Thursday, September 23, 2021

Thought for the Day - 28th July 2021 (Wednesday)

The mind spins a cocoon for the individual soul to be imprisoned in. Karma, which is the activity of ignorance (maya), encloses the individual in its grip. It is the husk that makes the paddy seed grow and yield more paddy plants and more grains of paddy. Remove the husk, and there is no more sprouting! The husk (karma) makes the individual soul sprout and undergo the pleasure and pain produced by the impressions unconsciously left on the mind by past good or bad actions (vasanas) and perform purificatory rites and sacred ceremonies. Hence, you reward and punish yourself as the result of your own activities! You are born now because you wished to come here; you gravitate to the level to which your deeds drag or lift you! You make your own future by your thoughts, desires and deeds. 



Pikiran memutar sebuah kepompong jiwa individu untuk dipenjarakan. Karma, yang mana merupakan tindakan dari kedunguan (maya), membungkus individu dalam cengkeramannya. Adalah kulit yang membuat benih padi dapat tumbuh dan menghasilkan lebih banyak tanaman padi dan lebih banyak bulir padi. Membuang kulitnya maka tidak akan ada lagi pertumbuhan! Sekam (karma) membuat jiwa individu bertumbuh dan mengalami kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan oleh kesan yang secara tidak sadar tertinggal dalam pikiran oleh perbuatan baik dan buruk di masa lalu (vasanas) dan melakukan upacara penyucian dan upacara suci. Karena itu, engkau memuji dan menyalahkan dirimu sendiri sebagai hasil dari perbuatanmu sendiri! Engkau lahir sekarang karena engkau berharap untuk datang ke sini; engkau tertarik ke tingkat dimana perbuatanmu menyeretmu atau mengangkatmu! Engkau menentukan masa depanmu sendiri dengan pikiran, keinginan, dan perbuatanmu sendiri. (Divine Discourse, Jul 17, 1962)

-BABA

 

Thought for the Day - 27th July 2021 (Tuesday)

It was just said, all of you are all like boulders, rough and hard, and devotion has the power to make you soft and smooth. Now, what does a sculptor do when he sees a good boulder? He pictures in his mind the lovely idol of God that is sleeping inside it. He becomes possessed with the idea of liberating the idol from the hard clasp of the stone. He takes up his chisel and removes the extra stone that lies around the beautiful figure, and, at last, he liberates the image. The boulder has to suffer all that hard chiselling in order to become the image of God. So too, you should cast off all the impediments, all the encumbrances that drag you down and make you a boulder instead of a devotee, an ascetic of the highest order (Paramahamsa), or even the Supreme Being (Paramatma). 



Baru saja dikatakan, semua darimu adalah seperti batu besar, keras dan kasar, dan bhakti memiliki kekuatan untuk membuatmu menjadi lembut dan halus. Sekarang, apa yang tukang pahat lakukan ketika dia melihat sebuah batu yang bagus? Dia menggambarkan di dalam pikirannya wujud Tuhan yang indah yang tersimpan di dalam batu itu. Tukang pahat menjadi kesurupan dengan ide membebaskan wujud Tuhan itu dari cengkraman keras batu. Dia mengambil pahatnya dan membuang batu-batu yang menyelimuti di sekitar arca yang indah, dan pada akhirnya tukang pahat itu membebaskan wujud arca. Batuan itu harus menderita karena pahatan keras untuk bisa menjadi sebuah wujud Tuhan yang indah. Demikian juga, engkau harus membuang semua rintangan, semua beban yang menyeretmu ke bawah dan membuatmu menjadi batu dan bukan seorang bhakta, seorang pertapa tertinggi (Paramahamsa), atau bahkan Yang Mahatinggi (Paramatma). (Divine Discourse, Jul 27, 1961)

-BABA

 

Thought for the Day - 26th July 2021 (Monday)

Do not do spiritual practice on and off; do it in an unbroken, disciplined way. Otherwise, it will be like watering a plant for some time, leaving it to go dry and starting again. The centre point between eyebrows on which you are asked to concentrate is not the point where your eyebrows meet in the centre of your forehead; it is a point in your inner awareness, your heart (hridaya). Like celestial damsels that were sent by Indra to break the penance of sages, you will get nine varieties of music during meditation, but do not be elated by that and suspend your meditation. Resolve with a sincere desire to succeed. Even Garuda cannot reach the goal if it does not spread its wings and leap into the sky. So, make a move, put a step forward. That is the immediate task. Your resolve on this day should be to start with a sincere desire to succeed. Light will be shed by the grace of the Lord. The Lord has come to help you. 



Jangan lakukan latihan spiritual secara kadang-kadang; lakukan latihan spiritual dengan disiplin dan tidak terputus. Jika tidak, hal ini akan seperti mengairi sebuah tanaman kadang-kadang, membiarkannya kering dan memulai menyiram lagi. Titik penting diantara alis tempat dimana engkau diminta untuk memusatkan perhatian bukanlah titik dimana kedua alis bertemu di tengah-tengah dahimu; ini adalah titik di dalam kesadaran di dalam batinmu, dalam hatimu (hridaya). Seperti bidadari yang dikirim oleh Indra untuk mengganggu tapa brata dari para Resi, engkau akan mendapatkan sembilan jenis musik selama meditasi, namun jangan gembira dengan hal itu dan menunda meditasimu. Tetapkan hati dengan sebuah keinginan tulus untuk berhasil. Bahkan Garuda tidak bisa mencapai tujuan jika tidak mengepakkan kedua sayapnya dan terbang ke atas langit. Jadi, buatlah sebuah gerakan, maju selangkah ke depan. Itu adalah tugas yang segera harus dilakukan. Ketetapan hatimu pada hari ini harus dimulai dengan sebuah keinginan tulus untuk berhasil. Terang akan dilimpahkan oleh karunia Tuhan. Tuhan telah datang untuk menolongmu. (Divine Discourse, Jul 17, 1962)

-BABA

 

Thought for the Day - 25th July 2021 (Sunday)

Know that waking from sleep is but birth and going into sleep is death. Every morning, pray on waking up, “Oh Lord, I am born now from the womb of sleep. I am determined to carry out all tasks today as offering to Thee, with Thee ever present before my mind’s eye. Make my thoughts, words and deeds sacred and pure. Let me not inflict pain on anyone; let no one inflict pain on me. Direct and guide me, this day.” And when you enter the portals of sleep at night, pray, “Oh Lord! The tasks of this day, whose burden I placed on You this morning, are over. It was Thee who made me think, talk, walk and act. I therefore place at Thy Feet all my thoughts, words and deeds. My task is done. Receive me, I am coming back to you.” Adopt these as your daily prayers. This prayerful attitude will so educate your impulses that the Inner Intelligence will be fully revealed. 



Ketahuilah bahwa bangun dari tidur tiada lain hanyalah kelahiran dan pergi tidur adalah kematian. Setiap pagi, berdoalah saat bangun pagi, “Oh Tuhan, hamba telah lahir dari rahim tidur. Hamba bertekad untuk menjalankan semua tugas hari ini sebagai persembahan kepada-Mu, dengan Tuhan selalu hadir di depan mata pikiran hamba. Jadikanlah pikiran, perkataan, dan perbuatan hamba suci dan murni. Jangan biarkan hamba menimbulkan kepedihan atau rasa sakit pada siapapun juga. Arahkan dan tuntun hamba, pada hari ini.” Dan ketika engkau akan memasuki gerbang tidur di malam hari, berdoalah, “Oh Tuhan! Tugas hari ini, yang mana bebannya hamba taruh pada-Mu di pagi hari tadi, telah selesai dijalankan. Adalah diri-Mu yang membuat hamba berpikir, berbicara, berjalan, dan bertindak. Maka dari itu hamba menaruhnya di kaki padma-Mu semua pikiran, perkataan, dan perbuatan hamba. Tugas hamba telah selesai. Terimalah hamba, hamba datang kembali kepada-Mu.” Gunakan ini sebagai doa harianmu. Sikap doa seperti ini akan sangat mendidik dorongan hatimu sehingga kecerdasan batin akan terungkap sepenuhnya. (Divine Discourse, Jul 27, 1961)

-BABA

 

Thought for the Day - 24th July 2021 (Saturday)

The Guru is needed when you have the Guri (goal or aim in Telugu). If you do not have that urge, what can the teacher do? Strewing precious seeds on sand or rock is a sheer waste! Inner prompting to see light must send aspirants to the teacher or must draw the teacher to wherever the aspirant is. You must inquire and discriminate: Do objects grant happiness? Is anyone happy? How can one be happy through multiplications of desire and frantic efforts to feed the raging fire? At last, you will, by your own experience, discover that happiness is an inner gift, a spiritual treasure that can be won by equanimity. The moon is the presiding deity of the mind; it must shine, cool and comforting, eternally, in fullness, in the inner firmament of the heart (hriday-akasa). The external material moon waxes and wanes, but the internal mind should be trained to stand up against modifications and moods, and have no marks on it; it should always be a full moon for the victorious spiritual aspirant! 



