Sunday, July 27, 2025

Thought for the Day - 27th July 2025 (Sunday)



Gopikas were devotees with equal-mindedness. They had sacred hearts. They had no attachment at all. They had no ego in them. They were practising dharma in daily life, and their lives were ideal for others. Today, we are trying to live like gopikas and the gopalas. Such things can only be experienced, but not described. Our life is full of desires. On the day when the desires disappear, we will have a sacred heart. Jealousy and ego occupy a very important position. So long as we are filled with jealousy and ego, we cannot understand the sacred aspects of Krishna. Today, you must develop such single-minded devotion that you think of God as the only one reality. We should not make an attempt to get the grace of God for purely selfish reasons. We must make an attempt to recognise divinity in all and God’s omnipresence. Our life must be dedicated to recognising divinity in everyone and to earning the grace of the Lord.


- Ch 13, Summer Showers 1978

You should rise from the level of worldly attachments to the level of selfless love for God. 


Para Gopika adalah bhakta yang memiliki keseimbangan batin. Hati mereka suci dan murni. Mereka tidak memiliki keterikatan apa pun. Mereka juga tidak memiliki ego dalam diri mereka. Mereka menjalankan dharma dalam kehidupan sehari-hari, dan kehidupan mereka menjadi teladan bagi orang lain. Saat ini, kita berusaha untuk hidup seperti halnya para Gopika dan Gopala. Namun, hal-hal seperti itu hanya bisa dialami, bukan dideskripsikan. Kehidupan kita saat ini dipenuhi oleh keinginan. Pada hari ketika semua keinginan itu lenyap, barulah kita akan memiliki hati yang suci. Rasa iri dan ego sangat mendominasi dalam hidup ini. Selama kita masih dipenuhi dengan iri hati dan ego, kita tidak akan bisa memahami aspek kesucian dari Krishna. Hari ini, anda harus mengembangkan bhakti yang teguh dan tak tergoyahkan, dengan memikirkan Tuhan sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Kita tidak seharusnya berusaha mendapatkan anugerah Tuhan hanya demi kepentingan pribadi. Sebaliknya, kita harus berusaha mengenali keilahian dalam semua makhluk dan menyadari bahwa Tuhan hadir di mana-mana. Kehidupan kita harus dipersembahkan untuk mengenali keilahian dalam setiap makhluk dan untuk meraih anugerah Tuhan. 


- Ch 13, Summer Showers 1978

Engkau harus bangkit dari level keterikatan duniawi menuju level kasih tanpa pamrih pada Tuhan.

Saturday, July 26, 2025

Thought for the Day - 26th July 2025 (Saturday)



Not being able to recognise your innate divinity is ignorance. You have to enquire into the reason for this ignorance. This is mainly because you follow the pravritti marga (outward path) all your life under the influence of the sense organs, which are projected outward. You are not making any effort to follow the nivritti marga (inward journey). All that you see, hear or think about are outward acts. In fact, everything that you do is outward. Thus, you are fully engrossed in the outward activities and are completely neglecting the inward path. Embodiments of Love! You need to make an effort to understand the value of man. In fact, there is no divinity other than that present in man. Thus, first, it is necessary to understand man before you can even attempt to understand divinity. In fact, there is no difference between man and divinity. Man is God; God is man. There is only a difference of perception. You see the world with a worldly view and do not recognise the divinity that pervades it. You have to make an effort to change your vision from outward to inward to perceive this divinity.


- Divine Discourse, Jan 01, 2000

You will attain true and everlasting bliss only when you turn your vision inward and experience the Atma.

 

Tidak mampu menyadari keilahian yang melekat pada dirimu adalah sebuah kebodohan. Engkau harus menyelidiki alasan di balik kebodohan ini. Kebodohan ini utamanya disebabkan karena engkau mengikuti pravritti marga (pandangan keluar diri) sepanjang hidupmu dibawah pengaruh dari organ-organ indra, yang diproyeksikan keluar diri. Engkau tidak melakukan usaha apapun untuk mengikuti nivritti marga (perjalanan ke dalam diri). Semua yang engkau lihat, dengar atau pikirkan hanyalah tentang perbuatan lahiriah. Sesungguhnya, segala yang engkau lakukan adalah bersifat lahiriah. Jadi, engkau sepenuhnya tenggelam dalam perbuatan-perbuatan lahiriah dan seluruhnya mengabaikan jalan ke dalam diri atau batiniah. Perwujudan kasih! Engkau perlu melakukan sebuah usaha untuk memahami nilai manusia. Sesungguhnya, tidak ada keilahian selain yang bersemayam dalam diri manusia. Jadi, pertama-tama yang dibutuhkan adalah memahami manusia sebelum engkau dapat mencoba untuk berusaha memahami Tuhan. Sejatinya, tidak ada perbedaan diantara manusia dan Tuhan. Manusia adalah Tuhan; Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Hanya ada perbedaan persepsi saja. Engkau melihat dunia dengan pandangan duniawi dan tidak menyadari keilahian yang meliputi semuanya. Engkau harus melakukan usaha untuk merubah pandanganmu dari lahiriah menuju batiniah untuk menerima keilahian ini.


- Divine Discourse, 01 Januari 2000

Engkau akan mencapai kebahagiaan yang sejati dan abadi hanya ketika engkau mengarahkan pandanganmu ke dalam diri dan mengalami Atma.

Friday, July 25, 2025

Thought for the Day - 25th July 2025 (Friday)



The Atma is the Truth, and you are the Atma. It is when this truth is experienced that man can realise the transcendental unity that subsumes everything. For this purpose, an enquiry has to be made into Advaita trayam (three aspects of nondualism). These three are: Bhava-advaitam, Kriya-advaitam and Padartha-advaitam. Bhava-advaitam is the enquiry which leads to recognition of the common basis of different objects like cloth and thread, namely, cotton. To recognise the One that underlies the Many is Bhava-advaitam. This involves recognition of the one indwelling Spirit which is common to all beings. Kriya-advaitam relates to the performance of actions, with purity of mind, speech and body, in a spirit of dedication to God. Padartha-advaitam calls for recognition of the elements that are common to all objects and all living things. The Pancha-pranas (five vital airs) and the Pancha-bhutas (five basic elements—earth, water, fire, air and ether) are to be found in all beings. The understanding of these three aspects of oneness will lead to a realisation of the basic unity of the cosmos.


- Divine Discourse, Jul 23, 1987

The Atma that is the Reality in everyone is, in truth, the One manifesting as the Many.


Atma adalah kebenaran, dan engkau adalah Atma. Adalah ketika kebenaran ini dialami maka manusia dapat menyadari kesatuan yang bersifat transcendental yang meliputi semuanya. Untuk alasan inilah, sebuah penyelidikan harus dilakukan pada Advaita trayam (tiga aspek dari tanpa dualitas). Ketiga aspek itu meliputi: Bhava-advaitam, Kriya-advaitam dan Padartha-advaitam. Bhava-advaitam adalah penyelidikan yang menuntun pada pengenalan pada dasar yang sama pada berbagai objek yang berbeda seperti halnya kain dan benang, yaitu kapas. Untuk menyadari kesatuan itu yang mendasari pada yang banyak adalah inti dari Bhava-advaitam. Ini melibatkan pengenalan terhadap satu jiwa yang bersemayam dan sama dalam semua makhluk. Kriya-advaitam terkait pada pelaksanaan perbuatan, dengan kesucian pikiran, perkataan dan tubuh, dalam semangat dedikasi pada Tuhan. Padartha-advaitam menuntut pada pengenalan pada unsur-unsur yang sama pada semua objek dan semua makhluk hidup. Pancha-prana (lima udara kehidupan) dan Pancha-bhuta (lima unsur dasar  -- tanah, air, api, udara dan ether) ditemukan dalam semua makhluk. Pemehaman pada ketiga aspek kesatuan ini akan menuntun pada sebuah kesadaran tentang kesatuan dasar dari seluruh kosmos.


- Divine Discourse, 23 Juli 1987

Atma yang merupakan diri sejati dalam diri setiap orang, kebenarannya adalah, Yang Esa mewujud sebagai yang banyak.

Thursday, July 24, 2025

Thought for the Day - 24th July 2025 (Thursday)



Lotuses are the ornaments of lakes. Houses and buildings are the ornaments of villages and towns. The waves of the ocean are its ornaments. The moon beautifies the sky. Character is the true ornament of man. The loss of this ornament is the source of all his suffering and misery. Man does not realise the purpose for which he has been created by God. God’s creation is endowed with several truths, mysteries and ideals. But man has forgotten these ideals. He is unable to appreciate the significance of his legacy. Of all the powers in the world, human power is the greatest. In fact, it is man who assesses the value of all the materials of the world. Who gives value to a diamond or, for that matter, to gold? Who attaches value to land? Is it not man? Man assigns value to everything in this world, but he is unable to recognise his own value. Then how can he ever understand the value of divinity? First of all, man has to realise the value of human life. Only then will he be in a position to understand divinity.


