Thursday, January 31, 2019

Thought for the Day - 31st January 2019 (Thursday)

All of you are wasting time. Time is God. God is described as, Kala kalaya namah - He is the Master of Time. Therefore you should not waste time on unnecessary activities. For example, excessive talk is a waste of time. When you switch on the radio and listen to all unnecessary programmes, electricity is wasted. The body is like a radio receiver. Chanting the Lord’s name and singing the glory of God will capture signals of grace. But when you indulge in unnecessary gossip, you waste precious time and energy. When you do wicked or inappropriate deeds, again you waste energy and incur dangerous consequences too. Sanctify your life by adhering to the twin ideals of Truth and Righteousness (Sathya and Dharma). Instead of preaching them, put them into practice. Propagation is 'quantity' while practicing is 'quality'. Quality is always very important. A spoon of cow's milk is much better than a barrel of donkey's milk.


Semua darimu menyia-nyiakan waktu. Waktu adalah Tuhan. Tuhan disebutkan sebagai Kala kalaya namah – Tuhan adalah penguasa waktu. Maka dari itu engkau seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu dalam kegiatan yang tidak perlu. Sebagai contoh, berbicara berlebihan adalah menyia-nyiakan waktu. Ketika engkau menghidupkan radio dan mendengarkan semua program yang tidak perlu maka itu adalah menyia-nyiakan energi listrik. Tubuh adalah seperti sinyal penerima radio. Melantunkan nama Tuhan dan menyanyikan kemuliaan Tuhan akan dapat menangkap gelombang rahmat dan karunia. Namun ketika engkau terlibat dalam gosip yang tidak perlu, engkau menyia-nyiakan waktu dan energi yang sangat berharga. Ketika engkau melakukan tindakan yang jahat atau tidak pantas, lagi-lagi engkau menyia-nyiakan energi dan mendapatkan akibat yang berbahaya juga. Sucikan hidupmu dengan menjunjung tinggi ideal kembar kebenaran dan kebajikan (Sathya dan Dharma). Daripada memberikan ceramah tentang hal ini, lebih baik jalankan dalam kehidupan. Propaganda adalah 'kuantitas' sedangkan menjalankan adalah 'kualitas'. Kualitas adalah selalu lebih penting. Satu sendok susu sapi adalah sangat lebih baik daripada satu tong susu keledai. (Divine Discourse, Jul 18, 1997)

-BABA

Wednesday, January 30, 2019

Thought for the Day - 30th January 2019 (Wednesday)

You write on boards (or make banners), "Truth is God." This is not enough. You should have this imprinted in your heart. The Upanishads teach us, ‘Speak the Truth’ (Satyam Bruyat). This is the physical aspect of the directive. The immediate statement that follows is: ‘Speak lovingly’ (Priyam Bruyat). This is an equally important virtuous aspect which means you should speak the truth in a loving and palatable way and not harshly. The next statement is - Na Bruyat Satyam apriyam. This is the spiritual aspect that you shouldn’t neglect. You must be silent and avoid speaking the truth when it’s not palatable. At the same time, simply because it will please another person, do not speak untruth or half-truth. Truth is changeless and eternal. Conviction in this value is not traceable amongst people of the present. Make a sincere effort to join good company which will help you entertain sacred thoughts to be translated into righteous action. Lead a life of morality and good character.


Engkau menulis di atas papan tulis (atau membuat sebuah spanduk), "Kebenaran adalah Tuhan." Ini tidaklah cukup. Engkau seharusnya memiliki hal ini terpatri di dalam hatimu. Upanishad mengajarkan pada kita, ‘Katakan kebenaran’ (Satyam Bruyat). Ini aspek fisik dari perintah. Pernyataan berikutnya yang mengikuti adalah: ‘Berbicara dengan kasih’ (Priyam Bruyat). Ini adalah aspek kebajikan yang sama pentingnya dimana engkau seharusnya mengatakan kebenaran dengan cara baik serta kasih dan bukan dengan kasar. Pernyataan selanjutnya adalah - Na Bruyat Satyam apriyam. Ini adalah aspek spiritual yang engkau seharusnya tidak abaikan. Engkau harus tenang dan menghindari mengatakan kebenaran ketika tidak dengan kasih. Pada saat bersamaan, hal ini karena akan menyenangkan yang  lainnya, jangan mengatakan kebohongan atau setengah benar. Kebenaran adalah tidak berubah dan bersifat kekal. Keyakinan dalam nilai ini tidak ditemukan diantara manusia pada saat sekarang. Lakukan usaha yang tulus untuk bergabung dalam pergaulan yang baik yang mana akan membantumu memiliki pikiran yang baik dan diterjemahkan dalam perbuatan yang baik. Jalani hidup moralitas dan karakter yang baik.→ Divine Discourse, Jul 18, 1997.

-BABA

Thought for the Day - 29th January 2019 (Tuesday)

Life itself is like a limited company. All actions in it should be governed by the limits applicable to each of them. When desires are controlled, genuine happiness is experienced. Even in practising charity, limits should be observed. Your gifts should not exceed your financial capacity. Nor should they be below your capacity. If you exceed your limits, you will face financial problems later. If you are stingy, you will be withholding from those in need, what is due to them. Always remember, charity should not be limited to money alone and charity should not be indiscriminate. You must share your physical, mental and spiritual resources with those in need in your community, appropriately. Help spontaneously, according to the needs of the situation. The hungry must be fed and, clothes and relief must be given to the needy. It is through such sharing and sacrifice that the awareness of the Spirit (Atma jnana) is achieved.


Hidup itu sendiri dapat diibaratkan seperti perusahaan terbatas. Semua perbuatan yang ada di dalamnya seharusnya diatur dengan batas yang dapat dipakai oleh setiap bagian di dalamnya. Ketika keinginan dikendalikan, maka kebahagiaan yang sesungguhnya dapat dialami. Bahkan dalam melakukan derma, batas juga harus diberlakukan. Hadiah yang engkau berikan seharusnya tidak melewati kemampuan keuanganmu. Serta tidak juga dibawah kemampuanmu. Jika engkau melewati batasanmu, engkau akan menghadapi masalah keuangan nantinya. Jika engkau kikir, engkau akan menolak untuk berbagi pada mereka yang membutuhkan dari apa yang menjadi hak mereka. Selalulah ingat, amal atau derma seharusnya tidak hanya dibatasi oleh uang saja dan derma seharusnya tidak dilakukan secara sembarangan. Engkau harus berbagi sumber daya fisik, mental, dan spiritual dengan masyarakat yang membutuhkan dengan benar. Bantulah dengan spontan, sesuai dengan kebutuhan dari situasi yang ada. Mereka yang lapar harus diberikan makanan dan pakaian serta keringanan harus diberikan pada yang membutuhkan. Melalui berbagi dan pengorbanan seperti itu maka kesadaran akan Atma dapat dicapai. → Divine Discourse, May 14, 1984.

