Friday, January 31, 2014

Thought for the day - 31st January 2014 (Friday)

Every one of you must ask yourself, ‘What is the purpose I have come for?’ If it is to study, are you following the path and learning sincerely and thoroughly? Never forget the purpose of your existence. Humility is the very core of education, and its the most important aspect. Ishwar Chandra Vidyasagar, a renowned educationist in India grew up amidst many challenges. He lost his father, and his mother raised him with a lot of difficulties. She taught very important lessons to her son. She used to say, “Child, education is not as important as virtues. For the sake of education, do not make the mistake of giving up virtues. In a difficult situation, it is even okay to give up education if it entails compromising on virtues. Good qualities are the most important for any person. Humility is the true ornament of an educated person.”

Setiap orang dari kalian harus bertanya pada dirimu sendiri, "Apa tujuan kedatangan saya?" Jika itu adalah untuk belajar, apakah engkau mengikuti jalan dan belajar sungguh-sungguh dan seksama? Jangan pernah melupakan tujuan keberadaanmu. Kerendahan hati adalah inti dari pendidikan, dan merupakan aspek yang paling penting. Ishwar Chandra Vidyasagar, seorang pendidik terkenal di India hidup di tengah-tengah banyak tantangan. Dia kehilangan ayahnya, dan ibunya membesarkannya dengan banyak kesulitan. Dia mengajarkan pelajaran yang sangat penting untuk anaknya. Dia sering berkata, "Anakku, pendidikan tidak sepenting kebajikan. Demi pendidikan, jangan membuat kesalahan dengan meninggalkan kebajikan. Bahkan dalam situasi yang sulit-pun, kita boleh meninggalkan pendidikan jika memerlukan mengorbankan kebajikan. Kualitas yang baik adalah yang paling penting bagi setiap orang. Kerendahan hati adalah ornamen sejati dari orang yang berpendidikan. " (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Chapter 1)

-BABA

Thursday, January 30, 2014

THought for the Day - 30th January 2014 (Thursday)


Food is considered God, as it is the source of a person’s life, body, mind, and character. Eat only what you need. Do not be greedy and take more than you can eat and waste the rest. Wasting food is a great sin; your surplus can feed another stomach. Even a major part of the food you consume, the gross part, is thrown out as waste matter. A minute amount of the food, which is the subtle part, is assimilated by the body and flows as blood. And a minuscule amount, which is the subtlest part of the food, makes up your mind. Therefore mind is the reflection of the food consumed. When demonic tendencies arise in our minds, know that it is from the food we consume. To receive real nourishment, pay attention to the quality of food that you eat and let it be very pure, clean, sanctified, and Satwik.

Makanan adalah Tuhan, karena merupakan sumber kehidupan, badan jasmani, pikiran, dan karakter seseorang. Makanlah hanya apa yang engkau butuhkan. Jangan serakah dan mengambil lebih dari yang engkau bisa makan lalu membuang sisanya. Membuang-buang makanan adalah dosa besar; kelebihan makanan pada dirimu dapat memberi makan orang lain. Bahkan sebagian besar dari makanan yang engkau konsumsi, merupakan bagian kasar, dikeluarkan sebagai sampah. Sejumlah kecil makanan, yang merupakan bagian halus, diasimilasi oleh badan dan mengalir sebagai darah. Dan jumlah yang sangat kecil, yang merupakan bagian paling halus dari makanan, membuat pikiranmu. Oleh karena itu pikiran adalah refleksi dari makanan yang di konsumsi. Ketika kecenderungan buruk muncul dalam pikiran kita, ketahuilah bahwa itu berasal dari makanan yang kita konsumsi. Untuk mengkonsumsi makanan yang benar, engkau hendaknya memperhatikan kualitas makanan yang engkau makan dan makanan tersebut hendaknya murni, bersih, disucikan, dan Satwik. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Chapter 2)
-BABA

Wednesday, January 29, 2014

Thought for the Day - 29th January 2014 (Wednesday)

Jealousy will make a person see bad, even in the good! It will bring about your destruction in many ways. Root it out of you at the earliest. If not, the next one to come is ego. Ego destroys discrimination, drives out human qualities, and turns you into a demon. Doubt, jealousy, ego and lack of faith are four very strong evil qualities. Even if any one of those four are present in anyone, without doubt, they will be ruined over time. Develop good conduct and earnestly practice good behavior as much as possible, then you will attain the status of a noble person over time. Never do any work with the desire for money or any other benefit. Expecting the result of work is greediness. The fruit of the action depends upon the action itself. Can you expect 100/100 even before you start studying? Instead of studying keeping marks in view, you must study because it is your duty, and do it with total dedication.

Kecemburuan akan membuat seseorang melihat hal yang buruk, bahkan pada sesuatu yang baik! Dalam banyak hal, ini akan membawa kehancuran bagimu. Cabutlah sifat ini dari awal. Jika tidak, berikutnya akan muncul ego. Ego menghancurkan diskriminasi, mengusir kualitas manusia, dan membuatmu menjadi setan. Keraguan, kecemburuan, ego, dan kurangnya keyakinan adalah empat kualitas buruk yang sangat kuat. Bahkan jika salah satu dari empat sifat tersebut ada pada siapa saja, tanpa diragukan lagi, orang tersebut akan hancur pada waktunya. Kembangkanlah perilaku yang baik dan sungguh-sungguh mempraktikkan perilaku yang baik sebanyak mungkin, maka engkau akan mencapai status orang yang mulia pada waktunya. Jangan melakukan pekerjaan dengan keinginan untuk uang atau manfaat lainnya. Mengharapkan hasil kerja adalah keserakahan. Buah dari tindakan tergantung pada tindakan itu sendiri. Dapatkah engkau mengharapkan 100/100 bahkan sebelum engkau mulai belajar? Daripada belajar hanya untuk mengejar nilai, engkau harus belajar karena itu adalah kewajibanmu, dan lakukanlah itu dengan penuh dedikasi. (Divine Discourse, “My Dear Students”, Vol 2, Chapter 1)

-BABA

Tuesday, January 28, 2014

Thought for the Day - 28th January 2014 (Tuesday)


People are deluded by unlimited desires. They live in a dream world, forgetting the Supreme Consciousness. It is very important to keep desires under control and place a ceiling on them. Instead of inordinately spending for our own pleasure, we should offer money for the relief of the poor and needy. Do not make the mistake of thinking that giving away your money for good and noble purposes is all that is needed to practice ceiling on desires. While giving to the needy is good, it is equally important that you do not allow your own desires to continue to multiply; both should happen. You must curtail your desires, as materialistic desires lead to a restless and disastrous life. Desires are a prison. You can be freed only by restraining your wants. Limit them to only what you truly need in life. This is the real meaning of ‘Ceiling on Desires’.

