Tuesday, September 29, 2015

Thought for the Day - 29th September 2015 (Tuesday)


Some people hold the opinion that being employed is bondage, while sitting at home without any specific work is freedom! This is a sign of lack of intelligence. When employed in a job, one obeys their superiors. In the same way, being at home, can anyone escape the demands and compulsions of the family? Even when you are amidst your friends, can you avoid the necessity of acting according to their fancy? Hence, understand that all life is a prison; the differences are merely in the types of imprisonment! You will feel it this way as long as the attitude of identifying yourself with the body is there. On the other hand, the liberated ones will trample down their egoism, discriminate sensual pleasure from real happiness, and perform their duties. They will use duty (Karma) as an aid to help in the destruction of the ego. This is the path to freedom and happiness.


Beberapa orang menganggap bahwa dipekerjakan sama dengan perbudakan, sementara duduk di rumah tanpa melakukan pekerjaan tertentu adalah kebebasan! Inilah tanda kurangnya kecerdasan. Ketika dipekerjakan pada suatu pekerjaan, seseorang mematuhi atasan mereka. Dengan cara yang sama, ketika berada di rumah, dapatkah seseorang melarikan diri dari tuntutan dan dorongan dari keluarga? Bahkan ketika engkau berada di tengah-tengah teman-temanmu, dapatkah engkau menghindari tindakan sesuai dengan keinginan mereka? Oleh karena itu, pahamilah bahwa semua kehidupan adalah penjara; perbedaannya hanya pada jenis penjara! Engkau akan merasakan hal ini selama adanya sikap mengidentifikasi diri dengan badan. Di sisi lain, orang-orang yang dibebaskan akan mengabaikan egoisme mereka, diskriminasi kesenangan sensual dari kebahagiaan yang sesungguhnya, dan melakukan kewajiban mereka. Mereka akan menggunakan kewajiban (Karma) sebagai pertolongan untuk membantu dalam penghancuran ego. Inilah jalan menuju kebebasan dan kebahagiaan. (Dharma Vahini, Ch 2)

-BABA

Monday, September 28, 2015

Thought for the Day - 28th September 2015 (Monday)


Though Alexander the Great conquered most parts of the world, he could not take with him even an iota of the property he won. He left the world with empty hands. To demonstrate this truth to the world, he instructed his ministers to take his dead body in a procession through the streets of his capital keeping both his hands in a raised position pointing the sky. When the ministers asked him the reason for this strange request, Emperor Alexander replied, “I conquered several countries, accumulated great wealth and controlled a vast army; yet, I am going back with empty hands - demonstrate this truth to everyone.” You may spend a lot of time struggling to acquire a lot of wealth. Yet, not even a handful of earth will come along when you leave the body. Hence at least now accept the fact that you are Divine, and strive to appreciate the same Divinity in everyone around you.


Meskipun Alexander Yang Agung menaklukkan sebagian besar dunia, ia tidak bisa mengambil bahkan sedikitpun dari properti yang ia menangkan. Dia meninggalkan dunia ini dengan tangan kosong. Untuk menunjukkan kebenaran ini kepada dunia, ia menginstruksikan kepada menterinya untuk membawa mayatnya pada prosesi kematiannya nanti melewati jalan-jalan di ibukota dengan kedua tangannya dalam posisi mengangkat menunjuk langit. Ketika para menteri bertanya alasan untuk permintaan yang aneh ini, Kaisar Alexander menjawab, "Aku menaklukkan beberapa negara, mengumpulkan kekayaan yang banyak, dan mampu mengendalikan pasukan besar; namun, aku akan kembali dengan tangan kosong - tunjukkanlah kebenaran ini kepada semua orang." Engkau bisa menghabiskan banyak waktumu dalam perjuangan untuk mengumpulkan kekayaan, namun, bahkan tidak segenggam pun dari bumi ini akan bersamamu ketika engkau meninggalkan badan fisik ini. Oleh karena itu, setidaknya sekarang ini engkau menerima kenyataan bahwa engkau adalah Ilahi dan berusaha untuk menghargai keilahian yang sama yang ada pada semua orang di sekitarmu. (Divine Discourse, Jan 1 2009)

-BABA

Thought for the Day - 27th September 2015 (Sunday)

No other person can bind you; you do it yourself! You choose to become bound, straying away from the righteous (dharmic) path. If faith in God’s omnipresence is deep-rooted, you would become aware that He is within you and you will choose to be free. For that faith to grow, you must grasp the Divine (Atmic) bliss firmly. The reality of the Divinity (Atma) is the bedrock, that is the incontrovertible wisdom (nishchitha-jnana). Without that foundation, you will easily become the target of doubt, despair, and delusion. Therefore, first endeavour to be free. That is to say, as a prerequisite to successful living, cultivate faith in righteousness (dharma) as the core of your personality, and then learn and practise the discipline necessary to reach down to that core. When you acquire that qualification, you can engage fully in worldly activities, following the prescribed right conduct (dharma). Thus you transform yourself to be a moral individual (dharma-purusha).


Tidak ada satu orangpun yang dapat mengikatmu; engkau sendirilah yang mengikat dirimu sendiri! Engkau memilih untuk menjadi terikat, tersesat dari jalan kebenaran (dharmic). Jika keyakinan akan Tuhan yang hadir dimana-mana sangat mengakar dengan kuat maka engkau akan menjadi sadar bahwa Tuhan bersemayam di dalam dirimu dan engkau akan memilih untuk menjadi bebas. Agar keyakinan itu bisa tumbuh maka engkau harus memegang kebahagiaan illahi dengan mantap. Kenyataan dari keillahian (Atma) adalah batuan dasar yang merupakan kebijaksanaan tidak dapat dipertentangkan (nishchitha-jnana). Tanpa adanya dasar ini maka engkau akan dengan mudah menjadi sasaran dari keraguan, putus asa, dan khayalan. Maka dari itu, pertama berusahalah untuk menjadi bebas. Itulah yang dikatakan sebagai prasyarat untuk hidup yang sukses dan tingkatkanlah keyakinan pada kebajikan (dharma) sebagai inti dari kepribadianmu dan kemudian belajarlah dan jalankan disiplin yang dibutuhkan untuk mencapai pada inti tersebut. Ketika engkau sudah bisa mendapatkan kemampuan itu maka engkau sepenuhnya dapat terlibat dalam kegiatan harian di dunia dan mengikuti ketentuan dari kebajikan (dharma). Jadi engkau merubah dirimu sendiri sebagai seseorang yang bermoral (dharma-purusha). (Dharma Vahini, Ch 2)