Guru dibutuhkan ketika engkau memiliki Guri (tujuan dalam Bahasa Telugu). Jika engkau tidak memiliki desakan tujuan ini, apa yang dapat guru lakukan? Menaburkan benih yang berharga di atas pasir atau batu cadas adalah benar-benar membuang-buang waktu saja! Dorongan dari dalam diri untuk melihat cahaya mengharuskan seorang murid menuju ke guru atau harus menarik guru dimanapun murid itu. Engkau harus melakukan penyelidikan dan membedakan: apakah objek-objek ini memberikan kebahagiaan? Apakah ada orang yang mengalami kebahagiaan? Bagaimana bisa seseorang mengalami kebahagiaan walaupun banyaknya keinginan dan usaha yang panik untuk menghidupkan kobaran api keinginan itu? Pada akhirnya, engkau akan dengan pengalamanmu sendiri, mengungkapkan bahwa kebahagiaan itu adalah sebuah hadiah di dalam diri, sebuah harta karun spiritual yang hanya dapat diraih dengan keseimbangan batin. Bulan adalah dewa utama pikiran; bulan harus bersinar, sejuk dan menenangkan, abadi, dalam kepenuhan, di dalam cakrawala hati (hriday-akasa). Sedangkan bahan-bahan bulan di luar diri bersifat bertambah dan berkurang, namun pikiran di dalam diri harus dilatih untuk berdiri melawan perubahan dan suasana hati, dan tidak memiliki bekas di atasnya; pikiran harus selalu menjadi sebuah bulan penuh untuk kemenangan bagi para peminat spiritual! (Divine Discourse, Jul 17, 1962)

-BABA

 

Thought for the Day - 23rd July 2021 (Friday)

The real renunciation is to give oneself away. Then, the guru will grant freedom to follow one’s own will, as Krishna did. “Beloved Arjuna! As you will, so you act (Yathechchasi, thathaa kuru). Think well. And do as you like,” Krishna told him. He meant that He had given him all the advice he needed and had also accepted the ego Arjuna had discarded. So, Arjuna could now be granted freedom to act as he willed, for his will has become His. The individual who has reached this level has to be given freedom. The guru should not mercilessly order the pupil simply because the pupil has dedicated everything to him. The guru should not turn into a person who steals wealth (vittha-apahari) but should be a person who steals hearts! The guru has to be an alarm timepiece. The guru must wake up those who are enveloped in the sleep of ignorance and reward them with teachings on the knowledge of their Atmic Reality. 



Praktik meninggalkan kehidupan duniawi yang sesungguhnya adalah menyerahkan diri. Kemudian, guru akan memberikan kebebasan untuk mengikuti kehendaknya sendiri, seperti yang dilakukan Krishna. “Arjuna terkasih! Seperti yang engkau inginkan, maka engkau bertindak (Yathechchasi, thathaa kuru). Pikirkan baik-baik. Dan lakukan sesukamu,” kata Krishna kepadanya. Maksudnya bahwa Beliau telah memberikan semua nasihat yang dia butuhkan dan juga menerima ego yang telah dibuang Arjuna. Jadi, Arjuna sekarang dapat diberikan kebebasan untuk bertindak sesukanya, karena kehendaknya telah menjadi miliknya. Individu yang telah mencapai tingkat ini harus diberikan kebebasan. Guru tidak boleh tanpa ampun memerintahkan muridnya hanya karena murid itu telah mendedikasikan segalanya untuknya. Guru seharusnya tidak berubah menjadi orang yang mencuri kekayaan (vittha-apahari) tetapi harus menjadi orang yang mencuri hati! Guru harus menjadi penunjuk waktu alarm. Guru harus membangunkan mereka yang terbungkus dalam tidur ketidaktahuan dan menghadiahi mereka dengan ajaran tentang pengetahuan mengenai Realitas Atma mereka. (Vidya Vahini, Ch 12)

-BABA

 

Thought for the Day - 22nd July 2021 (Thursday)

Soap and water are needed to wash accumulated dirt off one’s clothes. So too, spiritual knowledge and penance are essential when one is anxious to remove dirt that is stuck to the mind. Only when both are done, can levels of consciousness be thoroughly cleansed. No vehicle can move without two wheels, nor can birds fly on one wing. So too, none can be purified or rendered holy without spiritual learning and spiritual austerity. Spiritual austerity (tapas) doesn’t mean positioning oneself upside down, head on ground & feet held up, like bats. Nor is it renunciation of possessions, properties, wife and children, or holding nose to regulate breath. Physical actions, vocal assertions, and mental resolve — all three must be in unison. Thoughts, speech, and actions - all must be pure. This is real spiritual austerity. Moreover, these three must be coordinated not by compulsions of duty; but for the contentment of the Self. Spiritual Effort (Tapas) must be undertaken to satisfy one’s inner yearnings. This struggle is the essence of Tapas! 



Sabun dan air diperlukan untuk mencuci kotoran dari pakaian seseorang. Demikian juga, pengetahuan spiritual dan penebusan dosa sangat penting ketika seseorang ingin menghilangkan kotoran yang menempel pada pikiran. Hanya ketika keduanya dilakukan, tingkat kesadaran dapat dibersihkan secara menyeluruh. Tidak ada kendaraan yang dapat bergerak tanpa dua roda, demikian pula burung tidak dapat terbang dengan satu sayap. Demikian juga, tidak ada yang dapat dimurnikan atau disucikan tanpa pembelajaran spiritual dan pertapaan spiritual. Pertapaan spiritual (tapas) tidak berarti memposisikan diri secara terbalik, kepala di atas tanah dan kaki terangkat, seperti kelelawar. Juga bukan pelepasan kepemilikan, properti, istri dan anak-anak, atau menahan hidung untuk mengatur nafas. Tindakan fisik, penegasan vokal, dan tekad mental — ketiganya harus serempak. Pikiran, ucapan, dan tindakan - semuanya harus murni. Inilah pertapaan spiritual sejati. Apalagi ketiganya harus dikoordinasikan bukan dengan paksaan tugas; tetapi untuk kepuasan Diri. Upaya Spiritual (Tapas) harus dilakukan untuk memuaskan kerinduan batin seseorang. Perjuangan ini adalah inti dari Tapas! (Vidya Vahini, Ch 12)

-BABA

 

Thought for the Day - 21st July 2021 (Wednesday)

Man is a triune composite of body, mind, and spirit (Atma). As a consequence, man has three natures in his make-up: (1) a low, animal nature, (2) a human nature, replete with worldly knowledge and skill, and (3) the genuine nature of man, namely, divine, the Atmic nature. Becoming aware of this third nature and establishing oneself in it — this is spiritual education (vidya). The body is a machine with five elements as its components: space, air, fire, water, and earth. God is playing with it, Himself unseen. The body is a tree; love of Self is the root; desires are the branches it sends forth; qualities, attributes, and modes of behaviour based on basic nature are the flowers issuing therefrom; and joy and grief are the fruits it offers. The human body is a world in itself. The blood flows through and animates every part of the body. God flows in and through and activates every spot in the world! 



Manusia adalah gabungan tri tunggal dari tubuh, pikiran, dan jiwa (Atma). Sebagai konsekuensinya, manusia memiliki tiga sifat di dalam dirinya: (1) sifat binatang rendahan, (2) sifat manusia penuh dengan pengetahuan dan keterampilan duniawi, dan (3) sifat asli dari manusia yaitu keilahian atau sifat atma. Menyadari terhadap tiga sifat ini dan memantapkan diri di dalamnya – ini adalah pendidikan spiritual (vidya). Tubuh adalah sebuah mesin dengan lima unsur sebagai komponennya yaitu: ruang, udara, api, air, dan tanah. Tuhan sedang bermain dengan tubuh dengan tanpa terlihat. Tubuh adalah sebuah pohon; kasih pada Diri sejati adalah akarnya; keinginan adalah cabangnya; kualitas, sifat, dan bentuk tingkah laku berlandaskan pada sifat dasar adalah bunga yang tumbuh dari pohon tersebut; serta suka dan duka cita adalah buah yang dipersembahkannya. Tubuh manusia adalah sebuah dunia. Darah mengalir dan menghidupkan setiap bagian tubuh. Tuhan mengalir di dalam dan melalui serta mengaktifkan setiap bagian di dunia! (Vidya Vahini, Ch 5)

-BABA

 

Thought for the Day - 20th July 2021 (Tuesday)

Peace is the nursery of all happiness and all joy. Thyagaraja knew this, for he sang, “No peace, no happiness”. All men need it, whoever they are, be they self-restrained men or vedantins, ascetics or scholars, pious men or philosophers. But people are unable to stand still even for a moment! Absence of mere anger cannot be taken as peace. The winning of a desired object and the satisfaction one then gets should not be confused with peace. The peace that has pervaded the heart must not be shaken subsequently for any reason; only that type of peace (shanti) deserves to be called supreme peace (prasanthi). Supreme peace has no ups and downs; it cannot be partial in adversity and complete in prosperity. It cannot be one thing today and another tomorrow. Always maintaining the same even flow of bliss (ananda), that is supreme peace. 



