Tuesday, May 7, 2024

Thought for the Day - 5th May 2024 (Sunday)

Once I took Easwaramma to Brindavan. It was during the Summer Course. Students from colleges all over the country were attending the course. There were many foreigners also. She was very happy at the noble things taught to them in the classes and also Swami’s discourses in the evenings. One day I asked her, “Are you happy now?” She replied, “Swami, what more do I need? People from so many countries are being benefited. This is enough for my happiness.” She had a broad mind. She wanted everyone to be happy. Even though she was not educated she taught such noble qualities to everyone. Our country Bharat attained great fame because of such mothers. One day, after her breakfast, she was sitting in the hall; Swami was upstairs; suddenly she called out, ‘Swami’ (three times). I told her, “I am coming, don’t go!” Gokak, who was there, was surprised why I was saying that. I rushed down. She held My hands and said, “I am completely satisfied with this Summer Course. It is not only students who are getting benefited, even I have developed a broad mind. Swami, I am going!” She offered her pranams to Me and passed away peacefully.


- Divine Discourse, Nov 19, 2001.

The sacredness of a mother’s heart and the strength of her blessings are unparalleled


Sekali Aku mengajak ibu Easwaramma ke Brindavan. Saat itu adalah kegiataan kelas musim panas. Para mahasiswa dari Universitas seluruh negeri menghadiri kelas musim panas itu. Ada juga banyak orang asing. Ibu Easwaramma sangat senang pada hal-hal mulia yang diajarkan kepada para mahasiswa dalam kelas dan juga wacana Swami di sore hari. Suatu hari Aku menanyakannya, “apakah ibu bahagia sekarang?” Ibu Easwaramma menjawab, “Swami, apa lagi yang aku butuhkan? Banyak orang dari berbagai negara merasakan manfaat. Ini adalah cukup untuk kebahagiaanku.” Ibu Easwaramma memiliki pikiran yang luas. Beliau ingin setiap orang Bahagia. Walaupun Ibu Easwaramma tidak berpendidikan namun beliau mengajarkan sifat-sifat yang mulia kepada setiap orang. Negara Bharat kita mendapatkan ketenaran yang luar biasa karena ibu-ibu yang seperti itu. Suatu hari, setelah ibu Easwaramma menikmati sarapannya, beliau sedang menunggu di dalam hall; Swami sedang ada di lantai atas; secara tiba-tiba beliau menyebutkan, ‘Swami’ (sebanyak tiga kali). Aku mengatakan kepadanya, “Aku datang, jangan pergi!” Gokak, yang ada disana menjadi terkejut mengapa Aku mengatakan hal itu. Aku segera bergegas turun ke bawah. Ibu Easwaramma memegang tangan Swami dan berkata, “aku sepenuhnya puas dengan kelas musim panas ini. Hal ini tidak hanya para mahasiswa yang mendapatkan manfaat, bahkan aku sendiri mendapatkan pikiran yang luas. Swami, aku akan pergi!” Ibu Easwaramma mencakupkan tangan untuk memberikan pranamnya kepada Swami dan meninggal dunia dengan penuh kedamaian. 


- Divine Discourse, Nov 19, 2001.

Kesucian hati seorang ibu dan kekuatan dari berkah ibu adalah tiada tandingannya


Thought for the Day - 2nd May 2024 (Thursday)

So long as you have a trace of ego in you, you cannot see the Lord clearly. That is the thera (curtain), which Saint Tyagaraja prayed to Lord Venkateshwara to remove from his mind. Egoism will be destroyed if you constantly tell yourself, 'It is He, not I.' 'He is the force, I am but the instrument.' Keep His Name always on the tongue; contemplate His glory whenever you see or hear anything beautiful or grand; see in everyone the Lord Himself moving in that form. Do not talk evil of others, see only good in them. Welcome every chance to help others, to console others, and to encourage others along the spiritual path. Be humble, do not become proud of your wealth, status, authority, learning or caste. Dedicate all your physical possessions, mental skills and intellectual attainments to the service of the Lord and to the Lord's manifold manifestations!


