Tuesday, December 25, 2018

Thought for the Day - 25th December 2018 (Tuesday)

There was a huge halo of splendour illuminating the sky over the village when Christ was born. This meant that He, who was to overcome the darkness of evil and ignorance had taken birth, that He will spread the Light of Love in the hearts of all men and women. When you celebrate the birth of Christ, resolve to lead your life performing loving service to the weak, helpless, distressed and disconsolate. Cultivate tolerance, forbearance, charity and magnanimity. Hold dear the ideals Jesus taught and practice them in your daily lives. However, the ways in which Christmas is celebrated now shows how far people have moved away from these noble ideals! The midnight hour is revered, illumination is arranged, the Christmas tree is set up, but then, do you spend the rest of the night filling yourself with Divine Bliss? Purify your hearts, perform holy activities, and be loving towards everyone. That is the best way of celebrating Christmas.

Ada sebuah lingkaran cahaya yang sangat besar yang menerangi langit saat Jesus lahir. Ini berarti bahwa Beliau yang datang untuk mengatasi kegelapan kejahatan dan kebodohan telah lahir, bahwa Beliau akan menyebarkan cahaya kasih di hati semua manusia. Ketika engkau merayakan kelahiran Jesus, ambillah ketetapan hati untuk mengarahkan hidupmu dalam melakukan pelayanan kasih kepada mereka yang lemah, tidak berdaya, menderita serta dengan kemurahan hati. Peganglah ideal yang Jesus ajarkan dan jalankan di alam kehidupanmu sehari-hari. Bagaimanapun cara Natal dirayakan sekarang memperlihatkan berapa jauh manusia telah menyimpang dari ideal yang mulia ini! Hari tengah malam dimuliakan, penerangan disusun, pohon natal disiapkan, namun kemudian, apakah engkau menghabiskan sisa malam dengan mengisi dirimu dengan kebahagiaan Tuhan? Sucikan hatimu, lakukan perbuatan yang suci, dan bersikap kasih kepada setiap orang. Itu adalah cara terbaik merayakan Natal. (Divine Discourse, Dec, 24, 1972)

-BABA

Thought for the Day - 24th December 2018 (Monday)

What is it that people should acquire today? It is the broadening of the heart so that it may be filled with all-embracing love. Only then the sense of spiritual oneness of all mankind can be experienced. Out of that sense of unity will be born the love of God. This love will generate pure bliss in the heart that is boundless, indescribable and everlasting. For all forms of bliss, love is the source. A heart without love is like a barren land. Foster love in your hearts and redeem your lives. Whatever your scholarship or wealth, they are valueless without love. Without devotion all other accomplishments are of no avail for realising God. Men aspire for liberation. True liberation means freedom from desires. Today people cannot go to forests for penance or engage themselves in meditation and other spiritual exercises. The easiest spiritual path for all people is to dedicate all their actions to God.


Apa yang seharusnya manusia peroleh hari ini? Yaitu memperluas hati sehingga dapat dipenuhi dengan kasih yang mencakup semuanya. Hanya dengan demikian perasaan kesatuan dalam spiritual pada semua manusia dapat dialami. Dari perasaan kesatuan akan lahir kasih pada Tuhan. Kasih sayang ini akan membangkitkan kebahagiaan yang suci di dalam hati yang tidak terbatas, tidak terlukiskan dan kekal. Untuk semua bentuk kebahagiaan, kasih sayang adalah sumbernya. Hati tanpa kasih adalah seperti tanah yang tandus. Kembangkan kasih di dalam hatimu dan sucikan hidupmu. Apapun kesarjanaan atau kekayaanmu, semuanya itu tidak ada nilainya tanpa kasih. Tanpa bhakti maka semua pencapaian adalah sia-sia untuk menyadari Tuhan. Manusia mengharapkan akan kebebasan. Kebebasan yang sejati berarti bebas dari keinginan. Hari ini manusia tidak bisa pergi ke dalam hutan untuk melakukan olah tapa atau bermeditasi serta latihan spiritual yang lainnya. Jalan spiritual yang paling mudah bagi semua orang adalah dengan mendedikasikan seluruh perbuatan mereka kepada Tuhan. (Divine Discourse, Dec 25, 1994)

-BABA

Thought for the Day - 23rd December 2018 (Sunday)

Jesus taught simple practical lessons in spiritual advancement for the good of mankind; He manifested divine powers to instill faith in the validity of His teachings; He marked out the path that confers sweet nectar of bliss (Ananda) on humanity. He exhorted people by precept to cultivate the virtues of charity, compassion, forbearance, love and faith. We must pay attention to the sacrifice that Jesus made while free, out of His own volition. He sacrificed His happiness, prosperity, position, comfort, and safety, and braved the enmity of the powerful. He refused to yield or compromise. He renounced the ego, which is the toughest thing to get rid of. Honour Him for these. He willingly gave up the desires with which the body torments man; this is a great sacrifice. The celebration of His birthday has to be marked by your sacrificing at least a desire or two, and conquering at least the more disastrous urges of the ego.


Jesus mengajarkan pelajaran praktis yang sederhana dalam kemajuan spiritual untuk kebaikan manusia; Jesus memperlihatkan kekuatan ilahi untuk menanamkan keyakinan dalam kebenaran ajaran-Nya; Jesus menandai jalan yang memberikan minuman nektar manis kebahagiaan (Ananda) pada umat manusia. Jesus mengajarkan manusia dengan ceramah dan teladan dalam meningkatkan kebajikan seperti amal, welas asih, ketabahan, kasih, dan keyakinan. Kita harus memberikan perhatian pada pengorbanan yang Jesus lakukan saat bebas atas kehendak-Nya sendiri. Jesus mengorbankan kesenangan, kesejahteraan, jabatan, kenyamanan, dan keamanan-Nya sendiri serta berani menghadapi kebencian yang sangat besar. Jesus menolak untuk menyerah atau berkompromi. Jesus meninggalkan ego, yang merupakan hal yang paling berat untuk dilepaskan. Hormati Jesus untuk kualitas ini. Jesus rela melepaskan keinginan-keinginan yang mana tubuh menyiksa manusia; ini adalah pengorbanan yang sangat besar. Perayaan akan kelahiran-Nya harus dimaknai dengan pengorbananmu setidaknya satu atau dua keinginan serta menaklukkan setidaknya dorongan ego yang lebih berbahaya. (Divine Discourse, Dec, 24, 1972)

