Sunday, July 31, 2016

Thought for the Day - 31st July 2016 (Sunday)

Today everyone is eager to read or listen to the news that comes to them from all corners of the world. They think that it is their mission to know everything that is happening, but does anyone make an attempt to hear what is coming from within them? An individual who cannot understand and recognise their own nature has not achieved anything. All that you learn by way of education is apparently only for eking out a living. This undesirable quality has become an illusion of our mind. The basis for this desire is your attachment and hatred. This attachment and hatred are commonly found in one who thinks that they are different from the environment around them. So long as one thinks that a particular car or house belongs to them, then there will be attachment to whatever they think belongs to them, and a dislike of things which they think does not belong to them.


Hari ini setiap orang lebih berhasrat untuk membaca atau mendengarkan berita yang datang kepada mereka dari seluruh dunia. Mereka berpikir bahwa ini adalah misi mereka untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi, namun apakah ada siapapun juga yang melakukan sebuah usaha untuk mendengarkan apa yang datang dari dalam diri mereka? Seorang individu yang tidak bisa memahami dan menyadari sifat dirinya yang sejati tidak akan mencapai apapun juga. Semua yang engkau pelajari dalam pendidikan hanyalah untuk mendapatkan nafkah. Sifat yang tidak diinginkan ini telah menjadi sebuah khayalan dari pikiran kita. Dasar dari keinginan ini adalah keterikatan dan kebencianmu. Keterikatan dan kebencian umumnya ditemukan dalam seseorang yang berpikir bahwa mereka berbeda dari lingkungan di sekitarnya. Selama seseorang berpikir bahwa mobil atau rumah tertentu adalah milik mereka, maka kemudian akan ada keterikatan pada apapun yang mereka pikirkan sebagai milik mereka dan tidak menyukai sesuatu yang mereka pikir bukan miliknya. [Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch. 8]

-BABA

Saturday, July 30, 2016

Thought for the Day - 30th July 2016 (Saturday)

Even if one does not attempt to seek God, one can at least seek peace, joy, happiness and independence (shanti, santosha, soukhyam and swatantra)? People nowadays do not seek these, nor do they try to learn how to get them! The top spins perpetually and has no rest; people too pine and labor forever and ever, and have no relief from the spinning. The only peace and joy they get now are momentary; here now, gone the next minute. Pain puts a stop to joy; joy is but the absence of pain. Why must one live for years as a burden on earth, consuming so much of rice or wheat year after year, with no return in joy or peace to himself or others? The petromax light will shine bright only when you pump air vigorously; your light too is dim and well nigh out; pump vigorously, that is to say, engage yourself in spiritual practice and illumine your mind better and spread light on all who come near you.


Bahkan jika seseorang tidak melakukan usaha untuk mencari Tuhan, seseorang setidaknya dapat mencari kedamaian, suka cita, kebahagiaan, dan kemandirian (shanti, santosha, soukhyam, and swatantra)? Manusia saat sekarang tidak mencari hal ini dan tidak juga mencoba belajar untuk bisa mendapatkannya! Gasing berputar secara terus menerus tanpa istirahat; manusia juga menginginkan dan bekerja selama-lamanya dan tidak memiliki kebebasan dari perputaran ini. Satu-satunya kedamaian dan suka cita yang mereka dapatkan sekarang adalah sementara; sekarang didapatkan dan lenyap beberapa menit berikutnya. Rasa sakit menghentikan suka cita; suka cita adalah tidak adanya rasa sakit. Mengapa seseorang harus hidup bertahun-tahun dan menjadi beban bagi bumi ini, dengan makan banyak nasi atau gandum bertahun-tahun, dan tanpa memiliki suka cita atau kedamaian bagi dirinya atau bagi orang lain? Lampu petromax akan bersinar hanya ketika engkau memompa udara dengan penuh semangat; cahaya dirimu juga redup dan hampir padam; pompalah dengan semangat, yaitu dengan melibatkan dirimu dalam latihan spiritual dan menerangi pikiranmu dengan lebih baik dan memancarkan cahayanya pada semua yang datang mendekatimu. [Divine Discourse Feb 19, 1966]

-BABA

Thought for the Day - 29th July 2016 (Friday)

When a ray of light falls on several pieces of glass, the light is scattered in many different directions. Some people may think that this light came from several sources. That is incorrect. The single source of light fell on a large number of coloured glasses, and hence appeared as if it is composed of different colours. If the same light falls on the ground, we would not be able to see the light, because the ground obstructs and absorbs the light. In the same manner, if the brilliant shining grace from the Lord falls on a sattwic (pure) person, he/she will shine brilliantly. If the same grace from the Lord, falls on a person with rajasic (aggressive) qualities, it will make him/her develop several desires of the world. If the same grace falls on a person with tamasic (dull) qualities, it will not only go through without having any effect, but also might lose some of its lustre.


Ketika sebuah cahaya menyinari pada sebuah kaca maka cahaya tersebut akan dipencarkan pada berbagai arah yang berbeda. Beberapa mungkin berpikir bahwa cahaya ini berasal dari berbagai sumber. Hal itu adalah tidak benar. Satu sumber cahaya yang menyinari banyak kaca warna warni akan kelihatan bahwa cahaya dibentuk dari warna yang berbeda. Jika cahaya yang sama menyinari tanah maka kita tidak akan mampu melihat cahaya itu, karena tanah bersifat menghalangi dan menyerap cahaya. Dalam hal yang sama, jika kilaun rahmat Tuhan bersinar cemerlang menyinari orang yang satwik (suci) maka orang tersebut akan bersinar dengan cemerlangnya. Jika rahmat yang sama menyinari orang yang bersifat rajasik (agresif), maka rahmat ini akan membuat dirinya mengembangkan beberapa keinginan dunia. Jika rahmat yang sama menyinari orang dengan kualitas tamasik (malas), rahmat itu tidak akan memberikan dampak apapun namun juga akan kehilangan kialuannya. [Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch. 8]

-BABA

Thursday, July 28, 2016

Thought for the Day - 28th July 2016 (Thursday)

People do not believe in God, but believe newspapers and all that is published therein. They believe in things they have not seen and consider what their ears hear to be true. A blind person is in darkness and when he denies there is light, do we need to attach any value to his denial? No! On the contrary, you see a plane zooming in the sky; someone tells you that it is flown by a pilot, but you refuse to believe because you do not see him from where you are. Is this appropriate? Isn’t it reasonable to guess that a flying plane must have a pilot? If you want to verify, you must get to the plane and see the pilot! It would be unwise to deny his existence standing on the ground. So too seeing the Universe, you must firmly believe in the existence of God, and not deny His presence because you have not been able to see Him.
Manusia tidak percaya kepada Tuhan, namun percaya dengan surat kabar dan semua berita yang dimuat disana. Mereka percaya pada hal yang tidak mereka lihat dan menganggap bahwa telinga mereka mendengar yang benar. Seorang yang buta berada dalam kegelapan dan ketika ia menyangkal adanya cahaya, apakah kita perlu melampirkan nilai apapun untuk penyangkalannya? Tidak! Sebaliknya, engkau melihat sebuah pesawat terbang sedang terbang di angkasa; seseorang mengatakan kepadamu bahwa pesawat itu diterbangkan oleh seorang pilot, namun engkau menolak untuk mempercayainya karena engkau tidak melihat itu dari tempat engkau berada. Apakah ini pantas? Bukankah masuk akal menebak pesawat terbang harus memiliki seorang pilot? Jika engkau ingin membuktikannya maka engkau harus masuk ke dalam pesawat terbang dan melihat pilotnya! Menjadi tidak bijak untuk menyangkal kehadiran pilot dengan kita berdiri di atas tanah. Begitu juga dalam melihat alam semesta ini, engkau harus yakin dengan mantap akan kehadiran Tuhan, dan tidak menyangkal kehadiran-Nya walaupun engkau belum mampu melihat-Nya. (Divine Discourse Feb 19, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 27th July 2016 (Wednesday)

