Tuesday, August 28, 2018

Thought for the Day - 28th August 2018 (Tuesday)

You are referring to the gift of food as Anna-dana. But no one has the authority to give in charity what has been given by God or be proud of it or even to feel that they have given something in charity. God gave rains, fostered the sapling and ripened the grain; what right have you to call it yours and give it in charity? It is not dana (charity) that you do; you are only offering gratitude to God! You are sanctifying the grain you have harvested by offering the food prepared out of it to Gods in human form (Narayanas)! So call it Narayana Seva! That will be more correct. Each one of you is a limb in the body called the Universe. Do your work without a murmur; work in full cooperation with all. The Universe will be healthy and happy only then. Love and love alone can bind you to others and to God, who is the very embodiment of love.


Engkau menyebut pemberian makanan dengan nama Anna-dana. Namun tidak ada yang memiliki kewenangan untuk memberikan derma apa yang telah diberikan oleh Tuhan atau menjadi bangga akan hal ini atau bahkan merasa bahwa mereka telah memberikan sesuatu dalam derma. Tuhan memberikan hujan, membantu pertumbuhan tanaman muda, dan mematangkan bijinya; apa hak yang engkau miliki dengan menyebut semuanya itu adalah milikmu dan memberikannya sebagai derma? Ini bukanlah dana (derma) yang engkau lakukan; engkau hanyalah mempersembahkan rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan! Engkau puas dengan panen yang engkau dapatkan dengan mempersembahkan makanan dari hasil panen ini kepada Tuhan dalam wujud manusia (Narayana)! Kemudian menyebutnya dengan Narayana Seva! Itu menjadi lebih benar. Setiap orang darimu adalah bagian dari tubuh yang disebut dengan alam semesta. Jalankan pekerjaanmu tanpa mengeluh serta menggerutu; bekerja dengan penuh kerjasama dengan semuanya. Hanya dengan demikian alam semesta akan sehat dan bahagia. Kasih dan hanya kasih saja yang dapat mengikatmu dan yang lainnya kepada Tuhan, dan Beliau sejatinya adalah perwujudan dari kasih. [Divine Discourse, Jan 28, 1975]

-BABA

Thought for the Day - 27th August 2018 (Monday)

Devotion helps you attain the bliss of merging with God most easily by channelising towards Him the mental agitations, the sensory and emotional urges. The various modes of worshipping the Lord in temples depict this concept. You will find various ceremonies, from ‘awakening of God’ in the early dawn to ‘putting the Lord in bed’ late at night. These ceremonies are intended to heighten and promote the devotional trends of the wavering mind. Each incident helps sublimation of the appropriate emotion, in a peculiarly charming manner. In the sublimity of that experience, the agitation of lower emotions decline and disappear. The mundane and vulgar feelings of ordinary life become elevated to the status of worship and dedication to the Almighty Presence. The Lord evokes in you the emotion you associate with Him. When the Lord is conceived as the Most Loved One, as Jayadeva, Thukaram, Surdas, Radha, and Meera conceived Him, He manifests Himself as the nearest and the dearest and showers bliss!


Bhakti membantumu untuk mencapai kebahagiaan dalam penyatuan dengan Tuhan dengan cara yang paling mudah melalui menyalurkan kepada-Nya gejolak batin, dorongan indria, dan emosi. Berbagai jenis bentuk pemujaan kepada Tuhan di tempat suci menggambarkan tentang konsep ini. Engkau akan menemukan berbagai jenis upacara, mulai dari ‘Membangunkan Tuhan’ di pagi-pagi sekali sampai pada ‘Menempatkan Tuhan di tempat tidur’ di larut malam. Upacara-upacara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kecenderungan bhakti dalam pikiran yang bimbang. Setiap bagian upacara ini membantu sublimasi emosi yang sesuai namun dengan cara yang sangat menawan. Dalam keagungan pengalaman itu, gejolak emosi yang lebih rendah menurun dan menghilang. Perasaan keduniawian dan kasar dari kehidupan biasa menjadi ditingkatkan pada keadaan pemujaan dan dedikasi pada kehadiran Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhan membangkitkan emosi yang engkau kaitkan dengan-Nya. Ketika Tuhan dipahami sebagai yang paling dicintai seperti halnya Jayadeva, Thukaram, Surdas, Radha, dan Meera memahami-Nya, maka Tuhan akan mewujudkan diri-Nya sendiri sebagai yang paling disayangi dan mencurahkan kebahagiaan! [Dharma Vahini, Ch 10, The House of God]

-BABA

Thought for the Day - 26th August 2018 (Sunday)

‘Gita Govindam’, a book of songs on Govinda by the great poet Jayadeva of Odisha, is an immortal portrayal of Radha Bhakti (the love the devotee Radha had for Lord Krishna) in its manifold manifestations. Jayadeva expressed it with such charm and clarity that even the man behind the plough sang those songs and filled his heart with divine delight. King Lakshmana Sena, was stricken with envy at this and prepared a parallel book of songs and ordered that they be sung, instead of Jayadeva's outpourings, in all the temples in Odisha, including the Jagannath Temple at Puri. When his order was receded with universal protest, the king laid both the books at Lord’s Feet, locked the shrine and kept it under strict vigilance. When the doors were opened in the morning, the king saw the Lord having Jayadeva's Gita Govindam in His hand, while his rival book written out of envy and pride was thrown away. The Lord had announced that He showers Grace on inner purity, not outer pomp.


‘Gita Govindam’, sebuah untaian buku lagu tentang Govinda oleh pujangga terkenal yaitu Jayadeva dari Odisha, adalah sebuah penggambaran yang kekal dari Radha Bhakti (kasih dan bhakti yang dimiliki Radha kepada Sri Krishna) dalam wujud-Nya yang berbagai jenis. Jayadeva mengungkapkannya dengan penuh pesona dan kejelasan bahkan seseorang yang membajak sawah melantunkan lagu-lagu ini dan mengisi hati mereka dengan suka cita Tuhan. Raja Lakshmana Sena, merasa sangat iri dan cemburu akan kejadian ini dan mempersiapkan sebuah buku lagu yang sama dan memerintahkan agar lagu-lagu tersebut dinyanyikan di semua tempat suci di Odisha termasuk tempat suci Jagannath di Puri, dan bukan lagi lagu curahan hati dari Jayadeva. Ketika perintahnya ditentang dengan unjuk rasa yang besar, maka sang raja meletakkan kedua buku lagu itu di kaki Tuhan, mengunci tempat suci itu dan menjaganya dengan ketat. Ketika pintu tempat suci itu di buka keesokan paginya, sang raja melihat Tuhan memegang Gita Govindam milik Jayadeva di tangan-Nya, sedangkan buku sang raja yang ditulis karena perasaan iri hati dan kesombongan dibuang jauh. Tuhan telah menyatakan bahwa Beliau mencurahkan karunia pada kesucian batin dan bukan kesombongan di luar. [Divine Discourse, Sep 7, 1985]