-BABA

Saturday, December 22, 2018

Thought for the Day - 22nd December 2018 (Saturday)

The greatest obstacle on the path of surrender is egoism and ‘mine-ness’ or possessiveness. This is buried in your personality since ages, sending its tentacles deeper and deeper with every succeeding life. It can be removed only by the twin detergents of discrimination and renunciation. Devotion is the water to wash away this age old dirt, and the repetition of God’s name, meditation, and communion (yoga) are the soap that will make the cleansing more effective and quicker. The slow and steady aspirants will surely win this race; walking is the safest method of travel, though it may be condemned as slow! Quicker means of travel guarantees disaster; quicker the means, greater the risk of disaster. You should eat only as much as is needed to satiate your hunger, more will cause disorder. Similarly, proceed step by step in spiritual effort with faith; do not slide back two paces with one pace forward.


Halangan terbesar pada jalan berserah diri adalah egoisme ‘kepemilikan’. Ini terkubur di dalam kepribadianmu sejak lama, ego ini memasukkan tentakelnya semakin dalam dan lebih dalam lagi dengan setiap keberhasilan hidup. Ini dapat dihilangkan hanya dengan sabun detergen ganda yaitu diskriminasi dan tanpa keterikatan. Bhakti adalah air untuk mencuci kotoran yang sudah membandel ini, dan pengulangan nama Tuhan, meditasi, dan persekutuan (yoga) adalah sabun yang akan membuat pembersihan menjadi lebih efektif dan cepat. Peminat spiritual yang pelan dan mantap pastinya akan memenangkan perlombaan ini; berjalan adalah metode perjalanan yang paling aman, walaupun berjalan akan disebut sebagai lambat! Lebih cepat perjalanan menjamin bencana; semakin cepat sarananya maka semakin besar risiko bencananya. Engkau seharusnya hanya makan yang dibutuhkan untuk memuaskan rasa laparmu, semakin banyak akan menyebabkan kekacauan. Sama halnya, berjalanlah langkah demi langkah dalam usaha spiritual dengan keyakinan; jangan bergerak mundur dua langkah dan maju hanya satu langkah. (Divine Discourse, Oct 7, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 21st December 2018 (Friday)

Embodiments of Divine Love! If you desire to secure genuine peace in the world, you should not have any antipathy towards religion. You must hold morality (neeti) as superior to your community (jati). You must cherish good feelings as more important than religious beliefs. Mutual regard (Mamata), equal-mindedness (samata) and forbearance (kshamata) are essential foundational qualities for every human being. A true human being is one who cultivates these three sacred qualities. Get rid of all self-interest and self-centeredness. Develop love, forbearance and compassion. Live harmoniously. Service to the needy should be your guiding principle. There should be no room for any kind of differences in rendering service. When you wish to serve society, you must be prepared to sacrifice your individual and communal interests. Through such sacrifice you can sublimate your life. Scriptures (Vedas) have emphatically declared that immortality can be attained only through sacrifice (tyaga).


Perwujudan kasih ilahi! Jika engkau menginginkan untuk memastikan kedamaian yang sejati di dunia, engkau seharusnya tidak memiliki perasaan benci terhadap agama apapun. Engkau harus tetap memegang teguh moralitas (neeti) sebagai hal tertinggi di dalam komunitasmu (jati). Engkau harus menghargai perasaan yang baik adalah lebih penting daripada keyakinan dalam agama. Saling menghargai (Mamata), ketenangan pikiran  (samata), dan ketabahan (kshamata) adalah pondasi mendasar bagi setiap manusia. Seorang manusia yang sejati adalah seseorang yang meningkatkan ketiga sifat yang suci ini. Hilangkan semua bentuk sifat mementingkan diri sendiri. Kembangkan cinta kasih, ketabahan, dan welas asih. Hiduplah dengan rukun. Memberikan pelayanan pada mereka yang membutuhkan seharusnya menjadi prinsip penuntunmu. Seharusnya tidak ada ruang bagi segala bentuk perbedaan dalam memberikan pelayanan. Ketika engkau berharap untuk melayani masyarakat, engkau harus siap untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan bersama. Melalui pengorbanan seperti itu maka engkau dapat menghaluskan hidupmu. Naskah suci (Veda) telah dengan tegas menyatakan bahwa keabadian hanya dapat dicapai melalui pengorbanan (tyaga). (Divine Discourse, Dec 25, 1990)

-BABA

Thursday, December 20, 2018

Thought for the Day - 20th December 2018 (Thursday)

When people do not place faith in the Self but pursue the senses only, danger signal is lit and the Lord sends a Messenger or comes Himself, if a great big step in reconstruction has to be taken. Arjuna forgot the basis of the Self, Ravana went against it. The world is building itself up on the sandy foundation of the sensory world. So, Avatars descend. Like the monkey which could not pull its hand from out of the narrow-necked pot, because it first held in its grasp a handful of groundnuts which the pot contained, people are suffering today, since they are unwilling to release their hold on the handful of pleasurable things they have grasped from the world. People are led into the wrong belief that the accumulation of material possessions will endow them with joy and calm. But Prema (Divine Love) alone can give that everlasting joy. Prema alone can remove anger, envy and hatred!


