Saturday, February 28, 2015

Thought for the Dayy - 28th February 2015 (Saturday)

When rains come, earth and sky are one in the sheety downpour. It is indeed a beautiful and inspiring scene, an imagery by which creation itself is teaching you to become one with the Creator. Learn three lessons: the impermanence of created things, your role as a servant, and God as the Master. The game called life is played with these - the process of creation, the created, the Creator. Rejoice that the Lord continues to place in your hands newer ways to serve Him and exult in the chance you receive. This attitude will give you immeasurable joy; to lead a life suffused with this joy is indeed bliss. Whatever is done from sunrise to sunset must be consecrated, as if it is the worship of the Lord. Just as care is taken to pluck only fresh flowers and to keep them clean and unfaded, so too, continuous and persistent effort should be made to perform deeds that are pure and unsullied.
Ketika hujan jatuh, bumi dan langit adalah satu dalam lembaran hujan lebat. Sungguh suatu pemandangan yang indah dan inspiratif, sebuah citra dimana ciptaan sendiri mengajarkan engkau untuk menjadi satu dengan Sang Pencipta. Belajarlah tiga pelajaran ini: ketidakkekalan makhluk, peranmu sebagai seorang abdi, dan Tuhan sebagai Sang Guru. Permainan yang disebut hidup dimainkan dengan ini - proses penciptaan, ciptaan, dan Sang Pencipta. Bersukacitalah bahwa Tuhan secara terus-menerus menempatkan di tanganmu cara baru untuk melayani-Nya dan bersuka-cita-lah pada kesempatan yang engkau terima. Sikap ini akan memberimu sukacita yang tak terhingga; untuk menjalani hidup yang diliputi dengan sukacita yang merupakan kebahagiaan sejati. Apa pun yang dilakukan dari matahari terbit sampai terbenam harus disucikan, seolah-olah itu adalah memuja Tuhan. Sama seperti perawatan diambil untuk memetik hanya bunga-bunga segar dan agar tetap bersih dan tidak layu, demikian juga, secara terus menerus dan upaya gigih harus dilakukan untuk melakukan perbuatan yang murni dan tak ternoda. (Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

Friday, February 27, 2015

Thought for the Day - 27th February 2015 (Friday)


People commit the great fault of identifying themselves with the body. They accumulate a variety of things for the upkeep and comfort of the body, even when the body becomes weak and decrepit with age! Can death be postponed? When Yama’s (God of death) warrant comes, all must depart. Position, pride, and power - all vanish before death. Knowing this, strive day and night, with purity of body, mind and spirit, to realise the Higher Self. The body must be preserved as a vehicle for this service. But remember, you are not this body; this body cannot be you! Until the realisation of the purpose for which the human body is given, it is your duty to watch over it vigilantly and protect it from injury and disablement. Just as woollen clothes help withstand the rigour of the cold gales during winter and are discarded in summer, the material body is no longer essential when the cold gales of material life don’t affect you.
Orang-orang melakukan kesalahan besar mengidentifikasi diri dengan badan jasmani. Mereka mengumpulkan berbagai hal untuk pemeliharaan dan kenyamanan badan, bahkan ketika badan menjadi lemah dan jompo karena usia! Bisakah kematian ditunda? Ketika  Dewa Yama (Dewa kematian) datang, semuanya harus berangkat. Posisi, kebanggaan, dan kekuasaan - semuanya lenyap sebelum kematian. Mengetahui hal ini, engkau hendaknya berusaha siang dan malam, dengan kemurnian badan, pikiran, dan jiwa, untuk mewujudkan Sang Atma. Badan harus dipertahankan sebagai kendaraan untuk pelayanan ini. Tetapi ingatlah, engkau bukanlah badan ini; badan ini bukan untukmu! Sampai realisasi tercapai apa tujuan badan manusia diberikan, adalah merupakan tugasmu untuk menjaganya dan melindunginya dari cedera dan cacat. Sama seperti pakaian wol membantu menahan kerasnya angin kencang yang dingin selama musim dingin dan dibuang di musim panas, badan tidak lagi penting ketika angin kencang dingin kehidupan tidak mempengaruhimu. ( Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

Thursday, February 26, 2015

Thought for the Day - 26th February 2015 (Thursday)

Following the true path of dharma, we will be in a position to receive much more benefit than what is anticipated. On the other hand, if we tread a path different from dharma, then we will find that if we have a thousand desires, not even one of those desires will be fulfilled. One who destroys dharma will in turn be destroyed by dharma, but one who protects dharma will in turn be protected by dharma. Whether it is punishment or protection it can arise only out of dharma. It is only by dharma that we can attain prosperity. We should try to follow the path followed by Dharmaraja (Yudhisthira) at least to a certain extent. Invest time to understand Indian culture, the scriptures (Ithihasas and Puranas) and Vedas and their sacred inner significance. There is no room for cruel and bad ideas, and it is possible for everyone to lead a good and happy life.

Mengikuti jalan yang benar yaitu dharma, kita akan berada dalam posisi untuk menerima lebih banyak manfaat daripada apa yang diharapkan. Di sisi lain, jika kita menginjak jalan yang berbeda dari dharma, maka kita akan menemukan bahwa jika kita punya seribu keinginan, bahkan salah satu dari keinginan tersebut tidak akan terpenuhi. Orang yang menghancurkan dharma pada gilirannya akan dihancurkan oleh dharma, tapi seseorang yang melindungi dharma pada gilirannya akan dilindungi oleh dharma. Apakah itu hukuman atau perlindungan, hanya bisa timbul dari dharma. Hanya dengan dharma kita bisa mencapai kemakmuran. Kita harus mencoba untuk mengikuti jalan yang diikuti oleh Dharmaraja (Yudistira) setidaknya sampai batas tertentu. Investasikan waktu untuk memahami budaya India, kitab suci (Ithihasas dan Purana) dan Veda dan arti suci-nya. Tidak ada ruang untuk ide-ide yang kejam dan buruk, dan sangat mungkin bagi setiap orang untuk menjalani kehidupan yang baik dan bahagia. (Summer Showers in Brindavan 1974, Part 1, Ch 13)

-BABA

Wednesday, February 25, 2015

Thought for the Day - 25th February 2015 (Wednesday)

