Monday, February 29, 2016

Thought for the Day - 29th February 2016 (Monday)

Irrespective of whatever inconveniences you may encounter, you must continue your spiritual practices with the same discipline. The smarana (remembrance) of the Name of the Lord you cherish should go on. Your chosen Name must not give you the slightest feeling of dislike or apathy. If the Name is changed frequently, concentration is impossible, and your mind will not attain one-pointedness, which is the goal of all spiritual disciplines. Avoid constant adoption and rejection of Lord’s Names. Be convinced that all Names and Forms are the same name and form that you adore. Take all worldly losses, sufferings, and worries as merely temporal and transitory, and realise that repetition of the Name and meditation is only to overcome such grief. You must understand that loss, suffering, and worry are external, they belong to this world, while repetition of the Name and meditation are internal, they belong to the realm of the love for the Lord.


Tanpa tergantung dengan apapun kesusahan yang mungkin engkau hadapi, engkau harus melanjutkan praktik spiritualmu dengan disiplin yang sama. Praktik smarana (mengingat) nama Tuhan yang engkau hormati harus tetap dilanjutkan. Nama Tuhan yang engkau telah pilih harusnya tidak menimbulkan sedikipun perasaan tidak suka dan kelesuan. Jika nama Tuhan itu diganti berulang kali, maka konsentrasi menjadi tidak mungkin, dan pikiranmu tidak akan mencapai pemusatan pikiran, yang merupakan tujuan dari semua disiplin spiritual. Hindari mengambil dan melepaskan nama Tuhan secara terus menerus. Yakinlah bahwa semua nama dan wujud adalah nama dan wujud yang sama yang engkau puja. Ambillah semua kehilangan, penderitaan dan kecemasan duniawi semata-mata sebagai hal yang bersifat sementara dan sadarilah bahwa pengulangan nama Tuhan dan meditasi adalah satu-satunya cara menghadapi penderitaan seperti itu. Engkau harus memahami bahwa kehilangan, penderitaan, dan kecemasan adalah bersifat di luar diri dan semuanya itu adalah milik dunia sedangkan pengulangan nama Tuhan adalah milik dari alam kasih untuk Tuhan. (Prema Vahini, Ch 64)

-BABA

Thought for the Day - 28th February 2016 (Sunday)

“The world is impermanent. Birth is a misery. Old age is a misery. Be careful!\" says a Sanskrit poem. As long as you are alive, everyone would seem to love the body. This is for purely selfish reasons. God alone is utterly selfless. Love God and lead your normal lives; there is nothing wrong in this. Whatever you do, treat it as an offering to God. See God in everyone. Don\'t have ill will towards anyone. Do not have excessive attachment for anyone. Direct all attachment towards God. Love all. Do not rely on anyone except God. Realise the impermanence of the body and place your trust solely in God. Seek refuge in Him. What is most needed today in this Kali age is faith. As often as possible, when you get the chance, meditate on God. Earn the esteem of society through sincere service. That will ensure a good future for you.


“Dunia adalah bersifat tidak kekal. Kelahiran adalah sebuah kesengsaraan. Usia tua juga adalah sebuah penderitaan. Berhati-hatilah!" bunyi sebuah puisi dalam bahasa sansekerta. Selama engkau masih hidup, setiap orang akan kelihatan mencintai badab jasmani. Ini adalah sejatinya untuk kepentingan diri sendiri. Tuhan saja yang sesungguhnya tidak mementingkan diri sendiri. Cintai Tuhan dan tuntunlah hidupmu dalam hidup yang normal; tidak ada yang salah dengan ini. Apapun yang engkau lakukan, lakukan ini sebagai persembahan kepada Tuhan. Lihatlah Tuhan dalam diri setiap orang. Jangan memiliki keinginan yang tidak baik kepada siapapun juga. Jangan memiliki keterikatan yang berlebihan kepada siapapun juga. Arahkan semua keterikatan kepada Tuhan. Kasihi semuanya. Jangan bergantung pada siapapun juga kecuali pada Tuhan. Sadarilah sifat sementara dari badan jasmani dan taruhlah keyakinanmu semata-mata kepada Tuhan. Carilah perlindungan pada-Nya. Apa yang paling diperlukan saat sekarang di jalan kali ini adalah keyakinan. Sesering mungkin, ketika engkau mendapatkan kesempatan, bermeditasilah pada Tuhan. Dapatkanlah penghargaan dari masyarakat melalui pelayanan yang tulus. Itu akan memastikan masa depan yang bagus untukmu. (Divine Discourse, Aug 16, 1996)

-BABA

Saturday, February 27, 2016

Thought for the Day - 26th February 2016 (Friday)

In this vast world, every living being desires happiness that is eternal. Where can we attain this happiness from? Beauty is happiness, and happiness is the nectarous essence of life. Which objects are beautiful in this world? A number of objects attract people in various ways. You think it is the beauty of the objects that attracts. But beauty is temporary, whether it is in human beings, birds, animals, or things. For example, this is a rose. It looks so beautiful. Its beauty gives happiness. But how long will its beauty last? It may be there till today or tomorrow. Thereafter all its petals will fall down and it will lose its shine. When it loses its beauty, it will no longer give you happiness. Thus in this world, you cannot find permanent beauty and permanent happiness. Only God is permanent in this world; the rest is temporary like passing clouds. Everlasting happiness can be attained only from God.


Dalam dunia yang luas ini, setiap makhluk hidup menginginkan kebahagiaan yang bersifat kekal. Dimana kita bisa mendapatkan kebahagiaan yang seperti ini? Keindahan adalah kebahagiaan dan kebahagiaan adalah intisari yang sangat manis dari kehidupan. Objek apa saja yang indah di dunia ini? Sejumlah objek menarik orang-orang dalam berbagai cara. Engkau berpikir bahwa keindahan dari objek itu yang menarikmu. Namun keindahan itu bersifat sementara, apakah keindahan itu ada dalam diri manusia, unggas, binatang atau benda. Sebagai contoh, ini adalah bunga mawar. Bunga ini kelihatan begitu indah. Keindahannya memberikan kebahagiaan. Namun berapa lama keindahannya dapat bertahan? Mungkin bertahan sampai hari ini atau besok. Sesudah itu semua kelopaknya akan rontok dan kehilangan kilauannya. Ketika bunga mawar ini kehilangan keindahannya maka bunga ini tidak lagi memberikanmu kebahagiaan. Jadi di dunia ini, engkau tidak bisa menemukan keindahan dan kebahagiaan yang kekal. Hanya Tuhan adalah bersifat kekal di dunia ini; sedangkan yang lainnya adalah bersifat sementara seperti halnya awan yang berlalu. Kebahagiaan yang kekal hanya dapat diraih dari Tuhan. (Divine Discourse, 22 July 1996)

-BABA

Friday, February 26, 2016

Thought for the Day - 25th February 2016 (Thursday)

Expansion is the keynote of education. The first step for this expansion is the home, where you must revere and please your parents who gave you this chance to live and learn. If you ill-treat them or inflict grief on their minds, how can you ever gladden others by service and understanding? You know that when a balloon is blown, it bursts and the air inside it merges with the vast limitless expanse outside. So too your love must fill your home and your society, and finally burst even those bonds and become worldwide. A drop of water held in the palm evaporates soon; it is very solitary. But drop it into the sea - it survives! It assumes the name, the majesty and the might of a sea! Cultivate the seeds of love in all hearts!