Ketika manusia tidak menaruh keyakinan pada Diri Sejati namun hanya mengejar kepuasan indera maka tanda bahaya dinyalakan dan Tuhan mengirim seorang utusan atau Tuhan sendiri yang akan datang jika sebuah langkah besar dalam pembangunan kembali harus dilakukan. Arjuna lupa akan dasar dari Diri yang sejati, sedangkan Ravana menentang akan hal ini. Dunia sedang membangun dirinya sendiri diatas pondasi pasir dari dunia indera. Jadi, Avatara turun. Seperti halnya monyet yang tidak bisa menarik keluar tangannya dari leher botol yang sempit yang disebabkan karena monyet memegang segenggam penuh kacang tanah di tangannya, manusia sedang menderita saat sekarang karena manusia tidak ingin melepaskan pegangan tangan mereka pada benda-benda yang menyenangkan yang diperoleh di dunia. Manusia dituntun pada keyakinan yang salah bahwa akumulasi dari kepemilikan materi akan memberikan mereka suka cita dan ketenangan. Namun hanya Prema (kasih Tuhan) yang dapat memberikan suka cita yang kekal. Hanya Prema saja yang dapat melepaskan amarah, iri hati, dan kebencian! (Divine Discourse, Feb 28, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 19th December 2018 (Wednesday)

If you visit holy places like going for a picnic without necessary mental preparation to receive God’s Grace, you will be a nuisance, spoiling the atmosphere of the sacred place. You go from place to place, like postal parcels, collecting impressions on the outer wrapper, not on the core of your being. You do not allow the holiness of the place to act on your mind. As a result of the pilgrimage, your habits must change for the better, your outlook must widen, your inward look must become deeper and become more steady. You must realise the omnipresence of God, and the Oneness of Humanity. You must learn tolerance and patience, charity and service. After the pilgrimage is over, sitting in your own home and ruminating over your experiences, you must determine to seek the higher, the richer and the more real experience of God-realisation. I bless you that you may form that determination and strive step by step to achieve that Goal.


Jika engkau mengunjungi tempat suci seperti pergi piknik tanpa adanya persiapan untuk menerima rahmat Tuhan, engkau akan menjadi sebuah gangguan, merusak suasana dari tempat suci itu. Engkau pergi dari satu tempat ke tempat lainnya seperti paket pos, mengumpulkan kesan dari pembungkus di luar dan bukan pada inti dari keberadaanmu. Engkau tidak mengizinkan kesucian dari tempat itu untuk bisa bekerja di pikiranmu. Sebagai hasil dari kunjungan ke tempat suci, kebiasaanmu harus berubah untuk yang lebih baik, pandanganmu harus menjadi lebih luas, pandangan ke dalam harus menjadi lebih dalam dan menjadi lebih mantap. Engkau harus menyadari kehadiran Tuhan dimana-mana, dan kesatuan dalam kemanusiaan. Engkau harus belajar toleransi dan kesabaran, derma dan pelayanan. Setelah mengunjungi tempat suci selesai, duduklah di dalam rumahmu dan merenungkan kembali pengalamanmu, engkau harus memutuskan untuk mencari yang lebih tinggi, lebih berharga dan lebih mengalami kesadaran Tuhan. Aku memberkati dirimu agar engkau dapat membentuk tekad itu dan berusaha langkah demi langkah untuk mencapai tujuan itu. (Divine Discourse, Feb 28, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 18th December 2018 (Tuesday)

A home is filled with love, with the sacrifice that love involves, the joy that love radiates, and the peace that love imparts. The brick and mortar structure where parents and children spend their lives is a house, not a home; neither children yearn for it nor parents find peace therein. In your homes, one discipline all of you must heed is - the control of the senses! If you give them free rein, they will drag you into calamity. Education must render you monarch of your talents which are your tools for acquiring knowledge. The eye, the ear, the tongue are like wild horses that have no reins; learn the art of meditation (dhyana) by which the senses can be controlled and the will directed inwards, towards the mastery of feelings and emotions. Not just homes, nations that have no bridle on its sensuality can never thrive or survive.


Sebuah rumah diisi dengan cinta kasih, dengan pengorbanan yang diliputi oleh cinta kasih, suka cita yang dipancarkan oleh cinta kasih dan kedamaian yang diberikan oleh cinta kasih. Susunan batu bata serta struktur adukan semen dimana orang tua beserta anak-anak menghabiskan waktu hidup mereka disebut dengan bangunan rumah (house), dan bukan sebagai sebuah rumah (home);  tidak ada anak-anak yang merindukan bangunan rumah (house) atau orang tua yang mendapatkan kedamaian di dalamnya. Di dalam rumahmu, satu disiplin yang semua harus diperhatikan adalah - pengendalian indera! Jika engkau memberikan indera kebebasan maka indera akan membawamu pada malapetaka. Pendidikan harus membuatmu berkuasa atas bakatmu yang merupakan sarana atau alatmu untuk mendapatkan pengetahuan. Mata, telinga, lidah adalah seperti kuda-kuda liar yang tidak memiliki tali kekang; belajar seni meditasi (dhyana) dimana indera dapat dikendalikan dan akan diarahkan ke dalam diri, serta mengarah pada penguasaan perasaan dan emosi. Tidak hanya rumah, bangsa yang tidak memiliki kendali pada kesenangan inderanya tidak akan pernah bisa bertahan dan berkembang. (Divine Discourse, Jul 26, 1969)

-BABA

Monday, December 17, 2018

Thought for the Day - 17th December 2018 (Monday)

Bharatiya Culture has world-wide presence since it can correct and canalise the human emotions and motives along healthy productive routes. It is sacred and it can establish peace and joy in the hearts of all. It seeks to strike roots into life through the mothers, and the children on their laps. Women have been its custodians and promoters; men have a secondary role. And, among women, the young students who in the coming days will become leaders must become examples whom all women will wish to emulate; they must understand and practise this culture, so that it may be preserved and it may flourish. The keenness to acquire education is now very evident among the daughters of the nation, and so great hope can be placed on them, in this field of reconstruction. Education must be for life, not for a living. Women have proved throughout the centuries in Indian history that they have the courage, the vision, and the intelligence needed to dive into the depths of spiritual science and discipline.