One has only a short span of life on earth. But even in this short life one can attain divine bliss, by wisely and carefully using the time. Two people, same in appearance, ostensibly of the same mould, and also grown under the same conditions, but one turns out to be an angel while the other stays on with one’s animal nature. What’s the reason for this differential development? Habits, behaviour formed out of these habits, and the character into which that behaviour has solidified. People are creatures of character. To a superficial observer, life appears to be a rotation of eating and drinking, toiling, and sleeping. But verily life has a much greater meaning, and a deeper significance. Life is a sacrifice (yajna). Each little act is an offering to the Lord. If the day is spent in deeds performed in this spirit of surrender, what else can sleep be except total immersion in the Godhead (samadhi)?
Seseorang hanya memiliki kehidupan yang singkat di bumi. Tetapi bahkan dalam kehidupan yang singkat ini kita dapat mencapai kebahagiaan ilahi, dengan bijaksana dan hati-hati menggunakan waktu. Dua orang yang sama dalam penampilan, seolah-olah dari cetakan yang sama, dan juga tumbuh di bawah kondisi yang sama, tetapi yang satunya ternyata menjadi malaikat sementara yang lainnya tetap pada sifat alami hewan. Apa alasan untuk pengembangan diferensial ini? Kebiasaan dan perilaku terbentuk dari kebiasaan tersebut, dan karakter di mana perilaku yang telah dimantapkan. Orang adalah makhluk yang berkarakter. Untuk pengamat yang dangkal, hidup nampak sebagai perputaran makan dan minum, bekerja keras, dan tidur. Namun sesungguhnya hidup memiliki makna yang jauh lebih besar, dan makna yang lebih dalam. Hidup adalah pengorbanan (yajna). Setiap tindakan kecil adalah persembahan kepada Tuhan. Jika hari-hari dihabiskan dalam perbuatan yang dilakukan dalam semangat kepasrahan, apa yang dapat dilakukan selain tidur kecuali pasrah total dalam Ketuhanan (samadhi)? (Prema Vahini, Ch 1)

-BABA

Tuesday, February 24, 2015

Thought for the Day - 24th February 2015 (Tuesday)

We must clearly understand the meaning of ‘death’ and ‘immortality’. We regard death as synonymous with all kinds of strength in the body being lost. In other words, death is the ebbing away of the life force from the body. If the life force remains in the body forever, we regard that situation as immortality. This is incorrect. To be able to completely identify oneself with the aspect of God and completely forget the aspect of the body is true immortality. If at all times we are totally immersed only in the thought of the body and its comforts, and forget the aspect of Atma, that is death. It is only when we are able to clearly recognise the connection between birth and death that the sacred desire for securing immortality will sprout in us. There is birth and death for the body, but there is no birth or death for the Atma. To be able to understand this eternity of the Atma is the real meaning of attaining immortality.
Kita harus jelas memahami arti dari 'kematian' dan 'keabadian'. Kita menganggap kematian identik dengan hilangnya segala macam kekuatan dalam badan. Dengan kata lain, kematian adalah hilangnya gaya hidup dari badan. Jika gaya hidup tetap ada selamanya dalam badan, kita menganggap keadaan tersebut sebagai keabadian. Ini tidaklah benar. Untuk dapat benar-benar mengidentifikasi diri dengan aspek Tuhan dan benar-benar melupakan aspek badan adalah keabadian sejati. Jika setiap saat kita benar-benar tenggelam hanya dalam pikiran badan dan kenyamanan, serta melupakan aspek Atma, itu disebut dengan kematian. Hanya ketika kita dapat dengan jelas mengenali hubungan antara kelahiran dan kematian sebagai suatu keinginan suci maka keabadian akan tumbuh dalam diri kita. Ada kelahiran dan kematian bagi badan, tetapi tidak ada kelahiran atau kematian bagi Atma. Memahami keabadian Atma adalah arti sebenarnya mencapai keabadian. [Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Ch. 13]

-BABA

Monday, February 23, 2015

Thought for the Day - 23rd February 2015 (Monday)


If your minds revel in external objects and in purposeless observation and criticism of the outside world, how then can it be trained to be steadfast? Ask yourself this question: ‘Great souls (mahatmas) and sages were also people like me. If they could attain perfection, so can I if I follow their method. What profit do I get spending my time in discovering the faults and weakness of others?’ Thus the first spiritual practice (sadhana) is to search for the faults and weaknesses within yourself, and to strive to correct them and become perfect. The unceasing toil of each succeeding day has as its aim and justification this consummation: to make one’s last days sweet and pleasant. But each day also has its evening. If the day is spent in good deeds, then the evening blesses us with deep sleep, invigorating refreshing sleep, the sleep which is said to be akin to samadhi.
Jika pikiranmu bersenang-senang pada objek-objek eksternal dan dalam pengamatan tujuan dan kritik dari dunia luar, bagaimana bisa ia dilatih untuk menjadi mantap? Tanyakan pada dirimu sendiri pertanyaan ini: 'orang yang berjiwa besar (mahatmas) dan orang bijak juga orang-orang seperti saya. Jika mereka bisa mencapai kesempurnaan, jadi dapatkah saya menjadi seperti mereka jika saya mengikuti metode mereka. Apa keuntungan yang saya dapatkan menghabiskan waktu saya dalam menemukan kesalahan dan kelemahan orang lain?’ Dengan demikian praktik spiritual (sadhana) pertama adalah untuk mencari kesalahan dan kelemahan dalam dirimu sendiri, dan berusaha untuk memperbaikinya dan menjadi sempurna. Kerja keras tak henti-hentinya setiap hari sebagai tujuan dan pembenaran penyempurnaan ini: untuk membuat hari-hari terakhir seseorang manis dan menyenangkan. Tetapi setiap hari juga memiliki malamnya. Jika hari dihabiskan dalam perbuatan yang baik, maka malam memberkati kita dengan tidur nyenyak, menyegarkan, tidur yang dikatakan mirip dengan samadhi. [Prema Vahini, Ch. 1]

-BABA

Sunday, February 22, 2015

Thought for the Day - 22nd February 2015 (Sunday)

In the present Age of Kali, there is so much hatred between brothers. When there is no unity within the family, is it possible to bring about unity amidst all persons in this world? In many platform speeches, people address each other as brothers and sisters. We must ask ourselves whether such words are coming from the depths of our hearts or whether we are simply reading them from a piece of paper. If you truly mean the words ‘brothers and sisters’ from the depths of your heart, you most definitely will win the grace of the Lord and good consequences will follow. Never worry or fear that you may have to distribute your ancestral property, or share wealth with those whom you address as brothers and sisters. It is necessary and sufficient if you realise and accept that one common Divine is present in every one of you and is the basis for brotherhood amongst all of humanity.