A young mother puts her baby to sleep and when the little one is asleep, she attends to other household works. But all the while her attention is on the baby, and her thoughts are always about when the baby would wake up. Even if she is engaged in an urgent and pressing work, her attention is on the baby, and as soon as she hears the cry, she comes running. She does not wait to analyse in what tune (raga) and tempo (tala) the baby is crying. Just as the mother comes running as soon as she hears the baby’s cry, so also, when a person cries to the Lord from the depths of their heart, the Lord responds instantly and helps every devotee. God does not ask what path this devotee is adopting or what bhajans are being sung to call Him, etc. But He looks for the sincerity with which the devotee has cried out.


Seorang ibu muda menaruh bayinya untuk tidur dan ketika bayinya sudah tertidur maka sang ibu akan melanjutkan pekerjaan rumahnya. Namun semua perhatiannya hanya pada bayinya dan pikirannya selalu tentang kapan bayinya akan bangun. Walaupun sang ibu dalam pekerjaan yang mendesak dan menekan, perhatiannya ada pada bayinya dan segera setelah bayinya menangis maka sang ibu akan berlari bergegas datang. Ia tidak akan menunggu untuk menganalisa apakah tangisan bayinya sudah dalam nada yang benar (raga) dan tempo yang sesuai (tala)? Sama halnya ketika seorang ibu segera berlari ketika ia mendengar tangisan bayinya, begitu juga, ketika seseorang menangis kepada Tuhan dari kedalaman hati mereka, Tuhan menjawab dengan segera dan membantu setiap bhakta. Tuhan tidak menanyakan jalan apa yang ditempuh olehnya dan apa lagu bhajan yang dipakai untuk memanggilnya, dsb. Namun, Tuhan melihat ketulusan dimana bhakta itu menangis dengan keras. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 7)

-BABA

Tuesday, July 26, 2016

Thought for the Day - 26th July 2016 (Tuesday)

Worry about what might happen to life, reputation, wealth and authority in the very next moment is haunting everyone; insecurity stalks the land, torn by hatred and greed. People have lost the comfort of self-reliance; they have no faith in their own strength, and no confidence in others. Man is the most devalued entity today; everything else has risen in value. Man is cheap and he can be neglected with impunity. He knows not his own greatness or worth. He does not know how to elevate the smallest act of his into a means of realising the Grace of the Lord. He does not know the alchemy by which every failure or disappointment can be transmuted into a golden chance for self-surrender and for building up the bulwark of Bhakthi (devotion). He fritters away precious time in paltry activities and petty pleasures, which lower his self-respect and injure his physical and mental calibre. One must try to live up to the great traditions of one’s forefathers and the great men of one’s motherland.


Cemas tentang apa yang mungkin terjadi dalam hidup, reputasi, kekayaan, dan kekuasaan dalam setiap saat menghantui setiap orang; kegelisahan menghantui bumi, dirobek oleh kebencian dan ketamakan. Manusia telah kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri; mereka tidak memiliki keyakinan pada kekuatannya sendiri dan tidak percaya pada yang lainnya. Manusia adalah yang paling kehilangan nilainya saat sekarang; segala sesuatu yang lain telah meningkat dalam nilai. Manusia menjadi rendah dan dapat diabaikan dengan impunitas. Manusia tidak tahu kebesaran dan nilainya sendiri dan juga tidak tahu bagaimana untuk meningkatkan tindakannya yang paling kecil menjadi sebuah sarana untuk menyadari rahmat Tuhan. Manusia tidak mengetahui alkimia yang mana setiap kegagalan atau kecewa dapat dirubah menjadi kesempatan emas untuk berserah diri dan membangun pertahanan dari Bhakthi. Manusia membuang-buang waktunya yang berharga dalam kegiatan yang sepele dan kesenangan yang remeh, yang merendahkan harga dirinya dan melukai kualitas fisik dan mentalnya. Seseorang harus mencoba untuk hidup sesuai dengan tradisi besar nenek moyang dan orang-orang besar di tanah airnya. (Divine Discourse, Anantapur High School for Girls, School Day, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 25th July 2016 (Monday)

God is all-powerful and can melt even stony hearts, yet He will not undertake to do so. Human beings have the strength to correct their path by adhering to the goals of life (Purusharthas — dharma, artha, kama, moksha), and so God will expect that you should first set right your thoughts by your own efforts and then seek God’s help. Your life must be just like the village woman who carries a pot filled with water on her head. She would be talking and joking along with other women as she walks along. Yet would take great care of the pot of water on her head. Similarly, while we live in the normal world taking things lightly as they come, we will have to take great care of the spiritual aspects as well without forgetting or ignoring them. Whatever work and task you may undertake, if you have your attention on Divinity, then God will take care of you always.


Tuhan adalah Yang Maha Kuasa dan dapat melelehkan bahkan hati yang membatu, namun Beliau tidak akan melakukan hal itu. Manusia memiliki kekuatan untuk memperbaiki jalan mereka dengan mengikuti tujuan dari hidup (Purushartha — dharma, artha, kama, moksha), dan Tuhan akan mengharapkan bahwa engkau seharusnya menentukan pikiranmu terlebih dahulu dengan usahamu sendiri dan kemudian mencari bantuan Tuhan. Hidupmu harus seperti wanita desa yang membawa kendi yang penuh berisi air di atas kepalanya. Wanita ini akan bercanda dan berbicara dengan wanita lainnya sepanjang perjalanan yang ditempuhnya, namun masih memberikan perhatian yang besar pada kendi yang ada di atas kepalanya. Sama halnya, ketika kita hidup di dunia normal menerima sesuatu dengan enteng seperti semuanya itu datang, kita harus memberikan perhatian besar pada aspek spiritual dan juga tanpa melupakan atau mengabaikannya. Apapun pekerjaan dan tugas yang engkau jalankan, jika engkau memiliki perhatian kepada Tuhan, maka Tuhan akan selalu menjagamu. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 7)

-BABA

Thought for the Day - 24th July 2016 (Sunday)

Form a satsang (holy company), where you meet and exchange truths and virtuous talk, where you study holy books and discourses on the glory of God. Why waste precious time in scandals about others and criticisms of others' behaviour? Cultivating envy, malice, hatred and anger against others is an evil pastime that recoils on oneself. In everyone there is resident the self-same divine spark; so caviling at another is tantamount to caviling at Divinity. The game of life is worth playing and becomes interesting only when there are bounds and rules which limit and control. Imagine a game of football without any rules or bounds for the field. It will be chaos; it will be a free fight; it will be a riot. No one can say who wins and how. Righteousness (Dharma) and Divinity (Brahma) are the boundaries of the field. The virtues fight against the vicious tendencies. Play the game, paying heed to the warnings of ‘foul’ and ‘out’!


