Monday, April 29, 2019

Thought for the Day - 29th April 2019 (Monday)

The prompting inside an individual to love one’s mother is an expression of the Divine Nature in that person. If there was no spark of the Divine in the person, they would not have loved at all. A person who loves another individual is a theist, whether they go to a temple or church, or not. You proceed from the known to the unknown. Then that love expands in ever widening circles, until it covers all nature! In its pure form, even plucking a leaf from a tree may affect you that you will think twice! The green vitality of the tree is a sign of the Divine Will, which sends its roots deep into the soil. The roots keep the tree safe from storms, holding it fast against the violent tug of the wind. So too, if the roots of love in an individual goes down into the spring of the Divine in them, no storm of suffering can shake them.
Dorongan di dalam diri seseorang untuk menyayangi ibunya adalah sebuah ungkapan dari sifat alami dari Tuhan di dalam diri orang itu. Jika tidak ada percikan keilahian dalam diri seseorang, maka mereka sama sekali tidak akan memiliki cinta kasih. Seseorang yang menyayangi individu yang lainnya adalah seorang yang percaya keberadaan Tuhan, apakah mereka pergi ke tempat suci atau tidak. Engkau melangkah maju dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui. Kemudian kasih itu akan mengembang dalam lingkaran yang terus melebar, sampai kasih itu meliputi seluruh alam semesta! Dalam wujud kasih yang murni, bahkan hanya dengan memetik daun dari pohon akan membuatmu berpikir dua kali! Daya hidup pohon yang berwarna hijau adalah tanda dari kehendak Tuhan, yang membuat akar masuk ke dalam tanah. Dimana akar menjaga pohon tetap aman dari badai, menjaga pohon dari sentakan angin yang keras. Begitu juga, jika akar cinta kasih dalam diri setiap individu masuk ke dalam menuju sumber keilahian di dalam diri mereka, tidak ada badai penderitaan yang dapat menggoyahkan mereka. (Divine Discourse, May 24, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 28th April 2019 (Sunday)

Why must you compete and quarrel? One of you may be working in an office, another in a shop, third in the press – how does it matter? Do not feel that your role is low and another person's high. Do not be depressed when you find your role is minor; do not be proud when you discover that your role is a major one. Give your best to whatever role is allotted to you. Engage in sadhana with devotion, discipline and a sense of duty. That is the way to earn Grace Why should you be as intensely fascinated by materialistic desires? When will you strive to gain the eternal, infinite, and universal? One day, you must give up the body you have fed and fostered. How long can you keep all that you have earned and possessed with pride? Trivial thoughts and desires award only sorrow; holy thoughts and desires award divine peace. Cultivate good and beneficial feelings and desires.
Mengapa kita harus bersaing dan bertengkar? Salah satu darimu mungkin kerja di kantor, yang lain di toko, yang lain lagi di media cetak – apa bedanya? Jangan merasa bahwa peranmu rendah dan peran yang lainnya lebih tinggi. Jangan merasa bersedih ketika peranmu masih sedikit; dan jangan merasa bangga ketika engkau mendapatkan peran yang sangat besar. Berikan kemampuanmu yang terbaik pada apapun peran yang diberikan kepadamu. Lakukan latihan spiritual dengan bhakti, disiplin dan sebagai bentuk kewajiban. Itu adalah jalan untuk bisa mendapatkan karunia dan mengapa engkau harus terpesona dengan keinginan material? Kapan engkau berusaha untuk mendapatkan yang bersifat kekal, tidak terbatas dan universal? Suatu hari, engkau harus melepaskan tubuh yang engkau beri makan dan besarkan. Berapa lama engkau dapat menyimpan yang telah engkau dapatkan dan miliki dengan penuh kesombongan? Pikiran dan keinginan yang bersifat remeh hanya memberikan penderitaan; pikiran dan keinginan yang suci memberikan kedamaian ilahi. Tingkatkan perasaan dan keinginan yang baik dan bermanfaat. (Divine Discourse, May 1981)

-BABA

Thought for the Day - 27th April 2019 (Saturday)

Food is the medicine for the illness of hunger; water, for thirst; for the disease of Birth-Death-Cycle (bhava-roga), Bhagawan is the medicine. for the disease of desire, Jnana is the specific. For the disease of doubt, despair and hesitation, which are the occupational diseases of spiritual aspirants, the most effective remedy is paropakara (doing good to others). For the major infection of ashanti (anxiety and restlessness), the course of treatment is bhajan. It is to provide these remedies to the sufferers that the organisation has to dedicate itself. The organisations must be such that members find them congenial places to deepen their Sadhana, to cultivate their virtues and to overcome their ego, by contact with workers who are free from the least trace of that deadly poison. If this is achieved, their success is certain.
Makanan adalah obat bagi penyakit rasa lapar; air adalah obat untuk rasa haus; untuk penyakit siklus kelahiran dan kematian (bhava-roga), Bhagawan adalah obatnya. Untuk penyakit keinginan maka Jnana adalah obat yang khusus. Untuk penyakit keraguan dan keputusasaan, yang merupakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dari peminat spiritual, obat penyembuh yang paling efektif adalah paropakara (melakukan hal baik kepada yang lain). Untuk infeksi menyeluruh dari tanpa kedamaian atau ashanti (cemas dan gelisah), maka bentuk perawatannya adalah dengan bhajan. Adalah untuk menyediakan obat-obatan ini bagi yang mereka menderita maka organisasi mendedikasikan dirinya untuk hal ini. Organisasi haruslah seperti itu dimana para anggotanya menemukan tempat yang nyaman untuk memperdalam latihan spiritual mereka (sadhana), untuk meningkatkan kebajikan mereka serta mengatasi ego mereka, melalui berhubungan dengan para pekerja yang bebas dari jejak racun penyakit yang mematikan itu. Jika hal ini dicapai, keberhasilan mereka sudah pasti. (Divine Discourse, Apr 21, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 26th April 2019 (Friday)

I feel hurt when anyone calls India deficient or poor. It may be that some people are unaware of the methods of becoming rich or may not care to adopt them. But most people know the means of getting inner peace. You should demonstrate through your lives that spiritual discipline makes one happier and more courageous to fight the battle of life. This is your great good fortune, indeed. The world is suffering today from too much knowledge; virtue has not increased in proportion to the advances of knowledge. That is the root cause of the misery in human society. Of the two tyres of the vehicle that humanity is riding, the tyre of Divinity (Brahman) is flat, and it must be filled by pumping the Lord’s Name into it. You cannot drive very far with a flat tyre. Therefore, join holy association, cultivate good activities, and derive joy therefrom!
Aku merasa sakit ketika siapapun juga menyebut India tidak sempurna atau miskin. Hal ini mungkin beberapa orang tersebut tidak menyadari cara menjadi kaya atau mungkin tidak peduli dalam menerapkan cara tersebut. Namun kebanyakan orang mengetahui cara untuk mendapatkan kedamaian batin. Engkau harus memperlihatkan melalui hidupmu bahwa disiplin spiritual membuat seseorang menjadi lebih bahagia dan lebih berani untuk berjuang dalam pertempuran hidup. Ini adalah keberuntunganmu yang sungguh sangat besar. Dunia saat ini mengalami penderitaan karena terlalu banyak pengetahuan; kebajikan tidak mengalami peningkatan sesuai dengan kemajuan pengetahuan. Itu adalah akar dari penderitaan di dalam masyarakat. Dari dua roda kendaraan yang manusia sedang kendarai, satu roda yaitu keilahian (Brahman) sedang kempes, dan roda ini harus dipompa dengan nama Tuhan ke dalamnya. Engkau tidak bisa mengemudikannya lebih jauh dengan roda yang kempes. Maka dari itu, bergabunglah dalam pergaulan yang suci, tingkatkan perbuatan yang baik, dan dapatkan suka cita! (Divine Discourse, Apr 30, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 25th April 2019 (Thursday)

