Thursday, September 24, 2020

Thought for the Day - 24th September 2020 (Thursday)

The cow transforms grass and gruel into sweet strength-giving milk and gives it away in plenty to its master. Develop that quality, that power to transform the food you consume into sweet thoughts, words and deeds of sympathy for all. The child Krishna wept for permission to go along with the cows to the fields of pasture. Yashodha said, "Dear child! Your tiny silken soles cannot walk along those thorny, pebble-filled tracks. I shall get nice little sandals for you. You can go, after the sandals are ready." But Krishna sweetly replied, "The cows whom we serve are not shod. Why should we, who are their servants, avoid the thorns and stones which they cannot avoid?" No wonder the cows and calves of Gokul were immobilised and wept, when Krishna left for Mathura! When you have filled your heart with sympathy for the distressed, the Lord will shower His Grace. 



Sapi merubah rumput dan bubur menjadi susu manis yang memberikan kekuatan dan memberikan begitu banyak susu itu kepada majikannya. Kembangkan kualitas itu, kekuatan yang merubah makanan yang engkau makan menjadi pikiran, perkataan, dan perbuatan manis penuh simpati kepada semuanya. Krishna kecil menangis meminta izin untuk ikut bersama sapi ke padang rumput. Yashodha berkata, "anakku yang tersayang! Telapak kaki-Mu yang lembut tidak akan bisa berjalan sepanjang jalan yang berduri dan dipenuhi kerikil itu. Ibu akan memberikan sandal yang bagus untuk-Mu. Engkau dapat pergi setelah sandal itu sudah ada." Namun Krishna kecil dengan manis menjawab, "Sapi-sapi yang kita gembalakan tidak memakai sepatu. Mengapa kita harus memakai sandal, dimana kami yang mengembalakan sapi-sapi itu menghindari duri dan kerikil sedangkan sapi-sapi itu tidak bisa menghindarinya?" Tidak heran sapi-sapi dan anak-anak sapi di Gokul menangis ketika Krishna berangkat ke Mathura! Ketika engkau mengisi hatimu dengan simpati bagi yang tertekan, maka Tuhan akan mencurahkan rahmat-Nya. (Divine Discourse, Jan 11, 1968)

-BABA


Thought for the Day - 23rd September 2020 (Wednesday)

Man walks with two legs: iha and para (this world and the other), dharma and Brahaman, righteousness and God! If he is totally engrossed in this world, he is choosing to travel all his life with a handicap; hopping on one leg. That is fraught with trouble; he may fall any moment and break his shin. And he does! Goodness in this world, Godliness for the life after death - equal attention to both and vigilance while taking a step with either foot - these are essential for a happy journey through life. You have to put the right foot, the Brahman step, when you enter the region of realisation. The senses have to be conquered by then. 'Go' means 'senses' and 'Gopi' means a person who has subdued the senses, as a result of surrender to Gopala, the master of the Go (senses). Krishna once told Arjuna that he can enter Vrajamandala (the region where the Gopas and Gopis lived), only after mastering his emotions and impulses and his tendency to yield to the senses. 



Manusia berjalan dengan dua kaki: iha dan para (dunia ini dan dunia lain), dharma dan Brahman, kebajikan dan Tuhan! Jika manusia sepenuhnya tenggelam dalam dunia ini, manusia sedang memilih untuk melakukan perjalanan dari seluruh hidupnya dengan seorang yang cacat; melompat dengan satu kaki. Itu pastinya penuh dengan masalah; dia mungkin saja bisa jatuh kapanpun juga dan melukai kakinya. Dan dia tetap melakukannya! Kebaikan di dunia ini, kualitas keilahian untuk kehidupan setelah kematian – perhatian yang sama pada keduanya dan kewaspadaan ketika sedang mengambil langkah dengan kedua kaki – hal ini adalah mendasar untuk perjalanan seluruh hidup yang menyenangkan. Engkau harus melangkahkan kaki kanan, langkah Brahman, ketika engkau memasuki daerah kesadaran. Kemudian Indera harus ditaklukan. 'Go' berarti 'indera' dan 'Gopi' berarti seseorang yang telah menaklukkan indera, sebagai hasilnya dari berserah diri pada Gopala, penguasa dari Go (indera). Sekali Krishna berkata kepada Arjuna bahwa dia dapat memasuki Vrajamandala (daerah dimana pada Gopa dan Gopi tinggal), hanya setelah menguasai emosi dan dorongan serta kecenderungannya untuk menyerah pada indera. (Divine Discourse, Jan 13, 1968)

-BABA


Thought for the Day - 22nd September 2020 (Tuesday)

There are many who talk cynically of even Satya (truth), Dharma (righteousness), Shanti (peace) and Prema (love). They say that if you stick to truth nothing can be got done, that a little lie helps much; that Dharma is what suits the need of the moment; that if you practise Shanti, you will only receive all the blows on your own back; that if you become famous as a man of Prema, the entire village will squat on you and share your hard-earned wealth. Therefore, they conclude, you will be a fool if you decide to practise these four virtues. But, just think a little and you will find out the absurdity of the criticism. It is the lie that requires intelligent bolstering, clever avoidance and deeper memory! It is much easier to speak the truth and be done with it. What you have seen or heard or done, speak about these just as you saw or heard or did! And, what is Dharma? Practising what you preach, doing as you say, keeping precept and practice in line. Earn virtuously, yearn piously; live in the fear of God, live for reaching God - that is Dharma. 



Ada banyak yang berbicara sinis bahkan tentang Satya (kebenaran), Dharma (kebajikan), Shanti (kedamaian), dan Prema (cinta kasih). Mereka berkata bahwa jika engkau berpegang pada kebenaran maka tidak akan ada yang dapat dilakukan, bahwa sedikit kebohongan akan banyak membantu; dan Dharma adalah yang sesuai dengan kebutuhan saat ini; bahwa jika engkau berlatih Shanti, engkau hanya akan menerima semua pukulan di punggungmu sendiri; dan jika engkau menjadi terkenal sebagai orang yang penuh cinta kasih maka seluruh desa akan berjongkok dan membagi kekayaan hasil jerih payahmu. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa engkau adalah bodoh jika engkau memutuskan untuk mempraktikkan empat nilai luhur ini. Tapi, pikirkan sedikit dan engkau akan menemukan kemustahilan kritik tersebut. Kebohongan itulah yang membutuhkan dukungan yang pintar, penghindaran yang cerdik, dan ingatan yang lebih dalam! Jauh lebih mudah untuk mengatakan kebenaran dan menyelesaikannya. Apa yang telah engkau lihat atau dengar atau lakukan, bicarakan ini seperti yang engkau lihat atau dengar atau lakukan! Dan apakah Dharma itu? Mempraktikkan apa yang engkau nasihatkan, melakukan apa yang engkau katakan, menjaga moralitas, dan praktik yang sejalan. Dapatkan dengan cara yang benar, merindukan dengan bhakti; hidup dalam ketakutan akan Tuhan, hidup untuk mencapai Tuhan - itulah Dharma. (Divine Discourse, Mar 30, 1965)

-BABA


Thought for the Day - 21st September 2020 (Monday)

Service is the best cure for egoism; so, engage in it to relieve pain and grief to the extent that you can! In Ramayana, the apes brought huge rocks and threw them into the sea to build a passage across for Rama and His army. The tiny squirrel too helped, as far as it could; it rolled on the sands on the seashore, ran towards the heap piled as part of the passage, whisked the sand from its fur by a vigorous shake, adding only a pinch of material to the quantity heaped by the giant apes. Rama saw the squirrel, He appreciated its devotion and He took it fondly in His palm. The Lord stroked its back tenderly, and filled it with His blessing. That was ample reward. The squirrel race has since acquired three lines on its back, to indicate that sign of gratification and Grace! Try to assuage, as far as you can, the distress of others; it is the best sadhana (spiritual exercise) for the aspirant! 