- Divine Discourse, Jan 01, 2000

It is virtues alone that lend value to human life, and it is qualities like compassion, forbearance, and sacrifice that make human life precious. 


Bunga lotus adalah perhiasan dari danau. Rumah dan bangunan adalah perhiasan dari desa dan kota. Gelombang lautan adalah perhiasan lautan. Bulan mempercantik langit. Karakter adalah perhiasan sejati dari manusia. Kehilangan perhiasan ini yang menjadi sumber dari semua penderitaan dan kesedihan yang dialami manusia. Manusia tidak menyadari tujuan dari dirinya yang diciptakan oleh Tuhan. Ciptaan Tuhan diberkati dengan beberapa kebenaran, misteri, dan ideal. Namun manusia telah melupakan ideal-ideal ini. Hal ini membuat manusia tidak mampu untuk menghargai makna dari warisannya. Dari semua kekuatan yang ada di dunia, kekuatan manusia adalah yang paling hebat. Sejatinya, adalah manusia yang memberikan nilai pada semua benda yang ada di dunia. Siapakah yang memberikan nilai pada berlian, atau pada emas? Siapa yang terikat pada nilai tanah? Bukankah itu manusia? Manusia memberikan nilai pada segala sesuatu di dunia, namun manusia tidak mampu untuk menyadari nilai pada dirinya sendiri. Kemudian bagaimana manusia bisa memahami nilai pada keilahian? Pertama-tama, manusia harus menyadari nilai pada hidup manusia. Hanya dengan demikian manusia ada dalam posisi untuk memahami keilahian.


- Divine Discourse, 01 Januari 2000

Hanya kebajikan yang memberikan nilai pada hidup manusia, dan sifat seperti welas asih, ketabahan, dan pengorbanan yang membuat hidup manusia berharga.

Wednesday, July 23, 2025

Thought for the Day - 23rd July 2025 (Wednesday)



People of yore enjoyed peace and happiness a thousand-fold compared to the present generation. They were selfless, egoless, and simple. They always had liberation as the goal of their lives. To enjoy the same kind of peace and joy, we must strive to foster humanism first. Mind plays a prominent role in the life of man. Mind keeps on playing tricks with humanity. It can do good and bad. It is the cause for sorrow as well as happiness. Mind is both negative and positive. The principle of the mind is the most important thing that man must know about. It is the needle-like thorn that gives pain; and it is the same needle that removes the thorn. It is fire that dispels darkness and cooks food. It is the same fire that burns and destroys things. Mana eva manushyanam karanam bandha mokshayoh (The mind alone is responsible for both bondage and liberation). It is the mind that is responsible for all our joys, sorrows, sins, merits, good or bad. We must try to understand the traits of the mind, and we must strive to take hold of it.


- Divine Discourse, Jan 12, 1984

Riches and pomp are ephemeral, like passing clouds. Virtues are our real wealth. To forget virtues is not a symbol of civilised life!


Manusia pada jaman dahulu menikmati kedamaian dan kebahagiaan seribu kali lipat dibandingkan dengan generasi pada saat sekarang. Manusia jaman dahulu tidak mementingkan diri sendiri, tanpa ego, dan sederhana. Mereka selalu memiliki pembebasan sebagai tujuan dari hidup mereka. Untuk bisa menikmati jenis kedamaian dan suka cita yang sama, pertama kita harus berusha untuk mengembangkan kemanusiaan. Pikiran memainkan peran yang begitu penting dalam hidup manusia. Pikiran terus memainkan tipu daya dengan manusia. Pikiran dapat melakukan kebaikan dan keburukan. Maka dari itu, pikiran adalah penyebab dari penderitaan dan juga kebahagiaan. Pikiran adalah keduanya yaitu positif dan negatif. Prinsip dari pikiran yang paling penting yang manusia harus pahami. Ini seperti duri yang seperti jarum yang menimbulkan rasa sakit; dan dengan jarum yang sama digunakan untuk mengeluarkan duri tersebut. Adalah api yang digunakan untuk menghilangkan kegelapan dan memasak makanan. Api yang sama juga dapat membakar dan menghancurkan segalanya. Mana eva manushyanam karanam bandha mokshayoh (hanya pikiran yang bertanggung jawab untuk perbudakan dan pembebasan). Pikiran yang bertanggung jawab untuk segala suka cita, penderitaan, dosa, pahala, kebaikan atau keburukan. Kita harus mencoba untuk memahami sifat dari pikiran, dan kita harus berusaha keras untuk menguasainya.


- Divine Discourse, 12 Januari 1984

Kekayaan dan kegemahan itu adalah fana, seperti awan yang berlalu. Kebajikan adalah kekayaan kita sejati. Dengan melupakan kebajikan adalah bukan simbul dari kehidupan yang beradab!

Tuesday, July 22, 2025

Thought for the Day - 22nd July 2025 (Tuesday)



The age span, 16-30 years, is crucial, for that is the period when life adds sweetness to itself, when talents, skills, and attitudes are accumulated, sublimated and sanctified. If the tonic of unselfish seva (service) is administered to the mind during this period, life’s mission is fulfilled, for the process of sublimation and sanctification will be accelerated by this tonic. Do not serve for the sake of reward, attracting attention, or earning gratitude, or from a sense of pride at your own superiority in skill, wealth, status or authority. Serve because you are urged by love. When you succeed, ascribe the success to the grace of God, who urged you on, as Love within you. When you fail, ascribe the failure to your own inadequacy, insincerity or ignorance. Examine the springs of action, disinfect them from all traces of ego. Do not throw the blame on the recipients of the seva, or on your collaborators and coworkers, or on God.


- Divine Discourse, May 19, 1969

Man should serve and worship God when he is walking on two feet; he should not postpone it to old age when he is virtually walking on three feet.


Rentang usia hidup 16-30 tahun adalah bersifat krusial, karena pada usia tersebut ketika hidup ditambahkan dengan keindahan di dalamnya, ketika bakat, ketrampilan, dan sikap terakumulasi, dimurnikan dan disucikan. Jika tonik berupa pelayanan tanpa pamrih (seva) ditanamkan pada pikiran selama rentang usia ini, misi hidup akan terpenuhi karena proses pemurnian dan penyucian akan dipercepat oleh tonik ini. Jangan melayani untuk mendapatkan pamrih, menarik perhatian, atau mendapatkan ucapan terima kasih, atau dari rasa bangga pada keunggulan diri dalam hal ketrampilan, kekayaan, status, atau kewenangan. Lakukan pelayanan karena engkau di dorong oleh kasih. Ketika engkau berhasil, anggaplah keberhasilan itu karena karunia Tuhan, yang mendorongmu sebagai kasih yang ada dalam dirimu. Ketika engkau gagal, anggaplah kegagalan itu sebagai ketidakmampuan, ketidaktulusan atau ketidaktahuanmu sendiri. Periksa sumber-sumber perbuatan, bersihkan semuanya dari segala bentuk jejak-jejak ego. Jangan melemparkan kesalahan pada penerima seva, atau pada rekan dan teman kerja, atau pada Tuhan.


- Divine Discourse, 19 Mei 1969

Manusia harus melayani dan memuja Tuhan ketika dia sedang berjalan dengan dua kaki; manusia seharusnya tidak menunda sampai usia tua ketika dia berjalan dengan tiga kaki.

Monday, July 21, 2025

Thought for the Day - 21st July 2025 (Monday)



Greater than all other forms of worship is Seva (service to one’s fellow men) done in an unselfish and dedicated spirit. There is an element of selfishness in forms of worship like recitation, meditation, etc. But when service is done spontaneously, it is its own reward. It must be done as an offering to God. Seva is a small word filled with immense spiritual significance. Hanuman is the supreme exemplar of the ideal of service. When the rakshasas (demons) asked Hanuman, during his search for Sita in Lanka, who he was, he replied simply: Dasoham Kosalendrasya. He was content to describe himself as a humble servant of Rama. Seva must be viewed as the highest form of Sadhana. Serving the poor in villages is the best form of sadhana. In the various forms of worship of the Divine, culminating in atma nivedanam (complete surrender to the Divine), Seva comes before atma nivedanam. God's grace will come when seva is done without expectation of reward or recognition. Sometimes, ahamkaram (ego) and abhimanam (attachment) raise their heads during seva. These should be eliminated altogether.


- Divine Discourse, Jan 25, 1985

Every Seva done with sympathy and skill to anyone in distress, anywhere in this world is Sathya Sai Seva.