Kedamaian adalah kebun bibit dari semua kebahagiaan dan semua suka cita. Thyagaraja mengetahui hal ini, karenanya beliau bernyanyi, “Tidak ada kedamaian, tidak ada kebahagiaan”. Semua manusia membutuhkan kebahagiaan, siapapun mereka, baik mereka yang menjalankan pengendalian diri atau para penekun Weda, para pertapa atau cendekiawan, orang baik atau filsuf. Namun manusia tidak mampu berdiam bahkan untuk sesaat saja! Tanpa adanya kemarahan tidak bisa disebut sebagai kedamaian. Mendapatkan objek yang diinginkan dan kepuasan yang seseorang dapatkan tidak boleh disamakan dengan kedamaian. Kedamaian yang telah melingkupi hati seharusnya tidak digoyahkan dengan alasan apapun; hanya kedamaian jenis seperti itu (shanti) yang layak disebut dengan kedamaian tertinggi (prasanthi). Kedamaian tertinggi tidak memiliki pasang dan surut; kedamaian tertinggi ini tidak bisa menjadi sebagian saat dalam kesulitan dan penuh dalam kesejahteraan. Tidak bisa satu hal pada hari ini dan lain hal pada hari esok. Selalu menjaga aliran kebahagiaan yang sama (ananda), itu adalah kedamaian tertinggi! (Prasanthi Vahini, Ch 1)

-BABA

 

Thought for the Day - 19th July 2021 (Monday)

Giving up desire is the real goal of existence, the purpose of all efforts. It involves giving up lust, anger, greed, and hatred. The fundamental renunciation should be that of desire. The other feelings and emotions are its attendant reactions. We say, “He who has a bow in his hand (kodandapani)”; doesn’t that imply he also has arrows in his hand? Here bow implies arrows! In the same manner, desire implies presence of lust, anger, greed, etc. These latter are veritable gateways to hell. Envy is the bolt, pride is the key. Unlock and lift the bolt, you can enter! Anger will pollute earned wisdom. Unbridled desire will foul all actions. Greed will destroy devotion and dedication. Anger, desire, and greed will undermine the actions, spiritual wisdom, and devotion and make one a boor! The root cause of anger is desire, and desire is the consequence of ignorance (ajnana). So, what has to be got rid of is this basic ignorance! 



Melepaskan keinginan adalah tujuan yang sesungguhnya dari keberadaan kita, tujuan dari semua usaha. Hal ini berkaitan dengan melepaskan nafsu birahi, kemarahan, ketamakan dan kebencian. Penolakan kehidupan duniawi yang bersifat fundamental adalah melepaskan keinginan-keinginan itu. Perasaan dan emosi yang lainnya adalah reaksi penyerta dari sifat-sifat tersebut. Kita mengatakan, “Dia yang memiliki busur di tangannya (kodandapani)”; bukankah itu berarti bahwa dia memiliki anak panah di tangannya? Disini busur menyiratkan anak panah! Sama halnya, keinginan menyiratkan kehadiran dari nafsu birahi, kemarahan, ketamakan, dsb. Sifat-sifat ini sejatinya adalah pintu gerbang yang menuntun ke neraka. Iri hati adalah gemboknya, kesombongan adalah kuncinya. Buka gembok dengan kunci maka engkau dapat memasukinya! Kemarahan akan mencemari kebijaksanaan yang diraih. Keinginan yang tidak terkendali akan mengotori semua tindakan. Ketamakan akan menghancurkan bhakti dan dedikasi. Kemarahan, keinginan dan ketamakan akan merusak perbuatan, kebijaksanaan spiritual dan bhakti serta membuat seseorang menjadi kasar! Akar penyebab kemarahan adalah keinginan, dan keinginan adalah akibat dari kebodohan (ajnana). Jadi, apa yang harus disingkirkan adalah akarnya yaitu kebodohan! (Vidya Vahini, Ch 4)

-BABA

 

Thought for the Day - 18th July 2021 (Sunday)

Many are not even aware of the meaning of the phrase supreme peace (prasanthi). It is the backbone of an individual and, for every spiritual aspirant (sadhaka), their very breath. The word is taken by each to mean something different. Many feel they have peace when some worldly desire that was vexing them is satisfied! But that is not real peace; it is only a temporary short-lived interval between one worry and another. The syllable ‘pra’ in Prasanthi means expanding, enlarging (vikasa), so Prasanthi means that type of peace, that is to say, the absence of desire, anger, greed, and hatred! Supreme peace means peace attained by successful elimination of qualities grouped under desire (kama) and anger (krodha). This process of elimination, called ‘developing equanimity (sama)’, is very essential for all. All spiritual aspirants must be constantly engaged in practicing it. 



Banyak orang yang bahkan tidak menyadari makna dari ungkapan kedamaian tertinggi (prasanthi). Ini merupakan tulang belakang dari seorang individu dan bagi setiap peminat spiritual (sadhaka), merupakan nafas mereka. Kata prasanthi diambil oleh setiap orang untuk mengartikan sesuatu yang berbeda. Banyak yang merasa mereka memiliki kedamaian ketika beberapa keinginan duniawi yang mengganggu terpuaskan! Namun itu bukanlah kedamaian yang sesungguhnya; ini hanyalah selang waktu sementara diantara satu kecemasan dengan kecemasan yang lainnya. Suku kata ‘pra’ dalam kata Prasanthi berarti memperluas, memperbesar (vikasa), jadi Prasanthi berarti jenis kedamaian itu yang tanpa adanya keinginan, kemarahan, ketamakan, dan kebencian! Kedamaian tertinggi berarti kedamaian yang dicapai dengan berhasil menghilangkan kualitas-kualitas yang tergabung dalam keinginan (kama) dan kemarahan (krodha). Proses penghilangan kualitas-kualitas ini disebut dengan ‘mengembangkan keseimbangan batin (sama)’, adalah sangat mendasar bagi semuanya. Semua peminat spiritual harus secara terus menerus terlibat dalam mempraktikkannya! (Prasanthi Vahini, Ch 1)

-BABA

 

Thought for the Day - 17th July 2021 (Saturday)

The education process (vidya) teaches that the cosmos is a manifestation of the Lord’s sport and nothing else. The Upanishads declare this truth thus: This world is the residence of the Lord: Isavasyam idam Jagat. Therefore, no one can entertain a sense of personal possession or even a trace of egotism. Renounce the feeling of attachment and feel the presence of the Lord everywhere! Welcome the spiritual bliss (ananda) that the Lord, as the embodiment of spiritual bliss, confers on you and experience it with thankfulness and without being bound by desire. This is the message of the sages and seers (rishis). Give up the feelings “I” and “you”; only then can you understand the glory of that which is neither “I” nor “mine”. This does not involve your renouncing everything. The real teaching (vidya) directs that the world be dealt with as duty demands, but in a spirit of detachment, avoiding entanglement. 



Proses pendidikan (vidya) mengajarkan bahwa alam semesta adalah sebuah manifestasi dari leela (permainan) Tuhan dan bukan yang lainnya. Upanishad menyatakan kebenaran ini dengan: Dunia ini adalah tempat tinggal Tuhan: Isavasyam idam Jagat. Maka dari itu. Tidak ada seorangpun dapat memperlihatkan kepemilikan pribadi atau bahkan sebuah jejak egoisme. Lepaskan perasaan keterikatan dan rasakan kehadiran Tuhan dimana saja! Sambutlah kebahagiaan spiritual (ananda) dimana Tuhan adalah perwujudan dari kebahagiaan spiritual, memberkatimu dan mengalami kebahagiaan Tuhan itu dengan penuh rasa syukur dan tanpa adanya terikat oleh keinginan. Ini adalah pesan dari guru-guru suci dan pencari spiritual (rishi). Lepaskan perasaan “aku” dan “engkau”; hanya dengan demikian engkau dapat memahami kemulian dari apa yang bukan “aku” dan juga bukan “milikku”. Hal ini tidak berarti bahwa engkau meninggalkan segalanya. Ajaran yang sejati (vidya) mengarahkan bahwa dunia diperlakukan sebagai tuntutan kewajiban, namun dalam semangat tanpa terikat, menghindari belitan! (Vidya Vahini, Ch 1)

-BABA

 

Thought for the Day - 16th July 2021 (Friday)

Man does not use his sense organs in the right way. He has eyes, but does not see what is good. He has ears, but does not listen to what is good. There is only one way of correcting him. He has to be shown the spiritual path and helped to cultivate the virtues of Truth, Love and Self-sacrifice. He must be weaned away from selfish pursuits and from arrogance and pride. His mind, which is the real culprit, has to be cleansed of all evil. He believes in the false and unreal, and does not relish Truth, Goodness and Beauty. He can acquire real peace and joy only when he turns his thoughts to God and away from the petty tinsel of the world. Without faith in God there is nothing that man can achieve, whatever his knowledge and wealth may be! 