- Divine Discourse, Aug 13, 1964.

Ego is a bad quality for a devotee. Only through love, peace, humility, and courage can you overcome ego.


Selama engkau memiliki jejak ego di dalam dirimu, engkau tidak bisa melihat Tuhan dengan jelas. Ego itu adalah tirai (thera), dimana guru suci Tyagaraja berdoa kepada Tuhan Venkateshwara untuk menghilangkan tirai ego itu dari dalam pikirannya. Egoisme akan dapat dihancurkan jika engkau secara terus menerus mengatakan pada dirimu sendiri, 'ini adalah Tuhan, dan bukan dirikuI.' 'Tuhan adalah sebagai kekuatan, aku ini hanyalah alat saja.' Tetap jaga agar nama suci Tuhan selalu di lidah; renungkan kemuliaan Tuhan kapanpun engkau melihat atau mendengar apapun yang indah atau megah; lihat di dalam diri setiap orang bahwa Tuhan yang sedang bergerak dalam wujud orang itu. Jangan membicarakan kekurangan orang lain, hanya lihat yang baik dalam diri mereka. Sambutlah setiap kesempatan untuk membantu yang lainnya, untuk menghibur yang lainnya, dan menguatkan yang lain sepanjang dalam jalan spiritual. Jadilah rendah hati, jangan menjadi sombong pada kekayaan, status, kepintaran atau kastamu. Dedikasikan semua harta benda fisik, ketrampilan batin dan pencapaian intelektualmu untuk melayani Tuhan dan kepada berbagai perwujudan Tuhan! 


- Divine Discourse, Aug 13, 1964.

Ego adalah kualitas buruk bagi seorang bhakta. Hanya melalui kasih, kedamaian, kerendahan hati dan keberanian maka engkau dapat mengatasi ego.

Friday, April 26, 2024

Thought for the Day - 19th April 2024 (Friday)

If we were to write a letter, put it in an envelope, write the correct address on it and affix a postal stamp, the letter would be delivered, be it to the neighbouring street or to a far-off city like Delhi, Calcutta or Bombay. There is no far and near for the address written or for the postage stamp on the letter. Likewise, God makes no distinction between those near to Him or remote from Him.  We have to write down the 'address' of faith correctly. The faith should be unwavering, total and free from doubts of any kind. The letter with the address of faith has also to carry the stamp of Prema (Love). It should be selfless love. Selfish love will be useless. When firm faith is associated with such complete love, the prayers addressed to God are bound to reach Him. This kind of faith has become rare nowadays. Self-confidence is totally absent. How can one without confidence in himself for a mere three days have faith in God? 


- Divine Discourse, Dec 25, 1997.

Faith, determination, courage, intelligence, energy and valour – wherever these six qualities exist, Divine protection is assured.


Jika kita menulis surat, menaruh suratnya di dalam amplop, menulis alamat tujuan yang benar di atas amplop dan menempelkan prangko diatasnya, maka surat itu akan dikirimkan, apakah tujuannya untuk tetangga seberang jalan atau kota terjauh seperti Delhi, Calcutta atau Bombay. Tidak ada kata jauh dan dekat untuk alamat yang dituliskan atau untuk prangko yang ditempelkan di atas surat. Sama halnya, Tuhan tidak membedakan diantara mereka yang dekat dan jauh secara fisik dengan-Nya. Kita harus menuliskan 'alamat' berupa keyakinan dengan benar. Keyakinan harus tidak goyah, total dan bebas dari segala jenis keraguan. Surat dengan alamat berupa keyakinan juga memiliki prangko berupa kasih (Prema). Dan ini seharusnya kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih yang mementingkan diri sendiri akan menjadi tidak berguna. Ketika keyakinan yang teguh dihubungkan dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan dipastikan akan mencapai Tuhan. Keyakinan yang seperti ini telah jarang pada saat sekarang. Kepercayaan diri sepenuhnya hilang. Bagaimana seseorang yang tanpa kepercayaan pada dirinya sendiri selama tiga hari bisa memiliki keyakinan pada Tuhan? 