 

Seva (pelayanan pada sesama manusia) yang dilakukan dengan semangat tanpa pamrih dan dedikasi adalah bentuk ibadah yang lebih hebat dari semua bentuk ibadah lain. Ada sebuah unsur mementingkan diri sendiri dalam bentuk ibadah seperti pelantunan, meditasi, dsb. Namun ketika pelayanan dilakukan secara spontan, maka pelayanan menjadi ganjarannya sendiri. Pelayanan harus dilakukan sebagai sebuah persembahan pada Tuhan. Seva adalah sebuah kata sederhana diisi dengan makna spiritual yang mendalam. Hanuman adalah teladan tertinggi dalam ideal pelayanan. Ketika para rakshasa menanyakan Hanuman terkait siapa dirinya, pada saat pencarian Sita di Lanka, Hanuman menjawab dengan sederhana: Dasoham Kosalendrasya. Hanuman merasa penuh syukur ketika menyebutkan dirinya sebagai pelayan rendah hati dari Sri Rama. Seva harus dipandang sebagai bentuk Sadhana yang tertinggi. Melayani yang miskin di desa adalah bentuk terbaik dari sadhana. Dalam berbagai bentuk ibadah pada Tuhan, puncaknya terdapat dalam atma nivedanam (berserah sepenuhnya pada Tuhan), Seva hadir sebelum atma nivedanam. Karunia Tuhan hadir ketika seva dilakukan tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Terkadang, ahamkaram (ego) dan abhimanam (keterikatan) memunculkan kepalanya pada saat seva. Sifat-sifat ini harus dilenyapkan sama sekali.


- Divine Discourse, 25 Januari 1985

Setiap Seva dilakukan dengan simpati dan ketrampilan pada siapapun yang dalam kesusahan, dimanapun di dunia adalah Sathya Sai Seva. 

Sunday, July 20, 2025

Thought for the Day - 20th July 2025 (Saturday)



Just think for a moment: Are you serving God? Or is God serving you? When a pilgrim stands waist-deep in the Ganges, takes in his palms the sacred water and, reciting an invocatory formula, pours the water as an offering to the Deity, or arpanam as he calls it, what he has done is only pour Ganga into Ganga! When you offer milk to a hungry child, or a blanket to a shivering brother on the pavement, you are doing nothing but placing a gift of God into the hands of another as a gift of God! You are reposing the gift of God in a repository of the divine principle! God serves; He allows you to claim that you have served! Without His Will, not a single blade of grass can quiver in the breeze. Fill every moment with gratitude to the giver and the recipient of all gifts. Nurture the will to ‘give’, to renounce the little for the big, the momentary for the sake of the momentous! 


- Divine Discourse, May 19, 1969

In whatever activity you are involved in society, do it with a spirit of service. There is no one in the world who is not a servant.

 

Coba pikirkan sebentar: apakah dirimu sedang melayani Tuhan? Atau Tuhan yang sedang melayanimu? Ketika seseorang yang sedang melakukan tirtayatra berdiri setinggi pinggang di sungai Gangga, mengambil segenggam penuh air suci Gangga dan sambil menyampaikan keinginan, menuangkan air tersebut sebagai persembahan kepada Tuhan, atau disebut dengan arpanam, apa yang dilakukannya hanyalah menuangkan air sungai Ganga ke sungai Ganga! Ketika engkau memberikan susu kepada seorang anak yang kelaparan, atau selimut bagi seseorang yang kedinginan di pinggir jalan, engkau tidak sedang melakukan apapun kecuali menempatkan karunia Tuhan di tangan orang lain sebagai anugerah Tuhan! Engkau sedang meletakkan karunia Tuhan pada wadah dari prinsip Ilahi itu sendiri! Adalah Tuhan yang melayani; Tuhan mengijinkan dirimu untuk mengklaim bahwa engkau telah melayani! Tanpa kehendak Tuhan, tidak ada sehelai rumput yang bergetar tertiup angin. Isilah setiap momen dengan rasa syukur pada sang pemberi dan penerima semua karunia. Pupuklah hasrat untuk ‘memberi’, untuk melepaskan yang kecil demi yang besar, merelakan yang sementara untuk yang bernilai abadi! 


- Divine Discourse, 19 Mei 1969

Dalam aktifitas apapun yang engkau lakukan dalam masyarakat, lakukan dengan semangat pelayanan. Tiadak ada seorangpun di dunia yang bukan pelayan. 

Saturday, July 19, 2025

Thought for the Day - 19th July 2025 (Saturday)



For want of the five human values, mankind is in the throes of distress and disaster. The morning newspaper is full of murder, massacre, arson, and dacoity. The brain and the mind have been polluted to a dangerous extent. Education aims only at providing information and promoting skills. It has not tackled the problem of moral degeneration, of the sublimation of low desires, of sense control, and the development of spiritual insight. Man is converting himself into a brute with a human form. Vali, the monkey, is said to have argued that Rama wounded it with his mortal arrow, despite the fact that the sin it had committed was pardonable and even proper among monkeys. But, Rama replied that Vali was only a monkey in appearance; it knew both right and wrong, and so deserved punishment. Man, today, is a beast in human garb. When he develops and demonstrates human values, he would have to discard the beast in him and become man, the pilgrim to God.


- Divine Discourse, Mar 07, 1986

For peace and happiness, human values are most important. Bereft of human values, man can never be at peace. 


Karena tidak adanya lima nilai-nilai kemanusiaan, umat manusia terjerumus dalam penderitaan dan bencana. Berita dalam harian koran pagi dipenuhi dengan berita pembunuhan, pembantaian, pembakaran dan perampokan. Otak dan pikiran telah tercemar sampai pada tingkat yang berbahaya. Pendidikan hanya bertujuan untuk menyediakan informasi dan meningkatkan ketrampilan. Pendidikan tidak memecahkan masalah kemerosotan moral, pemurnian keinginan-keinginan rendahan, pengendalian indra, dan pengembangan wawasan spiritual. Manusia sedang merubah dirinya sendiri menjadi kejam dengan wujud manusia. Subali, adalah seekor monyet yang dikatakan pernah memperdebatkan bahwa Rama telah melukainya dengan panah mematikan, walaupun pada kenyataannya bahwa dosanya dapat dimaafkan dan bahkan wajar di kalangan monyet. Namun, Sri Rama menjawab bahwa Subali hanyalah monyet dalam wujudnya; Subali mengetahui yang benar dan salah, dan layak dihukum. Manusia pada saat sekarang adalah makhluk buas dalam wujud manusia. Ketika manusia mengembangkan dan menjalankan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia harus membuang sifat-sifat binatang buas dalam dirinya dan menjadi manusia sejati yang merupakan perjalanan suci menuju Tuhan. 


- Divine Discourse, 7 Maret 1986

Untuk kedamaian dan kebahagiaan, nilai-nilai kemanusiaan adalah sangat penting. Tanpa adanya nilai-nilai kemanusiaan, manusia tidak akan pernah bisa merasakan damai. 

Friday, July 18, 2025

Thought for the Day - 18th July 2025 (Friday)



The mind flits fast from one idea to another; it fondles for a moment and forsakes it the very next moment. You may manage to keep your mouth shut, but it is next to impossible to keep the mind shut. The mind is of that nature; it is woven so, out of the yarn of desire. Its characteristic is to flutter and flit, hither and thither, through the outlets of senses, into the external world of colour, sound, taste, smell, and touch. But it can be tamed and put to good use by man. If we keep it engaged in good pursuits and good adventures, particularly in the contemplation of the Universal, the Absolute, the Eternal, that is to say, God, then it will not go astray and land man in ruin; for God is the source of undying strength, of everlasting joy and unfathomable wisdom.


- Divine Discourse, May 19, 1969

The body is like a water bubble, the mind is like a monkey; don’t follow the body or the mind, follow the conscience. 


Pikiran bergerak dengan cepat dari satu ide ke ide lainnya; pikiran menyukai ide itu sesaat dan meninggalkannya pada saat berikutnya. Engkau mungkin bisa menutup mulutmu, namun adalah tidak mungkin untuk menutup pikiranmu. Demikianlah sifat alami dari pikiran dimana pikiran dijalin oleh benang keinginan. Karakteristik pikiran adalah bergerak dengan cepat, kesana kemari, melalui saluran indra mengarah pada dunia luar diri berupa warna, suara, rasa, bau dan sentuhan. Namun pikiran dapat dijinakkan dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia. Jika kita tetap melibatkan pikiran dalam kegiatan-kegiatan dan pertualangan yang baik, khususnya dalam perenungan pada Tuhan yang bersifat Universal, absolut, dan kekal, kemudian pikiran tidak akan tersesat dan membuat manusia hancur; karena Tuhan adalah sumber dari kekuatan yang tidak pernah hilang, suka cita yang bersifat kekal dan kebijaksanaan yang begitu mendalam.


- Divine Discourse, 19 Mei 1969

Tubuh adalah seperti gelembung air, pikiran adalah seperti seekor monyet; jangan ikuti tubuh atau pikiran, ikutilah suara hati. 