Perluasan adalah garis pokok dari pendidikan. Langkah awal untuk perluasan ini adalah rumah, dimana engkau harus menghormati dan menyenangkan orang tuamu yang telah memberikanmu kesempatan ini untuk hidup dan belajar. Jika engkau memperlakukan buruk orang tuamu atau menimbulkan kesedihan di dalam pikiran mereka, bagaimana engkau bisa menggembirakan yang lainnya dengan pelayanan dan pemahaman? Engkau mengetahui bahwa ketika sebuah balon ditiup, maka balon itu akan meledak dan udara yang ada di dalam balon akan menyatu dengan udara yang ada di luar yang tidak terbatas dan amat luas. Begitu juga dengan kasihmu harus mengisi rumah dan masyarakatmu, dan pada akhirnya memenuhi bahkan ikatan ini dan menjadi mendunia. Setetes air yang ada di atas telapak tangan segera menguap; karena cuma setetes air saja. Namun ketika setetes air menyatu di dalam lautan – maka setetes air itu akan bertahan! Setetes air itu mengambil nama, kemuliaan, dan kekuatan dari lautan yang luas! Tingkatkanlah benih kasih di seluruh hati! (Divine Discourse, July 25, 1975)

-BABA

Wednesday, February 24, 2016

Thought for the Day - 24th February 2016 (Wednesday)

It is not the nature of a spiritual aspirant to search for faults in others and hide their own. If your faults are pointed out to you by someone, don’t argue and try to prove that you were right, and don’t bear a grudge against them for it. Reason out within yourself how it is a fault and set right your own behaviour. Rationalising it for your own satisfaction or wreaking vengeance on the person who pointed it out —these should not be the traits of a spiritual aspirant or devotee. The spiritual aspirant must always seek the truthful and joyful, and must avoid all thoughts of the untrue, sad and depressing. Depression, doubt, conceit — these are as detrimental as Rahu and Kethu (evil planetary influences) to the spiritual aspirant. They will harm one’s spiritual practice. When your devotion is well established, these can be easily discarded if they appear. Above all, you must be joyful, smiling, and enthusiastic under all circumstances.


Bukanlah merupakan sifat alami dari penekun spiritual untuk mencari kesalahan pada diri yang lain dan menyembunyikan kesalahan diri sendiri. Jika kesalahanmu ditunjukkan oleh seseorang, jangan mendebatnya dan mencoba untuk membuktikan bahwa engkau adalah benar, dan jangan pula sakit hati lalu menaruh dendam kepadanya. Pertimbangkan dan pikirkanlah hal itu dan kemudian berusahalah memperbaiki kelakuanmu. Sebaliknya, jika engkau mencari-cari alasan untuk membenarkan kelakuanmu atau berusaha membalas dendam pada orang yang menunjukkan kesalahanmu — jelaslah bahwa ini bukanlah karakter dari penekun spiritual atau bhakta. Penekun spiritual harus selalu mencari mereka yang jujur dan riang, dan hindarilah semua pikiran yang tidak benar, sedih dan patah semangat. Kemurungan, keraguan, dan kesombongan — semuanya ini adalah yang mengganggu sebagai Rahu dan Kethu (pengaruh jahat yang berhubungan dengan planet) bagi penekun spiritual. Sifat-sifat ini akan mengganggu latihan spiritual seseorang. Ketika bhaktimu sudah mantap, maka sifat-sifat ini dapat dengan mudah dibuang jika sifat ini muncul. Diatas semuanya, engkau harus menjadi penuh suka cita, tersenyum dan bersemangat dalam segala keadaan. (Prema Vahini, Ch 63)

-BABA

Thought for the Day - 23rd February 2016 (Tuesday)

Love is Divine. Love all, impart your love even to those who lack love. Love is like a mariner\'s compass. Wherever you may keep it, it points the way to God. In every action in daily life manifest your love. Divinity will emerge from that love. This is the easiest path to God-realization. But why aren\'t people taking to it? This is because they are obsessed with misconception relating to the means of experiencing God. They regard God as some remote entity attainable only by arduous spiritual practices. God is everywhere. There is no need to search for God. All that you see is a manifestation of the Divine. All the human beings you see are forms of the Divine. Correct your defective vision and you will experience God in all things. Speak lovingly, act lovingly, think with love and do every action with a love-filled heart.


Kasih adalah illahi. Kasihi semuanya, bagikan kasihmu bahkan pada mereka yang kekurangan kasih sayang. Kasih adalah seperti sebuah kompas pelaut. Kemanapun engkau mengarahkannya, maka ini mengarah atau menunjuk jalan kepada Tuhan. Dalam setiap tindakan di dalam kehidupan sehari-hari wujudkanlah kasih. Keillahian akan muncul dari kasih itu. Ini adalah jalan yang paling gampang untuk mencapai kesadaran Tuhan. Namun mengapa manusia tidak mengambil jalan ini? Hal ini karena manusia dimasuki dengan pemahaman yang salah terkait dengan sarana untuk mengalami Tuhan. Mereka menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang sungguh ada di tempat jauh dan hanya dapat diraih dengan latihan spiritual yang berat. Tuhan ada dimana-mana. Adalah tidak perlu untuk mencari Tuhan. Semua yang engkau lihat adalah perwujudan dari keillahian. Semua umat manusia yang engkau lihat adalah wujud dari Tuhan. Perbaikilah pandanganmu yang tidak sempurna dan engkau akan mengalami Tuhan dalam segala hal. Berbicaralah dengan lembut, bertindaklah dengan kasih, berpikirlah dengan kasih dan kerjakan setiap tindakan dengan hati diliputi kasih. (Divine Discourse, July 5, 1996)

-BABA

Thought for the Day - 22nd February 2016 (Monday)

Every person is liable to commit mistakes without being aware of it. However bright the fire or light, some smoke will emanate from it. So also, whatever good deed a person might do, mixed with it will be a minute trace of evil. But efforts should be made to ensure that the evil is minimised, that the good is more and the bad is less. Naturally in the present atmosphere, you may not succeed in the very first attempt. You must carefully think over the consequences of whatever you do, talk, or execute. In whatever way you want others to honour you, or to love you, or to behave with you, in the same way you should first behave with others, and love and honour them. Then only will those honour you. Instead without yourself honouring and loving others, if you complain that they are not treating you properly, it is surely a wrong conclusion.


Setiap orang besar kemungkinan melakukan kesalahan tanpa disengaja. Betapapun terang sebuah nyala api atau cahaya, akan ada asap yang mengepul dari situ. Begitu juga, apapun perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang akan tercampur dengan sedikit keburukan. Namun usaha harus dilakukan untuk membuat serta memastikan keburukannya diperkecil, agar kebaikannya lebih banyak dan keburukannya lebih sedikit. Secara alami dalam situasi saat sekarang, engkau mungkin tidak bisa berhasil pada usaha yang pertama. Engkau harus dengan hati-hati memikirkan akibat dari apapun yang engkau lakukan, katakan atau laksanakan. Sebagaimana engkau ingin orang lain menghormatimu atau menyayangimu atau bertingkah laku kepadamu, dengan cara yang sama engkau harus terlebih dahulu memperlakukan orang lain, dan menyayangi serta menghormati mereka. Hanya dengan demikian mereka akan menghormatimu. Sebaliknya tanpa dirimu menghormati dan menyayangi yang lainnya, jika engkau mengeluh bahwa mereka tidak memperlakukan dirimu dengan baik maka ini adalah kesimpulan yang salah. (Prema Vahini, Ch 63)

-BABA

Sunday, February 21, 2016

Thought for the Day - 21st February 2016 (Sunday)

Young age is like a delicious fruit. You should offer this sweet and delicious fruit to God. It is not possible to begin worshipping God after retirement in old age, when your body becomes weak, the sense organs lose their power, and the mind becomes feeble. Start early, drive slowly and reach safely. Start praying to God right from an early age. If you do not undertake sacred actions when your physical and mental faculties are strong, then when will you perform them? What can you do when the sense organs have lost all their power? Hence practice offering the fragrant flowers of your mind and heart to God with total faith from a young age. This is true naivedyam (food offering). Many people today do not make such offerings. When their senses become weak after indulging in all sorts of sensual pleasures, they think of offering them to God, akin to offering leftover food.