- Divine Discourse, Dec 25, 1997.

Keyakinan, keteguhan hati, keberanian, kecerdasan, energi dan kegigihan – dimanapun keenam kualitas ini ada, pasti ada perlindungan Tuhan. 

Thought for the Day - 18th April 2024 (Thursday)

When the heart is filled with all kinds of worldly desires, there is no room in it for spiritual effort. There is a vast difference between one who is attached to worldly things and one who is devoted to Dharma. This may be illustrated by the actions of Drona and Bhishma, the two principal gurus of the Kauravas. Both Bhishma and Drona were supreme masters in the arts of using astras (weapons directed by mantras) and shastras (lethal weapons). But what a difference between the two! Bhishma was highly spiritually minded. After he was wounded all over the body in the Kurukshetra battle, when blood was flowing from the wounds, lying on a bed of arrows he taught Dharma (righteousness) to the Pandavas. His teachings are contained in the Shanti Parva of the Mahabharata. On the other hand, when Dronacharya heard Yudhishthira say "Aswatthama hatah" (Aswatthama is killed), he did not even wait to hear that it was the elephant named Aswatthama that had died, he concluded that his son Aswatthama had died, and he collapsed on the battlefield. Dronacharya was filled with worldly attachments. Bhishmacharya was filled with love of Dharma (virtuous action). 


- Divine Discourse, Jun 16, 1983.

Earn prosperity (Artha) while adhering to righteousness (Dharma) and have always only one wish (Kama): to get liberated (Moksha) - that is the way to realise the four goals of life.


Ketika hati diliputi dengan semua jenis keinginan duniawi, maka disana tidak ada ruang bagi usaha spiritual. Ada perbedaan yang sangat luas diantara seseorang yang terikat pada hal-hal duniawi dan seseorang yang mengabdi pada Dharma. Hal ini dapat digambarkan dengan tindakan dari Drona dan Bhishma, dimana mereka berdua adalah guru utama dari para Kaurava. Keduanya baik Bhishma dan Drona adalah ahli tertinggi dalam seni menggunakan astra (senjata yang diarahkan dengan melantunkan mantra) dan shastra (senjata mematikan). Namun betapa berbedanya diantara keduanya! Bhishma adalah seseorang dengan pikiran spiritual yang tinggi. Setelah dia terluka di sekujur tubuhnya dalam perang Kurukshetra, ketika darah mengalir dari luka yang ada, berbaring di atas tempat tidur dari anak panah sambil mengajarkan Dharma (kebajikan) kepada para Pandawa. Ajaran yang disampaikan oleh Bhisma terangkum dalam Shanti Parva di epos Mahabharata. Sebaliknya, ketika Dronacharya mendengar Yudhishthira berkata "Aswatthama hatah" (Aswatthama dibunuh), dia bahkan tidak menunggu untuk mendengar secara utuh bahwa gajah bernama Aswatthama yang telah mati, Dronacharya menyimpulkan bahwa putranya Aswatthama telah meninggal, dan dia ambruk di medan perang. Dronacharya diliputi dengan keterikatan duniawi. Bhishmacharya diliputi dengan kasih pada Dharma (tindakan mulia). 


- Divine Discourse, Jun 16, 1983.

Dapatkan kesejahtraan (Artha) sambil berpegang pada Kebajikan (Dharma) dan selalu hanya memiliki satu hasrat (Kama): untuk terbebaskan (Moksha) – itu adalah jalan untuk menyadari empat tujuan hidup.