Thursday, July 17, 2025

Thought for the Day - 17th July 2025 (Thursday)




Society is the coming together of people. Cooperation among people in a society, motivated by spontaneity and by pure intentions, is the hallmark of seva (service). Seva can be identified with two basic characteristics: compassion and willingness to sacrifice. History informs us that in all countries and in every age, man is a social animal. Man is born in society, he grows through society, and his life ends in society itself. Man’s songs and speech, his duties and diversions, are all determined by society. Society for man is like water for fish: if society rejects him or neglects him, he cannot survive. What a single individual cannot accomplish, a well-knit group or society can achieve. A man walking alone will feel tired and miserable at the end of five miles; but walking with ten others as a group, he would find the five miles a jaunt. He arrives refreshed and strong!


- Divine Discourse, Nov 19, 1981

When service is done spontaneously, it is its own reward.

 

Masyarakat adalah tempat berkumpulnya dan kebersamaan manusia. Kerjasama diantara anggota masyarakat yang didorong oleh spontanitas dan niat yang murni, adalah tanda dari pelayanan (seva). Seva dapat diidentifikan dengan dua karakterisitik mendasar yaitu : welas asih dan hasrat untuk berkorban. Sejarah telah mencatat dan memberikan informasi kepada kita bahwa di semua bangsa dan dalam setiap jaman, manusia adalah makhluk sosial. Manusia lahir dalam masyarakat, manusia tumbuh melalui masyarakat dan mengakhiri hidupnya dalam masyarakat itu sendiri. Lagu nyanyian dan perkataan manusia, kewajiban dan kenikmatan manusia, semuanya itu ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat bagi manusia adalah seperti air untuk ikan: jika masyarakat menolak atau mengabaikannya, maka manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh satu individu, dapat dicapai oleh kelompok yang kompak atau masyarakat yang solid. Seseorang yang berjalan sendiri akan merasa letih dan menderita setelah menempuh perjalanan sejauh 8 kilometer; namun berjalan dengan sepuluh orang sebagai satu kelompok, dia akan merasa bahwa perjalanan sejauh 8 kilometer adalah menyenangkan. Dia sampai dalam keadaan segar dan kuat!


- Divine Discourse, 19 November 1981

Ketika pelayanan dilakukan secara spontan, maka pelayanan itu menjadi ganjarannya sendiri. 

Wednesday, July 16, 2025

Thought for the Day - 16th July 2025 (Wednesday)



When your thoughts emanate from a mind purified by love, they will result in right action, which is dharma. When love becomes part of your experience, thoughts and actions, you get shanti (Peace). When we comprehend love clearly, ahimsa or non-violence will result automatically. So, love is the unseen undercurrent binding all four values. It can be summarised thus: love plus thoughts is satya. Love plus feelings is shanti; love plus action is dharma and love plus understanding is ahimsa. Love is the common denominator for all these values. It is the form of God, for God is love. One who gives love is a man, and one who fails to nourish this love is a beast. Love, or the absence of love, makes one an animal, man, or God. Nurturing love is possible only in a tender heart. Because of attachment to worldly objects, that tenderness is lost. When the mind is directed towards the sensual world, life becomes artificial.


- Divine Discourse, Jan 25, 1985

The absence of love leads to the absence of unity. When there is no unity, there is no purity and without purity, divinity cannot be realised.

 

Ketika gagasan pemikiran muncul dari pikiranmu yang dimurnikan oleh kasih, maka gagasan itu akan menghasilkan kebajikan yang disebut dengan dharma. Ketika kasih menjadi bagian dari pengalaman, gagasan pemikiran dan perbuatanmu maka engkau akan mendapatkan kedamaian (shanti). Ketika kita memahami kasih dengan jelas, ahimsa atau tanpa kekerasan akan muncul secara otomatis. Jadi, kasih adalah arus bawah yang tidak terlihat mengikat semua keempat nilai-nilai tersebut. Hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut: kasih dalam pikiran adalah satya. Kasih dalam perasaan adalah shanti; kasih dalam tindakan adalah dharma dan kasih dalam pemahaman adalah ahimsa. Kasih adalah kualitas yang sama dari semua nilai-nilai ini. Kasih adalah wujud dari Tuham karena Tuhan adalah kasih. Seseorang yang memberikan kasih adalah manusia, dan seseorang yang gagal dalam memupuk kasih ini adalah binatang buas. Kasih, atau tanpa kasih, membuat seseorang menjadi binatang, manusia atau Tuhan. Memupuk kasih hanya dapat dimungkinkan dalam hati yang lembut. Karena keterikaran pada objek-objek duniawi, kelembutan hati menjadi hilang. ketika pikiran diarahkan pada dunia sensual, hidup menjadi palsu.


- Divine Discourse, 25 Januari 1985

Tanpa adanya kasih mengarah pada tidak adanya kesatuan. Ketika tidak ada kesatuan, maka disana tidak ada kesucian dan tanpa adanya kesucian maka keilahian tidak bisa disadari. 

Tuesday, July 15, 2025

Thought for the Day - 15th July 2025 (Tuesday)



Note that everyone, from the beggar to the billionaire, is prompted by the urge to achieve ananda (supreme bliss), which is based on inner peace, and unaffected by ups and downs. Every activity, however elementary or earth-shaking, is subservient to this ideal. This Bliss Divine is not manufactured by any company, nor available in any shop. It is not something that can be earned from outside and added to the sum of one’s possessions. It has to sprout and grow from within, and fostered and treasured within. Take the case of the contentment and pleasure that food imparts. A hungry man may hold bundles of currency notes in his grasp, or even plenty of eatables, but unless he consumes the eatables or converts the currency into consumable food and eats them, and they become part of him, no sense of satisfaction can arise. Similarly, bliss too is an inner experience, an elevating, exhilarating inner calm. It cannot be gained by the accumulation of impediments like cars and houses, land and gold, stocks and shares. How can a cash-box appease hunger or a passbook give peace? 


- Divine Discourse, Feb 03, 1972

Happiness of material origin is short-lived and has misery as its obverse.


Ketahuilah bahwa setiap orang mulai dari pengemis sampai pada miliarder di dorong oleh keinginan yang sama untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi (ananda), yang didasarkan pada kedamaian batin serta tidak terpengaruh oleh pasang surut kehidupan. Dalam setiap aktifitas bagaimanapun mendasar atau menggemparkan akan tunduk pada cita-cita ini. Kebahagiaan Ilahi ini tidak diproduksi oleh perusahaan manapun dan tidak juga tersedia di toko manapun. Ananda bukanlah sesuatu yang bisa didapat dari luar dan ditambahkan ke dalam jumlah harta milik seseorang. Hal ini tumbuh dan berkembang dari dalam diri, dan dipelihara serta disimpan di dalam diri. Ambillah contoh kepuasan dan kesenangan yang diberikan oleh makanan. Seseorang yang lapar bisa memegang sejumlah uang atau banyak makanan di tangannya, namun kecuali dia makan makanan tersebut atau menukarkan uang itu dengan makanan yang bisa dimakan dan menikmatinya, dan makanan tersebut telah menjadi bagian dari dirinya, maka tidak akan ada rasa kepuasan yang dapat muncul. Sama halnya, kebahagiaan juga adalah sebuah pengalaman batin, ketenangan batin yang membangkitkan serta menyegarkan. Hal ini tidak bisa diperoleh dengan mengumpulkan halangan seperti mobil dan rumah, tanah dan emas, saham dan obligasi. Bagaimana bisa sebuah kotak uang menghilangkan rasa lapar atau buku tabungan memberikan kedamaian? 


- Divine Discourse, 3 Februari 1972

Kesenangan yang berasal dari materi berdurasi singkat dan memberikan penderitaan sebagai kebalikannya. 

Monday, July 14, 2025

Thought for the Day - 14th July 2025 (Monday)



God is everywhere. You are God. It is the agglomeration of body, mind, and senses which is preventing you from recognising your inherent divinity. You are covering yourself in this manner. You are the cause of your bondage through the body and mind. When you understand the nature of the body-mind complex, you will realise your true essence. It is enough if you develop the conviction that you and the Divine are one, Aham Brahmasmi (I am Brahman). Cultivate steadfast faith in this Divine oneness through love. That love will lead you to Self-realisation. Wherever you may be and whatever you do, regard yourselves as instruments of the Divine and act on that basis. You need not wait for a whole year to observe Guru Poornima. Treat every moment of your life as being intended for dedication to the Lord. This is the way to experience the Divine all the time, at all places. This is true Sakshatkara (Vision of the Divine). Serve all and love all. Firmly believe that the Divine is in everyone and constantly act on this belief. Only by continual practice can you develop this sacred attitude. 


- Divine Discourse, Jul 7, 1990

Your evil qualities have covered up your divinity. When you remove this covering, you will have the vision of your true form.