Di zaman Kali sekarang ini, ada begitu banyak kebencian di antara saudara. Ketika tidak ada kesatuan dalam keluarga, apakah mungkin untuk membawa kesatuan di tengah-tengah semua orang di dunia ini? Dalam banyak panggung pidato, orang-orang saling menyapa sebagai saudara dan saudari. Kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kata-kata tersebut berasal dari kedalaman hati kita atau apakah kita hanya membacanya dari selembar kertas. Jika engkau benar-benar memahami kata 'saudara-saudara' dari lubuk hatimu, engkau pasti akan mendapatkan berkat Tuhan dan konsekuensi yang baik akan mengikuti. Jangan khawatir atau takut bahwa engkau mungkin harus mendistribusikan properti leluhurmu, atau berbagi kekayaan dengan orang-orang yang engkau sebut sebagai saudara dan saudari. Hal ini perlu dan cukup jika engkau menyadari dan menerima bahwa Tuhan yang sama ada dalam setiap orang dan merupakan dasar untuk persaudaraan di antara seluruh umat manusia. [Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Ch. 13]

-BABA

Saturday, February 21, 2015

Thought for the Day - 21st February 2015 (Saturday)

The lion, though crowned as the king of the forest, turns back every few steps while walking through the woods, because it is afraid of being pursued. Fear in the mind will make your vision falter. Violence within the heart distorts the vision and distracts the sight. Be vigilant! You must practice and develop impartial vision. All creation must appear equally auspicious in your eyes. You must look upon all with as much love and faith as they have in themselves, for absolutely nothing is evil in creation – no, not even an iota! Evil appears as such only through faulty vision. Creation is colored only by the nature of the glasses you wear. By itself, every creation is eternally pure and holy. Hence you must cultivate one-pointed steadfastness (ekagrata) in whatever you do. Impartial vision (sama-drishti) is auspicious vision (subha-drishti).
Singa, meskipun dinobatkan sebagai raja hutan, ternyata berbalik setiap beberapa langkah ketika berjalan melalui hutan, karena takut dikejar. Ketakutan dalam pikiran akan membuat visimu goyah. Kekerasan dalam hati mendistorsi visi dan mengalihkan perhatian pandangan tersebut. Waspada! Engkau harus berlatih dan mengembangkan visi yang tidak memihak. Semua ciptaan harus muncul sama menguntungkan di matamu. Engkau harus memandang semuanya dengan cinta-kasih dan keyakinan yang sama karena mereka ada di dalam diri mereka sendiri, karena sesungguhnya tidak ada yang jahat dalam penciptaan - tidak, bahkan tidak sedikitpun! Hal-hal yang buruk tersebut muncul melalui visi yang salah. Penciptaan diwarnai sesuai dengan kacamata yang engkau kenakan. Dengan sendirinya, setiap ciptaan adalah abadi, murni, dan suci. Oleh karena itu engkau harus mengembangkan ketabahan (ekagrata) dalam apapun yang engkau lakukan. Visi yang tidak membeda-bedakan (sama-drishti) adalah visi yang baik (bermanfaat) (subha-drishti). [Prema Vahini, Ch. 1]

-BABA

Friday, February 20, 2015

Thought for the Day - 20th February 2015 (Friday)

Happiness generally relates to bodily comforts and is transient. Such temporary pleasure comes to us for a few moments but very soon plunges us into deep sorrow. But the kind of bliss that one gets through the Soul (Atma) is permanent, pure and selfless. Hence spiritual education (Brahma Vidyā) advocates that love must be cultivated for love’s sake only. You must not express love to merely obtain material benefits. If love is showered to win temporary benefits, then it will last for a very short time only. Divine Atma symbolises eternal truth and is permanent. Therefore Prema attached to Atma will be true and permanent. This infinite love and eternal truth is present in every being (jīva). If we focus on developing love and truth for its own sake, then we will experience bliss supreme. That is why the Upanishads advocate Selfless Love as ‘Satyasya satyaṃ’ or the Truth of truths.
Kebahagiaan umumnya berkaitan dengan kenyamanan badan dan bersifat sementara. Kesenangan sementara tersebut datang kepada kita untuk beberapa saat, tetapi segera menjerumuskan kita ke dalam duka yang mendalam. Namun jenis kebahagiaan yang seseorang dapatkan melalui Jiwa (Atma) adalah kebahagiaan permanen, murni, dan tanpa pamrih. Oleh karena itu pendidikan spiritual (Brahma Vidya) menganjurkan cinta-kasih harus dikembangkan demi cinta-kasih saja. Engkau tidak harus mengungkapkan cinta-kasih hanya untuk sekedar memperoleh keuntungan material. Jika cinta-kasih dicurahkan untuk mendapatkan manfaat sementara, maka itu akan berlangsung untuk waktu yang sangat singkat saja. Divine Atma melambangkan kebenaran abadi dan permanen. Oleh karena itu Prema melekat pada Atma adalah benar dan permanen. Cinta-kasih yang tak terbatas dan kebenaran abadi ini ada dalam setiap mahluk (jiva). Jika kita fokus pada pengembangan cinta-kasih dan kebenaran untuk kepentingan diri sendiri, maka kita akan mengalami kebahagiaan tertinggi. Itulah sebabnya Upanishad menganjurkan cinta-kasih tanpa pamrih sebagai 'Satyasya Satyam' atau Kebenaran dari kebenaran [Divine Discourse, Summer Showers in Brindavan 1974, Ch. 1-18]

-BABA

Thursday, February 19, 2015

Thought for the Day - 19th February 2015 (Thursday)