Bentuk dari satsang (pergaulan suci), dimana engkau bertemu dan tukar menukar kebenaran dan pembicaraan yang mulia, dimana engkau mempelajari buku-buku suci dan wejangan akan kemuliaan Tuhan. Mengapa menghabiskan waktu yang berharga dalam skandal tentang orang lain dan mengkritik perbuatan yang lainnya? Dengan meningkatkan rasa benci, dengki, iri hati, dan kemarahan terhadap orang lain adalah sebuah hiburan yang jahat yang akan memantul pada diri sendiri. Dalam diri setiap orang ada percikan Tuhan yang sama; jadi dengan bertengkar dengan yang lain sama dengan bertengkar dengan Tuhan. Permainan kehidupan adalah permainan yang berharga dan menjadi menarik hanya ketika ada batasan dan aturan yang membatasi dan mengendalikan. Bayangkan sebuah permainan sepakbola tanpa adanya aturan atau batasan di lapangan maka permainan ini akan menjadi kacau; ini akan menjadi pertarungan bebas dan menimbulkan kerusuhan. Tidak ada seorang pun yang mengatakan siapa yang menang dan kalah. Kebajikan (dharma) dan keilahian (Brahma) adalah batasan di lapangan. Kebaikan melawan kecenderungan jahat. Mainkanlah permainannya dan berikan perhatian pada peringatan dari ‘pelanggaran’ dan ‘keluar’! (Divine Discourse, Anantapur High School for Girls, School Day, 1966)

-BABA

Sunday, July 24, 2016

Thought for the Day - 23rd July 2016 (Saturday)

There are certain essential remedial action, without doing which to expect an Avatar to simply remove all suffering is very foolish. Firstly, you should make an attempt to make good use of the mental and physical strengths that have been gifted to you. If you are so lazy as not to use the mental and physical strengths you have, what will you do with divine strengths? Just because God gave you enough food, for you to expect that God must help you in transferring this food to your stomach is indeed a lazy idea. You should make good use of God’s gifts of your hands, a palate, and a mouth. If you choose not to use your body, mind and mental strength in a good way, then, no one can help you!

Ada perbuatan perbaikan tertentu yang bersifat mendasar, tanpa melakukannya dan berharap Awatar untuk menghilangkan semua penderitaan adalah sangat bodoh sekali. Pertama-tama, engkau harus membuat sebuah usaha untuk menggunakan dengan baik kekuatan mental dan fisik yang telah diberikan kepadamu. Jika engkau begitu malas dengan tidak menggunakan kekuatan mental dan fisik yang engkau miliki, apa yang akan engkau lakukan dengan kekuatan Tuhan? Hanya karena Tuhan memberikanmu makanan yang cukup, dan engkau mengharapkan bahwa Tuhan harus membantumu memasukan makanan ini ke perutmu adalah sebuah gagasan yang malas. Engkau harus menggunakan dengan baik pemberian Tuhan berupa tanganmu, langit-langit mulut, dan sebuah mulut. Jika engkau memilih untuk tidak menggunakan tubuh, pikiran, dan kekuatan mentalmu dengan jalan yang baik maka tidak ada seorangpun yang dapat membantumu! (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 6)

-BABA

Friday, July 22, 2016

Thought for the Day - 22nd July 2016 (Friday)

Providing housing, clothing and food gives physical happiness (Sukha); educating in skills and worldly information gives a means of livelihood. But ancient scriptures proclaim, Na Sukat Labhate Sukham - Real and lasting happiness cannot be won through physical happiness. Happiness that is not shaken, diminished or modified by good fortune or bad can come only by disciplining the mind and faith in a Higher Power that guides all your words, thoughts and deeds. The lamp of that spiritual awareness must be lit and fed, so that every being can walk that path and proceed unharmed. The Scriptures also declare that you can attain that everlasting happiness through duty performed as 'worship'. Dedication to your duty reveals the Oneness of the Universe when your Intelligence is cleared of the dust of doubt and delusion. Your body is a temple of the Lord and the atmosphere of this temple is by its very nature filled with love for all beings.


Menyediakan rumah, pakaian, dan makanan dapat memberikan kesenangan pada tubuh (Sukha); mendidik dalam keahlian dan informasi duniawi memberikan sebuah sarana untuk hidup. Namun naskah suci zaman kuno menyatakan, “Na Sukat Labhate Sukham – kebahagiaan yang kekal dan sejati tidak dapat diraih melalui kebahagiaan tubuh. Kebahagiaan yang tidak tergoyahkan, tidak berkurang atau berubah oleh nasib baik atau buruk hanya dapat datang melalui mendisiplinkan pikiran dan keyakinan pada kekuatan yang lebih tinggi yang menuntun semua perkataan, pikiran, dan perbuatan. Pelita dari kesadaran spiritual harus dinyalakan dan menjaganya sehingga setiap makhluk dapat berjalan di jalan itu tanpa menderita luka-luka. Naskah suci juga menyatakan bahwa engkau dapat mencapai kebahagiaan yang kekal melalui menjalankan kewajiban sebagai 'ibadah'. Dedikasikan kewajibanmu dalam mengungkapkan keesaan dari alam semesta ketika kecerdasanmu dijernihkan dari debu keraguan dan khayalan. Tubuhmu adalah sebuah tempat suci dari Tuhan dan suasana dari tempat suci ini dengan secara alami diliputi dengan kasih bagi semua makhluk. (Divine Discourse, Anantapur High School for Girls, School Day, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 21th July 2016 (Thursday)

Although humanity has been exposed to many Advents (Avatar), people have not yet fully understood all aspects of an Advent. We should examine the reason why the formless Lord takes the form of a human being and comes into the midst of humans. It is so that He may mix with the human beings and set examples and ideals, and convey to them all aspects that they should learn. Many ask innocently and ignorantly why an Avatar, who is all powerful, should subject Oneself to all troubles; and why should He tolerate hunger and suffering all around. An Avatar who has all the powers should be able to remove all such suffering in one moment. If there is any meaning in such a question, why should an Avatar come in human form at all? He can remain as formless Divinity and do all these things from that position itself. In time, and under certain conditions whatever has to be done must be done and such acts have to be performed at a human level.


Walaupun manusia telah ditunjukkan dengan banyak kedatangan (Awatara), manusia belum secara penuh mengerti semua aspek dari kedatangan (Sang Awatara). Kita seharusnya memeriksa alasan mengapa Tuhan yang tidak berwujud mengambil wujud sebagai manusia dan datang diantara manusia. Hanya dengan seperti itu maka Beliau dapat bercampur dengan manusia dan memberikan teladan dan idealisme, dan menyampaikan kepada manusia semua aspek yang seharusnya mereka pelajari. Banyak yang bertanya dengan lugu dan dengan ketidaktahuan yaitu mengapa Awatara yang begitu sangat berkuasa harus tunduk pada semua masalah; dan mengapa Beliau harus memberikan toleransi terhadap rasa lapar dan menderita sepenuhnya. Awatara yang memiliki semua kekuatan seharusnya mampu melenyapkan semua bentuk penderitaan dalam sekejap. Jika ada maksud dalam pertanyaan seperti, mengapa Awatara harus datang dalam wujud manusia? Beliau dapat tetap berada sebagai Tuhan yang tanpa wujud dan melakukan segalanya dari keadaan itu. Pada waktunya dan dalam keadaan tertentu apapun yang harus dilakukan dan tindakan itu harus dilakukan pada tingkat manusia. (Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 6)

-BABA

Thursday, July 21, 2016

Thought for the Day - 20th July 2016 (Wednesday)

Everyone must develop the spirit of sacrifice (tyaga). You must serve the people with your body. You have to cherish good and noble thoughts in your mind. You must use your wealth for supporting educational and other institutions to help the people. Give food to the starving. This is the way to lead a purposeful and sublime life. Life has been given to you not to become fat yourself. The body is the basic instrument for the practice of righteousness (Dharma). Dedicate your entire time to service and for the proper discharge of your duties. God alone can transform your spiritual efforts into a transcendental experience. God is omnipresent; He is everywhere and within you. You are Divine! Ensure your spiritual practices (Sadhana) are not for any selfish reason. It must promote the good of others. Giving up selfishness, cultivating selfless love for others, and sanctify your lives. Then you will experience Sakshatkara, the vision of the Divine from within you.


Setiap orang harus mengembangkan semangat berkorban (tyaga). Engkau harus melayani yang lainnya dengan tubuhmu. Engkau harus menghargai gagasan yang baik dan mulia di dalam pikiranmu. Engkau harus menggunakan kekayaanmu untuk mendukung pendidikan dan institusi yang lainnya untuk membantu manusia. Berikan makanan pada mereka yang kelaparan. Ini adalah cara untuk menuntun pada hidup yang penuh makna dan luhur. Hidup sudah diberikan kepadamu adalah bukan untuk menjadi kaya bagi dirimu sendiri. Tubuh adalah sarana yang mendasar untuk menjalankan kebajikan (Dharma). Dedikasikan seluruh waktumu untuk melayani dan menjalankan kewajibanmu dengan baik. Tuhan sendiri yang dapat merubah usaha spiritualmu ke dalam sebuah pengalaman yang diluar pemahaman manusia. Tuhan ada dimana-mana; Tuhan ada dimana saja dan di dalam dirimu. Engkau adalah keillahian! Pastikan latihan spiritualmu (Sadhana) adalah bukan untuk kepentingan diri sendiri. Sadhana harus meningkatkan kebaikan bagi yang lainnya. Lepaskanlah sifat mementingkan diri sendiri, tingkatkan kasih yang tulus bagi yang lainnya dan sucikanlah hidupmu. Kemudian engkau akan mengalami Sakshatkara yaitu penglihatan Tuhan yang ada di dalam dirimu. (Divine Discourse, 7th July 1990)

-BABA

Tuesday, July 19, 2016

Thought for the Day - 19th July 2016 (Tuesday)

Today we are celebrating Guru Poornima. The day is usually observed as an occasion for offering worship to the Guru (the religious or other preceptor). There are eight different types of gurus, who impart spiritual instructions of different kinds. Among these, the really important guru is "Vihitha Guru", the preceptor who removes the doubts in the minds of the disciples and reveals to them the process of Self-discovery and Self-realisation. The guru should destroy the darkness of ignorance (about one's Reality) and illumine the mind of the disciple. The illumination must result in the perception of the One Reality that is beyond name, form and attributes. No purpose is served by going in search of gurus. There is a guru in each of us. It is the Atmic principle. It is the Eternal Witness functioning as Conscience in everyone. With this Conscience as guide, let all actions be done.


Hari ini kita merayakan perayaan Guru Poornima. Hari dimana digunakan sebagai hari untuk menghaturkan pemujaan kepada Guru (dalam bidang agama atau guru yang lainnya). Ada delapan jenis yang berbeda dari guru, yang memberikan berbagai jenis perintah spiritual. Diantara kedelapan ini, guru yang benar-benar penting adalah "Vihitha Guru", guru yang menghilangkan keraguan dalam pikiran muridnya dan mengungkapkan kepada mereka proses dari penemuan diri yang sejati dan menyadari diri sejati. Guru seharusnya menghancurkan kegelapan dari kebodohan (tentang kenyataan sejati seseorang) dan menerangi pikiran murid. Penerangan harus menghasilkan kemampuan memahami pada satu kenyataan yang sejati dimana melampaui nama, wujud, dan sifat. Tidak ada gunanya untuk pergi mencari guru. Ada guru di dalam diri kita. Guru ini adalah prinsip Atma. Ini merupakan saksi yang abadi yang berfungsi sebagai kesadaran dalam diri setiap orang. Dengan kesadaran ini sebagai penuntun, biarkan semua tindakan dilakukan. (Divine Discourse, 11 July 1987)

-BABA

Monday, July 18, 2016

Thought for the Day - 18th July 2016 (Monday)

You might say that the karma of the previous birth has to be consumed in this birth and that no amount of grace can save man from that. Evidently, someone has taught you to believe so. But I assure you, you need not suffer from karma like that. When a severe pain torments you, the doctor gives you a morphine injection and you do not feel the pain, though it is there in the body. Grace is like the morphine; the pain is not felt, though you go through it! Grace takes away the malignity of the karma which you have to undergo. There are also dated drugs, which become ineffective after a certain time. Well, so too, with Grace, the effect of karma is rendered null, even though you go through the experience! Hence, it is wrong to say the ‘Lalata likhitam’ (fate written on the forehead) cannot be rendered ineffective. Grace can surpass anything; nothing can stand in its way. Remember, it is the grace of the ‘All-mighty’!


Engkau mungkin mengatakan bahwa karma dari kehidupan yang lalu harus dinikmati pada kelahiran saat sekarang dan tidak ada jumlah rahmat yang dapat menyelamatkan manusia dari hal itu. Dengan jelas, seseorang telah mengajarkanmu untuk mempercayainya. Namun Aku memastikan kepadamu, engkau tidak perlu menderita dari karma seperti itu. Ketika sebuah rasa sakit yang tidak tertahankan menyiksamu maka dokter akan memberikanmu obat bius dan engkau tidak merasakan rasa sakit walaupun rasa sakit itu masih ada di badan. Rahmat adalah seperti obat bius; rasa sakit tidak terasa walaupun engkau tetap mengalaminya! Rahmat mengambil kedengkian dari karma yang harus engkau alami. Ada juga tanggal kadaluarsa dalam sebuah obat yang mana obat itu akan menjadi tidak efektif lagi pada jangka waktu tertentu. Begitu juga dengan rahmat yang akan membuat dampak dari karma menjadi batal walaupun engkau mengalaminya! Oleh karena itu adalah salah dengan mengatakan ‘Lalata likhitam’ (nasib tertulis di dahi) tidak bisa dibuat tidak efektif. Rahmat dapat melampaui apapun juga; tidak ada yang dapat berdiri menghadang jalannya. Ingatlah, ini adalah rahmat dari Tuhan yang Maha Kuasa! (Divine Discourse, 23-Nov-1964)

