Thursday, April 10, 2025

Thought for the Day - 10th April 2025 (Thursday)



Cultivate pure love through these two methods: 1. Always consider the faults of others, however big, to be insignificant and negligible. Always consider your own faults, however insignificant and negligible, to be big, and feel sad and repentant. Thus, you avoid developing bigger faults and defects and acquire qualities of brotherliness and forbearance. 2. Whatever you do, with yourself or with others, do it remembering that God is omnipresent. He sees, hears and knows everything. Whatever you speak, remember that God hears every word; discriminate between true and false and speak only the truth. Whatever you do, discriminate between right and wrong and do only the right. Endeavour every moment to be aware of omnipotence of God. The body is temple of individual (jiva), so whatever happens in that temple is the concern of the individual. So too, world is the body of the Lord, and all that happens in it, good or bad, is His concern. 


- Ch 19 Prema Vahini

When you point out one fault in others, you must be able to examine three times whether there is a fault in you.



Pupuklah kasih yang suci melalui dua metode ini yaitu: 1. Selalulah menganggap kesalahan orang lain betapapun besarnya sebagai sesuatu yang tidak penting dan sepele. Selalulah menganggap kesalahanmu sendiri betapapun kecil atau sepelenya sebagai sesuatu yang besar dan merasa sedih serta menyesal. Dengan cara ini, engkau akan terhindar dari mengembangkan kesalahan yang lebih besar dan mendapatkan kualitas persaudaraan serta kesabaran. 2. Apapun yang engkau lakukan, apakah dilakukan sendiri atau bersama orang lain, lakukanlah hal itu dengan mengingat Tuhan ada dimana-mana. Tuhan melihat, mendengarkan dan mengetahui segalanya. Apapun yang engkau katakan, ingatlah bahwa Tuhan mendengarkan setiap kata yang engkau ucapkan; lakukan pemilahan diantara yang benar dan salah serta hanya katakan kebenaran. Apapun yang engkau lakukan, lakukan pemilahan diantara yang tindakan yang benar dan salah serta hanya lakukan tindakan yang benar saja. Berusahalah dalam setiap momen untuk selalu sadar pada kehadiran Tuhan dimana-mana. Tubuh jasmani adalah tempat suci bagi jiwa, jadi apapun yang terjadi pada tempat suci ini adalah urusan masing-masing individu. Begitu juga, dunia adalah tubuh jasmani dari Tuhan, dan semua yang terjadi di dalamnya, apakah itu baik atau buruk adalah menjadi urusan Tuhan. 


- Ch 19 Prema Vahini

Ketika engkau menunjukkan satu kesalahan pada orang lain, engkau harus mampu memeriksa tiga kali apakah kesalahan itu ada di dalam dirimu.

Wednesday, April 9, 2025

Thought for the Day - 9th April 2025 (Wednesday)



In the Kali Age, man has acquired great fame, riches and comforts, but he lacks peace and a sense of security. The reason for this sorrow is the lack of patience and sympathy amongst the members of the family living in a house. Why does man lack these two qualities? The rise in selfishness and the use of intelligence for one’s own self-interest has brought about this decline. These two values are not seen in any family today. Because of this, they remain steeped in worries from dawn to dusk. There is no unity or coordination amidst the sons of a family. Therefore, each goes his own way and, though born as a human being, leads a life worse than that of animals. In fact, animals are better as they have a reason and a season. Man has become selfish and he no more thinks of contributing to others’ happiness. Patience and sympathy are like life forces for a man. A man without these can be considered lifeless. Having acquired a number of degrees and having amassed wealth, what has man really achieved? What every man in a family should aspire to achieve are the two virtues of patience and sympathy. 


- Divine Discourse, Oct 02, 2000.

Let love be enthroned in your heart. Then, there will be sunshine and cool breeze and gurgling waters of contentment, feeding the roots of faith



Di jaman kali ini, manusia telah mendapatkan ketenaran, kekayaan dan kenyamanan yang luar biasa, namun manusia kurang adanya kedamaian dan rasa aman. Alasan dari penderitaan ini adalah kurangnya kesabaran dan simpati diantara anggota keluarga yang tinggal dalam rumah. Mengapa manusia kurang dengan dua kualitas itu? Hal ini disebabkan karena meningkatnya sifat mementingkan diri sendiri dan penggunaan kecerdasan untuk kepentingan diri telah membawa pada kemerosotan ini. Kedua nilai-nilai luhur ini tidak terlihat di dalam keluarga manapun saat sekarang. Karena alasan ini maka manusia tetap dihantui oleh kecemasan dari pagi hingga sore hari. Tidak adanya persatuan atau koordinasi diantara anak-anak yang ada dalam keluarga. Maka dari itu, setiap anak mengambil jalannya masing-masing dan walaupun lahir sebagai manusia namun menjalani hidup yang lebih buruk daripada hidup binatang. Sebagai faktanya, binatang adalah lebih baik karena binatang memiliki alasan dan musim. Manusia telah menjadi egois dan tidak ada perhatian lagi untuk memberikan sumbangsih bagi kebahagiaan orang lain. Kualitas seperti kesabaran dan simpati adalah seperti kekuatan hidup bagi manusia. Seorang manusia tanpa adanya dua kualitas ini dapat dianggap sebagai yang tidak bernyawa. Setelah memperoleh beberapa gelar kesarjanaan dan memiliki kekayaan yang melimpah, apa sebenarnya yang telah dicapai oleh manusia? Apa yang harus menjadi cita-cita dari setiap orang dalam keluarga adalah untuk mencapai dua kualitas luhur yaitu kesabaran dan simpati. 


- Divine Discourse, 02 Oktober 2000.

Biarkan kasih bersemayam di dalam hatimu. Kemudian, akan ada sinar matahari dan angin yang sepoi-sepoi serta gemericik air rasa syukur yang menyuburkan akar-akar keyakinan.

Tuesday, April 8, 2025

Thought for the Day - 8th April 2025 (Tuesday)



Some people may have some doubts related to prayer. Of what avail is prayer? Will the Lord gratify all that we ask for in our prayers? He gives us only what He feels we need or deserve, is it not? Will the Lord like to give us all that we ask for in our prayers to Him? Of course, all these doubts can be resolved. If the devotee has dedicated everything — body, mind, and existence — to the Lord, He will Himself look after everything, for He will always be with the devotee. Under such conditions, there is no need for prayer. But have you so dedicated yourself and surrendered everything to the Lord? No. When losses occur, calamities come, or plans go awry, the devotee blames the Lord. Some, on the other hand, pray to Him to save them. If you avoid both of these, as well as reliance on others by placing complete faith on the Lord at all times, why should He deny you His grace? Why should He desist from helping you?


- Ch 7, Prasanthi Vahini.

When God is ready to give strength, devotion and liberation, why should we desire worldly life and pray for worldly things?



Beberapa orang memiliki beberapa keraguan terkait dengan doa. Apa manfaat dari doa? Akankah Tuhan mengabulkan semua yang kita minta dalam doa kita? Bukankah Tuhan hanya memberikan kepada kita apa yang menurut-Nya kita butuhkan dan layak kita terima? Akankah Tuhan memberikan kepada kita semua yang kita minta dalam doa kita pada-Nya? Tentu saja, semua keraguan itu dapat dijelaskan. 


Jika seorang bhakta telah mendedikasikan semuanya yaitu : tubuh, pikiran dan keberadaannya kepada Tuhan, maka Tuhan sendiri akan mengurus segala sesuatunya, karena Tuhan akan selalu berada bersama dengan bhakta itu. Dengan keadaan seperti itu maka doa tidak diperlukan lagi. Namun, sudahkah engkau mendedikasikan dirimu dan berserah segala sesuatunya kepada Tuhan? Belum. Ketika terjadi kemalangan, musibah datang, atau rencana menjadi gagal, maka bhakta menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, ada beberapa orang lainnya berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan diri mereka. Jika engkau menghindari keduanya ini, serta tidak tergantung pada orang lain dan hanya menaruh keyakinan penuh pada Tuhan sepanjang waktu, mengapa Tuhan harus menunda memberikanmu rahmat-Nya? Mengapa Tuhan harus enggan menolongmu? 


- Ch 7, Prasanthi Vahini.

Ketika Tuhan siap untuk memberikan kekuatan, bhakti dan pembebasan, lantas mengapa kita masih menginginkan kehidupan duniawi dan berdoa untuk hal-hal duniawi?

Monday, April 7, 2025

Thought for the Day - 7th April 2025 (Monday)



The Ramayana is a guidebook on the ideal relations between mothers and children, between husband and wife, between brothers, between the ruler and the people, between the master and the servants and many other human relationships. Rama showed compassion to the dying eagle Jatayu, which had fought with Ravana when he was carrying Sita away to Lanka and Rama gave refuge to Vibhishana, even against the fears expressed by Lakshmana. These are examples of Rama’s supreme benevolence and magnanimity towards anyone who revered him or sought his protection. Rama declared to Lakshmana “Anyone who comes to Me in a spirit of surrender, whoever he might be, is Mine and I am his. I shall give him asylum. This is My vow.” Rama was a man pledged to one word, to one wife, and to a single arrow. Devotees should install Rama in their hearts and celebrate Rama-navami for achieving Atmic bliss. Going through the Ramayana epic they should reach the state of ‘Atma-rama’ (oneness with the Universal Spirit). In such a state, there is no Ahamkaram (ego-sense).


- Divine Discourse, Apr 07, 1987

The day we install in our hearts the path laid down by Rama is the real birthday of Rama. 



Kisah Ramayana adalah sebuah naskah suci yang berisi tuntunan terkait hubungan yang ideal diantara ibu dan anak, diantara suami dan istri, diantara saudara, diantara penguasa dan rakyatnya, diantara majikan dan pelayan dan banyak hubungan manusia lainnya. Sri Rama memperlihatkan welas asih pada burung Jayatu yang sekarat, yang mana telah bertarung dengan Ravana ketika dia menculik Sita ke Lanka dan Sri Rama memberikan perlindungan pada Vibhishana, bahkan pada ketakutan yang ditunjukkan oleh Lakshmana. Semuanya ini adalah contoh teladan dari kebajikan dan kemurahan hati yang begitu mulia dari Sri Rama kepada siapapun yang menghormati dan mencari perlindungan pada-Nya. Sri Rama menyatakan kepada Lakshmana “Siapapun yang datang pada-Ku dalam semangat penyerahan diri, siapapun dia maka dia adalah milik-Ku dan aku adalah miliknya. Aku akan memberikannya perlindungan. Ini adalah janji-Ku.” Sri Rama adalah manusia yang berikrar pada satu kata, pada satu istri dan pada satu anak panah. Bhakta harus menempatkan Rama di dalam hati mereka dan merayakan Rama-navami untuk mendapatkan kebahagiaan Atma. Melalui epos Ramayana, mereka harus mencapai keadaan ‘Atma-rama’ (penyatuan dengan kesadaran Universal). Dalam keadaan seperti itu, tidak akan ada Ahamkaram (perasaan ego).


- Divine Discourse, 07 April 1987

Hari saat kita menempatkan dalam hati kita jalan yang telah ditetapkan oleh Sri Rama adalah hari ulang tahun sesungguhnya dari Sri Rama.

Sunday, April 6, 2025

Thought for the Day - 6th April 2025 (Sunday)



Whatever is done by the great, whichever company they choose, they will ever be on the path of righteousness, on the divine path. Their acts will promote welfare of the entire world! So, when Ramayana or narratives of the Divine are recited or read, attention must be fixed on the majesty and mystery of God, on the truth and straightforwardness that are inherent in them, and on practice of these qualities in daily life. No importance should be attached to extraneous matters; the manner of execution of one’s duty is the paramount lesson to be learned. God, when appearing with form for the sake of upholding dharma, behaves in a human way. He must! For, He holds forth the ideal life before people and confers the experience of joy and peace. His movements and playful activities (leelas) might appear ordinary and commonplace to some. But each will be an expression of beauty, truth, goodness, joy, and exaltation. Each will captivate the world with its charm and purify the heart that contemplates it! Each will overcome and overwhelm all the agitations of the mind, tear the veil of illusion (maya), and fill the consciousness with sweetness.


- Ch 1, Rama Katha Rasavahini, Vol 1

The Divine Rama Principle is not something to be remembered once a year but every moment of our life.



Apapun yang dilakukan oleh orang-orang yang agung, apapun pergaulan yang mereka pilih, mereka selalu akan berada di jalan kebenaran yaitu di jalan Tuhan. Setiap tindakan mereka akan meningkatkan kesejahtraan seluruh dunia! Jadi, ketika Ramayana atau kisah dari Tuhan diceritakan atau direnungkan, maka perhatian harus diarahkan pada keagungan dan misteri dari Tuhan, tentang kebenaran dan ketulusan yang terkandung di dalamnya, dan tentang penerapan sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal lain yang tidak relevan seharusnya tidak diberikan perhatian; cara dalam menjalankan kewajiban seseorang adalah pelajaran yang paling penting harus dipelajari. Tuhan pada saat muncul dengan wujud untuk kepentingan menegakkan dharma, bertingkah laku seperti halnya manusia. Memang harus demikian! Karena Tuhan memperlihatkan hidup yang ideal kepada manusia serta menganugerahkan pengalaman suka cita dan kedamaian. Gerak-gerik dan permainan Ilahi-Nya _(leelas)_ mungkin kelihatan biasa saja dan sederhana bagi sebagian orang. Namun setiap tindakan-Nya akan menjadi sebuah ekspresi dari keindahan, kebenaran, suka cita dan kemuliaan. Setiap tindakan-Nya akan memikat dunia dengan pesona-Nya dan memurnikan hati bagi mereka yang merenungkannya! Setiap tindakan-Nya akan mengatasi dan meredakan semua gejolak pikiran, merobak selubung khyalan _(maya)_, dan mengisi kesadaran dengan keindahan.


- Ch 1, Hikayat Sri Rama, Vol 1

Prinsip dari keilahian Rama bukanlah sesuatu yang diingat sekali dalam setahun namun setiap momen dalam hidup kita.

Saturday, April 5, 2025

Thought for the Day - 5th April 2025 (Saturday)




It is often said that Rama followed dharma (righteousness) at all times. This is not the correct way of describing Him. He did not follow dharma; He was dharma. What He thought, spoke and did was dharma, is dharma forever. The recitation of Ramayana verses or listening to the exposition of those verses must transform the person into an embodiment of dharma. His every word, thought and deed must exemplify that ideal. Shraddha (steady faith) in Rama, Ramayana and oneself is essential for success. And for what end? To become good and help others to unfold their goodness. To be totally human with every human value expanded to the utmost and promote those traits in society to help others too. Purify the body by means of holy activity. Purify speech by adhering to truth, love and sympathy. Purify the mind, not yielding to the clamour of the senses and the desires they breed.


- Divine Discourse, Apr 18, 1986.

Meditate on the Rama-swarupa (form of Rama) and the Rama-svabhava (the true nature of Rama), when you recite or write the Rama-nama (name of Rama).



Sering kali dikatakan bahwa Rama senantiasa mengikuti dharma (kebajikan). Namun, ini bukanlah cara yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan Beliau. Rama bukan hanya mengikuti dharma, Beliau adalah dharma itu sendiri. Apa yang Beliau pikirkan, ucapkan, dan lakukan adalah dharma, dan akan selalu menjadi dharma untuk selamanya. Membaca ayat-ayat Ramayana, atau mendengarkan penjelasan mendalam tentang kisahnya, seharusnya mengubah diri kita menjadi perwujudan dharma. Setiap kata, pikiran, dan tindakan harus mencerminkan ideal/teladan tersebut. Shraddha (keyakinan yang teguh) terhadap Rama, Ramayana, dan terhadap diri sendiri, adalah kunci keberhasilan. Dan untuk tujuan apa? Hal ini bertujuan untuk menjadi pribadi yang baik dan membantu orang lain mengungkapkan kebaikan dalam dirinya. Untuk menjadi manusia seutuhnya dengan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal, dan menanamkan sifat-sifat tersebut dalam masyarakat untuk membantu orang lain juga. Murnikanlah tubuh dengan melakukan tindakan yang suci. Murnikanlah ucapan dengan berpegang pada kebenaran, cinta-kasih, dan simpati. Murnikanlah pikiran dengan tidak tunduk pada hiruk-pikuk indria dan keinginan yang ditimbulkannya.


- Divine Discourse, Apr 18, 1986.

Renungkan Rama-swarupa (wujud Rama) dan Rama-svabhava (sifat sejati Rama), setiap kali engkau melafalkan atau menulis Rama-nama (nama Rama).

Friday, April 4, 2025

Thought for the Day - 4th April 2025 (Friday)



There is no object without fault or failure; no joy that is not mixed with pain; no act that is not tainted with egotism. So be warned and develop detachment which will save you from grief. Ramayana instils this wise, valid, valuable detachment, or sacrifice (tyaga). Rama gladly journeys into the forest as an exile, the moment he knows his father's wish was that he should do so; and remember, he was to be crowned Emperor just that moment by the very same person who ordered him to go into exile! When those who have full powers and claims, renounce positions of authority in Ramayana, we see today persons with no powers or claims, clamouring to occupy position of authority! Duty is God, that’s the lesson the Ramayana teaches. The word ‘duty’ is used today to indicate methods by which one exercises his authority. No! Duty is the responsibility you have, to respect and revere others and serve them to the best of your ability! You claim to have freedom to walk, waving your walking stick around you; but, the man coming behind has as much freedom to use the road as you have! To exercise your freedom such that you don’t limit or harm the freedom of others - that is the duty, which becomes worship!