-BABA

Thought for the Day - 25th August 2018 (Saturday)

Dear students, teachers and lovers of education, for the accomplishment of any aims in life you need an unflinching mind, tireless endeavour and unshakable determination. Young boys and girls must cultivate these qualities to ensure for themselves a bright future and an honourable and worthy career. To face different situations in life, students must learn to practice equanimity and amiability. Equal-mindedness and a sense of oneness with all is the mark of a true human being. All of you have social responsibility. The world indeed is one human family and you should experience this oneness. Sports and games enable students to develop this feeling of oneness. Sports, games and physical exercise contribute directly to physical fitness and good health. But you are not merely the gross body alone. You have the subtle element, the mind in you. It is only when you achieve purity of mind and develop unselfishness that you can acquire peace of mind and experience genuine happiness.


Para pelajar, guru, dan pencinta Pendidikan yang terkasih, untuk pencapaian dari tujuan apapun dalam hidup maka engkau memerlukan pikiran yang gigih, usaha tanpa lelah, dan keteguhan hati yang tidak tergoyahkan. Para pemuda dan pemudi harus meningkatkan sifat-sifat ini untuk memastikan diri mereka pada masa depan yang cemerlang dan terhormat dan karir yang layak. Untuk menghadapi situasi yang berbeda dalam hidup, para pelajar harus belajar untuk menjalankan ketenangan dan keramahan. Ketenangan pikiran dan sebuah kesadaran akan kesatuan dengan semuanya dan ini adalah tanda dari manusia yang sejati. Semua darimu memiliki tanggung jawab sosial. Dunia sejatinya adalah satu keluarga manusia dan engkau seharusnya mengalami perasaan kesatuan ini. Olahraga dan permainan memungkinkan para pelajar untuk mengembangkan perasaan kesatuan ini. Olahraga, permainan, dan latihan fisik secara langsung memberikan sumbangsih pada kesehatan fisik dan menjadi sehat. Namun engkau tidak hanya badan fisik saja. Engkau memiliki unsur yang halus yaitu pikiranmu. Hanya ketika engkau mencapai kesucian pikiran dan mengembangkan sifat tidak mementingkan diri sendiri maka engkau dapat mencapai kedamaian pikiran dan mengalami kebahagiaan yang sesungguhnya. [Divine Discourse, Jan 14, 1989]

-BABA

Friday, August 24, 2018

Thought for the Day - 24th August 2018 (Friday)

The years of life allotted to a human is very short; the world in which you live is very wide; time extends far behind and far beyond. Whatever little you must do, do it quickly, at the place and time assigned to you. You must carry out the duties of your role in a worshipful attitude. A garland does not arise of a single flower; many flowers of different hues and fragrances are strung around the string to achieve the common goal of decorating the Lord. Similarly, physical strength, monetary resources and the intelligence of all must be blended and pooled to make a project succeed. Life has been bestowed not for just eating and digesting, roaming and reclining; but for a far greater purpose - the realisation of the Divinity in us, and in all that exist around us as well as in all things that are beyond our senses. To waste such a life in vain pursuits, and in mere sense-pleasures is not the sign of an intelligent person. Deserve the Grace of God by helping the weak and poor, diseased and the disabled, the distressed and downtrodden.


Tahun-tahun kehidupan yang diberikan kepada manusia sangatlah singkat; dunia tempat engkau tinggal adalah sangat luas; waktu terbentang jauh ke belakang dan jauh ke depan. Apapun hal yang harus engkau lakukan maka lakukanlah dengan segera, di tempat dan waktu yang telah ditentukan bagimu. Engkau harus menjalankan kewajiban dari peranmu dengan sikap penuh bhakti. Sebuah kalung bunga tidak terjadi dari hanya satu bunga saja; banyak warna-warni bunga dan berbagai keharuman yang berbeda diikat bersama dengan benang untuk mencapai tujuan bersama untuk menghiasi Tuhan. Sama halnya, kekuatan fisik, kemampuan materi dan kecerdasan, semuanya ini harus dicampur dan disatukan untuk membuat rencana menjadi berhasil. Hidup telah diberikan bukan hanya untuk makan dan mencerna, mengembara dan berbaring; namun untuk sebuah tujuan yang lebih besar – menyadari ke-Tuhanan dalam diri kita, dan dalam semua yang ada di sekitar kita serta dalam semua hal diluar indria kita. Dengan menyia-nyiakan hidup seperti itu dalam sebuah pencarian yang sia-sia, dan hanya pada kesenangan indria bukanlah tanda dari orang yang cerdas. Dapatkan kelayakan untuk rahmat Tuhan dengan membantu yang lemah dan miskin, yang sakit dan cacat, yang tertekan dan tertindas. [Divine Discourse, Jan 28, 1975]

-BABA

Thursday, August 23, 2018

Thought for the Day - 23rd August 2018 (Thursday)

To the extent possible, serve society. Of course, you need to take up jobs and earn your livelihood. But do not be avaricious. Be satisfied with what you get. Everyone has to leave this world empty-handed. Alexander conquered many kingdoms and seized a lot of wealth. When his end approached, he realised that he could not take even a single penny with him. He requested his minister to keep his two hands raised above the head during the final journey so that the people would understand that even the mighty emperor Alexander had to leave the world taking nothing with him. Likewise, even a millionaire has to partake of only food; he cannot eat gold. So, be satisfied with the basic necessities of food, clothing and shelter. Do your jobs properly and undertake service activities in your leisure time. The best way to love God is to love all and serve all.