Tuhan adalah ada dimana-mana. Engkau juga adalah Tuhan. Kumpulan dari tubuh, pikiran dan indra yang menghalangimu dalam menyadari keilahian yang merupakan sifatmu yang sesungguhnya. Engkau menutupi dirimu sendiri dengan cara ini. Engkau adalah penyebab bagi perbudakanmu melalui tubuh dan pikiran. Ketika engkau memahami sifat komplek dari tubuh dan pikiran, engkau akan menyadari sifat dasar sejatimu. Adalah cukup jika engkau mengembangkan keyakinan bahwa engkau dan Tuhan adalah satu, Aham Brahmasmi (aku adalah Brahman). Tingkatkan keyakinan yang tidak tergoyahkan pada kesatuan keilahian melalui kasih. Kasih itu akan menuntunmu pada kesadaran Diri Sejati. Dimanapun engkau berada dan apapun yang engkau lakukan, anggaplah dirimu sebagai alat dari Tuhan dan bertindaklah sesuai dengan dasar pemahaman ini. Engkau tidak perlu menunggu sepanjang tahun untuk memaknai Guru Poornima. Perlakukan setiap saat dalam hidupmu sebagai sesuatu yang ditujukan dan didedikasikan pada Tuhan. Ini adalah cara untuk mengalami Tuhan sepanjang waktu, di setiap tempat. Ini adalah bentuk sejati dari Sakshatkara (pandangan ilahi). Layani semua dan kasihi semuanya. Miliki keyakinan yang teguh bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang dan lakukan perbuatan secara terus nenerus sesuai dengan keyakinan ini. Hanya dengan praktek secara berkesimabungan maka engkau dapat mengambangkan sikap suci ini. 


- Divine Discourse, 7 Juli 1990

Sifat-sifat jahatmu telah menutupi keilahian dalam dirimu. Ketika engkau melenyapkan penutup ini, engkau akan memiliki pandangan pada wujud sejatimu. 

Sunday, July 13, 2025

Thought for the Day - 13th July 2025 (Sunday)



You must all realise that the relationship between you and Me is not related only to the physical body. Thinking only of the physical relationship, you should not waste your life. The body is a passing thing. You should concentrate on the attainment of that which is permanent and beyond the limitations of time and space. You have seen for yourself and experienced the Divine here. You must carry with you this experience and enlarge it by contemplating on it internally. Here is an example. Thousands have assembled in this Poornachandra Hall. I have been conversing with you. How long can this last? Perhaps for two or three hours. Tomorrow you will all be returning to your respective places. After you go back, the memory of what you have experienced here, Swami’s discourse to you, and the presence of thousands of devotees in the Poornachandra Hall will be etched in your mind whenever you try to recall this day. It will be a lifelong possession for you. This is because you are carrying Me in your mind. Looking at things externally, the Poornachandra hall will be before you for only a short time. But you must retain permanently what you have seen with the outward-looking eyes. 


- Divine Discourse, Jul 24, 1983

Happiness derived from worldly objects is transient. The source or spring of bliss lies within one’s own being.


Engkau semuanya harus menyadari bahwa hubungan diantara dirimu dengan Aku tidak hanya terkait pada tubuh fisik semata. Engkau tidak boleh menyia-nyiakan hidupmu dengan hanya memikirkan hubungan fisik saja. Tubuh adalah bersifat fana dan akan berlalu. Engkau harusnya memusatkan pikiran pada pencapaian yang bersifat kekal dan melampaui batasan waktu dan ruang. Engkau telah melihat sendiri dan mengalami kehadiran Ilahi disini. Engkau harus membawa serta pengalaman ini dan serta memperluasnya dan merenungkannya secara mendalam di dalam batin. Sebagai contoh bagimu. Ribuan orang telah hadir di hall Poornachandra ini. Aku telah berbicara denganmu. Berapa lama hal ini dapat berlangsung? Mungkin selama dua atau tiga jam. Keesokan harinya saat engkau semua akan kembali ke tempatmu masing-masing. Setelah engkau kembali pulang, kenangan yang telah engkau alami disini, wejangan Swami untukmu, dan kehadiran ribuan bhakta di hall Poornachandra akan terukir dalam pikiranmu kapanpun engkau mencoba untuk mengingat hari ini. Pengalaman ini akan menjadi milikmu seumur hidup. Hal ini karena engkau membawa diri-Ku di dalam pikiranmu. Dilihat dari luar, hall Poornachandra hanya akan tampak dihadapanmu dalam waktu yang singkat. Namun engkau harus mengingat selamanya apa yang engkau telah lihat dengan pandangan matamu. 


- Divine Discourse, 24 Juli 1983

Kebahagiaan yang didapat dari objek-objek duniawi adalah bersifat sementara. Sumber atau mata air kebahagiaan terdapat dalam diri masing-masing. 


Saturday, July 12, 2025

Thought for the Day - 12th July 2025 (Saturday)



To eliminate the mind and remove the delusions from it, desires have to be controlled. But the sadhaks of today have not reduced their desires. It must be realised that selfishness and self-centeredness have to be got rid of. Selfishness is the root cause of all the afflictions plaguing man. If the world is to be transformed, we must begin with the individual. His evil traits have to be removed. He must fill himself with sacred thoughts. To start with, the individual must reform himself. Without the individual realising his true nature, all other accomplishments are of no avail. Man is exploring the most distant regions in space, but is not moving even an inch towards understanding his heart. Is this the journey man should undertake? He must turn the mind inwards. Turning the mind towards the external world can only breed sorrow. Enduring bliss can be got only by directing the mind towards God. That is the real sadhana. Without mental transformation, all other changes are meaningless. Without changing your qualities, you remain in the same state as before. Develop good qualities and sanctify yourself. 


- Divine Discourse, Jul 7, 1990

The water vapour produced by the sun becomes a cloud and hides the sun itself. Likewise, the thoughts arising in the mind conceal the Atma. 


Untuk melenyapkan pikiran dan menghilangkan khayalan darinya maka keinginan harus dikendalikan. Namun para peminat spiritual hari ini tidak mengurangi keinginan yang mereka miliki. Harus disadari bahwa sifat mementingkan diri sendiri dan terpusat pada diri sendiri harus dilenyapkan. Sifat mementingkan diri sendiri adalah akar penyebab dari semua penderitaan yang mengganggu manusia. Jika dunia dirubah maka kita harus mulai dari individu dengan menghilangkan sifat-sifat buruknya. Dia harus mengisi dirinya sendiri dengan gagasan-gagasan pemikiran yang suci. Untuk memulai langkah ini maka setiap individu harus mulai merubah dirinya sendiri. Tanpa seseorang menyadari sifat alaminya yang sejati, semua pencapaiannya lainnya menjadi sia-sia saja. Manusia saat sekarang sedang menjelajahi angkasa luar yang begitu jauh, namun tidak bergerak sedikitpun untuk memahami pikiran yang ada dalam dirinya. Apakah perjalanan ini yang harus dilakukan manusia? Manusia harus mengarahkan pikirannya ke dalam dirinya. Mengarahkan pikiran ke luar yaitu pada dunia di luar diri hanya menimbulkan penderitaan. Kebahagiaan abadi hanya bisa dicapai dengan mengarahkan pikiran kepada Tuhan. Itu adalah latihan spiritual (sadhana) yang sesungguhnya. Tanpa adanya perubahan mental, maka semua perubahan adalah tidak ada maknanya. Tanpa merubah sifat-sifat dalam diri kita, maka engkau masih tetap sama pada keadaan sebelumnya. Maka dari itu, kembangkanlah sifat-sifat yang baik dan sucikan dirimu sendiri. 


- Divine Discourse, 7 Juli 1990

Uap air yang dihasilkan oleh matahari menjadi awan dan menyembunyikan matahari itu sendiri. Sama halnya, gagasan pemikiran muncul dari pikiran menyembunyikan Sang Atma. 

Friday, July 11, 2025

Thought for the Day - 11th July 2025 (Friday)



There are two kinds of knowledge which man can seek in his quest for happiness. One is Lokajnana (worldly knowledge). This relates to knowledge of music and the fine arts, of the physical Universe, botany, chemistry, mathematics, and the like. All this knowledge is of use only for earning a living. All of it relates to matters which are ever changing and perishable. The other kind of knowledge is Brahmajnana (knowledge of the Supreme). This knowledge reveals that the origin, growth and dissolution of the Cosmos are due to Brahman (Supreme Reality). The Upanishads (Vedic metaphysical treatises) have described it as Akshaya (imperishable) Brahman. Man today needs this supreme knowledge. There are three steps leading to this knowledge. One is “Bhavam” (heartfelt feeling). The second is “Sadhana” (spiritual effort). The third is “Upasana” (contemplation). 


- Divine Discourse, Jul 24, 1983

You need a diamond to cut another diamond. To experience the Atma (Self), you require only Self-knowledge, Atma-jnanam. 


