Tuesday, March 11, 2025

Thought for the Day - 11th March 2025 (Tuesday)

While taking our food, if we use exciting words, ideas related to those exciting words will sprout in us. The lesson that we should learn is that when we take our bath, when we sit for meditation or when we take our food, we should not think of other activities and other ideas. Too much talk while we take our food will also cause harm to us. We should not give room to any kind of talk when we take our food. With a happy heart and with a sacred word, we must undertake to utter the food prayer (Brahmarpanam mantra) and then take our food. In this way, whatever has been offered to Brahman will become the prasad, which comes to us as a gift of Brahman. The meaning of the verse (aham vaishvanaro… ) is that God Himself, who is in a human form in you, is taking the food. Therefore, this changes our food into food for God. While taking food, we should not be excited, and we should not get into passion, but we should eat very peacefully. Even if we cannot perform japa, tapa or yagas, at least if we take care to see that we eat in this manner, we will develop good ideas.


- Ch 18, Summer Showers 1977.

All the agitation and lack of peace in the world may be traced to our own food habits.



Ketika saat sedang makan, jika kita menggunakan kata-kata yang menarik maka akan muncul gagasan-gagasan yang berhubungan dengan kata-kata menarik itu. Hikmah yang harus kita ambil bahwa ketika kita bernafas, ketika kita duduk meditasi atau ketika kita makan, kita tidak boleh memikirkan aktifitas atau gagasan yang lain. Terlalu banyak bicara pada saat kita makan juga akan merusak diri kita. Kita tidak boleh memberikan ruang pada pembicaraan jenis apapun ketika kita makan. Dengan hati yang senang dan dengan perkataan yang suci, kita harus melantunkan doa sebelum makan (mantra Brahmarpanam) dan baru kita makan. Dengan cara ini, apapun yang dipersembahkan kepada Brahman akan menjadi prasad, yang mana kita terima sebagai berkah dari Brahman. Arti dari sloka (aham vaishvanaro… ) adalah bahwa Tuhan sendiri yang mengambil wujud manusia yaitu dirimu, sedang makan. Maka dari itu, hal ini merubah makanan kita menjadi makanan untuk Tuhan. Pada saat sedang makan, kita tidak boleh bersemangat, dan kita hendaknya tidak terbawa nafsu, namun kita seharusnya makan dengan penuh kedamaian. Sekalipun kita tidak bisa melakukan japa, tapa atau yaga, setidaknya jika kita memperhatikan cara makan kita, kita akan mengembangkan gagasan-gagasan yang baik.


- Ch 18, Wacana Musim Panas 1977.

Segala bentuk keresahan dan kurangnya kedamaian di dunia bisa disebabkan oleh kebiasaan makan kita sendiri. 

Thought for the Day - 10th March 2025 (Monday)

The mind moves only towards the right and the pure, of its own accord; but the senses and the outer world drag it towards the wrong and the impure. The white cloth gets dirty, and when the dirt is removed, it regains its whiteness. Note down all the things for which you cried so far. You will find that you have craved only for paltry things, for momentary distinctions, for fleeting fame; you should cry only for God, for your own cleansing and consummation. You should weep, wailing for the six cobras that sheltered themselves in your mind, poisoning it with their venom: Lust, anger, greed, attachment, pride and malice. Quieten them as the snake charmer does with his swaying flute. The music that can tame them is the singing aloud of the Name of God. And when they are too intoxicated to move and harm, catch them by the neck and pull out their fangs as the charmer does. Thereafter, they can be your playthings; you can handle them as you please. When these are laid low, you will gain equanimity. You will be unaffected by honour or dishonour, profit or loss, joy or grief! 


- Divine Discourse, Mar 26, 1968.

You must be resolute in striving to achieve what you aim at. Only then will your devotion and discipline bear fruit.