Sedapat mungkin untuk melayani masyarakat. Tentu saja, engkau memerlukan pekerjaan dan mencari penghasilan. Namun jangan menjadi tamak dan serakah. Puaslah dengan apa yang engkau dapatkan. Setiap orang harus meninggalkan dunia dengan tangan kosong. Alexander menaklukkan banyak kerajaan dan merampas banyak kekayaan. Ketika akhir hidupnya semakin dekat, dia menyadari bahwa dia tidak bisa membawa satu sen pun bersamanya. Dia meminta kepada menterinya untuk tetap membiarkan kedua tangannya terbuka di atas kepala saat perjalanan terakhir sehingga orang-orang akan memahami bahkan seorang Alexander yang agung harus meninggalkan dunia tanpa membawa apa-apa bersamanya. Sama halnya, bahkan seorang miliarder hanya makan makanan saja; dia tidak bisa makan emas. Jadi, berpuaslah dengan kebutuhan mendasar dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Lakukan pekerjaanmu dengan baik dan lakukan kegiatan pelayanan dalam waktu luangmu. Cara terbaik untuk mencintai Tuhan adalah mengasihi semuanya dan melayani semuanya. [Divine Discourse, Jul 26, 1999]

-BABA

Thought for the Day - 22nd August 2018 (Wednesday)

Your destiny is determined by your own actions. Through righteous actions, the mind is purified and a pure mind results in an awakening of jnana (spiritual wisdom). When you offer worship to God in the morning, you must offer your obeisance to whatever work you propose to do. You must pray to the presiding deity of Karma (action): "Let me do today only pure, purposeful and helpful actions." The circumstances of your birth are a result of past actions. Action (Karma), Birth (Janma), Righteousness (Dharma) and the secret of life (Marma) are all connected with Divinity (Brahman). They are like the four walls of a building. The first wall is Karma (action). One should not act as his fancies dictate. Before doing anything, you should consider whether it is proper or improper. Nothing should be done in haste on the impulse of the moment. Only then your actions will be sathwik and free from rajasic and tamasic stains.


Takdirmu ditentukan oleh perbuatanmu sendiri. Melalui perbuatan yang baik, pikiran disucikan dan pikiran yang suci menghasilkan terbangunnya jnana (kebijaksanaan spiritual). Ketika engkau mempersembahkan pemujaan kepada Tuhan di pagi hari, engkau harus mempersembahkan rasa hormatmu pada apapun kerja yang akan engkau kerjakan. Engkau harus berdoa pada Tuhan yang memimpin Karma (perbuatan): "Izinkan saya melakukan hari ini hanya perbuatan yang suci, penuh makna dan bermanfaat." Keadaan dari kelahiranmu adalah hasil dari perbuatanmu di masa lalu. Perbuatan (Karma), Kelahiran (Janma), Kebajikan (Dharma), dan rahasia hidup (Marma) seluruhnya terhubung dengan Tuhan (Brahman). Semuanya itu seperti empat dinding dalam sebuah bangunan. Dinding pertama adalah Karma (perbuatan). Seseorang seharusnya tidak melakukan perbuatan sesuai dengan kesukaannya. Sebelum melakukan apapun juga, engkau seharusnya mempertimbangkan apakah perbuatan itu layak atau tidak layak. Tidak ada satupun yang seharusnya dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa pada dorongan sesaat. Hanya dengan demikian perbuatanmu akan menjadi satwik dan bebas dari noda rajasik dan tamasik. (Divine Discourse, May 3, 1987)

-BABA

Tuesday, August 21, 2018

Thought for the Day - 21st August 2018 (Tuesday)

People desire fruits of good actions, without doing good actions! You wish to be saved from the consequences of evil deeds, but, ask yourself, do you refrain from bad actions? You feel happy when someone gives you something. But do you feel equally happy in giving to others? As you sow, so shall you reap, is a relentless law! No one can escape from the consequences of their actions, whether good or bad. To enjoy enduring happiness, you must fill your mind with pure thoughts and entertain fine feelings in your heart. Through good thoughts and good kindly actions, the heart gets pure and holy. In the journey of life, body is like a cart and heart is like a horse. Unless you feed the heart well, the journey cannot proceed properly. The heart must be fed with good fodder in the form of Satsang (good company), Sat Pravartana (good conduct) and good thoughts. Submit everything as an offering to God!


Orang-orang menginginkan buah dari perbuatan tanpa melakukan perbuatan baik! Engkau berharap untuk selamat dari akibat perbuatan yang jahat, namun tanyakanlah dirimu sendiri, apakah engkau menahan diri dari perbuatan yang buruk? Engkau merasa senang ketika seseorang memberikanmu sesuatu. Namun apakah engkau juga merasa senang dalam memberi kepada yang lain? Apa yang engkau tabur maka itu yang akan engkau panen, adalah sebuah hukum yang keras! Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan diri dari akibat perbuatan mereka, apakah itu perbuatan baik atau buruk. Untuk menikmati kebahagiaan yang kekal, engkau harus mengisi pikiranmu dengan gagasan yang suci dan memberikan perasaan yang baik di dalam hatimu. Melalui pikiran yang baik dan perbuatan yang baik penuh kasih, hati menjadi suci dan murni. Dalam perjalanan hidup, tubuh adalah seperti kereta dan hati adalah seperti kuda. Kecuali kalau engkau memberikan makan hati dengan baik, perjalanan tidak bisa berjalan dengan layak. Hati harus diberi makan dengan asupan yang bagus dalam bentuk Satsang (pergaulan yang baik), Sat Pravartana (tingkah laku yang baik) dan pikiran yang baik. Persembahkan segala sesuatu sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan! (Divine Discourse, May 3, 1987)

-BABA

Thought for the Day - 20th August 2018 (Monday)

Your body is mortal, but life principle (Atma) is imperishable. To attain immortality, have unconditional love for God. Imagine you going to a goldsmith and asking him to make a jewelry of your choice. Your job is only to entrust gold with him with the condition that the weight and design should be to your specification. You must not interfere in how he converts your gold into the jewelery you want. If you stipulate conditions that he should not burn it in fire, or beat it with a hammer, how can you get the ornament that you ordered? Similarly, if you surrender your heart to God with conditions and reservations, how can you attain bliss? What He does with you is His business. Pray to God with unconditional surrender. When all that you possess — your body, mind and intellect are His gifts, where is the need for you to lay conditions? Surrender completely, God will grant you the bliss you deserve!


Tubuhmu adalah fana, namun prinsip hidup (Atma) adalah kekal. Untuk mencapai keabadian, miliki cinta kasih tanpa syarat untuk Tuhan. Bayangkan engkau pergi ke tukang emas dan memintanya untuk membuat sebuah perhiasan pilihanmu. Tugasmu hanya mempercayakan emas itu kepada tukang emas dengan syarat bahwa berat dan design harus sesuai dengan perincianmu. Engkau seharusnya tidak mencampuri dalam bagaimana tukang emas merubah emas itu menjadi perhiasan yang engkau inginkan. Jika engkau menetapkan syarat bahwa tukang emas seharusnya tidak menaruh emas dalam api, atau memukulnya dengan palu, lantas bagaimana engkau bisa mendapatkan perhiasan yang engkau pesan? Sama halnya, jika engkau menyerahkan hatimu kepada Tuhan dengan syarat, bagaimana engkau dapat mencapai kebahagiaan? Apa yang Tuhan lakukan pada dirimu adalah urusan-Nya. Berdoa kepada Tuhan dengan berserah diri tanpa syarat. Ketika semua yang engkau miliki — seperti tubuh, pikiran, dan kecerdasan adalah hadiah dari Tuhan, dimana ada keperluan bagimu untuk memberikan syarat? Berserah diri sepenuhnya, Tuhan akan memberikanmu kebahagiaan yang engkau berhak dapatkan! (Divine Discourse, Nov 23, 1999)