Manusia tidak menggunakan organ-organ indria dengan cara yang benar. Manusia memiliki mata, namun tidak digunakan untuk melihat yang baik. Manusia memiliki telinga, namun tidak digunakan untuk mendengarkan yang baik. Hanya ada satu jalan untuk memperbaikinya. Manusia harus diperlihatkan jalan spiritual dan dibantu untuk mengembangkan nilai luhur dari kebenaran, kasih, dan pengorbanan. Manusia harus dijauhkan dari pengejaran yang bersifat mementingkan diri sendiri dan dari arogansi serta kesombongan. Pikirannya yang merupakan biang kerok masalah harus dibersihkan dari semua kejahatan. Manusia percaya pada hal yang salah dan bersifat sementara, dan tidak menikmati kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Manusia dapat mencapai kedamaian dan suka cita yang sejati ketika manusia mengarahkan pikirannya kepada Tuhan dan menjauh dari hal duniawi yang sepele dan remeh. Tanpa keyakinan pada Tuhan maka tidak ada yang dapat manusia capai, apapun pengetahuan dan kekayaan yang dimilikinya! (Divine Discourse, Oct 12, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 15th July 2021 (Thursday)

In a piece of cloth, when the threads are taken out, only the cotton remains and if the cotton is burnt the cloth ceases to exist. Similarly, when desires are eliminated, the "I" and the mind will go. It has been said that destruction of the mind is the means to the realisation of God. The cessation of the mind can be definitely brought about by the gradual elimination of desires, like the removal of threads from a cloth. Finally, desires have to be consumed in the fire of detachment (Vairagya). Look upon life as one long railway journey. In this journey, it is not good to carry heavy luggage. There are stations on the way like Arti (suffering), Artharthi (desire for objects), jignasu (yearning for understanding) and Jnani (Self-realisation). The less luggage one carries the more easily and quickly one can get through various stages and reach the destination. The primary requisite, therefore, is the eradication of desires. 



Dalam sehelai kain, ketika benangnya dkeluarkan, maka hanya kapas yang masih tersisa dan jika kapas itu dibakar maka keberadaan kain itu akan hilang. Sama hanya, ketika keinginan dihilangkan maka "aku" dan pikiran akan pergi. Telah dikatakan bahwa penghancuran pikiran adalah sarana untuk menyadari Tuhan. Lenyapnya pikiran dapat secara pasti disebabkan oleh pelenyapan keinginan secara bertahap, seperti pelepasan benang dari sehelai kain. Pada akhirnya, keinginan harus dimusnahkan dalam kobaran api tanpa keterikatan (Vairagya). Pandanglah hidup sebagai perjalanan kereta api yang panjang. Dalam perjalanan ini, adalah tidak baik untuk membawa barang bawaan yang berat. Ada stasiun di jalan seperti Arti (penderitaan), Artharthi (keinginan pada objek), jignasu (kerinduan untuk pemahaman) dan Jnani (kesadaran Diri). Semakin sedikit barang bawaan yang dibawa maka semakin mudah dan cepat seseorang bisa melewati berbagai tahapan dan mencapai tujuan. Maka dari itu syarat utama adalah menghilangkan keinginan! (Divine Discourse, Oct 12, 1983)

-BABA

 

Thought for the Day - 14th July 2021 (Wednesday)

Enquiry into the nature of Mind will reveal that it has no existence apart from thoughts that arise through sense organs. Hence sages declared: Sankalpa Vikalpathmakam Manaha - Thoughts and doubts constitute the essence of mind. To bring the mind under control we have to free ourselves from the entire process of mental agitation. If we want to take a bath in the sea which is agitated by waves, we cannot afford to wait till the waves subside and the sea is calm. Likewise, it will be foolish to wait for the agitations in the mind to cease for experiencing divine bliss. By constant rumination over one's sensory experiences the mind acquires a form. By relating the experiences to the ‘I’ as the experiencer, the consciousness of a distinctive individual (the Ego) arises. From that, desires develop and from the desires the mind acquires a form. 



Penyelidikan ke dalam sifat alami dari pikiran akan mengungkapkan bahwa pikiran tidak memiliki keberadaan selain dari pemikiran yang muncul melalui organ-organ indera. Karena itu para guru suci menyatakan: Sankalpa Vikalpathmakam Manaha – Pemikiran dan keraguan menyusun intisari dari pikiran. Untuk dapat mengendalikan pikiran kita harus membebaskan diri kita dari seluruh proses gejolak mental. Jika kita ingin mandi di lautan yang bergejolak oleh gelombang, kita tidak bisa menunggu sampai ombak surut dan laut tenang. Sama halnya, adalah merupakan kedunguan dengan menunggu gejolak di dalam pikiran berhenti untuk mengalami kebahagiaan Tuhan. Dengan perenungan secara terus-menerus terhadap pengalaman indera seseorang maka pikiran memperoleh sebuah bentuk. Dengan menghubungkan pengalaman dengan ‘aku’ sebagai yang mengalami,  kesadaran individu yang khusus (ego) muncul. Mulai dari itu, keinginan berkembang dan mulai dari keinginan pikiran mendapatkan sebuah bentuk! (Divine Discourse, Oct 12, 1983)

-BABA

 

Wednesday, July 14, 2021

Thought for the Day - 13th July 2021 (Tuesday)

From the 46 maxims of conduct: If your meditation or prayer isn’t progressing properly or if desires you entertain don’t come to fruition, don’t get dispirited with God. If you do, it will discourage you even more and you’ll lose peace, however small or big, that you may have earned. During meditation and chanting, you should not be dispirited, desperate, or discouraged. When such feelings come, take it that it is the fault of your spiritual exercises, and endeavour to do them correctly. You can easily attain the divine principle only when you automatically behave and act in this manner in your daily conduct and in all actions. Therefore, hold on to these maxims firmly. Chew and digest these spoken sweets, which have been distributed and be happy!


 

Dari 46 prinsip perilaku: Jika meditasi atau doa yang engkau lakukan tidak berkembang dengan baik atau jika keinginan yang engkau miliki tidak membuahkan hasil, jangan menjadi putus asa dengan Tuhan. Jika engkau melakukannya, hal ini akan semakin mengecilkan hatimu dan engkau akan kehilangan kedamaian, betapapun kecil atau besarnya, yang mungkin engkau telah peroleh. Selama meditasi dan pelantunan nama Tuhan, engkau tidak boleh putus asa, berkecil hati atau patah semangat. Ketika perasaan-perasaan itu datang, terimalah hal itu sebagai kesalahan dalam latihan spiritualmu, dan berusaha untuk melakukan latihan spiritual itu dengan benar. Engkau dapat dengan mudah mencapai prinsip Tuhan hanya ketika engkau secara otomatis bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan norma-norma ini dalam kehidupan sehari-hari dan dalam semua tindakan. Maka dari itu, peganglah prinsip-prinsip ini dengan kuat. Kunyah dan cerna prinsip-prinsip perilaku yang indah ini, yang telah disebarkan dan berbahagilah! -Sandeha Nivarini, Ch 7.

-BABA


Thought for the Day - 12th July 2021 (Monday)

From the 46 maxims of conduct: 44) If you desire to cultivate one-pointedness, when in a crowd or bazaar, don’t scatter your vision on everything and to the four corners, but see only the road in front of you, just enough to avoid accidents to yourself! One-pointedness will become firmer if you move without taking your attention off the road, if you are constantly avoiding dangers, and if you don’t cast your eyes on others’ forms! 45) Give up all doubts regarding the guru and God. If your worldly desires don’t get fulfilled, don’t blame it on your devotion, for there is no relationship between such desires and devotion to God. These worldly desires have to be given up some day; feelings of devotion have to be acquired someday. Be firmly convinced of this!


 

Dari 46 prinsip perilaku: 44) Jika engkau ingin untuk meningkatkan pemusatan pikiran, ketika engkau berada di dalam keramaian atau di tengah pasar, jangan memandang ke semuanya dan keempat penjuru, namun lihatlah hanya jalan yang ada di depanmu, adalah cukup bagimu agar terhindar dari tabrakan dengan yang lainnya! Pemusatan pikiran akan menjadi lebih mantap jika engkau bergerak tanpa mengalihkan perhatianmu dari jalan, jika engkau secara terus-menerus menghindari bahaya, dan jika engkau tidak memandang kepada orang lain di sekitarmu! 45) Lepaskan semua keraguanmu terhadap Guru dan Tuhan. Jika keinginan duniawimu tidak terpenuhi, jangan menyalahkannya pada rasa bhaktimu, karena tidak ada hubungan diantara keinginan seperti itu dan bhakti kepada Tuhan. Keinginan-keinginan duniawi ini harus dilepaskan suatu hari nanti; perasaan bhakti harus bisa diperoleh suatu hari nanti. Yakinlah dengan kuat akan hal ini! -Sandeha Nivarini, Ch 7

-BABA

Thought for the Day - 11th July 2021 (Sunday)


From the 46 maxims of conduct: 41) Whenever you get a little leisure, don’t spend it in talking about all and sundry, instead utilise it in meditating on God or in doing service to others. 42) The Lord is understood only by the devotee; the devotee is understood only by the Lord. Others cannot understand them. So don’t discuss matters relating to the Lord with those who have no devotion. Such discussion will diminish your devotion. 43) If anyone speaks to you on any subject with wrong understanding, don’t think of other wrong notions that will support that stand but grasp only the good and the sweet in what was said. True meaning is to be appreciated as desirable, not wrong meaning or many meanings, which give no meaning at all and cause only the hampering of bliss (ananda).