Books and facilities for mind-training are available in plenty, and at very cheap prices. The heaps of books that lie around cannot succeed in penetrating the heavy binding and emerge as light in you. For, just as God is hidden by the mountain ranges of lust, anger, envy, and selfishness within, the sun of wisdom is also hidden in the books. Though books and reading habits have spread to all corners of the earth, we can’t say that culture or wisdom has increased; the human is still not far from the ape. An attractive binding, title and beautiful pictures are what the reader seeks; these are transitory pleasures which give momentary contentment. Aimless reading of all and sundry books will confuse you and confer no peace. Hence discriminate, select and read books that contain life histories of saints and sages, and those that aid in the contemplation of the Divine. Practice what you read. Then you will realise truth and enjoy everlasting bliss.
Buku dan fasilitas-fasilitas untuk melatih pikiran tersedia dalam jumlah yang banyak, dan dengan harga yang sangat murah. Tumpukan buku yang terletak di sekitar tidak dapat menembus buku yang terjilid dan muncul sebagai cahaya-mu. Sebab, sama seperti Tuhan yang disembunyikan oleh pegunungan nafsu, kemarahan, iri hati, dan keegoisan yang berada di dalam diri, matahari kebijaksanaan juga tersembunyi dalam buku-buku. Meskipun buku dan kebiasaan membaca telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, kita tidak bisa mengatakan bahwa budaya atau kearifan telah meningkat; manusia masih tidak jauh dari kera. Buku yang terjilid menarik, judul dan gambar yang indah adalah apa yang pembaca cari; ini adalah kesenangan sementara yang memberikan kepuasan sesaat. Membaca tanpa tujuan dari semua buku akan membingungkan engkau dan tidak memberikan kedamaian. Oleh karena itu engkau hendaknya menggunakan kemampuan diskriminasi-mu, memilih dan membaca buku-buku yang berisi sejarah kehidupan orang-orang suci dan orang bijak, dan orang-orang yang membantu dalam perenungan Tuhan. Praktikkan apa yang engkau baca. Maka engkau akan menyadari kebenaran dan menikmati kebahagiaan abadi. [Prema Vahini, Ch. 1]
-BABA

Wednesday, February 18, 2015

Thought for the Day - 18th February 2015 (Wednesday)

Today in the world, we see many people who say that they have no faith in God. The one who does not have faith in oneself alone will have no faith in God. Truly speaking, nobody can live even for a moment, without faith in God; it is just impossible! Why? Do not be under the impression that God exists somewhere, having a special form, vested with special powers and so on. That which is contained in your own heart as a clean thought and as supreme consciousness is verily God! This sacred part of one’s heart is present in every being in the Universe. There is no one who does not have such a sacred heart. Hence, God is within you and you do not have to look for Him elsewhere. As this sacred heart is present in everyone, you must firmly believe that God is in everyone at all times.
Saat ini di dunia, kita melihat banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak percaya pada Tuhan. Orang yang tidak memiliki keyakinan dalam dirinya sendiri  tidak akan percaya pada Tuhan. Sesungguhnya, tidak ada yang bisa hidup bahkan untuk sesaat, tanpa memiliki keyakinan kepada Tuhan; itu tidak mungkin! Mengapa? Janganlah beranggapan bahwa Tuhan itu ada di suatu tempat, memiliki wujud yang khusus, yang diberi kekuatan khusus dan sebagainya. Hal tersebut terkandung dalam hatimu sendiri sebagai pikiran yang bersih dan sebagai kesadaran tertinggi yang sesungguhnya yaitu Tuhan! Bagian suci dari hati seseorang ada dalam setiap makhluk di alam semesta. Tidak ada orang yang tidak memiliki hati yang suci. Oleh karena itu, Tuhan ada di dalam dirimu dan engkau tidak perlu mencari-Nya di tempat lain. Karena hati suci ini hadir dalam setiap orang, engkau harus yakin bahwa Tuhan ada di setiap orang setiap saat [Summer Showers in Brindavan, Ch 3, 22-May-1973]

-BABA

Tuesday, February 17, 2015

Thought for the Day - 17th February 2015 (Tuesday)

Rathri means night, signifying darkness. Shiva means auspiciousness. ‘Shivarathri’ signifies auspiciousness which is inherent in darkness. It refers to the wisdom which exists in the midst of ignorance. Wisdom and ignorance are not two different things; they are essentially the same, opposite polarities of the same underlying principle. The state that transcends both wisdom and ignorance is Divinity, Paratatva. This Shivarathri is a day when one tries to establish friendship between mind and God. Shivarathri reminds everyone of the fact that Divinity is all-pervasive and is to be found everywhere. It is said that Shiva lives in Kailasa. But where is Kailasa? Kailasa is our own mind full of joy and bliss. It means that when you develop purity, steadiness and sacredness from within, your heart becomes filled with peace and bliss, and ultimately your heart itself is Kailasa.
Rathri berarti malam, menandakan kegelapan. Shiva berarti keberuntungan. 'Shivarathri' menandakan keberuntungan yang inherent dalam kegelapan. Ini mengacu pada kebijaksanaan yang ada di tengah-tengah kebodohan. Kebijaksanaan dan kebodohan bukanlah dua hal yang berbeda; mereka pada dasarnya sama, polaritas berlawanan dengan prinsip dasar yang sama. Keadaan yang melampaui baik kebijaksanaan dan kebodohan adalah Divinity, Paratatva. Shivarathri ini adalah hari ketika seseorang mencoba untuk membangun persahabatan antara pikiran dan Tuhan. Shivarathri mengingatkan semua orang dari fakta bahwa Divinity meresapi semuanya dan dapat ditemukan di mana-mana. Dikatakan bahwa Shiva tinggal di Kailasa. Tetapi di mana Kailasa? Kailasa adalah pikiran kita sendiri yang penuh dengan sukacita dan kebahagiaan. Ini berarti bahwa ketika engkau mengembangkan kemurnian, kemantapan, dan kesucian dari dalam, hatimu menjadi penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, dan akhirnya hatimu sendiri adalah Kailasa. [Divine Discourse 17 Feb 1985]

-BABA

Monday, February 16, 2015

Thought for the Day - 16th February 2015 (Monday)

