Monday, September 29, 2014

Thought for the Day - 29th September 2014 (Monday)

The goal of celebrating the Dasara festival is to control the ten senses. Legend says that Goddess Chamundi killed the demon Mahisha during this occasion. The inner meaning of this story is that, under no circumstances, associate yourselves with demonic qualities. Always be in good company. If you join bad company, you will also become evil. Hence, never befriend a bad person. The moment you come across such people, just say ‘goodbye’ and move on. You need not develop hatred towards them. Whomever you come across, consider them as embodiments of Divinity and salute them. Even when you come across people who hate you, offer your salutations (pranams) to them and ask them, “How are you brother?” Then they too will respond in the same manner. A human being is one who is endowed with human values and also exhibits them. Always speak truth and observe righteousness (Dharma). Be peaceful. Be happy and blissful.

Tujuan dari merayakan festival Dasara adalah untuk mengontrol kesepuluh indera. Dalam legenda menceritakan Dewi Chamundi membunuh iblis Mahisha dalam kesempatan ini. Makna batin dari cerita ini adalah bahwa dalam keadaan apapun janganlah mengasosiasikan diri dengan sifat-sifat yang buruk. Engkau hendaknya selalu berada dalam pergaulan yang baik. Jika engkau bergabung dengan pergaulan yang buruk, engkau juga akan menjadi buruk. Oleh karena itu, jangan pernah berteman dengan orang yang berkelakuan buruk. Saat engkau menemukan orang seperti itu, katakanlah 'selamat tinggal' dan berlalulah. Engkau tidak perlu mengembangkan kebencian terhadap mereka. Siapa pun yang datang padamu, anggaplah mereka sebagai perwujudan Tuhan dan hormatilah mereka. Bahkan ketika engkau menemukan orang-orang yang membencimu, berikanlah salam (pranams) kepada mereka dan tanyakan pada mereka, "Bagaimana kabarmu saudara?" Kemudian mereka juga akan merespon dengan cara yang sama. Seorang manusia adalah mereka yang diberkati dengan nilai-nilai kemanusiaan dan juga menunjukkan nilai-nilai tersebut. Selalulah berbicara kebenaran dan menjalankan kebenaran (Dharma). Engkau hendaknya hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan. (Divine Discourse, Sep 27, 2006)

-BABA

Sunday, September 28, 2014

Thought for the Day - 28th September 2014 (Sunday)

You are wasting your precious time thinking that all that you see in this objective world is true. No! None of these objects is real. Truth is eternal and is beyond the three periods of time - past, present and future. That Truth is Divinity. God is only one, now and forever. How foolish it is to think that the worldly vision which is subject to change from time to time is real. You are a student today. Tomorrow you will become an officer in an Organization and few years later you will be a retired officer. Then, which is true? Is it the life as a student or as an officer or as a retired official? Thus, all that you see in this objective world and all the relationships between individuals are only temporary, never real and permanent. Divinity is not like that. Recognise the Truth that the Divine is omnipresent - yesterday, today and tomorrow.

Engkau menyia-nyiakan waktumu yang berharga, berpikir bahwa semua yang engkau lihat dalam dunia objektif ini benar. Tidak! Tak satu pun dari benda-benda duniawi ini nyata. Kebenaran adalah kekal dan melampaui tiga periode waktu - masa lalu, sekarang, dan masa depan. Kebenaran itu adalah Divinity. Tuhan hanya satu, sekarang dan selamanya. Betapa bodohnya jika berpikir bahwa pandangan duniawi yang dapat berubah dari waktu ke waktu adalah nyata. Saat ini, engkau seorang pelajar, esok engkau akan menjadi seorang pekerja/pegawai dan beberapa tahun kemudian engkau akan menjadi pensiunan. Kemudian, yang mana yang benar? Apakah kehidupan sebagai pelajar atau sebagai pegawai atau sebagai pensiunan? Dengan demikian, semua yang engkau lihat di dunia objektif ini dan semua hubungan antara individu hanya sementara, tidak pernah nyata dan permanen. Divinity tidak seperti itu. Sadarilah Kebenaran bahwa Tuhan ada dimana-mana - dahulu, hari ini, dan nanti. (Divine Discourse, Sep 27, 2006)

-BABA

Saturday, September 27, 2014

Thought for the Day - 27th September 2014 (Saturday)

Do not see, speak or hear what is evil. You must only see what is good, hear and speak what is sacred. These may seem simple maxims but are full of profound significance. Constantly discriminate between negative and positive actions. All bad and unwholesome actions are negative in character, eschew them altogether. Your mind must be filled with good thoughts, your hearts should be filled with compassion, and your hands must be engaged in selfless service. You will be caught up in negative behavior, as long as you identify yourself with the body. The moment you consider yourself as the master of the senses, your actions will be positive. Mastery of the senses leads to liberation. Liberation is not something to be achieved after life. Striving for liberation must start early in life and proceed continuously, until you are free from the bondage to the senses. Carry on all duties without attachment to the fruits thereof.

Janganlah melihat, berbicara, atau mendengar hal-hal yang buruk. Engkau harus melihat hanya yang baik, mendengar dan berbicara hal-hal yang suci. Ini mungkin nampak sebagai pepatah yang sederhana namun penuh makna yang mendalam. Secara terus-menerus engkau hendaknya dapat membedakan antara tindakan negatif dan positif. Semua tindakan buruk dan tindakan yang tidak sehat merupakan hal yang buruk/negatif dalam karakter, engkau seharusnya menjauhkan dirimu dari semua hal negatif ini. Pikiranmu harus diisi dengan pikiran yang baik, hatimu harus diisi dengan kasih sayang, dan tanganmu harus terlibat dalam pelayanan tanpa pamrih. Engkau akan terjebak dalam perilaku negatif, sepanjang engkau masih mengidentifikasi diri dengan badan jasmani. Saat engkau menyadari dirimu sebagai penguasa indera, maka tindakanmu akan positif. Dengan menguasai indera, mengarahkan engkau pada pembebasan. Pembebasan bukanlah sesuatu yang harus dicapai setelah kehidupan. Berjuang untuk pembebasan harus dimulai sejak dini dalam hidup dan melanjutkannya terus, sampai engkau bebas dari belenggu indera. Lanjutkanlah semua kewajiban tanpa keterikatan pada hasil yang akan dicapai. (My Dear Students, Vol 5, Ch 3, Feb 15, 1998)

-BABA

Friday, September 26, 2014

Thought for the Day - 26th September 2014 (Thursday)

In the drama of life, some act on the basis that nothing belongs to them and that, whatever words one utters or whatever action one does, all belong to God and nothing is their own. They play their role in this spirit, ascribing nothing to oneself. The other category are those that are like the actors who are conscious of the role they are playing and do not forget their individuality in their actions. They do not consider themselves as merely acting a part but as the doer. The difference between the two is that while the former realises the temporary nature of the part being played and is not attached to the things connected with the role, the other develops attachment to the role and does not wish to part with things connected with the role. Presently, most people suffer from the possessive attitude. The reason is the failure to use the senses properly and enslavement to the desires prompted by them. Train your sense organs only to perceive sacred things and abstain from indiscriminate enjoyment.

Dalam drama kehidupan, tindakan apapun yang dilakukan, kata-kata apapun yang diucapkan semuanya bukanlah milikmu, semuanya adalah milik Tuhan dan tidak ada yang merupakan milikmu sendiri. Mereka memainkan peran mereka dalam semangat ini, menganggap apapun untuk dirinya sendiri. Kategori lain adalah mereka yang seperti aktor yang sadar akan peran yang mereka mainkan dan tidak lupa individualitas mereka dalam tindakan mereka. Mereka tidak menganggap diri mereka bertindak sebagai bagian dari drama tetapi sebagai pelaku. Perbedaan antara keduanya adalah yang terdahulu menyadari sifatnya yang sementara sebagai bagian yang dimainkan dan tidak terikat pada hal-hal yang berhubungan dengan perannya, sementara yang lainnya mengembangkan ikatan dengan perannya dan tidak ingin berpisah dengan hal-hal yang berhubungan dengan peran tersebut. Saat ini, kebanyakan orang mengalami sikap posesif. Alasannya adalah kegagalan untuk menggunakan indera dengan benar dan menjadi budak keinginan mereka. Engkau hendaknya melatih inderamu hanya untuk melihat hal-hal suci dan menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi. (My Dear Students, Vol 5, Ch 3, Feb 15, 1998)

-BABA

Thursday, September 25, 2014

Thought for the Day - 25th September 2014 (Thursday)

People today repose their faith in the ephemeral and unreal world, and forget God who is the embodiment of truth. This is the root cause for all sorrows and difficulties faced by humanity. You say you are encountering difficulties. From where did they come? Difficulties are the consequences of one’s past deeds and thoughts. Everything in this world is suscep¬tible to change. God is the only changeless principle. What is human life for, after all? Is it merely for eating, drinking, sleeping and ultimately dying? In doing so, can the human life be termed as sacred? At the time of birth everyone is pure and sacred. As they grow old, they gradually lose this purity. This is improper! One must always maintain one’s purity. Install the changeless and eternal God in the altar of your sacred heart and offer your love to Him. Thereby, you can experience bliss. This is the foremost duty of every human being.

Orang-orang saat ini menaruh kepercayaan mereka pada dunia fana dan yang tidak nyata, dan melupakan Tuhan yang merupakan perwujudan kebenaran. Ini adalah akar penyebab semua penderitaan dan kesulitan yang dihadapi oleh umat manusia. Engkau mengatakan engkau mengalami penderitaan. Dari mana penderitaan itu berasal? Penderitaan adalah konsekuensi dari perbuatan di masa lalu dan pikiran seseorang. Segala sesuatu di dunia ini mudah mengalami berubah. Tuhan adalah satu-satunya prinsip yang tidak berubah. Untuk apakah manusia hidup? Apakah hanya untuk makan, minum, tidur, dan akhirnya mati? Dengan melakukan hal seperti demikian, dapatkah hidup manusia disebut sebagai suci? Pada saat lahir, semua orang murni dan suci. Ketika mereka tumbuh semakin tua, secara bertahap mereka kehilangan kemurnian ini. Ini tidaklah benar! Seseorang harus selalu menjaga kemurniannya. Installah Tuhan yang tak berubah dan kekal di altar hatimu yang suci dan mempersembahkan cinta-kasihmu kepada-Nya. Dengan demikian, engkau dapat mengalami kebahagiaan. Inilah tugas utama setiap manusia. (Divine Discourse, Sep 27,2006)

-BABA

Wednesday, September 24, 2014

Thought for the Day - 24th September 2014 (Wednesday)

The whole world is a stage and every individual is an actor. The Divine Lord is the Director of the Cosmic Drama. The primary goal of every actor doing a particular role is to carry out their duty, setting aside their individuality. In a school drama, a boy may play the role of a director. While acting, he must exhibit the behavior of a director and not behave like he would in his normal daily routine; those traits must be given a back seat. Your birth as a human being is a God given gift which must be used with due care. Fill your life with righteous acts and do not misuse your talents for unholy purposes. Your life will have a mixture of good and bad, discriminate and select to play your role in a good manner wherein you manifest humanness, and thus conduct yourself worthily. Realise that every human birth is a manifestation of the Divine will.

Seluruh dunia dapat diibaratkan sebagai panggung dan setiap individu adalah aktornya. Tuhan adalah Sang Sutradara Drama Cosmic ini. Tujuan utama dari setiap pelaku adalah melakukan peran tertentu untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing. Dalam drama sekolah, seorang anak bisa jadi memainkan peran sebagai direktur. Pada saat melakukan akting, ia harus menunjukkan perilaku sebagai direktur dan tidak berperilaku seperti rutinitas normal dalam kehidupan sehari-hari; kebiasaanya tersebut hendaknya ditempatkan di kursi belakang. Kelahiranmu sebagai manusia adalah berkat Tuhan yang harus digunakan dengan hati-hati. Engkau hendaknya mengisi hidupmu dengan tindakan yang benar dan tidak menyalahgunakan talentamu untuk tujuan yang tidak suci. Hidupmu merupakan campuran yang baik dan yang buruk, engkau hendaknya menggunakan kemampuan diskriminasimu dan memilih untuk memainkan peranmu dengan cara yang baik sebagai manusia sejati, sehingga engkau layak memerankannya. Sadarilah bahwa setiap kelahiran manusia merupakan manifestasi dari kehendak Tuhan. (My Dear Students, Vol 5, Ch 3, Feb 15, 1998)

-BABA

Tuesday, September 23, 2014

Thought for the Day - 23rd September 2014 (Tuesday)

Every human being has a heart. Your heart is already filled with love. With how many are you selflessly sharing the love in your heart? Not many! What then is the use of love, if it is not shared? You must share all the love present in your heart with every being in creation. Love is the gift of God and you must share it freely in this world. This is the only way out of all the troubles and failure that people suffer. Many of you repeat the words mechanically, “May all the beings in all the worlds be happy”. To how many people are you giving happiness? Most of you are concerned with your selfish interests, have strong egos and display ostentation all the time. Whoever has imbibed precious truths from the Masters and scriptures must be filled with love. The day you root out selfishness from within, Divinity will flourish and blossom in your heart.

Setiap manusia memiliki hati. Hatimu sudah dipenuhi dengan cinta-kasih. Berapa banyak engkau berbagi cinta-kasih dengan hatimu? Tidak banyak! Lalu apa kemudian manfaat dari cinta-kasih, jika tidak untuk dibagi? Engkau harus membagi semua cinta-kasih yang ada di hatimu dengan semua makhluk. Cinta-kasih adalah karunia Tuhan dan engkau harus membaginya dengan bebas di dunia ini. Ini adalah satu-satunya jalan keluar dari semua masalah dan kegagalan yang di derita oleh orang-orang. Banyak dari engkau mengulangi kata-kata secara mekanis, "Semoga semua makhluk di seluruh dunia berbahagia". Untuk berapa orang engkau memberikan kebahagiaan? Sebagian besar dari engkau memperhatikan kepentingan pribadimu, memiliki ego yang kuat dan menampilkan kesombongan sepanjang waktu. Siapapun yang menyerap kebenaran berharga dari Sang Master (Sang Pencipta) dan kitab suci harus diisi dengan cinta-kasih. Hari ketika engkau meninggalkan keegoisan yang berasal dari dalam dirimu, maka Divinity akan berkembang dan mekar di hatimu. (Divine Discourse, Aug 30, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 22nd September 2014 (Monday)

Inside us, outside and all around there is air. But it cannot be seen, nor can it be grasped by the hand. For this reason can you deny the existence of air? How can one exist if there is no air? To deny the existence of air is to deny one's own existence. God is all-pervading. He is omnipresent. He transcends time, space and circumstances. God exists at a level which is in accordance to one's own level of understanding of the Divine. All the animate and inanimate objects in the world are Vishnuswarupa (manifestations of the Divine). It is foolish to look at the cosmos and deny the principle that pervades the cosmos. Equally is it not silly to look at the universe, which is the embodiment of the Divine, and deny the existence of the Divine? That is the reason why the scriptures declared: Pashyannapi na pashyathi mudho (The foolish one, even though he beholds, does not recognise).

Di dalam diri, di luar dan di sekitar kita ada udara. Tetapi udara tidak bisa dilihat, juga tidak bisa digenggam dengan tangan. Untuk alasan ini dapatkah engkau menyangkal keberadaan udara? Bagaimana seseorang bisa eksis jika tidak ada udara? Menyangkal keberadaan udara sama halnya dengan menyangkal keberadaan diri sendiri. Tuhan meresapi segala sesuatu. Dia ada di mana-mana. Dia melampaui waktu, ruang, dan keadaan. Tuhan ada pada diri kita sendiri sesuai dengan tingkat pemahaman kita pada Tuhan. Semua objek di dunia baik makhluk hidup dan tak hidup adalah Vishnuswarupa (manifestasi Tuhan). Adalah merupakan suatu kebodohan untuk melihat kosmos dan menyangkal prinsip yang meliputi alam semesta. Tidakkah itu sama dengan melihat alam semesta, yang merupakan perwujudan Tuhan, dan menyangkal keberadaan Tuhan? Itulah alasan mengapa kitab suci menyatakan: Pashyannapi na pashyathi mudho (orang yang bodoh, meskipun ia melihatnya, ia tidak menyadarinya). (Divine Discourse, Sep 09, 1992)

-BABA

Sunday, September 21, 2014

Thought for the Day - 21st September 2014 (Sunday)

Today many are concerned about the levels of pollution in water, air and environment. Enormous amounts of time, effort and resources are spent on purifying the elements. Shouldn’t you also be equally concerned, if not more, about the pollution in human minds? Many minds and hearts are much contaminated. The dire need today is to eradicate this pollution. Many are deeply immersed in worldly pleasures and desires. As a result, there is mental dissatisfaction and bitter frustration. Turn the minds, back to the source, from where they have originated. What should a fish out of water do to survive? Can the fish thrive by immersing itself in coffee or by placing itself on the most comfortable couch? The fish will survive happily only when it returns home - water! So too, human minds must be restored to their original home, which is the Divine Self within every being. Mental peace can be attained only by turning inward.


Saat ini banyak orang menaruh perhatian pada tingkat pencemaran di air, udara, dan lingkungan. Banyak waktu, tenaga, dan sumber daya yang dihabiskan untuk memurnikan unsur-unsur tersebut. Jika engkau tidak perhatian, bagaimana dengan polusi dalam pikiran manusia? Pikiran dan hati banyak terkontaminasi. Kebutuhan yang diperlukan saat ini adalah untuk memberantas polusi ini. Banyak orang terbenam dalam kesenangan dan keinginan duniawi. Akibatnya, ada ketidakpuasan mental dan frustrasi. Belokkanlah pikiran, kembali ke sumber, dari mana mereka berasal. Apa yang harus dilakukan ikan untuk bertahan hidup, jika ia tidak berada dalam air? Dapatkah ikan hidup dengan membenamkan dirinya ke dalam kopi atau dengan menempatkan dirinya di sofa yang paling nyaman? Ikan akan bisa bertahan dengan senang hati hanya saat ia kembali ke rumah - yaitu air! Demikian juga, pikiran manusia harus dikembalikan ke rumah mereka yang sejati, yang merupakan Divine Self dalam setiap makhluk. Kedamaian mental dapat dicapai hanya dengan mengalihkan pikiran ke dalam diri. (Divine Discourse, Aug 30, 1993)
-BABA

Saturday, September 20, 2014

Thought for the Day - 20th September 2014 (Saturday)

Once the saints Namadeva and Gyanadeva were travelling in a forest. They felt thirsty and searched for water and came across an old dried up well. Gyanadeva, who followed the path of wisdom, transformed himself into a bird and flew down, drank the water and returned. Namadeva saw this and didn’t agree with the approach. He thought that one must elevate oneself from this human birth to Divine and not the other way. So he sat at that spot and chanted the name of the Lord. Every time he did it with intensity, the level of water began to rise higher and higher and finally the well started overflowing. He comfortably drank the water and was blissful. He demonstrated clearly wisdom is useful but is not greater than Divinity. He clearly taught the precious lesson that the Name of the Lord will grant everything that one needs in life and ultimately the Divine Himself.

Suatu ketika orang suci, Namadeva dan Gyanadeva bepergian ke hutan. Mereka merasa haus dan mencari air dan menemukan sumur tua yang sudah mengering. Gyanadeva, yang mengikuti jalan kebijaksanaan, mengubah dirinya menjadi seekor burung dan terbang ke bawah, minum air dan kembali. Namadeva melihat ini dan tidak setuju dengan pendekatan tersebut. Dia berpikir bahwa seseorang harus meningkatkan dirinya sendiri pada kelahiran ini sebagai manusia menuju tingkat Tuhan dan bukan sebaliknya. Jadi dia duduk di tempat itu dan menchantingkan nama Tuhan. Setiap kali ia melakukannya dengan intensitas, air mulai naik lebih tinggi dan lebih tinggi dan akhirnya air mulai meluap. Dia kemudian meminum air tersebut dan merasakan kebahagiaan. Dia menunjukkan dengan jelas bahwa jalan kebijaksanaan berguna tetapi tidak lebih mulia dari Tuhan. Dia jelas mengajarkan pelajaran berharga bahwa nama Tuhan akan memberikan segala sesuatu yang merupakan kebutuhan dalam hidup dan akhirnya Tuhan sendiri. (My Dear Students, Vol 3, Ch 13, Mar 16, 1998)

-BABA

Friday, September 19, 2014

Thought for the Day - 19th September 2014 (Friday)

The birth as a human being is sacred and precious. By indulging in selfishness, people undermine their birth and the Divinity within themselves. Leading a moral life alone can sanctify this birth. God is the indweller in everyone and directs human life as one’s inner conscience. If you let selfishness grow within you, it takes the form of lust, hatred and greed. These three vices are very dangerous and demonic. When worldly desires increase, the vices grow to the extent of making you lose faith in God and even lead you to developing enmity towards God. Never go after worldly happiness which is fraught with danger, giving up the Divine who is ready to be near and dear to you. Your parents or relatives may be away from you. God is never distant from you. He is always with you, behind you and around you, and He will always protect you.

Kelahiran sebagai manusia adalah suci dan mulia. Dengan menurutkan kehendak dalam keegoisan, orang-orang melemahkan kelahiran mereka dan Keilahian yang ada dalam diri mereka. Hanya dengan menjalankan kehidupan bermoral dapat menyucikan kelahiran ini. Tuhan adalah penghuni hati semua orang dan mengarahkan kehidupan manusia. Jika engkau membiarkan keegoisan tumbuh dalam dirimu, hal tersebut dapat mengarah pada bentuk nafsu, kebencian dan keserakahan. Ketiganya ini merupakan sifat-sifat yang buruk dan sangat berbahaya. Ketika keinginan duniawi meningkat, sifat-sifat buruk akan terus tumbuh sampai membuatmu kehilangan keyakinan pada Tuhan dan bahkan dapat menyebabkan engkau mengembangkan permusuhan pada Tuhan. Engkau hendaknya tidak menuju pada kebahagiaan duniawi yang penuh dengan bahaya, berserahlah pada Tuhan yang siap menjadi yang terdekat dan menyayangimu. Orang tua atau keluargamu mungkin jauh darimu. Tuhan tidak pernah jauh darimu. Dia selalu bersamamu, di belakangmu, dan di sekitarmu, dan Dia akan selalu melindungimu. (My Dear Students, Vol 2, Ch 17, Sep 17, 1992)

-BABA

Thursday, September 18, 2014

Thought for the Day 18th September 2014 (Thursday)

Sakhubai, an ardent devotee of Lord Panduranga, went to saint Namadeva and submitted, “Master, I make so many cow dung cakes, but people are stealing them. I need to earn a livelihood by selling these, but very little is left for me to sell. What do I do?” Namadeva smilingly asked her, “How do you know that those stolen are your cow dung cakes?” Sakhubai promptly answered, “Master, I make them thinking and reciting Lord Panduranga’s name all the time; my feelings are reflected in them and they give amazing results!” She then asked Namadeva to break and listen to one cake. Everyone around Namadeva were greatly astonished to hear the inanimate cowdung cake reverberating with Panduranga’s name with the correct pitch, tune and rhythm. Mother Sakhubai said, “Not only in these cakes, but if we think of the Lord while performing every action, it will reflect and resound in the work we do!”

Sakhubai, seorang pemuja setia Dewa Panduranga, menuju ke orang suci Namadeva dan menyampaikan, "Guru, saya membuat banyak cetakan kotoran sapi, tapi orang-orang mencurinya. Saya harus mencari nafkah dengan menjual ini, tetapi sangat sedikit yang tersisa bagi saya untuk di jual. Apa yang harus saya lakukan? "Namadeva tersenyum dan bertanya," Bagaimana engkau tahu bahwa mereka mencuri kotoran sapi yang telah engkau cetak? "Sakhubai segera menjawab," Guru, saya membuatnya dengan merenungkan dan mengucapkan Nama Tuhan Panduranga sepanjang waktu; perasaan saya tercermin di dalamnya dan ini memberikan hasil yang luar biasa! "Dia kemudian meminta Namadeva mendengarkan salah satunya. Semua orang di sekitar Namadeva tercengang-cengang mendengar kotoran sapi yang telah dicetak, suatu benda yang tidak bernyawa bergema dengan nama Panduranga dengan nada, lagu, dan irama yang benar. Ibu Sakhubai berkata, "Tidak hanya pada kotoran sapi ini, tetapi jika kita berpikir tentang Tuhan saat melakukan setiap tindakan, itu akan tercermin dan bergema di pekerjaan yang kita lakukan!" (My Dear Students, Vol 3, Ch 13, Mar 16, 1998)
-BABA

Wednesday, September 17, 2014

Thought for the Day - 17th September 2014 (Wednesday)

Ravana was a great scholar. He mastered 64 distinct fields of knowledge, including the language of animals, birds and insects. He possessed all knowledge, wealth and prosperity that equaled heaven. He used his penance as a means to acquire mastery over the physical world, reposing his faith on the phenomenal world and not on the Creator. He chose not to enquire about the Creator of the phenomenal world. The Universe is the Creator’s property. Rama was the Creator Himself and Sita was Rama’s Power (Shakti). Ravana, giving in to lust, desire and greed, developed hatred and enmity towards Rama and abducted Mother Sita. What was the result? Not only he, but his entire kingdom was destroyed. Despite such high knowledge and prowess, he failed to recognize the Divine within and ruined himself due to a moral lapse. Thus Ramayana clearly teaches the lesson that spiritual wisdom alone saves, and is essential.
Rahwana adalah seorang terpelajar. Ia menguasai 64 bidang pengetahuan yang berbeda, termasuk bahasa hewan, burung dan serangga. Ia memiliki semua pengetahuan, kekayaan, dan kemakmuran yang setara dengan surga. Dia menggunakan pertapaannya sebagai sarana untuk memperoleh penguasaan atas dunia fisik, meletakkan keyakinannya pada dunia fenomenal, bukan pada Sang Pencipta. Dia memilih untuk tidak mencari/menyelidiki Sang Pencipta dunia fenomenal. Alam semesta adalah milik Sang Pencipta. Rama adalah Sang Pencipta itu sendiri dan Sita adalah kekuatan (Shakti)-nya Rama. Rahwana, menyerah pada nafsu, keinginan dan keserakahan, kebencian dan permusuhan yang dikembangkan terhadap Rama dan menculik Ibu Sita. Apa hasilnya? Tidak hanya dia, tapi seluruh kerajaannya hancur. Meskipun memiliki pengetahuan dan kecakapan yang tinggi, ia gagal untuk mengenali Tuhan yang ada dalam dirinya dan hancur karena kejatuhan moral. Jadi Ramayana dengan jelas mengajarkan hanya pelajaran kebijaksanaan spiritual yang penting dan dapat menyelamatkanmu. ( (My Dear Students, Vol 2, Ch 17, Sep 17, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 16th September 2014 (Tuesday)

Dakshah is the quality of having firm determination to perform pure actions. The determination should be confined to actions that are pure, helpful to others and that sublimate you. At all circumstances, you must choose to act in a good manner and strictly refrain from any impure act. A person who can accomplish this is called Dakshah, and is very dear to the Lord. Udaseenah means the freedom from attachment. It means remaining serene and unruffled by fame or blame, peace or sorrow, loss or gain, pleasure or pain, not elated by prosperity or depressed by failure. You must never succumb to calumny, nor should you exult over fame. Fame and blame are like passing clouds; they must be treated the same. If you take them seriously, they will give rise to agitations in the mind, which may lead to demonic tendencies. Any devotee who possesses these sacred virtues is very dear to the Lord.


Dakshah adalah kualitas yang memiliki tekad kuat untuk melakukan tindakan murni. Kebulatan tekad hendaknya dibatasi pada tindakan yang murni, membantu orang lain, maka itu akan menghaluskanmu. Di segala situasi, engkau harus memilih untuk bertindak dengan cara yang baik dan dengan disiplin yang kuat menahan diri dari tindakan yang tidak murni. Seseorang yang dapat mencapai hal ini disebut Dakshah, dan merupakan kekasih Tuhan. Udaseenah berarti bebas dari keterikatan. Ini berarti yang tersisa adalah  ketenangan hati dan tidak terpengaruh oleh pujian atau hinaan, kedamaian atau kesedihan, kerugian atau keuntungan, kesenangan atau rasa sakit, dan tidak bahagia dengan kemakmuran atau tertekan oleh kegagalan. Engkau seharusnya tidak mengalah pada fitnah, juga tidak seharusnya engkau bersuka ria atas ketenaran. Pujian dan hinaan dapat diibaratkan seperti awan yang berlalu; mereka harus diperlakukan dengan sama. Jika engkau menganggapnya serius, mereka akan menimbulkan agitasi dalam pikiran, yang dapat menyebabkan kecenderungan yang buruk. Setiap bhakta yang memiliki keutamaan yang mulia seperti tersebut adalah kekasih Tuhan.  (Divine Discourse, August 30, 1993)

-BABA

Monday, September 15, 2014

Thought for the Day - 15th September 2014 (Monday)

Many people speak about getting a vision of God. This is a naïve desire. They do not realize that God is present in everything they see. Scriptures declare that the one who fails to see the Divine manifest everywhere around them is a fool. Every being, every atom in this Universe is permeated by the Divine. So you must seek to realize your own inner Divinity and also recognize the Lord in all beings. You must manifest your loving nature, not become stone-hearted. For this, you must cultivate forbearance, love and compassion, and not resort to any sinful means. Your desires can never be fulfilled if you cause harm to others. If you are full of envy, pride and ostentation you cannot please God. The Divine will respond instantly only to unsullied love, and never to wealth, power or position.

Banyak orang mengatakan mendapatkan visi Tuhan. Ini adalah keinginan yang naif. Mereka tidak menyadari bahwa Tuhan ada dalam segala sesuatu yang mereka lihat. Kitab suci menyatakan bahwa orang yang gagal melihat manifestasi Tuhan di mana-mana di sekitar mereka adalah orang yang bodoh. Setiap makhluk, setiap atom di alam semesta ini diresapi oleh Tuhan. Jadi, engkau harus berusaha untuk mewujudkan Divinity yang ada dalam dirimu sendiri dan juga menyadari adanya Tuhan dalam semua makhluk. Engkau harus mewujudkan sifatmu yang sejati yaitu mengasihi, bukan menjadi berhati batu. Untuk ini, engkau harus memupuk kesabaran, cinta dan kasih sayang, dan tidak mengambil jalan yang berdosa. Keinginanmu tidak akan pernah bisa dipenuhi jika engkau menyebabkan penderitaan pada orang lain. Jika engkau penuh dengan iri hati, kebanggaan, dan kesombongan engkau tidak dapat menyenangkan Tuhan. Tuhan akan merespon langsung hanya untuk cinta-kasih yang tak ternoda, dan bukan kekayaan, kekuasaan atau posisi. (Divine Discourse, Sep 14, 1997)

-BABA

Sunday, September 14, 2014

Thought for the Day - 14th September 2014 (Sunday)

Shuchih’ means purity - it does not merely refer to the external cleanliness of the physical body. Your mind gets polluted by wrong thoughts and bad feelings. If you let your mind be continuously filled with evil thoughts, you will reap bad consequences. Hence give no room to wrong thoughts and feelings, and expel all negativity. Your body must be free from the taint of violence or harm (himsa). People commit many acts of violence and many sinful deeds with their hands; this is incorrect. The body has been given primarily for practicing righteousness (Dharma). Such a sacred gift must be used for rendering service to others. No one can refrain from action of some kind, even for a minute. Under no circumstances, should one engage in any impure act. You must achieve this purity with firm determination.

'Shuchih' berarti kemurnian - tidak hanya mengacu pada kebersihan eksternal badan fisik. Pikiranmu akan tercemar oleh pikiran yang salah dan perasaan yang buruk. Jika engkau membiarkan pikiranmu terus menerus diisi dengan pikiran yang buruk, maka engkau akan menuai konsekuensi yang buruk. Oleh karena itu, janganlah memberikan ruang untuk pikiran dan perasaan yang salah, dan usirlah semua negativitas. Badanmu harus bebas dari noda kekerasan (Himsa). Orang-orang melakukan banyak tindak kekerasan dan banyak perbuatan dosa dengan tangan mereka; ini tidak benar. Badan telah diberikan terutama untuk mempraktikkan kebenaran (Dharma). Hadiah suci seperti ini harus digunakan untuk memberikan pelayanan kepada orang lain. Tidak ada yang bisa menahan diri dari melakukan berbagai jenis tindakan, bahkan untuk satu menit. Dalam suatu situasi, seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak murni, oleh karena itu engkau harus mencapai kesucian ini dengan tekad kuat. (Divine Discourse, Aug 30, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 13th September 2014 (Saturday)

Express your gratitude to God by chanting His Name. Chant from the depth of your heart; not as a mere musical performance. The demonic King, Ravana, constantly repeated the Shiva mantra, Namah Shivaaya without giving up any of his demonic qualities. The young boy Prahlada, repeated the mantra, Om Namo Narayana with all his heart and soul. This served to save him from all the terrible ordeals his evil father, Hiranyakashipu, subjected him to. His father cast him from a precipice, had him trodden by several elephants, got him bitten by venomous reptiles and pushed him into the sea, yet Prahlada emerged unscathed from all these ordeals. Every instrument of torture turned into a blessing for young Prahlada! Hence chant the Name of the Lord from the bottom of your heart, with pleasing Him as the only goal. In this process, you must become one with the Divine. Never sing, pray or chant to earn the approbation of others or for show.

Ungkapkanlah rasa terima kasihmu kepada Tuhan dengan mengucapkan Nama-Nya. Chantingkanlah Nama Tuhan dari kedalaman hatimu; bukan sebagai pertunjukan musik belaka. Raja iblis, Rahwana, terus-menerus mengulangi mantra Shiva, Namah Shivaaya tanpa meninggalkan apapun sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya. Prahlada kecil, mengulangi mantra, Om Namo Narayana dengan segenap hati dan jiwanya. Hal ini berguna untuk menyelamatkannya dari semua cobaan yang mengerikan dari ayahnya yang jahat, Hiranyakasipu. Ayahnya melemparkannya dari jurang, ia diinjak oleh beberapa gajah, digigit oleh reptil berbisa, dan di dorong ke laut, namun Prahlada muncul tanpa cedera dari semua cobaan ini. Setiap alat penyiksaan berubah menjadi berkah bagi Prahlada! Oleh karena itu ucapkanlah Nama Tuhan dari lubuk hatimu, dengan satu-satunya tujuan hanya untuk menyenangkan-Nya. Dalam proses ini, engkau harus menjadi satu dengan Tuhan. Janganlah bernyanyi, berdoa atau menyebut Nama Tuhan untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau untuk pertunjukan semata. (Divine Discourse, Sep 14, 1997)

-BABA

Friday, September 12, 2014

Thought for the Day - 12th September 2014 (Friday)


All aspirants must have internal purity, as all actions arise from internal impulses and not external forces. Your actions reflect your inner being. When pure feelings arise within you, your actions will naturally be pure. To cleanse the internal impulses, you must be pure in your mind, speech and the body. Of these three, purity in speech is the most important. Gita reveals, “Every word you utter should be free from causing excitement or agitation (Anudhvegakaram Vakyam Satyam Priyahitam cha yat)”. Your speech must be true and pleasing. Four factors account for the pollution of speech; they are - uttering falsehood, excessive talking, carrying tales against others, and abuse or criticism of others. Make sure your tongue does not indulge in these offences. Only when you get rid of these four evil tendencies from within, your speech will become pure and unpolluted.


Para aspiran (spiritual) harus memiliki kemurnian internal, karena semua tindakan muncul dari impuls/dorongan internal dan bukan berasal dari kekuatan eksternal. Tindakanmu merupakan refleksi dari batinmu. Ketika perasaan murni muncul dari dalam dirimu, tindakanmu secara alami akan murni. Untuk membersihkan/memurnikan impuls/dorongan internal, engkau harus murni dalam pikiran, ucapan, dan juga badan jasmani. Dari ketiganya, kemurnian dalam berbicara adalah yang paling penting. Gita mengungkapkan, "Setiap kata yang engkau ucapkan harus bebas dari perasaan yang menyebabkan kegembiraan yang meluap-luap atau agitasi (Anudhvegakaram Vakyam Satyam Priyahitam cha yat)". Kata-kata yang engkau ucapkan harus benar dan menyenangkan. Empat faktor yang menyebabkan ketidakmurnian ucapan adalah sebagai berikut: berdusta, berbicara berlebihan, meneruskan kabar angin (berita yang belum tentu kebenarannya) pada orang lain, dan mengkritik orang lain. Pastikan lidahmu tidak melakukan pelanggaran tersebut. Hanya ketika engkau menyingkirkan empat kecenderungan buruk tersebut dari dalam dirimu, maka ucapanmu akan menjadi murni dan tidak tercemar.  (Divine Discourse, August 30, 1993)

-BABA

Thought for the Day - 11th September 2014 (Thursday)

Every object in the world, whether it is a bird or a sheep or anything else, has a value of its own. Man alone has lost his value because of his involvement in mundane pursuits. People have no gratitude to the five elements which confer on them gratis innumerable precious benefits like light, heat, air and water. You have to pay a price for so many small amenities like electricity and running water. But what price does you pay for the light of the Sun who illumines the world? This light is a gift of the Divine. What price do you pay for a soft breeze or a heavy downpour of rain? God is providing freely such precious benefits to you. What gratitude do people show to God for all these? The only way to show one's gratitude to the five elements is Smarana (to chant the Lord's name incessantly).