Pelayanan adalah pengobatan yang terbaik untuk egoisme; jadi terlibatlah dalam meredakan rasa sakit dan duka cita sejauh yang engkau bisa. Dalam Ramayana, kera membawa batu besar dan melemparkannya ke laut untuk membangun jembatan bagi Sri Rama dan pasukannya. Tupai kecil juga ikut membantu, sebisa yang dilakukannya; ia berguling di atas pasir di tepi pantai, berlari menuju tumpukan batu yang merupakan bagian dari jembatan, mengibaskan pasir dari bulunya dengan goyangan yang kuat. Tindakan ini hanya menambahkan sejumput material ke jumlah yang ditumpuk oleh kera raksasa. Rama melihat tupai itu, Dia menghargai pengabdiannya, dan Dia mengambilnya dengan penuh kasih sayang menempatkan di telapak tangan-Nya. Tuhan mengelus punggungnya dengan lembut, dan mengisinya dengan berkat-Nya. Itulah hadiah yang besar. Sejak saat itu, ras tupai memperoleh tiga garis di punggungnya, untuk menunjukkan tanda kepuasan dan Rahmat! Cobalah untuk meredakan kesusahan orang lain, sejauh yang engkau bisa lakukan; itu adalah sadhana (latihan spiritual) terbaik bagi peminat spiritual! (Divine Discourse, Jan 13, 1968)

-BABA


Sunday, September 20, 2020

Thought for the Day - 20th September 2020 (Sunday)

Sita stuck to the highest ideal of life, in spite of the severe sufferings she underwent. Hanuman who discovered her in the grove where she was kept as a prisoner by her abductor, offered to recross the ocean with her on his shoulders, and take her safe to her Lord, Rama. But she replied that she would not allow herself to be abducted back from the custody of Ravana, since that would deprive Rama the chance to punish him for his crime and retrieve her through His own heroism! Splendid words, these! Quite in consonance with the dictates of Dharma! No wonder, the Lord's Grace saved her in good time! Endeavour to earn Grace by observing the discipline that I am keen you should follow. Give up the old worldly ways of earning and spending, saving and accumulating, with greed, lust, malice and pride; rearrange your lives so that I will be pleased with you. 



Sita berpegang teguh pada ideal hidup yang tertinggi, sekalipun penderitaan yang begitu menyakitkan yang harus dia alami. Hanuman yang menemukan Sita di dalam hutan dimana Sita ditahan sebagai tahanan oleh penculiknya, menawarkan untuk menyeberangi lautan di atas pundaknya dan membawanya selamat menemui Rama. Namun Sita menjawab bahwa dia tidak akan mengizinkan dirinya untuk diculik kembali dari penjagaan Ravana, karena itu akan menghilangkan kesempatan Rama untuk menghukum Ravana atas kejahatan dan mendapatkan kembali dirinya melalui kepahlawanan Rama! Ini adalah kata-kata yang sangat bagus sekali! Selaras dengan penjabaran dari Dharma! Tidak heran, rahmat Tuhan menyelamatkan Sita di waktu yang tepat! Berusahalah dengan keras untuk mendapatkan rahmat Tuhan dengan menjalankan disiplin yang Aku ingin engkau ikuti. Lepaskan cara-cara duniawi yang usang dalam mendapatkan serta menghabiskan, menyimpan dan mengumpulkan dengan ketamakan, nafsu, keangkuhan, dan kesombongan; atur kembali hidupmu sehingga Aku menjadi senang denganmu. (Divine Discourse, Jan 11, 1968)

-BABA


Thought for the Day - 19th September 2020 (Saturday)

Life has to be spent in accumulating virtue and safeguarding virtue, not riches. Listen and ruminate over stories of great moral heroes of the past, so that their ideals may be imprinted on your hearts. Virtue is becoming rare nowadays in the individual as well as in the family, society, and community, in all fields of life, be it economic, political and even 'spiritual’. So also, there is a decline in discipline, which is the soil on which virtue grows. Unless each one is respected, whatever the status, economic condition or spiritual development, there can be no peace and no happiness in life. This respect can be aroused only by the conviction that the same Self (Atma) that is in you, is playing the role of the other person. See that Atma in others; feel that they too have hunger, thirst, yearning and desires as you have; develop sympathy and the anxiety to serve and be useful! 



Hidup harus dihabiskan dalam mengumpulkan kebajikan dan menjaga kebajikan, dan bukan kekayaan. Dengarkan dan renungkan kisah-kisah pahlawan dengan moralitas yang agung di zaman dahulu, sehingga ideal dari mereka dapat terpatri di dalam hatimu. Kebajikan sekarang menjadi jarang pada individu sama halnya pada keluarga, masyarakat dan komunitas, dalam segala bidang kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik dan bahkan 'spiritual’. Begitu juga, ada sebuah kemerosotan dalam disiplin, yang mana disiplin merupakan tanah tempat kebajikan tumbuh. Kecuali setiap orang dihormati, apapun status, keadaan ekonomi atau perkembangan spiritual, tidak akan ada kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup. Rasa hormat ini hanya dapat tumbuh dengan keyakinan bahwa jati diri yang sama (Atma) yang ada di dalam dirimu, juga sedang memainkan perannya dalam diri orang lain. Lihatlah Atma itu dalam diri orang lain; rasakan bahwa mereka juga memiliki rasa lapar, haus, kerinduan dan keinginan seperti yang engkau miliki; kembangkan simpati ini dan keinginan untuk melayani dan menjadi berguna! (Divine Discourse, Feb 22, 1968)

-BABA


Friday, September 18, 2020

Thought for the Day - 18th September 2020 (Friday)

Arjuna was directed to engage in battle, win back his share of the Kingdom, ensure for the people righteous administration and atmosphere wherein they strive successfully to attain salvation. This he had to do in a spirit of dedication and surrender to the will of God, irrespective of his own likes and dislikes and the consequences that might flow from his unselfish activities. Gita advises that service to the society is the highest service, as well as the most beneficial sadhana (spiritual practice). You cannot run away from this obligation; you have to use the community wherein you are born for sublimating your egoism and saving yourself. When Dharmaraja performed the great Rajasuya sacrifice on the advice of the sage Narada to propitiate his deceased father, Lord Krishna attended the sacrifice and asked to be allotted some service; He preferred the service of removing the leaves on which food was served for the thousands who were fed every day! 



Arjuna diarahkan untuk terlibat dalam pertempuran, memenangkan kembali bagian dari kerajaannya, memastikan pemerintahan yang adil dan suasana dimana mereka berusaha dengan berhasil untuk mencapai keselamatan. Ini harus dilakukan dalam semangat pengabdian dan berserah diri pada kehendak Tuhan, tidak memperhatikan rasa suka dan tidak suka yang dimilikinya dan juga konsekuensi yang mungkin muncul dari tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri. Gita menasihatkan bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah pelayanan yang tertinggi, sekaligus sadhana (Latihan spiritual) yang paling bermanfaat. Engkau tidak bisa melarikan diri dari kewajiban ini; engkau harus menggunakan komunitas tempat engkau dilahirkan untuk menghaluskan egomu dan menyelamatkan dirimu sendiri. Ketika Dharmaraja melaksanakan upacara kurban suci Rajasuya yang begitu besar atas saran dari Resi Narada untuk mendamaikan ayahnya yang telah meninggal, Sri Krishna menghadiri upacara suci itu dan meminta agar diberikan ruang untuk melakukan pelayanan; Sri Krishna memilih pelayanan untuk membuang daun yang dipakai makan oleh ribuan orang yang diberi makan setiap hari! (Divine Discourse, Jan 11 1968)

-BABA


Thought for the Day - 17th September 2020 (Thursday)

 It is the Divine Will that operates as Love in each of us. It is He who prompts the prayer - "Let all the worlds be happy." For, He makes us aware that the God we adore, the God we love, the God we live by, is in every other being as Love. Thus Love expands and encompasses all creation. Looking a little closer, we discover that life itself is Love. They are not two but one. Love is the very nature of life, as burning is the nature of fire, or wetness of water, or sweetness of sugar. We tend a plant only when the leaves are green; when they become dry and the plant becomes a life-less stick, we stop loving it. Love lasts as long as life exists. The mother is loved as long as there is life in her; when life departs, we bury her without the least compunction. Love is bound with life. In fact, Love is Life. The person with no Love to share is as bad as dead. This is the reason why love expands in an ever widening circle. 