Just as a fish can live only when it is immersed in water and feels the element all around it, so too the human is an animal that can live only when immersed in bliss. One must have bliss not only at home, in society, and in the world but, more than all, in the heart. As a matter of fact, bliss in the heart produces bliss everywhere. The heart is the spring of joy. That spring has to be touched by constant meditation, recitation of God’s name, and the intermittent dwelling on the glory, the grace, and the inexhaustible manifestations of the Lord. Hold fast to the goal; the devotee should never turn back. Never give way to doubt or despair. A person driving a car concentrates on the road, anxious to save themselves and others from accident. In this case, fear induces single-mindedness. Love is a greater force that helps concentration. With steady and resolute love, concentration becomes intense and unshakeable.


Sepertinya halnya seekor ikan yang hanya dapat hidup ketika ikan berada di dalam air dan merasakan unsur air di sekitarnya, begitu juga dengan manusia yang hanya dapat hidup ketika ada di dalam kebahagiaan. Seseorang harus memiliki kebahagiaan tidak hanya di dalam rumah, di masyarakat, dan di dunia namun lebih daripada semuanya adalah kebahagiaan di dalam hati. Sebagai sebuah kenyataan, kebahagiaan di dalam hati menghasilkan kebahagiaan dimana-mana. Hati adalah sumber dari suka cita. Sumber itu harus disentuh dengan meditasi yang tanpa henti, pengulangan nama Tuhan dan perenungan pada kemuliaan, karunia, dan manifestasi Tuhan yang tidak ada habis-habisnya. Pegang teguh pada tujuan; bhakta seharusnya tidak pernah mundur. Jangan pernah memberikan ruang bagi keraguan atau rasa putus asa. Seseorang yang mengemudikan mobil berkonsentrasi pada jalan, cemas untuk menyelamatkan dirinya dan orang lain dari kecelakaan. Dalam hal ini, ketakutan meningkatkan pemusatan pikiran. Cinta kasih adalah kekuatan yang lebih besar yang membantu konsentrasi. Dengan cinta kasih yang mantap dan pasti, konsentrasi menjadi kuat dan tidak tergoyahkan. (Divine Discourse, Nov 23, 1961)

-BABA

Thursday, April 25, 2019

Thought for the Day - 24th April 2019 (Wednesday)

Incarnation is for the sake of fostering righteousness (dharma), for demarcating and directing it, and to show mankind the true path of desireless activity. The doctor first diagnoses the disease. Then he prescribes the course of treatment. So too, you must submit yourself to the diagnosis of your illness, viz. misery, travail, and pain. Investigate fearlessly and with care, and you will find that while your basic nature is bliss, you have falsely identified yourself with the temporary, the frivolous, the paltry, and that attachment has brought you all the sorrow. You must realise that both joy and sorrow are passing phases, like white or dark clouds across the blue sky, and you have to learn to treat both prosperity and adversity with equanimity. If only time is well spent, the ignorant (pamara) can become an ascetic of the highest order (Paramahamsa) and that ascetic can also become one with the Lord, the Universal Substance and Substratum (Paramatma).
Inkarnasi adalah untuk kepentingan mengembangkan kebajikan (dharma), untuk memberikan batasan dan mengarahkannya, dan juga untuk memperlihatkan kepada umat manusia jalan yang benar dari tindakan yang tanpa keinginan. Dokter pertama melakukan diagnosa penyakit. Kemudian dokter menuliskan resep obat untuk perawatan. Begitu juga, engkau harus menyerahkan dirimu sendiri untuk dilakukan diagnosa dari penyakitmu, seperti penderitaan, kesusahan, dan rasa sakit. Lakukan investigasi dengan berani dan teliti, dan engkau akan menemukan bahwa selain sifat dasarmu adalah kebahagiaan, engkau telah salah mengidentifikasi dirimu dengan sesuatu yang bersifat sementara, sembrono, remeh, dan kemelekatan yang telah memberikanmu semua penderitaan. Engkau harus menyadari bahwa keduanya yaitu suka cita dan penderitaan adalah bagian hidup yang akan berlalu, seperti halnya awan putih dan hitam yang melewati langit biru, dan engkau harus belajar memperlakukan keduanya yaitu kesejahteraan dan kemalangan dengan ketenangan batin. Jika saja waktu digunakan dengan baik, orang yang bodoh (pamara) dapat menjadi seorang pertapa tertinggi (Paramahamsa) dan pertapa itu juga dapat menjadi seseorang yang mendapatkan penyatuan dengan Tuhan, keberadaan yang bersifat Universal dan mendasar (Paramatma). (Divine Discourse, Nov 23, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 23rd April 2019 (Tuesday)

The spiritual Sadhana you perform may be compared to the process of conversion of milk into butter. Your human body is your home. Your heart is the vessel in which the milk of consciousness is boiled on the stove of devotion. The lid for this vessel is earnestness (Shraddha). When the fire of discrimination (Viveka) is lit, the cream of understanding rises upward from the boiling milk. To prevent the cat of maya from stealing the milk, the door has to be barred by the gate of wisdom (Sujnana). After the milk is cooled by tranquility (Shanti) and the buttermilk of the divine name is added to it, the curd of divine grace results. When this curd is churned with the rod of knowledge and the rope of love, the whey of ignorance is separated and the butter of the Atmic Reality emerges. Such a realised soul definitely attains oneness with the Divine.
Sadhana spiritual yang engkau lakukan mungkin dapat diibaratkan seperti proses perubahan susu menjadi mentega. Tubuh jasmanimu adalah rumahmu. Hatimu adalah wadah dimana susu kesadaran direbus di atas kompor bhakti. Penutup wadah ini adalah kesungguhan (Shraddha). Ketika api dari kemampuan membedakan (Viveka) dinyalakan, maka krim dari pemahaman akan muncul ke atas dari susu yang direbus. Untuk mencegah kucing maya datang mencuri susu, pintu harus ditutup dengan gerbang kebijaksanaan (Sujnana). Setelah susu didinginkan dengan kedamaian (Shanti) dan cairan susu dari nama Tuhan ditambahkan ke dalamnya, dadih dari rahmat Tuhan didapat sebagai hasilnya. Ketika dadih ini diaduk dengan tongkat pengetahuan dan tali kasih, air dadih dari kebodohan dipisahkan dan mentega dari kenyataan sejati dari Atma akan muncul. Jiwa yang tercerahkan itu pastinya akan mencapai penyatuan dengan Tuhan. (Divine Discourse, Feb 23, 1990)