-BABA

Thought for the Day - 28th January 2019 (Monday)

People think that the more one has of worldly goods the happier one would be. But, as desires grow, disappointments and troubles also increase. There should be a limit to our desires, attachments and ambitions. The world is suffering from numerous troubles because people set no limits on their desires. It’s a mistake to seek an unending series of pleasures and comforts in life. Real happiness cannot be found that way. Without experiencing difficulties and troubles, how will you know the value of peace and pleasure? Life is a constant alternation between pleasure and pain, joy and sorrow, heat and cold. The sour rind that covers an orange protects the sweet juice inside. Hence look upon pain, anxiety and sorrow as the protecting cover for peace and bliss that you will experience later. Your mind is the cause of bondage and liberation as well.


Orang-orang berpikir bahwa semakin banyak seseorang memiliki barang-barang duniawi maka semakin bahagia hidupnya. Namun, semakin keinginan meningkat, kekecewaan, dan masalah juga akan meningkat. Seharusnya ada batasan untuk keinginan, keterikatan, serta ambisi kita. Dunia sedang menderita dari begitu banyak masalah karena manusia tidak memberikan batasan pada keinginannya. Merupakan sebuah kesalahan dengan mencari berbagai jenis kesenangan dan kenyamanan yang tidak berkesudahan dalam hidup ini. Kebahagiaan yang sesungguhnya tidak dapat ditemukan dengan cara itu. Tanpa mengalami kesulitan dan masalah, bagaimana engkau akan mengetahui nilai dari kedamaian dan kesenangan? Hidup adalah sebuah pergantian yang terjadi secara terus menerus diantara kesenangan dan kesedihan, suka cita, dan duka cita, panas dan dingin. Kulit asam yang menutupi jeruk adalah untuk melindungi rasa manis yang ada di dalamnya. Oleh karena itu lihatlah penderitaan, kecemasan, dan kesulitan sebagai pelindung dari kedamaian serta kebahagiaan yang akan engkau alami nantinya. Pikiranmu adalah penyebab dari perbudakan dan kebebasan. → Divine Discourse, May 14, 1984.

-BABA

Sunday, January 27, 2019

Thought for the Day - 27th January 2019 (Sunday)

God belongs to everyone and is not the sole preserve of anyone. There is only one God, He manifests Himself in many forms to please different people. Sadhana alone is not enough to understand this truth. The spirit of enquiry and discrimination is also necessary. Today, in pursuit of worldly interests and out of commercial considerations, what is essentially one is split and being regarded as many. In this process, true Divinity is lost; people fail to distinguish between what is true and what is false and are unable to grasp the true nature of the Divine. To fix this, firm faith is very essential. Be steadfast, true and pure. God's grace cannot be won if you waver from moment to moment, and if your heart is impure. God judges a devotee by the purity of the heart and not by the elaborate worship performed. If you do nothing, but just cleanse your heart, God will enter it and shine!


Tuhan adalah milik setiap orang dan bukan satu-satunya milik siapapun. Hanya ada satu Tuhan dan Tuhan yang mewujudkan diri-Nya dalam banyak wujud untuk menyenangkan orang-orang yang berbeda. Hanya Sadhana (latihan spiritual) saja tidaklah cukup untuk memahami kebenaran ini. Semangat rasa ingin tahu dan kemampuan membedakan juga diperlukan. Hari ini, dalam pengejaran kepentingan duniawi dan karena pertimbangan perdagangan, apa yang sebenarnya adalah satu terbelah serta dianggap menjadi banyak. Dalam proses ini, keilahian yang sesungguhnya telah hilang; manusia gagal untuk mengetahui diantara apa yang benar dan apa yang salah serta tidak mampu memahami sifat sesungguhnya dari Tuhan. Untuk memperbaiki hal ini, keyakinan yang kuat adalah sangat mendasar. Jadilah tabah, benar, dan suci. Rahmat Tuhan tidak bisa didapatkan jika engkau goyah dari satu waktu ke waktu yang lainnya, dan jika hatimu tidak murni. Tuhan menilai seorang bhakta dari kemurnian hatinya dan bukan dengan pelaksanaan ibadah yang rumit. Jika engkau tidak melakukan apapun juga, namun cukup bersihkan hatimu, Tuhan akan memasuki hatimu dan membuatnya bersinar! → Divine Discourse, Oct 11, 1986.

-BABA

Thought for the Day - 26th January 2019 (Saturday)

This is the age of science and technology. Its civilisation and culture are bound to the knowledge of the physical universe. What the students have to learn today, however, are the culture of the Soul, the broadening of the Spirit and purification of the Heart. This knowledge leads to the unfolding of the Spirit and the sublimation of life. Along with the development of the intellect, the blossoming of the heart should also be promoted. Only that education is complete which promotes the expansion of the hrudaya (the spiritual heart). It should serve to promote ethical values. Only then will it be possible to lead a well-regulated and disciplined life. The marks of true education are selflessness, humility and unostentatiousness. The edifice of right education rests on four pillars: Self-control, Self-support, Self-confidence and self-sacrifice.


Ini adalah zaman pengetahuan dan teknologi. Peradaban dan kebudayaannya terikat pada pengetahuan dari alam semesta yang bersifat fisik. Apa yang seharusnya para murid pelajari saat sekarang, bagaimanapun juga adalah pemeliharaan dari jiwa, memperluas spirit dan pemurnian hati. Pengetahuan ini menuntun pada pengungkapan sang jiwa dan penyucian kehidupan. Bersamaan dengan perkembangan intelek, pemekaran hati seharusnya juga dikembangkan. Hanya dengan demikian Pendidikan menjadi sempurna dimana meningkatkan perluasan dari hrudaya (hati spiritual). Ini seharusnya melayani untuk meningkatkan nilai-nilai etika. Hanya dengan demikian akan memungkinkan untuk menjalani hidup yang teratur dan disiplin. Tanda dari Pendidikan sejati adalah tidak mementingkan diri sendiri, kerendahan hati dan sederhana. Bangunan besar dari Pendidikan yang benar terletak pada empat pilar yaitu: pengendalian diri, kepercayaan diri, rela berkorban, dan dukungan diri. → Divine Discourse, Jun 23, 1988

-BABA

Friday, January 25, 2019

Thought for the Day - 25th January 2019 (Friday)

The listening or viewing of a musician singing in Delhi in thousands of homes simultaneously, is rendered possible by technology. But when we read in the Bhagavata that Sri Krishna appeared to the Gopikas, simultaneously in thousands of homes, questions are asked whether this is credible. If man-made gadgets (yantras) can be so powerful, why doubt the power of mantras? Sound waves are converted into electrical waves and transmitted through ether. The waves have a permanence in space and can be received by one who can tune in to the vibrations. Likewise, if the all-pervasive Divine is received in the radio receiver of the heart by tuning in with one-pointed devotion, the bliss of that experience will reveal Him to you. It is because the Gopikas were experts in this technology, they could experience the omnipresence of Krishna. Their hearts were filled with the form and name of Krishna who was their unfailing friend in all situations.