Masa muda adalah seperti buah yang lezat. Engkau harus mempersembahkan rasa manis dan buah yang lezat ini kepada Tuhan. Adalah tidak mungkin untuk mulai memuja Tuhan setelah pensiun di usia tua, ketika tubuhmu sudah menjadi lemah, organ indera kehilangan kekuatannya, dan pikiran menjadi lemah. Mulailah lebih awal, berjalanlah dengan perlahan, dan sampailah dengan selamat. Mulailah berdoa kepada Tuhan sejak masa anak-anak. Jika engkau tidak melakukan perbuatan yang suci ketika kekuatan fisik dan mentalmu masih kuat, lantas kapan engkau akan menggunakan fisik dan mentalmu? Apa yang dapat engkau lakukan ketika indera telah kehilangan kekuatan mereka? Oleh karena itu, lakukan persembahan bunga-bunga yang harum dari pikiran dan hatimu kepada Tuhan dengan keyakinan yang penuh dari usia muda. Ini adalah naivedyam (persembahan makanan) yang sejati. Banyak orang saat sekarang tidak melakukan persembahan seperti ini. Ketika indera mereka menjadi lemah karena terlibat dalam berbagai bentuk kesenangan sensual, mereka berpikir untuk mempersembahkannya kepada Tuhan, hal ini sama dengan mempersembahkan makanan sisa. (Divine Discourse 16-Jul-1996)

-BABA

Thought for the Day - 20th February 2016 (Saturday)

People crave worldly happiness. If you analyse properly, this is the disease, and the resultant suffering we experience is its medicine and remedy. In the midst of these worldly pleasures, one rarely entertains the desire to attain the Lord. Besides it is necessary to analyse and discriminate every act of a person. It is this analysis which will give rise to the spirit of renunciation. Without this effort, renunciation is difficult to obtain. Miserliness is like the behavior of a dog; it has to be transformed. Anger is enemy number one of the spiritual aspirant; it is like spittle and has to be treated as such. And untruth is even more disgusting — through untruth, the vital powers of all are destroyed. It should be treated as scavenging itself. Theft ruins life; it makes the priceless human life cheaper than a pie; it is like rotten and foul smelling flesh. Moderate food, moderate sleep, love (prema), and fortitude will help in the upkeep of the health of both body and mind.


Manusia mencari kesenangan duniawi. Jika engkau menganalisa dengan baik maka ini adalah penyakitnya dan penderitaan yang kita alami adalah obat dari penyakit ini. Di tengah-tengah kesenangan duniawi ini, seseorang jarang mempunyai keinginan untuk mencapai Tuhan. Di samping itu adalah perlu untuk menganalisa dan membedakan setiap perbuatan dari seseorang. Analisa ini yang nantinya akan memberikan kebangkitan pada semangat penyangkalan diri. Tanpa adanya usaha ini, penyangkalan diri adalah sulit untuk bisa didapatkan. Sifat pelit atau kikir adalah seperti tingkah laku seekor anjing; dan ini harus dirubah. Kemarahan adalah musuh nomer satu bagi penekun spiritual; sifat ini seperti air ludah dan harus diperlakukan demikian. Dan kebohongan adalah bahkan lebih menjijikkan — dengan kebohongan maka kekuatan yang paling penting dari semuanya akan dihancurkannya. Sifat ini harus diperlakukan sebagai binatang pemakan bangkai. Pencurian menghancurkan hidup; ini membuat kehidupan manusia yang sangat berharga menjadi lebih murah daripada sebuah kue pasta; ini seperti bangkai yang berbau busuk. Makan yang cukup, tidur yang cukup, cinta kasih (prema), dan ketabahan akan membantu kesehatan badan dan pikrian. (Prema Vahini, Ch 61)

-BABA

Saturday, February 20, 2016

Thought for the Day - 19th February 2016 (Friday)

Before offering to God, it is food. Once it is offered to God, it becomes free from all impurities and gets transformed into prasadam. By eating such sacred food, one will not acquire any mental impurities. We offer food to God on a clean plantain leaf. The human body is a plantain leaf, your heart is a sacred vessel and and the sacred food items are the virtues and acts of good conduct. Today to whom are you offering food? Your sacred food offering is to demons of wicked feelings such as anger, hatred, and jealousy. The left over is being offered to God. That is why you are victims of restlessness, difficulties, sorrows, and misery. Get rid of your evil qualities and offer your virtues to God with the prayer: ‘Oh God, You are the resident of my heart and You are the embodiment of love, kindness, and compassion.


Sebelum dipersembahkan kepada Tuhan maka ini hanya makanan saja. Sekali makanan ini dipersembahkan maka makanan ini akan bebas dari segala ketidakmurnian dan berubah menjadi prasadam. Dengan mengonsumsi makanan yang suci seperti itu, maka seseorang tidak akan mendapatkan kekotoran batin apapun juga. Kita mempersembahkan makanan kepada Tuhan diatas daun pisang yang bersih. Tubuh manusia adalah selembar daun pisang, hatimu adalah wadah yang suci dan jenis makanan yang suci adalah kebajikan dan tingkah laku yang baik. Hari ini, kepada siapa engkau mempersembahkan makanan? Makanan sucimu engkau berikan kepada iblis yang memiliki perasaan jahat seperti amarah, kebencian dan iri hati. Sedangkan sisanya baru diberikan kepada Tuhan. Itulah sebabnya mengapa engkau menjadi korban dari kegelisahan, kesulitan, duka cita dan kesengsaraan. Lepaskanlah semua sifat jahatmu dan persembahkan kebajikan kepada Tuhan dengan doa: ‘Oh Tuhan, Engkau adalah yang bersemayam di dalam hati dan Engkau adalah perwujudan dari kasih, kebaikan dan welas asih. (Divine Discourse 16-Jul-1996)

-BABA

Thought for the Day - 18th February 2016 (Thursday)

Whoever one may be, in whatever condition, if one gives no room for dispiritedness, if one has no fear at all, and if one remembers the Lord with unshaken faith and without any ulterior motive, all suffering and sorrow will fall away. The Lord will never enquire at any time the caste to which you belong or the precepts or traditions that you follow. Devotion doesn’t consist in wearing an ochre cloth, organising festivals, performing ritual sacrifices, shaving off the hair, carrying water pot or rod, matting the hair, etc. Instead, the characteristics of devotion are: a pure mind (anthah-karana), uninterrupted (whatever one may be doing) contemplation on God, the feeling that everything is the Lord’s creation, and therefore a) non-attachment to sense objects; b) the embracement of all in equal love; and c) dedication to true speech.