Ada dua jenis pengetahuan yang manusia dapat cari dalam pencariannya akan kebahagiaan. Pertama adalah pengetahuan duniawi (Lokajnana). Pengetahuan ini terkait dengan pengetahuan tentang musik dan seni rupa, alam semesta fisik, botani, kimia, matematika ,dan sejenisnya. Semua jenis pengetahuan ini hanyalah digunakan untuk mendapatkan nafkah. Semuanya ini terkait pada hal-hal yang senantiasa mengalami perubahan dan mudah hancur. Jenis pengetahuan lain adalah pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa (Brahmajnana). Pengetahuan ini mengungkapkan tentang asal mula, pertumbuhan dan peleburan kosmos yang disebabkan oleh Brahman (realitas yang tertinggi). Naskah suci Upanishad (kitab filsafat metafisika Weda) telah menjabarkannya sebagai Brahman Akshaya (Brahman yang abadi dan tidak terhancurkan). Manusia hari ini membutuhkan pengetahuan tertinggi ini. Ada tiga langkah menuju pada pengetahuan ini. Langkah pertama adalah “Bhavam” (perasaan sepenuh hati). Langkah kedua adalah “Sadhana” (latihan spiritual). Langkah ketiga adalah “Upasana” (kontemplasi). 


- Divine Discourse, 24 Juli 1983

Engkau membutuhkan sebuah berlian untuk memotong berlian lainnya. Untuk dapat mengalami Atma (Diri Sejati), engkau hanya membutuhkan Pengatahuan Diri Sejati atau Atma-jnanam. 

Thursday, July 10, 2025

Thought for the Day - 10th July 2025 (Thursday)



Guru Poornima is a name full of meaning. Poornima means the effulgent full moon. Guru means (Gu - ignorance; Ru - destroyer), he who removes the darkness and delusion from the heart and illumines it with the higher wisdom. The Moon and the mind are interrelated, as object and image. On this day, the Moon is full, fair and cool; its light is fresh, pleasant and peaceful. So the light of the mind too, must be pleasing and pure. This is the message of the day. In the firmament of your heart, the Moon is the mind. There are clouds there, thick and heavy – sensual desires and worldly activities, which mar your joy at the light of the Moon. Therefore, let the strong breeze of love scatter the clouds and confer on you the cool glory of moonlight. When devotion shines in full, the sky in the heart becomes a bowl of beauty and life is transformed into a charming avenue of Ananda. That beauty of heart, that Ananda (bliss) in life can be won through the mind, if the lesson of this day is remembered and realised! 


- Divine Discourse, Jul 29, 1969.

Worldly Gurus undergo change with the passage of time. God alone is changeless and He alone is your true Guru. 


Guru Poornima adalah sebuah nama yang penuh dengan makna. Poornima berarti kilauan cahaya bulan purnama. Guru berarti (Gu - ketidaktahuan; Ru - penghancur), dia yang melenyapkan kegelapan dan khayalan dari hati dan meneranginya dengan kebijaksanaan yang lebih luhur. Bulan dan pikiran adalah saling terkait, seperti halnya objek dan gambar. Pada hari ini adalah bulan penuh atau bulan purnama, cerah dan sejuk; cahayanya segar, menyenangkan dan penuh kedamaian. Jadi begitu juga dengan cahaya pikiran, haruslah bersifat menyenangkan dan murni. Ini adalah pesan dari perayaan Guru Poornima hari ini. Dalam cakrawala hatimu, bulan adalah pikiran. Ada awan-awan yang disana yang tebal dan berat berupa keinginan sensual dan aktifitas duniawi yang mana merusak suka citamu pada cahaya rembulan. Maka dari itu, biarkan hembusan angin kasih yang kuat menghamburkan awan-awan tersebut dan memberikanmu kesejukan cahaya rembulan. Ketika bhakti bersinar secara penuh, langit di dalam hatimu menjadi sebuah mangkuk keindahan dan hidup dirubah menjadi jalan indah dari Ananda. Keindahan hati tersebut, Ananda (kebahagiaan) dalam hidup dapat dicapai melalui pikiran, jika hikmah dari perayaan guru Purnima hari ini diingat dan disadari! 


- Divine Discourse, 29 Juli 1969.

Guru-guru duniawi mengalami perubahan sesuai berjalannya waktu. Hanya Tuhan yang tidak berubah dan hanya Tuhan adalah gurumu yang sejati.

Tuesday, July 8, 2025

Thought for the Day - 8th July 2025 (Tuesday)



A happy atmosphere should prevail in the home at all times for children to grow healthy and intelligently. Long drawn faces are not conducive to healthy growth. Why should you have a sorrowful demeanour? Difficulties do come often, be it anybody. But, you should know that they are like passing clouds. Why should you lose cheer at each and every incident? It is only a state of mind. There is nothing that remains permanent in this life. Let us think only of joyful moments of the past. Never brood over sorrowful events. Be cheerful in the present, filling the mind always with noble thoughts. Start the day with love, spend the day with love, fill the day with love, and end the day with love. You should never forget this most important aspect of love. Right from dawn to dusk, you must maintain a cheerful disposition. Take your fill of happiness and make others happy with a virtuous demeanour. 


- Divine Discourse, Jan 21, 1988.

The mind that is morose harbours nothing but malice and jealousy. Divinity cannot reside in such unholy minds. 


Sebuah suasana yang bahagia harus meliputi seisi rumah sepanjang waktu untuk pertumbuhan anak-anak yang sehat dan cerdas. Raut wajah yang patah semangat dan sedih adalah tidak bersifat kondusif bagi pertumbuhan yang sehat. Mengapa engkau memiliki sikap yang penuh kesedihan? Kesulitan sering datang kepada siapapun juga. Namun, engkau harus mengetahui bahwa semua kesedihan itu adalah awan-awan yang berlalu. Mengapa engkau sampai harus kehilangan kegembiraan dalam setiap kejadian? Hal ini hanyalah keadaan pikiran. Tidak ada satupun yang tetap kekal di dalam hidup ini. Marilah kita memikirkan hanya momen-momen indah di masa lalu. Jangan pernah tenggelam dalam merenungkan keadaan yang menyedihkan. Jadilah penuh suka cita di masa sekarang, selalu isilah pikiran dengan gagasan-gagasan yang mulia. Awali hari dengan kasih, jalani hari dengan kasih, isilah hari dengan kasih dan akhiri hari dengan kasih. Engkau tidak boleh melupakan aspek yang paling penting ini dari kasih. Mulai dari fajar menyingsing sampai matahari terbenam, engkau harus tetap menjaga karakter yang ceria. Raihlah kebahagiaanmu dan buatlah orang lain bahagia dengan perilaku yang berbudi luhur. 


- Divine Discourse, 21 Januari 1988.

Pikiran yang murung tidak mengandung apapun kecuali kedengkian dan kecemburuan. Keilahian tidak bisa bersemayam dalam pikiran yang tidak suci seperti itu.  

Sunday, July 6, 2025

Thought for the Day - 6th July 2025 (Sunday)



Every human being is an embodiment, repository, and vehicle of ananda (bliss). The awareness of this ananda is the goal of man, the consummation of human life. But, man seeks pleasure and happiness from objects through the senses and attains the low material ananda, not the supreme ananda he ought to win. It must be said that the ananda attained through the objective world or through subjective means is only a fractional expression of the ananda which the mergence in Brahman (Supreme Reality) grants. We speak of hot water, though heat is not a quality of water; fire has given it the heat. So too, objective ananda or subjective ananda is rendered so, through the grace of Brahmanandam (Supreme Divine Bliss). Man prides himself that he has earned ananda himself by his effort. It is sugar that makes the bland globules of flour into sweet laddus. The stars are proud that they shed light on a darkened world but the bright moonlight renders starlight too faint to be noticed. The moon’s pride too, is humbled when the sun illumines the sky. Brahmananda is the Sun. This does not mean that one should ignore starlight and moonlight or Vishaya ananda and Vidya ananda — the bliss derived from nature and from spiritual experiential knowledge. They are steps, stages, samples. While valuing them as such, the goal of Brahmananda has to be relentlessly pursued. 


- Divine Discourse, Jul 25, 1983.

Ananda is the innate nature of Man. But, the pity is, he is searching for it everywhere except where it is available. 