Mendengarkan atau menyaksikan para musisi menyanyi di Delhi dan bisa ditonton di ribuan rumah secara bersamaan, dimungkinkan terjadi karena adanya teknologi. Namun ketika kita membaca Bhagavata bahwa Sri Krishna muncul dihadapan para Gopika secara bersamaan di ribuan rumah, pertanyaan muncul apakah hal ini dapat dipercaya? Jika peralatan buatan manusia (gadget) dapat begitu hebat, mengapa meragukan kekuatan dari mantra? Gelombang suara dirubah menjadi gelombang listrik dan dipancarkan melalui udara. Gelombang memiliki keabadian dalam udara dan dapat diterima oleh seseorang yang dapat menyesuaikan dengan getaran yang ada. Sama halnya, jika Tuhan yang meresapi semuanya dapat diterima oleh pesawat radio penerima yaitu hati dengan menyesuaikan dengan bhakti yang terpusat, kebahagiaan yang dialami akan mengungkapkan Tuhan pada dirimu. Hanya karena para Gopika sangat ahli dalam cara atau teknologi ini, maka mereka dapat mengalami kehadiran Krishna yang ada dimana-mana. Hati mereka diisi dengan wujud dan nama Krishna yang merupakan sahabat mereka yang pasti dalam semua keadaan. - Divine Discourse, Oct 11, 1986.

-BABA

Thought for the Day - 24th January 2019 (Thursday)

Learn the lesson of self-reliance from the bird. A bird perched on the leafy twig of a tree is not affected by the wild swaying of the twig or the storm which might blow it off because it relies not on the twig or tree but on its own wings for its safety. It knows it can always fly away and save itself. The bird is always happy and carefree. Birds are not concerned about accumulating. They are content to make the best of the present, living on whatever they can get for the day. They do not worry about the careers of their children or the state of their bank accounts. They have no anxiety about the upkeep of houses or properties. Now think about what you have made of yourself? Sitting on the branch of the tree of life, are you not worried about every little tremor in life; consumed by it, and losing your peace of mind?


Belajarlah pelajaran tentang kepercayaan diri dari burung. Seekor burung bertengger di atas ranting yang rindang sebuah pohon namun burung itu tidak terpengaruh oleh ayunan ranting yang kuat atau badai yang menghembuskannya karena burung tidak tergantung pada ranting namun pada kedua sayapnya untuk keselamatannya. Burung itu tahu bahwa dia selalu dapat terbang dan menyelamatkan dirinya. Burung adalah selalu bahagia dan riang. Burung tidak khawatir tentang mengumpulkan sesuatu untuk hari esok. Burung-burung senang hati untuk membuat yang terbaik pada hari ini, hidup berdasarkan pada apapun yang mereka dapatkan hari ini. Mereka tidak cemas akan karir anak-anak mereka atau keadaan rekening mereka di bank. Mereka tidak memiliki kecemasan tentang pemeliharaan rumah atau properti lainnya. Sekarang lihatlah apa yang manusia telah lakukan pada dirinya sendiri? Duduk di atas cabang pohon kehidupan, manusia cemas akan setiap getaran kecil dalam hidup; manusia menjadi termakan oleh keadaan itu dan kehilangan kedamaian pikiran. - Divine Discourse, Jul 3, 1986

-BABA

Thought for the Day - 23rd January 2019 (Wednesday)

In Treta Yuga, Ravana's brother, Vibhishana, could not put up with the wrong deeds being done by Ravana. Opposing these actions, he tried to correct Ravana in all possible ways. But when his efforts failed and he had no alternative, he sought refuge at the feet of the embodiment of Dharma, Sri Rama. The prime offender was Ravana alone. But in the war with Rama, all the rakshasas (demons) who supported him or sided him, perished with him. They paid the penalty for their abetment of his crime. Whoever may commit an offence, whether a son, daughter, spouse, a relation or a close associate, one will be free from the taint of being accessory to the crime only if they oppose the wrong action and try to correct the offender genuinely. If on the contrary, they allow it or encourage it to be done, they will be guilty of abetment and experience the fruits of their action.


Di zaman Treta Yuga, saudara Ravana yang bernama Vibhishana, tidak tahan dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Ravana. Bertentangan dengan perbuatan-perbuatan itu, dia mencoba memperbaiki Ravana dengan berbagai macam cara. Namun ketika usahanya gagal dan dia tidak memiliki pilihan lainnya, dia mencari perlindungan di kaki dari perwujudan Dharma yaitu Sri Rama. Orang yang paling bersalah adalah Ravana saja. Namun dalam peperangan dengan Rama, semua para raksasa yang mendukung atau memihaknya, hancur bersamanya. Mereka harus membayar hukuman atas persekongkolan mereka dalam kejahatannya. Siapapun dapat melakukan sebuah pelanggaran, apakah seorang anak laki-laki, anak perempuan, pasangan, keluarga, atau sahabat dekat, seseorang akan bebas dari noda terlibat dalam persekongkolan pada kejahatan hanya jika mereka menentang perbuatan yang salah dan mencoba untuk memperbaiki pelaku kesalahan dengan benar. Jika sebaliknya, mereka mengizinkan perbuatan salah itu atau malah mendorong untuk dilakukan maka mereka akan bersalah karena penghasutan dan mengalami buah dari perbuatan mereka. - Divine Discourse, Oct 11, 1986

-BABA

Thought for the Day - 22nd January 2019 (Tuesday)

The name ‘Rama’ is made up of three root letters (bijaksharas) associated with Fire, Sun and Moon. Symbolically, this means that by uttering the name of Rama, the fire principle will burn away one's sins, the sun principle will dispel the darkness of ignorance, and the moon principle will cool the fevers arising out of desires. Install the name firmly in your heart and sing with fervour. Do not treat community bhajans as a pastime. Singing should be vibrant, soulful, combining feeling (bhava), melody (raga) and rhythm (tala). It should not be dull, mechanical or uninspiring. When you join tens and hundreds in singing bhajans, sing full-throated, with purity of feeling and without any bother. Be fully absorbed in the devotional process and experience ecstasy of that experience. Picture the Lord in your heart and utter His Name - you will then feel the ecstasy and you will also evoke joy in others. When everyone sings with such unity, Divinity can be experienced.