When we keep valuable things in a box, we lock the box and keep the key safely with us. If we lose the key or forget where we stored it, we cannot retrieve the valuables when we need them most. So too, in this human body, we need a key to get the treasure of knowledge and bliss. Shankaracharya refers to this as the key of devotion (bhakti). When you use the key of devotion and turn it on the side of detachment, you will easily open the door of knowledge and bliss. But, if the key of devotion is turned in the wrong direction, away from detachment and towards attachment, you will not be able to open the treasure-chest. Therefore, either for detachment or for attachment, this key of devotion which is between the two is important, and you should protect it. It will be possible for you to have this devotion when you have faith in God.
Ketika kita menyimpan hal-hal yang berharga dalam sebuah kotak, kita mengunci kotak tersebut dan menjaga kuncinya aman bersama kita. Jika kita kehilangan kunci atau lupa di mana kita menyimpannya, kita tidak bisa mengambil barang-barang berharga ketika kita sangat membutuhkannya. Demikian juga, di dalam badan manusia ini, kita perlu kunci untuk mendapatkan harta karun pengetahuan dan kebahagiaan. Shankaracharya menyampaikan bahwa sebagai kuncinya adalah pengabdian (bhakti). Bila engkau menggunakan kunci pengabdian dan mengarahkannya pada sisi tanpa kemelekatan, engkau akan dengan mudah membuka pintu pengetahuan dan kebahagiaan. Namun, jika kunci pengabdian diaktifkan ke arah yang salah, jauh dari tanpa kemelekatan dan menuju kemelekatan, engkau tidak akan dapat membuka harta berharga yang tersimpan di lemari. Oleh karena itu, baik untuk tanpa kemelekatan atau kemelekatan, kunci pengabdian ini adalah penting, dan engkau harus melindunginya. Sangat  mungkin bagi engkau untuk memiliki pengabdian ini ketika engkau memiliki keyakinan pada Tuhan. [Summer Showers in Brindavan, Ch. 3, 22-May-1973]

-BABA

Sunday, February 15, 2015

Thought for the Day - 15th February 2015 (Sunday)

No person or wickedness in this planet is incorrigible. Wasn’t Angulimala, the robber, turned into a kindhearted person by Lord Buddha? Wasn’t the thief Ratnakara transformed to Sage Valmiki? By conscious effort, habits can be changed and character refined. People always have within them, within their reach, the capacity to challenge their evil propensities and to change their evil habits. By selfless service, renunciation, devotion, prayer, and regulation of conduct, the old habits that bind people to earth can be discarded and new habits that take them along the divine path can be instilled into their lives. The purpose of all spiritual literature, poems, epics and books is to discuss the nature of mind, its ways and vagaries, and to inform about the process of reshaping it. Please realize that the mere reading of a book will not vouchsafe discrimination. That which is seen, heard, or read must be put into practice in actual life.

Tidak ada orang atau kejahatan di planet ini yang tidak bisa diperbaiki. Bukankah Angulimala, seorang perampok, berubah menjadi orang yang baik hati oleh Sang Buddha? Bukankah si pencuri Ratnakara berubah menjadi Rsi Walmiki? Dengan upaya sadar, kebiasaan dapat diubah dan karakter diperhalus. Orang-orang selalu memiliki dalam diri mereka, dalam jangkauan mereka, kapasitas untuk menantang kecenderungan jahat mereka dan untuk mengubah kebiasaan buruk mereka. Dengan pelayanan tanpa pamrih, meninggalkan keduniawian, pengabdian, doa, dan regulasi perilaku, kebiasaan lama yang mengikat orang-orang di bumi dapat dibuang dan kebiasaan baru yang membawa mereka di sepanjang jalan ilahi dapat ditanamkan ke dalam kehidupan mereka. Tujuan dari semua literatur spiritual, puisi, epik, dan buku adalah untuk membahas sifat pikiran, cara, dan liku-likunya, dan untuk menginformasikan tentang proses membentuk kembali itu. Engkau hendaknya menyadari bahwa hanya membaca buku tidak akan bisa melakukan diskriminasi. Apa yang dilihat, didengar, atau dibaca harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata. [Prema Vahini, Ch. 1]

-BABA

Saturday, February 14, 2015

Thought for the Day - 14th February 2015 (Saturday)

To be able to experience the aspects of knowledge and bliss, we should protect our body, mind and life. Consider this example: We store valuable jewels and gems in our homes, in a relatively cheap iron safe to protect them. The steel almirah or an iron safe has no value compared to the jewels, but they are good enough to protect them. So too, our body is like the valueless iron safe. In this valueless, perishable body, God has kept for protection, very valuable things like knowledge and bliss. We all understand that valuable jewels cannot be protected by a valuable gold box, as the box itself can be stolen with the jewels in no time. Hence it is natural to protect valuable things in a valueless box which will not attract attention. Therefore, to reach the realm of knowledge, bliss and happiness it is necessary to look after the well-being of the outer casing namely, body, mind and life.
Untuk dapat mengalami aspek pengetahuan dan kebahagiaan, kita harus melindungi badan, pikiran, dan kehidupan kita. Pertimbangkan contoh ini: Kita menyimpan perhiasan dan permata berharga di rumah kita, pada lemari besi yang relatif murah untuk melindunginya. Lemari baja atau besi yang aman tidak memiliki nilai dibandingkan dengan perhiasan, tetapi lemari tersebut cukup baik untuk melindungi perhiasan tersebut. Demikian juga, badan kita dapat diibaratkan seperti lemari penyimpanan besi yang tidak berharga. Pada badan jasmani ini, yang bersifat sementara, yang tidak berharga, Tuhan disimpan untuk perlindungan, sangat berharga seperti pengetahuan dan kebahagiaan. Kita semua memahami bahwa perhiasan berharga tidak dapat dilindungi oleh kotak emas yang berharga, karena kotaknya sendiri dapat dicuri beserta perhiasannya dalam waktu singkat. Oleh karena itu adalah wajar untuk melindungi barang berharga dalam kotak yang tidak berharga yang tidak akan menarik perhatian. Oleh karena itu, untuk mencapai ranah pengetahuan dan kebahagiaan itu, perlu untuk menjaga kesejahteraan luar yaitu badan, pikiran, dan jiwa. [Summer Showers in Brindavan, Ch 3, 22-May-1973]

-BABA

Friday, February 13, 2015

Thought for the Day - 13th February 2015 (Friday)