Dari 46 prinsip perilaku: 41) Setiap kali engkau mendapatkan waktu luang, jangan habiskan untuk berbicara tentang segala hal, tetapi gunakan untuk merenungkan Tuhan atau melakukan pelayanan kepada orang lain. 42) Tuhan hanya dipahami oleh para bhakta; bhakta hanya dipahami oleh Tuhan. Orang lain tidak dapat memahami mereka. Jadi jangan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan dengan mereka yang tidak memiliki pengabdian. Diskusi seperti itu akan mengurangi pengabdianmu. 43) Jika seseorang berbicara kepadamu tentang topik apa pun dengan pemahaman yang salah, jangan memikirkan gagasan salah lainnya yang akan mendukung pendirian itu tetapi pegang hanya yang baik dan yang manis dalam apa yang dikatakan. Makna yang benar adalah dihargai sesuai keinginan, bukan makna yang salah atau banyak makna, yang tidak memberikan makna sama sekali dan hanya menyebabkan terhambatnya kebahagiaan (ananda). - Sandeha Nivarini, Ch 7

-BABA

Thought for the Day - 10th July 2021 (Saturday)

From the 46 maxims of conduct: 38) Instead of searching for others’ faults, search for your own, uproot them, and throw them off. It is enough if you search and discover one fault of yours — that is better than discovering tens of hundreds of faults in others. 39) Even if you can’t or won’t do any good deed, don’t conceive or carry out any bad deed. 40) Whatever people may say about the faults that you know are not in you, don’t feel for it. As for the faults that are in you, try to correct them yourself, even before others point them out to you. Don’t harbour anger or bitterness against people who point out your faults; don’t retort, pointing out their faults, but show your gratitude to them. Trying to discover their faults is a greater mistake on your part. It is good for you to know your faults; it is no good for you to know others’ faults.


 

Dari 46 prinsip tingkah laku: 38) Daripada mencari kesalahan orang lain, carilah kesalahan dari dirimu sendiri, cabutlah kesalahan-kesalahan itu dan buanglah semuanya. Adalah cukup jika engkau mencari dan menemukan satu kesalahanmu - itu adalah lebih baik daripada menemukan sepuluh kesalahan pada diri orang lain. 39) Walaupun jika engkau tidak bisa atau tidak akan melakukan perbuatan baik, jangan memikirkan atau melakukan perbuatan buruk apapun. 40) Apapun orang-orang mungkin katakan tentang kesalahan yang engkau ketahui tidak ada di dalam dirimu, jangan rasakan itu. Adapun kesalahan yang ada pada dirimu, cobalah untuk memperbaikinya sendiri, bahkan sebelum orang lain menunjukkannya kepadamu. Jangan memendam kemarahan atau kebencian terhadap orang-orang yang menunjukkan kesalahanmu; jangan membalas dengan menunjukkan kesalahan mereka, namun tunjukkan rasa terima kasih kepada mereka. Mencoba untuk menemukan kesalahan mereka adalah kesalahan yang lebih besar di pihakmu. Adalah baik bagimu untuk mengetahui kesalahanmu; adalah tidak baik bagimu untuk mengetahui kesalahan orang lain. -Sandeha Nivarini, Ch 7

-BABA

Thought for the Day - 9th July 2021 (Friday)


From the 46 maxims of conduct: 32) Whatever you feel should not be done to you by others, avoid doing such to others. 33) For faults and sins committed in ignorance, repent sincerely and try not to repeat them. Pray to God to bless you with the strength and courage needed to stick to the right path. 34) Don’t allow anything to come near you that will destroy your eagerness and enthusiasm for God. Want of eagerness will cause the decay of the strength of people. 35) Don’t yield to cowardice; don’t give up bliss (ananda). 36) Don’t get swelled up when people praise you; don’t feel dejected when people blame you. 37) If anyone among your friends hates another and starts a quarrel, don’t attempt to inflame them more and make them hate each other more; instead, try with love and sympathy, to restore their former friendship.


 

Dari 46 prinsip tingkah laku: 32) Apapun yang engkau rasakan seharusnya tidak dilakukan orang lain kepadamu, hindari melakukan hal yang sama kepada orang lain. 33) Untuk kesalahan dan dosa yang dilakukan karena kebodohan, bertobatlah dengan tulus dan jangan mengulanginya lagi. Berdoalah kepada Tuhan agar memberkatimu dengan kekuatan dan keberanian yang diperlukan untuk tetap berada di jalan yang benar. 34) Jangan mengizinkan apapun untuk mendekatimu yang akan menghancurkan hasrat dan semangatmu untuk Tuhan. Keinginan nafsu akan menyebabkan kehancuran kekuatan seseorang. 35) Jangan menyerah pada sifat pengecut; jangan menyerah untuk mendapatkan kebahagiaan (ananda). 36) Jangan menjadi besar kepala ketika orang-orang memujimu; jangan merasa sedih ketika orang-orang menyalahkanmu. 37) Jika siapapun diantara teman-temanmu saling membenci dan mulai bertengkar, jangan mencoba untuk menyulut emosi mereka dan membuat mereka lebih membenci satu dengan yang lainnya, cobalah dengan kasih dan simpati untuk memugar kembali persahabatan lama mereka. -Sandeha Nivarini, Ch 7.

BABA

Thursday, July 8, 2021

Thought for the Day - 8th July 2021 (Thursday)

From the 46 maxims of conduct: 26) Greed yields only sorrow; contentment is best. There is no happiness greater than contentment. 27) The mischief-mongering tendency should be plucked out by the roots and thrown off. If allowed to exist, it will undermine life itself. 28) Bear both loss and grief with fortitude; try to find plans to achieve joy and gain. 29) When you are invaded by anger, practice silence or remember the name of the Lord. Do not remind yourself of things that will inflame the anger more. That will do incalculable harm. 30) From this moment, avoid all bad habits. Do not delay or postpone. They do not contribute the slightest joy. 31) Try, as far as possible within your means, to satisfy the needs of the poor, who are really daridra narayana (forms of God). Share with them whatever food you have and make them happy at least at that moment. 



Dari 46 prinsip tingkah laku: 26) Ketamakan hanya membawa penderitaan; bersyukur adalah yang terbaik. Tidak ada kebahagiaan lebih besar daripada bersyukur. 27) Kecenderungan berbuat tidak baik harus dicabut sampai ke akar-akarnya dan dibuang. Jika kecenderungan buruk ini dibiarkan ada, hal ini akan merusak hidup itu sendiri. 28) Tanggunglah keduanya kerugian dan duka cita dengan ketabahan; cobalah untuk menemukan rencana untuk mencapai suka cita dan keuntungan. 29) Ketika engkau diserang oleh kemarahan, praktikkan hening atau ingat nama suci Tuhan. Jangan mengingatkan pada dirimu tentang hal-hal yang mengobarkan kemarahan lagi. Itu akan menimbulkan kerugian yang tidak terhitung. 30) Mulai dari saat sekarang, jauhi semua kebiasaan buruk. Jangan menunda lagi. Kebiasaan buruk itu tidak memberikan suka cita sedikitpun. 31) Cobalah sejauh yang engkau mampu untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang miskin, yang benar-benar adalah perwujudan dari Tuhan (daridra Narayana). Berbagilah dengan mereka apapun makanan yang engkau miliki dan buatlah mereka bahagia setidaknya pada saat itu. - Sandeha Nivarini, Ch 7.

BABA

Thought for the Day - 7th July 2021 (Wednesday)

From the 46 maxims of conduct: 21) It is easy to conquer anger through love, attachment through reasoning, falsehood through truth, bad through good, and greed through charity. 22) No reply should be given to the words of the wicked. For your own good, be at a great distance from them. Break off all relations with such people. 23) Seek the company of good men, even at the sacrifice of your honour and life. Pray to God to bless you with the discrimination needed to distinguish between the good men and the bad. You must also endeavour to discriminate, using the intellect given to you. 24) Those who conquer states and earn fame in the world are hailed as heroes, no doubt, but those who have conquered the senses are heroes who must be acclaimed as the conquerors of the Universal. 25) Whatever acts a good or bad person may do, the fruits thereof follow them and will never stop pursuing them. 