Nama ‘Rama’ disusun dari tiga huruf dasar (bijaksharas) dihubungkan dengan api, matahari, dan bulan. Secara simbolis, ini mengandung makna bahwa dengan mengucapkan nama Rama, prinsip dari api akan membakar dosa seseorang, prinsip matahari akan menghalau kegelapan dari kebodohan, dan prinsip bulan akan menyejukkan demam dari tingginya keinginan. Semayamkan nama Rama dengan mantap di hatimu dan nyanyikan dengan semangat. Jangan melihat bhajan kelompok hanya sebagai hiburan semata. Menyanyikan bhajan seharusnya bersemangat, penuh perasaan, dan menggabungkan perasaan (bhava), melodi (raga), dan ketukan (tala). Bhajan seharusnya tidak membosankan, bersifat rutinitas atau tidak membangkitkan semangat. Ketika engkau menghadiri bhajan dengan puluhan dan ratusan orang, menyanyilah dengan semangat dengan kesucian perasaan dan tanpa adanya kesulitan. Terlibat sepenuhnya dalam proses bhakti dan mengalami kebahagiaan dari pengalaman itu. Lukis Tuhan di dalam hatimu dan ucapkan nama-Nya – engkau kemudian akan merasakan kebahagiaan dan engkau juga akan membangkitkan suka cita pada yang lainnya. Ketika setiap orang menyanyi dengan kesatuan seperti itu, keilahian dapat dialami. -Divine Discourse, Nov 8, 1986

-BABA

Thought for the Day - 21st January 2019 (Monday)

Learn to live in harmony and unity. The village (society) is to the villagers (members of the society) what the body is to the individual. Every organ in the body functions in cooperation with every other part. If the foot steps on a thorn, the eye feels the pain and sheds tears. If the eye notices a thorn or stone on the road, it warns the foot to avoid it. Villagers should develop the same sense of unity and share their joys and troubles as one organic body. There is nothing you cannot achieve with unity as your strength. With purity and unity, you can unravel your Divinity and develop genuine devotion to God. You should fill your hearts with love and make your lives holy and purposeful. When everyone works in this spirit of unity and charity, the village would become a model for all the rest.


Belajarlah untuk hidup dalam kerukunan dan persatuan. Desa (masyarakat) adalah untuk penduduk desa (anggota masyarakat) seperti halnya tubuh adalah untuk individual. Setiap organ dalam tubuh berfungsi dalam kerjasama dengan setiap bagian yang lainnya. Jika kaki menginjak sebuah duri, mata merasakan rasa sakit dan meneteskan air mata. Jika mata melihat duri atau batu di jalan, mata memperingatkan kaki untuk menghindarinya. Penduduk desa seharusnya mengembangkan perasaan persatuan yang sama dan berbagi suka cita serta masalah yang ada sebagai sebuah tubuh yang hidup. Tidak ada yang tidak dapat engkau raih dengan persatuan sebagai kekuatanmu. Dengan kesucian dan persatuan, engkau dapat mengungkapkan keilahianmu dan mengembangkan bhakti yang sejati pada Tuhan. Engkau seharusnya mengisi hatimu dengan kasih dan membuat hidupmu suci dan penuh tujuan. Ketika setiap orang bekerja dalam semangat persatuan dan kemurahan hati, desa akan menjadi model bagi yang lainnya. - Divine Discourse, May 22, 1986

-BABA

Wednesday, January 23, 2019

Thought for the Day - 20th January 2019 (Sunday)

In our daily experiences, there are a number of instances which reveal the existence of Divinity in every person. Consider a cinema; on the screen we see rivers in flood engulfing all the surrounding land. Even though the scene is filled with flood waters the screen does not get wet by even a drop of water. At another time, on the same screen we see volcanoes erupting with tongues of flame, but the screen is not burnt. The screen which provides the basis for all these pictures is not affected by any of them. Likewise in the life of man, good or bad, joy or sorrow, birth or death, will be coming and going, but they do not affect the Atma In the cinema of life, the screen is the Atma It is Shiva, it is Sankara, it is Divinity. When one understands this principle, one will be able to understand, enjoy and find fulfilment in life!


Dalam latihan kita setiap harinya, ada beberapa contoh yang mengungkapkan keberadaan Tuhan dalam diri setiap orang. Anggaplah sebuah bioskop; di layar kita bisa melihat sungai yang banjir menenggelamkan semua daratan. Walaupun layar dipenuhi dengan air banjir namun layar tidak menjadi basah walaupun hanya dengan setetes air. Pada keadaan yang lain, di layar kita bisa menyaksikan gunung api yang meletus dengan semburan lahar, namun layar tidaklah terbakar. Layar yang menjadi dasar dari semua bentuk gambar yang muncul tidaklah terpengaruh dengan semuanya itu. Sama halnya dalam hidup manusia, baik atau buruk, suka cita atau duka cita, kelahiran atau kematian, datang dan pergi, namun semuanya ini tidak mempengaruhi Atma. Di dalam bioskop kehidupan, layar itu adalah Atma – ini adalah Shiva, ini adalah Sankara, ini adalah Tuhan. Ketika seseorang memahami prinsip dasar ini, seseorang akan mampu untuk memahami, menikmati dan menemukan pemenuhan dalam hidup! Divine Discourse, Feb 17, 1985

-BABA

Thought for the Day - 19th January 2019 (Saturday)

The Peace or distraction, calm or anxiety that you experience today is the product of your own thoughts and deeds, and your attitude or behaviour towards yourself and others. Many take up the process of regular meditation on the name and form of God, and are able to quieten the agitations of the heart and open the way to inner realisation. Dhyana should not be wavering from one ideal to another; nor should it be reduced to a mere mechanical textbook formula, or a rigid time-table of breathing or meaningless staring at the tip of the nose! It is a rigorous discipline of the senses, the nervous current, and the wings of imagination. That is why it is aptly said, Dhyana is the valley of peace that lies on the other side of a huge mountain range of peaks called the six foes - lust, anger, greed, attachment, pride and envy. You must climb over the range and reach the valley beyond.


Kedamaian atau kebingungan, ketenangan atau kecemasan yang engkau alami hari ini adalah hasil dari pikiran dan perbuatanmu sendiri. Hal ini juga tergantung dari sikap atau tingkah lakumu pada dirimu sendiri dan yang lainnya. Banyak yang menjalani proses meditasi secara teratur pada nama dan wujud Tuhan, yang memungkinkan bagi mereka untuk mampu menenangkan gejolak hati dan membuka jalan penerangan dalam diri. Dhyana seharusnya tidak goyah dari satu ideal ke ideal yang lainnya; dan juga tidak hanya bersifat kaku pada apa yang ada di buku saja, atau mengikuti jadwal pernafasan yang kaku dan tidak bermanfaat dengan menatap ujung hidung! Ini adalah disiplin indera yang ketat, saluran rasa gugup, dan sayap-sayap imajinasi. Itulah sebabnya dikatakan dengan benar, Dhyana adalah  lembah kedamaian yang terletak di sisi lain dari gugusan puncak gunung besar yang disebut dengan enam mush – nafsu, amarah, tamak, keterikatan, kesombongan, dan iri hati. Engkau harus mendaki melewati gugusan gunung itu dan mencapai lembah kedamaian. - Divine Discourse, Jun 9, 1970

-BABA

Friday, January 18, 2019

Thought for the Day - 18th January 2019 (Friday)

There is hardly anyone who is free from the vice of jealousy. Jealousy may arise even over very trivial matters and out of jealousy, hatred arises. To get rid of hatred one must constantly practise love. Where there is love, there will be no room for jealousy and hatred and where there is no jealousy and hatred, there is Ananda (real joy). This joy reveals itself in Beauty. "A thing of beauty is a joy for ever." If you see beauty in any thing, you will derive joy from it. But what is this beauty? Is the world beautiful? Are materials and objects beautiful? But these are temporary and their beauty too can only be temporary. Only God is permanent, so God alone can be said to be beautiful.The devotee's primary duty is to seek the nectar of bliss that is to be got from the contemplation of the beauty of God. The means of experiencing such joy is to cultivate good qualities and get rid of bad traits.