Thought for the Day - 17th April 2024 (Wednesday)

Tyagaraja derived the name ‘Rama’ from the two letters ‘Ra’ and ‘Ma’ in the two mantras associated with Vishnu and Siva (Om Namo Narayanaya and Om Namah Sivaya). The two mantras, without the syllables ‘Ra’ and ‘Ma’, become meaningless and thus they are the life-giving letters in the two mantras. Rama’s name thus is the life-giving essence of the two great mantras. The term ‘Rama” has another esoteric significance. It consists of three syllables: Ra + A + Ma. ‘Ra’ signifies Agni (the Fire-god). ‘Ra’ representing Agni, the Fire-god, burns away all sins; ‘A’ representing Surya, the Sungod, dispels the darkness of ignorance. ‘Ma’ representing Chandra, the Moon-god, cools one’s temper and produces tranquillity. The name Rama has the triple power of washing away one's sins, removing one's ignorance, and tranquillizing one's mind. How is the profound meaning of this sacred name to be imparted to mankind? This can be done only by the Divine coming in human form and demonstrating to mankind the power of the Divine.


- Divine Discourse, Apr 05, 1998.

Rama’s name signifies the harmony in thought, word and deed.


Tyagaraja mendapatkan nama ‘Rama’ dari dua huruf ‘Ra’ dan ‘Ma’ dalam dua mantra yang berhubungan dengan Wishnu dan Siva (Om Namo Narayanaya dan Om Namah Sivaya). Dua mantra suci ini, tanpa adanya suku kata ‘Ra’ dan ‘Ma’, menjadi tidak bermakna dan kemudian menjadi huruf yang memberikan kehidupan dalam kedua mantra tersebut. Nama Rama adalah hal yang mendasar pemberi kehidupan dari kedua mantra agung itu. Istilah ‘Rama” memiliki makna mendalam yang lain, yang terdiri dari tiga suku kata yaitu: Ra + A + Ma. ‘Ra’ berarti Agni (dewa api). ‘Ra’ melambangkan Agni yaitu Dewa api yang membakar semua dosa; ‘A’ melambangkan Surya (dewa matahari) yang menghilangkan kegelapan kebodohan. ‘Ma’ melambangkan Chandra (dewa bulan) yang mendinginkan emosi seseorang dan menghasilkan ketenangan. Nama suci Rama memiliki tiga kekuatan yaitu : melenyapkan dosa seseorang, melenyapkan kebodohan seseorang, dan menenangkan pikiran seseorang. Bagaimana makna mendalam dari nama suci ini dapat disampaikan pada umat manusia? Hal ini dapat dilakukan hanya dengan inkarnasi Tuhan dalam wujud manusia dan memperlihatkan pada manusia kekuatan Tuhan. 


- Divine Discourse, Apr 05, 1998.

Nama Rama mengandung makna keharmonisan dalam pikiran, perkataan dan tindakan.

Thought for the Day - 16th April 2024 (Tuesday)

Your heart is the temple of Rama. Constantly contemplate on Rama who is immanent in your heart. Rama is there with you, in you, around you not only in your waking state but also in the dream and deep sleep state. He is eternally with you. Rama is not limited to a particular form. He assumes innumerable forms. Though the forms are many, Divinity in them is one. Therefore, whomsoever you see, offer your salutations to him, considering him as the form of Rama. Now Swami is being extolled as Sai Rama and Sai Krishna as He embodies the same principles of Dharma (righteousness), Prema (love) and Shanti (peace) which Lord Rama and Lord Krishna had personified. Rama is immanent in everyone; Easwara is present in all; Rama is within you. In fact, you yourself are Rama. Establish this truth in your heart firmly and spend your time profitably. Then your life will be filled with everlasting bliss. Constantly recite the name of Rama. 


- Divine Discourse, Mar 27, 2007.

You may call the Lord Sai Rama, Sita Rama, Ayodhya Rama or by any other name, but do remember the Name of the Lord, Rama, forever.