Ini merupakan kehendak dari Tuhan yang bekerja sebagai cinta kasih di dalam diri kita masing-masing. Adalah Tuhan yang mendorong doa - "Semoga semua dunia berbahagia." Karena, Tuhan membuat kita sadar bahwa Tuhan yang kita puja, Tuhan yang kita cintai, Tuhan yang ikuti, adalah ada di dalam setiap makhluk sebagai cinta kasih. Jadi cinta kasih bersifat meluas dan mencakup semua ciptaan. Melihat dengan lebih dekat, kita mendapatkan bahwa hidup itu sendiri adalah cinta kasih. Mereka bukanlah dua namun satu adanya. Cinta kasih adalah sifat yang alami dari hidup, seperti halnya sifat alami api adalah membakar, atau membasahi adalah sifat alami dari air, atau manis adalah sifat alami dari gula. Kita merawat sebuah tanaman hanya ketika daunnya hijau; ketika daunnya menjadi layu maka tanaman tersebut akan menjadi batang kering dan kita berhenti menyukainya. Cinta kasih ada semasih ada hidup. Ibu dicintai selama masih ada hidup di dalam dirinya; ketika hidup itu pergi maka kita akan mengubur ibu tanpa adanya sedikit penyesalan. Cinta kasih terikat dengan hidup. Sejatinya, cinta kasih adalah hidup. Orang yang tanpa cinta kasih untuk berbagi adalah sama buruknya dengan kematian. Ini adalah alasan mengapa cinta kasih meluas dalam lingkaran yang semakin membesar. (Divine Discourse, Dec 25, 1981)

-BABA


Thought for the Day - 16th September 2020 (Wednesday)

 Because of the many obstacles and troubles that came to Prahlada, and because of the punishments that were given to him, it was possible for the rest of the world to know how great his devotion was. He never had tears in his eyes and he never exhibited any pain when the demons were harming him. He was only uttering the name of the Lord and was asking the Lord to come to him. Because of such a situation, he was able to promote devotion and show others what real faith and devotion can do. On the other hand, had Prahlada been looked after by his father with care and tenderness and if he took him in his lap, how would Prahlada’s devotion and faith be known to the rest of the world? Even a diamond does not get its value unless we cut the facets on it. Even pure gold will not be turned into a beautiful ornament unless it is repeatedly beaten hard and put into fire. In all pains and troubles, we should recognise only paths for getting ultimate happiness. 



Karena banyak halangan dan masalah yang datang pada Prahlada, dan karena hukuman yang diberikan kepadanya, adalah memungkinkan bagi seluruh dunia untuk mengetahui betapa besarnya bhakti yang dimiliki oleh Prahlada. Prahlada tidak pernah meneteskan air mata dan tidak pernah memperlihatkan rasa sakit apapun ketika para raksasa menyakitinya. Prahlada hanya melantunkan nama suci Tuhan dan meminta Tuhan untuk datang kepadanya. Karena situasi yang seperti itu, Prahlada mampu meningkatkan bhakti dan memperlihatkan kepada yang lainnya apa yang dapat dilakukan oleh keyakinan dan bhakti yang sejati. Sebaliknya, apakah Prahlada dirawat oleh ayahnya dengan perhatian dan kelembutan dan jika Prahlada dibawa di atas pangkuan ayahnya, bagaimana bhakti dan keyakinan dari Prahlada dapat diketahui oleh seluruh dunia? Bahkan sebuah permata tidak bisa memperlihatkan nilainya kecuali kita memotong segi-segi yang dimilikinya. Bahkan emas murni tidak dapat dirubah menjadi perhiasan yang bernilai kecuali emas secara berulang kali dipukul dengan keras dan dimasukkan ke dalam api. Dalam semua penderitaan dan masalah, kita seharusnya mengenali bahwa ini hanyalah jalan untuk mendapatkan kebahagiaan yang tertinggi. (Summer Roses on the Blue Mountains, 1976, Ch 3)

-BABA


Tuesday, September 15, 2020

Thought for the Day - 15th September 2020 (Tuesday)

Balarama and Krishna were examples who showed that they do not care about their own physical strength and that they would sacrifice everything. They were willing to do hard work and showed that prosperity can be achieved by sincere hard work. Lord Krishna was all-knowing, all-powerful, and Divinity incarnate, and yet He worked as a charioteer for Arjuna. Krishna was one who recognised the importance of service to the community; and by His own practice and by setting an example to others, He showed that service to others was important. After the battle of Mahabharatha, these were the people who took the horses to the river, washed them and tended their wounds and applied medicines. He thereby demonstrated that hard work and compassion to all living beings constitute the duty of all human beings. 



Balarama dan Krishna adalah teladan yang memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli dengan kekuatan fisik mereka sendiri dan mereka akan mengorbankan segalanya. Mereka akan mau untuk melakukan kerja keras dan memperlihatkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai dengan kerja keras yang tulus. Sri Krishna adalah Maha Tahu, Maha Kuasa, dan inkarnasi Tuhan, namun Beliau bekerja sebagai kusir untuk Arjuna. Sri Krishna adalah seseorang yang menyadari pentingnya pelayanan kepada masyarakat; dan dengan praktik-Nya dan teladan yang ditunjukkan kepada yang lainnya, Krishna memperlihatkan bahwa pelayanan kepada orang lain adalah penting. Setelah perang besar Mahabharatha, Sri Krishna membawa kuda-kuda ke sungai untuk dimandikan serta mengobati luka kuda-kuda itu dengan obat. Maka dari itu Krishna menunjukkan bahwa kerja keras dan welas asih kepada semua makhluk hidup merupakan kewajiban seluruh umat manusia. (Summer Roses on the Blue Mountains, 1976, Ch 3)

-BABA


Thought for the Day - 14th September 2020 (Monday)

When thoughts come surging to your mind, you should spend at least a few minutes enquiring whether such thoughts are good thoughts or bad ones, and whether they are for the good of your country, and whether they are going to be helpful or not to the community around you. If they are bad, you must immediately put them aside; and if they are good, you must make an attempt to promote them. When a thorny plant is seen, it is removed the moment it is recognised as a thorny plant; but when a good fruit tree comes up, we try to take care of it and promote its growth. In the same manner, in the field of your heart, as soon as bad ideas sprout, you must pull them out and throw them away. As the seeds grow into a big tree, man also must try to grow and become Madhava (God) ultimately. 



Ketika pemikiran muncul di dalam benakmu, engkau seharusnya menghabiskan setidaknya beberapa menit untuk menanyakan apakah pemikiran yang muncul itu adalah pemikiran yang baik atau buruk, dan apakah pemikiran tersebut baik untuk negaramu, dan apakah pemikiran itu bermanfaat atau tidak bagi masyarakat di sekitarmu. Jika pemikiran tersebut adalah tidak baik, maka engkau harus secara langsung menyingkirkannya; dan jika pemikiran itu baik, engkau harus melakukan sebuah usaha untuk meningkatkannya. Ketika sebuah tanaman berduri terlihat, maka tumbuhan berduri ini akan langsung dicabut pada saat itu juga; namun ketika sebuah pohon dengan buah yang manis muncul, kita mencoba untuk merawat pohon itu dan menjaga pertumbuhannya. Dengan cara yang sama, di dalam hatimu saat ide buruk yang muncul maka engkau harus segera untuk mencabut dan membuangnya. Ketika sebuah benih tumbuh menjadi pohon, manusia juga harus mencoba untuk tumbuh dan menjadi Madhava (Tuhan) pada akhirnya. (Summer Roses on the Blue Mountains, 1976, Ch 2)

-BABA


Sunday, September 13, 2020

Thought for the Day - 13th September 2020 (Sunday)

Everything has energy latent in it — a piece of paper has it, a strip of cloth has it. When the latent energy is exhausted, death results; when energy fills, birth happens. Being-awareness-bliss (satchidananda) is energy. We (sat) are (chit) happy (ananda). Energy is all, and energy is derived from God. That is the very basis of all people. Now, we are building super-structures somewhere else, not on the basis. The foundational divine principle is being ignored. We are fascinated by subjects and studies that promise to feed our stomachs and make us materially happy and powerful. But the hard truth is the Divine beneath all. People must either know the supreme truth of the One Being behind all becoming or at least know the practical truth of love and brotherhood. These two points are the limits that education must ever keep in mind — the starting point and the goal. 