Orang-orang terperdaya oleh keinginan-keinginan yang tidak terbatas. Mereka hidup di dunia mimpi, melupakan Kesadaran Agung. Sangat penting untuk mengendalikan keinginan dan melakukan pembatasan keinginan. Daripada berbelanja berlebihan untuk kesenangan kita sendiri, kita harus memberikan uang untuk membantu mereka yang miskin dan membutuhkan. Jangan membuat kesalahan dengan berpikir bahwa memberikan uang untuk tujuan yang baik dan mulia adalah semua yang diperlukan untuk mempraktikkan pembatasan keinginan. Walaupun memberikan kepada yang membutuhkan adalah merupakan perbuatan yang baik, adalah sama pentingnya bagimu untuk tidak memperbolehkan keinginanmu sendiri untuk terus bertambah banyak, keduanya harus terjadi. Engkau harus mengurangi keinginanmu, karena keinginan materialistis menyebabkan engkau gelisah dan dapat menimbulkan malapetaka. Keinginan dapat diibaratkan sebagai penjara. Engkau dapat bebas hanya dengan menahan keinginanmu. Batasi keinginamu hanya pada apa yang benar-benar engkau butuhkan dalam hidup. Inilah arti sebenarnya dari Ceiling on Desires 'pembatasan keinginan’. (Divine Discourse, Nov 21, 1988)
-BABA

Monday, January 27, 2014

Thought for the Day - 27th January 2014 (Monday)


Satwik food must be less spicy, less salty and must have less amount of tamarind (sourness). Not merely that, it must not be made up of excess oil, must be fresh and must not be stale (food prepared in the morning should not be taken in the evening). This is Satwik food. Some people consider milk as Satwik. No doubt, milk, curds and fruits are Satwik in nature, but when consumed in excessive amounts, they become Tamasik and make one dull and sleepy. When we take curds in excess, we can become Tamasik. Hence reduce having milk or curds in large quantities. It is good to mix one part of water with one part of milk. The food you eat must have been earned and prepared through the right means and should be offered to God before partaking. Only then Satwik feelings will emanate in man. If the food is earned through unrighteousness means, it will generate wicked feelings.

Makanan satwik harus memiliki rasa yang tidak pedas, tidak asin, dan tidak asam. Bukan hanya itu, makanan satwik harus tidak mengandung minyak yang berlebihan, harus segar dan tidak boleh basi (makanan yang disiapkan di pagi hari hendaknya jangan di makan di malam hari). Inilah yang disebut  makanan satwik. Beberapa orang menganggap susu sebagai makanan yang satwik. Tidak diragukan lagi, susu, dadih, dan buah-buahan adalah makanan satwik, tetapi ketika dikonsumsi berlebihan, itu menjadi tamasik dan membuat seseorang bodoh dan mengantuk. Ketika kita memakan dadih secara berlebihan, kita bisa menjadi tamasik. Oleh karena itu engkau hendaknya mengurangi konsumsi susu atau dadih dalam jumlah besar. Sebaiknya campurlah satu bagian air dengan satu bagian susu. Makanan yang engkau makan harus telah diterima dan dipersiapkan melalui sarana yang tepat dan harus dipersembahkan kepada Tuhan sebelum engkau menyantapnya. Maka setelah itu perasaan satwik akan muncul dalam diri manusia. Jika makanan diperoleh melalui cara-cara yang tidak benar, maka akan menghasilkan perasaan yang buruk. (Divine Discourse, 'My Dear Students', Vol 2, Chapter 2).
.-BABA

Sunday, January 26, 2014

Thought for the Day - 26th January 2014 (Sunday)

The life of Shakuni in Mahabharatha is a classical case study. He was the epitome of bad company and bad thoughts. He was not only the maternal uncle of Duryodhana, but also his confidant. The ego of Duryodhana reached a climax, on account of the counsel of Shakuni. Ego does not have the power of discrimination. Duryodhana entered into bad actions and followed the bad counsel given to him. Shakuni is well known for his evil ideas, Duryodhana for his egoism and Dushasana for his wrong behavior. Karna was a noble one. But on account of the bad company he was in, he was ready to perform bad deeds. Hence the ancient quote, “Bad association causes bad acts”. Karna became notorious, because of his evil association. These are the lessons Mahabharatha holds out for us. You must be aware of the above and take adequate care.

Kehidupan Shakuni dalam Mahabharatha adalah studi kasus klasik. Ia adalah lambang teman yang buruk dan pikiran buruk. Dia tidak hanya paman dari pihak ibu dari Duryodana, tetapi juga orang kepercayaannya. Ego Duryodhana mencapai klimaks, karena nasihat Shakuni. Ego tidak memiliki kemampuan diskriminasi. Duryodhana melakukan tindakan buruk dan mengikuti nasihat buruk yang diberikan kepadanya. Shakuni terkenal karena ide-idenya yang jahat, Duryodhana terkenal karena egoismenya dan Dursasana karena perilakunya yang salah. Karna adalah seorang yang mulia. Tetapi karena ia berada dalam lingkungan pergaulan yang buruk, ia melakukan perbuatan buruk. Oleh karena itu kutipan kuno, " pergaulan buruk menyebabkan tindakan buruk". Karna menjadi terkenal, karena pergaulan buruknya. Ini adalah pelajaran dari Mahabharatha yang hendaknya menjadi pegangan kita bersama. Engkau harus menyadari pelajaran di atas dan memperhatikannya dengan baik. (Divine Discourse, 'My Dear Students', Vol 2, Chapter 1)

-BABA

Saturday, January 25, 2014

Thought for the Day - 25th January 2014 (Saturday)


For anyone to remember the Soul (Atma), food is very essential. From Divine Soul (Brahman) Ether emerged. From Ether came Air. From Air was born Fire. And from Fire came Water. From Water, Earth emerged, and from the Earth, various plants and food. Finally from food, human beings evolved. To attain union with the Divine, one has to cross all these stages and take the return journey. The life principle present within our gross body, is called Prana. Within the sheath of Prana (Pranamaya Kosha), is present the sheath of mind (Manomaya Kosha) and within it, the subtler sheath of intellect (Vijnanamaya Kosha). Latent in the Vijnanamaya Kosha is the sheath of bliss (Ananadamaya Kosha). Many people stop journeying after reaching the Mind sheath. To attain bliss you must proceed onward, beyond food, mind and the sheath of the intellect.

Bagi siapa saja untuk mengingat Jiwa (Atma), makanan sangat penting. Dari Jiwa Ilahi (Brahman) muncul Eter. Dari Eter muncul Air. Dari Air lahir Api. Dan dari Api datanglah Air. Dari Air, Bumi muncul, dan dari bumi, muncul berbagai tanaman dan makanan. Akhirnya dari makanan, manusia berevolusi. Untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan, kita harus menyeberangi semua tahapan ini dan mengambil perjalanan pulang. Prinsip hidup yang ada dalam badan kasar kita, disebut dengan Prana. Dalam selubung Prana (Pranamaya Kosha), ada selubung pikiran (Manomaya Kosha) dan di dalamnya, selubung halus intelek (Vijnanamaya Kosha). Yang tersembunyi dalam Vijnanamaya Kosha adalah selubung kebahagiaan (Ananadamaya Kosha). Banyak orang berhenti melakukan perjalanan setelah mencapai selubung pikiran. Untuk mencapai kebahagiaan engkau harus melanjutkan maju, melewati makanan, pikiran dan selubung intelek (Divine Discourse, 'My Dear Students', Vol 2, Chapter 2).
-BABA

Friday, January 24, 2014

Thought for the Day - 24th January 2014 (Friday)


In this world, you must perform both great deeds and good deeds. The vagaries of modern life are rather mysterious and beyond understanding. They are called ‘Dushta Chathushtayam or Akara Chatushtayam’ (Evil Quartet) which comprise of: Lack of faith (Avishwasam), doubt (Anumanam), jealousy (Asuya) and ego (Ahamkaram). Lack of good character makes one develop bad thinking. Lack of faith leads to doubt. Today, many people are ready to trust a stranger on the street but refuse to believe the scriptures and noble commandments of great saints or their own parents. They do not believe even in the words of those that love and care for them. Be aware of these pitfalls and develop good conduct. For good conduct, truth and righteousness are essential. Undertake meritorious deeds with noble motives and immerse yourself in the feeling of love.