Buddha, Jesus Christ, Shankaracharya, Vivekananda, and many great saints and devotees of the Lord are treasured in the memory of people even to this day. What quality made them memorable for all times to come? It is their character. The qualities that make up a flawless character are: love, patience, forbearance, steadfastness, and charity. These must be revered. Character is the fragrance of the flower of life; it gives value and worth to life. The hundred little deeds that we indulge in every day harden into habits; these habits shape the intelligence and mould our outlook and life. All that we weave in our imagination, seek in our ideals, and yearn in our aspirations leave an indelible imprint on the mind. Poets, painters, artists, and scientists may be great, each in their own field, but without character, they can have no standing in society.
Buddha, Yesus Kristus, Shankaracharya, Vivekananda, dan banyak orang suci dan bhakta besar Tuhan tetap diingat dalam ingatan orang-orang bahkan sampai hari ini. Kualitas apa yang membuat mereka masih diingat sampai waktu yang akan datang? Itu adalah karakter mereka. Kualitas yang membentuk karakter yang sempurna adalah: cinta-kasih, kesabaran, ketabahan, dan berderma/amal. Ini harus di junjung tinggi. Karakter dapat diibaratkan dengan aroma bunga kehidupan; memberikan nilai dan kehidupan yang berharga. Seratus perbuatan kecil yang kita lakukan setiap hari akan mengeras menjadi kebiasaan; kebiasaan ini membentuk kecerdasan dan membentuk pandangan dan kehidupan kita. Semua yang kita buat dalam imajinasi kita, mencari ideal kita, dan mendambakan aspirasi kita meninggalkan jejak tak terhapuskan pada pikiran. Penyair, pelukis, seniman, dan ilmuwan mungkin menjadi besar, masing-masing di bidang mereka sendiri, tetapi tanpa karakter, mereka tidak akan bisa menempatkan diri di masyarakat. [Prema Vahini, Ch. 1]

-BABA

Thursday, February 12, 2015

Thought for the Day - 12th February 2015 (Thursday)


As all objects and individuals, rites and activities are transitory, they suffer from decay and destruction. They can at best help the cleansing of the mind. Activity (karma) cannot liberate one from the basic ignorance or award the awareness of the reality as Brahman. Be conscious of this limitation in order to win the right of inquiry into the mystery of the Brahman, the source and core of the cosmos. The one who devotes life to earn the knowledge of the Atma must possess holy virtues and good character. Character is power. No knowledge is higher than a virtuous character. For the person who has dedicated one’s years to the acquisition of higher learning, ever good character is an indispensable qualification. Every religion emphasises the same need; virtuous character is the very foundation of spiritual life. Those who lead lives on these lines can never come to harm. They will be endowed with sacred merit.
Karena semua benda dan individu, ritual dan kegiatan bersifat sementara, mereka menderita kerusakan dan kehancuran. Mereka yang terbaik dapat membantu membersihan pikiran. Aktivitas (karma) tidak dapat membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dasar atau menghargai kesadaran realitas sebagai Brahman. Engkau hendaknya menyadari keterbatasan untuk memenangkan penyelidikan kebenaran dalam misteri Brahman, sumber dan inti dari kosmos. Orang yang mengabdikan hidupnya untuk mendapatkan pengetahuan tentang Atma harus memiliki kebajikan suci dan karakter yang baik. Karakter adalah kekuatan. Tidak ada pengetahuan yang lebih tinggi daripada karakter yang baik. Bagi orang yang telah mendedikasikan dirinya setahun untuk mencapai pendidikan yang tinggi, karakter yang baik adalah kualifikasi yang sangat diperlukan. Setiap agama menekankan kebutuhan yang sama; karakter yang baik merupakan dasar kehidupan spiritual. Mereka yang menjalani kehidupan pada garis ini tidak akan pernah bisa menyakiti. Mereka akan diberkati dengan manfaat yang suci. [Sutra Vahini, Ch. 1]

-BABA

Wednesday, February 11, 2015

Thought for the Day - 11th February 2015 (Wednesday)


Within humans there is some residual animal nature and this nature must be refined and transformed. One who is able to transform this animal nature in man is Govinda. For an animal, human nature is inaccessible as a goal, but for human, Divinity is accessible as a goal. When green grass is shown to a herbivorous animal, it is attracted, comes close and expresses its pleasure by moving its tail. The same animal runs away if you take a stick to hurt it. Human beings today are attracted and come closer when they see wealth, but if someone is angry and shouts at them, they stay away from them. Is this not displaying animal nature? As human beings, never be afraid of anyone nor should you cause fear to others. Bhaja Govindam exhorts you to control your animal nature within and attain Divine proximity. Chant the loving Name of God daily and grow in faith and confidence in Him.
Dalam diri manusia ada beberapa sifat hewani dan sifat ini harus dihilangkan dan diubah. Seseorang yang mampu mengubah sifat hewani ini dalam diri manusia adalah Govinda. Pada binatang, sifat manusia tidak bisa dicapai sebagai tujuan, tetapi bagi manusia, Divinity dicapai sebagai tujuan. Ketika rumput hijau diperlihakan pada hewan herbivora, rumput itu terlihat menarik, ia datang mendekat dan mengungkapkan kesenangannya dengan menggerakkan ekornya. Hewan yang sama lari jika engkau mengambil tongkat untuk memukulnya. Manusia saat ini tertarik dan mendekat ketika mereka melihat kekayaan, tetapi jika seseorang marah dan berteriak pada mereka, mereka menjauh dari mereka. Apakah yang diperlihatkan ini bukan merupakan sifat hewan? Sebagai manusia, janganlah takut pada siapa pun dan juga janganlah menyebabkan rasa takut kepada orang lain. Bhaja Govindam mendesakmu untuk mengendalikan sifat hewani yang ada dalam dirimu dan mencapai kedekatan dengan Ilahi. Chantingkanlah nama Tuhan yang engkau sukai setiap hari dan tumbuhlah dalam iman dan keyakinan kepada-Nya. [Summer Showers in Brindavan, Ch 3, 22-May-1973.]