-BABA

Saturday, September 26, 2015

Thought for the Day - 26th September 2015 (Saturday)

When common people say, ‘Idi naa dehamu’ (this is my body), scholars would interpret the expression ‘naa dehamu’ and say, it connotes ‘I am not the body’ (as ‘naa’ means ‘not’). Extending the same logic, it is possible for you to maintain a state of perfect equanimity unaffected by pain and pleasure at all times by affirming, ‘these sorrows and difficulties as well as happiness and pleasure are not mine. I am beyond these dualities.’ When you say, ‘It is my body’ doesn’t it automatically imply, ‘I’ is different from ‘the body’? When you are separate from your body, why should you feel the pain out of it? The truth is, you are unable to overcome the delusion of body attachment and are also unable to bear the pain caused to the body, as you remain at the level of a human being. Be aware that as long as you are attached to the body, sorrows, difficulties and pain will haunt you.


Ketika manusia pada umumnya berkata, ‘Idi naa dehamu’ (ini adalah badan saya), para cendekiawan akan mengartikan ungkapan itu dengan berkata ‘naa dehamu’ yang berarti ‘aku bukanlah badan’ (karena ‘naa’ berarti ‘bukan’). Memperluas dengan logika yang sama maka adalah mungkin bagi kalian untuk tetap berada sepenuhnya dalam ketenangan hati yang tidak terpengaruh oleh penderitaan dan kesenangan sepanjang waktu dengan menyatakan ‘penderitaan dan kesulitan ini begitu juga dengan kesenangan dan kebahagiaan adalah bukan milikku. Aku berada jauh melampaui dualitas keadaan ini. Ketika engkau mengatakan, ‘ini bukanlah badanku’ bukankah pernyataan ini secara tidak langsung menyatakan  bahwa, ‘aku’ adalah berbeda dengan ‘badan’? Ketika engkau terpisah dari badanmu, mengapa engkau harus menderita darinya? Kebenarannya adalah, engkau tidak mampu mengatasi khayalan dari keterikatan pada badan dan juga tidak mampu menanggung penderitaan yang disebabkan oleh badan karena engkau masih berada di level manusia. Sadarilah bahwa selama engkau masih terikat pada badan maka penderitaan, kesulitan, dan rasa sakit akan selalu menghantuimu. (Divine Discourse, Jan 1, 2009)

-BABA

Friday, September 25, 2015

Thought for the Day - 25th September 2015 (Friday)

To be free is your birthright! When you guide your steps along the path illumined by the universal unbound dharma you will become really free; if you stray away from the light, you will get bound. What you call ‘freedom’ is a certain type of bondage. Genuine freedom is obtained only when delusion is absent, when there is no identification with the body and senses, and no servitude to the objective world. People who have escaped from this servitude and achieved freedom in the genuine sense are very few in number. Bondage lies in every act done with the consciousness of the body as the Self, for one is then the play thing of the senses. Only those who have escaped this fate are free; this ‘Freedom’ is the ideal stage to which dharma leads. With this stage constantly in mind, one who engages in the activity of living, can become a liberated person (muktha-purusha).


Untuk menjadi bebas adalah hak dari kelahiranmu! Ketika engkau menuntun langkahmu sepanjang jalan yang diterangi dengan dharma yang tidak terikat maka engkau akan menjadi benar-benar bebas; jika engkau berjalan menyimpang dari cahaya maka engkau akan terikat. Apa yang engkau sebut dengan ‘kebebasan’ adalah bentuk tertentu dari keterikatan. Kebebasan yang sejati hanya bisa didapat ketika tidak adanya khayalan yaitu ketika tidak ada identifikasi lagi dengan badan dan indria dan tidak ada perbudakan pada duniawi. Mereka yang telah bisa melepaskan diri dari perbudakan ini dan mencapai kebebasan dalam arti yang sesungguhnya hanya sedikit jumlahnya. Keterikatan terdapat dalam setiap perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran badan sebagai sang diri yang sejati, untuk kemudian adalah permainan dari indria. Hanya mereka yang telah lepas dari keadaan ini adalah bebas; “kebebasan” ini adalah tahapan yang ideal dimana Dharma yang menuntun. Dengan keadaan ini selalu berada di dalam pikiran maka seseorang yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari dapat menjadi seseorang yang terbebaskan (muktha purusha). (Dharma Vahini, Ch 2)

-BABA

Thursday, September 24, 2015

Thought for the Day - 24th September 2015 (Thursday)

Uttering the truth is easy. But indulging in falsehood is a tortuous process. One has to take a lot of trouble to cover up one lie with more lies. Hence it is said: Speak the truth, speak what is pleasing, do not utter truth that is unpleasant (Sathyam brooyath; priyam brooyath; na brooyath Sathyam Apriyam). God is the embodiment of Truth. Truth is the foundation of the universe. This transcendental changeless Truth is beyond mind, speech and the categories of time and space. Vedanta has described it as ‘Ritam’. Live up to this Truth. Internalize the fact that the Lord is present in everyone. Only when you recognise the omnipresence of the Divine, will you easily experience the Divine. Hence from today give up swartha (selfishness), turn your mind towards the Supreme (Parartha), lead a life of Truth (Yadartha) and sanctify your lives. If you earn the love of God even to the slightest extent, you will experience infinite joy.


Mengucapkan kebenaran adalah mudah. Namun terlibat di dalam kebohongan adalah proses yang berliku-liku. Seseorang harus mengambil banyak masalah untuk menutupi satu kebohongan dengan banyak kebohongan lainnya. Oleh karena itu dikatakan: Berbicaralah yang benar, berbicaralah apa yang menyenangkan, jangan menyampaikan kebenaran dengan cara tidak menyenangkan (Sathyam brooyath; priyam brooyath; na brooyath Sathyam Apriyam). Tuhan adalah perwujudan dari kebenaran. Kebenaran adalah dasar dari alam semesta ini. Kebenaran yang kekal dan sangat sulit dipahami ini melampaui pikiran, perkataan, dan juga ruang dan waktu. Wedanta telah menjabarkan kebenaran ini sebagai ‘Ritam’. Berbuatlah sesuai dengan kebenaran ini. Internalisasi kenyataan bahwa Tuhan hadir dalam diri setiap orang. Hanya ketika engkau menyadari Tuhan yang ada di mana-mana, maka engkau akan dengan mudah mengalami Tuhan. Oleh karena itu mulai sekarang lepaskanlah swartha (mementingkan diri sendiri), arahkan pikiranmu pada yang tertinggi (Parartha), tuntunlah hidup pada kebenaran (Yadartha) dan sucikan hidupmu. Jika engkau bisa mendapatkan rahmat Tuhan walaupaun dalam jumlah yang sedikit maka engkau akan mengalami suka cita yang tidak terhingga. (Divine Discourse, 15-Sep-1988)