Segala sesuatu memiliki energi yang terpendam di dalamnya - selembar kertas juga memilikinya, sehelai kain juga memilikinya. Ketika energi yang terpendam tersebut habis maka hasilnya adalah kematian; ketika energi diisi maka kelahiran akan terjadi. Kekal – kesadaran – kebahagiaan (satchidananda) adalah energi. Kita (sat) adalah (chit) kebahagiaan (ananda). Energi adalah semuanya, dan energi berasal dari Tuhan. Itu adalah dasar dari semua manusia. Sekarang, kita sedang membangun struktur super di tempat lain dan tidak di atas dasarnya. Prinsip pondasi utama keilahian sedang diabaikan. Kita tertarik oleh mata pelajaran dan pelajaran yang menjanjikan untuk memberikan makan perut kita dan membuat kita senang dan kuat secara materi. Namun kebenaran yang sulit adalah bahwa keilahian dasar dari semuanya. Manusia harus mengetahui kebenaran yang tertinggi yaitu Tuhan yang ada di balik semuanya atau setidaknya mengetahui kebenaran cinta kasih dan persaudaraan. Kedua poin ini adalah batasan yang harus selalu diingat oleh Pendidikan – titik awal dan tujuan. (Vidya Vahini, Ch 19)

-BABA


Thought for the Day -12th September 2020 (Saturday)

Imagine you are visiting a friend in a city and planning to stay with him for ten days. You have some money with you, and you are afraid to carry it about with you. Now, if you have handed over the purse to your friend for safe-keeping, you can happily go round, to all the places in the city and suburbs you long to visit. You can roam through the busiest market, with no trace of fear. The purse you have is Love; give it all to God. He will liberate you from worry, anxiety and fear. Through japa, dhyana and seva sadhana (contemplation, meditation and service), you have to cultivate Love towards God. Take Dhruva, for example. He prayed and practised austerities in order to induce God to grant him the rulership of the Kingdom. But when God appeared as Vishnu before him, he said, "Lord! I do not desire the Kingdom. I want You and You only." Similarly in the preliminary stages, one prays for worldly boons and material gain, but as thoughts get clarified and purified, one desires just one boon from the Lord - He Himself! 


Bayangkan bahwa engkau sedang mengunjungi seorang teman di kota dan berencana tinggal di sana selama sepuluh hari. Engkau membawa sejumlah uang, dan engkau takut membawa uang itu kemana-mana. Sekarang, jika engkau telah menyerahkan dompet kepada temanmu untuk disimpan, engkau dapat dengan senang hati berkeliling ke semua tempat di kota dan pinggiran kota yang ingin engkau kunjungi. Engkau dapat menelusuri pasar yang paling ramai tanpa adanya rasa takut. Dompet yang engkau miliki adalah kasih; serahkan semuanya kepada Tuhan. Tuhan akan membebaskanmu dari semua kecemasan, rasa khawatir, dan ketakutan. Melalui sadhana japa, dhyana, dan seva (perenungan, meditasi, dan pelayanan), engkau harus meningkatkan kasih kepada Tuhan. Jadikanlah Dhruva sebagai contoh. Dhruva berdoa dan menjalankan tapa brata sehingga Tuhan memberkatinya dengan kekuasaan pada kerajaan. Namun ketika Tuhan muncul sebagai Sri Vishnu dihadapannya, Dhruva berkata, "Tuhan! Hamba tidak menginginkan kerajaan. Hamba mengingikan-Mu dan hanya diri-Mu saja." Sama halnya dalam tahap awal, seseorang berdoa untuk mendapatkan berkah duniawi dan keuntungan material, namun ketika pikiran disucikan dan dimurnikan maka keinginan seseorang hanya memohon satu berkat dari Tuhan yaitu – Tuhan itu sendiri! (Divine Discourse, Dec 25, 1981)

-BABA


Thought for the Day - 11th September 2020 (Friday)

Desire and pray for the welfare of the entire universe. Develop the sense of unity and banish the feeling of differences. This is true service to the country. You should live in unity and be charged with the feeling that all are your sisters and brothers. Your sense of togetherness ought to exceed even that which is found amongst the members of a family. You all know that when Vivekananda delivered his address in Chicago at the Parliament of Religions on the subject of the wisdom of our ancients, he began with the words, “Brothers and Sisters of America.” The audience was so thrilled to hear this that they gave him a standing ovation. They were so happy to be referred to as brothers and sisters. Today, however, Bharatiyas (Indians) are ashamed to regard others as brothers and sisters. We have to spread such a spirit amongst one and all. Humanness is something that came along with us at birth and not later. The human being and the quality of humanness came into existence at the same time. How is it that we have forgotten such a divine feeling? 



Keinginan dan doa untuk kesejahteraan seluruh alam semesta. Kembangkan perasaan persatuan dan hancurkan perasaan perbedaan. Ini adalah pelayanan yang sejati kepada bangsa. Engkau harus hidup dalam persatuan dan diisi dengan perasaan bahwa semuanya adalah saudara dan saudarimu. Rasa kebersamaanmu seharusnya melampaui bahkan apa yang ditemukan diantara anggota keluarga. Engkau semua mengetahui ketika Vivekananda menyampaikan kata sambutan di Chicago pada pertemuan antar agama-agama tentang topik kebijaksanaan leluhur kita, dia memulai dengan kata, “Saudara dan saudari Amerika.” Para hadirin menjadi sangat senang mendengar hal ini sehingga mereka memberikan Vivekananda tepuk tangan yang meriah. Mereka begitu senangnya disebut sebagai saudara dan saudari. Hari ini, bagaimanapun juga para penduduk Bharatiya (India) merasa malu untuk menganggap yang lainnya sebagai saudara dan saudari. Kita harus menyebarkan semangat yang seperti itu kepada semuanya. Kemanusiaan adalah sesuatu yang datang bersama dengan kita pada saat lahir dan bukan kemudian. Manusia dan kualitas kemanusiaan muncul pada saat yang bersamaan. Bagaimana kita bisa melupakan perasaan ilahi yang seperti itu? (Divine Discourse, May 27, 2000)

-BABA


Thursday, September 10, 2020

Thought for the Day - 10th September 2020 (Thursday)

The Upanishads announce certain remedial sadhanas to get rid of constant inner dialogue (manasika-sambhashana), which is an obstacle to inner peace. The first is the regulation of breath (pranayama). This is no gymnastics, nor a formidable exercise. The mind has to concentrate on the period of retention (kumbhaka), on the process of inhaling (puraka) and exhaling (rechaka). When attention is fixed thus, the inner talk on other irrelevant matters will end. And mental strength is acquired. The second sadhana is: immersal in beneficial activity — that is to say, service to people that will help diminish the ego sense, and acts that are good and godly. When one’s thoughts are engaged in such activities, the mind turns away from the talk it indulges in. Again, the sadhanas of listening to spiritual advice, reflection on them and discovering ways and means of confirming faith in the Spirit (sravana-manana-nididhyasana), also of recital of the names of God and withdrawing the mind from sensual pursuits (Japa and tapa), have been prescribed more for the silencing of this mental chatter. 


Naskah suci Upanishad menyampaikan pengulangan latihan spiritual (sadhana) tertentu untuk dapat melenyapkan celoteh mental di dalam diri yang terus menerus (manasika-sambhashana), yang mana hal ini merupakan sebuah rintangan untuk ketenangan batin. Hal pertama yang dilakukan adalah pengaturan nafas (pranayama). Hal ini bukanlah seperti senam dan bukan juga sebuah latihan yang berat. Pikiran harus dipusatkan pada periode penahanan nafas (kumbhaka), pada proses penarikan nafas (puraka) dan menghembuskan nafas (rechaka). Ketika perhatian ditetapkan pada ketiga proses ini, maka celoteh di dalam diri berkaitan dengan hal-hal lain yang tidak relevan akan berakhir dan kekuatan mental akan diperoleh. Sadhana yang kedua adalah: tenggelam dalam perbuatan-perbuatan yang bermanfaat – itu disebut dengan pelayanan kepada yang lainnya dimana pelayanan ini akan melenyapkan rasa ego. Seseorang harus terlibat di dalam perbuatan yang baik dan bermanfaat. Ketika pemikiran seseorang sibuk dalam melakukan perbuatan yang baik, maka pikiran akan menjauh dari pembicaraan yang dimilikinya. Lagi sekali, sadhana dalam mendengarkan nasihat spiritual kemudian merenungkannya serta menemukan cara atau sarana untuk menguatkan keyakinan pada jiwa (sravana-manana-nididhyasana), juga pengulangan nama suci Tuhan dan menarik pikiran dari pengejaran yang bersifat sensual (Japa dan tapa), telah dijabarkan lebih banyak lagi untuk menenangkan obrolan atau celoteh di dalam diri. (Vidya Vahini, Ch 18)

-BABA


Thought for the Day - 9th September 2020 (Wednesday)

What exactly is the meaning of “Sai Baba”? Sai means Sahasrapadma (thousand lotuses), sakshatkara (realisation, direct experience of the Lord), etc., Ayi means mother, and Baba means father. Thus, “Sai Baba” means ‘He who is both Father and Mother and the Goal of all yogic endeavour’ — the ever-merciful Mother, the All-wise Father, and the Goal of spiritual efforts. When you are groping in a dark room, you must seize the chance when someone brings a lamp into the room. Hurriedly collect your belongings scattered there, or discover where they are located, or do whatever else you need. Similarly, make the best of this chance when the Lord has come in human form to your very door and get ready to save yourself from disaster. 