Di dunia ini, engkau harus melakukan keduanya yaitu perbuatan mulia dan perbuatan baik. Liku-liku kehidupan modern agak misterius dan di luar pemahaman. Mereka disebut 'Dushta Chathushtayam atau Akara Chatushtayam' (Empat kejahatan) yang terdiri dari: Kurangnya keyakinan (Avishwasam), ragu-ragu (Anumanam), cemburu (Asuya) dan ego (Ahamkaram). Kurangnya karakter yang baik membuat orang mengembangkan pemikiran yang buruk. Kurangnya keyakinan mengarah pada keragu-raguan. Saat ini, banyak orang-orang cepat percaya pada orang asing di jalan tetapi menolak untuk percaya pada kitab suci dan perintah mulia dari orang-orang suci atau orang tua mereka sendiri. Mereka tidak percaya bahkan dalam kata-kata dari orang-orang yang mencintai dan merawat mereka. Engkau hendaknya menyadari perangkap ini dan mengembangkan perilaku yang baik. Untuk perilaku yang baik, kebenaran dan kebajikan sangat penting. Lakukanlah perbuatan baik dengan motif yang mulia dan tenggelamkanlah dirimu dalam perasaan cinta-kasih (Divine Discourse, 'My Dear Students', Vol 2, Chapter 1).
-BABA

Thursday, January 23, 2014

Thought for the Day - 23rd January 2014 (Thursday)


Control your tongue as it always craves for a variety of delicacies. Ask yourself this question, “O tongue, how many bags of rice, wheat and vegetables, and delicacies have you tasted? Fie on you if you are still unsatisfied!” Eat sufficiently to satisfy your hunger and sustain your body, without giving undue importance to taste. Likewise, your eyes must see God instead of watching unsacred things on the television or video. May your ears listen to the stories of the Lord instead of vain gossip. All that you see and hear gets imprinted on your heart, and unsacred things pollute it. When your heart is polluted, life becomes meaningless. Human heart is like a pen. The colour of the words that you write will be the same as the colour of the ink in the pen. God expects you to fill your heart with love. Then, all that you think, say and do will be suffused with love and your life shall become sacred.

Engkau hendaknya mengendalikan lidah karena lidah selalu mendambakan berbagai makanan lezat. Tanyakan kepada dirimu pertanyaan ini, " O lidah, berapa kantung beras, gandum dan sayuran, dan makanan lezat yang telah engkau rasakan? Sayang sekali jika engkau masih tidak puas!" Makan cukup untuk memuaskan rasa laparmu dan untuk kelangsungan hidupmu, tanpa memberikan sesuatu yang tidak semestinya. Demikian juga, matamu harus melihat Tuhan bukan menonton hal-hal yang tidak suci di televisi atau video. Semoga telingamu mendengarkan cerita tentang Tuhan, bukan mendengarkan gosip yang sia-sia. Semua yang engkau lihat dan yang engkau dengar akan tertanam dalam hatimu, dan hal-hal yang tidak suci bisa mencemari hatimu. Ketika hatimu tercemar, hidup menjadi tidak berarti. Hati manusia dapat dibaratkan seperti pena. Warna kata-kata yang engkau tulis akan sama dengan warna tinta dalam pena tersebut. Tuhan mengharapkan agar engkau mengisi hatimu dengan cinta-kasih. Maka, semua yang engkau pikirkan, katakan, dan lakukan akan diliputi dengan cinta-kasih dan kehidupanmu akan menjadi suci (Divine Discourse, Aug 22, 2000).
-BABA

Wednesday, January 22, 2014

Thought for the Day - 22nd January 2014 (Wednesday)


The entire creation is based on truth. Where there is truth, there you find plenty and prosperity. Human life is not meant to enjoy physical comforts and worldly pleasures, which are momentary. It is meant to set an ideal to the rest of the world. Ask yourself, “Having lived all these years, what is the ideal I have set and achieved?” You might have done a few good deeds in life, but they may be outdone by the number of bad deeds you may have performed. That is not the quality of a human being. Cultivate good thoughts, speak good words and perform good deeds. That is true humanness. We remember the ancient sages and seers even today because of the good deeds they have performed. Do unto others what you would like others to do unto you. Do not indiscriminately follow the mind, for the mind is like a mad monkey. Follow your conscience. Love is the undercurrent of all this. So lead a life suffused with love.

Seluruh ciptaan didasarkan pada kebenaran. Di mana ada kebenaran, di sanalah engkau menemukan kemakmuran. Kehidupan manusia tidak dimaksudkan untuk menikmati kenyamanan fisik dan kesenangan duniawi, yang sesaat dan bersifat sementara. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur kehidupan yang ideal untuk seluruh dunia. Tanyakanlah kepada diri sendiri, " Setelah hidup bertahun-tahun, ideal apa yang telah dicapai?" Engkau mungkin telah melakukan beberapa perbuatan baik dalam hidup, tetapi itu mungkin mengalahkan jumlah perbuatan buruk yang  telah engkau lakukan. Hal itu bukanlah kualitas manusia. Kembangkanlah pikiran yang baik, ucapkan kata-kata yang baik dan lakukan perbuatan yang baik. Itulah kemanusiaan yang sejati. Kita hendaknya mengingat para orang bijak terdahulu bahwa apa yang kita nikmati sekarang karena perbuatan baik yang telah mereka lakukan. Lakukanlah kepada orang lain apa yang engkau inginkan orang lain lakukan padamu. Janganlah sembarangan mengikuti pikiran, karena pikiran seperti monyet gila. Ikutilah hati nuranimu. Cinta-kasih adalah landasan dari semua ini. Jadi jalanilah hidup ini diliputi dengan cinta-kasih (Divine Discourse, Aug 22, 2000)
-BABA

Tuesday, January 21, 2014

Thought for the Day - 21st January 2014 (Tuesday)

 
Meditation does not mean sitting cross-legged (in Padmasana) with eyes closed in contemplation of God. This is physical, worldly activity. No doubt, this is needed, but true meditation lies in unifying the mind with God. Just as milk and water cannot be separated, likewise, the mind, once merged with God, cannot be separated. Likewise, your love should become one with Divine love. Some people contemplate on God for a limited period in the morning and evening. This cannot be called meditation. You must contemplate on God at all times, at all places and under all circumstances. Perform all tasks with your mind firmly fixed on God. That is true meditation. Thinking of God for a limited period is only part-time devotion. Part-time devotion entitles you to only part-time grace. You should have full-time devotion in order to attain grace in full measure.

Meditasi bukan berarti duduk bersila (posisi Padmasana) dengan mata tertutup merenungkan Tuhan. Ini adalah fisikal belaka, aktivitas duniawi. Tidak diragukan lagi, ini diperlukan, tetapi meditasi yang sesungguhnya terletak dalam menyatukan pikiran dengan Tuhan. Sama seperti susu dan air tidak dapat dipisahkan, demikian juga pikiran, setelah menyatu dengan Tuhan, tidak dapat dipisahkan. Demikian juga, cinta-kasihmu harus menjadi satu dengan cinta-kasih  Ilahi. Beberapa orang merenungkan Tuhan untuk jangka waktu terbatas di pagi dan sore hari. Ini tidak bisa disebut sebagai meditasi. Engkau harus merenungkan Tuhan setiap saat, di segala tempat dan dalam setiap keadaan. Lakukanlah semua tugas dengan pikiranmu senantiasa tertuju pada Tuhan. Itulah meditasi yang benar. Memikirkan Tuhan untuk jangka waktu terbatas ini disebut dengan pengabdian paruh waktu. Pengabdian paruh waktu  hanya akan memberikan engkau berkat Tuhan yang paruh waktu juga. Engkau harus memiliki pengabdian yang full-time untuk mencapai berkat Tuhan dalam ukuran yang penuh. (Divine Discourse, Aug 22, 2000)
-BABA



Monday, January 20, 2014

Thought for the Day - 19th & 20th January 2014

Date: Sunday, January 19, 2014

Penance does not mean retiring to the forest and living on fruits and tubers. In fact such a life can be called a life of dullness (thamas), not penance (thapas). True penance lies in controlling one’s emotions, thoughts, words and deeds arising out of Sathwic, Rajasic and Thamasic qualities. You should contemplate on God at all times and achieve harmony of thought, word and deed. A noble person is one whose thoughts, words and deeds are in complete harmony (Manasyekam Vachasyekam Karmanyekam Mahatmanam). Do not be carried away by pain or pleasure. The Gita teaches that you should be even-minded in happiness or sorrow, gain or loss, victory or defeat. You should discharge your duty with utmost sincerity and serve society without any expectation of reward. Such even-mindedness and desireless state is true penance.