Pikiran bergerak hanya menuju ke arah yang benar dan murni, atas kehendaknya sendiri; namun indria dan dunia luar menarik pikiran menuju pada arah yang salah dan tidak murni. Pakaian putih menjadi kotor, dan ketika kotoran itu dihilangkan, maka pakaian itu kembali menjadi putih. Catatlah semua hal yang membuatmu menangis selama ini. Engkau akan mendapatkan bahwa engkau hanya mendambakan hal-hal yang remeh, perbedaan-perbedaan yang sementara, ketenaran yang cepat berlalu; engkau seharusnya hanya menangis untuk Tuhan, untuk pembersihan dan penyempurnaan dirimu sendiri. Engkau harus menangis, meratapi enam ular kobra berbisa yang berlindung di dalam pikiranmu, meracuni pikiranmu dengan racunnya seperti : birahi, amarah, keterikatan, kesombongan dan kedengkian. Tenangkan ular berbisa itu seperti halnya pawang ular yang memainkan serulingnya. Alunan musik yang dapat menjinakkan enam ular itu adalah dengan melantunkan dengan keras nama suci Tuhan. Dan ketika enam ular itu terlalu teler untuk bergerak dan menyakiti, tangkap leher ular itu dan cabut taringnya seperti yang pawang ular lakukan. Setelah itu, ular-ular tersebut bisa menjadi mainanmu; engkau dapat menanganinya seperti yang engkau inginkan. Ketika ular-ular ini direndahkan, engkau akan mendapatkan ketenangan hati. Engkau tidak akan terpengaruh oleh penghormatan atau penghinaan, keuntungan atau kerugian, suka atau duka cita! 


- Divine Discourse, 26 Maret 1968.

Engkau harus bertekad dalam perjuangan untuk mencapai tujuanmu. Hanya dengan demikian bhakti dan disiplinmu akan mendapatkan hasil. 

Thought for the Day - 9th March 2025 (Sunday)

The aspirant must not exult when his happiness is promoted, nor be disheartened when misery becomes his lot. "Thy will, not mine" shall be his constant assertion to himself. Few seekers seek to unravel the intention of God, to tread the path that leads to Him, and to follow the ideals He lays down. They follow their own instincts and judgements and get distress and despair as reward. They are not aware of the sacrilege they commit. They proclaim that God is the inner motivator and that He is present everywhere but behave as if He is absent in places they do not like Him to be. They fritter away precious time in dry discussions and controversies about God. Each one can explore the truth of God and delve into His mystery only as far as their moral, intellectual and mental capacities permit. One can collect from the ocean only as much water as one’s vessel holds. God is immeasurably vast; He is beyond the reach of the most daring imagination! A pupil of a particular standard in school has to study the texts prescribed for pupils of that level of intelligence. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

God can be known only by an intellect that has been cleansed of all traces of attachment and hatred, of egotism and the sense of possession.



Peminat spiritual tidak boleh terlalu merasa bersuka ria ketika kebahagiaannya meningkat, dan tidak boleh juga berkecil hati ketika penderitaan selalu menghampirinya. "Kehendak-Mu dan bukan kehendaku" harus selalu ditanamkan di dalam dirinya. Hanya sedikit pencari spiritual yang berusaha memahami kehendak Tuhan, menapaki jalan yang mengarah pada Tuhan, dan mengikuti ajaran yang Tuhan telah berikan. Sebaliknya, mereka mengikuti naluri dan penilaian mereka sendiri yang mana menuntun pada penderitaan dan keputusasaan sebagai hasilnya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan penghinaan pada ajaran suci. Mereka menyatakan bahwa Tuhan adalah penggerak batin dan Tuhan ada dimana-mana, namun mereka bertingkah laku seolah-olah bahwa Tuhan tidak ada di tempat yang mereka tidak sukai. Mereka membuang-buang waktu yang berharga dalam perdebatan kering dan kontroversi tentang Tuhan. Setiap orang dapat menyelidiki tentang kebenaran Tuhan dan menyelami misteri-Nya hanya sejauh diijinkan oleh kapasitas moral, intelektual dan batin mereka. Seseorang dapat mengumpulkan air dari lautan sebanyak yang bisa ditampung oleh wadahnya. Tuhan adalah luas yang tidak bisa diukur; Tuhan berada di luar jangkauan imajinasi yang paling berani sekalipun! Seorang murid yang berada di kelas tertentu harus belajar pelajaran yang ditentukan untuk murid tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasannya. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

Tuhan hanya dapat diketahui dengan kecerdasan yang telah dibersihkan dari semua jejak keterikatan dan kebencian, egoisme dan rasa kepemilikan. 