Kebudayaan Bharatiya (Bhaaratheeya Samskrithi) telah tersebar ke seluruh dunia (Prapanchavyaapthi) karena dapat memperbaiki dan mengalirkan emosi serta motif dari manusia sepanjang arah yang sehat serta produktif. Kebudayaan India adalah suci dan dapat menciptakan kedamaian serta suka cita di dalam hati semuanya, dan juga berusaha untuk mencapai akar dari kehidupan melalui ibu dan anak-anak di pangkuan mereka. Wanita adalah penjaga dan pendorong dari kebudayaan India; laki-laki memiliki peran tambahan. Dan diantara wanita, para murid muda dalam beberapa hari yang akan datang akan menjadi pemimpin dimana harus menjadi teladan yang semua wanita ingin tiru; mereka harus mengerti dan menjalankan kebudayaan ini, sehingga kebudayaan ini dapat dipelihara dan dikembangkan. Minat yang besar untuk mendapatkan pendidikan saat sekarang sangatlah jelas diantara para putri bangsa, jadi harapan besar dapat diberikan pada mereka, dalam hal pembangunan kembali. Pendidikan harus untuk kehidupan dan tidak hanya untuk mencari nafkah. Wanita telah membuktikan dalam sepanjang abad sejarah India bahwa mereka memiliki keberanian, visi dan kecerdasan yang diperlukan untuk menyelam pada kedalaman pengetahuan dan disiplin spiritual. (Divine Discourse, Jul 26, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 16th December 2018 (Sunday)

All men and women are caskets containing the Divine Glory. But you love some of them as friendly, hate some others as unfriendly, and divide them into camps and groups. When someone is good to you, attribute that goodness to godliness in them; when someone is bad to you, be happy that you have given them some satisfaction, by becoming the target for their attention! If anyone harms the body, sages are unaffected, because they know they are not the body! If anyone tries to harm the soul, sages know that it is impossible, for soul is ever in bliss! By means of Sadhana, become that type of sage, unaffected by pleasure and pain, loss or gain, victory or defeat. Be a witness, a disinterested witness of all the gyrations of fortune. Inquiry (vichara) will reveal to you that these are mere fleeting fantasies of your mind. By means of Japa and Dhyana (repetition of and meditation on the divine name), attain oneness with the Universal Absolute (Parabrahmam).


Semua manusia baik itu laki-laki atau perempuan adalah peti mati yang berisi kemuliaan Tuhan. Namun engkau menyayangi beberapa dari mereka dengan persahabatan, membenci beberapa yang lainnya dengan sikap permusuhan, dan membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Ketika seseorang baik kepadamu, hubungkan kebaikan itu dengan keilahian yang ada dalam diri mereka; ketika seseorang jahat kepadamu, bersenang hatilah karena engkau telah memberikan mereka beberapa kepuasan, dengan menjadi target untuk perhatian mereka! Jika siapapun juga menyakiti tubuh, para orang suci tidak terpengaruh karena mereka mengetahui bahwa mereka bukanlah tubuh! Jika siapapun juga mencoba menyakiti jiwa, para orang suci mengetahui bahwa itu adalah tidak mungkin karena jiwa selamanya bahagia! Dengan sarana latihan spiritual (Sadhana), jadilah seperti orang suci itu dimana tidak terpengaruh oleh kesenangan dan penderitaan, kehilangan atau keuntungan, kemenangan atau kekalahan. Jadilah saksi yang tidak memiliki kepentingan dari semua putaran keberuntungan. Penyelidikan (vichara) akan mengungkapkan kepadamu bahwa semuanya ini hanyalah fantasi dari pikiranmu saja. Dengan sarana Japa dan Dhyana (pengulangan dan perenungan nama Tuhan), akan mencapai kesatuan dengan yang bersifat absolut universal (Parabrahmam). (Divine Discourse, Jun 22, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 15th December 2018 (Saturday)

Home is the temple where the family, each member of which is a moving temple, is nurtured and nourished. Mother is the high priest of this house of God. The centre of every home must be the shrine; the fragrance of flower and incense emanating from there must pervade the home and purify it. Mother must set an example in making the shrine the heart of the household. She must enforce discipline over children in personal cleanliness, in humility, hospitality, good manners and in acts of service. She must persuade children to revere elders by example and precept, and to allot some time both in the morning and evening for prayer and silent meditation. Humility is the incense with which the house is filled. Reverence is the lamp that is lit with love as the oil and faith as the wick. I bless you that through your faith and strength, devotion and dedication may increase in this land.


Rumah adalah tempat suci dimana keluarga, setiap anggota dalam keluarga adalah tempat suci yang bergerak yang dijaga serta dipelihara. Ibu adalah pendeta yang tertinggi dalam rumah Tuhan. Pusat dari setiap rumah haruslah kamar suci; wanginya bunga dan dupa yang memancar dari sana harus meliputi rumah dan menyucikannya. Ibu harus memberikan teladan dalam membuat tempat suci sebagai hati dari rumah tangga. Ibu harus menguatkan disiplin kepada anak-anak dalam kebersihan pribadi, kerendahan hati, tingkah laku yang baik, dan tindakan pelayanan. Ibu harus mengajak anak-anak untuk menghormati yang lebih tua dengan teladan dan nasihat, dan menyediakan waktu baik di pagi dan malam hari untuk doa dan meditasi hening. Karendahan hati adalah dupa yang meliputi seisi rumah. Rasa hormat adalah pelita yang dinyalakan dengan kasih sebagai minyak dan keyakinan sebagai sumbunya. Aku memberkatimu bahwa dengan keyakinan dan kekuatanmu, bhakti serta dedikasi dapat tumbuh meningkat di tanah ini. (Divine Discourse, Jul 26, 1969)

-BABA

Friday, December 14, 2018

Thought for the Day - 14th December 2018 (Friday)

You engage in Bhajan (congregational chant), puja (worship) and dhyana (meditation) - these are but physical exercises. Ask yourself - Am I able to sublimate my small sadhana (spiritual effort) for a higher purpose? Is my heart vibrating in them? If not, you remain at the human level and are not rising to the state of the Divine. ‘Can the lake be filled when there is only a sprinkle of rain? Can thirst be relieved, when saliva gets in? Can the belly be full, if one’s breath is held tight? Can live cinders be secured by the burning of blades of grass?’ - asks a poet. Logs have to be burned if charcoal is needed; only sheets of rain can fill a lake to the brim; a glass of cold water alone can cure a person of thirst, nothing less. Offer your heart in full. Devotion must fill and overflow from the heart.