-BABA

Tuesday, February 10, 2015

Thought for the Day - 10th February 2015 (Tuesday)


In the course of one’s day to day activities a number of small creatures and insects may be destroyed. In these and other ways, sins may be committed, knowingly or unknowingly. For removing such sins, the scriptures have prescribed five types of Yajnas or worships - Brahma Yajna, Deva Yajna, Pitru Yajna, Manushya Yajna and Bhuta Yajna. Brahma Yajna is the study of sacred books and scriptures. Deva Yajna involves offering worship, bhajans, etc. Pitru Yajna refers to ceremonies to departed ancestors. The fourth one, Manushya Yajna, refers to extending hospitality to guests, invited and uninvited. Bhuta Yajna refers to offering food to animals, birds and insects, and looking after wild animals. By engaging in such service and thereby fulfilling the requirements of these Yajnas, we can atone for sins of various kinds that might have been committed.
Dalam perjalanan aktivitas harian kita, sejumlah makhluk kecil dan serangga bisa mati. Dalam hal ini, dosa dilakukan, sadar atau tidak sadar. Untuk menghapus dosa-dosa tersebut, kitab suci telah menentukan lima jenis yajna atau pemujaan - Brahma Yajna, Deva Yajna, Pitru Yajna, Manushya Yajna dan Bhuta Yajna. Brahma Yajna adalah mempelajari buku suci dan kitab suci. Deva Yajna melibatkan pemujaan, bhajan, dll. Pitru Yajna mengacu pada upacara untuk leluhur yang sudah meninggal. Yang keempat, Manushya Yajna, mengacu pada kesediaan untuk menerima tamu, baik yang di undang dan yang tak diundang. Bhuta Yajna mengacu pada memberikan makanan pada hewan, burung dan serangga, dan menjaga binatang liar. Dengan terlibat dalam pelayanan tersebut dan dengan demikian memenuhi persyaratan Yajna ini, kita bisa menebus dosa dari berbagai jenis dosa yang mungkin telah dilakukan. (Divine Discourse 7 Jul 1985)

-BABA

Monday, February 9, 2015

Thought for the Day - 9th February 2015 (Monday)

Mind control, restraining the senses, transcending the worldly dualities, forbearance, unwavering faith, and equanimity are the primary virtues that must exist in a true spiritual aspirant. In addition, there must be an intense longing for liberation (moksha). This longing cannot arise from riches or scholarships. Nor can it emerge from wealth, progeny, rites and rituals recommended in the scriptures, or acts of charity. Moksha can come only from the conquest of ignorance (ajnana). A person might master all the scriptures along with all the learned commentaries written on them by experts, or propitiate all the gods by performing the prescribed modes of worship and ceremonies. But this cannot grant the boon of liberation. Just like a person who may have every ingredient needed for cooking, but if fire is not available, can he prepare the meal? Success in acquiring self-knowledge alone can confer salvation.
Mengendalikan pikiran, mengendalikan indra, melampaui dualitas duniawi, sabar, keyakinan yang mantap, dan keseimbangan batin adalah kebajikan utama yang harus ada pada seorang aspiran spiritual sejati. Selain itu, harus ada kerinduan yang intens untuk pembebasan (moksha). Kerinduan ini tidak bisa muncul dari kekayaan atau pendidikan. Juga tidak bisa muncul dari kekayaan, keturunan, upacara, dan ritual yang direkomendasikan dalam kitab-kitab suci, atau dari berderma. Moksha hanya dapat dicapai dengan menaklukan kebodohan (ajnana). Seseorang mungkin menguasai semua kitab-kitab suci beserta penjelasannya yang ditulis oleh mereka para ahli, atau mengambil hati semua dewa dengan melakukan cara-cara yang ditentukan dalam pemujaan dan upacara. Tetapi ini tidak bisa memberikan anugerah pembebasan. Sama seperti seseorang yang mungkin memiliki setiap bahan yang dibutuhkan untuk memasak, tetapi jika api untuk memasak tidak tersedia, dapatkah dia menyiapkan makanan? Hanya pengetahuan Atma yang dapat memberikan keselamatan. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Sunday, February 8, 2015

Thought for the Day - 8th February 2015 (Sunday)

You have worked very hard in your life discharging worldly duties and come to Prasanthi Nilayam, seeking rest for the body and peace for the mind. That being so, it might look strange if you were asked to undertake some kind of work here also. In the olden days the Guru would collect his disciples in the forest and give them different types of work, sometimes for 10 to 12 years. This was done with a purpose. One important object of work is purification of the Chittha (heart). Once the heart is purified one is ready to receive the teachings of the Guru. Therefore in earlier times the disciples were given work in the beginning so that they slowly get purified. Only when the teacher was satisfied regarding the student's ripeness for receiving spiritual instruction, would he start teaching Brahma Vidya (the supreme knowledge).

Engkau telah bekerja sangat keras dalam hidupmu menjalankan tugas duniawi dan datang ke Prasanthi Nilayam, mengistirahatkan badan jasmani dan mencari ketenangan pikiran. Dengan demikian, mungkin terlihat aneh jika engkau diminta untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan di sini. Di masa lalu Guru akan mengumpulkan murid-muridnya di hutan dan memberi mereka berbagai jenis pekerjaan, kadang-kadang selama 10 sampai 12 tahun. Hal ini dilakukan dengan suatu tujuan. Salah satu obyek penting dari pekerjaan adalah pemurnian Chittha (hati). Setelah hati dimurnikan seseorang siap menerima ajaran Guru. Oleh karena itu pada zaman dahulu para murid diberi pekerjaan di awal sehingga mereka perlahan-lahan bisa dimurnikan. Hanya ketika guru merasa puas tentang kematangan siswa untuk menerima instruksi spiritual, maka ia akan mulai mengajar Brahma Vidya (pengetahuan tertinggi). (Divine Discourse, 7Jul 1985)

-BABA

Saturday, February 7, 2015

Thought for the Day - 7th February 2015 (Saturday)