-BABA

Thought for the Day - 22nd April 2019 (Monday)

You should be prepared to face the vicissitudes of life with firm faith in God. It is during times of difficulties that God is remembered. To confront difficulties with faith is itself a spiritual discipline. Although Rama was the son of the Emperor Dasaratha and son-in-law of King Janaka, he had to face many ordeals in life for the sake of upholding Dharma. The Pandavas went through many difficulties for the sake of adhering to righteousness and hence their name and fame remain forever. You should pray to the Lord to give you the strength to bear all troubles and face all difficulties. If you have even an atom of grace of the Lord, a mountain of troubles can be overcome. Chaitanya declared: "If a fraction of the time that is spent in worrying about wealth, provisions, wife, children, friends and business is devoted to contemplation on the feet of the Divine, one can face the messengers of death without fear and cross the Ocean of Samsara (worldly existence)!"
Engkau seharusnya siap untuk menghadapi perubahan dalam hidup dengan keyakinan yang kuat kepada Tuhan. Hanya saat waktu yang sulit saja Tuhan diingat. Menghadapi kesulitan dengan keyakinan merupakan sebuah disiplin spiritual. Walaupun Sri Rama adalah putra dari raja Dasaratha dan menantu laki-laki dari raja Janaka, namun Sri Rama harus menghadapi banyak tantangan dalam hidup untuk kepentingan dalam menjunjung tinggi Dharma. Para Pandava mengalami banyak kesulitan untuk kepentingan mengikuti kebajikan dan oleh karena itu nama dan ketenaran mereka tetap kekal. Engkau seharusnya berdoa kepada Tuhan untuk memberikanmu kekuatan untuk tahan terhadap semua masalah dan menghadapi semuanya. Jika engkau memiliki setidaknya satu atom karunia Tuhan, segunung masalahpun dapat diatasi. Chaitanya menyatakan: "Jika sebuah bagian waktu dihabiskan dalam kecemasan tentang kekayaan, persediaan, istri, anak-anak, teman, dan bisnis namun dipersembahkan dalam perenungan pada kaki padma Tuhan, maka seseorang dapat menghadapi utusan kematian tanpa rasa takut dan menyebrangi lautan Samsara (keberadaan duniawi)!" (Divine Discourse, Apr 14, 1989)

-BABA

Thought for the Day - 21st April 2019 (Sunday)

In the pursuit of the good and godly life, one may encounter many difficulties and disturbances. Those who hate others will ultimately be consumed by their own hatred. Many doubts and questions crop up. It is only when all difficulties are faced squarely and the troubles are borne with patience and fortitude that we can understand the true nature of Reality. The transforming power of Love is boundless. St. Paul, who was originally an inveterate critic of Jesus, was transformed by Christ's love into the greatest apostle of Jesus. Pure Love will never submit to the forces of envy or hatred however powerful they may be. Selfless Love will prevail over them for sure. You should not allow yourselves to be overwhelmed in any way by difficulties and sorrows, doubts and disappointments. You must have faith. Have confidence in yourself and strive to understand well the nature of God's love. To secure that love is the sacred goal of human life.  
Dalam mencari kebaikan dan hidup yang baik, seseorang mungkin menemui banyak kesulitan dan gangguan. Mereka yang membenci yang lain secara otomatis akan dihabiskan oleh kebencian mereka sendiri. Banyak keraguan dan pertanyaan yang muncul. Hanya ketika semua kesulitan dihadapi secara jujur dan kesusahan dipikul dengan sabar serta tabah maka kita dapat memahami sifat alami dari kenyataan yang sejati. Kekuatan perubahan dari kasih adalah tidak terbatas. Saint Peter (St.) Paul, yang sebelumnya seorang yang kecanduan dalam mengkritik Jesus, akhirnya dirubah oleh kasih Kristus menjadi rasul yang agung dari Jesus. Kasih yang murni tidak akan pernah menyerah pada kekuatan iri hati atau kebencian betapapun kuatnya kekuatan itu. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri pastinya akan menang atas mereka. Engkau seharusnya tidak memberikan ruang bagi dirimu sendiri untuk diliputi oleh kesulitan dan penderitaan, keraguan dan rasa kecewa dalam keadaan apapun juga. Engkau harus memiliki keyakinan. Miliki keyakinan pada dirimu sendiri dan berusahalah untuk memahami dengan benar sifat alami dari kasih Tuhan. Untuk mendapatkan kasih itu adalah tujuan suci dari kehidupan manusia. (Divine Discourse, Dec 25, 1984)

-BABA

Saturday, April 20, 2019

Thought for the Day - 20th April 2019 (Saturday)

Love is another name for Dharma (Righteousness). True Love is priceless. It has no trace of selfishness in it. It does not change with time. It is pure and unsullied. It always grows and never diminishes. It is spontaneous. God’s love is spontaneous; it is free from selfishness, unwavering and always full. Ordinary human love is motivated by selfish considerations. It is liable to change owing to changes in time and circumstance. For persons immersed in selfish love, it is difficult to comprehend or realise the greatness of Selfless Divine Love. Love wears the mantle of Truth. And one wedded to Truth is ever young and vigorous, says the Hindu scriptures. The Bible also declares that the body gets fortified by adherence to Truth. Truth should not be confined to speech. It must express itself in action. Only the one who is truthful in word and deed can be esteemed as a genuine human being, says Prophet Mohammed.


Kasih adalah nama lain dari Dharma (Kebajikan). Kasih yang sejati adalah tidak ternilai. Kasih ini tidak memiliki jejak mementingkan diri sendiri di dalamnya. Kasih ini juga tidak berubah seiring waktu dan bersifat suci serta tidak ternoda. Kasih ini selalu tumbuh dan tidak pernah berkurang. Kasih ini bersifat spontan. Kasih Tuhan adalah bersifat spontan; bebas dari sifat mementingkan diri sendiri, tidak goyah dan selalu penuh. Kasih manusia biasa dimotivasi dengan pertimbangan mementingkan diri sendiri. Kasih seperti ini besar kemungkinan berubah oleh karena perubahan dalam waktu dan keadaan. Seseorang yang tenggelam dalam kasih yang mementingkan diri sendiri, adalah sulit untuk memahami atau menyadari keagungan dari kasih Tuhan yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih memakai mantel kebenaran. Seseorang menyatu dalam kebenaran akan selalu muda dan penuh semangat, dijelaskan dalam naskah suci Hindu. Dalam Injil juga menyatakan bahwa tubuh menjadi kuat dengan menjunjung tinggi kebenaran. Kebenaran seharusnya tidak terbatas pada perkataan saja. Kebenaran harus diungkapkan dalam perbuatan. Hanya seseorang yang penuh kebenaran dalam perkataan dan perbuatan dapat dipandang sebagai manusia yang sesungguhnya, dikatakan oleh Nabi Muhammad. (Divine Discourse, Dec 25, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 19th April 2019 (Friday)

In the Bible it is recorded that Jesus washed the feet of His disciples. When they asked him why He was doing so, Jesus answered: "I am washing your feet as your servant, so that you may learn to serve the world." Every individual, to begin with, is a messenger of God. When they fulfill their duties as a messenger, they realise that they are God’s own child and then achieve Union with God. God's love is boundless and universal, unlike human love, which is narrow and selfish. God promotes love in everyone through His love. Swami's love is beyond reason. It is unlimited and unchanging. Those of you who have been nourished by Divine love should not deprive yourself of its beneficence. I do not seek anything. I impose no hardships. If you understand the real nature of Swami's love, and utilise that love to transform yourself into an embodiment of love, you will become an example to the world!