Engkau terlibat dalam Bhajan, puja dan dhyana (meditasi) – semuanya ini hanyalah latihan fisik. Tanyakan pada dirimu sendiri – apakah saya mampu menghaluskan latihan spiritual kecil saya untuk sebuah tujuan yang lebih tinggi? Apakah hati saya bergetar di dalamnya? Jika tidak, engkau masih berada di level manusia dan tidak naik pada level Illahi. ‘Dapatkah danau diisi ketika hanya sedikit hujan? Dapatkah rasa haus dipuaskan ketika hanya air liur yang masuk? Dapatkah perut menjadi penuh, jika nafas ditahan dengan kuat? Dapatkah nyala arang dijaga dengan membakar hanya sedikit rumput?’ – tanya seorang pujangga. Kayu harus dibakar jika membutuhkan arang; hanya hujan deras yang dapat mengisi danau sampai meluap; segelas air dingin saja yang dapat menghilangkan rasa haus seseorang, dan bukan yang lainnya. Persembahkan sepenuh hatimu. Bhakti harus mengisi dan meluap dari hati. (Divine Discourse, Jan 8, 1983)

-BABA

Thursday, December 13, 2018

Thought for the Day - 13th December 2018 (Thursday)

When you step into a house and on the walls of the shrine room you see a picture of Mine, do you not feel a wave of reverence and kinship surging within you? You may not like that person for any other reason, but this picture will bring them closer to you though the owner of the house may be your rival in the professional field. Even the person, whom you were treating as your worst adversary has the selfsame light in their innermost heart as yours! Know that every other person has in their heart of hearts a picture of the God you revere. Recognise it and reconcile your misunderstandings; close up all gaps and be brothers and sisters in pilgrimage, encouraging and inspiring each other along the arduous road. In the glory of that all-enveloping Light, all hate and envy, which are the evil progeny of darkness, will vanish. Know that the same light is in all.


Ketika engkau melangkahkan kaki memasuki sebuah rumah dan engkau melihat gambar diri-Ku yang terpasang di dinding ruang puja, bukankah engkau merasakan penghormatan dan kekeluargaan muncul dari dalam dirimu? Engkau mungkin tidak menyukai orang itu karena sesuatu alasan, namun gambar-gambar ini akan membawamu lebih dekat walaupun pemilik rumah mungkin adalah sainganmu dalam dunia professional. Bahkan orang yang engkau perlakukan sebagai musuh terburukmu memiliki cahaya yang sama dalam hati mereka yang paling dalam seperti milikmu! Ketahuilah bahwa setiap orang di dalam hati mereka memiliki gambaran Tuhan yang engkau puja. Sadarilah hal ini dan berdamailah dengan kesalahpahamanmu; tutup semua celah dan jadilah saudara dalam perjalanan suci ini, saling mendukung dan menginspirasi satu dengan yang lainnya di sepanjang jalan yang sulit. Dalam kemuliaan dari cahaya yang melingkupi itu, semua kebencian dan iri hati yang merupakan keturunan dari kegelapan kejahatan akan menjadi hilang. Ketahuilah bahwa cahaya yang sama ada dalam diri semuanya. (Divine Discourse, Jan 22, 1967)

-BABA

Wednesday, December 12, 2018

Thought for the Day - 12th December 2018 (Wednesday)

The emperor of the Cholas sought to visit the Srirangam Gopuram temple, of which he had heard much. He got his chariot ready and moved forward many times in six months; but every time a recluse in ochre robes with a rosary around his neck and a halo around his head intercepted the vehicle. When the emperor alighted to honour him, he kept him engaged in conversation which was so enchanting that he forgot his journey and its goal. One day, when he lamented over his failure to fill his eyes with the glory of Srirangam, the Lord appeared before him and said: "Why do you lament? I am the Master who came to you so often as soon as you set out for Srirangam; recognise Me in all, that is the genuine pilgrimage to Srirangam." Consider all whom you meet as the Lord of Srirangam, your Master. Show untarnished Prema (love) towards all who come to you.


Kaisar dari Cholas mencoba untuk mengunjungi tempat suci Srirangam Gopuram, yang telah banyak didengarnya. Dia sudah mempersiapkan keretanya dan bergerak menuju ke tujuan berkali-kali dalam kurun waktu enam bulan; namun setiap saat seorang pertapa memakai jubah berwarna kuning tua dengan japa mala melingkar di lehernya dan sebuah lingkaran cahaya di sekitar kepalanya menahan perjalanan kereta itu. Ketika sang kaisar sangat menghormatinya, mereka terlibat dalam percakapan yang sangat menyenangkan sehingga sang kaisar lupa dengan perjalanan serta tujuannya. Pada suatu hari, ketika sang kaisar menyesali kegagalannya untuk bisa mendapatkan darshan dari keagungan Srirangam, Tuhan muncul dihadapannya dan berkata: "Mengapa engkau meratap bersedih? Aku adalah Guru yang begitu sering mendatangimu saat engkau melakukan perjalanan ke Srirangam; kenali diri-Ku dalam semuanya, itu adalah perjalanan suci yang sejati ke Srirangam." Anggaplah bahwa semua orang yang engkau temui adalah sebagai perwujudan Tuhan dari Srirangam. Tunjukkan kasih sayang yang tidak ternoda (Prema) kepada semuanya yang datang padamu. (Divine Discourse, Jan 14, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 11th December 2018 (Tuesday)

How long can you stagnate in the same class of devotion? Have you no wish to get promoted to the next higher class? In devotion (Bhakti), there are two classes, Sahaja-bhakti and Vishesha-bhakti. Sahaja-bhakti is satisfied with puja (worship), vrata (observing ritual worship), bhajan, namasmaran, (group singing, remembrance of Lord), pilgrimage, etc. Visesha-bhakti craves for purity of character, suppression of impulses, control of the mind, practice of daya, prema, shanti, ahimsa (compassion, love, peace and nonviolence), etc., and inquiry into the why and wherefore of man. It is a matter of shame that people stick to the same class of sahaja-bhakti year in and year out. When you clear these two, there is another higher class named Para Bhakti (Seeing God everywhere), too. Cleverness can correct and solve external problems; concentrated sadhana alone can correct and solve the internal crisis fuming within.