Siapapun orang itu, apapun keadaannya, jika seseorang tidak memberikan ruang bagi sifat berkecil hati, jika seseorang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dan jika seseorang ingat Tuhan dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan dan tanpa ada maksud yang tersembunyi, semua penderitaan dan kesedihan akan menjauhimu. Tuhan tidak akan pernah menanyakan kapanpun juga dari kasta mana engkau berasal atau ajaran atau tradisi mana yang engkau ikuti. Bhakti tidak terkait dalam menggunakan pakaian pertapa, mengatur perayaan, melaksanakan pengorbanan suci, menggundul kepala, membawa kendi tempat air, membiarkan rambut tumbuh panjang dan kusut, dsb. Malahan, ciri dari bhakta yang sejati adalah: pikiran yang suci (anthah-karana), tidak ada putusnya merenungkan Tuhan apapun yang mungkin yang sedang ia lakukan, perasaan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan dan maka dari itu ia tidak melekat pada objek-objek indera; merangkul semuanya dengan kasih yang sama; dan selalu benar dalam pembicaraanya. (Prema Vahini, Ch 61)

-BABA

Wednesday, February 17, 2016

Thought for the Day - 17th February 2016 (Wednesday)

With diligent efforts success can be achieved. Even an ant can cover miles by moving continuously. However even Garuda (the celestial eagle) cannot soar two feet if it has no will to fly. Likewise without good thoughts and good deeds based on them, one cannot accomplish anything good. The child Dhruva achieved what he desired despite many difficult obstacles, because of his firm determination and spiritual austerities. By his sublime thoughts, he achieved the status of a star in the sky. Likewise any person, irrespective of age or abilities, with faith and determination, can accomplish what they want. In every field steadfast performance (sadhana) is essential. In addition, you must control your temper. Sage Durvasa, despite his penance had no peace because he could not control his temper. Together with peace, the quality of (Kshama) is essential. Forgiveness is truth, it is Dharma, it is the essence of the Veda, it is non-violence and the best penance (Yajna).


Dengan usaha yang rajin maka keberhasilan dapat diraih. Bahkan seekor semut dapat menempuh perjalanan bermil-mil dengan bergerak terus menerus. Bagaimanapun juga bahkan Garuda (rajawali surgawi) tidak dapat terbang setinggi setengah meter jika Garuda tidak ada keinginan untuk terbang. Sama halnya tanpa adanya pikiran dan perbuatan yang baik dan berlandaskan pada keduanya ini maka seseorang tidak akan bisa mengerjakan apapun dengan baik. Seorang anak bernama Dhruva mencapai apa yang diinginkannya walaupun banyak rintangan yang dihadapinya, karena keteguhan hati yang kuat dan kekuatan spiritualnya. Dengan pikirannya yang mulia, ia mencapai status bintang di angkasa. Sama halnya siapapun juga, tanpa tergantung dengan usia atau kemampuan, dengan keyakinan dan keteguhan hati, dapat mengerjakan apa yang mereka inginkan. Dalam setiap bidang pelaksanaan spiritual yang kokoh (sadhana) adalah bersifat mendasar. Sebagai tambahan, engkau harus mengendalikan kemarahanmu. Resi Durvasa, meskipun dengan kekuatan olah batinnya, ia tidak memiliki kedamaian karena ia tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Bersama dengan kedamaian, kualitas dari ketabahan adalah mendasar. Memaafkan adalah kebenaran, ini adalah Dharma, ini adalah intisari dari Weda, ini adalah tanpa kekerasan dan merupakan penebusan dosa atau Yajna yang terbaik. (Divine Discourse, July 5, 1996)

-BABA

Tuesday, February 16, 2016

Thought for the Day - 16th February 2016 (Tuesday)


None can escape from the reaction, reflection, and resound of their actions. Everyone will have to experience the consequences of their own actions. People who indulge in evil practices become distant from God. People who earn a bad reputation through their evil deeds will have no place in divine proximity. Therefore have a check on yourself when you laugh or scorn at others. Not just this, your speech and vision also must be in check. Some people sing inappropriate songs and eve tease women walking on the road. Has God given you a tongue to sing such vulgar songs? How sacred is the tongue, and what an evil use you put it to? By acting in an inappropriate manner, you ruin your reputation and subject yourself to ridicule by others. Therefore exercise control over your speech, vision, and laughter. If you want to earn a good name in the society and be respected by it, conduct yourself in a befitting manner.


Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan diri dari reaksi, pantulan dan gema dari tindakan mereka. Setiap orang akan mendapatkan pengalaman dari buah tindakan mereka sendiri. Mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan yang jahat menjadi jauh dengan Tuhan. Mereka yang mendapatkan reputasi buruk melalui perbuatan jahat mereka tidak akan memiliki tempat yang dekat dengan Tuhan. Maka dari itu periksalah dirimu sendiri ketika engkau menertawakan atau mencemooh yang lainnya. Tidak hanya ini saja, perkataan dan juga pandanganmu juga harus diperiksa. Beberapa orang menyanyikan lagu yang tidak pantas dan mengusik wanita yang sedang melintas di jalan. Apakah Tuhan memberikanmu lidah untuk menyanyikan lagu-lagu yang tidak sopan seperti itu? Betapa sucinya lidah dan betapa buruknya engkau menggunakannya? Dengan berbuat sesuatu yang tidak pantas maka engkau menghancurkan reputasimu dan menempatkan dirimu sebagai bahan ejekan bagi yang lainnya. Maka dari itu, berlatihlah untuk mengendalikan perkataanmu, pandangan, dan ketawamu. Jika engkau ingin mendapatkan nama yang baik di masyarakat dan dihormati oleh masyarakat, maka bertingkah laku-lah dengan layak dan sesuai. (Divine Discourse, 9 July 1996)

-BABA

Thought for the Day - 15th February 2016 (Monday)

There is no penance (tapas) higher than fortitude, no happiness greater than contentment, no good deed (punya) holier than mercy, no weapon more effective than patience. Consider your body as the field and good deeds as seeds and cultivate the name of the Lord, with the help of the heart as farmer, to reap the harvest of the Lord Himself. Like cream in milk and fire in fuel, the Lord is in everything. Have full faith in this. As the milk, so the cream; as the fuel, so the fire; so also, as the spiritual discipline, so is the direct divine experience (sakshatkara)! Even if you don’t attain liberation (mukthi) as a consequence of taking up the Lord’s name, one of these four gates will be open to you: Company of the virtuous, truth, contentment and control of the senses. Anyone who enters through any one of these gates will certainly attain the Lord without fail.


Tidak ada penebusan dosa (tapa) yang lebih tinggi daripada ketabahan, tidak ada kebahagiaan yang lebih hebat daripada kepuasan hati, tidak ada perbuatan baik (punya) yang lebih suci daripada kemurahan hati, tidak ada senjata yang lebih efektif daripada kesabaran. Anggaplah badanmu sebagai ladang dan perbuatan yang baik sebagai benihnya dan mengolah nama Tuhan, dengan bantuan dari hati sebagai petani, untuk bisa mendapatkan panen Tuhan itu sendiri. Seperti es krim di dalam susu dan api di dalam bahan bakar, Tuhan juga ada di dalam segala sesuatu. Milikilah keyakinan yang penuh terkait dengan hal ini. Sebagaimana susunya maka begitulah krimnya; sebagaimana bahan bakarnya, maka begitulah apinya; begitu juga, sebagaimana disiplin spiritualnya, maka begitulah pengalaman langsung tentang Tuhan (sakshatkara)! Bahkan jika engkau tidak mencapai kebebasan (mukthi) sebagai akibat dari mengambil nama Tuhan, satu dari empat gerbang akan terbuka bagimu: pergaulan yang berbudi luhur, kebenaran, kepuasan hati, dan pengendalian indera. Siapapun yang memasuki salah satu dari gerbang ini pastinya akan mencapai Tuhan tanpa gagal. (Prema Vahini, Ch 60)