-BABA

Thought for the Day - 23rd September 2015 (Wednesday)

There is nothing greater in the world than Bhakti (devotion). Once sage Narada demonstrated to his disciples how devotion is greater than anything in the world, including the Divine. While the Divine was greater than the cosmos, which the Lord as Vamana could measure in two steps, the Lord Himself is held in his heart by the devotion of the devotee. Devotion bestows the highest benefits. Devotion alone is the means to Realisation. Devotion alone confers supreme peace. Devotion is the panacea for all ills. Divine love encompasses all sacred acts. To achieve oneness with the Divine, one will have to be prepared to sacrifice everything. It is not easy for anyone to recognise the truth about the Divine. His leelas (miraculous sportive activities) are beyond the grasp of the mind and speech. There is no Veda or Sastra superior to devotion.


Tidak ada yang lebih hebat di dunia ini daripada Bhakti. Sekali Rsi Narada memperlihatkan kepada para muridnya bagaimana bhakti lebih hebat daripada apapun di dunia ini, termasuk Tuhan. Ketika Tuhan lebih hebat daripada alam semesta ini (kosmos) dimana Vamana Avatara dapat mengukur alam semesta dengan dua langkah kaki namun Tuhan sendiri bisa berada di dalam hati bhakta-Nya. Bhakti menganugerahkan keuntungan yang paling tinggi. Hanya bhakti saja adalah jalan untuk mencapai realisasi diri. Hanya Bhakti yang dapat memberikan kedamaian yang tertinggi. Bhakti adalah obat mujarab untuk semua rasa sakit. Kasih Tuhan meliputi semua perbuatan yang suci. Untuk bisa mendapatkan kesatuan dengan Tuhan maka seseorang harus siap untuk mengorbankan segalanya. Adalah tidak mudah bagi siapapun juga untuk menyadari kebenaran akan Tuhan. Permainan Tuhan adalah di luar jangkaun dari pikiran dan perkataan. Tidak ada Weda atau naskah suci yang lebih tinggi daripada Bhakti. (Divine Discourse, 15-Sep-1988)

-BABA

Tuesday, September 22, 2015

Thought for the Day - 22nd September 2015 (Tuesday)

You may install idols and worship them. But do not forget the inner significance of all that worship. All external activities are necessary only to help you to get the spirit of non-duality and experience unity in diversity. Love and sacrifice are very important. Where there is pure, unsullied, selfless, sacred and sublime love there is no fear at all. Giving and not getting is the underlying principle of spiritual sadhana. Your heart is full of love, but you are using it only for selfish purposes instead of diverting it towards God. God is in the heart and not in the head. The heart is full of love. Every day, remind yourself that God is one; all religions uphold the same principle of ‘One God, who is omnipresent.’ Do not have contempt for any religion, as each is a pathway to God. Fostering love towards your fellow-beings, receive the blessings of the Divine. This is the goal of life.


Engkau dapat menempatkan wujud Tuhan dan memuja-Nya. Tetapi janganlah lupa makna yang ada dalam semua pemujaan itu. Semua bentuk kegiatan eksternal adalah perlu untuk membantumu mendapatkan semangat dari non-dualitas dan mengalami kesatuan dalam keberagaman. Cinta-kasih dan pengorbanan adalah sangat penting. Dimana ada cinta-kasih yang murni, tak ternoda, tidak mementingkan diri sendiri, suci, dan luhur maka tidak akan ada rasa takut sama sekali. Memberi dan tidak mengambil merupakan prinsip yang mendasari sadhana spiritual. Hatimu penuh dengan cinta-kasih, tapi engkau menggunakannya hanya untuk tujuan mementingkan diri sendiri bukannya diarahkan menuju Tuhan. Tuhan bersemayam di dalam hati dan bukan di kepala. Hati penuh dengan cinta-kasih. Setiap hari, ingatkan dirimu bahwa Tuhan adalah satu; semua agama menjunjung tinggi prinsip yang sama yaitu 'Satu Tuhan, yangmana Tuhan ada di mana-mana. "Jangan menghina agama apapun, karena setiap agama merupakan jalan menuju Tuhan. Kembangkanlah cinta-kasih terhadap sesama makhluk dan terimalah berkat Tuhan. Ini adalah tujuan hidup. (Divine Discourse, 9-Sep-1994)

-BABA

Monday, September 21, 2015

Thought for the Day - 21st September 2015 (Monday)

Every being is an embodiment of the Divine. True human relationship can grow only when this truth is recognised. The first stage is where you recognise, ‘I am in the Light.’ Next is when you know, ‘The Light is in me,’ and finally you realise, ‘I am the Light.’ ‘I’ represents love and light which connotes Supreme Wisdom (Jnana). When love and light unite, there is Realisation. The path of devotion is easier than the path of wisdom. Love should come from within, not forced from outside. Develop spontaneous love. The attitude of petitioning to God for favours should be given up. Love of God should not be based on quid pro quo, seeking favours in exchange for prayers and offerings to God. Place your faith in God and do your duty to the best of your ability. Saturate yourself with love and share it with all.