Berapa lama engkau dapat berhenti di level bhakti yang sama? Apakah engkau tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan promosi naik kelas yang lebih tinggi? Dalam bhakti, ada dua jenis tingkatan atau kelas, Sahaja-bhakti dan Vishesha-bhakti. Sahaja-bhakti dipuaskan dengan pelaksanaan puja, vrata (menjalankan ritual pemujaan), bhajan, namasmaran, (kidung suci, mengingat Tuhan), mengunjungi tempat suci, dsb. Visesha-bhakti menginginkan kesucian karakter, menekan dorongan dari dalam diri, pengendalian pikiran, mempraktikkan daya, prema, shanti, ahimsa (welas asih, kasih sayang, kedamaian, dan tanpa kekerasan), dsb, serta mencari tahu ke dalam mengapa dan untuk apa menjadi manusia. Merupakan hal yang memalukan bagi manusia hanya terhenti pada level yang sama selama bertahun-tahun di sahaja-bhakti. Ketika engkau melewati keduanya, ada level yang lebih tinggi lagi dalam bhakti yaitu Para Bhakti (melihat Tuhan dimana saja). Kepintaran dapat memperbaiki dan memecahkan persoalan di luar; hanya dengan sadhana (latihan spiritual) yang dapat memperbaiki dan memecahkan krisis internal yang menggelora di dalam diri. (Divine Discourse, Jan 14, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 10th December 2018 (Monday)

There is a vast difference between India five centuries ago, and India today, in the field of sense control. Today senses are allowed free play; every human being is a slave to greed, lust and egoism. The fault lies entirely with parents and elders. When children go to temples or religious discourses, they reprimand them and warn them that it is a sign of insanity. They tell them that religion is an old-age pursuit; it should not be taken seriously by youngsters! But, if only you encourage the children, they can equip themselves better for the battle of life. Every parent ought to advise their children: "Be convinced that there is God, guiding and guarding us. Remember Him with gratitude. Pray to Him to render you pure. Love all, serve all. Join good company. Visit temples and holy men." Campaign against the temptations of the senses, conquer inner foes and triumph over your ego. That is the true victory that deserves celebration!


Ada sebuah perbedaan yang sangat besar diantara India lima abad yang lalu dan India saat sekarang, dalam bidang pengendalian indera. Hari ini indera dibiarkan bermain dengan bebasnya; setiap manusia adalah budak dari ketamakan, nafsu, dan egoisme. Kesalahan sepenuhnya ada pada orang tua dan mereka yang lebih tua. Ketika anak-anak pergi ke tempat suci atau mendengarkan wejangan dharma, mereka mengomeli anak-anak dan memperingatkan mereka bahwa itu adalah tanda dari kegilaan. Mereka mengatakan bahwa agama adalah pencarian di masa tua; dan ini tidak seharusnya dijalankan secara serius oleh anak-anak muda! Namun, jika saja engkau mendorong anak-anak, mereka dapat melengkapi diri mereka lebih baik dalam perjuangan hidup. Setiap orang tua harus menasihatkan anak-anak mereka: "Yakinlah bahwa ada Tuhan yang menuntun dan menjaga kita. Ingatlah Tuhan dengan rasa syukur. Berdoalah pada Tuhan untuk memberikanmu kesucian. Kasih semua dan layani semuanya. Bergabunglah dalam pergaulan yang baik. Kunjungi tempat suci dan orang-orang yang suci." Berkampanye melawan godaan dari indera, taklukan musuh di dalam diri dan raihlah kemenangan atas egomu. Itu adalah kemenangan yang sejati yang layak untuk dirayakan! (Divine Discourse, Jan 1, 1967)

-BABA

Monday, December 10, 2018

Thought for the Day - 9th December 2018 (Sunday)

Some people are envious of the high standard of living experienced by people living in rich nations, but the poverty of India is much more congenial to the good life than the luxurious and vainglorious life of the west. The sea has a vast expanse of water, but can it quench the thirst of man? Similarly, however much riches and comfort a person may possess, if they have not cultivated detachment, all they’ve accumulated is but sheer waste. Detachment from sensual pleasures and objective pursuits helps the growth of Love towards God and the Godly. When you realise that God is in you, you will value yourself much more, for when you know that the piece of 'glass' you picked up is diamond, you will secure it in an iron safe, isn’t it? Similarly know that each one of you are carefully carved by a sculptor to become a charming idol of God, and conduct yourself accordingly.


Beberapa orang merasa iri hati dengan standar hidup yang tinggi yang dialami oleh mereka yang ada di negeri kaya, namun kemiskinan di India adalah lebih menyenangkan bagi kehidupan yang baik daripada kehidupan yang mewah dan angkuh di dunia barat. Laut memiliki hamparan air yang sangat luas, namun apakah air laut bisa menghilangkan rasa haus manusia? Sama halnya, betapapun kaya atau kesenangan yang dimiliki seseorang, jika mereka tidak mengembangkan tanpa keterikatan, maka semua yang mereka kumpulkan adalah kesia-siaan belaka. Tanpa keterikatan dari kesenangan sensual dan pengejaran objek membantu pertumbuhan cinta kasih pada Tuhan dan kehidupan yang saleh. Ketika engkau menyadari bahwa Tuhan bersemayam di dalam dirimu, engkau akan menilai dirimu sendiri lebih besar lagi, pada saat engkau mengetahui bahwa serpihan gelas yang engkau ambil itu adalah “permata”, engkau akan menyimpannya dalam brangkas besi. Sama halnya dengan mengetahui bahwa setiap orang darimu dibentuk secara hati-hati oleh sang pemahat untuk menjadi bentuk yang menawan dari Tuhan, dan bertingkah laku sesuai dengan hal itu. (Divine Discourse, Jan 1, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 8th December 2018 (Saturday)