Hatimu adalah tempat suci Rama. Dengan tanpa putus lakukan perenungan pada Rama yang selalu ada di dalam hatimu. Rama ada bersamamu, di dalam dirimu, di sekitar dirimu dan tidak hanya dalam keadaan sadar namun juga dalam keadaan mimpi serta tidur yang lelap. Rama selamanya bersamamu. Rama tidak dibatasi pada sebuah wujud tertentu saja. Rama mengambil wujud yang tidak terhitung jumlahnya. Walaupun wujudnya adalah banyak, namun ke-Tuhan-an didalamnya adalah satu. Maka dari itu, siapapun yang engkau lihat, persembahkan rasa hormat padanya, anggaplah dia sebagai wujud Rama. Sekarang Swami sedang dihormati sebagai Sai Rama dan Sai Krishna karena Beliau perwujudan pada prinsip yang sama dari Dharma (kebajikan), Prema (kasih) dan Shanti (kedamaian) yang mana dipersonifikasikan oleh Sri Rama dan Sri Krishna. Rama selalu ada di dalam diri setiap orang; Easwara juga ada di dalam semuanya; Rama ada di dalam dirimu. Sejatinya, dirimu sendiri adalah Rama. Tanamkan kebenaran ini di dalam hatimu dengan kokoh dan gunakan waktu secara bermanfaat. Kemudian hidupmu akan diliputi dengan kebahagiaan yang kekal. Dengan tanpa putus lantunkan nama suci Rama. 


- Divine Discourse, Mar 27, 2007.

Engkau dapat menyebut Tuhan dengan Sai Rama, Sita Rama, Ayodhya Rama atau dengan nama lainnya, namun ingatlah selalu nama Tuhan, Rama, selamanya.


Thought for the Day - 15th April 2024 (Monday)

The distinction made between householders and sanyasis is not of real significance. The wearing of the ochre robe alone will not make a man a devotee of God. By the mere mouthing of mantras, one's sins will not be washed away. Carrying the Gita and shouting slogans will not make one meritorious. Only the man whose thoughts and deeds are in harmony can be called a sadhu (a saintly person). Who are sadhus? Not merely those who don the ochre robe. All are sadhus. All beings have sadhutva (goodness and purity) inherent in them. They have to foster and manifest these qualities and not the external vesture. It is the purity of one's thoughts which reveals one’s sadhutva. There is no need to put on the orange robe to become a sadhu. The heart must be pure. Ravana put on a guise of an ascetic to kidnap Sita. His garb only concealed his evil intent. It is the evil qualities that have to be given up. Even if the process is begun in a small way, it will result in great good. The start must be made when one is young. 


- Divine Discourse, Jan 07, 1988.

When man is not trained to live a good and godly life, teaching him various skills and tricks, only makes him a danger to himself and to others.


Perbedaan yang dibuat diantara berumah tangga dan sanyasin adalah tidak begitu penting. Dengan memakai jubah pertapa saja tidak akan membuat seseorang menjadi bhakta Tuhan. Hanya dengan mengucapkan mantra-mantra, dosa seseorang tidak akan terhapuskan. Dengan membawa kitab suci Bhagavad Gita dan menyampaikan sloka-sloka dalam Gita tidak akan membuat seseorang menjadi berguna. Hanya seseorang yang pikiran dan perbuatannya selaras dapat disebut dengan seorang yang sadhu (orang suci). Siapakah orang sadhu itu? Bukan hanya mereka yang memakai jubah berwarna oker. Semuanya adalah sadhu. Semua makhluk memiliki sadhutva (kebaikan dan kemurnian) yang melekat di dalam dirinya. Mereka harus memupuk dan mewujudkan kualitas-kualitas ini dan bukan pakaian luarnya saja. Adalah kemurnian dari pikiran seseorang yang mengungkapkan kualitas sadhutva yang dimilikinya. Tidak ada gunanya memakai jubah untuk menjadi seorang sadhu. Hati haruslah murni. Ravana menyamar sebagai pertapa untuk menculik Sita. Pakaiannya hanya untuk menutupi niat jahatnya. Adalah sifat-sifat jahat yang harus dilepaskan. Bahkan jika proses untuk itu dimulai dari hal yang kecil, namun akan menghasilkan kebaikan yang sangat besar. Hal ini harus dimulai ketika seseorang masih muda. 


- Divine Discourse, Jan 07, 1988.

Ketika manusia tidak dilatih untuk menjalani hidup yang baik dan mulia, hanya mengajarkan berbagai keahlian dan trik, itu membuatnya menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain.