Just as the sun's rays can burn a heap of cotton if the rays are concentrated by passing through a lens, the rays of the intellect will destroy one's bad qualities only when they are passed through the lens of Divine love. Although man has come from Madhava (God), he is enveloped in a Bhrama (delusion) which obscures the Brahma (Divinity) within him. So long as one is in the grip of this delusion one cannot understand God. Because of this delusion, one gets attached to the body and develops limitless desires. This leads to the growth of the asura (demonic) nature in him. In the word 'Nara' (man), 'na' means no and 'ra' means destruction. So, the term 'nara' describes man as one without destruction (that is, one who is eternal). When the letter 'ka' is added to 'nara' it becomes 'Naraka’, meaning, ‘hell’, which is the opposite of heaven. When one descends to the demonic level, he forgets divinity and follows the path to hell. The Divine is realised by pursuing the spiritual path (the Atmic path). According to the Puranic story, Narakasura is said to have been destroyed on this day of Deepavali (Naraka Chaturdasi). Narakasura was a demon filled with attachment to bodily pleasures.
- Divine Discourse, Oct 24, 1992.
To dispel the darkness of ignorance, you need to have vairagya (renunciation), the container; love, the oil; one pointed concentration, the wick; and tatwa-jnana (spiritual wisdom), the matchbox.
Seperti halnya sinar matahari yang dapat membakar setumpuk kapas jika sinar tersebut dipusatkan dengan melalui sebuah lensa, sinar dari kecerdasan akan menghancurkan sifat-sifat buruk seseorang hanya ketika sinar tersebut dipusatkan melalui lensa kasih Tuhan. Walaupun manusia berasal dari Madhava (Tuhan), namun manusia juga dibungkus dalam Bhrama (khayalan) yang mana mengaburkan Brahma (Tuhan) di dalam dirinya. Selama seseorang masih dalam cengkaraman khayalan ini maka seseorang tidak bisa memahami Tuhan. Karena kyahalan ini, seseorang menjadi terikat pada badan jasmani dan mengembangkan keinginan yang tanpa batas. Hal ini menuntun pada berkembangnya sifat-sifat raksasa (asura) di dalam diri manusia. Dalam kata 'Nara' (manusia), 'na' berarti tidak dan 'ra' berarti kehancuran. Jadi, istilah 'nara' menggambarkan manusia sebagai seseorang yang tanpa kehancuran (artinya seseorang yang abadi). Ketika huruf 'ka' ditambahkan pada kata 'nara' maka ini menjadi 'Naraka’, berarti, ‘neraka’, yang mana kebalikan dari surga. Ketika seseorang jatuh ke dalam level raksasa, maka dia melupakan keilahian dan mengikuti jalan menuju neraka. Tuhan dapat disadari dengan menapaki jalan spiritual (jalan Atma). Sesuai dengan kisah dalam purana, disebutkan Narakasura dihancurkan pada perayaan Deepavali atau disebut dengan Naraka Chaturdasi. Narakasura adalah raksasa yang diliputi dengan keterikatan pada kesenangan tubuh jasmani.
- Divine Discourse, 24 Oktober 1992.
Untuk melenyapkan kebodohan, engkau perlu memiliki _vairagya_ (tanpa keterikatan) sebagai wadahnya; kasih sebagai minyaknya; konsentrasi terpusat sebagai sumbunya; dan _tatwa-jnana_ (kebijaksanaan spiritual) sebagai korek apinya.
No comments:
Post a Comment