Sangat susah bagi siapapun juga untuk bebas dari sifat jahat berupa kecemburuan. Kecemburuan dapat muncul bahkan pada hal yang bersifat sepele dan mengarah pada kebencian. Untuk melepaskan kebencian maka seseorang secara terus menerus harus mempraktikkan cinta kasih. Dimana ada cinta kasih, disana tidak ada ruang bagi cemburu dan kebencian, dan dimana tidak ada kecemburuan serta kebencian, disana akan ada Ananda (suka cita yang sesungguhnya). Suka cita ini sendiri mengungkapkan dirinya dalam keindahan. "Sesuatu yang indah adalah sebuah suka cita selamanya." Namun apa itu keindahan? Apakah dunia indah? Apakah material dan objek adalah indah? Semuanya ini adalah bersifat sementara dan keindahannya juga hanya bersifat sementara juga. Hanya Tuhan yang bersifat kekal, jadi hanya Tuhan saja dikatakan indah. Tugas utama bhakta adalah mencari nektar keindahan yang bisa didapat dari kontemplasi pada keindahan Tuhan. Sarana untuk mengalami suka cita seperti itu adalah dengan meningkatkan sifat-sifat yang baik serta melepaskan pembawaan yang buruk. [Divine Discourse, Sep 6, 1984]

-BABA

Thursday, January 17, 2019

Thought for the Day - 17th January 2019 (Thursday)

If there is a boil on the body, we apply some ointment on it and cover it with a bandage until it completely heals. If you do not apply the ointment and tie the bandage around this boil, it is likely to become septic and cause great harm later on. Now and then we will have to clean it with pure water, apply the ointment again, and put on a new bandage. In the same way, in our life too there is this boil which has erupted in our body in the form of this feeling, 'I, I, I'. If you want to really cure this boil of this 'I', you must wash it every day with the waters of love, apply the ointment of faith on it and tie the bandage of humility around it. The bandage of humility, the ointment of faith, and the waters of love will be able to cure this disease that has erupted with this boil of 'I'.


Jika ada sebuah bisul pada tubuh, kita akan menaruh obat salep di atasnya serta menutupnya dengan perban sampai benar-benar sembuh. Jika engkau tidak memberikannya obat dan menutupinya dengan perban, maka bisul ini kemungkinan besar akan menjadi infeksi dan menyebabkan rasa sakit yang tidak tertahankan nantinya. Kadang-kadang kita harus membersihkan bisul ini dengan air bersih dan menaruh obat lagi diatasnya serta menutupinya dengan perban baru. Dalam hal yang sama, hidup kita juga memiliki sebuah bisul yang telah meletus di tubuh kita dalam bentuk perasaan ini, 'aku, aku, aku'. Jika engkau benar-benar ingin menyembuhkan bisul ini dari ‘keakuan’ ini, engkau harus membersihkannya setiap hari dengan air cinta kasih, menaruhkannya obat keyakinan serta menutupinya dengan perban kerendahan hati. Perban kerendahan hati, obat keyakinan dan air cinta kasih akan mampu menyembuhkan penyakit bisul ini yang telah pecah dengan dari ‘aku’. - Divine Discourse, Feb 17, 1985

-BABA

Thought for the Day - 16th January 2019 (Wednesday)

Jealousy manifests itself in many forms, including the form of finding fault even in the Divine. People are jealous if someone earned a better name than themselves. Some are jealous of those who are more good looking than themselves. Students envy others who secure more marks in the examination. A jealous person cannot bear to see the other person who is better placed, more beautiful or more prosperous. This is a sign of human weakness. Once jealousy takes root in your mind, in due course, it will destroy all your other achievements. It promotes demonic qualities, dehumanises an individual and reduces one to the condition of an animal. Because of its egregious evil tendency, jealousy should be rooted out from the very beginning. You must learn to enjoy another's prosperity and happiness. This is a great virtue.


Kecemburuan mewujudkan dirinya dalam banyak bentuk, termasuk dalam wujud mencari kesalahan bahkan pada Tuhan. Orang-orang merasa cemburu jika seseorang mendapatkan nama lebih baik daripada dirinya sendiri. Beberapa yang lainnya cemburu pada mereka yang memiliki penampilan yang lebih baik daripada dirinya sendiri. Para pelajar merasa iri hati pada mereka yang mendapatkan nilai lebih bagus dalam ujian. Seorang yang cemburu tidak bisa tahan melihat orang lain di tempat yang lebih baik, lebih cantik, atau lebih sejahtera. Ini adalah tanda dari kelemahan manusia. Sekali rasa cemburu mengakar di pikiranmu, maka menunggu waktu saja akan menghancurkan semua pencapaianmu. Sifat cemburu meningkatkan sifat iblis, individu yang tidak manusiawi serta menurunkan seseorang pada sifat binatang. Karena kecenderungan jahat yang mengerikan ini, rasa cemburu seharusnya dicabut sampai akar-akarnya mulai dari sejak awal. Engkau harus belajar untuk bahagia dengan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Ini adalah sebuah kebaikan yang tertinggi. (Divine Discourse, Sep 6, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 15th January 2019 (Tuesday)

On Sankranti, it is a custom to offer a mixture of jaggery and sesame seeds (til) to all. Jaggery is sweet and is a symbol of love. Til is also known as sneha, which means friendship. Therefore, the offer of the jaggery-til mixture means offering ‘love surcharged with friendliness’ to people. The message of Sankranti is the promotion of love among one's kith and kin and friends by all of them coming together to celebrate this festival. Develop harmony towards everyone. Much of what passes for friendship today consists in associating with persons when they are affluent and benefiting from their wealth. When they are in distress, the same persons will not even look at them. This is not true friendship. True friendship must emanate from the heart and should remain unaffected by weal or woe. In fact, God alone can be an unfailing friend in all situations. He is with you, above you, below you, beside you and around you.