Setiap objek di dunia, apakah itu seekor burung atau seekor domba atau apa pun, memiliki nilai tersendiri. Manusia sendiri telah kehilangan nilai karena keterlibatannya dalam kegiatan duniawi. Orang-orang tidak memiliki rasa terima kasih kepada lima unsur yang memberi manfaat pada mereka secara gratis tak terhitung seperti cahaya, panas, udara dan air. Engkau harus membayar harga untuk beberapa fasilitas kecil seperti listrik dan air yang mengalir. Tetapi apa harga yang engkau bayar untuk cahaya matahari yang menerangi dunia? Cahaya ini adalah hadiah dari Tuhan. Berapa harga yang engkau bayar untuk angin yang lembut atau hujan yang turun lebat? Tuhan memberikan manfaat berharga kepadamu. Apa rasa syukur yang orang tunjukkan kepada Tuhan untuk semua ini? Satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada lima unsur adalah Smarana (menyebut nama Tuhan secara terus-menerus). (Divine Discourse, Sep 14, 1997)

-BABA

Wednesday, September 10, 2014

Thought for the Day - 10th September 2014 (Wednesday)

Is it possible for anyone in this world to be free of any desire and expectation? Not quite! Some things (material and sensual) may be attractive to some persons and some big aims (non-physical and transcendental) may interest others. Almost all desires fall into one of the above categories. Then how is it possible to get rid of both kinds of desires? This is possible! In the Gita, the Lord has declared that He is present in all righteous actions. Therefore those who perform righteous actions can develop anapeksha (desirelessness). This means that when a man performs all actions as offerings to the Lord, they become desireless actions. The Lord is the One who from within, makes one act, speak, listen, see, etc. If a person performs all actions with the conviction that the indwelling Lord is the real Doer, then the actions become desireless. Hence to begin with every sadhaka should regard one’s actions as offerings to the Divine.

Apakah mungkin bagi siapa pun di dunia ini bebas dari keinginan dan harapan? Tidak! Beberapa hal (materi dan kenikmatan duniawi) mungkin menarik bagi beberapa orang dan beberapa tujuan besar (non-fisik dan transendental) mungkin menarik bagi yang lainnya. Hampir semua keinginan jatuh pada salah satu kategori di atas. Lalu bagaimana mungkin untuk menyingkirkan kedua jenis keinginan tersebut? Hal ini dimungkinkan! Dalam Gita, Tuhan telah menyatakan bahwa Beliau hadir dalam semua tindakan yang benar. Oleh karena itu orang-orang yang melakukan tindakan yang benar dapat mengembangkan anapeksha (tanpa keinginan). Ini berarti bahwa ketika seseorang melakukan semua tindakan sebagai persembahan kepada Tuhan, tindakan mereka menjadi tanpa keinginan. Tuhan adalah Beliau yang dari dalam, membuat seseorang bertindak, berbicara, mendengarkan, melihat, dll. Jika seseorang melakukan semua tindakan dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah Sang Pelaku yang bersemayam di dalam diri, maka tindakannya menjadi tanpa keinginan. Oleh karena itu, untuk memulainya, setiap Sadhaka harus menganggap tindakannya sebagai persembahan kepada Tuhan. (Divine Discourse, August 30, 1993)

-BABA

Tuesday, September 9, 2014

Thought for the Day - 9th September 2014 (Tuesday)


The Gayatri mantra mentions: Bhur Bhuvaha Suvah - the Bhuloka, Bhuvarloka and Suvarloka (The human world, nether world and heaven). It is wrong to conceive of these three as existing one on top of the other. In fact the three lokas (worlds) are intertwined with each other and one exists within the other. The real meaning of this kind of geometrical configuration of the three lokas is that the pancha indriya, bhutas and koshas (five senses, elements and sheaths) that constitutes the body is Bhuloka; the aspect of prana shakti or manas thathvam (mind principle) is Bhuvarloka; and the microscopic state of Anandam (bliss) represents Suvarloka. So it can be said that the three worlds are nothing but the deha thathwa, manas thathwa and Ananda thathwa (essential nature of body, mind and bliss) and the totality of these three represents the Trivikrama thathwa (nature of Vishnu expanding to the three worlds).


Gayatri mantra menyebutkan: Bhur Bhuvaha Suvah - Bhuloka, Bhuvarloka, dan Suvarloka (dunia manusia, dunia bawah, dan sorga). Adalah salah untuk memahami tiga bagian ini dengan salah satu berada di atas yang lainnya. Bahkan tiga loka (dunia) saling terkait satu sama lain dan satu ada dalam yang lainnya. Arti sebenarnya dari jenis konfigurasi geometris dari tiga loka adalah bahwa panca indera, panca bhuta, dan panca kosha (panca indera, lima elemen, dan lima lapisan) yang merupakan badan adalah Bhuloka; aspek prana shakti atau manas thathvam (prinsip pikiran) adalah Bhuvarloka; dan keadaan mikroskopis Anandam (Malcolm) merupakan Suvarloka. Jadi dapat dikatakan bahwa tiga dunia tidak lain adalah thathwa deha, manas thathwa, dan ananda thathwa (sifat penting dari badan, pikiran, dan kebahagiaan) dan totalitas ketiganya merupakan thathwa Trivikrama (sifat Wisnu memperluas ke tiga dunia ). (Divine Discourse, Sep 4, 1979)

-BABA

Monday, September 8, 2014

Thought for the Day - 8th September 2014 (Monday)

The Lord resides not only in the hearts of devotees, but also in the hearts of the evil-minded. Once the child Prahlada approached his mother, Lilavati, and told her, "Mother, there is only one difference between me, who is a devotee of Hari and my father, who hates Hari. Ever contemplating on the nectarous sweetness of the Lord, repeating His name, and constantly remembering Him, I am immersed in the bliss of love of the Lord, like one intoxicated. My father, in his hatred of Narayana, has turned his heart into stone and installed Him in it." The Lord, who dwelt in the heart of Prahlada, who loved Narayana, and the Lord who was in the heart of Hiranyakasipu, who hated Narayana, was one and the same. One has to live in faith to experience happiness. Realising that the Divine is omnipresent, the devotees make their lives sublime by singing the glories of the Lord and ever dwelling on His name.

Tuhan berada tidak hanya di dalam hati bhakta-Nya, tetapi juga dalam hati mereka yang berpikiran buruk. Suatu ketika Prahlada kecil mendekati ibunya, Lilavati, dan mengatakan kepadanya, "Ibu, hanya ada satu perbedaan antara saya, yang adalah pemuja Hari dan ayah, yang membenci Hari. Dengan merenungkan manisnya nektar Tuhan, mengulangi Namanya, dan terus-menerus mengingat-Nya, saya tenggelam dalam kebahagiaan cinta-kasih Tuhan, seperti orang mabuk. Ayahku, dalam kebenciannya dengan Narayana, telah merubah hatinya menjadi batu dan menginstal Beliau di dalamnya." Tuhan, yang bersemayam di hati Prahlada, yang mencintai Narayana, dan Tuhan yang berada di hati Hiranyakasipu, yang membenci Narayana, adalah satu dan sama. Kita harus hidup dalam keyakinan untuk mengalami kebahagiaan. Menyadari bahwa Tuhan ada dimana-mana, para bhakta membuat hidup mereka mulia dengan menyanyikan kemuliaan Tuhan dan senantiasa mengingat nama-Nya. (Divine Discourse 15 Sep 1986)

-BABA

Sunday, September 7, 2014

Thought for the Day - 7th September 2014 (Sunday)


The story of the festival Onam is that of Emperor Bali, who was an embodiment of sacrifice (Thyaga), but who suffered from traces of ego (Ahamkara). Due to the predominance of other virtues and Lord Vishnu’s Grace, Emperor Bali overcame the ill-effects of ahamkara and attained mergence with Lord Vishnu, who appeared as Vamana. Bali personified the principles of sacrifice, charity and righteousness till his very end. Since Onam festival day is celebrated in memory of the re-appearance of Bali in his subtle form (sukshma rupa), it is imperative that we remember and practice the ideals for which he lived. Bali, as portrayed above, should be visiting us every day and not just once a year. We forget this and in our daily life leave ample room for the cultivation of undesirable traits such as greed, selfishness and egoism. Learning from Bali's life you must eradicate the negative traits at all costs, and render your heart pure for the Lord to reside in it.