-BABA

Sunday, August 19, 2018

Thought for the Day - 19th August 2018 (Sunday)

The culture of Bharat has laid great stress on the teaching, Matrudevo bhava (revere the mother as God) and Pitrudevo bhava (revere the father as God). Aren’t there many great people in the state of West Bengal? Aren’t there many who are rich and educated? But they could not succeed in life due to lack of faith in God. It was only Ramakrishna Paramahamsa who could lead an ideal life by loving his mother and obeying her commands, due to his implicit faith and devotion to his mother. He taught people that there is nothing greater and nobler in this world than mother’s love. You take the history of any great person in this world; they owe their greatness to their mother. The mother is God, verily. It is, therefore, not proper to hurt the feelings of a mother who is the embodiment of love. It is only when we develop love towards our mother that our life will become happy and prosperous.

Kebudayaan Bharat telah menaruh penekanan yang tinggi dalam ajarannya yaitu, Matrudevo bhava (memuliakan ibu sebagai Tuhan) dan Pitrudevo bhava (memuliakan ayah sebagai Tuhan). Bukankah ada banyak orang-orang yang hebat di negara bagian Bengal Barat? Bukankah ada banyak yang kaya dan berpendidikan? Namun mereka tidak berhasil dalam hidup karena kurangnya keyakinan pada Tuhan. Hanya Ramakrishna Paramahamsa yang dapat menapaki jalan hidup yang ideal dengan menyayangi ibunya dan mematuhi perintahnya, karena keyakinan dan bhaktinya yang penuh pada ibunya. Beliau mengajarkan orang-orang bahwa tidak ada yang lebih hebat dan mulia di dunia ini selain kasih ibu. Engkau dapat melihat dalam sejarah orang-orang yang hebat di dunia ini; mereka berhutang kebesaran mereka pada ibunya. Ibu adalah Tuhan, sejatinya. Maka dari itu, adalah tidak layak dengan menyakiti perasaan ibu yang merupakan perwujudan kasih. Hanya ketika kita mengembangkan kasih pada ibu kita maka hidup kita akan menjadi bahagia dan sejahtera. (Divine Discourse, May 6, 2005)

-BABA

Saturday, August 18, 2018

Thought for the Day - 18th August 2018 (Saturday)

Once Vivekananda asked Ramakrishna Paramahamsa whether he had seen God. Ramakrishna Paramahamsa emphatically replied, “Yes, I have seen God. I have seen Him just as I am seeing you.” “Then why I don’t see Him?” asked Vivekananda. Ramakrishna replied, “You weep for your family, you suffer for your business and wealth, but do you ever weep or yearn for a vision of God? Do that and you will certainly see God! All the time I am pining only for the vision of God. Therefore, God is visible to me at all times in every human being.” In this world, there is nothing easier than attaining God. You face hardships and feel dejected because you do not understand this truth. Instead of shedding tears for mundane things, why don’t you pine for the vision of God? Don’t go anywhere in search of God. Turn your vision inward. You can see God instantly. Have full faith that God is residing in your heart and experience Him within you.


Suatu hari Vivekananda bertanya kepada Ramakrishna Paramahamsa apakah beliau telah melihat Tuhan. Ramakrishna Paramahamsa dengan tegas menjawab, “Iya, saya telah melihat Tuhan. Saya melihat Tuhan persis seperti saya sedang melihatmu.” “Kemudian mengapa saya tidak bisa melihat-Nya?” tanya Vivekananda. Ramakrishna menjawab, “Engkau menangis untuk keluargamu, engkau menderita karena bisnis dan kesehatanmu, namun apakah engkau pernah menangis atau rindu untuk dapat melihat Tuhan? Lakukan itu dan engkau pastinya akan melihat Tuhan! Sepanjang waktu aku hanya sedih dan menderita untuk penglihatan Tuhan. Maka dari itu, Tuhan dapat dilihat olehku sepanjang waktu dalam semua manusia.” Di dunia ini, tidak ada yang lebih mudah daripada mencapai Tuhan. Engkau menghadapi kesulitan dan merasa patah hati karena engkau tidak mengerti kebenaran ini. Daripada meneteskan air mata untuk hal-hal duniawi dan biasa, mengapa engkau tidak merindukan untuk pandangan Tuhan? Bukankah engkau pergi kemana saja untuk mencari Tuhan? Bawalah pandanganmu ke dalam batin. Engkau dapat melihat Tuhan secara langsung. Miliki keyakinan yang penuh bahwa Tuhan bersemayam di dalam hatimu dan alami Tuhan di dalam dirimu. (Divine Discourse, Nov 23, 1999)

-BABA

Thought for the Day - 17th August 2018 (Friday)

Man always craves for bliss. The first requisite for achieving Supreme Bliss is a pure heart. One’s heart, which should be white and pure like milk, is today filled with bad thoughts and feelings. Spiritual exercises begin with the purification of the heart and then transforming it into an ocean of milk. When the heart is filled with satwic (pure) qualities, it becomes like a milky ocean. Only then does it become a worthy dwelling for the Lord (Vishnu) whose abode is described as Ksheera Sagara (the Ocean of Milk). But by yielding to tamasic and rajasic (dull and aggressive) impulses, people today have turned their heart into ksharasagaram, a salty ocean. In the salty ocean, we have sharks and whales. Likewise, in the heart of the evil-minded, bad qualities like lust, anger, greed and envy flourish. It is a folly to give room to such evil forces. They must be removed totally so that the Lord may find His rightful place in a heart that is pure and holy.