Pada perayaan Sankranti, ada sebuah adat untuk mempersembahkan campuran dari gula merah dan biji wijen (til) kepada semuanya. Gula merah adalah manis dan simbol dari cinta kasih. Til juga dikenal dengan nama sneha, yang berarti persahabatan. Maka dari itu, persembahan berupa campuran dari gula merah dan biji wijen mengandung arti ‘cinta kasih diliputi dengan keramahan’ kepada orang-orang. Pesan dari Sankranti adalah meningkatkan cinta kasih diantara para sahabat dan teman dimana mereka semua akan datang bersama-sama untuk merayakan perayaan ini. Kembangkan kerukunan kepada setiap orang. Banyak yang menganggap persahabatan pada saat sekarang hanya berkaitan dalam pergaulan dengan orang-orang ketika mereka sejahtera dan mendapatkan manfaat dari kekayaan mereka. Ketika mereka dalam kesulitan, orang-orang yang sama tidak akan bahkan melihat mereka. Hal ini bukanlah persahabatan yang sejati. Persahabatan yang sejati harus muncul dari hati dan seharusnya tetap tidak terpengaruh dari untung dari rugi. Sejatinya, hanya Tuhan yang bisa menjadi sahabat yang selalu ada dalam keadaan apapun. Tuhan adalah bersamamu, diatasmu, dibawahmu, disampingmu, dan disekitarmu. (Divine Discourse, Jan 15, 1992)

-BABA

Monday, January 14, 2019

Thought for the Day - 14th January 2019 (Monday)

Makara Sankramana marks the movement of Sun from the south to the north. The northward movement of the Sun is considered highly significant, both spiritually and scientifically. The significant inner spiritual meaning of the Sun's northward journey must be properly understood. North is represented by Himachala (the Himalayas). Hima means snow. It is pure, untainted and extremely cool. Achala means that which is steady and unshakeable. Himachala does not refer to the physical Himalayan region. It represents that which is cool, peaceful and steady. All these endows one with the quality of perfect peace (Prasanthi). From today the Sun is moving towards such a state. The Sun symbolizes the vision of man. The northward movement of the Sun is a call to human beings to turn their vision towards that which is cool, peaceful and unchanging. The lesson you must learn is that you should direct your vision inwards.


Makara Sankramana menandakan pergerakan matahari dari selatan ke utara. Pergerakan ke utara dari matahari dianggap sebagai hal yang sangat penting secara spiritual dan ilmiah. Makna spiritual yang terkandung dalam pergerakan matahari ke utara harus dipahami dengan benar. Utara dilambangkan dengan Himachala. Hima berarti salju. Salju bersifat murni, bersih, dan sangat dingin sekali. Achala berarti yang bersifat teguh dan tidak tergoyahkan. Himachala tidak mengacu pada daerah tempat Himalaya berada. Ini melambangkan yang bersifat sejuk, penuh kedamaian, dan teguh. Semua kualitas ini memberikan seseorang dengan kualitas kedamaian yang sempurna (Prasanthi). Mulai hari ini matahari sedang bergerak kepada keadaan yang seperti itu. Matahari adalah simbol dari pandangan manusia. Pergerakan ke arah utara adalah sebuah panggilan bagi manusia untuk mengarahkan pandangannya pada yang bersifat sejuk, penuh kedamaian dan tidak berubah. Pelajaran yang harus engkau pelajari adalah bahwa engkau seharusnya mengarahkan pandanganmu ke dalam diri. (Divine Discourse, Jan 14, 1994)

-BABA

Thought for the Day - 13th January 2019 (Sunday)

Youth today are in great need of good company. By associating with people who use bad language and indulge in unholy deeds, youth take to bad ways. You should totally eschew bad company of every kind. You need a lamp to find a way through a dark jungle. Likewise, in the jungle of life, you need the light and guidance of good individuals to keep you company on the right path and to lead you to the right goal. Even a bad person, in association with the good, gets reformed. But a good person, falling into bad company, becomes bad. If you add one litre of milk to ten litres of water, milk is so diluted that it becomes valueless. But one litre of water added to ten litres of milk acquires higher value. When you cultivate friendship, ensure that you join a group of those who are good in their speech, behaviour and actions. Maintain only normal relations with others.


Para pemuda hari ini sangat membutuhkan pergaulan yang baik. Dengan memiliki pergaulan dengan mereka yang menggunakan Bahasa yang buruk dan melibatkan diri dalam perbuatan yang keterlaluan, pemuda mengambil jalan yang salah. Engkau seharusnya sepenuhnya melepaskan diri dari pergaulan yang buruk dalam bentuk apapun juga. Engkau membutuhkan sebuah lentera untuk menemukan jalan dalam hutan yang gelap. Sama halnya, dalam hutan kehidupan engkau membutuhkan lentera dan tuntunan dari orang-orang yang baik untuk menemanimu dalam jalan yang benar dan mengarahkanmu pada tujuan yang benar. Bahkan seorang yang tidak baik, jika bergaul dengan orang yang baik, akan mengalami perubahan. Namun seseorang yang baik, jatuh dalam pergaulan yang buruk, akan menjadi tidak baik. Jika engkau menambahkan satu liter susu pada sepuluh liter air, susu menjadi sangat cair sehingga susu menjadi tidak memiliki nilai. Namun satu liter air ditambahkan dengan sepuluh liter susu akan memiliki nilai yang lebih besar. Ketika engkau meningkatkan persahabatan, pastikan bahwa engkau bergabung dalam sebuah kelompok yang baik dalam perkataan, tingkah laku, dan tindakan mereka. Jaga hanya hubungan normal dengan yang lainnya. (Divine Discourse, Feb 19, 1987)

-BABA

Saturday, January 12, 2019

Thought for the Day - 12th January 2019 (Saturday)

The great spiritual masters like Ramakrishna Paramahamsa, Vivekananda, Tulsidas, and so on led supremely contented lives. There were numerous occasions when they would not even get food to eat. They regarded such occasions as invitations by God to observe fasting (upavasam); for them this was food for their Spirit. Through contemplation of God, they enjoyed such fasts. Whenever they were entertained to a rich feast, they considered that too as a gift from God. Whether it was a fast or feast, they looked upon both with the same sense of contented acceptance. They were not depressed by the former or elated by the latter. ‘Equal-mindedness is yoga’ (Samatvam yogamuchyate), says the Gita. The ancient sages practised this virtue. Equal-mindedness is the index of contentment. And this should be taught to our young people and cultivated by them. One who has achieved contentment can enjoy the bliss of Divine grace.