Cerita perayaan Onam, yaitu Raja Bali, yang merupakan perwujudan dari pengorbanan (Thyaga), tetapi  ia memiliki rasa ego (Ahamkara). Karena  kebajikan lainnya yang telah dilakukannya dan Berkat Dewa Wisnu, Raja Bali mengatasi efek ahamkara dan mencapai penyatuan dengan Dewa Wisnu, yang muncul sebagai Wamana. Raja Bali merupakan personifikasi prinsip-prinsip pengorbanan, kemurahan hati, dan kebajikan sampai akhir hidupnya. Sejak itu perayaan Onam dirayakan untuk mengenang munculnya Raja Bali dalam bentuk yang halus (sukshma rupa), ini sangat penting bahwa kita ingat dan mempraktikkan ideal yang ditinggalkannya. Raja Bali, seperti yang digambarkan di atas, hendaknya dirayakan setiap hari, bukan hanya sekali setahun. Kita melupakan hal ini dan dalam kehidupan sehari-hari meninggalkan banyak ruang untuk mengembangkan sifat yang tidak diinginkan seperti keserakahan, keegoisan dan egoisme. Belajar dari kehidupan Raja Bali, engkau harus membasmi sifat-sifat negatif, dan membuat hatimu murni bagi Tuhan untuk tinggal di dalamnya. (Divine Discourse, 4 Sep 1979)
-BABA

Saturday, September 6, 2014

Thought for the Day 4th September - 6th September 2014

Date: Thursday, September 04, 2014

People think that giving up hearth and home is renunciation. This is not what Vairagya (detachment) implies. Whatever we do should be done in a spirit of goodwill and service. It should be for the wellbeing of the nation. And the welfare of all must be looked upon as the motto of the nation. From very early times, Bharatiyas have lived up to the ideal: "May all the worlds be happy!" To uphold this ideal, rulers, scholars, sages and everyone made many sacrifices. Today the spirit of sacrifice is not to be seen anywhere. It is selfishness that is the root cause of all the cruelty and violence today. All that we have in this century are strife, disputes, riots and violence. Selfishness has reared its head. Embodiments of Love! Get rid of selfishness. Regard yourself as an integral member of society. Develop the faith that your welfare is bound with the well being of all.

Orang-orang berpikir bahwa dengan meninggalkan rumah berarti melakukan pertapaan/penebusan dosa. Ini bukanlah arti yang tersirat dari Vairagya (tanpa kemelekatan). Apapun yang kita lakukan hendaknya dilakukan dengan semangat kebaikan dan pelayanan, untuk kesejahteraan bangsa. Dan kesejahteraan bagi semuanya harus dipandang sebagai motto bangsa. Dari zaman dahulu, putra Bhaarat telah memiliki motto ideal: "Semoga semua dunia berbahagia!" Untuk menegakkan ideal ini, para penguasa, para terpelajar, orang bijak, dan semua orang hendaknya membuat  pengorbanan. Saat ini semangat pengorbanan tidak terlihat dimanapun. Sikap mementingkan diri sendiri  adalah akar penyebab dari semua kekejaman dan kekerasan yang terjadi saat ini. Semua yang kita miliki di abad ini adalah perselisihan, sengketa, kerusuhan dan kekerasan. Sikap mementingkan diri sendiri telah mengemuka. Perwujudan kasih! Singkirkanlah keegoisan/sikap mementingkan diri sendiri. Engkau hendaknya menghargai dirimu sebagai bagian integral dari masyarakat. Kembangkanlah keyakinan karena kesejahteraan-mu terikat dengan kesejahteraan semuanya.  (Divine Discourse, Apr 27, 1990)
-BABA



Date: Friday, September 05, 2014

Desire (kama) must be got rid of by Tyaga (sacrifice) and Yoga (communion) to secure God (Rama). Desire discolours the intelligence, perverts judgment, and sharpens the appetites of the senses. It lends a false lure to the objective world. When desire is directed to God, the self-luminous intelligence within shines in its pristine splendour, and reveals God within and without, and you attain Self-Realisation (Atma Sakshatkara). I bless all of you to succeed in your Sadhana (spiritual efforts)! If you have not been practicing sincerely until now, take up the simple practice of remembrance of the Divine (Namasmarana), along with reverence towards parents, teachers and elders, and service to the poor and needy. See everyone as your lshtadhevata (Beloved Lord). That will fill your heart with Love and give you stability of mind and peace.


Keinginan (kama) harus disingkirkan dengan Tyaga (pengorbanan) dan Yoga (penyatuan dengan Tuhan) untuk mendapatkan Tuhan (Rama). Keinginan (yang tanpa batas) dapat merusak akal budi, merusak pengadilan, dan mempertajam  keinginan duniawi. Keinginan ini membuat daya tarik pada dunia objektif. Ketika keinginan diarahkan kepada Tuhan, akal budi akan memancarkan cahayanya dalam kemuliaan murni, dan mengungkapkan Tuhan yang berada di dalam dan di luar, dan engkau mencapai Self-Realisasi/Kesadaran Atma (Atma Sakshatkara). Aku memberkati kalian semua untuk berhasil dalam Sadhana-mu (upaya spiritual)! Jika engkau belum mempraktikkan  dengan sungguh-sungguh sampai sekarang, ambillah praktik sederhana dengan mengingat Nama Tuhan (Namasmarana), disertai dengan hormat terhadap orang tua, guru, dan melakukan pelayanan pada orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Lihatlah semua orang sebagai lshtadhevata-mu (Tuhan terkasih). Hal ini yang akan mengisi hatimu dengan cinta-kasih dan memberikan stabilitas pikiran dan kedamaian.  (Divine Discourse, May 15, 1969)
-BABA



Date: Saturday, September 06, 2014

Emperor Bali demonstrated through his sacrificing nature that if one sacrifices everything, one will attain moksha (liberation). The real sacrifice involves two things: First, to realise the cause of our bondage in this life, and second, to sever this bondage. People mistakenly think that wealth, family, etc., are their bondages, and that by severing connections with them they will be able to sacrifice everything and become eligible to attain moksha. But these are not the real bondage. Real bondage is one’s ignorance in identifying oneself with the body. He who cuts off this bondage as Bali did, will attain moksha. For cutting off this bondage, purification of the heart is very necessary. In this Kaliyuga, namasmarana (constant remembrance of God) is the easiest way to purify one's mind; and surrendering to God with a pure mind is the surest way to attain moksha.