Apa sebenarnya makna dari “Sai Baba”? Sai berarti Sahasrapadma (ribuan teratai), sakshatkara (kesadaran, pengalaman langsung dengan Tuhan), dsb, Ayi berarti Ibu dan Baba berarti Ayah. Jadi, “Sai Baba” berarti ‘Beliau adalah keduanya sebagai Ayah dan Ibu serta tujuan dari semua usaha para Yogi’ — Ibu yang penuh welas asih, Ayah yang penuh kebijaksaan, dan tujuan dari usaha spiritual. Ketika engkau sedang meraba-raba di dalam ruang yang gelap, engkau harus menggunakan kesempatan ketika seseorang membawakan sebuah lampu ke dalam ruangan. Bergegaslah mengumpulkan barang-barang milikmu yang berserakan di sana, atau menemukan tempat dimana letaknya, atau melakukan hal yang lain engkau perlukan. Sama halnya, gunakan sebaik-baiknya kesempatan ini ketika Tuhan telah datang dalam wujud manusia langsung di depan pintumu dan bersiap untuk menyelamatkan dirimu dari bencana. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA


Thought for the Day - 8th September 2020 (Tuesday)

You know that the dream world is a fantastic world of nonsense, where fifty years are compressed into five minutes and where weird incidents and things are taken as actually present and experienced. But let Me tell you that from the stage of Realisation, even the waking stage, when you analyse the dreams and declare them as invalid, is equally without validity. Therefore, have a sense of values, rather a scale of values; give everything, everyone, its worth or their worth, not a whit more. Five sheaths encase the Atma and hide its splendour from revealing itself. Make all these pure and shining. The physical sheath (annamaya kosa) must be purified by good, clean, pure food; the vital sheath (pranamaya kosa) by calm, steady breathing and an equanimous temper; the mental sheath (manomaya kosa) by holy thoughts and emotions, untouched by attachment to senses or unaffected by joy or grief; the wisdom sheath (vijnanamaya kosa) by contemplation of the reality; and the bliss sheath (anandamaya kosa) by getting immersed in the ecstasy of God-realisation. 



Engkau mengetahui bahwa dunia mimpi adalah sebuah dunia fantasi yang tidak masuk akal, dimana waktu lima puluh tahun disingkat menjadi lima menit dan dimana kejadian-kejadian yang aneh terjadi seolah-olah benar-benar ada dan dialami. Namun, biarkan Aku mengatakan kepadamu bahwa dari tahap kesadaran, bahkan tahap terjaga ketika engkau menganalisa mimpi dan menyatakan mimpi tersebut tidaklah valid, sama saja tanpa validitas. Maka dari itu, milikilah sebuah rasa akan nilai, lebih tepatnya ukuran akan nilai; berikan kepada semuanya, setiap orang, terhadap nilainya. Lima lapisan yang membungkus Atma dan menyembunyikan keagungannya agar tidak terlihat. Buatlah semua keagungan ini murni dan bersinar. Lapisan fisik (annamaya kosa) harus disucikan dengan makanan yang baik, murni dan suci; lapisan vital (pranamaya kosa) dengan pernafasan yang tenang serta temperamen yang seimbang; lapisan mental (manomaya kosa) dengan pikiran dan emosi yang suci, tidak tersentuh dengan keterikatan pada indera atau tidak terpengaruh oleh suka dan duka cita; lapisan kebijaksanaan (vijnanamaya kosa) dengan perenungan pada kenyataan yang sejati; dan lapisan kebahagiaan (anandamaya kosa) dengan tenggelam ke dalam suka cita kesadaran Tuhan. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA


Thought for the Day - 7th September 2020 (Monday)

Stick to your faith; do not change your loyalty as soon as something happens or someone whispers. Do not pull down Sai Baba’s picture from the wall and hang some other picture there at the first disappointment. Leave all to Him; let His Will be carried out — that should be your attitude. Unless you go through the rough and the smooth, how can you be hardened? Welcome the light and the shade, the sun and the rain. Do not think that only those who worship a picture or image with pompous paraphernalia are devotees. Whoever walks straight along the moral path, whoever acts as they speak and speaks as they have seen, whoever melts at another’s woe and exults at another’s joy — they are devotees, perhaps greater devotees. 



Tetap berpegang pada keyakinanmu; jangan merubah kesetiaanmu segera setelah sesuatu terjadi atau seseorang berbisik. Jangan menurunkan foto atau gambar Sai Baba dari dinding dan menempatkan gambar yang lain disana pada saat mengalami kekecewaan pertama. Serahkan semuanya kepada-Nya; biarkan kehendak-Nya yang terjadi  -- itu seharusnya menjadi sikapmu. Kecuali jika engkau mengalami kesulitan dan kelancaran, bagaimana engkau dapat dikuatkan? Sambutlah cahaya dan bayangan, matahari dan hujan. Jangan berpikir bahwa hanya mereka yang memuja sebuah gambar atau foto dengan perlengkapan kesombongan adalah bhakta. Siapapun yang berjalan di jalan moral, siapapun yang berbuat seperti yang mereka katakan dan mengatakan apa yang mereka lihat, siapapun yang terharu pada penderitaan orang lain, dan bersuka cita atas kegembiraan orang lain – mereka adalah bhakta, mungkin lebih hebat daripada bhakta. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA


Thought for the Day - 6th September 2020 (Sunday)

It was said (by a devotee who spoke) the world is becoming full of Sai (Saimayam), that the name of Sai is on everyone’s lips. I want it to go deeper. And I do not insist that it should be the Name “Sai”. The world must become Paramatma-mayam (suffused with the Supreme Lord), that is all; however many Names and Forms that the Paramatma may have on the lips of people and before their mental eyes. It is the same substance poured into different moulds. Like sugar dolls that children seek - cats and dogs, cows and horses, they are all of the self-same sweetness; this child prefers this shape and this name; the other one weeps for another doll. The same divine substance appears in different times and places, assuming different Names. When the forces of evil and hatred overwhelm them, the Good accept the Lord as their Charioteer, and He enables them to overpower foes. 



Dikatakan oleh seorang bhakta yang tadi berbicara bahwa dunia akan menjadi penuh dengan Sai (Saimayam), nama Sai ada di bibir setiap orang. Aku ingin masuk lebih dalam. Dan Aku tidak memaksa bahwa harus nama “Sai”. Dunia harus menjadi Paramatma-mayam (diliputi dengan Tuhan yang tertinggi), itu saja; betapapun banyak nama dan wujud yang Paramatma miliki di bibir setiap orang dan di depan mata batin mereka. Ini adalah substansi yang sama yang dituangkan ke dalam cetakan yang berbeda. Seperti boneka gula yang anak-anak sangat sukai – bentuk kucing dan anjing, sapi dan kuda, semuanya itu adalah memiliki rasa manis yang sama; anak ini lebih menyukai bentuk dan nama ini; sedangkan anak yang lain menangis untuk bentuk yang lainnya. Tuhan yang sama hadir dalam waktu dan tempat yang berbeda, dengan menerima nama yang berbeda. Ketika kekuatan jahat dan kebencian menguasai mereka, yang baik menerima Tuhan sebagai kusir mereka dan Tuhan menjadikan mereka agar mampu mengalahkan musuh-musuh itu. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA


Thought for the Day - 5th September 2020 (Saturday)

The teacher is like a water storage tank. If there is clean and good water in the tank, you will get good water in the taps. Students are like the taps and will prove to be good only when the teachers are good. Teachers should have lofty ideals so that these can be reflected in their students, who are the future citizens and leaders. Teachers should first practise themselves what they want to teach to the students. They should have a feeling of sacrifice for the sake of the well-being of the nation so that the students will have a similar ideal. Before they try to correct the students, they should first correct themselves. Human values are not commodities sold in the market. They should be reflected in one's behaviour and one's way of life. They should be taught not as academic subjects but as the basis on which right living should be built up. The teacher should do Sadhana to ensure control of senses and achieve harmony in thought, word and deed. When you achieve this harmony, you will become an ideal teacher. 