Para master spiritual yang agung seperti Ramakrishna Paramahamsa, Vivekananda, Tulsidas, dan yang lainnya memberikan teladan kehidupan yang penuh dengan kepuasan. Ada banyak kejadian ketika mereka bahkan tidak memiliki makanan untuk dimakan. Mereka menganggap kejadian tersebut sebagai ajakan dari Tuhan untuk melakukan puasa; bagi mereka ini adalah makanan bagi jiwa mereka. Melalui kontemplasi pada Tuhan, mereka menikmati puasa yang dijalankan. Kapanpun mereka dijamu dengan makanan yang enak, mereka menganggap itu juga sebagai karunia dari Tuhan. Apakah itu adalah makan atau puasa, mereka melihatnya dengan perasaan yang sama yaitu penerimaan dengan kepuasaan yang sama. Mereka tidak menjadi sedih dengan sebelumnya atau bergembira dengan setelahnya. ‘Pikiran yang sama dan seimbang adalah yoga’ (Samatvam yogamuchyate), dijelaskan dalam Gita. Para guru suci zaman dahulu menjalankan kualitas luhur ini. Pikiran yang sama adalah petunjuk dari kepuasan. Hal ini seharusnya diajarkan pada anak-anak muda kita dan ditingkatkan oleh mereka. Seseorang yang telah mencapai tingkat kepuasan dapat menikmati kebahagiaan dari rahmat Tuhan. (Divine Discourse, Feb 19, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 11th January 2019 (Friday)

The observance of morality in daily life, the divinisation of all actions and thoughts, and adherence to ideals - all these constitute culture. Bharatiya Samskriti (culture of Bharat) is a combination of purity, divinity, sublimity and beauty. This combination is best reflected in sports and games. Although there may be differences among nations in their food and recreational habits, the spirit of harmony and unity displayed in sports is a gratifying example to all. It is a distinctive quality of sports that differences are forgotten and persons engage in games in a divine spirit of friendliness and camaraderie. Sports help the players not only to improve their health but also to experience joy. Students must not be content with realising these benefits alone. Equally essential is to promote purity of the mind and develop large heartedness. True humanness blossoms only when your body, mind and spirit are developed harmoniously. Reflect the enthusiasm and effort you display in sports in the spheres of morality and spirituality as well.


Ketaatan dalam moralitas di kehidupan sehari-hari, memurnikan semua perbuatan dan pikiran dan berpegang teguh pada ideal – semuanya ini yang membangun kebudayaan. Bharatiya Samskriti (kebudayaan Bharat) adalah sebuah gabungan dari kesucian, keilahian, keagungan, dan keindahan. Kombinasi ini dipantulkan dengan sangat baik dalam olahraga dan permainan. Walaupun ada perbedaan diantara bangsa dalam makanan mereka dan kebiasaan rekreasi mereka, semangat keharmonisan dan persatuan ditunjukkan dalam olahraga adalah contoh yang memuaskan bagi semuanya. Ini merupakan kualitas tersendiri dari olahraga dimana perbedaan dilupakan dan mereka yang terlibat dalam olahraga dalam semangat keilahian dari persahabatan. Olahraga membantu pemain tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan mereka namun juga untuk mengalami suka cita. Para pelajar seharusnya tidak boleh puas dengan menyadari manfaat ini sendiri. Sama halnya mendasar untuk meningkatkan kesucian pikiran dan mengembangkan hati yang luas. Kemanusiaan yang sejati akan mekar hanya ketika tubuh, pikiran, dan jiwamu dikembangkan secara harmonis. Pantulan semangat dan usaha yang engkau lakukan dalam olahraga juga tercermin dalam moralitas dan spiritual. (Divine Discourse, Jan 14, 1990)

-BABA

Thought for the Day - 10th January 2019 (Thursday)

Forbearance endows you with strength to face the slings and arrows of outrageous fortune. A person without forbearance easily succumbs to reverses and difficulties. Together with truth and forbearance, you must cultivate freedom from jealousy too. Envy is like the pest that attacks the root of a tree. Envy can destroy your entire life. We enjoy many things in life - knowledge, wealth, position, power, etc. But if the virus of envy enters our minds, it will pollute everything. Never give place to envy even in the smallest matter. If a fellow-student scores more marks than you, do not feel envious. If others do better than you, feel happy for them, rather than allow yourself to be consumed by envy. If someone is better dressed than yourself or is more wealthy, you should feel that they are enjoying what they have and you should be content and happy with what you have. To be free from envy is truly divine.


Ketabahan memberkatimu dengan kekuatan untuk menghadapi berbagai bentuk kehidupan yang engkau lewati. Seseorang yang tanpa ketabahan akan dengan mudah menyerah pada kekalahan serta kesulitan. Bersamaan dengan kebenaran dan ketabahan, engkau harus meningkatkan kebebasan dari rasa cemburu juga. Iri hati adalah seperti hama yang menyerang akar pohon. Iri hati dapat menghancurkan seluruh hidupmu. Kita menikmati banyak hal dalam hidup – pengetahuan, kekayaan, jabatan, kekuasaan, dsb. Namun jika virus iri hati memasuki pikiran kita, maka akan mencemari segalanya. Jangan pernah memberikan ruang untuk iri hati bahkan untuk hal yang paling kecil sekalipun. Jika nilai dari temanmu lebih baik darimu, jangan merasa dengki. Jika yang lain melakukan hal yang lebih baik daripada dirimu, rasakan kebahagiaan untuk mereka, daripada mengizinkan dirimu dimakan oleh rasa iri hati. Jika seseorang berpakaian lebih baik dari dirimu atau lebih sejahtera, engkau seharusnya merasa bahwa mereka sedang menikmati apa yang mereka miliki dan engkau seharusnya merasa senang dan bahagia dengan apa yang engkau miliki. Menjadi bebas dari iri hati sesungguhnya adalah keilahian. (Divine Discourse, Dec 30, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 9th January 2019 (Wednesday)

Dear Balvikas Gurus! When you teach the children, you must remember that you are engaged in a noble task for the sake of the children entrusted to your care. You must feel that you are educating yourselves when you are educating the children. For instance, when you impart some knowledge to the children, your own understanding of the subject improves. Even when you study books for teaching the children, you also derive joy from the study. Hence you must always have the feeling that whatever you do for others is in reality a service done to the Divine that resides in every one. When teachers do their duty in this spirit, they will be imbuing the children with the spirit of Universal love. Remember that the children have tender hearts and innocent minds. Only if you fill their hearts with love will the world have genuine peace.