Setiap ciptaan adalah perwujudan dari keillahian. Hubungan manusia yang sesungguhnya hanya dapat tumbuh ketika kebenaran ini dapat dikenali. Tahap pertama adalah ketika engkau mengetahui, ‘aku berada dalam cahaya.’ Tahapan selanjutnya ketika engkau mengetahui, ‘Cahaya ada di dalam diriku,’ dan pada akhirnya engkau menyadari, ‘Aku adalah cahaya.’ ‘aku’ melambangkan cinta kasih dan cahaya yang mengandung makna kebijaksanaan yang tertinggi (Jnana). Ketika cinta kasih dan cahaya menyatu maka disana ada kesadaran. Jalan bhakti lebih mudah daripada jalan kebijaksanaan. Cinta kasih harus datang dari dalam diri dan bukan dipaksakan dari luar. Kembangkanlah cinta kasih yang bersifat spontan. Sikap meminta nikmat kepada Tuhan harus dihilangkan. Cinta kasih kepada Tuhan seharusnya tidak berdasarkan pada ganti rugi, mencari nikmat, dan sebagai gantinya dengan berdoa dan memberikan sebuah persembahan. Tempatkanlah keyakinanmu kepada Tuhan dan kerjakan kewajibanmu dengan kemampuanmu yang terbaik. Penuhilah dirimu dengan cinta kasih dan bagilah cinta kasih itu dengan semuanya. (Divine Discourse,15-Sep-1988)

-BABA

Sunday, September 20, 2015

Thought for the Day - 20th September 2015 (Sunday)


You may have immense faith in God. But from time to time, the power of Maya may undermine this faith. So be vigilant. In Mahabharata even staunch devotees of Krishna like Dharmaraja and Arjuna displayed hesitancy in following the advice of Krishna and had to be reminded of their duty through Bhishma and Draupadi respectively. Faith in God should never waver. In no circumstance should anyone go against the injunctions of the Divine. Whatever worship one may offer, however intensely one may meditate, if one transgresses the commands of the Lord, these devotional practices become futile. The reason is that the Lord has no selfish objectives or goals. It is out of small-minded, narrow and selfish motives that people choose to act against the sacred and noble commandments of the Lord. Even small acts of transgression may in due course assume dangerous proportions.



Engkau bisa jadi memiliki keyakinan yang besar pada Tuhan, namun seiring berjalannya  waktu, kekuatan Maya dapat merusak keyakinan ini. Jadi waspadalah. Dalam Mahabharata, bahkan bhakta setia Sri Krishna seperti Dharmaraja dan Arjuna diperlihatkan memiliki keraguan dalam mengikuti saran dari Sri Krishna dan harus diingatkan akan kewajiban  mereka melalui Bisma dan Dropadi. Keyakinan pada Tuhan seharusnya tidak pernah goyah. Dalam keadaan apapun, seharusnya tidak melawan perintah Tuhan. Apapun bentuk ibadah yang seseorang persembahkan, bagaimanapun intens-nya seseorang dalam bermeditasi, jika seseorang melanggar hukum-perintah Tuhan, praktik-praktik bhakti yang telah dilakukan tersebut menjadi sia-sia. Alasannya adalah bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan mementingkan diri sendiri. Hal ini keluar dari pemikiran sempit, motif yang mementingkan diri sendiri dan sempit yang mengakibatkan seseorang memilih untuk bertindak melawan perintah-perintah suci dan mulia dari Tuhan. Bahkan tindakan-tindakan kecil dari pelanggaran, pada waktunya menanggung proporsi berbahaya. (Divine Discourse, 12-Sep-1991)

-BABA

Saturday, September 19, 2015

Thought for the Day - 19th September 2015 (Saturday)

God is infinite. It is impossible to measure Him or compare Him with anything, for there is no ‘other’ to compare. He is omnipresent. The Vedas declare, “He is One alone without a second“ (Ekam eva Advitiyam). The Divine willed: “I am One; I shall become many” (Ekoham Bahusyaam). By His Will God manifested Himself in the many. All religions have accepted this truth. The Bible declares: "God created man in His own image." Thus from the One, the manifold cosmos emerged. With the growth of knowledge, the animal nature in man has diminished and he has been able to develop and refine his culture. As the saying goes, Divine appears in human form (Daivam maanusha rupena). Hence do not consider yourself as a mere product of Nature, a creature of the senses and the physical elements. You are an embodiment of Divinity.


Tuhan adalah tidak terbatas dan adalah tidak mungkin untuk mengukur-Nya atau membandingkan-Nya dengan apapun juga, karena tidak ada 'yang lain' untuk dibandingkan. Tuhan ada di mana-mana. Dalam Weda dinyatakan, "Tuhan adalah satu dan tidak ada duanya" (Ekam eva Advitiyam). Tuhan berkehendak: "Aku adalah Satu; Aku akan menjadi banyak "(Ekoham Bahusyaam). Dengan kehendak-Nya Tuhan akan mewujudkan diri-Nya menjadi banyak. Semua agama telah menerima kebenaran ini. Dalam Injil dinyatakan: "Tuhan menciptakan manusia dengan bayangan-Nya." Jadi, dari Tuhan yang satu, maka berbagai jenis yang ada di alam semesta muncul. Dengan berkembangnya pengetahuan, sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia telah dikurangi dan manusia mampu berkembang dan memperbaiki kebudayaannya. Seperti peribahasa mengatakan, keilahian muncul dalam diri manusia (Daivam maanusha rupena). Oleh karena itu jangan menganggap dirimu sendiri hanyalah hasil dari alam, sebuah ciptaan dari Indria dan unsur-unsur fisik saja. Engkau adalah perwujudan keilahian. (Divine Discourse, 15-Sep-1988)

-BABA

Friday, September 18, 2015

Thought for the Day - 18th September 2015 (Friday)

In the twilight of dusk, one mistakes a thick rope for a snake. When the place is lit, only rope remains - the snake was never there. A momentary delusion caused the appearance of the snake and the absence of the rope. This phenomenon is called Maya. Maya makes you imagine the presence of what is not there and believe in the existence of that which is nonexistent. The combined power of Prakriti, Avidya and Maya (Phenomenal world, Ignorance and Delusion) makes people forget their true nature. People often imagine that they accomplished many things, and believe that all their achievements are entirely due to their own efforts and capabilities. They forget the truth that there is a higher power which is the driving force for action as well as the results thereof! This is the effect of delusion (bhrama). To help get rid of this delusion and enable one to comprehend the inherent divine nature, the ancients suggested prayers.