Manusia selalu mencari kebahagiaan. Syarat pertama untuk mendapatkan Kebahagiaan  yang Tertinggi adalah sebuah hati yang murni. Hati seseorang, yang seharusnya putih dan murni seperti susu, saat ini dipenuhi dengan pikiran dan perasaan yang buruk. Latihan spiritual dimulai dengan pemurnian hati dan kemudian mengubahnya menjadi lautan susu. Ketika hati dipenuhi dengan kualitas-kualitas satwik (murni), hati menjadi seperti lautan susu. Hanya setelah itu hati layak menjadi kediaman Tuhan (Vishnu) yang digambarkan sebagai Ksheera Sagara (Lautan Susu). Tetapi dengan menghasilkan dorongan yang bersifat tamasik dan rajas (malas dan agresif), manusia saat sekarang telah mengubah hati mereka menjadi ksharasagaram, lautan garam. Di lautan garam, kita memiliki hiu dan paus. Demikian juga, di dalam hati orang-orang yang berpikiran jahat, sifat-sifat buruk seperti nafsu, amarah, keserakahan, dan iri hati tumbuh dengan subur. Merupakan suatu kebodohan untuk memberi ruang bagi kekuatan jahat semacam itu. Kekuatan jahat itu harus disingkirkan sepenuhnya agar Tuhan dapat menemukan tempat-Nya yang tetap di dalam hati yang murni dan suci. (Divine Discourse, May 3, 1987)

-BABA

Friday, August 17, 2018

Thought for the Day - 16th August 2018 (Thursday)

Some people when faced with difficulties think that God is punishing them. It is a mistake to think so. God never punishes anybody. It is only the king who gives punishment, not God. God is love; He always gives only love. The punishment you suffer is the result of your own actions. God neither punishes you nor protects you. You are punished by your own sins and protected by your own good deeds. You may utilise light for writing inappropriate accounts or for reading the holy Ramayana. But light is not affected by what you do. Similarly God is the eternal witness. He is like the light, unaffected by your actions, good or bad. Be it pleasant or unpleasant, you have to face the consequences of your actions. So, do not indulge in bad actions. Always do good, be good, and see good. This is the way to God. Do not say, “I will try”; you must do it.


Beberapa orang ketika menghadapi kesulitan berpikir bahwa Tuhan sedang menghukum mereka. Merupakan sebuah kesalahan berpikir seperti itu. Tuhan tidak pernah menghukum siapapun juga. Hanya seorang raja yang memberikan hukuman, bukan Tuhan. Tuhan adalah cinta kasih; Tuhan selalu memberikan cinta kasih. Hukuman yang engkau derita adalah hasil dari perbuatanmu sendiri. Tuhan tidak memberikan hukuman dan tidak juga melindungimu. Engkau dihukum oleh dosamu sendiri dan dilindungi oleh perbuatan baikmu sendiri. Engkau mungkin menggunakan cahaya untuk menulis laporan yang tidak jelas atau untuk membaca kisah suci Ramayana. Namun cahaya tidak terpengaruh dengan apa yang engkau lakukan. Sama halnya Tuhan adalah saksi yang abadi. Tuhan adalah seperti cahaya, tidak terpengaruh dengan perbuatanmu, apakah itu baik atau buruk. Apakah perbuatan itu menyenangkan atau tidak menyenangkan, engkau harus menghadapi konsekuensi dari perbuatanmu. Jadi, jangan terlibat dalam perbuatan yang buruk. Selalulah berbuat baik, jadi orang baik, dan melihat yang baik. Ini adalah jalan menuju Tuhan. Jangan berkata, “Saya akan mencoba”; engkau harus melakukannya. (Divine Discourse, Apr 14, 1999)

-BABA

Thought for the Day - 15th August 2018 (Wednesday)

The flag is the symbol of victory, celebrating the joy of Independence. Each nation has its own flag. Pay attention to another flag to symbolise another laudable victory over one's lower instincts, impulses, passions, emotions and desires - the flag that has to be unfurled in every human heart. When you achieve that victory, you will become the true inheritors of Bharatiya culture. Everyone must love their motherland. But that should not lead to hating the other’s motherland. Hence you must pray, "May all the world be happy and peaceful.” Always remember that your peace and happiness are linked with the world's peace and happiness. Any act of hatred or violence committed by you will pollute the atmosphere of the world. When you adore any living being, the adoration reaches God, for He is in every being. Insult any living being and the insult too reaches God. So, expand love towards all, everywhere.


Bendera adalah simbol dari kemenangan, merayakan suka cita kemerdekaan. Setiap bangsa memiliki benderanya masing-masing. Berikan perhatian pada bendera yang lain untuk melambangkan kemenangan yang terpuji lainnya atas naluri, dorongan diri, nafsu, emosi, dan keinginan yang lebih rendah – bendera yang seharusnya dibentangkan dalam hati setiap manusia. Ketika engkau mencapai kemenangan itu, engkau akan menjadi ahli waris dari kebudayaan Bharatiya. Setiap orang harus mencintai tanah airnya. Namun itu seharusnya tidak mengarah pada membenci negara yang lainnya. Oleh karena itu engkau harus berdoa, "Semoga seluruh dunia bahagia dan penuh damai.” Selalulah ingat bahwa kedamaian dan kebahagiaanmu terkait dengan kedamaian dan kebahagiaan dunia. Apapun jenis tindakan kebencian atau kekerasan yang engkau lakukan akan mencemari atmosfer dunia. Ketika engkau menyayangi makhluk hidup apapun maka kasih sayang itu akan mencapai Tuhan, karena Tuhan bersemayam dalam setiap makhluk hidup. Dengan menghina siapapun juga maka penghinaan itu juga akan mencapai Tuhan. Jadi kembangkan kasih sayang kepada semuanya, dimana saja. (Divine Discourse, Aug 15, 1985)

-BABA

Thought for the Day - 14th August 2018 (Tuesday)

The eyes, the ears, the nose and the hand are the different limbs of the body. Body is a limb of the society. Society is a limb of mankind. Mankind is a limb of nature. Nature is a limb of God. It is because of the impact of modern education that man is misusing his limbs. The Vedas teach that all the education that one acquires should be utilised for the welfare of society. The Vedas say, Sarvaloka hite ratah (one should involve in the service of society). Sarvajnanopa sampannah (one should be a treasure of wisdom), and Sarva samudita gunaihi (one should cultivate all good qualities). After education, one should work for the welfare of society and the world at large. One should not have the narrow feeling that one’s family alone should be happy. Without the world, where is the family? Man and his family are dependent on society and the world at large. So, the individual and the family can be happy only when the world is safe and secure.