Para Balvikas Guru yang terkasih! Ketika engkau mengajarkan anak-anak, engkau harus ingat bahwa engkau terlibat dalam tugas yang mulia untuk kepentingan anak-anak yang dipercayakan di bawah pengasuhanmu. Engkau harus merasa bahwa engkau sedang mendidik dirimu sendiri ketika engkau sedang mendidik anak-anak. Sebagai contoh, ketika engkau menanamkan beberapa pengetahuan kepada anak-anak, maka pemahamanmu sendiri tentang materi itu akan meningkat. Bahkan ketika engkau mempelajari buku-buku untuk mengajar anak-anak, engkau juga mendapatkan suka cita dari pembelajaran itu. Oleh karena itu, engkau harus selalu memiliki perasaan bahwa apapun yang engkau lakukan bagi yang lainnya sesungguhnya adalah sebuah pelayanan yang dilakukan untuk Tuhan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Ketika guru-guru menjalankan kewajiban mereka dengan semangat ini, maka mereka akan mengilhami anak-anak dengan semangat kasih yang Universal. Ingatlah bahwa anak-anak memiliki hati yang polos dan pikiran yang tidak berdosa. Hanya jika engkau mengisi hati mereka dengan kasih maka dunia akan memiliki kedamaian yang sejati. (Divine Discourse, Dec 30, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 8th January 2019 (Tuesday)

In order to live up to the high standards of morality which Indian culture exhorts, you must cultivate love, nonviolence, fortitude and equanimity. The last three guard and foster the first. Many people have succeeded with the help of the latter three qualities, to get their minds established in Universal love! Indeed, quite a large number of spiritual aspirants have also given up their spiritual ascent midway because they lose confidence in their true selves. The first faint whisper of doubt disheartens them and they slide back into a life of sensual satisfactions. They lose faith in God who is the Embodiment of Love and is their real sustenance. Sadhana alone can steel people to forge ahead on the spiritual path. The wise are buoyed up by the bliss of their genuine awareness. Hang on, persist in your sadhana, have faith in yourself and derive strength and joy only from God!


Untuk memenuhi standar moralitas yang tinggi yang dianjurkan budaya India, engkau harus memupuk cinta-kasih, tanpa-kekerasan, ketabahan, dan keseimbangan batin. Tiga penjaga terakhir dan membina yang pertama. Banyak orang telah berhasil dengan bantuan tiga kualitas terakhir, untuk membuat pikiran mereka mapan dalam cinta Universal! Memang, cukup banyak calon spiritual yang juga telah meninggalkan pendakian spiritual mereka di tengah jalan karena mereka kehilangan kepercayaan pada diri sejati mereka. Bisikan samar pertama dari keraguan membuat mereka kecewa dan mereka kembali ke kehidupan kepuasan sensual. Mereka kehilangan iman kepada Tuhan yang merupakan Perwujudan Cinta dan merupakan rezeki nyata mereka. Sadhana sendiri dapat menguatkan orang untuk terus maju di jalan spiritual. Orang bijak didukung oleh kebahagiaan kesadaran sejati mereka. Bertahanlah, bertahanlah dalam sadhanamu, percayalah pada diri sendiri dan dapatkan kekuatan dan sukacita hanya dari Tuhan! (Divine Discourse, Jun 6, 1978) (SSS Vol 14, Ch 4)

-BABA

Thought for the Day - 7th January 2019 (Monday)

Balvikas Gurus should keep their emotions under control and not exhibit depression, dejection or wavering will. Your quality of work is more important than quantity, so don’t undertake to do more than what you can render satisfactorily. Let your own conscience be the judge and decide whether you discharge your duty sufficiently to the children and society. You may face various problems while conducting the classes - solve them with discrimination and deep love. Meet these problems with a desire to serve the children better and you will be able to overcome them easily. Gradually you will realise that Balvikas is devised not merely for education of children but also for gurus. Balvikas duties will elevate and sublimate the guru’s thoughts and emotions far better than any other spiritual discipline. Remember that as gurus, you too have a guru guiding you and overseeing your Seva. Gurus are pupils too, learning lessons of equality, equanimity and selfless love with your Omniscient Guru.


Para guru Balvikas seharusnya menjaga emosi mereka terkendali dan tidak menunjukkan depresi, kesedihan, atau kegoyahan. Kualitas kerjamu adalah lebih penting daripada kuantitas, jadi jangan melakukan lebih daripada apa yang dapat engkau berikan dengan memuaskan. Biarkan suara hatimu menilai dan memutuskan apakah engkau menjalankan kewajibanmu dengan memadai untuk anak-anak dan masyarakat. Engkau mungkin menghadapi berbagai jenis masalah ketika sedang mengajar di kelas – pecahkan masalah itu dengan kemampuan membedakan dan kembangkan cinta kasih. Hadapi masalah-masalah dengan sebuah keinginan untuk melayani anak-anak dengan lebih baik dan engkau akan mampu mengatasi semuanya itu dengan mudah. Secara perlahan engkau akan menyadari bahwa Balvikas dirancang tidak hanya untuk Pendidikan bagi anak-anak namun juga untuk para guru. Kewajiban dalam Balvikas akan mengangkat dan menghaluskan pikiran serta emosi dari para guru jauh lebih baik daripada disiplin spiritual yang lainnya. Ingatlah bahwa sebagai guru, engkau juga memiliki seorang Guru yang menuntunmu dan mengawasi Sevamu. Para guru adalah murid juga, belajar pelajaran kesetaraan, ketenangan dan kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri dengan Guru yang Maha tahu. (Divine Discourse, Jun 6, 1978)

-BABA

Thought for the Day - 6th January 2019 (Sunday)

The Vedas teach that you should adore and worship God in gratitude for His benedictions. The Bible teaches that one should pray for peace and practice charity. Quran impresses upon you to show mercy to the suffering and to surrender your will to the All High. Buddhist texts teach the lesson of detachment and sense-control. The Zend-Avesta exhorts you to get rid of evil propensities and shine in your own innate glory. Hence all of you must realise that the teachings of all religions are One and that prayer in any language and addressed to any Name reaches the same God. Understand that God can be invoked through a picture or an idol to fulfil your sincere desire, provided it is helpful to others as well as to yourself. The Balvikas Guru has to imbibe all these qualities and then teach them to the Balvikas children by precept and example.



Veda mengajarkan bahwa engkau harus memuja dan menyembah Tuhan dengan rasa terima kasih atas berkat-Nya. Alkitab mengajarkan bahwa seseorang harus berdoa untuk kedamaian dan mempraktikkan amal. Quran menekankan kepadamu untuk menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang menderita dan untuk memasrahkan keinginanmu kepada Yang Maha Besar. Teks-teks Buddhis mengajarkan pelajaran tanpa kemelekatan dan pengendalian indera. Zend-Avesta menganjurkan kepadamu untuk menyingkirkan kecenderungan buruk dan memancarkan kemuliaan bawaanmu sendiri. Oleh karena itu, kalian semua harus menyadari bahwa ajaran semua agama adalah Satu dan bahwa doa dalam bahasa apa pun dan ditujukan kepada Nama apa pun mencapai Tuhan yang sama. Pahamilah bahwa Tuhan dapat dipanggil melalui gambar atau patung untuk memenuhi keinginanmu yang tulus, asalkan itu membantu orang lain dan dirimu sendiri. Guru Balvikas harus menyerap semua sifat-sifat ini dan kemudian mengajarkannya kepada anak-anak Balvikas dengan pedoman dan contoh. (Divine Discourse, Jun 6, 1978) (SSS Vol 14, Ch 3)

-BABA