Thought for the Day - 8th March 2025 (Saturday)

Do not allow the mind to dwell on the faults and vices of others; it will be contaminated thereby. Fix it on the fairness and virtues of others; it will be sanctified thereby. I know that during moments of emotional frenzy, you set aside your real nature and you indulge in abusing others or wish that they come to harm or exult over their distress. Such evil thoughts get implanted in your own minds and grow wild, leading to distress and dishonour in return in your own life. Why worry about others? Speak to them if you like them. If you do not like them, leave them alone. Why seek faults in them and talk ill of them? To do so is to invite spiritual downfall. Such people lose all the gains they hope to secure by japa, puja, dhyana, or darshan (repetition of the Lord's Name, ritual worship, meditation and divine vision). They will remain bitter despite all these sadhanas (spiritual disciplines), like the bitter gourd which a pilgrim carried with him, intending to make it sweet by dipping it in holy waters. 


- Divine Discourse, Feb 29, 1984.

It is enough if you search and discover one fault of yours - that is better than discovering tens of hundreds of faults in others.



Jangan biarkan pikiran berkutat pada kesalahan dan keburukan orang lain; karena hal itu akan mencemari pikiran. Arahkan pikiran pada kebaikan dan kemuliaan orang lain; hal ini akan menyucikan pikiran. Aku tahu pada saat emosi tidak terkendali, engkau mengesampingkan sifat aslimu dan engkau akan menghina orang lain atau berharap bahwa mereka celaka atau senang melihat penderitaan mereka. Gagasan yang jahat seperti itu tertanam dalam pikiranmu dan tumbuh liar yang mengarah pada penderitaan dan penghinaan bagi dirimu sendiri. Mengapa kita mencemaskan orang lain? Berbicaralah pada mereka jika engkau menyukai mereka. Jika engkau tidak menyukai mereka, biarkan saja. Mengapa mencari kesalahan-kesalahan dalam diri mereka dan membicarakan hal buruk tentang mereka? Itu hanya membawa kejatuhan dalam spiritual. Orang-orang seperti itu kehilangan semua berkah yang seharusnya didapatkan melalui japa, puja, dhyana, atau darshan (pengulangan nama suci Tuhan, ritual, meditasi dan penglihatan ilahi). Mereka akan tetap merasa getir meskipun telah melakukan semua sadhana ini (disiplin spiritual), seperti halnya buah pare yang dibawa oleh seseorang, berharap menjadi manis dengan mencelupkannya ke dalam air suci. 


- Divine Discourse, 29 Februari 1984.

Adalah cukup bagimu jika engkau menemukan dan menyadari satu kesalahanmu sendiri – hal itu adalah lebih baik daripada mengungkapkan ratusan kesalahan dalam diri orang lain. 

Thought for the Day - 7th March 2025 (Friday)

 Dharma (the code of righteousness) lays down for men a regulatory path. Like the effulgence of the rays of the Sun, Dharma illumines the paths which men should follow for the welfare and progress of society. Among the laws of Dharma, Nyayam (fairness) is the most important. Rectitude means that one should earn his living by just means and be an example to others by fair and just living. Justness consists in making no difference between oneself and others. Whatever may happen to oneself or one's relations, whatever difficulties one may have to face, one should not swerve from the path of rectitude. Justness is like the mariner's compass. In whatever way you put it, the needle will point only towards the North. Similarly, justness reveals the Divinity in man and makes him enjoy the bliss of the Divine. Hence, the ideal human life should be one in which rectitude forms the basis for every action. 


- Divine Discourse, May 14, 1984.

Dharma is the boundary, the limit that intelligence lays down for the passion, emotions, and impulses of man!