Mata, telinga, hidung, dan tangan adalah organ yang berbeda dari tubuh. Tubuh adalah organ dari masyarakat. Masyarakat adalah organ dari umat manusia. Umat manusia adalah organ dari alam. Alam adalah sebuah organ dari Tuhan. Karena dampak dari pendidikan modern manusia menyalahgunakan organ-organnya. Weda mengajarkan bahwa semua pendidikan yang seseorang raih seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Weda menjelaskan, Sarvaloka hite ratah (seseorang seharusnya terlibat dalam pelayanan masyarakat). Sarvajnanopa sampannah (seseorang seharusnya menjadi harta karun kebijaksanaan), dan Sarva samudita gunaihi (seseorang seharusnya meningkatkan semua sifat-sifat baik). Setelah pendidikan, seseorang seharusnya bekerja untuk kesejahteraan masyarakat dan dunia yang lebih luas. Seseorang seharusnya tidak memiliki perasaan yang sempit bahwa hanya satu keluarga saja yang bahagia. Tanpa dunia, dimana ada keluarga? Manusia dan keluarganya tergantung dari masyarakat dan dunia secara lebih luas. Jadi, individu dan keluarga hanya dapat bahagia ketika dunia aman. (Divine Discourse, Apr 14, 1999)

-BABA

Thought for the Day - 13th August 2018 (Monday)

In this journey of life, first and foremost, you need to have self-confidence. Today people suffer because of lack of self-confidence. There may be a few difficulties in your way, but do not be unduly perturbed. You should face all hardships with courage and conviction. Only then you will attain true happiness. If you have total faith in God, you will be able to overcome all difficulties. Never blame God for your difficulties. You are bound to face the consequences of your actions, whether good or bad! But if you earn God’s grace, even difficult circumstances will yield good. So develop faith in God more and more. You trust your friend whom you met only a few years ago, but not God who is with you, in you, and around you, throughout your life. You trust the washerman and part with your valuable clothes. Why then is it hard for you to have firm faith and trust in the omnipresent, omnipotent, and omniscient all-powerful Divinity?


Dalam perjalanan hidup, pertama dan utama yang engkau perlukan adalah memiliki kepercayaan diri. Hari ini manusia menderita karena kurangnya rasa percaya diri. Mungkin ada beberapa kesulitan dalam jalanmu, namun jangan menjadi terlalu bingung. Engkau harus menghadapi semua kesulitan dengan keberanian dan keyakinan. Hanya dengan demikian engkau akan mencapai kebahagiaan yang sejati. Jika engkau memiliki keyakinan total pada Tuhan, engkau akan mampu mengatasi semua kesulitan. Jangan pernah menyalahkan Tuhan atas kesulitanmu. Engkau terikat untuk menghadapi semua konsekuensi dari perbuatanmu sendiri, apakah itu baik atau buruk! Namun jika engkau mendapatkan rahmat Tuhan, bahkan keadaan sulit akan menghasilkan kebaikan. Jadi kembangkan keyakinan pada Tuhan lebih dan lebih lagi. Engkau mempercayai temanmu yang engkau temui beberapa tahun yang lalu, namun tidak mempercayai Tuhan yang ada bersamamu, di dalam dirimu, dan di sekitarmu, sepanjang hidupmu. Engkau percaya pada tukang cuci dan memberikan pakaianmu yang berharga. Lantas mengapa sulit bagimu untuk memiliki keyakinan yang mantap dan percaya pada kehadiran Tuhan dimana-mana, kemahakuasaan Tuhan, kemahatahuan Tuhan? (Divine Discourse, Feb 14, 1999)

-BABA

Thought for the Day - 12th August 2018 (Sunday)

In the present times, anxiety and fear are spreading amongst people and righteousness (dharma) is receiving a setback. The world can win back peace and harmony only when people are persuaded to practice the ideals laid down in the scriptures (Vedas) which serve as beacon-lights to guide mankind aright. All activities in your daily living (karma) are really speaking the practice of dharma. The Upanishads give us guidance on what must be done and what must be avoided in the journey of life. For involving oneself in good activities, spiritual wisdom is an essential prerequisite. They direct us to revere the mother as God, father as God, preceptor as God, and also the guest as God. They also warn us that truth and righteousness should not be neglected. So there are both positive and negative instructions — follow these counsels, not others. Accept whatever conduces to your progress in goodness; avoid the others.


Pada saat sekarang, kecemasan dan ketakutan menyebar luas diantara manusia dan kebajikan (dharma) sedang mengalami kemunduran. Dunia bisa kembali mendapatkan kedamaian dan keharmonisan hanya ketika manusia dibujuk untuk menjalankan idealisme yang terlampir dalam naskah suci (Weda) yang dijadikan sebagai lampu suar untuk menuntun manusia dengan benar. Semua kegiatan dalam hidupmu sehari-hari (karma) sejatinya berbicara tentang menjalankan dharma. Upanishad memberikan kepada kita tuntunan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari dalam perjalanan hidup. Melibatkan diri dalam kegiatan yang baik, kebijaksanaan spiritual adalah syarat yang mendasar. Upanishad mengarahkan kita untuk memuliakan ibu sebagai Tuhan, ayah sebagai Tuhan, guru sebagai Tuhan, dan juga tamu sebagai Tuhan. Upanishad juga memperingatkan kita bahwa kebenaran dan kebajikan seharusnya tidak diabaikan. Jadi ada dua perintah yaitu positif dan negatif — ikuti nasihat ini dan bukan yang lainnya. Terima apapun yang mengakibatkan kemajuanmu dalam kebaikan; hindari yang lainnya. (Sathya Sai Vahini, Ch 11, ‘Values in Vedas’)

-BABA

Saturday, August 11, 2018

Thought for the Day - 11th August 2018 (Saturday)

Righteousness (Dharma) has no prejudice or partiality; it is imbued with truth and justice. People must adhere to right-conduct (dharma); they must see that they never go against it. It is wrong to deviate from it. The path of dharma requires people to give up hatred against others and cultivate mutual concord and amity. Through concord and amity, the world will grow day by day into a place of happiness. If these are well established, the world will be free from disquiet, indiscipline, disorder, and injustice. Whatever good value you desire to follow, first grasp its real meaning. Then, you must cultivate it daily and benefit from it. By this means, wisdom grows and lasting joy is earned. The wise, who are impartial and unprejudiced, who are committed to living in dharma, walk on the path of truth (Sathya), as instructed in the Vedas. That is the path for all people today.