Dalam naskah suci dijelaskan bahwa Jesus mencuci kaki murid-Nya. Ketika mereka menanyakan Jesus tentang mengapa Beliau melakukannya, Jesus menjawab: "Aku sedang mencuci kakimu sebagai pelayanmu, sehingga engkau dapat belajar untuk melayani dunia." Setiap individu, dimulai sebagai utusan Tuhan. Ketika mereka menyelesaikan kewajiban mereka sebagai utusan Tuhan maka mereka menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan sendiri dan kemudian mencapai persatuan dengan Tuhan. Kasih Tuhan adalah tidak ada batasnya dan bersifat universal, tidak seperti halnya kasih manusia yang bersifat sempit dan mementingkan diri sendiri. Tuhan meningkatkan kasih dalam diri setiap orang melalui kasih-Nya. Kasih Swami adalah melampaui alasan yang mana bersifat tidak terbatas dan tidak berubah. Bagi engkau yang telah dijaga dengan kasih Tuhan seharusnya tidak menyangkal dirimu sendiri dari kebaikannya. Aku tidak mencari apapun juga. Aku tidak memberikan kesulitan. Jika engkau mengerti kualitas yang sebenarnya dari kasih Swami, dan menggunakan kasih itu untuk merubah dirimu sendiri menjadi perwujudan dari kasih, engkau akan menjadi teladan bagi dunia! (Divine Discourse, Dec 25, 1984)

-BABA

Thursday, April 18, 2019

Thought for the Day - 18th April 2019 (Thursday)

God is in your heart. Wherever you go and whatever you do, it is known to God even if you think none has noticed it. Many start worrying about petty temporary things that are passing clouds and sometimes falter in their faith and devotion. This is not correct. Never give up devotion. When you spend your time thinking of God and chanting His name, you will never come to grief. Follow the dictum, "Satyam vada, dharmam chara (speak the truth, practice righteousness).” You are bound to emerge successful always. Your good work will beget God's grace without fail. Sin or merit comes only from your own deeds, not from outside. Truth is common to all countries and all times. If you follow truth, which is God, you will invariably do sacred or righteous work only. Divine love flows to everyone who performs righteous acts. Remember, righteous actions (Dharma) should always go hand-in-hand with selfless love (Prema). They are meaningless if separated.


Tuhan bersemayam di dalam hatimu. Kemanapun juga engkau pergi dan apapun juga yang engkau lakukan, engkau mungkin mengira bahwa tiada orang lain yang mengetahui perbuatanmu, namun ingatlah bahwa Tuhan serba maha-tahu. Banyak sekali orang-orang yang mengkhawatirkan hal-hal yang bersifat sementara, yang bagaikan awan berlalu; tetapi sebaliknya, mereka malahan tidak begitu mempedulikan aspek keyakinan serta bhakti di dalam dirinya sendiri. Tindakan seperti itu tidaklah benar. Janganlah engkau mengabaikan pentingnya bhakti. Pekerjaanmu yang luhur dan baik pasti akan mendapatkan rahmat dari-Nya. Dosa atau pahala bersumber dari perbuatanmu sendiri, tiada orang lain yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Apabila engkau meluangkan waktumu untuk senantiasa ingat kepada Tuhan serta mengkidungkan nama-Nya, maka penderitaan akan menjauhimu. Ikutilah ungkapan ini, "Sathyam vada, Dharmam chara" (ucapkanlah kebenaran, lakukanlah kebajikan); dengan demikian, maka engkau akan senantiasa menggapai kesuksesan.  Kebenaran berlaku sama untuk setiap negara dan kapan saja. Jikalau engkau mengikuti jalan kebenaran, yang tiada lain adalah jalan ke-Tuhan-an, maka secara otomatis, engkau akan mempraktikkan kebajikan. Cinta-kasih Ilahiah akan mengalir melalui dirimu guna memastikan agar engkau selalu berbuat kebajikan. Ingatlah, kebajikan (Dharma) harus selalu berjalan seiring dengan cinta-kasih tanpa pamrih (Prema). Mereka tidak ada artinya jika dipisahkan.(Divine Discourse, Apr 18, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 17th April 2019 (Wednesday)

Make every effort to understand the greatness of your ancient culture and traditions. Respect everyone. Never be rude to elders or guests who visit your house. Whether your parents are at home or not, offer your guests a seat and give them a glass of cold water or buttermilk. Speak to them with love. How many children are following such noble practices in the present times? Even when you speak on the phone, you should talk in a loving and respectful manner. Respect does not mean merely saying, 'hello'. You should offer your namaskara (salutations) with humility and reverence. Na-maskara means offering respects without a trace of ahamkara and mamakara (ego and attachment). Our scriptures advise you to revere your mother, father, preceptor and guest as God. Cultivate and practice humility, love and reverence like the ancient Bharatiyas. That is the true sign of an educated person.


Buatlah setiap usaha untuk memahami keagungan dari kebudayaan dan tradisi luhur kita. Hormati setiap orang. Jangan pernah bersikap kasar kepada yang lebih tua atau tamu yang berkunjung ke rumahmu. Apakah orang tuamu ada di rumah atau tidak, suguhkan tamumu tempat duduk dan berikan mereka segelas air dingin atau susu. Berbicara kepada mereka dengan kasih. Berapa banyak anak-anak yang mengikuti nasihat suci ini pada saat sekarang? Bahkan ketika engkau berbicara dalam telephone, engkau seharusnya bicara dengan cara yang sopan dan penuh rasa hormat. Rasa hormat tidak hanya mengatakan, 'hello'. Engkau seharusnya memberikan namaskara (penghormatan) dengan kerendahan hati dan penghormatan. Na-maskara berarti memberikan hormat tanpa adanya ahamkara dan mamakara (ego dan kemelekatan). Naskah suci kita menasihatkanmu untuk menghormati ibu, ayah, guru, dan tamu sebagai Tuhan. Tingkatkan dan praktikkan sikap kerendahan hati, kasih sayang, dan penghormatan seperti penduduk Bharat di zaman dahulu. Itu adalah tanda yang sejati dari orang yang berpendidikan. (Divine Discourse, Apr 15, 2003)

-BABA

Thought for the Day - 16th April 2019 (Tuesday)

This year is named vikari (crooked)! So be warned! Do not run after devious desires or crooked satisfac¬tions. All roads leading to the realm of the senses are tortuous and blind; only the road that leads to God is straight. Cultivate the attitude of transparency and straightforwardness in everything. That will reveal the Atma. Straightforwardness will en-able you to overcome the impact of three qualities (gunas) on your mind. The treatment you have to give these qualities is to grind them to a paste so that a new taste of bliss (ananda) might emerge, just as you grind salt, chillies, and tamarind together to get a tasty chutney for your meal! No single quality should dominate; all must be tamed and diverted to fill the lake of bliss in your heart, ananda. How do you know you are successful in your effort? If your inner poise or inner equilibrium is undisturbed by external ups and downs, that is real success.