Pada saat petang hari seseorang salah mengira seutas tali yang tebal sebagai seekor ular. Ketika tempat itu diterangi hanya ada seutas tali dan tidak pernah ada ular disana. Sebuah khayalan yang sementara ini menyebabkan terlihatnya seekor ular dan bukannya seutas tali. Gejala ini disebut dengan Maya. Maya membuatmu membayangkan kehadiran sesuatu yang tidak ada dan mempercayai keberadaannya yang tidak ada. Gabungan dari kekuatan Prakriti, Avidya dan Maya (dunia yang dapat dilihat, kebodohan dan khayalan) membuat orang-orang melupakan sifat mereka yang sejati. Orang-orang sering membayangkan bahwa mereka telah mengerjakan banyak hal dan percaya bahwa semua pencapaian mereka sepenuhnya adalah atas usaha dan kemampuan mereka saja. Mereka lupa kebenaran bahwa ada sebuah kekuatan yang lebih tinggi yang mana menjadi kekuatan yang mendorong untuk melakukan tindakan dan juga hasilnya! Ini adalah dampak dari khayalan (bhrama). Untuk membantu seseorang melepaskan khayalan ini dan memungkinkan seseorang untuk memahami kualitas keillahian yang ada di dalam dirinya yang mana merupakan doa para leluhur kita. (Divine Discourse, 12-Sep-1991)

-BABA

Thursday, September 17, 2015

Thought for the Day - 17th September 2015 (Thursday)

Easwara blessed Ganapathi saying, “I have many attributes, but not Your intelligence. Hence, before offering worship to Me, let all people worship You. This is the boon I confer on You.” Easwara is a parent who conferred such an honour of a higher status than His own on His son. Hence Ganapathi represents no commonplace principle. He is the embodiment of all potencies. He is the abode of every kind of intelligence. Nothing untoward can happen wherever He is present. Ganapathi occupies the position of one who is the source of all prosperity. Moreover, when He is invoked before any undertaking, there will be no impediments to its completion. People look upon the Vighneswara festival as some routine affair. But Vighneswara embodies all the forms and all the powers of all the deities. It is not enough to worship Him once a year. We must worship Him always.


Iswara memberkati Ganapathi dengan bersabda, "Aku memiliki banyak sifat namun tidak memiliki kecerdasan-Mu. Oleh karena itu, sebelum manusia memuja-Ku maka mereka harus memuja-Mu terlebih dahulu. Inilah berkah yang Aku berikan kepada-Mu." Karena Ganesha maka Iswara sebagai orang tua diberkati dengan kehormatan yang tinggi daripada milik-Nya. Oleh karena itu Ganapathi melambangkan prinsip yang luar biasa. Beliau adalah perwujudan dari semua potensi. Beliau adalah tempat bagi semua jenis kecerdasan. Tidak ada yang tidak baik yang dapat terjadi dimanapun Ganesha hadir. Ganapathi menempati posisi yang merupakan sumber dari segala kesejahteraan. Maka dari itu, ketika Ganesha dipuja sebelum melakukan kegiatan apapun juga maka tidak akan ada hambatan untuk penyelesaiannya. Orang-orang menganggap perayaan Ganesha Chaturthi adalah perayaan yang rutin saja. Namun Vighneswara mewujudkan semua bentuk dan semua kekuatan dari semua Dewa. Adalah tidak cukup hanya memuja-Nya setahun sekali saja. Kita harus selalu memuja-Nya. (Divine Discourse, 25-Aug-1998)

-BABA

Wednesday, September 16, 2015

Thought for the Day - 16th September 2015 (Wednesday)

For spiritual progress kshama (forbearance) is the real basis or foundation. Great people and countries have lost their glory, prestige, and reputation because of the disappearance of Kshama. Without patience and the capacity for forbearance, one becomes spiritually weak. Such weakness leads to bad feelings, undesirable thoughts, and unbecoming actions. This virtue is best cultivated under adverse circumstances, and one must therefore gladly welcome troubles instead of regarding them as unwelcome. Thus times of distress, and an environment of sorrow and misery offer the ideal opportunity for the development of Kshama. However, because of mental weakness and ignorance, we shun painful experiences and distress. You should not be weak; be brave and welcome troubles. Let them come, more the merrier. Only with such a courageous attitude, you would be able to bring out the kshama hidden within you.


Untuk kemajuan spiritual maka kualitas kshama (kesabaran) adalah pondasi yang sesungguhnya. Orang-orang hebat dan juga negara besar telah kehilangan kemuliaan, martabat, dan reputasinya karena hilangnya kualitas Kshama. Tanpa adanya kapasitas kesabaran maka seseorang secara spiritual akan menjadi lemah. Kelemahan ini akan menuntun pada perasaan yang tidak baik, pikiran-pikiran yang jahat, dan perbuatan yang tidak pantas. Sifat yang mulia ini sangat baik ditingkatkan dalam keadaan yang berlawanan dan seseorang harus dengan senang hati menerima semua masalah dan bukannya menganggap semua masalah tidak disukai. Jadi saat-saat sulit dan juga sebuah lingkungan yang menyengsarakan adalah memberikan kesempatan yang ideal bagi kita untuk mengembangkan kualitas Kshama. Bagaimanapun juga, karena kelemahan mental dan kebodohan kita maka kita menghindari pengalaman yang menyakitkan dan kesusahan. Engkau seharusnya tidak menjadi lemah; jadilah pemberani dan sambutlah masalah yang datang. Ijinkan semuanya itu datang dengan lebih dan lebih riang gembira. Hanya dengan sikap keberanian itu maka engkau dapat mampu mengeluarkan kualitas kshama yang tersembunyi di dalam dirimu. (Divine Discourse, 25-May-2000)

-BABA

Tuesday, September 15, 2015

Thought for the Day - 15th September 2015 (Tuesday)

Study of books alone will not enhance your capability; they will merely provide you with superficial or bookish knowledge. This obviously is not enough. Real capability and strength come by tapping the Inner Power latent in you. All that is outside is artificial. Real truth and power are both inside, in your heart. It is the heart that must be strengthened, but, unaware of this fact, people become furiously active in the external world, only to get lost there. There are many types of food catering to the needs of the gross body but what about food for the heart? That food can be obtained only when you turn your head toward God. You must understand the subtle linkages here – food, head, and God. Thus, along with the acquisition of worldly knowledge, you must also give importance to culture and refinement.