Kebajikan (Dharma) tidak memiliki prasangka atau keberpihakan; dharma dijiwai dengan kebenaran dan keadilan. Manusia harus berpegang pada kebajikan (dharma); mereka harus melihat bahwa mereka tidak pernah bisa menentangnya. Merupakan sebuah kesalahan menyimpang dari dharma. Jalan dharma menuntut manusia untuk melepaskan kebencian terhadap yang lain serta meningkatkan kerukunan dan hubungan yang baik. Dengan kerukunan serta hubungan yang baik, dunia akan tumbuh dari hari ke hari menjadi tempat kebahagiaan. Jika kedua hal ini dapat dengan baik dijalankan, maka dunia akan bebas dari kegelisahan, ketidakdisplinan, kekacauan, dan ketidakdilan. Apapun kualitas baik yang engkau ingin ikuti, langkah pertama adalah memahami makna yang sesungguhnya. Kemudian, engkau harus meningkatkannya setiap hari dan mendapatkan keuntungan darinya. Dengan cara ini, kebijaksanaan akan tumbuh dan suka cita yang kekal bisa diperoleh. Mereka yang bijaksana, tidak berat sebelah dan tidak berpihak, yang berkomitmen untuk hidup dalam dharma, berjalan di jalan kebenaran (Sathya), seperti yang diperintahkan dalam Weda. Itu adalah jalan untuk semua orang hari ini. (Dharma Vahini, Ch 13, ‘The Dharmic Person’)

-BABA

Thought for the Day - 10th August 2018 (Friday)

In all worldly activities, be careful not to offend propriety or the canons of good nature; do not play false to the promptings of the inner voice; be prepared at all times to respect the appropriate dictates of conscience; watch your steps to see whether you are in someone else’s way; and be ever vigilant to discover the truth behind all this scintillating variety. This is your duty, your dharma. The blazing fire of wisdom (jnana), which convinces you that everything is Divine (Sarvam Khalvidam Brahma), will consume into ashes all traces of your egotism and worldly attachment. Whoever subdues egotism, conquers selfish desires, destroys bestial feelings and impulses, and gives up the natural tendency to regard the body as the self that person is surely on the path of dharma; they know that the goal of dharma is the merging of the wave in the sea, the merging of the Self in the Supreme Divine!


Dalam semua aktivitas duniawi, berhati-hatilah untuk tidak melukai nilai kesopanan atau norma-norma yang baik; Jangan mencoba untuk membohongi kata hati; bersiaplah sepanjang waktu untuk menghormati arahan dari suara hati yang benar; perhatikan langkahmu untuk melihat apakah engkau ada di jalan orang lain; dan selalulah waspada untuk mengungkap kebenaran dibalik semuanya dalam perbedaan yang berkilauan. Ini adalah kewajibanmu, dharmamu. Nyala api kebijaksanaan (jnana), yang meyakinkanmu bahwa segala sesuatu adalah Tuhan (Sarvam Khalvidam Brahma), akan menghanguskan semua jejak ego dan keterikatan duniawimu menjadi abu. Siapapun yang menundukkan ego, menaklukkan keinginan yang mementingkan diri sendiri, menghancurkan perasaan serta dorongan binatang, serta melepaskan kecenderungan alami dengan menganggap badan adalah sebagai diri sejati maka orang itu pastinya ada di jalan dharma; mereka mengetahui bahwa tujuan dari dharma adalah menyatu ke dalam gelombang lautan, penyatuan diri sejati dengan Tuhan yang tertinggi!  (Dharma Vahini, Ch 1, ‘What is Dharma?’)

-BABA

Thought for the Day - 9th Augustt 2018 (Thursday)

Since you can’t swim across a flooded stream, you board a raft. So also, since you can’t master the Formless, you resort to the Form with attributes and struggle to swim across to the Formless through worship and contemplation. But can you remain forever on the raft, amidst the currents and whirlpools? You must discard this conventional worship some day and reach the shore. Worship is just a means of educating the emotions. Human impulses and emotions have to be guided and controlled. Just as the raging waters of the Godavari river have to be curbed by dikes, halted by dams, tamed by canals, and led quietly to the ocean which can swallow all floods without a trace, so too the age-long instincts in you have to be trained and transmuted by contact with higher ideals and powers. When the fruit is ripe, it will fall off the branch of its own accord. Similarly, when renunciation saturates your heart, you lose contact with the world and slip into the lap of the Lord.


Karena engkau tidak bisa berenang menyebrangi aliran air yang deras, maka engkau menggunakan sebuah rakit. Begitu juga, karena engkau tidak bisa memahami yang tanpa wujud, engkau mengambil jalan pada yang berwujud dengan sifat dan berusaha untuk berenang menyebrang pada yang tanpa wujud melalui pemujaan dan kontemplasi. Namun, dapatkah engkau tinggal selamanya di atas rakit, diantara aliran dan pusaran air? Engkau harus melepaskan pemujaan yang bersifat biasa suatu hari nanti dan mencapai pantai. Pemujaan adalah sebuah sarana dalam mendidik emosi. Dorongan dan emosi manusia harus diarahkan dan dikendalikan. Seperti halnya amukan air dari sungai Godavari harus diarahkan dengan tanggul, dihentikan dengan bendungan, dijinakkan dengan kanal, dan diarahkan dengan tenang menuju lautan dimana lautan dapat menelan semua aliran yang deras tanpa jejak, begitu juga naluri abadi dalam dirimu harus dilatih dan diubah melalui terhubung dengan kekuatan dan ideal yang lebih tinggi. Ketika buah sudah matang maka buah akan lepas dan jatuh dari dahan atas kemauannya sendiri. Sama halnya, ketika pelepasan kemelekatan memenuhi hatimu, engkau kehilangan keterhubungan dengan dunia dan jatuh di pangkuan Tuhan. (Divine Discourse, Oct 26, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 8th August 2018 (Wednesday)

When a person dies, his property and assets remain at home; they do not go with him. Their relatives cannot also go; only the good or the bad name they have earned lasts here. So you must live in such a way that posterity will remember you with gratitude and joy. To lead the good life, constant prompting from the God within is a great help. That inspiration can be got only by constantly reciting the Lord's Name and calling on the inner springs of Divinity. The Name is so valuable an instrument to win His Grace, to realise His Presence, to picture His Form, and to remember His Glory. Even if it is repeated from the heart once in the morning, and once in the evening, that will make the griham (home) a griham, instead of a guha (cave). Remember how happy, contented and carefree were the great saints who revelled in that Name - Jayadeva, Tukaram, Kabir, Surdas, Tulsidas, or Ramakrishna.