-BABA

Sunday, February 14, 2016

Thought for the Day - 14th February 2016 (Sunday)

When you satisfy God, the entire world will be satisfied with you. If God disowns you, then the world will also disown you. Hence, there is no need for you to make efforts to please this person or that person. Do not waste your life in the pursuit of mean and petty desires. Make earnest efforts to please God. When you please God and become dear to Him, the entire world will become yours. Thyagaraja sang, “Oh Rama! If I have Your Grace (Anugraha), all the nine planets (navagraha) will become subservient to me.” To become recipients of God’s grace, treat the pairs of opposites like pleasure and pain, happiness and sorrow, praise and blame with equal-mindedness. Always contemplate on God’s Divine Name and become deserving of His love. Once you become the recipients of God’s love, you need not be afraid of anything. You will achieve everything in life. Therefore, develop equal-mindedness and make efforts to earn divine grace.


Ketika engkau dapat menyenangkan Tuhan, seluruh dunia akan senang dan puas denganmu. Jika Tuhan memungkiri dirimu, maka dunia juga akan memungkiri dirimu. Oleh karena itu, adalah tidak ada perlunya bagimu untuk berusaha menyenangkan orang ini atau orang itu. Jangan menyia-nyiakan hidupmu dalam pengejaran keinginan yang biasa dan sepele. Buatlah usaha yang sungguh-sungguh untuk menyenangkan Tuhan. Ketika engkau menyenangkan Tuhan dan menjadi disayang oleh-Nya, seluruh dunia akan menjadi milikmu. Thyagaraja bernyanyi, “Oh Rama! Jika hamba memiliki rahmat-Mu (Anugraha), seluruh Sembilan planet (navagraha) akan menjadi patuh pada hamba.” Untuk bisa menerima rahmat Tuhan, perlakukanlah perbedaan yang ada seperti kesenangan dan kesedihan, kebahagiaan dan penderitaan, pujian dan cacian dengan pikiran yang seimbang. Selalulah memusatkan pikiran pada nama Tuhan dan menjadi layak menerima kasih-Nya. Sekali engkau menerima kasih Tuhan, maka engkau tidak perlu takut pada apapun juga. Engkau akan mencapai segalanya di dalam kehidupan. Maka dari itu, kembangkanlah pikiran yang seimbang dan buatlah usaha untuk bisa mendapatkan rahmat Tuhan. (Divine Discourse, 9 Jul 1996)

-BABA

Saturday, February 13, 2016

Thought for the Day - 13th February 2016 (Saturday)

Many aspirants lack moral commitment and seek God for the fulfilment of their petty desires and transient benefits. No one seeks to understand the nature of true love or the Divinity that underlies everything. What we witness today in the world, is a great deal of play-acting. All appear as devotees and all proclaim their spirit of sacrifice. Everyone declares himself or herself as a sadhaka (spiritual aspirant). Every believer claims that they are connecting with God. Sincerely enquire within, “Is the aspirant (Sadhaka) serving God or is God serving the Sadhaka?” The service that the sadhaka is doing is trivial. Offering to God what God has provided is like offering to the Ganga water from the Ganga. The truth is it is God who is serving the devotee. All the capacities given by God should be used in the service of the Divine. There is no need to go in quest of God. God is all the time searching for the genuine and steadfast devotee.


Banyak peminat spiritual kurang dalam komitmen moral dan mencari Tuhan hanya untuk pemenuhan keinginan mereka yang sepele dan untuk keuntungan yang sementara. Tidak ada seorangpun yang mencari untuk memahami sifat dari kasih yang sejati atau Tuhan yang mendasari semuanya. Apa yang kita saksikan di dunia saat sekarang adalah kepura-puraan yang sungguh luar biasa. Semuanya kelihatan seperti bhakta dan semuanya menyatakan semangat pengorbanan mereka. Setiap orang menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang sadhaka (peminat spiritual). Setiap pengikut menyatakan bahwa mereka sedang terhubung dengan Tuhan. Dengan sungguh-sungguh cobalah tanyakan ke dalam diri, “Apakah mereka sebagai peminat spiritual (Sadhaka) sedang melayani Tuhan atau Tuhan yang sedang melayani para peminat spiritual (sadhaka)?” Pelayanan yang dilakukan oleh para sadhaka adalah bersifat remeh dan sepele. Mempersembahkan kepada Tuhan apa yang Tuhan telah sediakan adalah seperti mempersembahkan air sungai Gangga yang berasal dari sungai Gangga itu sendiri. Kebenarannya adalah bahwa Tuhan yang sedang melayani bhakta. Semua kapasitas yang diberikan oleh Tuhan seharusnya digunakan dalam pelayanan kepada Tuhan. Tidak ada gunanya pergi utnuk mencari Tuhan. Tuhan sepanjang waktu sedang mencari bhakta yang sungguh-sungguh dan tabah. (Divine Discourse 13 Jan 1984)

-BABA

Thought for the Day - 12th February 2016 (Friday)

Quarreling at every tiny little thing, losing one’s temper, becoming sad at the slightest provocation, getting angry at the smallest insult, worried at thirst, hunger, and loss of sleep — these can never be the characteristics of an aspirant. Rice in its natural state and boiled rice — can these two be the same? The hardness of natural rice is absent in the boiled one. The boiled grain is soft, harmless, and sweet. The unboiled raw grain is hard, conceited, and full of delusion. Both types are souls (jivis) and humans no doubt, but those immersed in external illusions (avidya-maya) are ‘people’, while those immersed in internal illusions (vidya-maya) are ‘spiritual aspirants’. God has neither internal illusions nor external illusions; He is devoid of both. The one who has no external illusions, becomes a spiritual aspirant, and when they are devoid of internal illusions too, they can be termed as God. Such a person’s heart is truly the seat of God.


Bertengkar untuk hal-hal yang sepele, cepat kehilangan kesabaran, menjadi sedih karena provokasi kecil, menjadi marah karena terhina sedikit saja, cemas karena haus, lapar, dan kurang tidur — semua hal ini tidak akan pernah bisa menjadi ciri dari peminat spiritual. Beras dalam keadaan sesungguhnya dan nasi yang telah dimasak — dapatkah kedua hal ini menjadi sama? Kerasnya beras akan menjadi hilang setelah dimasak. Biji padi yang telah dimasak bersifat lembut, tidak berbahaya dan manis. Sedangkan biji padi yang tidak dimasak adalah keras, congkak, dan penuh dengan khayalan. Tidak diragukan lagi bahwa kedua jenis ini adalah jiwa (jivi) dan manusia, namun bagi mereka yang tenggelam dalam khayalan lahiriah (avidya-maya) adalah ‘orang biasa’, sedangkan bagi mereka yang tenggelam dalam khayalan batin (vidya-maya) adalah ‘peminat spiritual’. Tuhan tidak memiliki khayalan lahir dan juga khayalan batin; Tuhan sama sekali tanpa keduanya. Seseorang yang tidak memiliki khayalan lahiriah, menjadi peminat spiritual, dan ketika mereka sama sekali tanpa khayalan batin juga, mereka dapat digolonggkan sebagai Tuhan. Hati dari orang seperti ini sejatinya adalah singgasana Tuhan. (Prema Vahini, Ch 59)