-BABA

Thought for the Day - 17th July 2016 (Sunday)

You have been listening to My discourses for years. If you are merely content to listen, it is sheer waste of time. You have to ruminate over what you have heard and try to put into practice the teachings. Sravanam (listening), Mananam (reflecting) and Nidhidhyasanam (putting into practice what has been learnt) are the three stages in the spiritual journey. Repeating parrot-like what one has heard earns not even the merit of enjoying the sweetness of the words. Claiming to be devotees and going about as devotees, few are caring to find out what is true devotion. Bhajans and Japas (singing and repeating God's name) and performance of yagas and yajnas (sacrifices and rituals) are not the real marks of devotion. They are merely exercises in washing out one's impurities. All the nine kinds of worship are also designed to achieve purity of mind and heart. But purity should find expression in action just as clothes that have been washed have to be worn. Without purity in action, the real nature of the Self cannot be recognised.


Engkau sudah mendengarkan wejangan-Ku selama bertahun-tahun. Jika engkau hanya untuk mendengarkannya saja maka ini hanya menyia-nyiakan waktu saja. Engkau harus merenungkan terhadap apa yang sudah engkau dengarkan dan mencoba untuk menjalankan ajarannya. Sravanam (mendengarkan), Mananam (merenungkan), dan Nidhidhyasanam (menjalankan apa yang telah dipelajari) adalah tiga tahapan dalam perjalanan spiritual. Mengulang-ulang seperti halnya burung beo terhadap apa yang telah didengarkan bahkan tidak memperoleh kenikmatan dari rasa manis dari kata-kata itu. Dengan menyatakan diri sebagai bhakta dan mendekati sebagai bhakta, hanya sedikit yang peduli untuk menemukan apa itu bhakti yang sejati? Bhajan dan Japa (melantunkan dan mengulang-ulang nama Tuhan) dan  melaksanakan yaga dan yajna (pengorbanan dan ritual) bukanlah tanda yang sesungguhnya dari bhakti. Semuanya itu hanyalah latihan dalam membersihkan ketidakmurnian. Semua dari kesembilan jenis bhakti adalah juga dimaksudkan untuk mencapai kemurnian dalam pikiran dan hati. Namun kemurnian seharusnya diungkapkan dalam tindakan seperti halnya pakaian yang sudah dicuci harus dipakai. Tanpa kesucian dalam perbuatan maka sifat yang sejati dari diri tidak bisa disadari. (Divine Discourse, 11 July 1987)

-BABA

Sunday, July 17, 2016

Thought for the Day - 16th July 2016 (Saturday)

In every man there is a combination of the Mayatatwa (the Deluding principle) and the Brahmatatwa (the Divine principle). Without the Deluding principle, the Brahmatatwa cannot be experienced. Without the Brahmatatwa, the power of maya cannot be manifest. On the surface of the vast ocean, countless waves are seen. There must be a force that causes these waves. It is the power of wind on the water of the ocean that produces the waves. Without the force of wind there can be no waves. Maya can be compared to this wind. The water in the ocean can be compared to the form of Sat-Chit-Ananda. The Jiva-tatwa or the individual selves are the waves of the ocean. To recognise the illusory character of the world does not mean giving up all actions or family ties. Actions should be done in a spirit of detachment. Relationships should be maintained without deep attachment. It is not renunciation of action that is required. Renunciation in action is what is necessary.


Dalam setiap manusia ada sebuah kombinasi dari Mayatatwa (prinsip yang menipu) dan Brahmatatwa (prinsip illahi). Tanpa adanya prinsip yang menipu, maka Brahmatatwa tidak dapat dialami. Tanpa Brahmatatwa, kekuatan dari maya tidak dapat dimanifestasikan. Di permukaan dari lautan yang luas, gelombang yang tidak terhitung jumlahnya dapat kelihatan. Pasti ada sebuah kekuatan yang menyebabkan gelombang tersebut. Ini adalah kekuatan angin yang ada di air laut yang menghasilkan gelombang laut. Tanpa kekuatan angin maka tidak akan ada gelombang. Maya dapat dibandingkan dengan angin ini. Air yang ada di lautan dapat dibandingkan dengan wujud Sat-Chit-Ananda. Jiwa-tatwa atau diri individu adalah gelombang dari lautan. Untuk menyadari karakter ilusi dari dunia bukan berarti melepaskan semua perbuatan atau ikatan keluarga. Perbuatan seharusnya dilakukan atas semangat tanpa keterikatan. Hubungan seharusnya dijaga tanpa keterikatan yang mendalam. Ini bukanlah perbuatan yang meninggalkan semuanya yang diperlukan. Melepaskan semuanya dalam tindakan adalah yang diperlukan. (Divine Discourse, 11 July 1987)

-BABA

Thought for the Day - 15th July 2016 (Friday)

People today tend to be naive in their actions. They go after nondescript preceptors and seek messages from them. When the preceptors are themselves wallowing in bondage, how are they going to free you? How can someone filled with delusions themselves rid you of your delusions? Some people are constantly seeking some spiritual messages (mantra). What is the mantra you need? It is the understanding of your true nature. This mantra is in you. Everyone within has the mantra, tantra and yantra (the spiritual message, the method of practicing it and the instrument for implementing it). Your process of breathing verily contains the mantra you need: So-Ham (I am That). What is the yantra (the instrument)? Your physical body! What is the tantra? Your heart! When you have all the three, why go to anyone for a message? It is a sign of weakness and ignorance. Do not go in search of Gurus.


Manusia saat sekarang cenderung menjadi naif dalam perbuatan mereka. Mereka mengejar guru yang tanpa karakter dan ingin mendapatkan pesan dari guru tersebut. Ketika guru tersebut masih berkubang dalam perbudakan, bagaimana mereka bisa membebaskanmu? Bagaimana seseorang yang masih dalam khayalan bisa membebaskanmu dari khayalan? Beberapa orang secara terus menerus mencari pesan spiritual (mantra). Apa mantra yang engkau butuhkan? Ini adalah pemahaman tentang kenyataan tentang dirimu yang sejati. Mantra ini ada di dalam dirimu. Setiap orang di dalam dirinya memiliki mantra, tantra, dan yantra (pesan spiritual, metode dalam menjalankannya dan sarana dalam menjalankannya). Proses dalam pernafasanmu sejatinya terkandung dengan mantra yang engkau butuhkan yaitu: So-Ham (Aku adalah Tuhan). Apa itu yantra (sarana)? Tubuh fisikmu! Apa itu tantra? Hatimu! Ketika engkau memiliki ketiganya, lantas mengapa engkau pergi kepada siapapun untuk mendapatkan pesan spiritual? Ini adalah tanda dari kelamahan dan kebodohan. Jangan pergi untuk mencari Guru. (Divine Discourse, July 7, 1990)

-BABA

Friday, July 15, 2016

Thought for the Day - 14th July 2016 (Thursday)

Everyone is now seeking comfort and pleasure! If you tell someone that they can eat whatever they like and as much as they like, they will be delighted; if you add that they might develop, as a consequence, some illness, they will treat you as an enemy. No regimen or control is popular. But strength is derived only from control, restraint, and regulation. A person becomes tough and capable of endurance only if they welcome hardships. Struggle, and you get the strength to succeed. Seek the basis for the seen in the unseen. The tall skyscraper has a deep base reaching into the earth. This seen world has, as its base, the unseen Divine (Paramatma); your body is the vehicle through which you can search, investigate, and discover that base. Your body is an instrument for doing work (karma); prayer and meditation (japa and dhyana) will purify your intelligence and make it an instrument for winning grace, and ultimately attaining self-realisation.


Setiap orang sekarang sedang mencari kenyamanan dan kenikmatan! Jika engkau mengatakan kepada seseorang bahwa mereka dapat makan apapun yang mereka sukai sebanyak yang mereka mau, maka mereka akan sangat senang; jika engkau menambahkan bahwa mereka bisa mendapatkan penyakit sebagai akibatnya maka mereka akan memperlakukanmu sebagai musuh. Tanpa aturan hidup atau pengendalian adalah popular. Namun kekuatan didapatkan hanya dari pengendalian dan aturan. Seseorang menjadi kuat dan tahan hanya jika mereka menerima kesukaran atau penderitaan. Carilah pondasi atau dasar dari yang terlihat pada yang tidak terlihat. Gedung tinggi pencakar langit memiliki pondasi yang masuk ke dalam bumi. Dunia yang Nampak mata ini memiliki dasar yaitu Tuhan yang tidak terlihat (Paramatma); tubuhmu adalah kendaraan digunakan untuk mencari, menyelidiki dan menemukan dasar pondasi itu. Tubuhmu adalah alat untuk melakukan kerja (karma); berdoa dan meditasi (japa dan dhyana) akan menyucikan kecerdasanmu dan membuatnya sebagai kendaraan untuk mendapatkan rahmat-Nya dan akhirnya mencapai kesadaran diri sejati. (Divine Discourse, 23-Nov-1964)

-BABA

Thursday, July 14, 2016

Thought for the Day - 13th July 2016 (Wednesday)

The relationship with the Lord is described as developing from Salokya (in the vicinity) to Samipya (nearness), to Sarupya (Form of the master) and then on to Sayujya (absorption into the Form). You can understand this clearly, if you take Salokya to mean, being in the kingdom ruled by the Lord, or as a servant in the palace where He dwells. You are under His fostering care. In the Samipya stage, you feel you are a personal attendant on the Lord, privileged to be near Him and to be called upon by Him for some personal service. You have neared the principle of Godhead, intellectually; you feel His presence ever, emotionally. Next, the stage of Sarupya is like being the brother of the King. He can wear the same robes. One has the splendour, the glory that bespeaks the full blossoming of the Divine latent within. Lastly, when you are the son, the heir apparent, you approximate as much as possible to the Royal Power and so, you can say, ‘I and My Father are One.’ These are the stages of the soul's journey to Realisation of the Oversoul.


Hubungan dengan Tuhan digambarkan sebagai perkembangan dari Salokya (berada di sekitar) ke Samipya (kedekatan), ke Sarupya (wujud dari penguasa) dan kemudian ke Sayujya (penyerapan ke dalam wujudnya). Engkau dapat memahami ini dengan jelas, jika engkau barada di tahapan Salokya itu berarti berada di kerajaan yang diperintah oleh Tuhan atau sebagai seorang pelayan di dalam istana dimana Tuhan tinggal. Engkau ada dibawah perlindungan-Nya. Dalam tahap Samipya, engkau merasa bahwa engkau adalah pelayan pribadi Tuhan memiliki hak istimewa untuk dekat dengan Tuhan dan dipanggil oleh Tuhan untuk beberapa pelayanan bersifat pribadi. Engkau sudah dekat dengan prinsip ke-Tuhanan secara intelektual; engkau selalu merasakan kehadiran-Nya secara emosi. Selanjutnya, tahapan Sarupya adalah seperti menjadi saudara dari Raja, dimana ia dapat memakain jubah yang sama dengan Raja. Seseorang memiliki kemuliaan, keagungan yang memperlihatkan keillahian yang tersembunyi di dalam dirinya mekar sepenuhnya. Pada akhirnya, ketika engkau adalah putra dan pewaris Raja, engkau memiliki kedekatan sebanyak mungkin dengan kekuasaan Raja dan dengan demikian engkau dapat berkata, ‘Aku dan Ayah-Ku adalah satu.’ Ini adalah tahapan dari perjalanan jiwa dalam merealisasikan kenyataan yang tertinggi. (Divine Discourse, Sathya Sai Speaks, Vol 6, March 1966)

-BABA

Tuesday, July 12, 2016

Thought for the Day - 12th July 2016 (Tuesday)

Upa-vasa (Upa-near; vasa-living) means ‘living in the proximity of God’. Periodical fasting is prescribed to help your digestive system overhaul itself and get much needed rest. Vows, vigils, fasts, and all kinds of voluntarily imposed or involuntarily suffered hardships are to be looked upon as promoting spiritual strength, not weakening your physical stamina. Gardeners dig around the roots, and clip the wayward twigs only to make the plant grow fast into a trim and tall tree. Some people, however, fast on Monday for Shiva, Thursday for Me!, Friday for Lakshmi, on Saturday to propitiate Shani and so on! These misdirected aspirants spoil their health and well-being by overdoing the vow of fasting. When thoughts of food bother you, and pangs of hunger disturb you, then, it is much better to eat than fast. Remember the purpose of fast is to spend time in the contemplation of God and not to punish the body by cutting a meal or a series of meals.


Upa-vasa (Upa-dekat; vasa-hidup) berarti ‘hidup dekat dengan Tuhan’. Berpuasa secara berkala dijelaskan untuk membantu memperbaiki sistem pencernaanmu dan mendapatkan banyak istirahat yang dibutuhkan. Bersumpah, tirakat, dan puasa dan semua jenis kegiatan sukarela ini atau tanpa sadar menderita harus dipandang sebagai peningkatan kekuatan spiritual dan bukan melemahkan stamina fisikmu. Tukang kebun menggali di sekitar akar dan memotong dahan yang tidak bagus hanya untuk membuat tanaman tumbuh dengan cepat menjadi pohon yang seimbang dan tinggi. Beberapa orang, bagaimanapun juga berpuasa pada hari senin untuk Shiva, selasa untuk Swami!, Jumat untuk Lakshmi, dan sabtu untuk mengambil hati Tuhan dan sebagainya! Peminat spiritual yang salah arah ini merusak kesehatan dan kesejahteraan dengan melakukan puasa yang berlebihan. Ketika pikiran akan makanan mengganggumu dan rasa lapar mulai terasa, adalah jauh lebih baik untuk makan daripada melakukan puasa. Ingatlah tujuan dari puasa adalah untuk meluangkan waktu dalam perenuangan pada Tuhan dan bukan menghukum tubuh dengan tidak memakan makanan. (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 2, Mar 1966)

-BABA

Thought for the Day - 11th July 2016 (Monday)

Perhaps you think that the devotional singing (Bhajan or Sankerthan) or service (Seva) that you do is all that is required to ‘become a devotee’. No! These are only sanctifying acts that purify your mind. They are actions (Karma) which elevate you and help you spend your time purposefully. They promote detachment from body consciousness and from objective pleasures. It is because you are encouraged to cultivate this attitude and taste the joy of renunciation, you experience happiness in a sacred place like Prasanthi Nilayam. These moments of bliss (Atmic Bliss) never decline or change. Continue to practice these always. When your goal is to serve the Lord and adore your Beloved, every step and act is a spring of joy, and every moment and opportunity becomes a valuable chance!


Mungkin engkau berpikir bahwa melantunkan kidung suci (Bhajan atau Sankeerthan) atau pelayanan (Seva) yang engkau lakukan adalah syarat untuk ‘menjadi bhakta’. Tidak! Keduanya ini hanya tindakan suci yang dapat menyucikan pikiranmu. Keduanya itu adalah perbuatan (Karma) yang mana mengangkat dan membantumu dalam menghabiskan waktu dengan maksud tertentu. Kegiatan itu meningkatkan ketidakterikatan pada kesadaran pada badan dan dari kesenangan yang bersifat objektif. Karena engkau mendorong diri untuk meningkatkan sikap ini dan merasakan suka cita dari ketidakterikatan pada duniawi maka engkau mengalami kebahagiaan di tempat suci seperti Prasanthi Nilayam. Saat-saat berbahagia ini (kebahagiaan Atma) tidak akan pernah berkurang atau berubah. Selalulah untuk tetap melanjutkan melakukan kedua bentuk kegiatan ini. Ketika tujuanmu adalah melayani Tuhan dan memuliakan-Nya maka setiap langkah dan perbuatan adalah sumber dari suka cita dan setiap saat dan kesempatan menjadi sebuah kesempatan yang berharga! (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 2, Mar 1966)

-BABA

Sunday, July 10, 2016

Thought for the Day - 10th July 2016 (Sunday)

Service of fellow human beings is more needed than service to the Lord Himself. In fact, such service is equal to the service of God. That is the path of real devotion. For what greater means can there be to please God than pleasing His very own children? The Purusha Sukta speaks of the Divine (Purusha) as having a thousand heads, a thousand eyes and a thousand feet. This is to say, “All are He!”. Though there is the mention of a thousand heads, a thousand eyes and a thousand feet, there is no mention of a thousand hearts! There is only one Heart! The same blood circulates through all the hands, eyes, feet and limbs. When you tend the limb, you are indeed tending the whole body. Similarly, when you serve your fellow beings, you are indeed serving God!


Pelayanan kepada sesama manusia adalah lebih dibutuhkan daripada pelayanan kepada Tuhan itu sendiri. Sejatinya, pelayanan yang seperti itu adalah sama dengan pelayanan kepada Tuhan. Itu adalah jalan pada bhakti yang sejati. Apa cara yang lebih hebat dalam menyenangkan Tuhan daripada menyenangkan anak-anak-Nya sendiri? Dalam Purusha Sukta disebutkan bahwa Tuhan (Purusha) memiliki ribuan kepala, ribuan mata dan kaki. Ini dapat dikatakan bahwa, “Semuanya adalah Beliau!”. Walaupun ada disebutkan tentang ribuan kepala, ribuan mata dan kaki, namun tidak ada disebutkan ribuan hati! Hanya ada satu hati! Darah yang sama yang mengalir melalui semua tangan, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Ketika engkau merawat anggota tubuh maka sebenarnya engkau sedang merawat seluruh tubuh. Sama halnya, ketika engkau melayani sesamamu, engkau sejatinya sedang melayani Tuhan! (Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 2, Mar 1966)

-BABA

Thought for the Day - 9th July 2016 (Saturday)

The Mahabharata is an ideal text for peace lovers. So long as we are human beings, we cannot understand and follow the actions of Divinity. But we must accept and follow the actions done by God come as a human being. In the present conditions, if we accept and practice the ideals that were demonstrated in the Mahabharata, all countries will certainly prosper. For example, when Krishna went to negotiate peace and was asked by Duryodhana to accept his hospitality, Lord Krishna said that as he has come on a mission, He had no right to accept the hospitality till the mission was completed. So he declined the hospitality offered by Duryodhana and stayed in Vidura’s house. Such code of conduct was being observed in those days even in political negotiations; the moral mettle of our ancients were of a very high order. Thus every action of the Pandavas and of Lord Krishna in Mahabharata is an ideal lesson for us.


Mahabharata adalah sebuah teks yang ideal bagi para pecinta kedamaian. Selama kita sebagai manusia, kita tidak bisa memahami dan mengikuti tindakan dari Tuhan. Namun kita harus menerima dan mengikuti perbuatan yang dilakukan oleh Tuhan yang datang sebagai manusia. Dalam keadaan sekarang, jika kita menerima dan menjalankan ideal yang telah ditunjukkan di dalam Mahabharata, semua bangsa dan Negara pastinya akan sejahtera. Sebagai contoh, ketika Sri Krishna pergi untuk melakukan negosiasi perdamaian dan saat itu Duryodana meminta Sri Krishna untuk menerima keramahtamahannya, namun Sri Krishna berkata bahwa Beliau telah datang untuk sebuah misi, dan Beliau tidak memiliki hak untuk menerima kerahmahtamahan sampai misinya telah selesai. Jadi Beliau menolak tawaran dari Duryodhana dan memilih tinggal di rumah Widura. Tatanan tingkah laku yang seperti itu telah dijalankan pada waktu dulu bahkan di dalam negosiasi politik; nilai moral dari para leluhur kita sangat tinggi sekali. Jadi setiap tindakan dari para Pandava dan Sri Krishna dalam Mahabharata adalah sebuah pelajaran yang ideal bagi kita. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 6)

-BABA

Friday, July 8, 2016

Thought for the Day - 8th July 2016 (Friday)

At holy temples such as Tirupati or Bhadrachalam, you find only a stone shaped as an idol. But when the feeling of devotion permeates that stone, it becomes the Supremest Treasure of the human mind. Many waste precious time, debating which path of worship - duty, devotion or wisdom - is superior over another. They are complementary. Teach your mind the secret of transmuting your every act with devotion into sacred worship. Then you will never suffer from disappointment and grief. The Lord is so full of Grace that He will willingly guide and guard every being who surrenders unto Him. To win His Grace, all you must do, is become permeated with righteousness (Dharma) so that your every act is ‘God-worthy’! With the sharp chisel of your intellect, shape your mind into a perfect image of the Lord! Then you will shine with the splendor of Divine. Dedicate yourself to this noble ideal from now!
Di tempat suci seperti Tirupati atau Bhadrachalam, engkau hanya menemukan sebuah bentuk batu (batu yang dibentuk) yang dipuja. Namun ketika perasaan bhakti menembus batu itu, maka batu itu menjadi harta benda yang tertinggi dari pikiran manusia. Banyak yang menyia-nyiakan waktu dalam perdebatan terkait jalan pemujaan – kewajiban, bhakti atau kebijaksanaan – apakah lebih hebat satu dengan yang lainnya. Ketiganya adalah saling melengkapi. Ajarkan pikiranmu rahasia dari mengubah setiap tindakanmu dengan bhakti menuju pada ibadah yang suci. Kemudian engkau tidak akan pernah menderita dari rasa kecewa dan kesedihan. Tuhan penuh dengan rahmat dimana Beliau akan dengan senang hati menuntun dan menjaga setiap makhluk yang berserah diri kepada-Nya. Untuk bisa mendapatkan rahmat-Nya, yang harus engkau lakukan adalah dapat diresapi dengan kebajikan (Dharma) sehingga setiap perbuatanmu adalah ‘Layak bagi Tuhan’! Dengan pahat tajam dari intelekmu maka bentuklah pikiranmu menjadi sebuah wujud Tuhan yang sempurna! Kemudian engkau akan bersinar dengan cahaya illahi. Dedikasikan dirimu sendiri pada ideal yang luhur ini dari sekarang! (Divine Discourse, Sathya Sai Speaks, Vol 6, Jan 14, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 7th July 2016 (Thursday)

