dan wanita, binatang dan burung, pohon dan tanaman, semuanya tidak terpisahkan dari alam. Dalam penciptaan yang tiada henti ini, elemen yang aktif adalah Purusha, yaitu Tuhan. Kebenaran ini harus dialami, sehingga tidak akan luput dari kesadaran, dan disiplin yang diperlukan untuk mencapai ini adalah pengulangan Nama Tuhan dan meditasi. Prakriti ini dapat diibaratkan seperti laut. Ketika laut diterpa badai, kapal akan berputar-putar. Engkau tidak akan bisa melintasi laut ini dengan usahamu sendiri, sendirian. Berkat Tuhan sangatlah penting. Maka berdoalah untuk mendapatkan ‘rakit’ berkat Tuhan, dan ketika engkau aman, engkau dapat mencapai daratan dalam sekejap mata.

-BABA