Hanya mempelajari buku saja tidak akan mempertinggi kemampuanmu; buku hanya menyediakanmu pengetahuan yang bersifat dangkal dan teoritis saja. Hal ini jelas tidak cukup. Kemampuan dan kekuatan yang sesungguhnya datang dengan menggunakan dengan sebaik-baiknya kekuatan yang ada di dalam dirimu. Semua yang ada di luar diri bersifat palsu. Kebenaran dan kekuatan yang sejati kedua-duanya ada di dalam diri yaitu di dalam hatimu. Adalah hati yang harus dikuatkan, namun tanpa disadari kenyataan ini, orang-orang menjadi sangat aktif di dunia luar dan akhirnya hanya membuat mereka menjadi tersesat di sana. Ada banyak jenis makanan untuk mencukupi kebutuhan dari badan namun bagaimana dengan makanan bagi hati? Makanan itu hanya dapat diperoleh hanya ketika engkau mengarahkan kepalamu kepada Tuhan. Engkau harus memahami hubungan halus yang ada di sini – makanan, kepala, dan Tuhan. Jadi, bersama dengan mendapatkan pengetahuan duniawi, engkau harus memberikan perhatian yang penting pada kebudayaan dan kehalusan budi bahasa. (Divine Discourse, 25-May-2000)

-BABA

Monday, September 14, 2015

Thought for the Day - 14th September 2015 (Monday)

For acquiring selfless love, the quality of kshama or forbearance is a vital necessity. (kshama is a word rich in meaning. Besides forbearance, it also implies extreme patience and an enormous capacity to forget as also forgive). Every individual must cultivate this noble quality. Kshama is not achieved by reading books or learnt from an instructor. Nor can it be received as a gift from someone else. This prime virtue of kshama can be acquired solely by self-effort, by facing squarely diverse problems and difficulties of various sorts, by going through anxieties and suffering as well as sorrow. In the absence of kshama, man becomes susceptible to all kinds of evil tendencies. Hatred and jealousy easily take root in a person lacking this virtue. Divinity is merely the combined manifestation of prema (love) and kshama.


Untuk bisa mendapatkan cinta kasih tanpa mementingkan diri sendiri, maka sifat dari kshama atau kesabaran, sangat penting diperlukan. Kshama adalah sebuah kata dengan kaya makna. Selain kesabaran, secara tidak langsung Kshama juga menyatakan  kesabaran yang sungguh luar biasa dan sebuah kapasitas yang sangat besar untuk melupakan dan juga memaafkan. Setiap individu harus meningkatkan sifat yang mulia ini. Kshama tidak dapat diperoleh hanya dengan membaca buku atau belajar dari seorang instruktur. Tidak juga bisa didapat sebagai pemberian dari orang lain. Sifat luhur yang utama dari kshama hanya dapat diraih dengan usaha sendiri dengan menghadapi berbagai jenis masalah dan kesulitan dengan jujur. Dengan tanpa adanya kshama, manusia menjadi rentan terhadap segala jenis kecenderungan jahat. Kebencian dan iri hati dengan mudah berakar pada mereka yang kurang adanya nilai mulia ini. Keillahian hanyalah perwujudan dari gabungan prema (cinta kasih) dan kshama. (Divine Discourse, 25-May-2000)

-BABA

Sunday, September 13, 2015

Thought for the Day - 13th September 2015 (Sunday)

Embodiments of divine Love! As long as a person is conceited and egotistic, no one will like that person. Even their wedded spouse and their own children, though they may appear to respect them externally, will not be happy with an arrogant person. As long as one is filled with ego, one can never be really happy. Therefore, at the very outset, you should get rid of your ego (ahamkara). If one is filled with anger, one cannot experience joy (Krodham hithva na sochathi). Only when anger is subdued, happiness can be experienced. As long as one is filled with insatiable desires, one cannot feel really wealthy. The moment the person gives up desires, all riches will come to them. Till the moment a person is greedy, they will be a stranger to happiness. When you give up greed, you will feel endowed with all riches.


Perwujudan dari kasih illahi! Selama seseorang sombong dan egois maka tidak akan ada orang yang menyukainya. Bahkan pasangan hidup dan anak-anaknya sendiri tidak akan senang dengan orang yang bersifat arogan walaupun mereka memperlihatkan rasa hormat di luar saja. Selama seseorang diliputi dengan ego, maka seseorang tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan yang sejati. Maka dari itu, pada awal permulaan engkau harus melepaskan egomu (ahamkara). Jika seseorang diliputi dengan kemarahan maka ia tidak akan bisa merasakan suka cita (Krodham hithva na sochathi). Hanya ketika amarah ditundukkan maka kebahagiaan akan dapat dialami. Selama seseorang masih diliputi keinginan yang tidak pernah merasa puas maka ia tidak dapat merasakan kekayaan yang sebenarnya. Saat seseorang melepaskan keinginan maka semua kekayaan akan mendatangi mereka. Saat dimana seseorang menjadi tamak maka mereka akan menjadi asing dengan kebahagiaan. Ketika engkau melepaskan ketamakan maka engkau akan merasakan diberkati dengan semua kekayaan. (Divine Discourse,25-Aug-1998)


-BABA

Friday, September 11, 2015

Thought for the Day - 11th September 2015 (Friday)

There is electromagnetic energy in every body. Nature is the embodiment of the same energy. This energy may assume different forms, but its essential character is one and the same. A lighted bulb, a fan that is revolving, and many other things working through electrical power depend on the same kind of current. The energy may manifest itself in the form of light, heat, or magnetic energy, but it proclaims the power of the Divine, which is the source of all energy. This electromagnetic energy in man expresses itself in the form of radiation. It is also called reflection of the ‘Inner being’. The power of sight, hearing, speech, digestion, and movement of the limbs is derived from this energy. Water also contains this energy. In fact, the entire cosmos is permeated by this divine energy. On the basis of this, Vedanta declares, “Sarvam khalu idam Brahma (verily, every being is Divine).”


Dalam diri semua orang,  terdapat energi elektromagnetik. Alam adalah perwujudan dari energi yang sama. Energi ini mungkin mengambil bentuk yang berbeda, namun pada karakter dasarnya adalah satu dan sama. Sebuah bola lampu yang bersinar, sebuah kipas yang berputar dan banyak hal lainnya yang bekerja dengan tenaga listrik tergantung pada arus listrik yang sama. Energi mungkin mewujudkan dirinya dalam bentuk cahaya, panas atau energi magnetik, namun energi menyatakan tentang kekuatan illahi yang mana merupakan sumber dari seluruh energi. Energi elektromagnetik ini dalam diri manusia mengungkapkan dirinya dalam bentuk radiasi. Hal ini juga disebut dengan pantulan dari ‘kesadaran yang ada di dalam’. Kekuatan untuk melihat, mendengar, berbicara, mencerna, dan gerakan dari organ-organ tubuh dihasilkan dari energi ini. Air juga mengandung energi ini. Sejatinya, seluruh alam semesta diresapi oleh energi illahi ini. Atas dasar ini, Wedanta menyatakan, “Sarvam khalu idam Brahma (sejatinya, setiap makhluk adalah illahi). (Divine Discourse, 25-Aug-1998)

-BABA

Thursday, September 10, 2015

Thought for the Day - 10th September 2015

You should realise that for every action there is a consequence. The results of each action depend on the nature of the action, just as the nature of the tree depends on the seed which is sowed. The consequences of one's actions are inescapable and it is for this reason that the Emperor Manu laid down that all should observe Dharma. The consequences of actions may appear sooner or later but they are bound to occur. When you constantly think of God and perform all actions with Divine feelings, you will experience the full blossoming of the human qualities. Consider every action as dedicated to God. You cannot avoid actions. You must transform work into worship. You have to perform work in this spirit. You cannot substitute prayer for work. You have to combine both work and worship.