Setiap manusia adalah perwujudan, tempat penyimpanan, wahana dari ananda (kebahagiaan). Kesadaran pada ananda ini adalah tujuan dari manusia dan merupakan penyempurnaan dari hidup manusia. Namun, manusia mencari kesenangan dan kenikmatan dari objek-objek melalui indria serta meraih ananda material rendahan, dan bukan ananda tertinggi yang harusnya manusia dapatkan. Harus dikatakan bahwa ananda yang didapat melalui dunia objektif atau melalui sarana subjektif hanyalah merupakan sebagian kecil dari ungkapan ananda yang diberikan dari penyatuan dengan Brahman (Kenyataan sejati yang tertinggi). Saat kita berbicara tentang air panas, walaupun panas itu bukanlah kualitas dari air; namun api telah memberikan air itu panas. Demikian pula, jenis ananda yang bersifat objektif dan subjektif, adalah berasal dari Brahmanandam (kebahagiaan Ilahi tertinggi). Manusia bangga pada dirinya sendiri bahwa dia telah mendapatkan ananda dengan usahanya sendiri. Adalah gula yang membuat tepung yang hambar menjadi laddu yang manis. Bintang-bintang merasa bangga ketika memberikan cahaya dan bersinar saat dunia gelap, namun cahaya terang dari bulan menjadikan cahaya bintang tidak terlihat. Kebanggaan bulan juga menjadi redup ketika cahaya matahari menerangi dunia. Brahmananda adalah matahari. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang boleh mengabaikan cahaya bintang dan cahaya rembulan atau Vishaya ananda dan Vidya ananda -- kebahagiaan yang didapat berasal dari alam dan dari pengalaman pengetahuan spiritual. Itu semuanya adalah langkah-langkah, tahapan-tahapan, contoh-contoh. Sambil menghargai semuanya itu, tujuan akhir dari Brahmananda harus dikejar tanpa henti. 


- Divine Discourse, 25 Juli 1983.

Ananda adalah sifat alami bawaan manusia. Namun, sangat disayangkan manusia mencarinya kemana-mana kecuali di tempat yang tersedia. 

Saturday, July 5, 2025

Thought for the Day - 5th July 2025 (Saturday)



Dedication or Prapatti means total surrender. There is a formidable force that stands between man and God like a limiting wall. This power that is separating the devotee from God is the ‘ego’. Only when we succeed in destroying the ego can we merge into Divinity. First, we must be able to surrender this ego to God. Prapatti means surrendering of body, mind, intellect, awareness, and senses, they being dependent on the ego. Money, might, caste, education, beauty, kingdom, penance, and arrogance are all related to ego. Together or individually, they are comprised of ego. Among them, pride in wealth and education are much worse. There are medicines for all kinds of diseases. But the disease of ego cannot be cured by any kind of medicine. There is only one medicine that is capable of subduing this disease of ego; that is Divinity. No other medicine except Divinity is capable of curing this formidable disease. 


- Divine Discourse, Jan 21, 1988.

The vision of the inner Atma will not be revealed to the spiritual aspirant as long as one’s ego continues to exist 


Dedikasi atau Prapatti mengandung makna berserah diri sepenuhnya. Ada sebuah kekuatan besar yang berdiri diantara manusia dan Tuhan seperti sebuah tembok pembatas. Kekuatan ini yang memisahkan bhakta dari Tuhan yang disebut dengan ‘ego’. Hanya ketika kita berhasil menghancurkan ego ini maka kita dapat menyatu ke dalam keilahian. Pertama-tama, kita harus mampu untuk menyerahkan ego kita pada Tuhan. Prapatti berarti menyerahkan tubuh, pikiran dan kecerdasan, kesadaran dan indra, yang semuanya ini bergantung pada ego. Uang, kekuasaan, kasta, pendidikan, kecantikan, kerajaan, penebusan dosa, dan arogansi semuanya terkait dengan ego. Baik secara bersama-sama atau secara terpisah semuanya terdiri dari ego. Diantara semuanya itu, kesombongan pada kekayaan dan pendidikan adalah yang paling buruk. Ada obat untuk segala jenis penyakit. Namun untuk penyakit ego tidak bisa disembuhkan oleh obat jenis apapun. Hanya ada satu obat yang mampu untuk menaklukkan penyakit ego ini; itu adalah keilahian. Tidak ada obat lain kecuali keilahian yang mampu menyembuhkan penyakit yang dashyat ini. 


- Divine Discourse, 21 Januari 1988.

Penglihatan terhadap Atma di dalam diri tidak akan terungkapkan pada peminat spiritual selama egonya masih ada. 

Friday, July 4, 2025

Thought for the Day - 4th July 2025 (Friday)



God is present in all human beings. All heads of all human beings in this world are God’s own heads, verily. Hence, God is described as Viratasvarupa (embodiment of cosmic Divinity). His is the cosmic form. Each one in that cosmic form has a different form. However, God is immanent in every form. Krishna declared in the Bhagavad Gita, Mamaivamsho Jivaloke Jivabhutah Sanatanah (the eternal Atma in all beings is a part of My Being). I alone am present in each one of you. You are not different from Me. Do not entertain any doubts or differences of opinion in this regard. Strengthen your love, that is the proper Sadhana. If only the fruit of love in your heart is ripened, the juice of that fruit can be shared with one and all. Hence, let that fruit of love ripen in your heart first. If only you fill your heart with pure love, that love can be shared with all. All people then will become embodiments of love. Then, there will be no scope at all for hatred and violence in the world. 


- Divine Discourse, Jul 28, 2007.

People admire the beauty of Nature, but are not aware of the beauty in their hearts. 


Tuhan bersemayam di dalam semua umat manusia. Sejatinya, semua kepala dari setiap manusia di dunia adalah kepala Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Tuhan disebutkan sebagai Viratasvarupa (perwujudan keilahian kosmik). Wujud-Nya adalah wujud kosmik. Setiap orang yang dalam wujud kosmik itu memiliki wujud yang berbeda. Bagaimanapun juga, Tuhan meresapi dalam setiap wujud. Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad Gita, Mamaivamsho Jivaloke Jivabhutah Sanatanah (Atma yang bersifat abadi ada dalam semua makhluk adalah bagian dari diri-Ku). Aku sendiri yang ada dalam dirimu semuanya. Engkau tidaklah berbeda dari diri-Ku. Jangan memberikan ruang bagi keraguan atau perbedaan pendapat dalam hal ini. Perkuat kasihmu, itu adalah Sadhana sesungguhnya. Jika buah kasih di dalam hatimu sudah matang maka sari buah itu dapat dibagi dengan semuanya. Karena itu, jaga agar buah kasih itu matang terlebih dahulu di dalam hatimu. Apabila engkau mengisi hatimu dengan kasih yang murni, maka kasih itu dapat dibagi dengan semuanya. Semua orang kemudian akan menjadi perwujudan kasih. Kemudian, tidak akan ada lagi ruang bagi kebencian dan kekerasan di dunia. 


- Divine Discourse, 28 Juli 2007.

Manusia mengagumi keindahan alam, namun manusia tidak menyadari keindahan dalam hati mereka. 

Thursday, July 3, 2025

Thought for the Day - 3rd July 2025 (Thursday)



As soon as we wake up in the morning, we should cleanse our mouth. The inner and outer sides of the teeth should be brushed well. The surface of the tongue should be cleaned thoroughly. For the mouth is the entrance for all diseases. While talking to each other, we should be cautious of unpleasant odours. Health should thus be protected through hygiene. Not only this, each working part of the body should be fit and robust. We should always be aware of the truth that Divinity is inherent in each limb and organ of the body. That is why the Vedas extol God as Angirasa, the essence in the limbs. Each part of the body has its intrinsic characteristic goodness. You should learn from the Mahabharata about the strength of the Indians, who protected their health in this manner. At the time of the great war, Bhishma’s age was 115 years, and he was the commander-in-chief. Similarly, Krishna was 86 and Arjuna was 84. Such were the mighty warriors of those days who lived with health and happiness. Thus, by preserving health, the men and women of those times were able to be exemplars of many ideals to the nation. They ate and slept on time. Ate lightly; never partook of anything out of schedule. 


- Divine Discourse, May 27, 2002

Wealth does not consist of only money; it consists of good health, good qualities, purity and cleanliness also.


Saat kita bangun di pagi hari, kita harus membersihkan mulut kita. Bagian dalam dan luar gigi harus digosok dengan baik. Permukaan dari lidah harus dibersihkan secara menyeluruh. Karena mulut adalah pintu masuk dari semua penyakit. Pada saat lagi berbicara dengan orang lain, kita harus berhati-hati dengan bau mulut yang tidak sedap. Maka dari itu kesehatan harus dilindungi melalui kebersihan. Tidak hanya ini, setiap bagian tubuh yang bekerja harus dalam keadaan sehat dan kuat. Kita harus selalu sadar pada kebenaran bahwa keilahian melekat pada setiap bagian anggota tubuh. Itulah sebabnya mengapa anggota tubuh dalam Weda disebut dengan Angirasa, esensi dari anggota tubuh. Setiap bagian dari tubuh memiliki karakteristik kebaikan yang hakiki. Engkau harus belajar dari epos Mahabharata tentang kekuatan dari masyarakat India yang melindungi kesehatan mereka dengan cara ini. Pada saat perang besar berlangsung, usia dari Bhishma adalah 115 tahun dan dia adalah panglima perang. Sama halnya dengan Sri Krishna yang berusia 86 tahun dan Arjuna yang berusia 84 tahun. Mereka semuanya adalah prajurit gagah perkasa pada waktu itu yang hidup dengan kesehatan dan kebahagiaan. Jadi, dengan menjaga kesehatan maka masyarakat pada waktu itu mampu menjadi teladan bagi banyak bangsa. Mereka makan dan tidur tepat waktu. Makan sedikit-sedikit; tidak pernah makan sesuatu yang tidak sesuai dengan jadwal. 