- Divine Discourse, 20 April 1975.

If you pursue your spiritual discipline, while regulating your daily life and discharging your daily duties, you are bound to become the recipient of God's grace.


Tidak ada objek yang tanpa cacat atau kegagalan; tidak ada suka cita yang tidak tercampur dengan penderitaan; tidak ada perbuatan yang tidak ternoda dengan egoisme. Jadi berhati-hatilah dan kembangkan kualitas tanpa keterikatan yang akan menyelamatkanmu dari duka cita. Ramayana menanamkan sikap tanpa keterikatan yang bijaksana, valid, bernilai atau pengorbanan _(tyaga)_. Rama dengan senang hati melakukan perjalanan ke hutan sebagai sebuah pengasingan, pada saat Rama mengetahui keinginan ayah-Nya agar Dia melakukan itu; dan ingatlah bahwa Rama akan dinobatkan sebagai kaisar tepat pada saat itu oleh orang yang sama yang kemudian memerintahkan Rama untuk pergi pengasingan!

Dalam Ramayana kita melihat bahwa mereka yang memiliki kekuasaan dan hak yang penuh justru melepaskan kekuasaan itu, namun kita melihat hari ini dimana orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan atau kewenangan, justru berebut untuk mendapatkan jabatan atau kekuasan! Kewajiban adalah Tuhan, itu adalah pelajaran yang diajarkan dalam Ramayana. Kata ‘kewajiban’ digunakan hari ini untuk merujuk pada cara yang seseorang gunakan untuk menjalankan kekuasannya. Tidak! Kewajiban adalah tanggung jawab yang engkau miliki, untuk menghormati dan menghargai serta melayani mereka dengan kemampuanmu terbaik! Engkau mungkin memiliki kebebasan untuk berjalan, mengayunkan tongkatmu di sekitarmu; namun, seseorang yang berjalan di belakangmu juga memiliki kebebasan yang sama untuk menggunakan jalan seperti yang engkau miliki! Menggunakan kebebasanmu yang tidak membatasi atau merugikan kebebasan orang lain – itu adalah kewajiban yang menjadi bentuk ibadah!


- Divine Discourse, 20 April 1975.

Jika engkau menjalankan disiplin spiritualmu, sambil mengatur hidupmu sehari-hari dan menjalankan kewajibanmu, maka engkau dipastikan menerima Rahmat Tuhan.

Thursday, April 3, 2025

Thought for the Day - 3rd April 2025 (Thursday)



When Rama is installed in the heart, everything will be added unto you - fame, fortune, freedom, fullness. Hanuman was a mere monkey leader until he met Rama; he was a minister in the court of his master; but, when Rama gave him the commission to seek Sita and sent him, that is to say, when Rama was installed in his heart as guide and guardian, Hanuman became immortal, as the Ideal devotee! 


Ramayana has a deep undercurrent of significant meaning. Dasharatha means, he who rides in a chariot of ten (senses), which is man. He is tied up with three gunas (qualities), or three wives, as in Ramayana. He has four sons, Purusharthas - Dharma (Rama), Artha (Lakshmana), Kama (Bharata), and moksha (Shatrughna). These four goals of man must be systematically attained, always with the last one, Moksha, clearly before the eye! Lakshmana represents Buddhi (intellect) and Sita is Truth. Hanuman is the Mind, and it is the repository, if controlled and trained, of courage. Sugreeva, the master of Hanuman, is Discrimination. With these to help him, Rama seeks Truth and succeeds. That is the lesson of the epic to every man!


- Divine Discourse, Apr 20, 1975.

Seek Truth, serve Truth, be Truth. Truth will reveal itself when the heart is saturated in Love.

 


Ketika Sri Rama disemayamkan di dalam hati, segala sesuatu akan ditambahkan kepadamu seperti halnya: ketenaran, keberuntungan, kebebasan, kesempurnaan. Pada awalnya Hanuman hanyalah seekor pemimpin kera sebelum bertemu dengan Sri Rama; Hanuman adalah mentri dalam istana majikannya; namun, ketika Sri Rama memberikannya tugas dan mengirimkannya untuk mencari Sita, dengan kata lain, ketika Sri Rama disemayamkan di dalam hatinya sebagai penuntun dan pelindung, maka Hanuman menjadi abadi, sebagai bhakta ideal!

 

Ramayana memiliki makna mendalam yang sangat penting. Dasharatha memiliki makna dia yang menjalankan sepuluh kereta perang, dalam hal ini sepuluh bermakna indria yaitu Manusia. Dasaratha diikat dengan tiga sifat (guna), yang dilambangkan dengan tiga istri dalam kisah Ramayana. Selain itu, Dasartaha memiliki empat putra  yang melambangkan Purushartha yaitu : Dharma (Rama), Artha (Lakshmana), Kama (Bharata), dan moksha (Shatrughna). Keempat tujuan hidup manusia ini harus dicapai secara sistematis, selalu dengan tujuan terakhir adalah Moksha, jelas di depan mata! Lakshmana melambangkan Buddhi (intelek) dan Sita adalah kebenaran. Hanuman adalah pikiran dan jika dikendalikan serta dilatih, dia adalah gudang dari keberanian. Sedangkan Sugreeva yang merupakan majikan dari Hanuman adalah diskriminasi (kemampuan membedakan). Dengan bantuan ini, Rama mencari kebenaran dan berhasil. Itu adalah pelajaran dari kisah kepahlawanan bagi setiap manusia!


- Divine Discourse, 20 April 1975.

Carilah kebenaran, layani kebenaran, jadilah kebenaran. Kebenaran akan mengungkapkan dirinya ketika hati dipenuhi dengan kasih.

Wednesday, April 2, 2025

Thought for the Day - 2nd April 2025 (Wednesday)


 
The eye ever seeks the vile and the vulgar. Notwithstanding the danger to his own life and body, the motorist will stare at obscene posters advertising a movie film. The eye must be held in check so that it may not ruin the mind as well as the body of man. The ear craves for scandal and salacious stuff. It does not persuade you to attend discourses that can really help in your spiritual development. Even if you chance to attend any, the ear dissuades you by giving you a headache. But when someone pours abuse on another, the two ears attain maximum concentration. The tongue is doubly dangerous unless held in check, for it speaks scandal and creates a craving for taste. It is well nigh impossible to lead the tongue towards the path of japa and dhyana (spiritual recitations and meditation), however sweet be the Name of the Lord. When the eye, ear and tongue are under control and capable of being used for self-improvement, the mind and the hand can also easily be held in check. Thus when man realises himself, there is no need to inquire where God dwells. He dwells in the pure heart of man, clearly shining in His innate splendour of Wisdom, Power and Love.


- Divine Discourse, Mar 20, 1977.

Sanctify the time given to you by worthy deeds, experience bliss and share it with others.



Mata selalu mencari sesuatu yang bersifat keji dan vulgar. Sekalipun berbahaya bagi hidup dan tubuhnya sendiri, para pengendara mobil akan menatap poster-poster cabul yang mengiklankan sebuah film. Oleh karena itu, mata harus tetap dijaga agar tidak merusak pikiran dan juga tubuh manusia. Sedangkan telinga sangat suka mendengarkan skandal dan hal-hal yang bersifat cabul. Telinga tidak akan menarikmu untuk mendengarkan ceramah yang sangat membantumu dalam perkembangan spiritualmu. Bahkan jika engkau mendapat kesempatan mendengarkan ceramah, maka telinga menghalangimu dengan membuat sakit kepala. Namun ketika seseorang menyampaikan cacian atau makian tentang orang lain maka kedua telinga akan memberikan perhatian yang maksimal. Lidah sangatlah berbahaya jika tidak dikendalikan dan dijaga, karena lidah bisa menyampaikan skandal dan menciptakan hasrat untuk mencicipi sesuatu. Hampir mustahil untuk menuntun lidah untuk melakukan japa dan dhyana (pengulangan nama suci dan meditasi), bagaimanapun indahnya nama suci Tuhan. Ketika mata, telinga dan lidah dikendalikan dan digunakan untuk peningkatan diri, maka pikiran dan tangan juga dapat dengan mudah untuk dikendalikan. Jadi ketika manusia menyadari dirinya maka tidak perlu bertanya dimana Tuhan bersemayam. Tuhan bersemayam di dalam hati manusia yang suci, bersinar dengan terang dalam kemegahan kebijaksanaan, kekuasaan dan kasih-Nya.