Engkau seharusnya menyadari bahwa untuk setiap tindakan ada konsekuensinya. Hasil dari setiap tindakan tergantung pada sifat tindakan, sama halnya seperti sifat pohon tergantung pada benih yang ditanam. Konsekuensi dari tindakan seseorang tidak bisa dihindari dan karena alasan inilah Maharaja Manu menetapkan bahwa semuanya harus memperhatikan Dharma. Konsekuensi dari tindakan mungkin muncul cepat atau lambat tetapi hal tersebut pasti terjadi. Ketika engkau terus-menerus berpikir tentang Tuhan dan melakukan semua tindakan dengan perasaan Ilahi, engkau akan mengalami mekarnya kualitas manusia dengan sempurna. Engkau hendaknya mendedikasikan tindakanmu kepada Tuhan. Engkau tidak dapat menghindari tindakan. Engkau harus mengubah pekerjaan menjadi ibadah. Engkau harus melakukan pekerjaan dalam spirit ini. Engkau tidak dapat mengganti doa untuk bekerja. Engkau harus menggabungkan keduanya yaitu pekerjaan dan ibadah. (Divine Discourse, 31-Aug-1992)

-BABA

Wednesday, September 9, 2015

Thought for the Day - 9th September 2015 (Wednesday)

In this transient world, wading through joy and grief, people have a sore need of someone of their kind with whom they can communicate their feelings, share their discoveries and depressions, their moments of bliss and sorrow;someone to be by their side while trekking the hard road to truth and peace. However, friendship and friends today are far from the ideal. Friends who can confer real counsel, comfort and consolation are rarely found. If friendship must last then heart must understand heart, heart must be drawn to heart. Friendship must bind two hearts and affect both of them beneficially, whatever be the circumstance - loss or gain, pain or pleasure, good fortune or bad. The bond must survive all the blows of fate and be unaffected by time, place and situation. The trust and honour of each is in the safekeeping of the other.


Mengarungi dunia yang sementara ini melalui suka cita dan kesedihan, manusia sangat memerlukan seseorang dimana mereka bisa menyampaikan perasaan mereka, membagi penemuan dan keadaan sulit mereka, saat bahagia dan sedih mereka; seseorang yang ada di samping mereka ketika melakukan perjalanan yang sulit menuju pada kebenaran dan kedamaian. Bagaimanapun juga, persahabatan dan teman pada saat sekarang, jauh dari ideal persahabatan. Teman yang dapat memberikan nasehat nyata, kenyamanan, dan penghiburan, jarang ditemukan. Jika persahabatan harus bertahan maka hati harus mengerti hati, hati harus ditarik ke hati. Persahabatan harus mengikat dua hati dan memberikan pengaruh baik bagi keduanya apapun keadaan yang mungkin terjadi – baik kehilangan atau keuntungan, kepedihan atau kesenangan, keberuntungan atau kesialan. Ikatan ini harus bertahan dari semua bentuk keadaan dan tidak terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Kepercayaan dan saling menghargai satu dengan yang lainnya adalah menjaga dengan aman satu dengan yang lain. (Divine Discourse, 24-May-1973)

-BABA

Thought for the Day - 8th September 2015 (Tuesday)

To every being born on earth, Truth is the visible manifestation of God. The entire cosmos composed of moving and immovable objects has emerged from Truth, is sustained by Truth and merges in Truth. Truth is Divine and eternal (Sathyam-Jnanam-Anantham Brahma). Hence everyone must revere Truth. Sathya and Dharma (truth and righteousness) will not submit to anyone. Every kind of strength, physical or otherwise, will have to come under their sway. Success follows Sathya and Dharma. Whatever be your scholarship or position, you have to cultivate respect for human values. Protect Sathya and Dharma always. What students and people must safeguard is not merely nations, but Sathya and Dharma. In turn these values will protect the Universe. Educated persons, who in the name of countries are giving up truth and right conduct, are actually undermining the human civilization. It is more vital to cultivate virtues than go after scholarship or other worldly riches and possessions of transient nature.


Untuk setiap ciptaan yang lahir ke dunia, kebenaran adalah manisfestasi Tuhan yang bisa terlihat. Seluruh kosmos terdiri atas objek-objek yang bergerak dan tidak bergerak yang muncul dari kebenaran, ditopang oleh kebenaran dan menyatu di dalam kebenaran. Kebenaran adalah illahi dan kekal (Sathyam-Jnanam-Anantham Brahma). Oleh karena itu setiap orang harus menghormati kebenaran. Sathya dan Dharma (kebenaran dan kebajikan) tidak akan tunduk kepada siapapun. Setiap bagian dari kekuatan, fisik atau sebaliknya harus berada di bawah kekuasaan dari Sathya dan Dharma. Keberhasilan mengikuti Sathya dan Dharma. Apapun yang menjadi gelar sarjanamu atau kedudukanmu, engkau harus meningkatkan rasa hormat pada nilai-nilai kemanusiaan. Selalu melindungi Sathya dan Dharma. Apa yang harus dijaga oleh para pelajar dan masyarakat tidak hanya bangsa, namun juga Sathya dan Dharma. Sebagai gantinya nilai-nilai ini akan melindungi alam semesta. Orang-orang yang terpelajar atas nama bangsa sedang melepaskan kebenaran dan kebajikan yang sesungguhnya merongrong peradaban manusia. Adalah sangat penting sekali untuk meningkatkan kebajikan daripada mengejar kesarjanaan atau kekayaan duniawi dan harta benda yang bersifat sementara. (Divine Discourse, 20-May-1990)

-BABA

Monday, September 7, 2015

Thought for the Day - 7th September 2015 (Monday)

What is seen by your eyes, what moves your mind, what awakens your body and what shapes your entire life is the creation around you. Gopala is well versed in tending the cows, caring for them and nurturing them. The word ‘Go’ refers to cow, earth, sensory organs, heaven, speech, etc. So Gopala can play with you and make you sing. He can move you and all others. He can protect you and make you happy. This is the aspect of Gopala, the Divine Incarnate. The act of creation and the creator are permanent and they go on forever. Conditions may change and times may alter but Divinity will never change. The most important aspect of the Divine (Paramatma) is to look after the cows (His creation), protect them and ultimately ensure they merge in Him. Hence make sincere efforts to promote the divinity that is present in you and enjoy bliss. You should persevere to elevate yourself and never let yourself slip down.