Every passing day truly becomes holy, when you sanctify it by sadhana, not otherwise. Spiritual practices (Sadhana) can grow only in a field fertilised by love and nonviolence. Love or Prema is absolutely essential for devotion to God (bhakti). The love you have towards material objects, name, fame, wife and children, etc., should be sanctified by being subsumed by the more overpowering Love of God. Add two spoons of water to two seers of milk, the water too is appreciated as milk! At present your sadhana can be described only as mixing two litres of water with two spoons of milk, isn’t it? Let love for God fill and thrill your heart; then, you cannot hate any one, you cannot indulge in unhealthy rivalries, and you will not find fault with any one. Life will become soft, sweet and smooth.


Setiap hari yang berlalu sejatinya menjadi suci, ketika engkau menyucikannya dengan sadhana dan bukan dengan yang lainnya. Latihan spiritual (Sadhana) hanya dapat tumbuh dalam ladang yang dipupuk dengan kasih dan tanpa kekerasan. Kasih atau Prema adalah sesungguhnya bersifat mendasar bagi bhakti kepada Tuhan. Kasih yang engkau miliki pada objek material seperti nama, ketenaran, istri dan anak-anak, dsb seharusnya disucikan dengan dimasukkan lebih banyak kasih Tuhan. Dengan menambahkan dua sendok air pada dua liter susu, maka air itu juga dihargai sebagai susu! Pada saat sekarang sadhanamu dapat digambarkan hanya sebatas mencampur dua liter air dengan dua sendok susu. Biarkan kasih Tuhan mengisi dan menggetarkan hatimu; kemudian, engkau tidak bisa membenci siapapun juga, engkau tidak bisa terlibat dalam persaingan yang tidak sehat, dan engkau tidak akan menemukan kesalahan pada yang lainnya. Hidup akan menjadi lembut, indah, dan lancar. (Divine Discourse, Jan 1, 1967)

-BABA

Friday, December 7, 2018

Thought for the Day - 7th December 2018 (Friday)

God is not far from you. He is within you, in your own inner altar. All of you suffer because you are unable to discover Him there and draw peace and joy from that discovery. A washerman, standing knee-deep in a flowing river and washing his clothes therein, died of thirst because he failed to realise that the life-giving water was within his reach. Such is the story of man. He runs in desperate haste, to seek God outside and dies disappointed and distraught, only to be born again. Of course, you must be in the world, but remember, you need not be of it. The attention has to be fixed on the God within. In the Kannada country, there is a festival called Karaga. The central figure of this holy rite keeps many pots on his head, one over the other, and moves in the procession keeping step with the music; he has also to sing in tune with the rest and keep time to the beat of the drum. But, all the while he has his attention fixed on balancing the precarious tower on his head. So too, you must keep the goal of God-realisation before you, while engaged in the noisy and hilarious procession of life.


Tuhan tidaklah jauh dari dirimu. Tuhan ada bersemayam dalam dirimu, di dalam altar dirimu. Semua darimu menderita karena engkau tidak mampu menyadari Tuhan disana dan mengambil kedamaian dan suka cita dari keberadaan-Nya. Seorang tukang cuci pakaian berdiri dalam air yang mengalir untuk mencuci pakaian, namun mati kehausan karena dia tidak mampu menyadari bahwa air yang memberikan kehidupan ada dalam jangkauannya. Itulah kisah dari manusia. Manusia berlarian dalam ketergesa-gesaan untuk mencari Tuhan di luar dan mati dalam kekecewaan serta putus asa, hanya untuk lahir kembali. Tentu saja, engkau harus ada di dunia, namun ingatlah, engkau tidak perlu menjadi dunia ini. Perhatian harus jelas diarahkan pada Tuhan di dalam diri. Di negara Kanada, ada sebuah perayaan yang disebut dengan Karaga. Bagian utama dalam ritual suci ini adalah tetap menjaga banyak tumpukan pot diatas kepalanya dan bergerak dalam prosesi dengan melangkahkan kaki dalam iringan musik; dia juga harus menyanyi dalam melodi bersama dengan yang lainnya serta pertahankan waktu dengan ketukan drum. Namun, selama ini perhatiannya terpusat pada keseimbangan dari tumpukan pot yang tinggi di atas kepalanya. Begitu juga, engkau harus tetap menjaga tujuan yaitu kesadaran Tuhan dihadapanmu, sedangkan terlibat dalam iring-iringan kehidupan yang riuh dan gembira. (Divine Discourse, Jan 1, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 6th December 2018 (Thursday)

Feelings of hatred, malice, envy and pride that create separation between people who are kith and kin, arise from identification with the body. You feel and believe you are the body. You know your body is separate from the other bodies. You think of your hunger, your thirst, your comfort, your family, your community, your state - thus you create bounds for your love, and curb yourselves, treating all outside the bounds as enemies, strangers and competitors. But the source and sustenance is one: God, the Father of mankind. Pay attention to the Fatherhood, more than the brotherhood. That will underline the brotherhood more and more in your heart and remove the poison of distinction that has come through ignorance. All of you are limbs of one body, nourished by the self-same life - blood flows in you motivated by the same will, the will of God, and all are bound by the same Divine Law! That is the Vishwarupa (Cosmic Vision) that one must see and experience. That endows one with everlasting bliss.