Ketika seseorang meninggal, kekayaan dan asetnya masih tetap di rumah; semuanya itu tidak ikut pergi dengannya. Kerabat mereka juga tidak ikut pergi; hanya nama baik atau nama buruk yang mereka dapatkan akan ikut. Jadi engkau harus hidup sedemikian rupa agar anak cucu akan mengingatmu dengan rasa syukur dan suka cita. Untuk menjalani hidup yang baik, dorongan secara terus menerus dari Tuhan dari dalam diri adalah sebuah bantuan yang sangat besar. Inspirasi itu hanya bisa didapat melalui pengulangan nama suci Tuhan secara teratur dan memanggil sumber keilahian di dalam diri. Nama adalah sangat bernilai sebagai sebuah alat untuk mendapatkan karunia-Nya, menyadari kehadiran-Nya, menggambarkan wujud-Nya dan mengingat kemuliaan-Nya. Walaupun jika nama ini diulang dari hati hanya sekali di pagi hari dan sekali di sore hari, itu akan membuat griham (rumah) sebuah griham, bukannya sebuah guha (gua). Ingatlah betapa bahagia, senang dan riang para orang-orang suci yang tenggelam dalam kebahagiaan dalam nama itu, seperti - Jayadeva, Tukaram, Kabir, Surdas, Tulsidas, atau Ramakrishna. (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 27)

-BABA

Thought for the Day - 7th August 2018 (Tuesday)

In order to ward off evil, some people, who have so far never spent on charity tend to spend lavishly for holy rituals, worship rites, and the propitiation of planetary powers. So far, so good; let some money flow from one pocket to another that needs it more. Let money circulate. Let the spirit of charity grow, even out of panic. But calamity, danger, and death cannot be avoided for all time; they are inevitable factors of life, and you have to learn to live bravely with them. This can be accomplished only by uninterrupted prayer, and not by spurts of worship actuated by sudden fear. Purify your hearts and your thoughts, feelings, emotions, and speech; strengthen your nobler impulses. Then, no panic can unnerve you and nothing can shake your stability and inner peace (Prasanthi). Your prayers will be heard and answered; the Lord has no distinction of big or small, high or low.


Dalam upaya menangkal kejahatan, beberapa orang yang sejauh ini tidak pernah melakukan derma cenderung menghabiskan banyak uang untuk ritual suci, ritual pemujaan, dan pengambilan hati dari kekuatan planet. Sejauh ini bagus; biarkan uang mengalir dari satu kantong ke kantong yang lain yang lebih membutuhkan. Biarkan uang terdistribusi. Tumbuhkan sifat berderma untuk semakin berkembang, walaupun karena panik. Namun malapetaka, bahaya, dan kematian tidak bisa dihindarkan sepanjang waktu; semuanya itu adalah faktor yang tidak bisa dielakkan dalam hidup, dan engkau harus belajar hidup berani dengan semuanya itu. Hal ini bisa dilakukan hanya dengan doa yang tidak terputus, dan bukan oleh doa yang dilakukan dengan tergesa-gesa karena takut akan kematian. Sucikan hati dan pikiranmu, perasaan, emosi, dan perkataan; kuatkan dorongan yang lebih luhur dari dalam dirimu. Kemudian, tidak ada kepanikan yang dapat melemahkanmu dan tidak ada yang dapat menggoyahkan stabilitas dan kedamaian batinmu (Prasanthi). Doamu akan didengarkan dan dijawab; Tuhan tidak memiliki batasan akan besar atau kecil, tinggi atau rendah. (Divine Discourse, Mar 4, 1962)

-BABA


Thought for the Day - 6th August 2018 (Monday)

There are three types of people who approach the Lord: a) the eagle type, which swoops down on the target with a greedy swiftness and suddenness that, by its very impact, fails to secure the object coveted; b) The monkey type, which flits hither and thither, from one fruit to another, unable to decide which is tasty; c) and the ant type, which moves steadily but slowly toward the desirable object. The ant does not hit the fruit hard and make it fall away, nor does it pluck all the fruits it sees; it appropriates just as much as it can assimilate, and no more. Do not fritter away the time allotted to you for sojourning on Earth in foolish foppery and fault finding, which always keep you outdoors. When are you going to walk indoors into the warmth and quiet of your own interior? Now and then, retire into solitude and silence; experience the joy derivable only from within.


Ada tiga jenis manusia yang mendekati Tuhan: a) Jenis elang, yang terbang menukik pada target dengan sebuah kecepatan secara serampangan dan kerakusan, sehingga akibatnya gagal untuk mendapatkan objek yang didambakan; b) Jenis monyet, yang melompat kesana dan kemari dari satu buah ke buah yang lainnya dan tidak mampu memutuskan yang mana buah yang lezat; c) dan jenis semut, yang bergerak dengan pasti namun pelan menuju ke arah objek yang diinginkan. Semut tidak memukul buah dengan keras dan membuat buah itu jatuh, dan tidak juga memetik semua buah yang dilihatnya; semut hanya mengambil untuk dirinya sebanyak yang bisa dicernanya dan tidak lebih. Jangan menyia-nyiakan waktu yang diberikan kepadamu dalam persinggahan di bumi dengan kebodohan dan mencari-cari kesalahan yang membuat dirimu selalu ada di luar. Kapan engkau berjalan ke dalam kehangatan dan ketenangan dalam dirimu? Sesekali, beristirahatlah dalam keheningan dan ketenangan; merasakan suka cita yang hanya berasal dari dalam diri. (Divine Discourse, Oct 26, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 5th August 2018 (Sunday)

You clamour for further experience of My divine nature and ask that your faith might be strengthened therefrom. To know the taste of sea water, isn’t a drop on the tongue enough? Do you need to drink it all? It is your waywardness, egoism, and pride that makes you doubt and deny what you once tasted! Isn’t one experience enough? Well, let Me ask, how can the limited know the depth of the Unlimited? How can the ant delve into the mountain? It is beyond you to gauge Me. You have no patience even to deal with the problems of a single family, though it is your responsibility. Imagine My patience that allows Me to listen to and solve problems of million families with infinite love! You can never grasp the strength of this super-worldly bond that ties you to Me. The experience of that bond will come to you unaware. Your duty is to await the moment. Believe and be blessed!


Engkau menuntut untuk pengalaman lebih lanjut dengan kualitas keilahian-Ku dan meminta agar keyakinanmu dikuatkan darinya. Untuk mengetahui rasa dari air laut, bukankah setetes air laut di lidah sudah cukup? Apakah engkau perlu untuk meminum semua air laut? Merupakan ketidakpatuhan, egoisme, dan kebanggaan yang membuatmu ragu dan menyangkal apa yang pernah engkau rasakan! Bukankah satu pengalaman sudah cukup? Jika Aku tanyakan, bagaimana yang terbatas mengetahui kedalaman dari yang tidak terbatas? Bagaimana bisa semut menyelidiki ke dalam gunung? Ini adalah melampauimu untuk mengukur Aku. Engkau tidak memiliki kesabaran untuk menangani masalah dalam satu keluarga, walaupun itu adalah tanggung jawabmu. Bayangkan kesabaran-Ku yang memungkinkan Aku untuk mendengarkan dan memecahkan masalah jutaan keluarga dengan kasih yang tidak terbatas! Engkau tidak pernah bisa mengerti kekuatan dari ikatan super-duniawi yang mengikatmu dengan-Ku. Pengalaman ikatan itu akan datang padamu tanpa engkau sadari. Kewajibanmu adalah untuk menunggu saat itu. Percaya dan terberkati! (Divine Discourse, Oct 23, 1961)

-BABA