Tahun ini disebut dengan vikari (berliku-liku)! Jadi berhati-hatilah! Jangan mengejar keinginan yang tidak jujur atau kepuasan yang licik. Semua jalan yang mengarah pada bidang indera adalah berliku-liku dan membutakan; hanya jalan yang mengarah pada Tuhan yang bersifat lurus. Tingkatkan sikap transparansi dan kejujuran dalam segala hal. Itu akan mengungkapkan Atma. Kejujuran akan memungkinkan bagimu untuk mengatasi akibat pengaruh dari tiga sifat (guna) dalam pikiranmu. Perlakuan yang harus engkau berikan pada sifat-sifat ini adalah menggilingnya menjadi pasta sehingga sebuah rasa baru kebahagiaan (ananda) dapat muncul, seperti halnya engkau menggiling garam, cabai dan asam jawa bersama-sama untuk mendapatkan rasa sambal dalam makananmu! Tidak ada satu sifat yang bersifat dominan; semuanya harus dijinakkan dan dialihkan untuk mengisi danau kebahagiaan di dalam hatimu, ananda. Bagaimana engkau mengetahui bahwa usahamu telah berhasil? Jika ketenangan dan keseimbangan batinmu tidak terganggu oleh pasang surut di luar, maka itu adalah keberhasilan yang sebenarnya. (Divine Discourse, Apr 12, 1959)

-BABA

Monday, April 15, 2019

Thought for the Day - 15th April 2019 (Monday)

Vishu is a day of great happiness for people of Kerala. On the day of Vishu, people have a sacred bath and wear new clothes. Then they offer obeisance to their elders and seek their blessings. Remember, mere external cleanliness is not enough, you must cleanse your mind and develop inner purity. The all-pervasive Divine is present within and everywhere around you. See God within you and cultivate cordial relationship with everyone. We have to offer obeisance to our elders and seek their blessings. We have to develop good relationship with all. Therein lies the true celebration of Vishu. Right from young age, the children should be taught the greatness of our ancient culture. They should be moulded into ideal citizens. They should be made to practise our traditional values. For anything, practise is very important. The responsibility lies with the parents and teachers to make the children adhere to our ancient tradition.


Vishu adalah hari penuh dengan kebahagiaan bagi mereka yang ada di Kerala. Di hari Vishu, mereka melakukan mandi suci dan memakai pakaian baru. Kemudian mereka memberikan rasa hormat kepada yang lebih tua dan memohon berkat mereka. Ingatlah, kebersihan di luar saja tidaklah cukup, engkau harus membersihkan pikiranmu dan mengembangkan kesucian batin. Tuhan yang meliputi semuanya bersemayam di dalam diri dan di setiap tempat di sekitarmu. Lihatlah Tuhan di dalam dirimu dan tingkatkan hubungan yang baik dengan setiap orang. Kita harus memberikan hormat kepada yang lebih tua dari kita dan memohon rahmat mereka. Kita harus mengembangkan hubungan yang baik dengan semuanya. Disana terdapat perayaan yang sesungguhnya dari Vishu. Mulai dari sejak dini, anak-anak seharusnya diajarkan keagungan dari kebudayaan adi luhung kita. Mereka seharusnya dibentuk menjadi warga negara yang ideal. Mereka seharusnya diarahkan untuk menjalankan nilai-nilai dari tradisi kita. Untuk segala sesuatunya, praktik adalah sangat penting. Tanggung jawab terdapat pada orang tua dan guru untuk membuat anak-anak menjunjung tinggi tradisi adi luhung kita. (Divine Discourse, Apr 15, 2003)

-BABA

Thought for the Day - 14th April 2019 (Sunday)

You must discharge duties ordained on you by God and sanctify time. Whatever actions we perform are the reflections of our inner thoughts and feelings. Hence, undertake such actions that provide happiness to you and everyone. Due to the effect of Kali age, people do not work hard. Both educated and uneducated have become lethargic. Today people prefer to lead an easy life. Even students want to pass examinations without putting much effort. People want to secure jobs without working hard. After securing jobs, they want salaries without discharging their duties adequately. This type of attitude is not good. It is said, kashte phali - hard work yields rich rewards. The rewards that you get will be commensurate with the efforts you put in. Be duty conscious. Offer salutations to the action (tasmai namah karmane) so that your efforts yield very good results, and work sincerely. Sanctify your life by performing righteous actions.


Engkau harus menjalankan kewajiban yang diberikan kepadamu oleh Tuhan dan menyucikan waktu. Apapun tindakan yang kita lakukan adalah pantulan dari pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri. Oleh karena itu, jalankan tindakan yang dapat memberikan kebahagiaan kepada dirimu dan juga setiap orang. Karena pengaruh dari zaman Kali yuga, manusia tidak bekerja dengan tekun. Keduanya baik yang berpendidikan serta yang tidak berpendidikan telah menjadi malas. Hari ini manusia memilih untuk menjalani hidup yang gampang. Bahkan murid-murid ingin lulus ujian tanpa melakukan usaha yang besar. Manusia ingin mendapatkan pekerjaan yang aman tanpa mau bekerja keras. Setelah mendapatkan pekerjaan, mereka menginginkan gaji tanpa menjalankan kewajiban mereka dengan tekun. Sikap yang seperti ini adalah tidak baik. Dikatakan bahwa, kashte phali – kerja keras menghasilkan hasil yang besar. Hasil yang engkau dapatkan akan sepadan dengan usaha yang engkau lakukan. Jalankan kewajiban dengan kesungguhan. Berikan rasa hormat pada tindakan (tasmai namah karmane) sehingga usahamu menghasilkan hasil yang sangat baik, dan bekerja dengan tulus. Sucikan hidupmu dengan melakukan perbuatan yang baik. (Divine Discourse, Apr 15, 2003)

-BABA

Thought for the Day - 13th April 2019 (Saturday)

Sri Rama's incarnation as a human being was for the purpose of promoting peace and happiness in the world. His Name is very significant. The three syllables 'R', 'A' and 'Ma' indicate the three causes for human birth, Papamu (sins one committed), Thapamu (troubles one experiences) and Ajnanamu (ignorance). ‘Ra’ represents the root letter for Fire (Agni), ‘Aa’ for Moon and ‘Ma’ for Sun. Agni destroys everything and reduces it to ashes. The letter ‘R’ is powerful to destroy all sins you have committed; The letter ‘Aa’ (symbolising the moon) has the powers of cooling the ‘fevers’ man suffers from and conferring peace on him; ‘Ma’ (Sun) dispels the darkness of ignorance and confers illumination of wisdom. Hence, the Name Rama has the triple power of destroying sins, conferring peace and dispelling ignorance. Chant the sweet name of Rama with a pure, unsullied heart, in a spirit of selfless devotion and redeem your lives by living up to Rama’s ideals.