Bertapa bukan berarti menuju ke hutan dan hidup bergantung pada buah-buahan dan umbi-umbian. Bahkan hidup seperti itu bisa disebut kehidupan yang bodoh (thamas), bukan bertapa (thapas). Bertapa sejati terletak dalam mengendalikan emosi, pikiran, ucapan dan perbuatan yang timbul dari kualitas Sathwik, Rajasik, dan Thamasik seseorang. Engkau hendaknya merenungkan Tuhan sepanjang waktu dan mencapai keselarasan pikiran, ucapan dan perbuatan. Orang yang mulia adalah seseorang yang pikiran, perkataan, dan perbuatannya benar-benar harmonis (Manasyekam Vachasyekam Karmanyekam Mahatmanam). Janganlah terpengaruh oleh penderitaan atau kebahagiaan. Gita mengajarkan bahwa engkau hendaknya berpikiran yang sama dalam kebahagiaan atau kesedihan, keuntungan atau kerugian, kemenangan atau kekalahan. Engkau hendaknya menunaikan tugasmu dengan ketulusan hati dan melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbalan. Keadaan pikiran yang seperti itu dan tanpa keinginan/mengurangi keinginan adalah bertapa yang sesungguhnya. (Divine Discourse, Aug 22, 2000)
-BABA


Date: Monday, January 20, 2014

Recognize the Divine within yourself. Open the doors of your heart. Develop love more and more. Understand the truth. Experience God. There lies the bliss. Make every effort to understand the immanent Divinity. The Divinity within you is covered by ego and anger. Therefore, real knowledge dawns when attachment is destroyed (Moham hithva punar vidya). Where does this attachment come from? Excessive desires lead to attachment. You may attain temporary peace by undertaking repetition of the name (Japa), meditation (dhyana), and yoga. To attain permanent peace, you must develop love within. Love can turn earth into sky and sky into earth. This sacred love is within you. But, you direct it in the wrong direction and thereby it gets perverted. Develop the sacred Love within you to realise your innate Divinity.

Engkau hendaknya menyadari Tuhan yang ada di dalam dirimu. Bukalah pintu hatimu. Kembangkanlah cinta-kasih lebih banyak lagi. Pahamilah kebenaran. Rasakanlah Tuhan. Disanalah terletak kebahagiaan tersebut. Lakukanlah segala upaya untuk memahami Divinity yang imanen/tetap ada. Divinity yang ada dalam dirimu ditutupi oleh ego dan amarah. Oleh karena itu, pengetahuan sejati muncul ketika kemelekatan dihancurkan (Moham hithva punar vidya). Darimanakah kemelekatan ini berasal? Keinginan yang berlebihan menyebabkan kemelekatan. Engkau bisa jadi mencapai kedamaian yang bersifat sementara dengan melakukan pengulangan nama Tuhan (Japa), meditasi (dhyana), dan yoga. Untuk mencapai kedamaian yang bersifat permanen, engkau harus mengembangkan cinta-kasih dalam dirimu. Cinta-kasih dapat mengubah bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi. Cinta-kasih yang suci ini ada dalam dirimu. Tetapi, engkau mengarahkannya ke arah yang salah dan dengan demikian itu akan disalahgunakan. Kembangkanlah Cinta-kasih suci dalam dirimu untuk mewujudkan Divinity-mu yang sejati.  (Divine Discourse, March 14, 1999)

-BABA

Saturday, January 18, 2014

Thought for the Day - 18th January 2014 (Saturday)


All spiritual practices (Sadhana) will go in vain if you do not know your true identity. Instead of asking others, “Who are you?” ask yourself, “Who am I?” We say, “This is my book, this is my tumbler.” Then, "Who am I? The feeling of ‘my’ is illusion (maya). All this ‘mine’ is matter; they are negative. You think you are the master of this material world. Master the mind and be a mastermind! Make an effort to know your true identity. To know this, you should first give up body attachment. When I say this is ‘my handkerchief’, I am separate from the handkerchief. Similarly, when I say this is ‘my body’, I am separate from the body. When I say, ‘my mind’ it means I am separate from my mind. Then who am I? Constant enquiry on these lines would lead you to self realisation.

Semua praktik spiritual (Sadhana) akan sia-sia jika engkau tidak mengetahui identitas sejatimu. Engkau malahan bertanya pada orang lain, "Siapa engkau?" Bertanyalah pada dirimu sendiri, "Siapakah saya?" Kita sering sekali mengatakan, "Ini adalah buku saya, ini adalah gelas saya." Kemudian, "Siapakah saya? Perasaan 'saya/kepunyaan saya' adalah ilusi (maya). Masalahnya terletak pada, semua ini 'milik saya'. Engkau berpikir bahwa engkau adalah master/penguasa dari dunia materi ini. Kuasailah pikiran dan jadilah dalang. Buatlah upaya untuk mengetahui identitas sejatimu. Untuk mengetahui hal ini, pertama-tama engkau harus meninggalkan keterikatan pada badan jasmani. Ketika saya mengatakan ini adalah 'sapu tangan saya, saya terpisah dari saputangan. Demikian pula, ketika saya mengatakan ini adalah 'badan jasmani saya', saya terpisah dari badan jasmani. Ketika saya mengatakan,' pikiran saya 'itu berarti saya terpisah dari pikiran saya. Lalu siapa aku? Penyelidikan yang terus-menerus pada batasan ini akan membawamu ke realisasi diri. (Divine Discourse, March 14, 1999)
-BABA

Friday, January 17, 2014

Thought for the Day - 17th January 2014 (Friday)


Food is the primary requisite for life. One cannot live without food. Hence life has been described as Annamaya (composed of food). But one is not content to live on food alone. The mind is not satisfied if the stomach is full. Although food is essential for the body, the mind craves for Ananda (bliss). Life can find fulfilment only if Ananda is experienced. Hence, you cannot rest content with merely being alive. You have to be active and ever on the move. In the process one has to ask oneself the questions, ‘Why am I restless? Why am I active? What do I do to engage myself in actions? Why am I performing these actions? How am I doing them?’ It is when one enquires into these matters, can the true purpose and meaning of actions be realised. This enquiry has to be conducted in the proper way. Once you come to the conclusion that a certain action is right, you should then do it with earnestness.