- Divine Discourse, 20 Maret 1977.

Sucikan waktu yang diberikan padamu dengan perbuatan baik, alami kebahagiaan dan berbagi kebahagiaan itu dengan yang lain.

Tuesday, April 1, 2025

Thought for the Day - 1st April 2025 (Tuesday)

 




The goal of life has to be the realisation of the unity of the self with the Supreme Self. Why else should the self take this human form? If mere 'living' or even 'happy living' was the goal, the self could have been encased in the form of birds or beasts. The very fact that man is equipped with memory, mind, intelligence, discrimination ability to anticipate the future, desire to detach himself from the senses, etc., is an indication that he is destined for some higher goal. Inspite of this if man craves for a lesser consummation, he is a papi (sinner). But he who persists, in spite of temptations and obstacles, on the path that leads to self-fulfilment and self-realisation, is a Gopi, for the Gopis (cowherd girls) of Brindavan were the most inspiring examples of such souls. The most effective discipline that man can adopt to attain this lofty goal, is the control and conquest of the five senses, avoid the errors and evils that the eye, the ear, the tongue, the mind and the hand are prone to commit.

- Divine Discourse, Mar 20, 1977.
Seek the shelter of the Lord and transform every moment into a sacred celebration!



Tujuan hidup sejatinya adalah menyadari kesatuan antara diri (atma) dan Diri Sejati (Paramatman). Jika bukan karena tujuan tersebut, mengapa jiwa ini harus mengambil wujud sebagai manusia? Bila sekadar "hidup" atau bahkan "hidup bahagia" adalah tujuannya, maka jiwa ini bisa saja terlahir dalam wujud burung atau binatang. Faktanya bahwa manusia dianugerahi ingatan, pikiran, kecerdasan, kemampuan untuk membedakan dan melihat lebih jauh ke depan dengan kebijaksanaan, serta keinginan untuk melepaskan diri dari ketertarikan indria, dll., merupakan pertanda bahwa ia ditakdirkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Namun, jika manusia justru menginginkan pemenuhan yang lebih rendah, maka ia adalah seorang papi (pendosa). Sebaliknya, ia yang tetap teguh di jalan menuju pemenuhan dan realisasi diri meski banyak godaan dan rintangan dialah seorang Gopi, karena para Gopi (gadis-gadis penggembala sapi) di Brindavan adalah contoh paling menginspirasi dari jiwa-jiwa seperti itu. Disiplin paling efektif yang dapat dijalankan manusia untuk mencapai tujuan luhur ini adalah dengan mengendalikan dan menaklukkan lima indria, menghindari kesalahan dan hal yang tidak baik yang kerap dilakukan oleh mata, telinga, lidah, pikiran, dan tangan.

- Divine Discourse, Mar 20, 1977.
Carilah perlindungan pada Tuhan, dan ubahlah setiap momen dalam hidup menjadi sebuah perayaan suci!



Monday, March 31, 2025

Thought for the Day - 31st March 2025 (Monday)



To transform the world from its present state, there is no need for a new social system or a new religion or creed. Untuk mengubah dunia dari keadaannyand womsekarang, tidak diperlukan suatu sistem sosial baru atau agama baru atau keyakinan baru. Yang diperlukan adalah sekelompok manusia (pria dan wanita) yang memiliki ideal/teladan yang suci. Ketika jiwa-jiwa ilahi semacam itu ada, negeri ini akan dianugerahi keberkahan ilahi. Namun, jiwa-jiwa suci hanya dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kesucian pikiran dan tindakan yang baikrs of purity and character, and with morality as the roof. The reputation and pride of Bharat have been founded on spirituality from ancient times. Bharat achieved this name and fame because of noble men, women of great virtue and exemplary children.


- Divine Discourse, Jul 22, 1994.

The entire existence of Bharat is based upon spirituality. If spirituality goes, Bharat will cease to exist. If Bharat goes, the whole world will go. 


Untuk mengubah dunia dari keadaannya yang sekarang, tidak diperlukan suatu sistem sosial baru atau agama baru atau keyakinan baru. Yang diperlukan adalah sekelompok manusia (pria dan wanita) yang memiliki ideal/teladan yang suci. Ketika jiwa-jiwa ilahi semacam itu ada, negeri ini akan dianugerahi keberkahan ilahi. Namun, jiwa-jiwa suci hanya dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kesucian pikiran dan tindakan yang baik. Agar kedua hal tersebut dapat berkembang, moralitas adalah dasarnya. Namun, moralitas tidak dapat berkembang tanpa spiritualitas. Oleh karena itu, bangunan masyarakat yang baik harus didirikan di atas fondasi spiritualitas, dengan pilar-pilar kesucian dan karakter, serta atapnya adalah moralitas. Sejak zaman dahulu, reputasi dan kebanggaan bangsa Bharat (India) telah dibangun berdasarkan spiritualitas. Bharat meraih nama dan ketenaran ini karena adanya para laki-laki mulia, wanita berbudi luhur, dan anak-anak yang patut diteladani.

- Divine Discourse, Jul 22, 1994.

Seluruh keberadaan Bharat didasarkan atas spiritualitas. Jika spiritualitas lenyap, maka Bharat pun akan lenyap. Dan jika Bharat lenyap, seluruh dunia akan lenyap.


Sunday, March 30, 2025

Thought for the Day - 30th March 2025 (Sunday)



Embodiments of Love! Today is Ugadi, the beginning of the New Year. Since ancient times, people have celebrated many Ugadis, but they are yet to give up bad qualities. True Ugadi is the day when one gives up bad qualities, fills their heart with love, and takes to the path of sacrifice. Do not limit the celebration of Ugadi to merely putting on new clothes and partaking of delicious items. Today, you may wear a new shirt, but how long will it remain new? Tomorrow it becomes old. Nobody reads the same newspaper everyday. Today's newspaper becomes a waste paper tomorrow. Our life is like a newspaper. Once you have finished reading a newspaper, you do not like to read it again and again. You have been given this birth, which is like a newspaper, and have gone through varied experiences of pleasure and pain. Enough is enough. Don't ask for one more newspaper, i.e. another birth. You should pray, "Oh God! You have given me this 'newspaper' and I have gone through the experiences of this life. I don't want to have another birth.”


- Divine Discourse, Apr 13, 2002.

True celebration of Ugadi lies in giving up evil qualities and purifying one's heart. 



Perwujudan kasih! Hari ini adalah Ugadi, awal dari tahun baru. Sejak dahulu kala, orang-orang telah merayakan banyak Ugadi, namun mereka belum melepaskan sifat-sifat buruk mereka. Ugadi yang sesungguhnya adalah hari ketika seseorang melepaskan sifat-sifat buruknya, mengisi hati mereka dengan kasih dan menapaki jalan pengorbanan. Jangan membatasi perayaan Ugadi hanya pada memakai pakaian baru dan menikmati makanan enak. Hari ini, engkau bisa memakai pakaian baru, namun berapa lama pakaian itu tetap baru? Besok harinya pakaian baru itu sudah menjadi usang. Tidak ada yang membaca surat kabar yang sama setiap harinya. Surat kabar hari ini menjadi sampah kertas pada keesokan harinya. Hidup kita adalah seperti sebuah surat kabar. Sekali engkau telah selesai membaca surat kabar, maka engkau tidak suka membacanya berulang lagi. Engkau telah diberikan kelahiran ini yang mana adalah seperti surat kabar, dan telah melewati berbagai jenis pengalaman baik dan buruk. Sudah cukup. Jangan minta surat kabar lagi dari seseorang, yaitu kelahiran yang lain. Engkau harus berdoa, "Oh Tuhan! Engkau telah memberikanku 'surat kabar' ini dan aku telah mengalami berbagai pengalaman dalam hidup ini. Aku tidak ingin mendapatkan kelahiran lainnya.”


- Divine Discourse, Apr 13, 2002.

Perayaan Ugadi yang sejati adalah melepaskan sifat-sifat jahat dan memurnikan hati seseorang.

Saturday, March 29, 2025

Thought for the Day - 29th March 2025 (Saturday)



Today's task for you is to discover the one column that supports all spiritual success. I shall tell you what that is: Love! Adore, serve the Sarveshwara (Almighty Lord) who is resident in all mankind; through that Love, adoration and service, realise Him. That is the highest sadhana. Serve man as God. Give food to the hungry, food that is the gift of Goddess Food (Anna-poorna); give it with love and humility. Give it, sweetened with the name of the Lord. Celestial spheres are revolving and disintegrating; time is fleeting; age follows age; era succeeds era; bodies that have taken birth, grow and end; but, the urge to sanctify life with good works and good thoughts is nowhere evident; the fragrance of sincere sadhana (spiritual practice) is not traceable anywhere. Through the process of 'giving up’, great things can be achieved. Cultivate detachment, and the Lord will attach Himself to you. The past is beyond recovery; those days are gone. But, tomorrow is coming towards you. Resolve to sanctify it with Love, service and sadhana.


- Divine Discourse, Mar 29, 1968.

The touchstone which pronounces an act as meritorious is ‘renunciation’. If an act is self-directed, if it helps to inflate the ego, it's a sin. 



Tugas hari ini bagimu adalah untuk mengungkapkan satu kolom yang mendukung semua keberhasilan spiritual. Aku akan mengatakan padamu adalah: Kasih! Puja, layani Tuhan yang Maha Kuasa (Sarveshwara) yang bersemayam di dalam diri semua manusia; melalui kasih, pemujaan dan pelayanan itu sadarilah keberadaan-Nya. Itu adalah sadhana yang tertinggi. Layani manusia seperti Tuhan. Berikan makanan pada mereka yang kelaparan, makanan yang merupakan karunia dari Dewi makanan (Anna-poorna); berikan makanan dengan kasih dan kerendahan hati. Berikanlah makanan dengan manisnya nama Tuhan. Bola-bola langit berputar dan hancur; waktu terus berjalan; jaman mengikuti jaman; era mengikuti era; tubuh yang telah lahir, tumbuh, berkembang dan meninggal; namun, dorongan untuk menyucikan hidup dengan kerja dan pikiran yang baik tidak terlihat dimanapun; aroma wangi dari sadhana yang tulus tidak tercium dimanapun. Melalui proses 'melepaskan’, hal-hal hebat dapat dicapai. Pupuk tanpa keterikatan, dan Tuhan akan mengikatkan diri-Nya padamu. Masa lalu tidak bisa diulang kembali; hari-hari itu sudah berlalu. Namun, hari esok datang menujumu. Bertekadlah untuk menyucikan hari esok dengan kasih, pelayanan dan sadhana.


- Divine Discourse, 29 Maret 1968.

Batu uji yang menyatakan sebuah tindakan sebagai berpahala adalah ‘melepaskan keterikatan duniawi’. Jika sebuah perbuatan diarahkan pada diri sendiri, jika perbuatan dilakukan untuk mengembangkan ego maka itu adalah dosa.

Friday, March 28, 2025

Thought for the Day - 28th March 2025 (Friday)



On the one side, man has achieved astonishing progress in science and technology, especially in the fields of electronics, synthetics, atomic power and exploration of space. On the other side we witness political and economic crises, caste and communal conflicts and students agitation. Today, moral values are steadily declining among men. In the moral, ethical and spiritual spheres, men's attitudes are deteriorating alarmingly. Even well-versed scholars and eminent public figures are caught up in the coil of bitter controversies because of narrow-minded thinking. Unity among the people is being shattered by the ideological and sectarian differences among persons who are well educated and intellectually eminent. Intellectuals who promote discord are on the increase, but there are few who promote unity in diversity. At the root of all these tendencies is the fact that mankind has still not got out of the animal stage. Men have to realise that essentially they are divine in origin. The individual selves have come from the ocean of Sat-Chit-Ananda, like waves from the ocean. It is only when this truth is realised that men can experience true bliss.


- Divine Discourse, Jul 22, 1994.

Human life is vitiated by selfishness and the pursuit of ephemeral pleasures, forgetting what is eternal and true. 



Di satu sisi, manusia telah mencapai kemajuan yang begitu mengesankan dalam pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bisa elektronik, tiruan, kekuatan atom dan penjelajahan luar angkasa. Sedangkan di sisi lainnya kita menyaksikan krisis dalam bidang politik dan ekonomi, konflik kasta dan komunal serta kegelisahan batin pada pelajar. Hari ini, nilai-nilai moral terus menerus merosot di kalangan manusia. Dalam bidang moral, etika dan bidang spiritual, sikap manusia semakin memburuk secara sangat mengkhawatirkan. Bahkan para cendekiawan yang terpelajar dan tokoh masyarakat yang terkenal terjerat dalam pusaran kontroversi yang getir karena pikiran yang bersifat sempit. Persatuan diantara masyarakat sedang dihancurkan oleh perbedaan ideologi dan sektarian diantara orang-orang yang berpendidikan tinggi dan terkemuka secara intelektual. Kaum intelektual membangun perpecahan semakin meningkat, namun hanya sedikit yang membangun persatuan dalam keberagaman. Akar dari semua kecendrungan ini adalah kenyataan bahwa umat manusia masih belum keluar dari level binatang. Manusia harus menyadari bahwa pada hakikatnya manusia berasal dari Tuhan. Diri individu berasal dari lautan Sat-Chit-Ananda, seperti halnya gelombang yang berasal dari lautan. Hanya ketika kebenaran ini disadari maka manusia dapat mengalami kebahagiaan yang sejati.


- Divine Discourse, 22 Juli 1994.

Hidup manusia dirusak oleh sifat mementingkan diri sendiri dan mengejar kesenangan sementara dengan melupakan apa yang bersifat kekal dan benar.

Thursday, March 27, 2025

Thought for the Day - 27th March 2025 (Thursday)



When asked where you have come from, you quickly reply, "From Delhi" or "From Calcutta" or "From Thiruvananthapuram”; but those are the places from where your bodies have come here. Within the body, as its source, sustenance and support, there is the Dehi (the embodied one) distinguishable from the deha (the body) where it has come from. That is beyond your ken. Investigate into that; discover the answer; that is the task of man. You will be released from this role only when you have overcome this colossal ignorance and realised the source, the sustenance and the support of, not only your seeming individuality, but of all the manifold million-faced sparks of that one Divine Force. Do not delay any further; the minutes are fleeing past; be inspired by the yearning to drink the nectar of the realisation of your true worth.


- Divine Discourse, May 12, 1968.

Life, which is not aware of either the 'from' address or the 'to' address, is merely a waste of time.


 

Ketika ditanyakan darimana engkau berasal, engkau dengan cepat menjawab, "dari Delhi" atau "dari Calcutta" atau "dari Thiruvananthapuram”; namun semua tempat itu adalah tempat asal tubuhmu yang datang kesini. Di dalam tubuh ada dehi (jiwa yang bersemayam dalam tubuh) sebagai sumber, penopang dan pendukung tubuh yang mana berbeda dari deha (tubuh fisik) yang merupakan tempat bersemayamnya. Dehi adalah diluar pemahamanmu. Lakukan penyelidikan pada dehi; temukan jawabannya; itu adalah tugas dari manusia. Engkau akan dibebaskan dari peran ini hanya ketika engkau telah mengatasi ketidaktahuan yang besar ini dan menyadari sumber, penopang dan dasar keberadaanmu, bukan hanya sebagai individu yang tampak terpisah, namun sebagai bagian dari percikan Ilahi yang tidak terhitung jumlahnya dari satu kekuatan Tuhan. Jangan menunda lebih lama lagi; waktu terus berlalu; biarkan dirimu dipenuhi oleh kerinduan untuk mereguk nektar kesadaran akan dirimu yang sejati.


- Divine Discourse, 12 Mei 1968.

Hidup yang tidak menyadari darimana dia berasal dan kemana tujuannya, hanyalah membuang-buang waktu saja.

Wednesday, March 26, 2025

Thought for the Day - 26th March 2025 (Wednesday)



Through the power of vak (speech) one can acquire a kingdom or great wealth. Friends and relations can be got through speech. Through speech, one gets bound and loses his freedom. Even death is brought about by speech. Speech is the life-force of human beings. Speech is the backbone of life. It is all-powerful. Saint Jayadeva addressed his tongue thus: "Oh tongue! You know all about the sweetness of speech! You enjoy truth and goodness. That is why chant the sweet and sacred names of the Lord - Govinda! Damodara! Madhava! Don't indulge in reviling anyone. Speak sweetly and softly". “Let your speech be truthful, pleasing, good and free from any resentment,” says Krishna in the Gita. Unfortunately, because such sacred and sweet speech has become scarce, society is riddled with bitterness and discord. The permissiveness of a crazy civilisation has destroyed discipline and morality and turned society into an inferno.


- Divine Discourse, Jul 22, 1994.

A mind turned inward toward an inner vision of God and speech turned toward outer vision of the Lord - both will promote spiritual strength and success.


Melalui kekuatan perkataan (vak), seseorang bisa mendapatkan sebuah kerajaan atau kesejahteraan yang sangat besar. Sahabat dan pertemanan bisa diperoleh melalui perkataan. Melalui perkataan, seseorang menjadi terikat dan kehilangan kebebasannya. Bahkan kematianpun disebabkan oleh perkataan. Perkataan adalah daya hidup dari manusia. Perkataan adalah tulang belakang dari hidup. Perkataan begitu kuat. Guru suci Jayadeva menyampaikan pada lidahnya sebagai berikut: "Oh lidah! Engkau mengetahui semua tentang keindahan dari perkataan! Engkau menikmati kebenaran dan kebaikan. Maka dari itu lantunkan nama suci Tuhan seperti - Govinda! Damodara! Madhava! Jangan terlibat dalam mencaci maki siapapun. Berbicaralah dengan sopan dan lembut ". “Jadikan perkataanmu penuh kebenaran, menyenangkan, baik dan bebas dari berbagai kebencian,” kata Krishna dalam Bhagavad Gita. Namun sangat disayangkan, karena perkataan yang suci dan indah seperti itu sudah langka, masyarakat dipenuhi dengan kegetiran dan perselisihan. Kebebasan yang berlebihan dan peradaban yang gila telah menghancurkan disiplin dan moralitas serta merubah masyarakat menjadi neraka.


- Divine Discourse, 22 Juli 1994.

Pikiran diarahkan ke dalam diri pada keindahan Tuhan di dalam batin dan perkataan diarahkan keluar dalam memuliakan Tuhan – keduanya akan membangkitkan kekuatan dan keberhasilan spiritual.

Tuesday, March 25, 2025

Thought for the Day - 25th March 2025 (Tuesday)



A jasmine flower is placed on a table in a room. The flower, which is gross, is small in size. But its fragrance, which is subtle, pervades the whole room. Likewise, the steam generated from water, occupies a much larger space than the volume of water from which it is produced. The mind of man, because of its extreme subtlety, is capable of immense expansion. Because of the senses, the mind has attraction for a variety of objects and persons. When these objects fill the mind, its expansiveness gets reduced. It is only when attraction from these objects is reduced that the mind can achieve expansion. If today man is filled with worries and has no peace of mind, it is because his mind is filled with innumerable desires. The world cannot be blamed for man's mental state. Nor can family life be held responsible for man's bondage. You bind yourself to Nature and family by your attachments and desires. To withdraw yourselves from these attachments and to reduce your subjection to the external world, you must practice control over your eyes, ears and tongue!


- Divine Discourse, Mar 13, 1988.

Man has to expand his knowledge, his emotions, his sympathies, his love. Expansion is life, expansion is love.



Sekuntum bunga melati ditempatkan di atas meja pada sebuah ruangan. Bunga melati yang tumbuh dengan ukuran yang kecil, namun wanginya sangat halus dapat mengisi seluruh ruangan. Sama halnya, uap yang dihasilkan dari air mengisi ruangan jauh lebih luas daripada volume air yang menghasilkan uap. Pikiran manusia yang sangat begitu halus mampu melakukan ekspansi begitu besar. Karena indera, pikiran memiliki ketertarikan pada berbagai jenis objek dan orang. Ketika objek-objek ini memenuhi pikiran maka ekspansi dari pikrian menjadi berkurang. Hanya ketika daya tarik dari obejk-objek ini dikurangi maka pikiran dapat berkembang. Jika hari ini manusia diliputi dengan kecemasan dan tidak memiliki kedamaian pikiran, hal ini dikarenakan pikirannya dipenuhi dengan keinginan yang tidak terhitung jumlahnya. Dunia tidak bisa disalahkan atas keadaan batin manusia. Kehidupan berkeluarga juga tidak bisa dianggap bertanggung jawab atas perbudakan manusia. Engkau mengikat dirimu sendiri pada alam dan keluarga melalui keterikatan dan keinginanmu. Untuk melepaskan dirimu dari keterikatan ini dan untuk mengurangi keterikatan pada dunia luar, maka dari itu engkau harus mempraktekkan pengendalian pada mata, telinga dan lidahmu!


- Divine Discourse, 13 Maret 1988.

Manusia harus mengembangkan pengetahuan, emosi, simpati dan kasihnya. Pengembangkan adalah hidup, pengembangan adalah kasih.

Sunday, March 23, 2025

Thought for the Day - 23rd March 2025 (Sunday)



During this Kaliyuga (age of moral decline), two Sadhanas (spiritual disciplines) are important Namam and Danam. Namam means the name of the Lord. It must activate every thought, word and deed and render them full of Love. It can certainly lead man to the vision of the bearer of the Name. The Name, the sound is the material which can reveal the non-material, the jada or inert which is the door to the Chaitanya or awareness enshrined in it. This is the purpose of the Sadhana - to recognise both the Kshetra (Field) and the Kshetrajna (the Master of the field) as the Lord. Danam, the second Sadhana, means gifting, caring and sharing. The gift of food to the hungry gives immediate contentment and relieves the pangs of hunger. Annam Brahma (Food is Divine) says the Upanishad. Gifts are to be given without inflating the ego of the giver or deflating that of the receiver. They should be offered with understanding, humility and love!


- Divine Discourse, Feb 26, 1987.

I need only your hearts, for My residence and happiness. I do not like other temples or altars. Purify the heart, by Namasmarana; I shall come, and dwell therein.


 

Selama jaman kemerosotan moral ini (Kaliyuga), ada dua sadhana (disiplin spiritual) yang penting yaitu Namam dan Danam. Namam mengandung makna nama suci Tuhan. Nama suci Tuhan harus menghidupkan setiap pikiran, perkataan dan perbuatan serta membuatnya penuh dengan kasih. Nama suci Tuhan pastinya menuntun manusia pada visi tentang Sang Pemilik Nama. Nama dan suara adalah materi yang dapat mengungkapkan yang bersifat non-materi, jada atau benda mati adalah pintu pembuka menuju pada Chaitanya atau kesadaran yang tersimpan di dalamnya. Ini adalah tujuan dari Sadhana – untuk menyadari keduanya yaitu Kshetra (tubuh) dan Kshetrajna (yang bersemayam dalam tubuh) sebagai Tuhan. Danam adalah Sadhana yang kedua berarti memberi, peduli dan berbagi. Memberikan makanan pada mereka yang kelaparan memberikan dampak kepuasan langsung dan meredakan penderitaan kelaparan. Annam Brahma (makanan adalah Tuhan) disebutkan dalam Upanishad. Pemberian harus diberikan tanpa membesarkan ego dari pemberi atau merendahkan penerima. Pemberian harus diberikan dengan pemahaman, kerendahan hati dan kasih!


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Aku hanya membutuhkan hatimu sebagai tempat tinggal dan kebahagiaan-Ku. Aku tidak menyukai tempat suci atau altar lainnya. Sucikan hati dengan Namasmarana; Aku akan datang dan tinggal disana.

Saturday, March 22, 2025

Thought for the Day - 22nd March 2025 (Saturday)



When man is not trained to live a good and godly life, teaching him various skills and tricks, only makes him a danger to himself and to others. There is unending controversy about the language which should be the medium of instruction; but, no one seems interested in the language of the heart, which uses the vocabulary of Love and the expression of self-examination and self-sacrifice. Now, schools and colleges are engaged in stuffing facts and fancies into the heads of the pupils; they do not equip them to face the fortunes of life, to bring the best that is in them and place them at the service of the community. The habit of prayer will inculcate courage and confidence; it will provide the pupil with a vast new source of energy. No effort is made to introduce the pupil to the sweet experiences of meditation and Yoga, or to the joy of inquiry into one's own reality!


- Divine Discourse, May 13, 1970.

Politics without principles, education without character, science without humanity, and commerce without morality are not only useless, but positively dangerous.


 

Ketika manusia tidak dilatih untuk hidup yang baik dan bertakwa, dengan mengajarkannya berbagai jenis ketrampilan dan trik, hanya membuatnya menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Terdapat kontroversi yang tidak berkesudahan tentang bahasa yang harus digunakan sebagai media pengajaran; namun, tidak ada seorangpun yang kelihatan tertarik pada bahasa hati yang menggunakan kosakata kasih dan ungkapan introspeksi diri dan pengorbanan diri. Sekarang, sekolah dan perguruan tinggi sibuk menjejalkan fakta dan khayalan dalam kepala pelajar; mereka tidak membekali pelajar untuk menghadapi tantangan hidup, mengeluarkan yang terbaik yang ada dalam diri pelajar dan menempatkan pelajar dalam pelayanan kepada masyarakat. Kebiasaan berdoa akan meningkatkan keberanian dan kepercayaan diri; ini akan memberikan pelajar sumber energi baru yang besar. Namun, tidak ada usaha yang dilakukan untuk memperkenalkan kepada pelajar terkait rasa manis dari pengalaman meditasi dan yoga, atau suka cita dari pencarian pada hakikat diri sejati!