Guru adalah seperti sebuah tangki penyimpan air. Jika di dalam tangki tersimpan air yang bersih dan bagus, maka engkau akan mendapatkan air yang bagus yang keluar dari keran air. Para pelajar adalah seperti keran dan akan terbukti menjadi baik hanya ketika para guru juga bagus. Para guru seharusnya memiliki ideal-ideal yang luhur sehingga ideal tersebut dapat dipantulkan dalam anak-anak didik mereka, yang merupakan warga dan pemimpin masa depan. Para guru pertama-tama seharusnya mempraktikkan pada diri mereka sendiri apa yang mereka ingin ajarkan kepada para pelajar. Mereka seharusnya memiliki sebuah perasaan pengorbanan untuk kepentingan kesejahteraan bangsa sehingga para pelajar akan memiliki ideal yang sama. Sebelum mereka mencoba untuk memperbaiki para pelajar, mereka pertama seharusnya memperbaiki diri mereka sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan bukanlah sebuah komoditas yang dijual di pasar. Nilai-nilai kemanusiaan seharusnya terpancar dalam tingkah laku dan cara hidup seseorang. Nilai-nilai kemanusiaan seharusnya tidak diajarkan sebagai mata pelajaran namun sebagai dasar yang mana hidup yang benar harus dibangun. Guru seharusnya melakukan latihan spiritual (sadhana) untuk memastikan mengendalikan indera dan mencapai keharmonisan dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Ketika engkau mencapai keharmonisan ini, engkau akan menjadi seorang guru yang ideal. (Divine Discourse. Jan 20, 1985)

-BABA


Thought for the Day - 4th September 2020 (Friday)

Why is there so much anarchy and confusion in the world today? Why is there no peace? Is it because there are no educated people, and is it because there are no educational institutions? No, there are plenty of them, but the educated people do not have the necessary culture and breadth of vision along with their education. Our country has been known as the spiritual treasure house. Yet today we are forgetting the spiritual treasure and the real strength of our country. Children are not understanding even the meaning of education. For the root word ‘Vid’ if you add ‘Ya’ then you get Vidya (education). Here ‘Vid’ stands for illumination and ‘Ya’ stands for that. Therefore, that which gives illumination and light is Vidya. That which gives you light and sheds your ignorance and that which gives you wisdom and superior knowledge can alone be called Vidya. What promotes ignorance and darkness cannot be called Vidya. 



Mengapa ada begitu banyak kekerasan dan kebingungan di dunia saat sekarang? Mengapa tidak ada kedamaian? Apakah karena tidak ada orang yang terpelajar, atau apakah tidak ada institusi pendidikan? Bukan, ada banyak orang terpelajar dan juga institusi pendidikan, namun orang-orang yang terpelajar tidak memiliki kebudayaan yang mendasar dan keluasan pandangan bersama dengan pendidikan mereka. Negara kita yang telah dikenal sebagai rumah harta karun spiritual. Namun hari ini kita sedang melupakan harta karun spiritual dan kekuatan yang sejati dari bangsa kita. Anak-anak tidak memahami bahkan makna dari pendidikan. Untuk akar kata ‘Vid’ jika engkau menambahkan ‘Ya’ kemudian engkau mendapatkan Vidya (Pendidikan). Disini ‘Vid’ berarti penerangan dan ‘Ya’ berarti untuk itu. Maka dari itu, sesuatu yang memberikan penerangan dan cahaya adalah Vidya. Yang memberikanmu cahaya dan menghilangkan kebodohanmu serta memberikanmu kebijaksanaan serta pengetahuan yang unggul dapat disebut dengan Vidya. Sesuatu yang meningkatkan kegelapan dan kebodohan tidak bisa disebut dengan Vidya. (Summer Roses on the Blue Mountains, 1976, Ch 1)

-BABA


Thought for the Day - 3rd September 2020 (Thursday)

What is the shape of worry? It is mentally created fear only. By nature, the mind is fickle. How can worries, which are the creation of this fickle mind, be permanent? Each worry is like a naya paisa. One rupee is equal to 100 naya paisas, and 100 rupees are equal to 10,000 naya paisas. When you make a bundle of 10,000 naya paisas, it is quite heavy and not easy to carry. Therefore, the Lord says, give me those 10,000 naya paisas and I will give you a 100 rupee note, which is very light, is easy to carry, and can safely be preserved. It is rather difficult to safeguard the big bundle of 10,000 naya paisas. It is all the more difficult to carry it and protect it from others. Hence, the Lord exhorts one, “My dear, surrender to Me the bundle of your worries.” Therefore, pass on this burden to the Lord. 



Apa bentuk dari rasa cemas? Ini adalah ketakutan yang diciptakan oleh mental saja. Secara alami sifat pikiran itu adalah berubah-ubah. Bagaimana kecemasan yang merupakan ciptaan dari pikiran yang berubah-ubah ini dapat menjadi bersifat permanen? Setiap kecemasan adalah seperti sebuah naya paisa (mata uang India yang setara dengan 1/100 rupee). Satu rupee adalah sama dengan 100 naya paisa, dan 100 rupee adalah sama dengan 10,000 naya paisa. Ketika engkau membuat seikat 10,000 naya paisa, ini cukup berat dan tidak mudah untuk dibawa. Maka dari itu, Tuhan berkata berikan kepada-Ku 10,000 naya paisa itu dan Aku akan memberikanmu uang 100 rupee, yang mana sangat ringan dan mudah untuk dibawa serta mudah untuk menyimpannya. Adalah cukup sulit untuk menjaga jumlah yang banyak dari 10,000 naya paisa. Adalah lebih sulit lagi untuk membawanya dan melindunginya dari yang lain. Karena itu, Tuhan mendesak kita, “Bhakta-Ku yang terkasih, serahkan kepada-Ku kumpulan dari kecemasanmu.” Maka dari itu, serahkan beban itu kepada Tuhan. (Divine Discourse, Jul 29, 1996)

-BABA


Thought for the Day - 2nd September 2020 (Wednesday)

What exactly is the cause of all grief? It is attachment to the body that produces grief as well as its immediate precursors: likes and dislikes. These two are the results of the intellect considering some things and conditions as beneficial and some other things and conditions as not. This idea of beneficence and maleficence is a delusion. Still, you get attached to objects that are considered beneficial, and you start hating the others. But from the highest point of view, there is neither; the distinction is just meaningless. There is no two at all, so how can there be good and bad? To see two where there is only one, is ignorance or delusion (maya). Absence of the knowledge of the identity of “That (Tat)” and you (twam) is the cause of all ignorance — the word tatwa, used to mean ‘principle’, enshrines this great philosophical doctrine. If this truth is not learned, one has to flounder in the ocean of grief. But if it is learned and if one lives in that consciousness, then one can be free from grief. 