Makanan adalah syarat utama untuk hidup. Seseorang tidak dapat hidup tanpa makanan. Oleh karena itu hidup telah digambarkan sebagai Annamaya (menyusun/membuat makanan). Tetapi seseorang tidak akan puas hanya pada makanan saja. Pikiran tidak puas jika perut sudah penuh. Meskipun makanan penting bagi badan jasmani, pikiran sangat membutuhkan Ananda (kebahagiaan). Hidup dapat menemukan pemenuhan/kepuasan hanya jika mengalami Ananda. Oleh karena itu, engkau tidak bisa bertumpu pada konten hanya sekedar hidup. Engkau harus aktif dan bergerak. Dalam proses ini kita harus bertanya pada diri sendiri pertanyaan berikut ini, "Mengapa saya masih saja tidak puas? Mengapa saya aktif? Apa yang harus saya lakukan untuk melibatkan diri saya dalam tindakan? Mengapa saya melakukan tindakan ini? Bagaimana saya melakukannya? "Ketika seseorang bertanya pada hal-hal tersebut, tujuan yang sebenarnya dan arti dari tindakan tersebut bisa direalisasikan. Pertanyaan ini harus dilakukan dengan cara yang tepat. Setelah engkau sampai pada kesimpulan bahwa tindakan tertentu adalah benar, maka engkau harus melakukannya dengan kesungguhan. (Divine Discourse, Apr 23, 1988)
-BABA

Thursday, January 16, 2014

Thought for the Day - 16th January 2014 (Thursday)


People get carried away by the body and forget the Divinity within. Have strong faith in God. Do not have faith in this body, which is temporary. Body is like a water bubble, mind is like a mad monkey. Don’t follow the body, don’t follow the mind. Follow your conscience. That is the principle of the Divine Self (Atma). You will experience Divinity only when you follow your conscience. Love everybody, but do not trust anybody. You have to repose your trust only in God. What is the reason? Why should you not trust others? It is because Man is impermanent. God expects only love. You can cultivate love easily. Love is within you, develop it. You have to share this love with everybody. Love even the one who hates you. To harm a person who harmed you is nothing great. Real greatness lies in loving even the person who harmed you.

Orang-orang dipengaruhi oleh badan jasmani dan melupakan Divinity yang berada di dalam diri. Milikilah keyakinan yang kuat pada Tuhan. Jangan memiliki keyakinan pada badan jasmani ini, yang bersifat sementara. Badan jasmani dapat diibaratkan seperti gelembung air, pikiran dapat diibaratkan seperti monyet gila. Jangan mengikuti badan jasmani, jangan mengikuti pikiran. Ikutilah hati nuranimu. Itulah prinsip Atma. Engkau akan mengalami Divinity hanya jika engkau mengikuti hati nuranimu. Kasihilah semua orang, namun jangan percaya pada siapa pun. Engkau harus meletakkan kepercayaanmu hanya pada Tuhan. Apa alasannya? Mengapa engkau hendaknya tidak percaya pada orang lain? Hal ini karena manusia tidak kekal. Tuhan hanya mengharapkan cinta-kasih. Engkau dapat mengembangkan cinta-kasih dengan mudah. Cinta-kasih ada di dalam dirimu, kembangkanlah. Engkau harus berbagi cinta-kasih ini dengan semua orang. Kasihilah semuanya bahkan orang yang membencimu. Menyakiti orang yang menyakitimu adalah perbuatan yang tidak baik. Kemuliaan yang terbesar terletak pada mencintai semuanya bahkan orang yang menyakitimu. (Divine Discourse, March 14, 1999)
-BABA

Wednesday, January 15, 2014

Thought for the Day - 15th January 2014 (Wednesday)


True and Selfless Love manifests as sacrifice. Such love knows no hatred. It envelops the entire universe, and is capable of drawing near even those who are seemingly far away. In the phenomenal world, you come across many shades and derivatives of this primordial love. You love your father, mother, brother, sister, spouse, friends and others. In all such cases, there is always a tinge of selfishness somewhere or the other. Divine love, on the other hand, is totally free of even the slightest trace of selfishness. You must surrender to such love, become completely submerged by it, and experience the bliss it confers. True and Selfless Love manifests itself as sacrifice. For acquiring Divine love, the quality of Kshama (forbearance and patience) is a vital necessity. Every individual must cultivate this noble quality.

Cinta-kasih tanpa pamrih memanifestasikan dirinya sebagai pengorbanan. Cinta-kasih yang  seperti itu tidak mengenal kebencian. Cinta-kasih itu menyelubungi seluruh alam semesta, dan mampu mendekatkan bahkan mereka yang nampaknya jauh. Dalam dunia fenomenal, engkau menemukan banyak corak dan turunan cinta-kasih primordial ini. Engkau mencintai ayah, ibu, kakak, adik, pasangan, teman dan lain-lain. Dalam semua kasus tersebut, selalu ada semburat warna keegoisan di suatu tempat atau pada yang lainnya. Cinta-kasih ilahi, di sisi lain, benar-benar bebas tidak ada jejak keegoisan sedikitpun. Engkau harus pasrah pada cinta-kasih seperti itu, menjadi benar-benar terendam oleh cinta-kasih tersebut, dan mengalami kebahagiaan berkat anugerah cinta-kasih yang seperti itu. Cinta-kasih tanpa pamrih memanifestasikan dirinya sebagai pengorbanan. Untuk memperoleh cinta-kasih Ilahi, kualitas Kshama (kesabaran dan ketabahan hati) adalah kebutuhan vital. Setiap individu harus memupuk kualitas mulia ini. (Divine Discourse, May 25, 2000)
-BABA

Tuesday, January 14, 2014

Thought for the Day - 14th January 2014 (Tuesday)

A person's life may be compared to a stalk of sugar cane. Like the cane, which is hard and has many knots, life is full of difficulties. But these difficulties must be overcome to enjoy the bliss of the Divine, just as the sugarcane has to be crushed and its juice converted into jaggery to enjoy the permanent sweetness of jaggery. Enduring bliss can be got only by overcoming trials and tribulations. Gold cannot be made into an attractive jewel without it being subjected to the process of melting in a crucible and being beaten into the required shape. When Bhagawan address devotees as Bangaaru (Golden one), He is considering you as very precious. Go through the vicissitudes of life with forbearance and become attractive jewels. Do not allow yourself to be overwhelmed by obstacles. Lead exemplary lives with self-confidence and firm faith in God.

Kehidupan seseorang dapat disamakan dengan batang tebu. Seperti batang tebu, yang kaku dan memiliki banyak knot/benjolan, hidup ini penuh dengan kesulitan. Tetapi kesulitan-kesulitan ini harus diatasi untuk menikmati kebahagiaan Ilahi, seperti tebu harus dihancurkan dan jus/sari buah yang dihasilkan diubah menjadi jaggery untuk menikmati manisnya jaggery yang permanen. Kebahagiaan seperti itu bisa didapat hanya dengan mengatasi cobaan dan kesengsaraan. Emas tidak dapat dibuat menjadi permata yang menarik tanpa proses peleburan dan dipukuli untuk diubah menjadi bentuk yang diinginkan. Ketika Bhagawan menyapa devotee/bhakta sebagai Bangaaru (Emas), Beliau sedang menganggap engkau sebagai sesuatu yang sangat berharga. engkau hendaknya berangkat melalui perubahan hidup dengan kesabaran dan menjadi perhiasan yang menarik. Jangan biarkan dirimu dipenuhi dengan rintangan. Jalanilah kehidupan yang patut dicontoh/menjadi teladan dengan kepercayaan diri dan keyakinan yang kuat pada Tuhan.(Divine Discourse, Jan 15, 1992)

-BABA

Monday, January 13, 2014

Thought for the Day - 13th January 2014 (Monday)


Life on earth is possible only because of the Sun. For mankind that is caught up in a meaningless existence and going through an endless round of futile activities, the Sun God stands out as an exemplar of tireless and selfless service. He enjoys no respite from work. He is above praise and censure. He carries on his duties with absolute equanimity. Everything he does is only for the well-being of the world and not for causing any harm. Thus the Sun God teaches us the supreme example of humble devotion to duty, without any conceit. Everyone must learn how to do their duties with devotion and dedication, just like the Sun. Doing one's duty is the greatest Yoga (Spiritual path), as pointed out by Krishna in the Gita. Hence, let your actions and thoughts be good. You will then experience the bliss divine.