-BABA

Thursday, February 11, 2016

Thought for the Day - 11th February 2016 (Thursday)

Good and bad, wealth and poverty, praise and blame go together in this world. You cannot derive happiness out of happiness (Na sukhat labhate sukham). Happiness comes only out of sorrow. A wealthy man today may become a pauper tomorrow. Similarly, a pauper may become a rich man some day or other. Today you are being praised, but tomorrow you may be criticised. To consider praise and blame, happiness and sorrow, prosperity and adversity with equal-mindedness is the hallmark of a true human being. The Gita declares, “Remain equal-minded in happiness and sorrow, gain and loss, victory and defeat (Sukha Dukhe same kritva labhalabhau jayajayau). You can truly enjoy your life as a human being only when you consider both sorrow and happiness, profit and loss with equanimity. There is no value for happiness without sorrow. Therefore, welcome sorrow if you want to experience real happiness.
Baik dan buruk, kekayaan dan kemiskinan, pujian dan celaan selalu berjalan beriringan di dunia ini. Engkau tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dari kebahagiaan itu sendiri (Na sukhat labhate sukham). Kebahagiaan datang hanya melalui penderitaan. Seorang yang kaya mungkin bisa menjadi orang miskin keesokan harinya. Sama halnya, seorang miskin mungkin bisa menjadi orang kaya suatu hari nanti. Hari ini engkau sedang dipuji, namun esok hari engkau mungkin dikritik. Untuk menganggap pujian dan celaan, kesenangan dan penderitaan, kesejahteraan dan kemalangan dengan pikiran yang sama adalah tanda khusus dari manusia yang sejati. Dalam Gita dijelaskan, “Tetaplah miliki pikiran yang sama dalam kesenangan dan penderitaan, keuntungan dan kerugian, kemenangan dan kekalahan (Sukha Dukhe same kritva labhalabhau jayajayau). Engkau sejatinya dapat menikmati hidupmu sebagai manusia hanya ketika engkau menganggap keduanya baik itu penderitaan dan kesenangan, keuntungan dan kerugian dengan ketenangan hati. Tidak ada nilai dari kebahagiaan tanpa penderitaan. Maka dari itu, sambutlah penderitaan jika engkau ingin mengalami kebahagiaan yang sejati. (Divine Discourse, 9 Jul 1996)

-BABA

Thought for the Day - 10th February 2016 (Wednesday)

Spiritual aspirants must carefully understand the distinction between the conduct of the ordinary (sahaja) person and spiritual aspirant. The ordinary person has no fortitude (sahana), is conceited (ahamkara), and is full of desires related to the world, through which the person is trying to have a contented existence. Aspirants engaged in contemplation of the Lord (Sarveswara-chinthana) as ceaselessly as the waves of the sea, accumulate the wealth of equality and equal love to all, and are content in the thought that all is the Lord’s and nothing is theirs. Unlike the ordinary person, the spiritual seeker won’t easily bend before grief, loss, anger or hatred or selfishness, hunger, thirst or fickleness. Aspirants should master all good things as much as possible and journey through life in fortitude, courage, joy, peace, charity, and humility. Realise that tending the body is not all-important, and bear even hunger and thirst patiently and engage uninterruptedly in contemplation of the Lord.


Peminat spiritual harus secara hati-hati memahami perbedaan antara tingkah laku dari orang biasa (sahaja) dan penekun spiritual. Orang biasa tidak memiliki ketabahan (sahana), tapi ia sombong (ahamkara), dan dipenuhi dengan keinginan yang berkaitan dengan duniawi, dan dalam hal itu mencoba untuk memperoleh kepuasan hidup. Penekun spiritual adalah mereka yang merenungkan Tuhan (Sarveswara-chinthana) secara terus menerus seperti gelombang di lautan, mengumpulkan harta keseimbangan batin dan kasih sayang yang sama bagi semua makhluk, dan puas dalam perenungan bahwa semuanya adalah milik Tuhan dan tidak ada satupun yang merupakan miliknya. Tidak seperti orang biasa, penekun spiritual tidak akan dengan mudah menyerah dalam kesedihan, kehilangan, kemarahan atau kebencian atau egoisme, rasa lapar, haus atau keraguan. Penekun spiritual harus menguasai semua hal yang baik sebanyak mungkin dan menempuh perjalanan kehidupan dalam ketabahan, keberanian, suka cita, kedamaian, kemurahan hati, dan kerendahan hati. Menyadari bahwa merawat badan bukanlah hal yang sangat penting, dan tanggunglah rasa lapar dan haus dengan sabar dan selalulah tenggelam dalam perenungan tiada putusnya kepada Tuhan. (Prema Vahini, Ch 59)

-BABA

Tuesday, February 9, 2016

Thought for the Day - 9th February 2016 (Tuesday)

Education and other things that make one grow and become big are of no use for spiritual progress; they bring about only spiritual downfall. That is why the world is called the ‘illusory universe’ (maya-prapancha). Truth, in whatever illusion it is immersed, will only shine more effulgently, for such is the nature of truth. How can we say that the objective world, which undergoes modifications every minute, waning and waxing with the waywardness of appearing and disappearing, is eternal truth? The characteristic of a spiritual aspirant is the attainment of Truth, not the search of the unreal in this evanescent world. In this false world, there can be no true living (satya-achara). There can be only false living (mithya-achara). True living consists in the realisation of the Lord. This must be borne in mind by everyone every moment of one’s life.


Pendidikan dan yang lainnya yang membuat seseorang tumbuh dan menjadi besar adalah tidak berguna bagi kemajuan spiritual; semuanya itu hanya membawa pada kejatuhan spiritual. Itulah sebabnya mengapa dunia disebut dengan ‘alam yang menyesatkan’ (maya-prapancha). Kebenaran, dalam ilusi apapun terpendam hanya akan bersinar lebih terang karena itulah sifat alami dari kebenaran. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa dunia objektif yang mengalami perubahan setiap menitnya, menyusut dan bertambah besar dengan ketidakpatuhan dari kemunculan dan kehilangan sebagai kebenaran yang kekal? Ciri dari peminat spiritual adalah keterikatan pada kebenaran dan bukan mencari yang tidak nyata di dunia fana ini. Di dunia yang palsu ini, tidak ada yang namanya hidup yang sejati (satya-achara), yang ada hanyalah hidup yang palsu (mithya-achara). Hidup yang sejati terkandung dalam kesadaran akan Tuhan. Ini harus ada di dalam pikiran setiap orang di setiap saat dalam kehidupannya. (Prema Vahini, Ch 58)

-BABA

Monday, February 8, 2016

Thought for the Day - 8th February 2016 (Monday)

Embodiments of Love! The hallmark of love is selfless sacrifice (thyaga). Love seeks nothing from anyone. It bears no ill-will towards anyone. It is utterly selfless and pure. Failing to understand the true nature of love, people yearn for it in various ways. Love must be cherished with feelings of selflessness and sacrifice. In what is deemed as love in the world - whether it be maternal love, brotherly love, or friendship - there is an element of selfishness. Only God\'s love is totally free from the taint of selfishness. Divine love reaches out even to the remotest being. It brings together those who are separate. It raises man from animality to Divinity. It transforms gradually all forms of worldly love to Divine love. Even the feeling of universal brotherliness is not the same as the experience of ekatvam (oneness). Even in such a fraternal feeling there is an element of self-interest. Those who really wish to promote universal brotherhood too should develop the consciousness of the one Spirit dwelling in all beings.