Dharma (pedoman kebajikan) menetapkan jalan yang teratur bagi manusia. Seperti halnya kilauan sinar matahari, Dharma menerangi jalan dimana manusia harus ikuti untuk kesejahtraan dan kemajuan masyarakat. Diantara hukum Dharma, Nyayam (keadilan) adalah yang paling penting. Kejujuran berarti bahwa seseorang harus mendapatkan nafkah dalam hidupnya dengan cara yang adil dan menjadi teladan bagi yang lainnya dengan hidup adil dan jujur. Keadilan berarti tidak membedakan diantara dirinya dan orang lain. Apapun yang mungkin terjadi pada dirinya atau keluarga, apapun kesulitan yang seseorang hadapi, maka seseorang tidak boleh menyimpang dari jalan kebenaran. Keadilan adalah seperti Kompas angkatan laut. Kemanapun engkau mengarahkannya, maka jarum dalam kompas hanya menunjuk arah utara. Sama halnya, keadilan mengungkapkan keilahian dalam diri manusia dan membuatnya dapat merasakan kebahagiaan Ilahi. Karena itu, hidup manusia yang ideal adalah dimana kejujuran dijadikan dasar dalam setiap perbuatan. 


- Divine Discourse, 14 Mei 1984.

Dharma adalah batasan, batas yang kecerdasan tetapkan untuk nafsu, emosi dan dorongan dalam diri manusia! 

Thought for the Day - 5th March 2025 (Wednesday)

“Bhaga” means "the One who is the repository of all Divine attributes and is uniquely worthy of adoration." “Ga” refers to "One who has all the excellences and who creates, sustains and reabsorbs everything." The letter “Bha” has two meanings: Sam-bharta and Bharta. Sambharta means, "One who is competent to make Nature the instrument of the creative process." Because He is also competent to sustain what is created, He is called Bharta. “Bha” has other meanings as Shanti (peace), light, effulgence, and illumination. “Ga” means "all-pervasive”. “Van” (Vanthudu in Telugu) means "One who is capable." Hence the term Bhagawan means "the One who is capable of lighting the Divine effulgence, illuminating wisdom and is the Eternal Inner Light of the Soul." Can there be anything greater than earning the love of such an omniscient and omnipotent Lord? There is nothing on earth or beyond it which is equal to Divine Love. To make all endeavour to earn that love is the whole purpose and meaning of human existence. 


- Divine Discourse, Jan 14, 1988.

The love of God is the foremost reward to be attained in human life. It is more precious than all the wealth in the world.



“Bhaga” berarti "Beliau yang merupakan gudangnya semua sifat-sifat Tuhan dan sangat layak untuk dipuja." “Ga” mengacu pada "Beliau yang memiliki semua keunggulan dan yang menciptakan, menjaga dan menyerap kembali segalanya." Huruf “Bha” memiliki dua arti yaitu: Sam-bharta dan Bharta. Sambharta berarti, "Beliau yang membuat alam sebagai sarana dari proses kreatif." Karena Beliau juga yang memiliki kemampuan dalam menjaga segala sesuatu yang diciptakan, Beliau disebut dengan Bharta. “Bha” memiliki makna yang lain sebagai Shanti (kedamaian), cahaya, sinar cahaya, dan menerangi. “Ga” berarti "meliputi semuanya”. “Van” (Vanthudu dalam bahasa Telugu) berarti "Beliau yang mampu." Karena itu istilah Bhagawan berarti "Beliau yang mampu menerangi dengan cahaya Ilahi, menerangi kebijaksanaan dan lentera batin yang bersifat kekal dari jiwa." Dapatkah ada yang lebih agung daripada mendapatkan kasih Tuhan yang maha tahu dan maha kuasa seperti itu? Tidak ada di dunia atau diluar dunia yang sama dengan kasih Tuhan. Untuk melakukan segala usaha agar bisa mendapatkan kasih itu adalah seluruh tujuan dan arti dari keberadaan manusia. 


- Divine Discourse, 14 Januari 1988.

Kasih Tuhan adalah pahala yang paling utama yang harus dicapai dalam hidup manusia. Kasih Tuhan adalah lebih berharga daripada semua kekayaan di dunia. 