Kehidupan di bumi dapat terjadi karena ada Matahari. Karena manusia terjebak dalam eksistensi yang tak berarti dan melalui putaran kegiatan yang sia-sia yang tak ada habisnya, Dewa Matahari ada sebagai sebuah contoh dari pelayanan yang tak kenal lelah dan tanpa pamrih. Dia melakukan pekerjaannya tanpa henti. Dia melampaui pujian dan kritikan. Dia menjalankan tugasnya dengan penuh ketenangan. Semuanya ia lakukan adalah hanya untuk kesejahteraan dunia dan bukan untuk menyebabkan kerusakan. Dengan demikian Dewa Matahari mengajarkan kita contoh tertinggi pengabdian rendah hati dalam menjalankan tugas/kewajiban, tanpa keangkuhan apapun. Setiap orang harus belajar bagaimana melakukan tugas mereka dengan pengabdian dan dedikasi, seperti Matahari. Melakukan tugas/kewajiban adalah Yoga terbesar (jalan Spiritual), seperti yang ditunjukkan oleh Krishna dalam Gita. Oleh karena itu, biarlah tindakan dan pikiranmu menjadi baik, sehingga engkau akan mengalami kebahagiaan Ilahi . (Divine Discourse, Jan 15, 1992)

-BABA

Sunday, January 12, 2014

Thought for the Day - 12th January 2014 (Sunday)

The observance of morality in daily life, the divinization of all actions and thoughts related to life, and adherence to ideals - all of these together constitute culture. Culture means that which sanctifies the world, which enhances the greatness and glory of a country, and which helps to raise the individual and society to a higher level of existence. The process of refinement or transformation is essential for improving the utility of any object or life. For instance, paddy has to be milled and its husk removed before the rice is fit for cooking. This is called Samskriti or transformation. This means, doing away with unwanted elements and securing the desirable ones. With regard to people, Samskriti (culture) means getting rid of bad qualities and cultivating virtues. The cultured person is one who has developed good thoughts and good conduct.

Ketaatan moralitas dalam kehidupan sehari-hari, semua tindakan dan pikiran yang berkaitan dengan kehidupan selalu berlandaskan pada Tuhan, dan kepatuhan terhadap ideal/aturan - semuanya ini bersama-sama membentuk budaya. Budaya berarti yang menyucikan dunia, yang meningkatkan kebesaran dan kemuliaan suatu negara, dan yang membantu untuk meningkatkan keberadaan individu dan masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi. Proses perbaikan atau transformasi sangat penting untuk meningkatkan kegunaan dari setiap objek atau kehidupan. Misalnya, padi harus digiling dan kulitnya dihilangkan sebelum beras ini layak dimasak. Ini disebut Samskriti atau transformasi. Ini berarti, menghilangkan unsur-unsur yang tidak diinginkan dan mengamankan yang diinginkan. Berkenaan dengan orang, Samskriti (budaya) berarti menyingkirkan sifat buruk dan mengembangkan kebajikan. Orang berbudaya adalah orang yang telah mengembangkan pikiran yang baik dan perilaku yang baik. (Divine Discourse, Jan 14, 1990)

-BABA

Saturday, January 11, 2014

Thought for the Day - 11th January 2014 (Saturday)


Although there may be differences among nations in their food and habits, the spirit of harmony and unity displayed in sports is a gratifying example to all. It is a distinctive quality of sports that differences are forgotten and persons engage themselves in games in a divine spirit of camaraderie. Sports help the players not only to improve their health but also to experience joy. However, you should not be content with realising these benefits alone. You have another body besides the physical; it is the subtle body, otherwise known as the mind. It is equally essential to promote purity of the mind and develop large heartedness. True humanness blossoms only when the body, the mind and the spirit are developed harmoniously. The enthusiasm and effort you display in sports should also manifest in the spheres of morality and spirituality.

Meskipun mungkin ada perbedaan di antara negara-negara dalam hal makanan dan kebiasaan mereka, spirit harmoni dan kesatuan yang ditampilkan dalam olahraga adalah contoh menyenangkan bagi semuanya. Inilah kualitas yang khas dari olahraga yangmana perbedaan dilupakan dan orang-orang melibatkan diri dalam permainan dengan semangat persahabatan. Olahraga membantu para pemain tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan mereka tetapi juga untuk mengalami kebahagiaan. Walaupun demikian, engkau tidak harus puas dengan menyadari manfaat ini saja. Engkau memiliki badan lain selain badan fisik; badan itu adalah badan halus, atau dikenal sebagai pikiran. Jadi sama pentingnya untuk meningkatkan kemurnian pikiran dan mengembangkan kemurnian hati. Kemanusiaan sejati akan mekar hanya ketika badan jasmani, pikiran, dan spirit dikembangkan secara harmonis. Antusiasme dan usaha yang engkau perlihatkan dalam olahraga juga harus terwujud dalam bidang moralitas dan spiritualitas. (Divine Discourse, Jan 14, 1990)

-BABA

Friday, January 10, 2014

Thought for the Day - 10th January 2013 (Friday)

Difficulties and pain help one to nurse and build the capacity for patience and forbearance. However, due to mental weakness and ignorance, people invariably shun painful experiences and distress. Do not be weak; be brave and welcome troubles. Let them come; more the merrier. Only with such a courageous attitude can you bring out the kshama (forbearance) hidden within you. Can you get promoted to a higher class without passing an examination? It is only when you secure the prescribed marks and pass the examination, you are declared eligible to advance to the higher class. While preparing for the examination you have to face stress and many difficulties but how sweet the promotion is! So welcome troubles as tests that prepare you for higher things and be happy when troubles descend on you, because that is when kshama truly blossoms.

Kesulitan dan penderitaan membantu seseorang untuk mengobati dan membangun kekuatan untuk ketabahan dan kesabaran. Namun, karena kelemahan mental dan ketidaktahuan, orang-orang selalu menghindari pengalaman yang menyakitkan dan penderitaan. Janganlah menjadi lemah; beranilah dan sambutlah kesulitan-kesulitan yang datang. Biarkan mereka datang. Hanya dengan sikap berani seperti itu engkau dapat membawa keluar Kshama (kesabaran) yang tersembunyi dalam dirimu. Dapatkah engkau dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi tanpa melewati ujian? Hanya ketika engkau memperoleh nilai yang ditentukan dan lulus ujian, engkau dinyatakan memenuhi syarat untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Sementara engkau mempersiapkan ujian,  engkau harus menghadapi stres dan kesulitan tetapi betapa manisnya kenaikan ini! Jadi, sambutlah permasalahan sebagai tes yang mempersiapkan engkau untuk hal-hal yang lebih tinggi dan menjadi berbahagia ketika engkau menghadapai masalah, karena pada saat itulah Kshama benar-benar mekar. (Divine Discourse, May 25, 2000)

-BABA

Thursday, January 9, 2014

Thought for the Day - 9th January 2014 (Thursday)


Divinity is the manifestation of Prema and Kshama. The virtue of Kshama (forbearance, unlimited patience and ability to forgive and forget) is not achieved by reading books or learnt from an instructor. Nor can it be received as a gift from someone. This prime virtue, can be acquired solely by self effort, by facing squarely diverse problems, difficulties of various sorts, anxieties, suffering as well as sorrow. In the absence of Kshama, you will become susceptible to all kinds of evil tendencies. Hatred and jealousy easily take root in a person lacking this virtue. Kshama gives complete protection to the one who possesses it. Hence Kshama, a priceless possession, is the greatest, grandest and the noblest amongst all virtues. Kshama is all encompassing.