Dari 46 prinsip tingkah laku: 21) adalah mudah untuk menaklukkan kemarahan dengan cinta-kasih, menaklukkan keterikatan dengan pertimbangan, menaklukkan kebohongan dengan kebenaran, menaklukkan keburukan dengan kebaikan, dan menaklukkan ketamakan dengan berderma. 22) Tidak perlu ada jawaban yang diberikan pada kata-kata yang jahat. Untuk kebaikanmu, jagalah jarak yang jauh dengan mereka. Putuskan hubungan dengan orang-orang yang seperti itu. 23) Carilah pergaulan dengan orang-orang yang baik, bahkan dengan mengorbankan kehormatan dan hidupmu. Berdoalah kepada Tuhan agar memberkatimu dengan kemampuan membedakan (diskriminasi) yang dibutuhkan untuk membedakan diantara orang-orang yang baik dan jahat. Engkau harus juga berusaha untuk membedakan, menggunakan kecerdasan yang diberikan kepadamu. 24) Mereka yang mampu menaklukkan negara dan mendapatkan kemasyhuran di dunia dipuji sebagai pahlawan, tidak diragukan lagi, namun mereka yang telah menaklukkan indera adalah pahlawan yang harus diakui sebagai penakluk Universal. 25) Perbuatan apapun yang dilakukan seseorang apakah itu baik atau buruk, hasil dari perbuatan itu akan mengikutinya dan tidak akan pernah berhenti mengejarnya. - Sandeha Nivarini, Ch 7

BABA

Thought for the Day - 6th July 2021 (Tuesday)

From the 46 maxims of conduct: 16) Be always vigilant, without a moment’s carelessness, against the eight sins that the mind perpetrates: craving (kama), anger (krodha), greed (lobha), attachment (moha), impatience, hatred, egotism, and pride. One’s primary duty is to keep these things at a safe distance from oneself. 17) The mind speeds fast, pursuing wrong actions. Without letting it hurry like that, remember the name of the Lord at that time or attempt to do some good deed or other. Those who do thus will certainly become fit for the Lord’s grace. 18) First, give up the evil tendency to feel impatient at the prosperity of others and the desire to harm them. Be happy that others are happy. Sympathise with those who are in adversity and wish for their prosperity. That is the means of cultivating the love for God. 19) Patience is all the strength one needs. 20) Those anxious to live in joy must always be doing good. 



Dari 46 prinsip tingkah laku: 16) Selalu waspada, sedikit saja tidak boleh ada kecerobohan terhadap delapan dosa yang pikiran dapat lakukan: hasrat keinginan (kama), kemarahan (krodha), ketamakan (lobha), keterikatan (moha), ketidaksabaran, kebencian, mementingkan diri sendiri, dan kesombongan. Kewajiban utama seseorang adalah tetap menjaga jarak aman dengan hal-hal yang disebutkan tadi. 17) Pikiran bergerak sangat cepat, mengejar perbuatan-perbuatan yang salah. Tanpa membiarkan pikiran terburu-buru seperti itu, ingatlah nama suci Tuhan pada waktu itu atau berusaha untuk melakukan beberapa perbuatan baik atau yang lainnya. Mereka yang melakukan hal ini pastinya akan menjadi layak untuk rahmat Tuhan. 18) Pertama, tinggalkan kecenderungan jahat dengan merasa marah pada kesejahteraan orang lain dan keinginan untuk menyakiti mereka. Berbahagialah karena orang lain berbahagia. Miliki simpati pada mereka yang dalam kesulitan dan berdoa untuk kesejahteraan mereka. Itu adalah sarana untuk meningkatkan kasih kepada Tuhan. 19) Kesabaran adalah semua kekuatan yang seseorang butuhkan. 20) Bagi mereka yang ingin hidup dalam suka cita harus selalu melakukan kebaikan. - Sandeha Nivarini, Ch 7.

BABA

Thought for the Day - 5th July 2021 (Monday)

From the 46 maxims of conduct: 10) Truth is the all-protecting God. There is no mightier guardian than truth. 11) The Lord, who is the embodiment of truth (Satya), grants His vision (darshan) to those of truthful speech and loving heart. 12) Have undiminished kindness toward all beings and also the spirit of self-sacrifice. 13) You must possess control of the senses, an unruffled character, and non-attachment. 14) Be always on the alert against the four sins that the tongue is prone to commit: (A) speaking falsehood, (B) speaking ill of others, (C) back-biting, and (D) talking too much. It is best to attempt to control these tendencies. 15) Try to prevent the five sins that the body commits: killing, adultery, theft, drinking intoxicants, and the eating of flesh. It is a great help for the highest life if these are kept as far away as possible.  



Dari 46 prinsip perilaku: 10) Kebenaran adalah Tuhan yang melindungi semuanya. Tidak ada pelindung yang lebih hebat daripada kebenaran. 11) Tuhan adalah perwujudan dari kebenaran atau Satya, memberikan penampakan kehadiran-Nya (darshan) pada mereka yang berbicara benar dan hati penuh kasih. 12) Memiliki kebaikan yang tidak berkurang kepada semua makhluk hidup dan juga semangat untuk berkorban. 13) Engkau harus memiliki pengendalian pada indera, karakter yang tenang, dan tanpa keterikatan. 14) Selalulah waspada terhadap empat dosa yang bisa dilakukan oleh lidah: (A) Mengatakan kebohongan, (B) menjelek-jelekkan orang lain, (C) menyampaikan fitnah, dan (D) terlalu banyak bicara. Adalah terbaik untuk berusaha dalam mengendalikan kecenderungan ini. 15) berusahalah untuk mencegah tubuh melakukan lima dosa: membunuh, berzina, mencuri, meminum minuman keras, dan makan daging. Ini adalah bantuan yang sangat besar untuk hidup yang lebih tinggi jika semuanya ini bisa dijauhkan sejauh mungkin. -Sandeha Nivarini, Ch 7.

BABA

Thought for the Day - 4th July 2021 (Sunday)

I’ll give you now some selected jewels, or maxims of conduct, that are very important. Collect and treasure them well. Experience them well, put them into practice, and derive joy therefrom. Wear these jewels and beautify yourself. 1) Divine love (prema) should be considered as the very breath of life. 2) The prema that is manifest in all things equally — believe that that love is the Supreme Self (Paramatma). 3) The one Paramatma is in everyone, in the form of prema. 4) More than all other forms of love, one’s first effort should be to fix one’s love on the Lord. 5) Such love directed toward God is devotion (bhakti); the fundamental test is its acquisition. 6) Those who seek the bliss of Atma should not run after the joys of sense objects. 7) Truth (Sathya) must be treated as life-giving as breathing itself. 8) Just as a body that has no breath is useless and begins to rot and stink within a few minutes, life too without truth is useless and becomes the stinking abode of strife and grief. 9) Believe that there is nothing greater than truth, nothing more precious, sweeter, and more lasting. 



Sekarang Aku akan memberimu beberapa permata pilihan, atau kaidah perilaku, yang sangat penting. Kumpulkan dan hargai mereka dengan baik. Alami dengan baik, praktikkan, dan dapatkan kebahagiaan darinya. Kenakan perhiasan ini dan percantik dirimu. 1) Cinta-kasih Ilahi (prema) harus dianggap sebagai nafas kehidupan. 2) Prema yang dilakukan dalam segala hal secara setara — percaya bahwa cinta-kasih adalah Yang Tertinggi (Paramatma). 3) Paramatma ada pada setiap orang, dalam bentuk prema. 4) Lebih dari semua bentuk cinta-kasih lainnya, upaya pertama seseorang seharusnya adalah mengarahkan cinta-kasihnya kepada Tuhan. 5) Cinta kasih yang ditujukan kepada Tuhan adalah pengabdian (bhakti); ujian mendasar adalah perolehannya. 6) Mereka yang mencari kebahagiaan Atma tidak boleh mengejar kesenangan objek-objek indera. 7) Kebenaran (Sathya) harus diperlakukan sebagai pemberi kehidupan seperti halnya pernapasan itu sendiri. 8) Sama seperti tubuh yang tidak bernafas tidak berguna dan mulai membusuk dan bau dalam beberapa menit, hidup juga tanpa kebenaran tidak berguna dan menjadi tempat yang bau dari perselisihan dan kesedihan. 9) Percayalah bahwa tidak ada yang lebih besar dari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga, lebih manis, dan lebih abadi. - Sandeha Nivarini, Ch 7.

BABA


Thought for the Day - 3rd July 2021 (Saturday)

With regard to God, fault finding has come down from the beginning of time; it is not new. But present-day people might manufacture some new tales. Well, why should you take such abuse to heart? Take it that they are remembering Swami by this means! Memories of love and memories of hatred are of two types. The latter are ignorance-based illusion (a-vidya maya) and are related to the quality of passion (rajoguna). The former are knowledge-based illusion (vidya-maya) and are related to the quality of serenity (satwa-guna). Ignorance-based illusion results in grief; knowledge-based illusion results in bliss (ananda). You ask what do they gain, right? They don’t need any gain; finding fault with others has become their habit; they do it as their duty. As the saying goes, “What does the moth care whether the sari costs a hundred thousand or is cheap? To gnaw and tear is its nature.” Does it know the value of things? So be at peace, realising that the work of these fault-finders is the same as the work of these moths. 