All the lessons that great saints teach are merely like guideposts. The best that a guidepost can do is to tell you that if you travel in that way, you will reach this particular destination; and if you travel along another path, you will reach a different place. The actual ups and downs along a specific path will be understood only by the people who undertake that journey. One can speak about a million things, but you cannot experience wisdom merely by speaking and not practicing what you preach. Today, hatred, injustice, and fear have filled all our lives. Youth have abundant energy and capacity to remove these evil forces. They should make an effort to understand the sacred ideals from our scriptures. The spirit of nobility and sacrifice which pervaded the lives of ancients is contained in the blood flowing in you! Be prepared to believe in and fully practice what you hear from noble saints and set an example.


Semua pesan atau pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru suci hanyalah sebagai tonggak penunjuk jalan. Yang terbaik yang bisa dilakukan oleh penunjuk jalan adalah mengatakan kepadamu bahwa jika engkau menempuh perjalanan di jalan itu maka engkau akan mencapai tujuan tertentu; dan jika berjalan di jalan yang lain maka engkau akan mencapai tujuan yang lainnya. Naik dan turunnya jalan di sepanjang perjalanan hanya akan dapat dimengerti oleh mereka yang melakukan perjalanan. Seseorang dapat berbicara begitu banyak hal, namun engkau tidak akan dapat mengalami kebijaksanaan hanya dengan berbicara dan bukannya menjalankan apa yang engkau katakan. Saat sekarang, kebencian, ketidakadilan, dan ketakutan telah mengisi seluruh hidup kita. Pemuda memiliki energi yang sangat besar dan kapasitas untuk melepaskan kekuatan jahat ini. Pemuda harus melakukan sebuah usaha untuk mengerti ideal yang suci dari kitab suci kita. Jiwa dari kemuliaan dan pengorbanan yang ada dalam hidup leluhur kita juga terkandung dalam darah yang mengalir dalam dirimu! Bersiaplah untuk percaya dan sepenuhnya menjalankan apa yang engkau dengar dari guru suci dan menjadi teladan. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 6.)
-BABA


Thursday, July 7, 2016

Thought for the Day - 6th July 2016 (Wednesday)

The tree of life is a tree of delusion, with all its branches, leaves and flowers. You can realise it as such, when you do all acts as dedicated offerings to God. See Him as the sap through every cell, as the Sun warming and building every little plant. See Him in all, worship Him through all, for He is all! Engage in activity, but fill it with devotion: It is devotion that sanctifies! A piece of a paper is almost trash, but if it is a certificate you have earned, you value and treasure it, don’t you? It even becomes a passport for your promotion in life! So also it is the intent and thought (Bhava) behind your actions that matter, not the outward pomp and show (Bahya). Work, Worship and Wisdom are complementary, not contradictory! Do not separate them! Work is like your feet, Worship is your hands and Wisdom is your head. All the three must co-operate throughout your life!


Pohon kehidupan adalah pohon khayalan dengan semua dahan, daun dan bunganya. Engkau dapat menyadarinya pada hakekatnya, ketika engkau mengerjakan semua perbuatan sebagai persembahan kepada Tuhan. Melihat-Nya sebagai cairan tubuh yang melalui setiap sel, sebagai hangatnya mentari dan membangun setiap tumbuhan kecil. Lihatlah Beliau dalam semuanya. Memuja-Nya melalui semuanya dan karena Beliau adalah semuanya! Jalankan kegiatan namun isilah kegiatan itu dengan bhakti: karena bhakti yang menyucikan! Secarik kertas hampir pasti adalah sampah, namun jika kertas itu adalah sertifikat yang engkau telah dapatkan maka engkau menghargainya, bukan? Secarik kertas ini bahkan menjadi sebuah paspor bagi kemajuan di dalam hidup! Jadi begitu juga adalah maksud dan pikiran (Bhava) dibalik perbuatanmu yang penting dan bukan pamer keluar (Bahya). Bekerja, ibadah dan kebijaksanaan adalah melengkapi dan bukan bertentangan! Jangan memisahkan mereka! Bekerja adalah seperti kakimu, ibadah adalah tanganmu, dan kebijaksanaan adalah kepalamu. Ketiga-tiganya harus saling bekerjasama sepanjang hidupmu! (Divine Discourse Jan 14, 1966)

-BABA

Thought for the Day - 5th July 2016 (Tuesday)

We generally think that the Gita consists of certain teachings which will help us and teach us renunciation, and take us along the spiritual path. This is not the correct way of understanding. We should recognise that the Gita gives us teachings which will help us to run our daily lives and meet the situations which we come across. Krishna established the truth that our spiritual life and our daily worldly life are not two distinct compartments. He demonstrated that our daily life is something intimately connected with spiritual life. He showed the need for harmony and connection between one's thoughts, words and deeds. He proclaimed that in order that one may have good thoughts, the mind is very important. In order that one may communicate these thoughts to the world, word is very important. In order to put this into action, one’s deeds are equally important.


Kita pada umumnya berpikir bahwa Gita terdiri dari ajaran yang akan membantu dan mengajarkan kita dalam melepaskan keterikatan dan membawa kita pada jalan spiritual. Ini bukanlah pemahaman yang benar. Kita seharusnya menyadari bahwa Gita memberikan kita ajaran yang akan membantu kita untuk menjalani hidup sehari-hari dan menghadapi situasi yang kita temui. Krishna menegakkan kebenaran bahwa kehidupan spiritual kita dan kehidupan sehari-hari kita bukanlah dua bagian yang berbeda. Beliau memperlihatkan bahwa kehidupan kita sehari-hari adalah sangat dekat hubungannya dengan kehidupan spiritual. Sri Krishna memperlihatkan akan perlunya ada sebuah keharmonisan dan hubungan diantara pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang. Beliau menyatakan bahwa dalam upaya seseorang dapat memiliki gagasan yang baik maka pikiran adalah sangat penting. Dalam upaya agar seseorang dapat mengkomunikasikan kata-kata ini pada dunia, maka perkataan adalah sangat penting. Dalam upaya untuk menjadikannya sebuah tindakan maka perbuatan seseorang sama pentingnya. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 6)

-BABA