Divinity adalah manifestasi dari Prema dan Kshama. Kshama (kesabaran, ketabahan tak terbatas, dan kemampuan untuk memaafkan dan melupakan) tidak dapat dicapai dengan membaca buku atau belajar dari instruktur. Juga tidak bisa diterima sebagai hadiah dari seseorang. Kebajikan utama ini, dapat diperoleh hanya dengan usaha sendiri, dengan menghadapi berbagai  masalah dengan tepat, menghadapai  berbagai macam kesulitan, kecemasan, penderitaan serta kesedihan. Dengan tidak adanya Kshama, engkau akan menjadi rentan terhadap segala macam kecenderungan yang buruk. Kebencian dan kecemburuan mudah berakar pada orang-orang yang kurang memiliki kebajikan seperti ini. Kshama memberikan perlindungan lengkap kepada orang yang memilikinya. Oleh karena itu Kshama, adalah kepunyaan yang tak ternilai, yang terbesar, termegah dan paling mulia di antara semua kebajikan. Kshama mencakup segalanya. (Divine Discourse, May 25, 2000)

-BABA

Wednesday, January 8, 2014

Thought for the Day - 8th January 2014 (Wednesday)

Since ancient times, emphasis has been laid on three aspects: work, worship, and wisdom. What is wisdom? All that is related to our senses - the fleeting objects of the material world and our actions, speak of our ignorance. Wisdom dawns the moment the mind is withdrawn. The thoughtless state between two consecutive thoughts is Spiritual Wisdom (Brahma Jnana). People are not able to experience this thoughtless state and are carried away by fleeting, ephemeral, and momentary things. All the knowledge that one acquires is not true knowledge. Knowledge of the Spirit (Atma) is true knowledge. True wisdom dawns when all thoughts are decimated. However all three of these - work, worship, and wisdom, begin with service. No matter what service it is, if it is done with love and divine feelings, it becomes upasana (worship).

Sejak zaman kuno, penekanan telah diletakkan pada tiga aspek: pekerjaan, ibadah, dan kebijaksanaan. Apa itu kebijaksanaan? Semuanya berhubungan dengan indera kita - objek-objek duniawi yang bersifat sementara dan tindakan kita, mengungkapkan ketidaktahuan kita. Kebijaksanaan muncul saat pikiran ditarik keluar dari objek-objek duniawi. Kebijaksanaan Spiritual (Brahma Jnana) adalah suatu keadaan tidak memikirkan apa-apa diantara dua pikiran berturut-turut. Orang-orang tidak dapat mengalami keadaan ini (tidak memikirkan apa-apa) dan terbawa oleh hal-hal yang bersifat sementara, fana, dan sesaat. Semua pengetahuan yang diperoleh seseorang bukanlah pengetahuan yang benar. Pengetahuan tentang Spirit (Atma) adalah pengetahuan yang benar. Kebijaksanaan sejati muncul ketika semua pikiran dihilangkan. Namun ketiga ini - kerja, ibadah, dan kebijaksanaan, mulai dengan pelayanan. Tidak peduli pelayanan apa yang dilakukan, jika dilakukan dengan perasaan cinta-kasih dan ilahi, maka akan menjadi upasana (ibadah). (Divine Discourse, March 14, 1999)

-BABA

Tuesday, January 7, 2014

Thought for the Day - 7th January 2014 (Tuesday)


The tongue is the armour of the heart, it even guards your life. Loud talks, long talk, wild talk, talk full of anger and hate  all these affect your health. They breed anger and hatred in others; they wound, they excite, they enrage, and they estrange. Why is silence said to be golden? The silent person has no enemies, though he or she may not have friends. They have the leisure and the chance to dive within them and examine their own faults and failings. They no more have inclination to seek them in others. If your foot slips, you suffer a fracture; if your tongue slips, you fracture someone’s faith or joy. That fracture can never be set right; that wound will fester forever. Therefore use the tongue with great care. The softer you talk, the less you talk, the more sweetly you talk, the better for you and the world.

Lidah adalah penjaga hati, bahkan penjaga hidupmu. Berbicara dengan keras, panjang/terlalu lama berbicara, berbicara dengan tidak teratur/tidak terkontrol, berbicara penuh amarah dan kebencian semuanya ini akan mempengaruhi kesehatanmu. Semuanya ini dapat mengembangkan kemarahan dan kebencian pada orang lain; ia bisa membuat luka, memanaskan suasana dan menjauhkan/merenggangkan hubungan. Mengapa diam dikatakan sebagai emas? Orang yang diam tidak memiliki musuh, meskipun ia mungkin tidak mempunyai teman. Mereka memiliki waktu luang dan kesempatan untuk menyelam ke dalam diri mereka dan memeriksa kesalahan dan kegagalan mereka sendiri. Mereka tidak lagi memiliki kecenderungan untuk mencari kesalahan orang lain. Jika kakimu slip, engkau menderita patah tulang; jika lidahmu slip, engkau mematahkan keyakinan atau kebahagiaan seseorang. Fraktur yang seperti itu, tidak akan bisa diperbaiki, luka itu akan ada selamanya. Oleh karena itu gunakan lidah dengan hati-hati. Jika engkau berbicara semakin lembut, semakin sedikit, dan semakin manis,  semakin baik untukmu dan juga bagi dunia.
-BABA

Monday, January 6, 2014

Thought for the Day - 5th & 6th January 2014

Date: Sunday, January 05, 2013

If you happen to see a wicked person, do not immediately think of that person as being bad. The bad actions of that person are due to the body, but within that person is the same Atma that is also in you. This unity, this Atmic Principle, is what you must focus on. Deal with this other person with the feeling that the Self in you is also present in the other. This is the way to develop love for all beings. Also do not bear ill will towards any country but be alike to all. Do not criticise the culture of other countries. Love your culture as your mother, just as people of other lands love their respective cultures. If you live like this, you will, without question, become an ideal person. You must spiritualise your attitude, tendencies, and mind.

Jika engkau kebetulan melihat orang yang berkelakuan buruk, jangan langsung berpikir orang itu sebagai orang yang jahat. Tindakan buruk orang tersebut adalah karena badan jasmani, tetapi dalam diri orang tersebut ada Atma yang sama yang juga ada di dalam dirimu. Kesatuan ini, Prinsip atma ini, adalah yang harus engkau perhatikan. Perlakukan orang lain dengan perasaan bahwa Atma dalam dirimu ada juga dalam diri orang lain. Inilah cara untuk mengembangkan cinta-kasih bagi semua makhluk. Juga janganlah memandang buruk terhadap negara manapun. Jangan mengkritik budaya negara lain. Cintai budayamu sebagai ibumu, sama seperti orang lain juga mencintai budayanya masing-masing. Jika engkau hidup seperti ini, engkau tidak akan memiliki pertanyaan, engkau menjadi orang yang ideal. Engkau harus membuat sikap, kecenderungan, dan pikiranmu tetap dalam suasana spiritual.

-BABA


Date: Monday, January 06, 201

The flower of forbearance (kshama) is very dear to the Lord. The Pandavas suffered a lot at the hands of the Kauravas. But it was the virtue of forbearance that protected the Pandavas and made them an ideal to the rest of the world. The other flower that we must offer to God is Shanti (peace). One should remain peaceful through all the vicissitudes of life. Only then can one attain divine grace. Peace is needed at the physical, mental and spiritual levels. Peace is not external, it is present within. You are the embodiment of peace. In the worldly life, there are bound to be many hardships, but one should not be perturbed. One should bear all sufferings with fortitude and patience. Human life is given not merely to enjoy the worldly pleasures. Life becomes meaningful only when one experiences the peace that originates from the heart.

Bunga kesabaran (Kshama) adalah sesuatu yang berharga untuk Tuhan. Pandawa banyak mengalami penderitaan di tangan Korawa, tetapi karena kesabarannya, itu yang melindungi Pandawa dan membuat mereka menjadi ideal/idaman bagi seluruh dunia. Bunga lainnya yang harus kita persembahkan kepada Tuhan adalah Shanti (kedamaian). Seseorang harus tetap dalam kedamaian melewati semua perubahan hidup, baru setelah itu, seseorang dapat mencapai berkat Tuhan. Kedamaian dibutuhkan pada tingkat fisik, mental, dan spiritual. Kedamaian tidak berada di luar dirimu, namun ia ada di dalam dirimu. Engkau adalah perwujudan kedamaian. Dalam kehidupan duniawi, pasti akan ada banyak kesulitan, tetapi janganlah khawatir. Seseorang harus menanggung semua penderitaan dengan ketabahan dan kesabaran. Kehidupan manusia diberikan bukan hanya untuk menikmati kesenangan duniawi. Hidup menjadi bermakna hanya ketika seseorang mengalami kedamaian yang berasal dari hati.