Berkenaan dengan Tuhan, pencarian kesalahan telah turun sejak awal waktu; bukan sesuatu yang baru. Tetapi orang-orang masa kini mungkin membuat beberapa cerita baru. Nah, mengapa engkau harus melakukan pelecehan seperti itu ke dalam hati? Anggap saja mereka mengingat Swami dengan cara ini! Kenangan cinta-kasih dan kenangan kebencian ada dua jenis. Yang terakhir adalah ilusi berbasis ketidaktahuan (a-vidya maya) dan terkait dengan kualitas nafsu (rajoguna). Yang pertama adalah ilusi berbasis pengetahuan (vidya-maya) dan terkait dengan kualitas ketenangan (satwa-guna). Ilusi berbasis ketidaktahuan menghasilkan kesedihan; ilusi berbasis pengetahuan menghasilkan kebahagiaan (ananda). Engkau bertanya apa yang mereka dapatkan, bukan? Mereka tidak membutuhkan keuntungan apa pun; mencari-cari kesalahan orang lain sudah menjadi kebiasaan mereka; mereka melakukannya sebagai tugas mereka. Seperti kata pepatah, “Apa pedulinya ngengat apakah sari (pakaian wanita India) itu berharga seratus ribu atau murah? Menggerogoti dan merobek adalah sifatnya.” Apakah ngengat itu tahu nilai sesuatu? Jadi tenanglah, sadarilah bahwa pekerjaan para pencari kesalahan ini sama dengan pekerjaan ngengat ini. - Sandeha Nivarini, Ch 2

BABA

Thought for the Day - 2nd July 2021 (Friday)

The body is gifted with all its inherent excellences and defects so that it can be used for purposes that can sanctify time through service, sacrifice and love every moment of our lives. The word karma translated as work or action also describes the rites prescribed by the Vedas (ancient sacred scriptures) in the section named so (Karma Kanda). They are aimed at securing for the persons performing them, a variety of material gains. Some of them promise as a reward, even a sojourn in heaven. But they are all result-oriented. Though they cleanse the mind and foster renunciation, they yield the best results, only when they have as their goal the attainment of world peace and world prosperity. Karma then becomes Karma-yoga, karma inspired by unselfish ideals. All acts undertaken by persons after surrendering their wills and wants to the Lord become so holy and so pure that their actions do not bind anyone, either by the iron chain of misery or the golden chain of exultation. 



Tubuh dikaruniai dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat sehingga dapat digunakan untuk tujuan yang dapat menyucikan waktu melalui pelayanan, pengorbanan, dan cinta-kasih setiap saat dalam hidup kita. Kata karma yang diterjemahkan sebagai pekerjaan atau tindakan juga menggambarkan ritus-ritus yang ditentukan oleh Veda (kitab suci kuno) di bagian yang dinamakan demikian (Karma Kanda). Karma ditujukan untuk menyelamatkan orang-orang yang melakukannya, berbagai keuntungan materi. Beberapa darinya menjanjikan  hadiah, bahkan tinggal di surga. Tapi mereka semua berorientasi pada hasil. Meskipun mereka membersihkan pikiran dan mendorong pelepasan keduniawian, mereka menghasilkan hasil terbaik, hanya jika mereka memiliki tujuan untuk mencapai kedamaian dunia dan kemakmuran dunia. Karma kemudian menjadi Karma-yoga, karma yang diilhami oleh keinginan yang tidak mementingkan diri sendiri. Semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang setelah menyerahkan kehendak dan keinginan mereka kepada Tuhan menjadi begitu suci dan murni sehingga tindakan mereka tidak mengikat siapa pun, baik dengan rantai besi kesengsaraan atau rantai emas kebahagiaan. - Divine Discourse, Sep 10, 1984.

BABA

Thought for the Day - 1st July 2021 (Thursday)

There is an inevitable pair of accessories in vanity bags of ladies and in the pockets of gentlemen: mirror and a comb. You dread that your charm is endangered when your hair is in slight disarray, or when your face reveals patches of powder; so, you try to correct the impression immediately! While you are so concerned about this fast-deteriorating personal charm, how much more concerned should you really be about the dust of envy and hate, and patches of conceit and malice, that desecrate your mind and hearts? Have a mirror and comb for this purpose too! Have the mirror of devotion (Bhakti), to judge whether they are clean, bright and smart. Have also the comb of Jnana or wisdom, the wisdom earned by discrimination that straightens problems, resolves knots, and smoothens tangles to control and channelise feelings and emotions that are scattered wildly in all directions. 



Ada sepasang aksesoris yang tak terelakkan di tas rias wanita dan di saku pria: cermin dan sisir. Engkau takut pesonamu terancam ketika rambutmu sedikit berantakan, atau ketika wajahmu menampilkan bedak yang berantakan; jadi, engkau mencoba untuk segera memperbaiki penampilan! Sementara engkau begitu khawatir tentang pesona pribadi yang memburuk dengan cepat ini, seberapa besar engkau benar-benar peduli dengan debu kecemburuan dan kebencian, dan potongan-potongan kesombongan dan kedengkian, yang menodai pikiran dan hatimu? Milikilah cermin dan sisir untuk tujuan ini juga! Miliki cermin pengabdian (Bhakti), untuk menilai apakah mereka bersih, cerah, dan cerdas. Miliki juga sisir Jnana atau kebijaksanaan, kebijaksanaan yang diperoleh dari kemampuan membedakan yang meluruskan masalah, menyelesaikan simpul, dan menghaluskan kusut untuk mengendalikan dan menyalurkan perasaan dan emosi yang berserakan liar ke segala arah. (Divine Discourse, Jun 26, 1969)

-BABA


Thought for the Day - 30th June 2021 (Wednesday)

The Gita does not encourage inertia, indifference or slothfulness. It recommends action (Karma) as a Yoga (divine communion), as an activity in tune with the Divine Will, directed to the promotion of one's spiritual consummation. Karma has to be an act of fulfilment, of adoration and of one's duty to oneself and others. Gita marks out the steps and the path towards the realisation of this goal. It accepts all attitudes as valuable and sublimates each one into a spiritual effort (sadhana). It is a wish-fulfiling tree (Kalpa-Vriksha), which bestows boons to aspirants of all levels of commitment. It is an ocean of spiritual wisdom from which each one can bring away as much as the vessel that one carries can hold. The rational seeker, the action-oriented-aspirant and the devotional aspirant - all get equal attention and care from the Lord. In fact, the Gita infuses into every act of daily life the sublimity of Vedanta, and the immanence and transcendence of the Divine Principle. 



Gita tidak mendorong inersia/kelembaman, ketidakpedulian atau kemalasan. Gita merekomendasikan tindakan (Karma) sebagai Yoga (penyatuan ilahi), sebagai kegiatan selaras dengan Kehendak Ilahi, diarahkan untuk meningkatkan penyempurnaan spiritual seseorang. Karma harus menjadi tindakan pemenuhan, pemujaan, dan kewajiban seseorang terhadap diri sendiri dan orang lain. Gita menandai langkah-langkah dan jalan menuju realisasi tujuan ini. Ia menerima semua sikap sebagai sesuatu yang berharga dan menyublimkan/menghaluskan setiap sikap menjadi upaya spiritual (sadhana). Ini adalah pohon pengabul keinginan (Kalpa-Vriksha), yang memberikan anugerah kepada peminat spiritual dari semua tingkat komitmen. Ini adalah lautan kebijaksanaan spiritual yang darinya masing-masing dapat membawa sebanyak bejana yang dapat ditampungnya. Para peminat spiritual yang rasional, yang berorientasi pada tindakan dan para pencari bhakti - semuanya mendapatkan perhatian dan asuhan yang sama dari Tuhan. Faktanya, Gita menanamkan ke dalam setiap tindakan kehidupan sehari-hari keagungan Vedanta, dan imanensi dan transendensi Prinsip Ilahi. (Divine Discourse, Sep 10, 1984)

-BABA


Thought for the Day - 29th June 2021 (Tuesday)

Wear the invisible badge of a volunteer of God at all hours and in all places. Let all the days of living be a continuous offering of Love, as an oil lamp exhausts itself in illumining the surroundings. Bend the body, mend the senses, and end the mind - that is the process of attaining the status of 'the children of immortality’, which the Upanishads have reserved for man. God is the embodiment of sweetness. Attain Him by offering unto Him, who resides in all, the sweetness that He has showered on you. Crush the cane in the mill of seva, boil it in the cauldron of penitence, de-colorise it of all sensual itch, and offer the crystallised sugar of compassionate love to Him. Man is the noblest of all animals, the final product of untold ages of progressive evolution; but, he is not consciously striving to live up to his heritage! 