Inkarnasi Sri Rama sebagai manusia adalah untuk tujuan meningkatkan kedamaian dan kebahagiaan di dunia. Nama-Nya sangatlah berarti. Tiga suku kata yaitu 'R', 'A' dan 'Ma' mengindikasikan tiga sebab kelahiran manusia, Papamu (dosa yang dilakukan), Thapamu (masalah yang dialami) dan Ajnanamu (kebodohan). ‘Ra’ melambangkan akar dari huruf untuk api (Agni), ‘Aa’ untuk bulan dan ‘Ma’ untuk matahari. Agni menghancurkan segalanya dan menjadikannya abu. Huruf ‘R’ adalah sangat kuat sekali untuk menghancurkan semua dosa yang engkau lakukan; Huruf ‘Aa’ (simbul dari bulan) memiliki kekuatan menyejukkan ‘demam’ yang diderita manusia dan memberikan kedamaian padanya; ‘Ma’ (matahari) menghilangkan kegelapan dari kebodohan dan memberikan penerangan kebijaksanaan. Oleh karena itu, nama Rama memiliki tiga kekuatan yaitu menghancurkan dosa, memberikan kedamaian, dan menghilangkan kebodohan. Lantunkan nama manis dari Rama dengan hati yang suci, tidak ternoda dalam semangat bhakti yang tidak menentingkan diri sendiri serta menyucikan hidupmu dengan menjalani ideal dari Sri Rama. (Divine Discourse, Apr 14, 1989)

-BABA

Friday, April 12, 2019

Thought for the Day - 12th April 2019 (Friday)

Satya and Dharma (Truth and Righteousness) are the most important concepts in the Ramayana. Vedas, which are the very life-breath of Bharatiyas, proclaim: “Satyam Vada; Dharmam Chara (Speak the Truth; Act Righteously)”. To honour the plighted word of his father, Rama elected to go to the forest leaving Ayodhya. Truth is the foundation for all righteousness. There is no greater religion than truth. Rama stood out as an upholder of Truth to fulfil the promise of his father, to maintain the traditions of his Ikshvaku dynasty, to protect his country and for the sake of the welfare of the world. Everyone who calls themselves a human being should stand up for truth in the same manner. Mahatmas (noble ones) are those whose actions, thoughts and words are in perfect accord. Wicked people are those whose thoughts, words and deeds are at a variance with each other. Lord Rama indeed is a Mahatma (a noble one), worthy of adoration for time immemorial!


Satya dan Dharma (Kebenaran dan Kebajikan) adalah konsep yang paling penting dalam Ramayana. Weda yang merupakan nafas hidup dari Bharatiya, menyatakan: “Satyam Vada; Dharmam Chara (Berbicara kebenaran; berbuat kebajikan)”. Untuk menghormati janji yang telah diungkapkan ayah-Nya, Rama memilih untuk pergi ke hutan meninggalkan Ayodhya. Kebenaran adalah dasar dari semua kebajikan. Tidak ada agama yang lebih hebat daripada Kebenaran. Sri Rama menonjol sebagai penegak Kebenaran untuk memenuhi janji dari ayah-Nya, untuk menjaga tradisi dari dinasti Ikshvaku, untuk melindungi negara-Nya dan untuk kepentingan kesejahteraan dunia. Setiap orang yang menyebut diri mereka sebagai manusia seharusnya membela kebenaran dengan cara yang sama. Mahatma (orang mulia) adalah mereka yang perbuatan, pikiran, dan perkataannya selaras dengan sempurna. Orang yang jahat adalah mereka yang pikiran, perkataan, dan perbuatannya adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Sri Rama sesungguhnya adalah seorang Mahatma (seorang yang mulia), layak untuk dipuja dalam waktu yang lama! (Divine Discourse, Apr 14, 1989)

-BABA

Thought for the Day - 11th April 2019 (Thursday)

Mother Gayatri has three aspects - Gayatri, Savitri, and Saraswati. Gayathri is the presiding deity of our senses; Savitri is the presiding deity of the life principle, and Saraswati is the presiding deity of speech. All these three are within the same Principle of Truth. Gayatri Mantra beings with, Om Bhur Bhuvah Suvah. Bhur means materialisation (body), bhuvah means vibration (life principle), and suvah means radiation representing the Atma. From a scientist’s point of view, matter can be converted into energy and vice versa. But in My view, matter and energy do not exist separately. These two are inseparable and interrelated. In fact, there is no matter in this world; wherever you see, you find only energy. Truth, Righteousness, Peace, and Forgiveness are all expressions of the Principle of Shakti (Energy). Truth is the primal cause. There is nothing other than this. All faculties of energy are present in this Truth. So, consider Truth as your mother and follow it.


Ibu Gayatri memiliki tiga aspek - Gayatri, Savitri, dan Saraswati. Gayathri adalah kekuatan Tuhan yang mengatur indera kita; Savitri adalah kekuatan Tuhan yang mengatur prinsip hidup kita, dan Saraswati adalah kekuatan Tuhan yang mengatur perkataan kita. Semua ketiganya ini adalah prinsip yang sama dari Kebenaran. Keberadaan Mantra Gayatri adalah, Om Bhur Bhuvah Suvah. Bhur berarti wujud materi (badan), bhuvah berarti getaran (prinsip hidup), dan suvah berarti pancaran yang melambangkan Atma. Dari sudut pandang ilmiah, materi dapat diubah menjadi energi dan begitu juga sebaliknya. Namun menurut pandangan-Ku, materi dan energi tidak berada secara terpisah. Kedua hal ini adalah tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Sejatinya, tidak ada materi di dunia ini; kemanapun engkau melihat, engkau hanya menemukan energi. Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, dan Memaafkan semuanya ini adalah ungkapan dari prinsip Shakti (Energi). Kebenaran adalah penyebab utama. Tidak ada yang lain daripada ini. Semua bagian dari energi ada di dalam Kebenaran ini. Maka, jadikan Kebenaran sebagai ibumu dan ikutilah Kebenaran. (Divine Discourse, Sep 25, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 10th April 2019 (Wednesday)

More things, more hurdles, more handicaps. Accumulation of sofas, chairs, cots, tables, and curios clutter the hall and render movements slow and risky. Reduce wants and live simple, that is the key to happiness. Attachment brings sorrow in its wake! When death demands that everything be left behind and everybody be deserted, you are overpowered with grief! Be like the lotus on water; on it, not in it. Water is necessary for the lotus to grow, but it will not allow even a drop to wet it. The objective world is the arena of virtue and the gymnasium for the spirit. Use it for that purpose only; do not raise it to a higher status! Take up the simple Sadhana of Namasmarana (Remembering God), along with reverence towards parents, elders and teachers, and service to the sick and poor. See everyone as your lshtadevata (chosen form of God). That will fill your heart with love and give you stability of mind and peace.