Thought for the Day - 4th March 2025 (Tuesday)

Body, mind and spirit - these three together make up Man. If only the body were to be considered, it would be akin to the existence of an animal. The Mind raises man to the human state. The spirit or Atma will elevate him to Divinity. The three are intertwined and interdependent. Each promotes the other. Without the mind, the body cannot decide on any step. Mind and body have to subserve the spirit and become aware of the Atma (Divine Self). Health is very important for a fully moral and disciplined life. The senses and the mind have to be controlled and regulated, so that man can experience the fullness of life. The one who can command oneself will alone have the right to command others. Sense control in Sanskrit is called Dama. This Dama must be evident in every aspect of life while studying, eating, sleeping, playing games etc. This is what is called discipline. Without discipline, no activity can attain its fulfilment. 


- Divine Discourse, Mar 23, 1984.

Removal of immorality is the only way to immortality.



Tubuh, pikiran dan jiwa – ketiganya ini bersama-sama membentuk manusia. Jika hanya tubuh saja yang benar-benar diperhatikan maka itu akan mirip dengan keberadaan binatang. Pikiran mengangkat manusia pada tingkat manusia. Jiwa atau Atma akan mengangkat manusia sampai pada keilahian. Ketiganya ini saling terkait dan saling tergantung. Masing-masing saling mendukung. Tanpa adanya pikiran, tubuh tidak bisa memutuskan langkah apapun. Pikiran dan tubuh harus melayani jiwa dan menjadi sadar pada Atma (Diri Sejati). Kesehatan adalah sangat penting untuk hidup yang penuh moral dan disiplin. Indera dan pikiran harus dikendalikan dan diatur, sehingga manusia dapat mengalami kesempurnaan hidup. Seseorang yang dapat memerintahkan dirinya sendiri maka hanya dialah yang berhak untuk memerintah orang lain. Pengendalian Indera dalam sansekerta disebut dengan Dama. Dama ini harus terlihat dalam berbagai aspek kehidupan seperti belajar, makan, tidur, melakukan permainan, dsb. Hal ini disebut dengan disiplin. Tanpa adanya disiplin, maka tidak ada aktifitas yang dapat mencapai pemenuhannya. 


- Divine Discourse, 23 Maret 1984.

Menghilangkan imoralitas adalah satu-satunya jalan untuk menuju kebadian. 

Thought for the Day - 3rd March 2025 (Monday)

In order to experience Divinity, understand this example. The very nature of mother is love. Mother has a form, but love has no form. Mother herself is the form of love. Due to the presence of the Atmic Principle, you are able to see its reflection in the form of the world. The whole world is nothing but reflection, reaction, and resound. The Atma is the only reality. But man has forgotten the reality and is seeing only the reflection. You cannot have reaction without action; you cannot have resound without sound. Though the Sound is everywhere, you are not able tohear it. Though the Reality is everywhere, you are not able to see it. How will you be able to see it? With unflinching faith and selfless love, think of God continuously. God will certainly manifest before you. Today, man chants the name of God and desires to see Him. But since he lacks steady faith, he is not able to experience Divinity. Man has become blind having lost the two eyes of faith. Faith is most important. 


- Divine Discourse, Sep 30, 1998.

Whatever things of beauty you see in the world are but the reflections of the one source of all beauty - the divine Lord.



Dalam upaya untuk mengalami Tuhan, pahamilah contoh ini. Kualitas alami dari seorang ibu adalah kasih. Ibu memiliki sebuah wujud, namun kasih tidak memiliki wujud. Ibu sendiri adalah wujud dari kasih itu sendiri. Karena adanya kehadiran dari prinsiap Atma maka engkau mampu melihat pantulannya dalam wujud dunia. Seluruh dunia tiada lain hanyalah pantulan, reaksi dan gema. Hanyalah Atma yang merupakan kebenaran. Namun manusia telah melupakan kebenaran itu dan hanya melihat pantulannya saja. Engkau tidak bisa memiliki reaksi tanpa aksi; engkau tidak bisa mendapatkan gema tanpa suara. Walaupun suara ada dimana-mana, engkau tidak bisa mendengarnya. Walaupun kebenaran ada dimana-mana, engkau tidak mampu melihatnya. Bagaimana engkau akan mampu melihatnya? Dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan dan kasih tanpa mementingkan diri sendiri, pikirkan Tuhan secara terus menerus. Tuhan pastinya akan mewujudkan diri-Nya dihadapanmu. Hari ini, manusia melantunkan nama suci Tuhan dan berhasrat untuk melihat-Nya. Namun karena manusia kurang keyakinan yang teguh, manusia tidak mampu mengalami keilahian. Manusia telah menjadi buta karena telah kehilangan dua mata keyakinan. Keyakinan adalah yang paling penting. 