Apa sebenarnya penyebab dari semua kesedihan? Ini adalah karena kemelekatan pada tubuh yang menyebabkan kesedihan dan juga pertandanya yaitu perasaan suka dan tidak suka. Kedua hal ini adalah hasil dari intelek yang menganggap beberapa hal dan keadaan sebagai sesuatu yang menguntungkan serta beberapa hal lain serta keadaan lain adalah tidak menguntungkan. Gagasan tentang yang menguntungkan dan merugikan adalah sebuah khayalan. Namun, engkau tetap terikat pada objek yang dikira menguntungkan, dan engkau mulai membenci yang lainnya. Namun dari sudut pandang yang paling tinggi, tidak ada keduanya; perbedaan keduanya tidak ada artinya. Tidak ada dua sama sekali, jadi bagaimana bisa ada kebaikan dan keburukan? Dengan melihat dua dimana hanya ada satu, adalah kebodohan atau khayalan (maya). Tanpa adanya pengetahuan tentang identitas “Tuhan (Tat)” dan dirimu (twam) adalah penyebab dari semua kedunguan  -- kata tatwa, digunakan untuk mengartikan ‘prinsip’, mengabadikan doktrin filosofi yang hebat ini. Jika kebenaran ini tidak dipelajari, maka seseorang harus menggelepar dalam lautan kesedihan. Namun jika hal ini dipelajari dan jika seseorang hidup dalam kesadaran itu, kemudian dia akan bebas dari kesedihan. (Gita Vahini, Ch 3)

-BABA


Wednesday, September 2, 2020

Thought for the Day - 1st September 2020 (Tuesday)

All are in you; you are in all. You have to get this conviction fixed in your consciousness by means of analysis, discrimination, and intellectual exploration. You have to isolate and dismiss from the consciousness the impressions of the senses, mind, intelligence, etc. These have nothing to do with the Atma, which you really are. The Atma is unaffected by any subject or object. Even if the senses, mind, intellect, etc. are inactive, that inactivity will not affect the Atma! To know the Atma as such an entity, unaffected and unattached, is the secret of spiritual wisdom. Every single act of yours must be carried out with this wisdom as its background. That awareness of the Atma will guide you in both the out-moving and in-drawing paths; it will not block action but fill it with purpose and meaning; it will build up faith and moral life; it will take you to the realm of deliverance along the road of renunciation of the fruit of action, and not renunciation of action itself. 



Semuanya ada di dalam dirimu; engkau ada di dalam semuanya. Engkau harus menetapkan keyakinan ini di dalam kesadaranmu dengan cara menganalisa, pemilahan, dan penyelidikan intelektual. Engkau harus memisahkan dan menjauhkan dari kesadaran kesan-kesan indera, pikiran, kecerdasan, dsb. Semua hal ini tidak ada hubungannya dengan Atma, yang merupakan dirimu yang sejati. Atma bersifat tidak terpengaruh oleh persoalan atau objek apapun juga. Bahkan jika indera, pikiran, kecerdasan, dsb adalah bersifat tidak aktif, maka ketidak-aktifan itu tidak akan mempengaruhi Atma! Untuk mengetahui Atma sebagai sebuah entitas seperti itu, yang tidak terpengaruh dan tidak terikat, merupakan rahasia dari kebijaksanaan spiritual. Setiap tindakan yang engkau lakukan harus didasari dengan kebijaksanaan ini. Kesadaran pada Atma ini akan menuntunmu pada kedua jalan yaitu jalan keluar dan jalan ke dalam; ini tidak akan menghalangi perbuatan namun mengisi tindakan dengan tujuan dan makna; ini akan membangun keyakinan dan kehidupan moral; ini akan membawamu pada alam pembebasan sepanjang jalan pelepasan diri dari buah dari tindakan dan bukan pelepasan diri dari perbuatan itu sendiri. (Gita Vahini, Ch 6)

-BABA


Thought for the Day - 31st August 2020 (Monday)

The mind is made of the warp and woof of wishes. So the first thing to be conquered is the demon of desire. For this, it is unnecessary to wage a huge war. It is also unnecessary to use pleasing words to persuade the desire to disappear. Desires will not disappear for fear of the one or for favour of the other. Desires are objective; they belong to the category of the “seen”. With the conviction that “I am the see-er only, not the seen”, the steady-minded one releases oneself from attachment. By this means, desire is conquered. You must watch the working of the mind from outside it; do not get involved in it. That is the meaning of this discipline. The faculty of the mind is like a strong current of electricity. It has to be watched from a distance and not be contacted or touched. Touch the current, and you are reduced to ashes. So too, contact and attachment give the mind the chance to ruin you. The farther you are from it, the better. By skillful methods, you have to make the best use of it for your own welfare. 



Pikiran terbuat dari dasar keinginan. Jadi hal pertama yang harus ditaklukkan adalah iblis dari keinginan. Untuk hal ini, adalah perlu untuk melakukan sebuah perang besar. Adalah juga tidak perlu untuk menggunakan kata-kata yang menyenangkan untuk membujuk agar keinginan pergi dan menghilang. Keinginan tidak akan hilang karena takut atau demi yang lain. Keinginan adalah bersifat objektif; keinginan adalah termasuk ke dalam kategori “terlihat”. Dengan keyakinan bahwa “Aku hanya yang melihat, dan bukan yang terlihat”, pikiran yang tidak tergoyahkan akan melepaskan diri dari keterikatan. Dengan sarana ini, keinginan ditaklukkan. Engkau harus mengawasi kerja dari pikiran dari luar; jangan terlibat di dalam pikiran. Itu adalah makna dari disiplin ini. Penguasaan pikiran adalah seperti arus listrik yang kuat. Aliran arus listrik yang kuat ini harus diawasi dari kejauhan dan bukannya tersentuh. Coba sentuh aliran listrik itu dan engkau akan menjadi abu. Begitu juga, kontak dan kemelekatan memberikan pikiran kesempatan untuk menghancurkanmu. Semakin engkau jauh dari pikiran maka itu adalah semakin baik. Dengan metode yang terampil, engkau harus memanfaatkan pikiran sebaik mungkin untuk kesejahteraanmu sendiri. (Gita Vahini, Ch 5)

-BABA


Thought for the Day - 30th August 2020 (Sunday)

The unceasing toil of each succeeding day has as its aim and justification this consummation: to make one’s last days sweet and pleasant. But each day also has its evening. If the day is spent in good deeds, then the evening blesses us with deep, invigorating and refreshing sleep, the sleep about which it is said that it is akin to samadhi. One has only a short span of life on earth. But even in this short life one can attain divine bliss by wisely and carefully using the time. Two people, in appearance the same, ostensibly of the same mould, grow under the same conditions, but one turns out to be an angel while the other stays on with their animal nature. What’s the reason for this differential development? Habits, behaviour formed out of these habits, and the character into which that behaviour has solidified. People are creatures of character. 



Manusia bekerja keras tiada henti setiap harinya dengan tujuan agar nanti dapat hidup senang di hari tua. Namun setiap hari juga memiliki masa senjanya. Jika hari dihabiskan dalam perbuatan-perbuatan baik, kemudian malam harinya akan diberkati dengan tidur nyenyak yang menguatkan dan menyegarkan, tidur yang semacam itu sama seperti keadaan samadhi. Manusia hanya memiliki masa hidup yang singkat di dunia. Namun bahkan dengan hidup yang singkat ini seseorang dapat mencapai kebahagiaan Tuhan dengan secara seksama dan bijaksana dalam menggunakan waktu. Dua orang yang kelihatan sama, tumbuh dalam keadaan yang sama, namun satu orang menjadi sebaik malaikat sedangkan yang lagi satu tetap berada dalam kecenderungan binatang. Apa alasan dalam perbedaaan perkembangan mereka? Kebiasaan mereka, dari kebiasaan terbentuklah tingkah laku, dan tingkah laku menetap menjadi karakter. Manusia dikuasai oleh karakternya. (Prema Vahini, Ch 5)

-BABA


Thought for the Day - 29th August 2020 (Saturday)

People must be happy that the highest Lord (Purushothama) has placed around them newer and newer materials for serving Him and gets the worship of Him done in various forms. People must pray for newer and newer opportunities and exult in the chance that their hands receive. This attitude gives immeasurable joy. To lead a life suffused with this joy is indeed bliss. Whatever is done from sunrise to sunset must be consecrated, as if it is the worship of the Lord. Just as care is taken to pluck only fresh flowers and to keep them clean and unfaded, so too, ceaseless effort should be made to do deeds that are pure and unsullied. If this vision is kept before the mind’s eye every day and life is lived accordingly, then it becomes one long unbroken service of the Lord. The feeling of ‘I’ and ‘You’ will soon disappear; all trace of self will be destroyed. Life then transmutes itself into a veritable devotion to the Lord (Hariparayana). 