Lebih banyak benda, lebih banyak halangan, lebih banyak rintangan. Banyaknya sofa, kursi, tempat tidur, meja, dan barang antik yang mengacaukan dinding akan membuat gerakan menjadi lambat dan berisiko. Kurangi keinginan dan hiduplah sederhana, itu adalah kunci untuk kebahagiaan. Kemelekatan membawa penderitaan dibelakangnya! Ketika kematian menuntut bahwa segala sesuatu dan setiap orang harus ditinggalkan, engkau akan diliputi penuh dengan rasa duka cita! Jadilah seperti bunga teratai yang ada di air; ada di atas air dan bukan di dalam air. Air adalah diperlukan bunga teratai untuk bisa tumbuh, namun bunga teratai tidak akan mengizinkan bahkan setetes air membasahinya. Dunia objektif ini adalah arena kebajikan dan tempat latihan untuk jiwa. Gunakan ini hanya untuk tujuan itu saja; jangan naikkan ke status yang lebih tinggi! Ambillah latihan spiritual yang sederhana yaitu Namasmarana (mengingat Tuhan), bersamaan dengan hormat kepada orang tua, yang lebih dituakan, dan guru serta berikan pelayanan pada yang sakit dan miskin. Lihat setiap orang sebagai lshtadevatamu (wujud Tuhan yang dipilih). Itu akan mengisi hatimu dengan kasih dan memberikanmu stabilitas pikiran dan kedamaian. [Divine Discourse, May 15, 1969]

-BABA

Thought for the Day - 9th April 2019 (Tuesday)

Though you do not see the roots or know how far, wide or deep they are clutching the earth, you pour water around the trunk so that it may reach the roots, is it not? You expect that when roots contact the water, the tree will grow and yield fruit. Similarly, understand that there is God, the very basis of creation; pray to Him, and He will shower fruits. The chief means by which you detach your mind from distractions and attach yourselves to the search of God are communion with God (Yoga) and sacrifice (Tyaga). Desire (Kama) must be conquered by Tyaga and Rama (God) must be secured by Yoga. Desire discolours intelligence, perverts judgement and sharpens the appetites of the senses. It lends a false lure to the objective world. When desire disappears or is concentrated on God, intelligence is self-luminous, it shines in its pristine splendour, revealing God within and everywhere. That is true Self-Realization (Atma Sakshatkara)!


Walaupun engkau tidak melihat akar atau mengetahui berapa jauh, lebar atau dalam akar itu mencengkeram bumi, engkau menuangkan air di sekitar batang sehingga air itu bisa sampai pada akar, bukan? Engkau berharap bahwa ketika akar mendapat air, pohon akan tumbuh dan menghasilkan buah. Sama halnya, memahami bahwa ada Tuhan yang merupakan dasar dari ciptaan; berdoa kepada-Nya, dan Tuhan akan menghujani dengan rahmat. Sarana utama adalah ketika engkau melepaskan pikiranmu dari gangguan dan mengikatkan dirimu sendiri pada pencarian Tuhan adalah persekutuan dengan Tuhan (yoga) dan pengorbanan (tyaga). Keinginan (karma) harus ditaklukkan dengan Tyaga dan Rama (Tuhan)  harus dijaga dengan Yoga. Keinginan mengotori kecerdasan, menyesatkan penilaian, dan menajamkan hasrat dari indera. Hal ini menuntun pada daya tarik yang salah pada dunia yang bersifat objektif. Ketika keinginan hilang atau dipusatkan pada Tuhan, kecerdasan itu bercahaya, bersinar dalam kemegahannya yang murni, serta mengungkapkan Tuhan didalam diri dan dimana saja. Itu adalah kesadaran diri yang sejati (Atma Sakshatkara)! [Divine Discourse, May 15, 1969]

-BABA

Thought for the Day - 8th April 2019 (Monday)

You may have witnessed chariot festivals (Rathotsavam) in pilgrimage centers. Huge temple chariots are gorgeously decorated with flags and festoons, stalwart bands of men draw them along the roads to the music of blowpipes and conches, and dancing groups and chanters precede it, adding to the exhilaration of the occasion. Thousands crowd around the holy chariot. Their attention is naturally drawn towards the entertainment, but they feel happiest only when they fold their palms and bow before the Idol in the chariot. The rest is all subsidiary, even irrelevant. So too in the process of life, body is the chariot, and the Atma is the Idol installed therein. Earning and spending, laughing and weeping, hurting and healing, and the various acrobatics in daily living are but subsidiary to the adoration of God and the union with the Lord.


Engkau mungkin telah menyaksikan perayaan kereta suci (Rathotsavam) di pusat perziarahan. Kereta dari tempat suci yang besar dihias sangat indah dengan bendera dan rangkaian bunga, banyak bhakta yang menarik kereta suci itu sepanjang jalan dengan iringan musik dari terompet dan kerang, serta kelompok penari dan lantunan kidung suci mengawalinya, menambahkan kebahagiaan pada perayaan itu. Ribuan orang mengelilingi di sekitar kereta suci itu. Perhatian mereka secara alami tertuju pada pertunjukan, namun mereka merasa paling sangat gembira hanya ketika mereka mencakupkan tangan mereka dan menunduk menunjukkan bhakti kehadapan wujud Tuhan yang ada di dalam kereta suci itu. Sedangkan sisa yang lainnya adalah sebagai tambahan saja, bahkan tidak relevan. Begitu juga proses dalam hidup, tubuh adalah kereta suci itu dan Atma adalah wujud Tuhan yang ada di dalamnya. Menghasilkan dan menghabiskan, tertawa dan menangis, tersakiti dan tersembuhkan, dan berbagai jenis akrobat dalam kehidupan sehari-hari hanyalah sebagai tambahan dari pemujaan kepada Tuhan dan penyatuan pada Tuhan. [Divine Discourse, Jan 13, 1969]

-BABA

Thought for the Day - 7th April 2019 (Sunday)

Culture lies in seeing unity in diversity, with a deep-seated faith in the unity of life. Nourish your faith in the caste of humanity and the culture of love. Here love does not refer to the bodily affection that marks the relationship between a wife and husband, between children and parents, or between friends. The son, though he loved his mother with all his heart, flings her body onto the burning pyre and consigns her to flames without any mercy after her death. How can such love be called true Love? All such relationships can at best be termed ‘attachment’! Attachments, like passing clouds that sail away, come in the middle and pass off in the middle. But Love existed even before birth and will last after death. There is no love between husband and wife before their wedding or between the mother and the child before the child was born. Only Divine Love exists before birth and lasts after death.