- Divine Discourse, 13 Mei 1970.

Politik tanpa prinsip, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan perdagangan tanpa moralitas bukan hanya tidak berguna, tetapi juga berbahaya.

Friday, March 21, 2025

Thought for the Day - 21st March 2025 (Friday)



People complain of grief, sorrow, distress. What exactly is grief? It is a reaction to the loss of something gained or the failure to gain something desired. Therefore, the only way to escape grief, sorrow, etc., is to conquer desire for the illusory. See the world as God (Brahma-mayam). That vision will scotch desire. When the desire is limited to God and concentrated on God, success is assured and each step contributes its ananda. The Gopis of Brindavan knew this and longed for the Lord, to the exclusion of all else. Pure undiluted Love expressed itself as selfless action. They were simple rural folks, with no knowledge of scriptural texts or of spiritual exercises. Unfaltering faith in Krishna endowed them with all the inspiration and instruction they needed. As Krishna told Arjuna, “Shradhavan labhate jnanam - the one with faith attains knowledge.”


- Divine Discourse, Feb 26, 1987.

God is hidden and obstructed by the clouds of egoism. Getting rid of egoism is the sadhana to be practised.



Orang-orang mengeluhkan kesedihan, penderitaan, kesulitan. Apa sesungguhnya kesedihan itu? Ini adalah reaksi dari kehilangan sesuatu yang telah diperoleh atau kegagalan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk terlepas dari kesedihan, penderitaan, dsb, adalah dengan menaklukkan keinginan yang bersifat semu. Lihatlah dunia sebagai Tuhan (Brahma-mayam). Pandangan itu akan melenyapkan keinginan. Ketika keinginan dibatasi pada Tuhan dan terpusat pada Tuhan maka keberhasilan pasti tercapai dan setiap langkah akan membawakan Ananda (kebahagiaan). Pada Gopi di Brindavan mengetahui hal ini dan merindukan Tuhan sampai tidak menginginkan hal lainnya. Kasih yang murni dan tampa pamrih tercermin dalam tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri. Para Gopi hanyalah penduduk desa yang sederhana, tanpa pengetahuan tentang naskah suci atau latihan spiritual. Keyakinan pada Sri Krishna yang tidak tergoyahkan memberikan mereka semua inspirasi dan petunjuk yang dibutuhkan. Seperti yang Sri Krishna katakana pada Arjuna, “Shradhavan labhate jnanam – seseorang dengan keyakinan mencapai pengetahuan.”


- Divine Discourse, 26 Februari 1987.

Tuhan tersembunyi dan terhalang di balik awan egoisme. Menyingkirkan egoisme adalah sadhana yang harus dilakukan.

Thursday, March 20, 2025

Thought for the Day - 20th March 2025 (Thursday)



The ananda or bliss we get when hunger is appeased by a meal is short-lived. Hunger afflicts us again before long. However sweet and tasty the food may be, it causes nausea when consumed in big quantities. The mythological bird Chakora is said to feed on moonlight only, but we can be sure an excess of even that will certainly be unwelcome to it. Even nectar will cloy when one continues to eat it endlessly. Brahmananda (Supreme Divine Bliss), however, is different. For, it is native to man, his very source and sustenance. The purpose of human striving, through stage after stage of spiritual progress, is to attain that. A fish placed in an artistic golden gem-studded bowl is miserable. It has no ananda, for it has no water. Water is its home, its real source and sustenance. Man too must reach his original home, however far he may wander.


- Divine Discourse, Nov 23, 1983.

The more desires are controlled, the more blissful one will be.



Ananda atau kebahagiaan yang kita dapatkan ketika rasa lapar terpuaskan oleh makanan adalah bersifat sementara. Rasa lapar itu akan kembali menyerang kita dalam waktu dekat. Bagaimanapun enak dan gurihnya makanan itu akan menyebabkan rasa mual ketika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak. Kisah mitologi burung Chakora disebutkan hanya makan cahaya rembulan, namun kita pastinya yakin bahwa jika jumlahnya berlebihan maka itu pastinya tidak akan disukainya. Bahkan nektar menjadi memuakkan ketika seseorang secara terus menerus mengkonsumsinya tanpa henti. Brahmananda (kebahagiaan Tuhan tertinggi) adalah berbeda. Karena brahmananda ini adalah milik manusia yang merupakan sebagai sumber dan penopang hidupnya. Tujuan dari usaha manusia melewati berbagai tahapan dalam kemajuan spiritual adalah untuk mencapai brahmananda. Seekor ikan yang ditempatkan dalam mangkuk berhiaskan permata emas terlihat menyedihkan. Ikan tersebut tidak bisa merasakan kebahagiaan karena tidak ada air dalam mangkuk tersebut. Air adalah rumah sejati dari ikan yang merupakan sumber dan penopangnya sejati. Manusia juga harus mencapai rumahnya yang sejati, bagaimanapun jauh manusia telah mengembara.


- Divine Discourse, 23 November 1983.

Semakin banyak keinginan yang dapat dikendalikan maka semakin bahagia orang tersebut.

Wednesday, March 19, 2025

Thought for the Day - 19th March 2025 (Wednesday)



The Lord announced time and again that He showers grace on inner purity, not outer pomp. When one has established himself in equal-mindedness, Krishna installs Himself in his heart: His voice becomes the conscience that guides him at every step. Through Yoga, fortitude must be acquired; through Japa, sense-control must be earned; through Sadhana, the mind should be filled with peace. But, these effects are not noticeable, though the actions are practised. People close themselves in their shrine rooms and perform worship, offer flowers and fruit, and later, emerge from the place, only to shout and swear, frighten and fight with all and sundry. Man must be a yogi always, under all circumstances (satatam yoginah), says the Gita. This means he should ever be in bliss. Faith in God can ensure equanimity and balance. Knowledge must develop into skill, which must be directed and regulated by a sense of balance. Or else, skill degenerates into 'kill'.


- Divine Discourse, Sep 07, 1985.

Good qualities are not to be tied down to a particular time and place. They should be observed in one’s entire life continuously.



Tuhan menyampaikan berkali-kali bahwa Tuhan menganugerahkanr rahmat-Nya pada kemurnian batin dan bukan pada kemegahan lahiriah. Ketika seseorang mantap dalam pikiran yang seimbang maka Krishna menempatkan diri-Nya di dalam hati orang tersebut: suara Krishna menjadi suara nurani yang menuntun orang itu dalam setiap langkah. Melalui Yoga, ketabahan harus didapatkan; melalui Japa, pengendalian diri harus diraih; melalui Sadhana, pikiran harus diliputi dengan kedamaian. Namun, hasil dari semuanya ini tidak terlihat, walaupun prakteknya sudah dilakukan. Manusia menutup diri mereka dalam ruang doa dan melakukan puja, mempersembahkan bunga serta buah, dan kemudian keluar dari ruang doa hanya untuk berteriak dan memaki, menakuti dan bertengkar dengan semuanya. Manusia harus selalu menjadi seorang yogi dalam keadaan apapun juga (satatam yoginah), disebutkan dalam Bhagavad Gita. Hal ini berarti bahwa manusia harus dalam keadaan bahagia. Keyakinan pada Tuhan dapat menjamin ketenangan dan keseimbangan. Pengetahuan harus berkembang menjadi ketrampilan yang harus diarahkan serta diatur oleh rasa keseimbangan. Jika tidak, ketrampilan (skill) merosot menjadi kehancuran (kill).


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Sifat-sifat baik tidak terikat pada tempat dan waktu tertentu. Sifat-sifat baik tersebut harus terus menerus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tuesday, March 18, 2025

Thought for the Day - 18th March 2025 (Tuesday)



Prahladha, as the Bhagavata text declares, was rooted in the faith in Lord Narayana and His Universal, Absolute Reality. His father, Hiranyakashipu, however, was drawn by external forms and the limiting names. Therefore, Prahladha was rooted in ananda (bliss) wherever he was, in whatever set of circumstances. Hiranyakashipu was ever worried and anxious, caught up in the multiplicity of names and forms. Those who are in such bliss as Prahladha had will have an aura around them and an effulgence on their faces. People can derive joy watching their faces and yearn to have that experience again and again. The faces of the worried and the anxious will infect others too with similar feelings. Besides, delight endows one with great power too whereas anxiety robs one of the strength one has. True delight cannot be acquired by effort or produced artificially or maintained by design. No course of Sadhana (spiritual effort) can be prescribed to enable one to gain ananda. For, one is, in fact, the very embodiment of ananda! But since he has failed to identify his truth, he is seeking it from outside, from the objects around him. For those who have realised that they are the Eternal, the True and the Pure Atma, ananda is ever accessible.