Perwujudan kasih! Tanda khusus dari kasih adalah pengorbanan yang tanpa mementingkan diri sendiri (thyaga). Kasih tidak mencari apapun dari seseorang dan tidak ada kehendak buruk pada siapapun juga. Kasih sepenuhnya bersifat tidak mementingkan diri sendiri dan suci. Gagal dalam memahami sifat kasih yang sebenarnya, orang-orang merindukan kasih dalam berbagai cara. Kasih harus dihargai dengan perasaan dari tanpa mementingkan diri dan pengorbanan. Dalam bentuk apa kasih dianggap di dunia – apakah ini kasih keibuan, kasih dalam persaudaraan, atau persahabatan – ada sebuah unsur kepentingan diri sendiri. Hanya kasih Tuhan yang sepenuhnya bebas dari noda kepentingan diri sendiri. Kasih Tuhan bahkan dapat mencapai sampai yang terpencil. Kasih membawa kembali bagi mereka yang terpecah. Kasih juga mengangkat manusia dari binatang menuju keillahian. Kasih merubah semua bentuk kasih duniawi menuju kasih illahi. Bahkan perasaan dari persaudaraan universal adalah tidak sama dengan pengalaman tentang ekatvam (kesatuan). Bahkan dalam perasaan persaudaraan ada sebuah unsur kepentingan diri. Bagi mereka yang benar-benar ingin mengembangkan persaudaraan universal juga harus mengembangkan kesadaran pada satu jiwa yang bersemayam dalam diri semua makhluk. (Divine Discourse, 20 June 1996)

-BABA

Sunday, February 7, 2016

Thought for the Day - 7th February 2016 (Sunday)

Those who are agitated by doubts about what to accept and what to reject, those who are blinded by illusion, and those who cannot distinguish between darkness and light, death and immortality — all these should approach great people who can show the path to understand the eternal truth - the self-illumined basis of all creation. Then both this world and heaven will be merged in the same effulgence! For the sake of this realisation, one should have deep yearning and hard, disciplined practice. This human birth is the consequence of countless good deeds, and it should not be cast aside; the chance must be fully exploited. As the Kenopanishad says, “This present precious life should not be thrown away.” When there are so many chances of saving oneself, isn’t it a big loss to waste them all? For all those who are slaves of pride and animal traits, this awareness in time is most important. Delay is fruitless; it is as silly as starting to dig a well when the house catches fire.


Bagi mereka yang merasa gelisah oleh keraguan tentang apa yang diterima dan apa yang ditolak, mereka yang dibutakan oleh khayalan, dan mereka yang tidak bisa membedakan antara kegelapan dan cahaya, kematian dan keabadian - mereka semua seharusnya mendekati orang-orang hebat yang dapat memperlihatkan jalan untuk memahami kebenaran yang kekal – penerangan diri dasar dari semua ciptaan. Kemudian keduanya baik dunia ini dan surga akan menyatu dalam cahaya yang sama! Untuk tujuan kesadaran ini, seseorang harus memiliki kerinduan yang mendalam dan kuat menjalankan disiplin. Kelahiran sebagai manusia adalah konsekuensi dari perbuatan baik yang tidak terhitung jumlahnya dan ini seharusnya tidak disia-siakan; kesempatan ini sepenuhnya harus dimanfaatkan. Seperti yang dikatakan dalam Kenopanishad, “Kehidupan sekarang yang begitu berharga seharusnya tidak dibuang.” Ketika ada begitu banyak kesempatan untuk menyelamatkan diri, bukankah merupakan sebuah kerugian yang besar dengan menyia-nyiakan semua kesempatan itu? Bagi mereka yang diperbudak oleh kesombongan dan sifat-sifat binatang, kesadaran ini pada waktunya adalah paling penting. Menunda adalah tidak ada gunanya; adalah kedunguan dengan mulai menggali sebuah sumur ketika rumah sudah terbakar api. (Prema Vahini, Ch 57)

-BABA

Thought for the Day - 6th February 2016 (Saturday)

While doing Kundalini Yoga, people practice breath control. In the breathing exercises, inhalation is described as Purakam, exhalation as Rechakam and holding the breath as Kumbhakam. These alone do not constitute the means to achieve yogic power. To breathe in all that is good is Purakam. To give up all that is bad is Rechakam. To retain in the heart what is good is Kumbhakam. Every human being must practice this divine type of yoga; in fact this must become your primary goal. Puttaparthi is a small hamlet. How has this village attained this eminent state? You can find the answer for yourself. It was not merely a great piece of good fortune or a lucky accident. It is due to the power of thought. Every sacred thought has the power to find fulfilment. Hence scriptures declared: “As you think, that you become (Yad bhavam tad bhavati)\". Develop good thoughts and naturally you will be entitled to the right of its fruits.


Ketika sedang melakukan Kundalini Yoga, orang-orang melakukan latihan pengendalian nafas. Dalam latihan pernafasan, menarik nafas disebut dengan Purakam, menghembuskan nafas disebut dengan Rechakam dan menahan nafas disebut dengan Kumbhakam. Ketiganya ini saja bukan merupakan sarana untuk meraih kekuatan yoga. Dengan menarik nafas semua kebaikan adalah Purakam. Melepaskan semua keburukan adalah Rechakam. Untuk tetap menahan di dalam hati apa yang baik adalah Kumbhakam. Setiap manusia harus menjalankan jenis yoga illahi ini; sejatinya ini seharusnya menjadi tujuanmu yang pertama. Puttaparthi adalah sebuah dusun yang sangat kecil. Bagaimana desa ini mencapai keadaan yang terkenal? Engkau dapat menemukan jawabannya sendiri. Ini bukanlah hanya karena keberuntungan yang besar atau kemujuran. Ini disebabkan karena kekuatan dari pikiran. Setiap pikiran yang suci memiliki kekuatan untuk menemukan pemenuhan. Oleh karena itu naskah suci menyatakan: “Sebagaimana pikiranmu, maka begitulah engkau jadinya (Yad bhavam tad bhavati)". Kembangkanlah pikiran yang baik dan secara alami engkau akan mendapatkan hak atas hasilnya. (Divine Discourse, 23 Nov 1990)
- BABA

Friday, February 5, 2016

Thought for the Day - 5th February 2016 (Friday)

Develop the quality of love. Fill your entire life with love. This was the prayer which the gopikas addressed to Krishna. A life without love is utterly barren. You are the embodiment of love. Love has to be directed towards what is true. Such love must be your life-breath. Embodiments of the Divine Atma! Esteeming love as the essence of Divinity, you must engage yourselves in loving service to society. Why is it that so many lakhs of people have gathered here today? There must be some compelling reason for it. You must be seeking something which you have not found in your native place. Here there is Divine Love. What has drawn all people here is the power of Divine Love - that is the bond uniting hearts. At the root of all this is purity. Where there is purity, there love grows. When purity and love come together, there is Ananda (bliss). Whatever work we do, whatever sacrifices we perform, they are not of much use in the absence of love.