Manusia harusnya bahagia dan bersyukur dimana Tuhan yang tertinggi (Purushothama) telah memberikan di sekitar mereka material-material yang lebih baru dan lebih baru untuk melayani Tuhan dan melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan berbagai bentuk. Orang-orang seharusnya memohon untuk kesempatan-kesempatan yang lebih baru dan lebih baru dan bersuka ria saat kesempatan tersebut bisa diperoleh. Sikap ini memberikan suka cita yang tidak terukur. Menjalani hidup dengan suka cita ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Apapun yang dilakukan dari matahari terbit sampai matahari terbenam harus disucikan, seolah-olah sebagai persembahan kepada Tuhan. Sama halnya perhatian yang diberikan saat hanya memetik bunga yang segar dan tetap menjaganya bersih dan tidak layu, begitu juga, usaha yang tiada henti harus dibuat agar setiap tindakan suci dan tidak ternoda. Jika pandangan ini tetap dipelihara di dalam pikiran setiap harinya dan hidup dijalani sesuai dengan itu, maka itu menjalani satu pelayanan panjang yang tidak terputus kepada Tuhan. Perasaan tentang ‘aku’ dan ‘engkau’ segera akan lenyap; semua jejak keakuan akan dihancurkan. Kehidupan kemudian merubah dirinya menjadi bhakti yang sejati kepada Tuhan (Hariparayana). (Prema Vahini, Ch 8)

-BABA


Thought for the Day - 28th August 2020 (Friday)

When Arjuna prayed to Krishna to tell him the true characteristics of a person of steady wisdom, He replied, “Partha! Such a person will be free from all desire and stable in the knowledge and awareness of the Atma only.” Now, there are two processes in this: To give up all the promptings of desire in the mind is the negative process; to implant ever-present joy therein is the positive aspect. The negative process is to remove all the seedlings of wrong and evil from the mind; the positive process is to grow, in the field thus cleansed, the crop of attachment to God! The plucking of the weeds is the negative stage; the cultivation of the crop you need is the positive stage. The weeds are pleasures that the senses draw from the objective world; the crop is attachment to God. The mind is a bundle of wishes, and, unless these wishes are removed by their roots, there is no hope of destroying the mind, which is a great obstacle in the path of spiritual progress. 



Ketika Arjuna memohon kepada Sri Krishna untuk mengatakan kepadanya karakteristik yang sebenarnya dari seseorang yang teguh dalam kebijaksanaan, Sri Krishna menjawab, “Partha! Orang yang seperti itu akan bebas dari semua keinginan dan tidak goyah dalam pengetahuan serta kesadaran hanya pada Atma.” Sekarang, ada dua proses dalam hal ini: untuk melepaskan semua dorongan keinginan di dalam pikiran adalah proses yang negatif; untuk menanamkan suka cita yang selalu ada di dalamnya adalah aspek positif. Proses negatif adalah melenyapkan semua benih-benih kesalahan dan kejahatan pikiran; proses positifnya adalah untuk menumbuhkan, di ladang yang telah dibersihkan, hasil panen berupa keterikatan pada Tuhan! Mencabuti tanaman pengganggu adalah tahapan negatif; meningkatkan panen yang engkau butuhkan adalah tahapan yang positif. Hama pengganggu adalah kesenangan yang diperoleh indera dari dunia objektif; panennya adalah keterikatan kepada Tuhan. Pikiran adalah sebuah kumpulan keinginan, dan kecuali keinginan-keinginan ini dilepaskan dari akarnya, maka tidak ada harapan dalam menghancurkan pikiran yang mana adalah penghalang yang paling besar dalam jalan kemajuan spiritual. (Gita Vahini, Ch 5)

-BABA


Thought for the Day - 27th August 2020 (Thursday)

The best way to get rid of weakness is to strike at the very taproot of the tree - the mistake that you are the body, with this name and this form, these senses, this intelligence and this mind. These are all the luggage you carry. Don't you say, ‘my nose, my mind, my hand, my reason’, just as you say, ‘my book, my umbrella’? Who is this ‘I’ that calls all these 'mine'? That is the real 'you'. It was there when you were born, when you were sleeping forgetful of all else, forgetful even of your body with all its equipment, internal and external. That ‘I’ cannot be harmed; it does not change, it knows no death or birth. Learn the discipline that makes you aware of this Truth and you will be ever free and bold. That is real vidya, the Aatmavidya (knowledge of the Self), which the sages have gathered for you. The thousands who come to Puttaparthi are coming here for this precious wealth; you too must, one day or the other, learn this and save yourselves. All have to reach the goal, travelling along the path of wisdom. 



Cara terbaik untuk melenyapkan kelemahan adalah menyerang pada akarnya pohon – yaitu kesalahan bahwa engkau adalah tubuh, dengan nama dan wujud ini, indera-indera yang ada, kecerdasan ini dan pikiran ini. Semuanya ini adalah beban yang engkau bawa. Bukankah engkau berkata, ‘hidungku, pikiranku, tanganku, alasanku’, seperti yang engkau katakan, ‘bukuku, payungku’? siapakah ‘aku’ yang menyebutkan semua ini adalah 'milikku'? itu adalah ‘dirimu’ yang sejati. Itu ada disana ketika engkau lahir, saat tidur engkau melupakan semua yang lainnya, bahkan melupakan tubuhmu dengan semua perlengkapannya, internal dan eksternal. Ketahuilah bahwa ‘aku’ itu tidak bisa disakiti; tidak mengalami perubahan, tidak mengenal kematian atau kelahiran. Belajarlah disiplin yang membuatmu sadar akan kebenaran ini dan engkau akan selalu bebas dan berani. Itu adalah vidya yang sejati, Aatmavidya (pengetahuan tentang diri sejati), yang telah dikumpulkan oleh para guru suci untukmu. Ribuan orang yang datang ke Puttaparthi adalah datang kesini untuk kekayaan yang berharga ini; engkau juga harus, suatu hari nanti, belajar hal ini dan menyelamatkan dirimu sendiri. Semua harus mencapai tujuan, berjalan di sepanjang jalan kebijaksanaan. (Divine Discourse, Feb 20, 1965)

-BABA


Thought for the Day - 26th August 2020 (Wednesday)

Once there was an emperor who asked the sages who visited his palace - “Who is the best among men? Which moment of time is most blessed? Which act is most beneficial?” He could not get a satisfactory answer for long. At last, his realm was invaded and he had to flee into the jungle. There he fell into the clutches of a primitive tribe who selected him as a victim to their goddess. While in this precarious condition, he was seen by an ascetic, who rescued him and took him to his quiet hermitage where he and his students tended him lovingly back to health and happiness. Then he discovered the answers to his questions. The best among men is he who has compassion; the most blessed time is the 'present', this very second, and the best act is to relieve pain and grief. You decide to start Namasmarana (remembrance of the Divine name) ‘next Thursday,’ as if death has assured you in writing that he will not call on you till that date. Do not postpone what you can do today, now, this very moment. 



Suatu hari ada seorang kaisar bertanya kepada guru suci yang mengunjungi istananya - “Siapakah yang terbaik diantara manusia? Kapan waktu yang paling berfaedah?” sang kaisar tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan untuk waktu yang lama. Pada akhirnya, kerajaannya diserang dan sang kaisar harus melarikan diri ke dalam hutan. Disana sang kaisar ditangkap oleh suku primitif yang telah memilihnya untuk dijadikan sebagai persembahan kepada junjungan mereka. Sementara dalam keadaan genting ini, sang kaisar dilihat oleh seorang pertapa yang menyelamatkannya dan membawanya ke dalam pertapaan yang tenang dimana sang pertapa dan murid-muridnya merawat sang kaisar dengan penuh kasih dan mengembalikan kesehatan serta kebahagiannya. Kemudian sang kaisar mendapatkan jawaban dari pertanyannya. Manusia yang terbaik adalah dia yang memiliki welas asih; waktu yang paling terbekati adalah 'saat sekarang', detik ini juga, perbuatan yang terbaik adalah meringankan rasa sakit dan duka cita. Engkau memutuskan untuk memulai Namasmarana (mengingat nama suci Tuhan) pada ‘hari kamis yang akan datang,’ seolah-olah kematian telah memastikanmu secara tertulis bahwa kematian tidak akan menjemputmu sampai tanggal itu. Jangan menunda apa yang dapat engkau lakukan hari ini, sekarang, saat ini juga. (Divine Discourse, Sep 7, 1966)

-BABA