Pakailah tanda pengenal tak terlihat sebagai seorang sukarelawan Tuhan setiap saat dan di setiap tempat. Biarlah semua hari-hari dalam menjalani kehidupan menjadi persembahan cinta-kasih yang terus-menerus, seperti lampu minyak yang menghabiskan dirinya sendiri untuk menerangi lingkungan di sekitarnya. Bungkukkan badan, perbaiki indera, dan akhiri pikiran - itulah proses pencapaian status 'anak-anak keabadian', yang telah disediakan oleh Upanishad untuk manusia. Tuhan adalah perwujudan dari rasa manis. Raihlah Dia dengan mempersembahkan kepada-Nya, yang bersemayam di dalam semua, rasa manis yang telah Dia curahkan padamu. Hancurkan tebu di penggilingan seva, rebus dalam kuali penyesalan, hilangkan warna dari semua gatal sensual, dan persembahkan gula kristal cinta kasih kepada-Nya. Manusia adalah yang paling mulia dari semua hewan, produk akhir dari evolusi progresif yang tak terhitung jumlahnya; tetapi, dia tidak secara sadar berusaha untuk hidup sesuai dengan warisannya! (Divine Discourse, Jun 26, 1969)

-BABA


Thought for the Day - 28th June 2021 (Monday)

The idea behind bowing one's head at the feet of Bhagawan is that thereby sacred thoughts enter the devotee's mind. This means that when one comes in contact with the Lord's feet, sacred impulses from the feet flow to the devotee. When the devotee's head touches the Lord's feet, the Lord's divine energy flows towards him. This implies that you should keep contact with only pure objects and keep away from the impure! You are affected by whatever you touch. For instance, if you touch fire, it scalds. Fire can burn even iron. It is so potent. But when fire is extinguished, the residue is mere charcoal. When you touch charcoal, your hand becomes black. Thus, in either case, the contact is not beneficial! But, what happens when you come into contact with Divine Fire? All your bad thoughts and bad actions are reduced to ashes. This is the sanctity attached to the performance of Pada-namaskar (prostrating at the Feet of the Lord). 



Maksud di balik sujud di kaki Bhagawan adalah bahwa dengan demikian pikiran suci memasuki pikiran bhakta. Ini berarti bahwa ketika seseorang bersentuhan dengan kaki Tuhan, dorongan suci dari kaki Bhagawan mengalir ke bhakta-Nya. Ketika kepala bhakta menyentuh kaki Tuhan, energi ilahi Tuhan mengalir ke arahnya. Ini menyiratkan bahwa engkau harus menjaga kontak hanya dengan benda-benda murni dan menjauhi yang tidak murni! Engkau terpengaruh oleh apa pun yang engkau sentuh. Misalnya, jika engkau menyentuh api, maka akan melepuh. Api bahkan bisa membakar besi. Ini sangat ampuh. Namun ketika api dipadamkan, yang tersisa hanyalah arang. Saat engkau menyentuh arang, tanganmu menjadi hitam. Jadi, dalam kedua kasus ini, kontak tidak bermanfaat! Tapi, apa yang terjadi ketika engkau bersentuhan dengan Api Ilahi? Semua pikiran buruk dan tindakan burukmu menjadi abu. Inilah kesucian yang melekat pada saat melakukan Pada-namaskar (sujud di Kaki Tuhan). (Divine Discourse, Mar 15, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 27th June 2021 (Sunday)

The spirit of sacrifice is the basic equipment of the sevak (one who takes up service). Without the inspiration of the sense of sacrifice, your seva (service) will be a hypocrisy, a hollow ritual. Inscribe this on your heart. Inscribe it deep and clear. There are four modes of writing, dependent on the material on which the text is inscribed. The first is writing on water; it is washed out even while the finger moves. The next is, writing on sand. It is legible, until the wind blows it into mere flatness. The third is, the inscription on rocks; it lasts for centuries, but it too is corroded by the claws of Time. The inscription on steel can withstand the wasting touch of Time. Have this axiom inscribed on your heart - "Serving others is meritorious, harming others or remaining unaffected and idle while others suffer, is sin." 



Semangat pengorbanan adalah peralatan dasar dari sevak (orang yang mengambil tindakan pelayanan). Tanpa inspirasi rasa pengorbanan, seva (pelayanan)-mu akan menjadi kepura-puraan, sebuah ritual yang hampa/kosong. Goreskan ini di hatimu. Goresan yang dalam dan jelas. Ada empat cara penulisan, tergantung pada bahan di mana teks tersebut ditulis. Yang pertama adalah menulis di atas air; itu akan mengalami kegagalan, tulisan langsung hilang saat jari bergerak. Selanjutnya, menulis di atas pasir. Tulisannya dapat terbaca, sampai angin meniupnya dan tulisannya hilang. Ketiga, menulis di atas batu; itu sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya, tetapi juga terkorosi oleh cakar Waktu. Prasasti pada baja dapat bertahan dari sentuhan waktu yang terus berlalu. Jadikan aksioma berikut ini tertanam di hatimu - "Melayani orang lain merupakan tindakan terpuji, merugikan orang lain atau tetap tidak terpengaruh dan diam sementara orang lain menderita, adalah perbuatan dosa." (Divine Discourse, Jun 26, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 26th June 2021 (Saturday)

When work is undertaken with an egoistic attitude, impelled by selfish motives and inspired by hopes of self-advancement, it feeds greed, pride, envy and hatred. Then, it fastens the bond and fosters the feeling of attachment to more and more profitable work. It promotes ingratitude to those who lent their hands and brains, and to God Himself who endowed the person with urge and skill. "I did it", one says when the work succeeds; or "Others spoiled my success" when it fails. Resentment, depression and despair follow when work results in failure. The more deeply one is attached to the fruits, the more intense and painful is one's grief when one is disappointed. The only means, therefore, to escape from both pride and pain is to leave the result to the Will of God, while one is happy in the thought that one has done one's duty with all dedication and care that one is capable of! 



Ketika kerja dilakukan dengan sikap egois, terdorong oleh niat mementingkan diri sendiri dengan harapan untuk kemajuan diri saja, maka hal ini memberikan makan pada keserakahan, kesombongan, iri hati, dan kebencian. Kemudian, hal ini mengencangkan ikatan dan menumbuhkan perasaan keterikatan semakin kuat pada pekerjaan yang lebih menguntungkan. Hal ini meningkatkan rasa tanpa terima kasih pada mereka yang memberikan bantuan, pemikiran dan kepada Tuhan sendiri yang menganugerahkan seseorang dengan dorongan dan keterampilan. "aku yang melakukan ini", seseorang berkata ketika pekerjaan berhasil; atau "orang itu yang menghancurkan keberhasilanku" ketika pekerjaan mengalami kegagalan. Kebencian, depresi, dan putus asa mengikuti ketika hasil kerja adalah kegagalan. Semakin dalam seseorang terikat pada hasil, maka semakin intens dan menyakitkan kepedihan seseorang rasakan saat dia kecewa. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari keduanya yaitu kesombongan dan kepedihan adalah melepaskan semuanya hasilnya pada kehendak Tuhan, sementara seseorang yang bahagia dalam pikirannya adalah dia yang telah menjalankan kewajibannya dengan semua dedikasi dan perhatian yang dia mampu! (Divine Discourse, Sep 10, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 25th June 2021 (Friday)

People should realise that service is the passport to leadership. Hence, in the service organizations, no distinction of high or low should be permitted and all should be invited to take part in service. In fact, human birth is intended for service. Whatever other accomplishments one may have, they are not equal to the joy to be derived from rendering selfless service. Hanuman, who was powerful, courageous and great in so many ways, was content to describe himself as a servant of Rama when he was asked in Lanka who he was. You may realise from his example what a great thing it is to be a servant of God. The Lord of all the worlds, Sri Krishna, was willing to serve as the charioteer of Arjuna. The attitude of service has always been dear to the Lord. All Sai sevaks should at the outset cultivate the feeling that they are all sparks of the Divine. Only then will they be able to render service wholeheartedly. 



Manusia harus menyadari bahwa pelayanan adalah paspor untuk kepemimpinan. Karena itu, dalam organisasi pelayanan, tidak boleh ada perbedaan antara yang tinggi atau rendah dan semuanya harus diundang untuk ambil bagian dalam pelayanan. Sesungguhnya, kelahiran sebagai manusia dimaksudkan untuk pelayanan. Apapun pencapaian lain yang dimiliki seseorang, itu tidak sebanding dengan suka cita yang didapat dari melakukan pelayanan tanpa pamrih. Hanuman yang begitu kuat, berani dan hebat dalam berbagai hal, merasa puas menggambarkan dirinya sebagai pelayan Sri Rama ketika Hanuman ditanyakan di Lanka tentang siapa dirinya. Engkau mungkin menyadari dari teladan Hanuman bahwa betapa hebatnya menjadi pelayan Tuhan. Tuhan dari seluruh alam yaitu Sri Krishna, bersedia melayani sebagai kusir Arjuna. Sikap pelayanan selalu disayangi oleh Tuhan. Semua sevadhal Sai seharusnya dari sejak awal meningkatkan perasaan bahwa mereka semua adalah percikan dari ketuhanan. Hanya dengan demikian mereka mampu melakukan pelayanan dengan sepenuh hati. (Divine Discourse, Nov 24, 1990)

-BABA