Kembangkanlah kualitas kasih. Isilah seluruh hidupmu dengan kasih. Inilah yang merupakan doa yang dilantunkan oleh para Gopika yang diperuntukkan kepada Krishna. Sebuah hidup tanpa kasih sepenuhnya adalah tandus. Engkau adalah perwujudan dari kasih. Kasih harus ditujukan kepada sesuatu yang bersifat benar. Kasih seperti itu haruslah menjadi nafas hidupmu. Perwujudan Atma illahi! Menghargai kasih sebagai intisari dari keillahian maka engkau harus melibatkan dirimu dalam pelayanan penuh kasih kepada masyarakat. Mengapa ada begitu banyak orang yang hadir dan berkumpul di sini? Pastinya ada sebuah alasan yang sangat kuat untuk ini. Engkau pastinya mencari sesuatu yang tidak engkau temukan di tempat asalmu. Disini ada kasih Tuhan. Apa yang telah menarik semua orang disini adalah kekuatan dari kasih Tuhan – itulah tali yang mengikat dan mempersatukan hati. Akar dari semuanya ini adalah kesucian. Dimana ada kesucian maka disana akan tumbuh kasih. Ketika kesucian dan kasih datang bersama-sama, maka disana akan ada kebahagiaan (Ananda). Apapun pekerjaan yang engkau lakukan, apapun pengorbanan yang kita lakukan, semuanya itu tidak banyak gunanya ketika tanpa adanya kasih. (Divine Discourse, Nov 23, 1990)

-BABA

Thought for the Day - 4th February 2016 (Thursday)

For achieving anything in life two things are essential: firm faith and pure love. To experience pure, Divine love, you must be prepared to give up selfishness and self-interest. You must develop purity and steadfastness. With firm faith in the Divine, you must foster the love of God regardless of all obstacles and ordeals. You should never think that pleasure and pain are caused by some external forces; it is not so. They are the result of your own thoughts. There is no meaning in blaming others. If you develop love of God, that love will banish all sorrow and evil tendencies like attachment, anger and envy. One should pursue both spiritual education and secular studies. You have to realise that Nature is also a manifestation of God. Hence, Nature should not be ignored. Nature is the effect and God is the cause. Thus you should recognize the omnipresence of the Divine in the entire cosmos.

Untuk dapat mencapai apapun di dalam kehidupan maka ada dua hal yang mendasar yaitu keyakinan yang mantap dan kasih yang suci. Untuk dapat mengalami kasih Tuhan yang suci, maka engkau harus bersiap-siap untuk melepaskan sifat mementingkan diri sendiri dan kepentingan diri. Engkau harus mengembangkan kesucian dan ketabahan. Dengan keyakinan yang mantap kepada Tuhan, engkau harus mengembangkan kasih pada Tuhan tanpa memperhatikan semua halangan dan rintangan. Engkau seharusnya tidak pernah berpikir bahwa kesenangan dan penderitaan adalah disebabkan oleh beberapa kekuatan dari luar. Kesenangan dan penderitaan adalah hasil dari pikiranmu sendiri. Adalah tidak ada gunanya dalam menyalahkan orang lain. Jika engkau mengembangkan kasih kepada Tuhan, maka kasih itu akan menghancurkan semua penderitaan dan kecenderungan jahat seperti keterikatan, kemarahan, dan iri hati. Seseorang harus mencari keduanya baik pendidikan spiritual maupun pembelajaran duniawi. Engkau harus menyadari bahwa alam adalah juga perwujudan dari Tuhan. Oleh karena itu, alam seharusnya tidak diabaikan. Alam adalah hasilnya dan Tuhan adalah penyebabnya. Jadi, engkau harus menyadari kehadiran Tuhan dimana-mana di seluruh kosmos. (Divine Discourse, 20 June 1996)

-BABA

Wednesday, February 3, 2016

Thought for the Day - 3rd February 2016 (Wednesday)

Look at the crane; it walks pretty fast while in water. But while walking, it can’t catch fish; for that purpose, it must become quiet and stand motionless. So also, if you lead your daily life with greed, anger, and similar qualities, you cannot secure the fish of truth (sathya), dharma, and peace (shanti). Whatever spiritual practice one may be engaged in, one must practise uninterrupted remembrance of the Lord’s Name (nama-smarana). Only then can you master the natural attributes of greed, anger, etc. All the scriptures (sastras) teach this one lesson: since the Lord is the universal goal and this journey of life has Him as the destination, keep Him constantly in view and subdue the mind so that you do not stray from your chosen path. All the good qualities automatically accumulate with the person who practices control of speech and constant contemplation of the Lord.
Lihatlah pada burung bangau yang berjalan dengan cepat di air. Namun ketika bangau sedang berjalan, bangau tidak bisa menangkap ikan; untuk supaya bisa menangkap ikan maka bangau harus tenang dan berdiri tanpa gerakan. Sama halnya, jika engkau menuntun hidupmu setiap harinya dengan ketamakan, kemarahan dan sifat yang semacam itu, maka engkau tidak akan bisa mendapatkan ikan berupa kebenaran (sathya), dharma, dan kedamaian (shanti). Apapun jalan spiritual yang engkau mungkin lakukan, maka seseorang harus menjalankan mengulang-ulang nama Tuhan dengan tanpa henti (nama-smarana). Hanya dengan demikian engkau dapat menguasai sifat-sifat seperti ketamakan, kemarahan, dsb. Semua naskah suci (sastra) mengajarkan satu pelajaran: karena Tuhan adalah tujuan universal dan perjalanan hidup untuk mencapai Tuhan, karena itu ingatlah selalu pada Tuhan dan tundukkan pikiran sehingga engkau tidak menyimpang dari jalan yang telah engkau pilih. Semua sifat baik secara otomatis akan berkumpul pada seseorang yang menjalankan pengendalian pada perkataan dan selalu mengingat Tuhan. (Prema Vahini, Ch 56)

-BABA

Thought for the Day - 2nd February 2016 (Tuesday)

If you are ill or if your mind is pre-occupied, you will not enjoy the taste of delicious food. So also if your heart is full of ignorance (tamas) or is straying, no joy will be experienced, even if you are engaged in remembrance of the name (namasmarana), devotional singing (japa), or meditation. The tongue will be sweet as long as there is sugar on it. Likewise if the pillar of light called devotion continues to burn in the corridor of the heart, there will be no darkness. The heart will be illumined in bliss. A bitter thing on the tongue makes your whole tongue bitter; when qualities like greed and anger enter the heart, the brightness disappears, darkness dominates the scene, and one becomes the target of countless griefs and losses. Therefore those who aspire to attain the holy presence of the Lord must acquire certain habits, disciplines, and qualities. You must modify your daily living through spiritual discipline.
Jika engkau sakit atau jika pikiranmu sedang sangat memikirkan sesuatu, maka engkau tidak akan menikmati rasa enak dari makanan. Begitu juga jika hatimu penuh dengan kebodohan (tamas) atau sedang menyimpang, maka tidak akan ada suka cita yang bisa dialami, walaupun jika engkau mengulang-ulang nama Tuhan (namasmarana), lagu kebhaktian (japa), atau meditasi. Lidah akan terasa manis selama ada gula diatasnya. Sama halnya jika pelita bhakti tetap bersinar di dalam relung hatimu, maka tidak akan ada kegelapan. Hati akan diterangi dengan kebahagiaan. Sesuatu yang pahit yang ada di lidah membuat seluruh lidahmu terasa pahit; ketika sifat seperti rakus dan marah memasuki hatimu, maka cahaya terang akan sirna, kegelapan akan menguasai pandangan dan seseorang menjadi target dari kesedihan serta kehilangan yang tidak terhitung banyaknya. Maka dari itu bagi mereka yang berhasrat mencapai kehadirat Tuhan yang suci harus berusaha mendapatkan kebiasaan baik, disiplin dan sifat-sifat tertentu. Engkau harus mengubah kehidupan sehari-harimu melalui disiplin spiritual. (Prema Vahini, Ch 56)

-BABA