Raja Bali menunjukkan melalui pengorbanan, bahwa jika seseorang mengorbankan segalanya, maka akan mencapai moksha (pembebasan). Pengorbanan sejati, melibatkan dua hal: Pertama, untuk menyadari penyebab keterikatan kita dalam kehidupan ini, dan kedua, untuk memutuskan belenggu ini. Orang-orang keliru berpikir bahwa kekayaan, keluarga, dll, adalah belenggu yang mengikat mereka, dan bahwa dengan memutuskan hubungan dengan mereka, mereka akan dapat mengorbankan segalanya dan menjadi layak untuk mencapai moksha. Tetapi ini bukanlah keterikatan yang nyata. Keterikatan adalah ketidaktahuan seseorang dalam mengidentifikasi diri dengan badan jasmani. Dia yang memotong ikatan ini seperti yang dilakukan oleh Raja Bali, akan mencapai moksha. Untuk memotong ikatan ini, pemurnian hati sangat diperlukan. Dalam Kaliyuga ini, namasmarana (mengingat Tuhan secara terus menerus) adalah cara termudah untuk memurnikan pikiran seseorang; dan pasrah kepada Tuhan dengan pikiran yang murni adalah cara paling pasti untuk mencapai moksha.  (Divine Discourse, 4 Sep 1979)
-BABA

Wednesday, September 3, 2014

Thought for the Day - 3rd September 2014 (Wednesday)

Remember, hands that serve are greater than the lips that pray. Real humanness consists in dedicating oneself to the spirit of service. Quantity does not matter; quality of service counts. Whatever you do, do it wholeheartedly and spontaneously. The primary requisite is purification of the heart (Chittha Shuddhi). When your heart is purified, you get Supreme Wisdom (Jnana siddhi) and you can dedicate all actions in a spirit of detachment. Divine love can be secured only by dedicated service. God responds bounteously to your offer. For a handful of parched rice given to Krishna Kuchela got in return limitless prosperity. Draupadi was rewarded likewise. How can you receive God’s love if you do not love Him? God’s Grace is like a bank. You can draw money from that bank only to the extent to which you have built up deposits through Tyaga (sacrifice). Earn God's grace through love and sacrifice.


Ingatlah, tangan yang melayani lebih mulia daripada mulut yang berdoa. Kemanusiaan sejati mendedikasikan diri pada semangat pelayanan. Kuantitas tidaklah penting; kualitas playananan yang diperhitungkan. Apa pun yang engkau lakukan, lakukanlah dengan sepenuh hati dan secara spontan. Syarat utama adalah kemurnian hati (Chittha Shuddhi). Ketika hatimu dimurnikan, engkau mendapatkan Kebijaksanaan Tertinggi (Jnana siddhi) dan engkau dapat mendedikasikan semua tindakan dalam semangat tanpa kemelekatan. Cinta-kasih Tuhan bisa didapatkan hanya dengan melakukan pelayanan. Tuhan yang Maha Pemurah membalas persembahanmu. Untuk segenggam nasi kering yang diberikan kepada Krishna, Kuchela mendapat imbalan kemakmuran tak terbatas. Drupadi juga mendapatkan hadiah seperti itu. Bagaimana engkau dapat menerima cinta-kasih Tuhan jika engkau tidak mengasihi-Nya? Berkat Tuhan dapat diibaratkan seperti bank. Engkau dapat menarik uang dari bank  hanya sejauh mana engkau telah membangun deposito melalui Tyaga (pengorbanan). Dapatkan kasih karunia Tuhan melalui kasih dan pengorbanan.  (My Dear Students, April 27, 1990)
-BABA

Tuesday, September 2, 2014

Thought for the Day - 2nd September 2014 (Tuesday)

There are people who go about declaring that there is no God because they are unable to see Him. They say that they have searched in space, on the way to the moon, and even on the moon there was no sign of the Almighty. But they themselves are the mansions in which He resides, all the time! Like the blind bamboozling the blind into a fall, others too repeat like parrots this ‘fashionable slogan’. No one sees the roots, but the roots are indeed there, deep in the soil, away from all eyes. Can you assert that there are no roots for trees, that nothing feeds them or upholds them from below? God feeds, sustains, holds firm - though unseen, He can be seen by those who make the effort, along the lines laid down for the purpose by those who have succeeded in experiencing Him. God is, as butter in milk, visible when concretized by spiritual striving (Sadhana).

Ada orang-orang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan karena mereka tidak dapat melihat-Nya. Mereka mengatakan bahwa mereka telah mencari Beliau di ruang angkasa, dalam perjalanan ke bulan, dan bahkan di bulan tidak ada tanda-tanda Yang Maha Kuasa. Tetapi sesungguhnya Beliau bersemayam dalam rumah mereka masing-masing, sepanjang waktu! Dapat diibaratkan seperti orang buta yang memperdaya orang buta sampai jatuh, yang lainnya juga mengulang seperti beo 'slogan modern' ini. Tidak ada yang melihat akar, tetapi akar memang ada, jauh di dalam tanah, jauh dari semua mata. Dapatkah engkau menyatakan bahwa tidak ada akar pohon, bahwa tidak ada yang memberi mereka makanan atau menegakkan mereka dari bawah? Tuhan yang memberi makanan, menopang, memegang dengan kuat - meskipun tidak terlihat, Beliau dapat dilihat oleh orang-orang yang membuat usaha, sepanjang garis yang ditetapkan untuk tujuan oleh mereka yang telah berhasil mengalami-Nya. Tuhan dapat diibaratkan seperti mentega dalam susu, terlihat ketika diwujudkan dengan upaya spiritual (Sadhana). (Divine Discourse, May 15, 1969)

-BABA

Monday, September 1, 2014

Thought for the Day - 1st September 2014 (Monday)

A young college student can roam free on his two legs; when he marries, he becomes four-footed! A child makes him six-footed; now the range of his movements is restricted. The more the feet, the less the speed, the stronger their grip on the ground; a centipede can only crawl. More hurdles, more handicaps. Accumulation of sofas, chairs, cots, tables and shelves clutter the hall and render movements slow and risky. Attachment brings sorrow in its wake; at last, when death demands that everything be left behind and everybody be deserted, you are overpowered with grief! Be like the lotus on water; on it, not in it. Water is necessary for the lotus to grow; but it will not allow even a drop to wet it. The objective world is the arena of virtue and the gymnasium for the spirit. But use it only for that purpose; do not raise it to a higher status and adore it as all-important.

Seorang mahasiswa muda bisa berkeliaran bebas dengan dua kakinya; ketika ia menikah, ia menjadi berkaki empat! Lahirnya seorang anak membuatnya memiliki enam kaki; sekarang kisaran gerakannya dibatasi. Semakin banyak kakinya, semakin berkurang kecepatannya, semakin kuat cengkeraman mereka di tanah; kelabang hanya bisa merangkak. Semakin banyak rintangan yang dilalui. Akumulasi sofa, kursi, ranjang bayi, meja dan rak yang bertumpuk dalam ruangan dan membuat gerakan menjadi lebih lambat dan berisiko. Keterikatan membawa kesedihan di kemudian hari; akhirnya, ketika hari kematian tiba, segala sesuatu dan semua orang ditinggalkan, engkau dikuasai dengan kesedihan! Engkau hendaknya menjadi seperti tanaman teratai di air; teratai berada di atas air, tidak di dalamnya. Air diperlukan untuk tumbuhnya teratai; tetapi teratai tidak akan membiarkan dirinya basah bahkan tidak terkena setetes air pun. Dunia objektif adalah arena kebajikan dan ruang bagi jiwa. Tetapi gunakanlah hanya untuk tujuan tersebut; tidak meningkatkan ke status yang lebih tinggi dan memujanya sebagai yang terpenting. (Divine Discourse, May 15, 1969)

-BABA