Perasaan benci, angkuh, iri hati, dan sombong yang menciptakan perpisahan diantara manusia yang bersaudara, sifat ini muncul dari identifikasi dengan badan jasmani. Engkau percaya bahwa engkau adalah badan jasmani. Engkau mengetahui tubuhmu adalah terpisah dengan tubuh yang lainnya. Engkau memikirkan rasa lapar, haus, kenyamanan, keluarga, komunitas, dan keadaanmu – jadi engkau menciptakan batas untuk kasih sayangmu dan mengekang dirimu sendiri, memperlakukan semua yang diluar batas kita sebagai musuh, orang asing, dan pesaing. Namun sumber dan penopangnya adalah satu: Tuhan, pencipta dari umat manusia. Berikan perhatian pada sang pencipta, lebih daripada hanya persaudaraan. Itu akan menekankan bahwa persaudaraan lebih kuat lagi di dalam hatimu dan menghilangkan racun berupa perbedaan yang muncul karena kebodohan. Semua darimu adalah anggota-anggota tubuh dari satu tubuh, dipelihara oleh kehidupan yang sama, darah mengalir dalam dirimu didorong oleh kehendak yang sama, yaitu kehendak Tuhan, dan semuanya diikat oleh hukum Tuhan yang sama! Itu adalah Vishwarupa (pandangan kosmik) yang seseorang harus lihat dan alami. Itu akan memberkati seseorang dengan kebahagiaan yang kekal. (Divine Discourse, Dec 20, 1967)

-BABA

Wednesday, December 5, 2018

Thought for the Day - 5th December 2018 (Wednesday)

The Lord values your attitude behind every action. Yad bhavam, tad bhavati - you become what you feel. Hence transmute every act into worship and derive maximum joy. Sai is in every being; so do not slight anyone. Revere and serve all to the best of your ability. When someone asks for water to quench their thirst and you offer them a cup, feel that you are offering it to Me; then, that act purifies and cleanses you. It is not the person in need that you serve, you are serving God who is in you and them. Karma (action) is the flower and Jnana (wisdom) is the fruit. The flower becomes fruit in fullness of time when you guard it free from pests. Charcoal is wood that was burnt under the baptism of fire. With time, charcoal transforms to white, light ash that flies in the wind. Rigorously purify your mind in the fire of wisdom until you gain success.


Tuhan menilai sikapmu dibalik setiap perbuatan. Yad bhavam, tad bhavati – engkau menjadi apa yang engkau rasakan. Oleh karena itu ubahlah setiap perbuatan menjadi ibadah dan dapatkan suka cita yang sepenuhnya. Sai ada dalam setiap makhluk; jadi jangan meremehkan siapapun juga. Muliakan dan layani semuanya dengan kemampuanmu yang terbaik. Ketika seseorang meminta air untuk menghilangkan rasa haus mereka dan engkau memberikannya sebuah cangkir, rasakan bahwa engkau memberikan itu adalah untuk Aku; kemudian, perbuatan itu akan memurnikan dan membersihkanmu. Bukanlah seseorang yang membutuhkan yang engkau layani, engkau sedang melayani Tuhan yang bersemayam di dalam dirimu dan juga dalam diri mereka. Karma (perbuatan) adalah bunga dan Jnana (kebijaksanaan) adalah buah. Bunga menjadi buah dalam kesempurnaan waktu ketika engkau menjaga bunga itu bebas dari hama. Arang adalah kayu yang telah dibakar dalam api. Seiring berjalannya waktu, arang berubah menjadi putih, ringan sehingga diterbangkan oleh angin. Pemurnian pikiran dari nafsu dilakukan dalam api kebijaksanaan sampai engkau mendapatkan keberhasilan. (Divine Discourse, Nov 22, 1967)

-BABA

Thought for the Day - 4th December 2018 (Tuesday)

Hanuman did not become conceited when Rama selected him for the crucial southward search and when He gave him the ring to be given to Sita, nor was he affected by fear at the tremendous responsibility. He accepted it; he was neither happy nor unhappy. He felt that Rama knows all and so, his duty was only to obey. I have called you and am naming you as ‘Volunteers’ (Sevadal) to give you an opportunity to practise this spiritual exercise of Madhava seva through Manava seva (service to God through service to man). Do not therefore take this as authority conferred on you, or as a burden put on your shoulders. When you call yourself a Sevak (or Sevadal) offering service to another, have also reverence in your mind that the person whom you serve is the Lord Himself in that form. This attitude is very helpful for the aspirant. Service of man is service of God. But when? Only when you feel in the depth of your heart that the person whom you serve is a wave of the same sea from which you derive your individuality, your taste, your name and form!


Hanuman tidak menjadi sombong ketika Sri Rama memilihnya untuk pencarian yang krusial ke arah selatan dan juga ketika Rama memberikannya cincin untuk diberikan kepada Sita, serta tidak juga merasa takut pada tanggung jawab yang begitu sangat besar. Hanuman menerimanya dimana dia tidak merasa senang atau tidak senang. Hanuman menyadari bahwa Rama mengetahui semuanya dan tugasnya hanya untuk patuh. Aku telah memanggilmu dan menyebutmu sebagai ‘Relawan’ (Sevadal) untuk memberikanmu sebuah kesempatan untuk mempraktikkan latihan spiritual dalam Madhava seva melalui Manava seva (pelayanan kepada Tuhan melalui pelayanan kepada manusia). Maka dari itu jangan mengambil bagian ini sebagai otoritas yang diberikan kepadamu, atau sebagai sebuah beban yang diletakkan di pundakmu. Ketika engkau menyebut dirimu sebagai Sevak (atau Sevadal) memberikan pelayanan kepada yang lainnya, juga miliki rasa hormat di dalam pikiranmu bahwa mereka yang engkau layani adalah Tuhan sendiri dalam wujud itu. Sikap ini adalah sangat membantu bagi peminat spiritual. Pelayanan kepada manusia adalah pelayanan kepada Tuhan. Namun kapan? Hanya ketika engkau merasakan di kedalaman hatimu bahwa orang yang engkau layani adalah gelombang yang sama dimana engkau mendapatkan kepribadian, cita rasa, nama dan wujudmu! (Divine Discourse, Nov 22, 1967)

-BABA