Apa yang dapat dilihat oleh mata, apa yang dapat menggerakkan pikiran-mu, apa yang membangkitkan tubuhmu dan apa yang membentuk seluruh hidupmu adalah berasal dari ciptaan yang ada di sekitarmu. Gopala dikenal baik sebagai penggembala sapi-sapi, merawat dan memelihara sapi-sapi tersebut. Kata 'Go' mengacu pada sapi, dunia, organ-organ indria, surga, berbicara, dll. Jadi Gopala dapat bermain denganmu dan membuatmu bernyanyi. Beliau dapat menggerakkanmu dan semua yang lainnya. Beliau dapat melindungimu dan membuatmu bahagia. Inilah aspek Gopala, inkarnasi Tuhan. Tindakan penciptaan dan Sang pencipta bersifat kekal dan selalu bersama selamanya. Keadaan mungkin bisa berubah dan waktu mungkin saja berubah tetapi Divinity tidak akan pernah berubah. Aspek yang paling penting dari Ilahi (Paramatma) adalah untuk menjaga sapi (ciptaan-Nya), melindunginya dan akhirnya memastikan semuanya menyatu dengan-Nya. Oleh karena itu lakukanlah usaha yang tulus untuk meningkatkan keilahian yang ada dalam dirimu dan menikmati kebahagiaan. Engkau seharusnya dengan tekun meningkatkan dirimu dan jangan pernah membiarkan dirimu tergelincir ke bawah. (Summer Showers in Brindavan, 1978 Ch 23)

-BABA

Thought for the Day - 6th September 2015 (Sunday)

The heart must yearn for His voice, His form, His flute, His smile, His sport and His pranks. That is the tapas (penance) which is rewarded by His grace. The yearning must be so deep that all body consciousness is lost, the senses are ineffective, and the mind is inactive, the intelligence is at a standstill, and all ideas of duality disappear. The individual sees before him only step after step of Aananda leading him to the highest bliss of merging in the Lord. The culture of Bharath has marked out the guidelines for achieving this bliss. This bliss is the consummation of all sweetness, all the joy, and all the fulfilment derived from all the highest desires. But yet man is struggling to achieve petty things, paltry joys and low desires. When you seek God, you must not be misled into by-paths and mirages. The seeker after gold must cast away brass and other yellow metals which may distract or at times even destroy him.

Hati harus merindukan suara-Nya, wujud-Nya, seruling-Nya, senyum-Nya, senda gurau-Nya, dan permainan-Nya. Inilah yang disebut dengan tapa (penebusan dosa) yang akan diberkati dengan rahmat-Nya. Kerinduan harusnya begitu mendalam dimana seluruh kesadaran badan hilang, indria menjadi tidak bekerja, dan pikiran menjadi tidak aktif, kecerdasan menjadi berhenti sama sekali, dan semua gagasan dualitas menjadi sirna. Sang diri hanya melihat di depannya adalah langkah demi langkah yang menuntunnya pada kebahagiaan yang tertinggi dalam penyatuan dengan Tuhan. Kebudayaan dari Bharath (India) sudah membatasi tuntunan dalam mencapai kebahagiaan ini. Kebahagiaan ini adalah penyempurnaan dari semua rasa manis, semua suka cita, dan semua pemenuhan yang muncul dari semua keinginan yang tertinggi. Namun manusia masih terus berusaha untuk mendapatkan hal-hal yang remeh seperti: kesenangan yang tidak berharga dan keinginan rendahan. Ketika engkau mencari Tuhan, engkau seharusnya tidak tersesat ke dalam berbagai jalan dan khayalan belaka. Pencari emas harus membuang logam kuningan dan logam lainnya yang berwarna kuning yang mana dapat membingungkan atau pada waktunya bahkan dapat menghancurkannya. (Divine Discourse, 19-Aug-1968)

-BABA

Sunday, September 6, 2015

Thought for the Day - 5th September 2015 (Saturday)

In order to save humanity, the Lord appeared in a most charming form, so that He could draw devotees’ hearts through Love. This is why He is called 'Raso vai sah' (He is sweetness itself). Krishna incarnated to establish Dharma. So what He likes most is Dharma. Walk in the path of Dharma; that is the worship He is pleased with. The Flute is His favourite. So like a flute, become hollow (devoid of desires) and straight (with no crookedness), and He will accept you. Think of the sublime sweetness that Krishna evoked in the hearts of those who had the good fortune to be His contemporaries! Every one, from the unlettered cowherd to the most profound scholar and sage, was drawn to Him; they held on to Him firmly in unshakeable devotion. Whatever be the hardships and troubles, they never gave up His Lotus Feet. Hold on to the Lord; that is the way to peace and joy.


Dalam upaya untuk menyelamatkan umat manusia, Tuhan muncul dengan wujud yang sangat mempesona sehingga Beliau dapat menarik hati para bhakta melalui cinta kasih. Inilah sebabnya mengapa Beliau disebut dengan 'Raso vai sah' (Tuhan adalah rasa manis itu sendiri). Krishna berinkarnasi untuk menegakkan Dharma. Jadi yang Beliau sangat sukai adalah Dharma. Berjalanlah di jalan Dharma; itulah bentuk pemujaan yang Beliau sangat senangi. Seruling adalah kesukaan Beliau. Maka jadilah seperti seruling yaitu berlubang (tanpa adanya keinginan) dan lurus (tidak ada bengkok), dengan demikian Beliau akan menerimamu. Pikirkanlah tentang rasa manis yang sangat indah yang Krishna bangkitkan di dalam hati mereka yang beruntung yang ada se-zaman dengan-Nya! Setiap orang dari pengembala sapi yang tidak berpendidikan sampai pada cendekiawan besar dan para orang suci telah ditarik oleh-Nya; mereka memegang Krishna dengan kuat dalam bhakti yang tidak tergoyahkan. Apapun bentuk kesulitan dan masalah yang ada namun mereka tidak pernah melepaskan kaki Padma-Nya. Berpeganglah kepada Tuhan yang merupakan jalan menuju kedamaian dan suka cita. (Divine Discourse, 19-Aug-1968)

-BABA