- Divine Discourse, 27 Mei 2002

Kekayaan tidak hanya terkait dengan uang; kekayaan juga terkait dengan kesehatan yang baik, sifat yang baik, dan juga kesucian serta kebersihan.

Wednesday, July 2, 2025

Thought for the Day - 2nd July 2025 (Wednesday)



All people in this world love someone or the other. However, there are differences in such love. The students love their fellow students. The bodies love other bodies. God is present in this body as well as the other body. Both are embodiments of divinity. The one God is present in all bodies. We must love every human being. Love all, Serve all, since God is present in all human beings. There is no place in this universe where God is not present. God is present in the sky, in the water, in the sound and in the light. Thus, everything in this universe is the embodiment of divinity. We forsake such omnipresent divinity and worship God in the form of some idol in a temple. No doubt, you can worship those idols. Nothing wrong in that. But, you must realise the truth that the same God in that idol is present in every human being, nay, in every living being. I don’t say it is wrong to worship those idols. But you are yourself God. Consider yourself as God first, and then begin to see the same God in every living being.


- Divine Discourse, Jul 28, 2007.

If you can penetrate behind the stone (idol) and see the divine basis, how much easier it is to see the Lord who resides in the heart of every living being? 


Semua orang di dunia ini mengasihi seseorang atau yang lainnya. Bagaimanapun juga, ada perbedaan dalam bentuk kasih seperti itu. Para pelajar mengasihi teman mereka. Tubuh mengasihi tubuh yang lainnya. Tuhan bersemayam dalam tubuh ini dan juga dalam tubuh yang lainnya. Keduanya adalah perwujudan dari keilahian. Satu Tuhan ada di dalam semua tubuh. Kita harus mengasihi setiap manusia. Kasihi semuanya, layani semuanya, karena Tuhan bersemayam di dalam semua manusia. Tidak ada tempat di semesta ini yang tidak dipenuhi oleh Tuhan. Tuhan ada di langit, di dalam air, dalam suara dan dalam cahaya. Jadi, segala sesuatu di semesta ini adalah perwujudan dari keilahian. Kita meninggalkan keilahian yang ada dimana-mana dan memuja Tuhan dalam wujud beberapa arca di tempat suci. Tidak diragukan, engkau boleh memuja arca-arca suci tersebut. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, engkau harus menyadari kebenaran bahwa Tuhan yang sama dalam arca suci itu juga ada dalam diri setiap manusia, bahkan dalam setiap makhluk hidup. Aku tidak mengatakan bahwa memuja arca suci itu adalah salah. Namun dirimu sendiri adalah Tuhan. Sadari dirimu sendiri adalah Tuhan terlebih dahulu, dan kemudian mulai melihat Tuhan yang sama dalam setiap makhluk hidup. 


- Divine Discourse, 28 Juli 2007.

Jika engkau dapat menembus batu (arca) dan melihat dasar keilahiannya, alangkah lebih mudahnya untuk melihat Tuhan yang bersemayam dalam hati setiap makhluk hidup? 

Tuesday, July 1, 2025

Thought for the Day - 1st July 2025 (Tuesday)



The sun shines brilliantly when there is no obstruction, but when we build a house and fit it with doors and windows and close all of them, there is only darkness, but no light inside that house. When we want the Sun’s light to penetrate into the house, either of two things must be done by us. We must remove the top, that is, we must get rid of deha bhranti (the illusion that one is the body). We demolish the top, which is made of ahamkara or ego and mamakara or attachment. Alternatively, we can fit a mirror and see that the Sun is reflected into the house. It is then possible to spread light in the dark interior of the house by moving the mirror. But, does light come from the Sun or the mirror? The mirror is inert and not luminous by nature. The moon is also like a mirror, it has no brightness of its own. The light of the sun is reflected on the surface of the moon, and therefore, the light of the moon is also cool and pleasant. Our Vedas teach that the moon is like the mind, which reflects the glory of the soul! If the light of Atma is reflected in the mirror of intelligence, then the entire dark mind may shine with light!


- The Path of Devotion, Summer Showers 1972

Acting under the dictates of the mind brings disaster; acting under the instructions of the illumined buddhi (intellect) is desirable.


Matahari bersinar dengan cemerlang ketika tidak ada halangan, namun ketika kita membangun rumah dan memasang pintu serta jendela lalu menutup semuanya, maka hanya ada kegelapan dalam rumah itu, tanpa ada cahaya sama sekali. Ketika kita ingin cahaya matahari untuk bisa masuk ke dalam rumah, kita harus melakukan salah satu dari dua hal. Kita harus melepaskan atap rumahnya, yaitu kita harus melenyapkan deha bhranti (khayalan bahwa seseorang adalah tubuh). Kita menghilangkan atap yang mana terbuat dari ahamkara atau ego serta mamakara atau keterikatan. Sebagai alternatif, kita dapat memasang sebuah cermin dan melihat cahaya matahari terpantul lewat cermin ke dalam rumah. Dengan demikian kita dapat menyebarkan cahaya pada bagian gelap yang ada di rumah dengan menggerakkan cermin tersebut. Namun pertanyaannya adalah apakah cahaya itu berasal dari cermin atau dari matahari? Cermin adalah tidak aktif dan tidak memiliki cahaya secara alami. Bulan juga seperti halnya cermin dimana tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya dari matahari dipantulkan pada permukaan bulan, dan maka dari itu, cahaya bulan juga sejuk dan menyenangkan. Dalam Weda mengajarkan bahwa bulan adalah seperti pikiran, yang mana memantulkan kemuliaan dari jiwa! Jika cahaya Atma dipantulkan pada cermin kecerdasan, kemudian seluruh pikiran gelap dapat diterangi dengan cahaya!


- The Path of Devotion, Summer Showers 1972

Bertindak dibawah kendali pikiran akan membawa malapetaka; bertindak dibawah tuntunan buddhi (kecerdasan) yang bersinar adalah hal yang patut diinginkan. 

Monday, June 30, 2025

Thought for the Day - 30th June 2025 (Monday)



Vedas assert that acquiring Jnana (wisdom) alone confers the eternally blissful freedom or liberation (moksha), which is the panacea for all ills, troubles and travails. To acquire this Jnana, there are many paths, and the chiefest of them is the path of Bhakti (love directed towards God). That is the reason why even great and noble men such as Vashishtha, Narada, Vyasa, Jayadeva, Gouranga adopted the path of Bhakti. As the oil is the basis to the flame in the lamp, devotion towards God is the basis to the flame of Jnana (wisdom). The heavenly tree of the joy of Jnana thrives on the refreshing waters of Bhakti. Understand this well! It is for this reason that Lord Krishna, who is the personification of love and who is saturated with the quality of mercy, declared in the Gita: Bhaktya mam abhijnanati (I am known by the means of Bhakti). Why was this declaration made? Because, in the path of Bhakti, there are no dangers. Young and old, high and low, man and woman, all are entitled to tread it.


- Ch 6, Jnana Vahini.

Realisation, which is not possible through logic, offering sacrifices, and through discussion and other disciplines, can be achieved only through love. 


Weda menegaskan bahwa hanya dengan memperoleh Jnana (kebijaksanaan) yang bisa memberikan kebebasan atau pembebasan (moksha) yang abadi dan penuh kebahagiaan, yang merupakan obat yang ampuh untuk semua penyakit berupa masalah dan penderitaan. Untuk bisa mendapatkan Jnana ini, ada banyak jalan dan jalan yang paling utama dari semuanya adalah jalan Bhakti (kasih yang diarahkan pada Tuhan). Itu adalah alasan mengapa bahkan jiwa-jiwa yang agung seperti Vashishtha, Narada, Vyasa, Jayadeva, Gouranga menggunakan jalan Bhakti. Seperti halnya minyak yang menjadi dasar dari nyala api pada lampu, bhakti yang diarahkan pada Tuhan adalah dasar dari nyala api kebijaksanaan (Jnana). Pohon surgawi kebahagiaan Jnana tumbuh subur dari air Bhakti yang menyegarkan. Pahamilah hal ini dengan baik! Adalah untuk alasan ini dimana Sri Krishna yang merupakan personifikasi dari kasih dan yang dipenuhi dengan kualitas belas kasihan, menyatakan dalam Bhagavad Gita: Bhaktya mam abhijnanati (Aku dapat diketahui dengan cara Bhakti). Mengapa penyataan ini disampaikan? Karena dalam jalan Bhakti, tidak ada bahaya. muda dan tua, tinggi atau rendah, laki-laki dan perempuan, semuanya berhak untuk menapaki jalan bhakti.


- Ch 6, Jnana Vahini.

Kesadaran diri sejati – yang tidak mungkin dicapai dengan logika, persembahan, diskusi dan disiplin lainnya, hanya dapat dicapai melalui kasih.