- Divine Discourse, Nov 23, 1983.

However much you may earn either wealth or strength, unless you tap the springs of bliss (ananda) you cannot have peace and lasting content.



Naskah suci Bhagavata menyatakan bahwa Prahladha memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhan dalam wujud Narayana dan Realitas-Nya yang mutlak dan Universal. Sedangkan ayah dari Prahlada yaitu Hiranyakashipu justru terikat pada bentuk-bentuk luar dan nama-nama yang membatasi. Maka dari itu, Prahladha senantiasa ada dalam keadaan ananda (kebahagiaan) dimanapun dia berada, dalam keadaan apapun juga. Sedangkan Hiranyakashipu selalu dalam keadaan cemas dan khawatir, terperangkap dalam banyaknya nama dan wujud. Bagi mereka yang berada dalam kebahagiaan seperti halnya Prahladha akan memiliki pancaran aura di sekitar mereka dan sebuah pancaran pada wajah mereka. Orang-orang bisa mendapatkan suka cita melihat wajah mereka dan rindu untuk dapat mengalami hal itu berulang kali. Wajah dari orang yang cemas dan khawatir akan mempengaruhi orang lain dengan perasaan yang sama juga. Disamping itu, kebahagiaan menganugerahi seseorang dengan kekuatan yang besar, sedangkan kecemasan merampas kekuatan yang seseorang miliki. Kebahagiaan sejati tidak bisa didapat dengan usaha atau dihasilkan secara artifisial atau dipertahankan dengan direncanakan. Tidak ada bentuk usaha spiritual (_Sadhana_) yang dapat dilakukan agar seseorang bisa mendapatkan ananda. Sebab sesungguhnya seseorang adalah perwujudan dari ananda! Namun karena manusia gagal untuk mengenali kenyataan dirinya yang sejati, manusia sedang mencari kebahagiaan di luar dirinya, dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Bagi mereka yang telah menyadari bahwa diri mereka adalah Atma yang bersifat kekal, murni dan sejati, maka ananda akan selalu hadir dalam hidup mereka.


- Divine Discourse, 23 Nopember 1983.

Sebanyak apapun kekayaan atau kekuatan yang engkau dapatkan, jika engkau tidak menggali dari sumber kebahagiaan (ananda) maka engkau tidak bisa memiliki kedamaian dan kepuasan yang kekal. 

Monday, March 17, 2025

Thought for the Day - 17th March 2025 (Monday)



Mahabharata offers four examples of bad men called Dushta Chatushtaya. The first one is Shakuni (Duryodhana’s maternal uncle). Shakuni was all the time filled with bad thoughts (Dhuralochana). He is a total stranger to good ideas. He was always plotting something bad for someone or other. Duryodhana had Shakuni as his advisor. Duryodhana was engaged in dhuscharya (bad deeds). They were comrades in evil. Then came Dusshasana (Duryodhana’s brother). In association with Shakuni and Duryodhana, Dhushasana became notorious for his Dush-pravartana (bad behaviour). When these three evil-minded men came together, "even stars fell during daytime," they say. The whole cosmos rebels against such evil-minded men. Karna, out of a false sense of Durabhimanam (bad attachment), joined this trio. Gratitude is doubtless a good quality. Because Duryodhana came to his rescue on a critical occasion, Karna developed a wrongful attachment to him. Karna was a good-natured person, noble-minded. But because he was associated with evil-minded men, he also became bad. Despite his valour, physical prowess and intellectual abilities, Karna met with disaster, as he made himself remote from God. Evil thoughts, evil deeds, evil conduct, and attachment to the evil-minded - these are Dushta Chatushtaya (the four evil persons). 


- Divine Discourse, Mar 04, 1993.

The mind immerses man in impenetrable darkness through bad thoughts. The same mind can lift man to sublime heights by good thoughts.

 


Mahabharata menggambarkan empat contoh manusia jahat yang disebut dengan Dushta Chatushtaya. (1) Orang yang pertama adalah Shakuni (paman dari pihak ibu Duryodhana). Shakuni sepanjang waktu dipenuhi dengan pikiran yang buruk (Dhuralochana). Dia sama sekali asing dengan gagasan-gagasan yang baik. Dia selalu merencanakan sesuatu yang buruk bagi seseorang atau yang lainnya. (2) Orang kedua adalah Duryodhana yang menjadikan Shakuni sebagai penasehatnya, sehingga Duryodhana terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang jahat (dhuscharya). Mereka berdua adalah sekutu dalam kejahatan. (3) Orang yang ketiga adalah Dusshasana (saudara laki-laki dari Duryodhana). Karena bergaul dengan Shakuni dan Duryodhana, maka Dhushasana menjadi terkenal dengan perilaku buruknya (Dush pravartana). Ketika ketiga orang jahat ini bersatu, dikatakan bahwa "bahkan bintang bisa jatuh di siang hari." Alam semesta memberontak terhadap orang yang pikiran jahat seperti itu. (4) Orang yang keempat adalah Karna yang terjebak dalam pergaulan yang salah (Durabhimanam) dengan ketiga orang jahat ini. Sikap berterima kasih tidak diragukan lagi adalah kualitas yang baik. Karena Duryodhana hadir menyelamatkannya pada saat-saat yang kritis, Karna menjadi berhutang budi dan terikat pada Duryodana. Karna pada dasarnya adalah orang yang baik, berpikiran mulia. Namun karena dia bergaul dengan orang-orang yang jahat, akhirnya dia juga menjadi buruk. Meskipun memiliki keberanian, kekuatan fisik dan kecerdasan, Karna tetap mengalami kehancuran karena menjauh dari Tuhan. Pikiran yang jahat, perbuatan yang jahat, tingkah laku yang jahat serta keterikatan pada pikiran-pikiran jahat – inilah yang disebut dengan Dushta Chatushtaya (empat orang jahat). 


- Divine Discourse, 4 Maret 1993.

Pikiran dapat menenggelamkan manusia dalam kegelapan yang tidak tertembus karena pikiran-pikiran buruknya. Namun, pikiran yang sama dapat mengangkat manusia pada ketinggian yang luhur dengan pikiran-pikiran yang baik. 

Saturday, March 15, 2025

Thought for the Day - 15th March 2025 (Saturday)



(The five fields in which Samatvam is to be attained) (3) The field of knowledge with its ups and downs: Until the summit of knowledge, wherefrom one experiences the One which has become this vast make-believe, is attained there are many temptations and obstacles that lead the seeker astray. The student is inclined to give up the climb altogether when he feels exhausted or when he feels that he has reached the summit. The Gita defines a Pandit or learned man as a Samadarshi, he who has gained the awareness of the same One in all beings. The Jnani has gained Samatva when he is convinced of the One being the Truth of all and when his thoughts, words and deeds are guided by that conviction. (4) The field of devotion with its ups and downs: Here too there is a great deal of fanaticism, prejudice and persecution, which arise out of ignorance of the One, the sameness of the God whom all adore, through various rites and rituals, modes and methods. There is only One God, and He is Omnipresent! 


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Bhakti Samatva (equanimity in devotion) consists in the realisation of the truth that Easwara pervades the entire universe and that He is everything, the refuge for all.


(Lima bidang pencapaian dari Samatvam) (3) Bidang pengetahuan dengan pasang surutnya: sampai pada puncak pengetahuan yang dari sana seseorang mengalami Tuhan yang telah menjelma menjadi khayalan yang luas ini, ada banyak godaan dan rintangan yang dapat menyesatkan pencari kebenaran ini. Pelajar cendrung menyerah sepenuhnya ketika dia merasa kelelahan atau ketika dia merasa bahwa dia telah mencapai puncak. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang pandit atau orang terpelajar sebagai seorang Samadarshi yaitu dia yang telah mendapatkan kesadaran dimana Tuhan yang sama ada dalam diri semua makhluk. Seorang Jnani telah mencapai Samatva ketika dia yakin bahwa Tuhan adalah kebenaran dari semua dan ketika pikiran, perkataan dan perbuatannya dituntun oleh keyakinan itu. (4) Bidang bhakti (pengabdian) dengan pasang surutnya: dalam bidang ini banyak juga terdapat fanatisme, prasangka dan penganiayaan yang muncul dari ketidaktahuan pada Tuhan, dimana Tuhan yang sama dipuja oleh semua orang dengan berbagai jenis ritual, cara dan metode yang berbeda. Hanya ada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang ada dimana-mana! 


- Divine Discourse, 7 September 1985.

Bhakti Samatva (ketenangan batin dalam bhakti) terwujud dalam kesadaran kebenaran bahwa Iswara yang meresapi seluruh alam semesta dan bahwa Tuhan adalah segalanya dan tempat berlindung bagi semuanya.