-BABA

Saturday, January 4, 2014

Thought for the Day - 4th January 2014 (Saturday)

The four components in the “Ceiling on Desires” programme are: Curb on excessive talk, curb on excessive desires and expenditure, control of consumption of food, and check on waste of energy. You need some essential commodities for sustenance, and you should not aspire for more. Only if air is available in sufficient quantity will it be comfortable. If it is excessive and there is a gale, you will feel uncomfortable. When you are thirsty, you can consume only a limited quantity of water needed for the sustenance of the body; you can’t drink the entire water of the River Ganga. Your eyes automatically close when they happen to see a flash of lightning because they can’t withstand such high illumination. Therefore there must be a limit to everything, including desires.

Empat komponen dalam program "Pembatasan keinginan" adalah: mengekang pembicaraan yang berlebihan, mengekang keinginan dan pengeluaran yang berlebihan, pengendalian konsumsi makanan, dan memeriksa pemborosan energi. Engkau memerlukan beberapa komoditas penting untuk kelangsungan hidup, dan engkau tidak perlu mencapai lebih dari yang diperlukan. Hanya jika udara tersedia dalam jumlah yang cukup, maka hidup akan nyaman. Jika udara/angin berlebihan dan ada badai/angin kencang, engkau akan merasa tidak nyaman. Ketika engkau haus, engkau hanya memerlukan jumlah air yang sedikit yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupmu, engkau tidak bisa minum seluruh air dari Sungai Gangga. Matamu secara otomatis akan menutup ketika secara kebetulan melihat kilatan petir karena mata tidak dapat menahan pencahayaan yang tinggi. Oleh karena itu harus ada batas untuk segala sesuatu, termasuk keinginan.

-BABA

Friday, January 3, 2014

Thought for the Day - 3rd January 2013 (Friday)


Your speech should always be good. Never utter harsh words. Speak softly and sweetly. That is why I tell you often, “You cannot always oblige, but you can always speak obligingly.” Say what you have to say with­out harshness. Speak softly so that only the person for whom your words are intended may hear you. Such soft and sweet speech should be developed. Good vision, good listening, and good speech lead to good thoughts. “As are your thoughts, so is the result.” Right thoughts lead to right action. Without good thoughts, it is not possible to perform good actions. Good thoughts cannot be acquired by reading scriptures or by listening to the teachings of the preceptor. Through self-effort you should put your senses of sound, touch, form, taste, and smell to right use. Your self-effort alone can ensure proper spiritual practice.

Cara bicaramu hendaknya selalu baik. Jangan pernah mengucapkan kata-kata kasar. Berbicaralah dengan lembut dan manis. Itulah mengapa sering Aku mengatakan padamu, "Engkau tidak bisa selamanya patuh, namun engkau bisa senantiasa berbicara dengan patuh." Katakanlah apa yang harus engkau katakan tanpa kekerasan. Berbicaralah dengan lembut sehingga hanya kepada siapa kata-kata tersebut ditujukan hanya mereka yang mendengarkan kata-katamu. Berbicara dengan lembut dan manis seperti itu yang hendaknya dikembangkan. Visi yang baik, mendengarkan dengan baik, dan berbicara yang baik, semuanya ini akan mengarahkanmu pada pikiran yang baik. "Apa yang engkau pikirkan, demikianlah hasilnya." Pikiran yang baik dapat mengarah pada tindakan yang tepat. Tanpa pikiran yang baik, tidak mungkin bisa melakukan perbuatan baik. Pikiran yang baik tidak bisa hanya diperoleh dengan membaca kitab suci atau mendengarkan ajaran dari para guru. Melalui usahamu sendiri, engkau hendaknya menggunakan indera suara, sentuhan, bentuk, rasa, dan bau dengan tepat. Hanya dengan usaha sendiri saja dapat memastikan praktik spiritual dengan semestinya.
-BABA

Thursday, January 2, 2014

Thought for the Day - 2nd January 2014 (Thursday)


Your life is a long journey. You should have fewer luggage (desires) in this long journey of life. Therefore it is said, “Less luggage, more comfort, makes travel a pleasure.” So ceiling on desires is what you have to adopt today. You have to cut short your desires day by day. You are under the mistaken notion that happiness lies in the fulfillment of desires. But in fact, happiness begins to dawn when desires are totally eradicated. When you reduce your desires, you advance towards the state of renunciation. You have many desires; what do you get out of them? You are bound to face the consequences when you claim something as yours. You will be blissful the moment you give up ego and attachment.

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Engkau hendaknya memiliki sedikit bagasi (keinginan) dalam perjalanan panjang kehidupan ini. Karenanya dikatakan, "Sedikit bagasi, lebih nyaman, membuat perjalanan menyenangkan." Jadi batasi keinginan adalah apa yang harus engkau ambil saat ini. Engkau harus mengurangi keinginanmu hari demi hari. Engkau berada di bawah gagasan keliru bahwa kebahagiaan terletak pada pemenuhan keinginan. Namun pada kenyataannya, kebahagiaan mulai muncul ketika keinginanmu benar-benar dihilangkan. Ketika engkau mengurangi keinginanmu, engkau maju menuju keadaan pembebasan. Engkau memiliki banyak keinginan, apa yang engkau dapatkan dari keinginan-keinginan tersebut? Engkau pasti akan menghadapi konsekuensi ketika engkau mengklaim sesuatu sebagai milikmu. Engkau akan bahagia saat engkau melepaskan ego dan keterikatan.
-BABA

Wednesday, January 1, 2014

Thought for the Day - 1st January 2014 (Wednesday)


God does not expect you to perform rituals nor does He want you to study the scriptures. All that He desires from you is eight types offlowers’. God will be pleased with you and confer boons on you only when you offer Him theseflowerswhich are dear to Him. No benefit accrues from offering the flowers, which fade away and decay. Offer Him the eight flowers of nonviolence, control of senses, compassion, forbearance, peace, penance, meditation and Truth (ahimsa, indriya nigraha, daya, kshama, shanti, tapas, dhyana and sathya). Your life will find fulfillment when you please God by offering Him theseflowers’. Love is the undercurrent of all this. So lead a life suffused with love.

Tuhan tidak mengharapkan engkau untuk melakukan ritual, Beliau juga tidak menginginkan engkau untuk mempelajari kitab suci. Yang Beliau inginkan darimu adalah delapan jenis 'bunga'. Tuhan akan senang denganmu dan memberi berkat padamu hanya ketika engkau mempersembahkan  'bunga' ini kepada-Nya. Tidak ada manfaat yang didapatkan dari mempersembahkan bunga yang layu dan busuk. Engkau hendaknya mempersembahkan delapan bunga ini kepada-Nya: antikekerasan, pengendalian indera, kasih sayang, kesabaran, kedamaian, penebusan dosa, meditasi, dan kebenaran (ahimsa, indriya nigraha, Daya, Kshama, shanti, tapas, dhyana dan sathya). Hidupmu akan menemukan kepuasan ketika engkau menyenangkan Tuhan dengan mempersembahkan 'bunga' ini kepada-Nya. Cinta-kasih adalah landasan dari semua ini. Jadi, engkau hendaknya menjalani hidup ini dipenuhi dengan cinta-kasih.

-BABA