Kebudayaan terletak pada melihat kesatuan dalam keanekaragaman, dengan keyakinan yang mendalam dalam kesatuan hidup. Pupuklah keyakinanmu dalam kasta kemanusiaan dan kebudayaan cinta kasih. Disini cinta kasih tidak mengacu pada rasa sayang terkait tubuh yang ditandai dengan hubungan diantara istri dan suami, diantara anak-anak dan orang tua, atau diantara sahabat. Seorang putra, walaupun menyayangi ibunya dengan sepenuh hati, akan menaruh tubuh ibunya diatas tumpukan kayu bakar dan menyulut api pembakaran tanpa ampun setelah kematiannya. Bagaimana cinta kasih seperti itu dapat disebut dengan kasih yang sejati? Semua jenis hubungan seperti itu dapat disebut dengan ‘kemelekatan’! Kemelekatan adalah seperti awan yang berlalu yang datang di pertengahan dan lewat juga di pertengahan. Namun cinta kasih ada bahkan sebelum kelahiran dan akan tetap ada setelah kematian. Tidak ada cinta kasih diantara suami dan istri sebelum pernikahan mereka atau antara ibu dan anak sebelum anaknya lahir. Hanya kasih Tuhan yang ada sebelum kelahiran dan tetap ada setelah kematian. [Summer Roses on Blue Mountains 1996, Ch 1]

-BABA

Thought for the Day - 6th April 2019 (Saturday)

On Ugadi (New Year’s day), people get up early, have a sacred bath and put on new clothes. They are interested only in external cleanliness and are not concerned about purifying their hearts which are tainted with evil thoughts and feelings. It is rather easy to have external cleanliness and to wear new clothes but that is not the purpose of celebrating festivals. True celebration of new year lies in giving up evil qualities and purifying one’s heart. Human heart in its pristine state is highly sacred and human birth is difficult to attain. Having attained such a precious life, people are not making any effort to live like a true human being. Today people have become a bundle of desires. All time and effort is spent in fulfilling desires. One should realise that only annihilation of desires will lead to ultimate bliss. True happiness lies in the state of desirelessness.


Di hari Ugadi (tahun baru), orang-orang bangun lebih awal, melakukan pembersihan badan yang suci dan memakai pakaian baru. Mereka hanya tertarik pada kebersihan di luar dan tidak memberikan perhatian tentang kesucian hati mereka yang dinodai oleh pikiran dan perasaan yang jahat. Adalah lebih gampang untuk memiliki kebersihan di luar diri dan memakai pakaian baru namun semuanya itu bukanlah tujuan dari perayaan hari suci ini. Perayaan yang sesungguhnya dari tahun baru terdapat dalam melepaskan kualitas jahat dan memurnikan hati. Hati manusia dan keadaannya yang murni adalah sangat suci dan kelahiran sebagai manusia adalah sulit didapatkan. Setelah mendapatkan hidup yang begitu berharga, manusia tidak melakukan usaha apapun untuk hidup seperti manusia yang sesungguhnya. Hari ini manusia telah menjadi seikat keinginan. Sepanjang waktu dan usaha dihabiskan untuk memenuhi keinginan. Seseorang seharusnya menyadari bahwa hanya dengan melenyapkan keinginan akan menuntun pada kebahagiaan yang tertinggi. Kebahagiaan yang sejati terdapat dalam keadaan tanpa keinginan. [Divine Discourse, Apr 13, 2002]

-BABA

Friday, April 5, 2019

Thought for the Day - 5th April 2019 (Friday)

The feelings we experience in dreams disappear when we wake up. The things we see when awake are also short lived. During sleep, we are not aware of the world at all. Though the body is in the bedroom, when we dream, it is direct and dramatic, like for example we may see ourselves shopping on the Mount Road in Chennai! So, the waking, dreaming and sleeping stages are all only relatively and deceivingly real. Let us say, you are coming towards the hostel at dusk singing bhajans. A boy in the front row suddenly shouts in fear, "Snake Snake", that fear will overtake you all. It will make all of you step back. But, was it really a snake? Say a boy then looks at it with a lit torch and finds out that it was only a rope! Ignorance (the thought it was a snake and the fear) caused it, knowledge removed it. Similarly when the ‘torch’ lights up the world, it will be revealed to be God.


Perasaan yang kita alami dalam mimpi lenyap ketika kita bangun. Hal-hal yang kita saksikan ketika kita sadar juga bersifat sebentar. Saat tidur, kita tidak menyadari dunia sama sekali. Walaupun tubuh ada di tempat tidur, ketika kita bermimpi, hal ini bersifat langsung dan dramatis, seperti halnya sebagai contoh kita mungkin melihat diri kita sedang berbelanja di tempat perbelanjaan! Jadi, saat sadar, saat mimpi dan saat tidur hanyalah kenyataan yang bersifat sementara dan menipu. Katakanlah, engkau sedang memasuki asrama di sore hari untuk bhajan. Seorang anak laki-laki yang duduk di barisan terdepan secara tiba-tiba berteriak dalam ketakutan, "Ular….ular ", rasa takut itu akan meliputimu. Hal ini akan membuat semuanya melompat mundur. Namun, apakah itu benar-benar ular? Katakanlah seorang anak laki-laki melihat bagian ini dan mengambil sebuah lampu yang menyala dan menemukan bahwa itu hanyalah seutas tali! Kebodohan (pikiran bahwa itu adalah ular dan ketakutan) yang menyebabkannya, sedangkan pengetahuan yang menghilangkan semuanya itu. Sama halnya ketika ‘lentera’ menerangi dunia, maka lentera ini akan mengungkapkan Tuhan. [Divine Discourse, Jan 08, 1983]

-BABA

Thought for the Day - 4th April 2019 (Thursday)

A poet sang, "Keeping the child on her hip, the mother roamed in search of the child. She was peering into the face of every child to see if it was hers. She is an unripe fruit!" You all search for God like that mother. Why an unripe fruit? The unripe fruit is bitter, but when it ripens the sweetness comes from within. One can ripen only when the Divine in us is developed, after its discovery. Live in God, with God, live on God and for God. Drink God, eat God, see God, and reach God. God is the Truth, the substance, the Heart of Man. You are now recording My speech in the cassette. But can you see My voice or words now on the cassette? No. When you play it back, you can hear the words. So too, the body is the tape, the voice of God is immanent. Equip it with faith and tune it with Love. Then, you can imbibe My voice and words. A pure heart, a cleansed mind, and a God-filled consciousness will help you to listen to the voice of the Lord within you.


Seorang pujangga bernyanyi, "Dengan menggendong anaknya di pinggul, sang ibu berkeliling mencari anaknya. Sang ibu mengamati wajah setiap anak untuk melihat apakah anak itu adalah anaknya. Sang ibu adalah seperti buah yang tidak matang!" engkau semua mencari Tuhan seperti halnya ibu tersebut. Mengapa seperti buah yang tidak matang? Buah yang tidak matang adalah terasa pahit, namun ketika buah itu matang maka rasa manis muncul dari dalam buah itu. Seseorang dapat menjadi matang hanya ketika Tuhan di dalam diri kita dikembangkan, setelah ditemukan. Hiduplah dalam Tuhan, dengan Tuhan, Hidup berlandaskan pada Tuhan dan untuk Tuhan. Terima Tuhan, resapi Tuhan, lihat Tuhan dan capai Tuhan. Tuhan adalah kebenaran, intisari, hatinya manusia. Engkau sekarang sedang merekam perkataan-Ku dalam sebuah kaset. Namun dapatkah engkau melihat suara-Ku atau kata-kata itu dalam kaset? Tidak. ketika engkau memutarnya kembali maka engkau dapat mendengar kata-kata itu. Begitu juga, tubuh adalah pemutar kaset, suara Tuhan adalah tetap ada. Lengkapi dengan keyakinan dan selaraskan dengan kasih. Kemudian, engkau dapat merasakan suara dan kata-kata-Ku. Hati yang suci, pikiran yang bersih dan kesadaran yang diliputi keilahian akan membantumu untuk mendengarkan suara Tuhan di dalam dirimu. [Divine Discourse, Jan 08, 1983]

-BABA