- Divine Discourse, 30 September 1998.

Apapun keindahan yang engkau saksikan di dunia hanyalah pantulan dari satu-satunya sumber semua keindahan – Tuhan. 

Thought for the Day - 1st March 2025 (Saturday)

The four goals laid down by Sai, are those laid down by Vedas. They are Satya, Dharma, Shanti and Prema. Mankind must understand the importance of these four goals, accept them, adore them, and practise them in daily life. Only then can Divinity latent in man shine forth in all its glory. Truth (Satya) is the first ideal. It is realised by sadhana of the tongue. The second, Dharma (righteous living), is realised by the sadhana of the body and its components in relation to society which surrounds man and the objective world which affects him and is affected by him. By his right action and right conduct, man can attain the third goal, Shanti - unaffected poise or peace. This can be won by the discipline of the mind. Satya establishes itself on the tongue through satwik sadhana; Dharma is achieved by the exercise of rajasik (active) regulation; Shanti or peace is the consequence of tamasik withdrawal and even inactivity. But, Prema (love), the fourth goal, is beyond these three modes and beyond thought, word and deed! Divine Love is not easily comprehensible. Prema is God. God is Prema. To consider it as a method of speech, an attitude of mind or as physical behaviour is to sorely demean it. Prema has no trace of selfishness; it is not bound by motives. 


- Divine Discourse, Mar 08, 1981.

The human values can progress and thrive only in a spiritual environment.



Empat tujuan yang ditetapkan oleh Sai, juga ditetapkan dalam Weda. Empat tujuan itu adalah _Satya, Dharma, Shanti dan Prema. Manusia harus mengerti pentingnya keempat tujuan ini dengan menerima, memuliakan dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan demikian keilahian yang terpendam dalam diri manusia dapat bersinar dengan segala kemuliaannya. Kebenaran (Satya) adalah tujuan yang pertama. Kebenaran dapat disadari dengan sadhana dari lidah. Tujuan kedua adalah Dharma (hidup yang benar) yang dapat disadari dengan sadhana dari tubuh dan bagian-bagiannya dalam hubungan kepada masyarakat yang mengelilingi manusia dan dunia objektif yang mempengaruhi dan dipengaruhi olehnya. Melalui perbuatan dan tingkah laku yang benar, manusia dapat mencapai tujuan yang ketiga yaitu Shanti – ketenangan atau kedamaian yang tidak terpengaruh. Hal ini dapat dicapai dengan disiplin dari pikiran. Satya terbentuk pada lidah melalui satwik sadhana; Dharma dicapai dengan praktek aturan yang bersifat aktif (rajasik); Shanti atau kedamaian merupakan konsekuensi dari tamasik yaitu penarikan diri dan bahkan ketidakterlibatan. Namun, Prema (kasih) yang merupakan tujuan keempat adalah melampaui ketiga tujuan tersebut dan melampaui pikiran, perkataan dan perbuatan! Kasih Tuhan bukanlah sesuatu yang mudah dipahami. Prema adalah Tuhan dan Tuhan adalah Prema. Dengan menganggap prema sebagai cara untuk berbicara, sebuah sikap pikiran atau sebuah perilaku fisik sejatinya merendahkan makna sesungguhnya. Prema tidak memiliki jejak dari mementingkan diri sendiri; prema tidak terikat pada motif apapun juga. 


- Divine Discourse, 08 Maret 1981.

Nilai-nilai kemanusiaan dapat berkembang dan tumbuh subur hanya dalam lingkungan spiritual.