Scriptures are designed to ensure the peace and prosperity of the world as well as the spiritual perfection of humanity. They lead you to Self-realization. So you must have faith or shraddha in the holy scriptures and Gurus. Noble Gurus must and will instruct people on the knowledge of the one Divine Soul immanent in every living being (sarva jivaatmaikya jnana). Your intellect must rest upon and draw inspiration from the Divine Soul, at all times and under all circumstances. You must be attached only to the Divine and all your actions must have the only goal of pleasing God. You must act with the implicit faith that all living beings are facets and fractions of God, and look upon all beings as equal. For this experience, the quality of equanimity (sama-dhana) is a treasure.
Kitab Suci dirancang untuk menjamin kedamaian dan kemakmuran dunia serta pengembangan spiritual kemanusiaan. Mereka membawamu pada realisasi Atma. Jadi, engkau harus memiliki keyakinan atau shraddha pada kitab-kitab suci dan para Guru. Para Guru mulia harus dan akan memberikan instruksi  pada orang-orang, pengetahuan tentang Tuhan yang imanen dalam setiap makhluk hidup (sarva jivaatmaikya jnana). Intelek-mu harus bersandar dan menarik inspirasi dari Tuhan, setiap saat dan dalam semua keadaan. Engkau harus terikat hanya kepada Tuhan dan semua tindakanmu harus memiliki satu tujuan yaitu untuk menyenangkan Tuhan. Engkau harus bertindak dengan keyakinan implisit bahwa semua makhluk hidup adalah aspek dan fraksi Tuhan, dan memandang semua makhluk sebagai sama. Untuk pengalaman ini, kualitas ketenangan (sama-dhana) adalah harta. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Friday, February 6, 2015

Thought for the Day - 6th February 2015 (Friday)



Even Rama, who had established Rama Rajya (the ideal kingdom) on one historic occasion, had to leave this world and pass away. Everything has to pass away some day. Nothing is going to remain permanently in this world. Even the Rama Rajya had to disappear and change. Everything changes with time and nothing remains unchanged. Many people have ruled over this land, but could any one of them take away even a small portion of the land? The only thing which you can carry and which you should take is the permanent grace of the Lord. A good name is all that you should aspire for during your life. We should do good and earn a good name, and thus lead a good life by doing good to others. This is the ideal which we have to hand over to the rest of the world.


Bahkan Sri Rama, yang telah menegakkan Rama Rajya (kerajaan yang ideal) pada satu peristiwa bersejarah, harus meninggalkan dunia ini dan meninggal. Semuanya harus meninggal suatu hari nanti. Tidak ada yang akan tetap secara permanen di dunia ini. Bahkan Rama Rajya harus menghilang dan berubah. Semuanya berubah dengan waktu dan tidak ada yang tetap tidak berubah. Banyak orang yang telah memerintah tanah ini, tetapi bisakah salah satu dari mereka mengambil bahkan sebagian kecil dari tanah ini? Satu-satunya hal yang bisa engkau bawa dan yang harus engkau ambil yang bersifat tetap adalah berkat Tuhan. Nama baik adalah yang harus engkau pertahankan selama hidupmu. Kita harus berbuat baik dan mendapatkan nama baik, dan dengan demikian menjalani kehidupan yang baik dengan melakukan yang baik kepada orang lain. Inilah ideal yang  harus kita berikan ke seluruh dunia.(Summer Showers 1977, Ch 8.)

-BABA

Thursday, February 5, 2015

Thought for the Day - 5th February 2015 (Thursday)

The attitude of forbearance (Titiksha) refuses to be affected or pained when afflicted with sorrow, loss, or ingratitude and wickedness of others. In fact, you must remain calm, and bear all blows patiently and gladly, without any form of retaliation, for these are results of your own past actions. The natural reactions of people, when someone injures them are to hurt them in return, that is, return harm and insult to those who harm them and insult them. These are characteristics of the worldly path (pravritti). Those who seek the inner path of sublimation and purification (nivritti) must desist from such reactions. For, if you choose to return injury for evil, you are only adding to your own karmic burden! Paying evil with evil may confer immediate relief and contentment, but will never lighten the weight of karma. Forbearance, therefore, requires people to do good even to those who injure them.

Sikap sabar (Titiksha) menolak untuk terpengaruh atau sedih ketika menderita kesedihan, kehilangan, atau tidak berterima kasih dan keburukan lainnya. Bahkan, engkau harus tetap tenang, dan menanggung semua pukulan dengan sabar dan dengan senang hati, tanpa bentuk balas dendam, karena ini adalah hasil dari tindakan masa lalumu sendiri. Reaksi alami orang-orang, ketika seseorang melukai mereka, menyakiti mereka, sebagai balasannya, mereka akan kembali menyakiti mereka dan menghina mereka. Ini adalah karakteristik jalan duniawi (pravritti). Mereka yang mencari jalan yang mulia dan pemurnian (nivritti) harus berhenti dari reaksi tersebut. Sebab, jika engkau memilih untuk kembali melakukan keburukan, engkau hanya menambah beban karma-mu sendiri! Membayar kejahatan dengan kejahatan mungkin memberikan kelegaan dan kepuasan langsung, tetapi tidak pernah akan meringankan berat karma. Bersabarlah, karena, kita membutuhkan orang untuk berbuat baik bahkan bagi siapa yang melukai mereka. (Sutra Vahini, Ch 1)

-BABA

Wednesday, February 4, 2015

Thought for the Day - 4th February 2015 (Wednesday)


A bubble is born out of water, made up of water, and it ultimately mixes with water and disappears. Man is like a bubble and Narayana (God) is like the water source. Man is born out of Narayana, is made up of Him and ultimately merges with Him. This is the simple and elemental truth. The jiva (individual) has three aspects: one is the spiritual, the other is the material, and the third is something connected with daily life. These three aspects resemble the deep sleep state, the waking state and the dreaming state. Just as the waves are created out of water and are contained in water, so also the worldly life is contained in the spiritual life. Sweetness and coolness are qualities of water. These qualities are also noticed in the waves and in the foam. Similarly Sat, Chit and Ananda (Being, Awareness and Bliss) are three attributes which may be noticed in an individual. Through the individual, they show up in the worldly life and thus demonstrate the spiritual aspect present in every individual.

Gelembung muncul dari air, terbuat dari air, dan akhirnya bercampur dengan air dan menghilang. Manusia dapat diibaratkan seperti gelembung dan Narayana (Tuhan) adalah sumber air. Manusia dilahirkan dari Narayana, terbuat dari-Nya, dan akhirnya menyatu dengan-Nya. Inilah kebenaran yang sederhana dan mendasar. Para jiva (individu) memiliki tiga aspek: yang pertama adalah spiritual, yang kedua adalah materi, dan yang ketiga adalah sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga aspek menyerupai kondisi tidur, keadaan sadar, dan keadaan bermimpi. Sama seperti gelombang yang tercipta dari air dan yang terkandung dalam air, demikian juga kehidupan duniawi yang terkandung dalam kehidupan spiritual. Manis dan kesejukan adalah kualitas air. Kualitas ini juga terlihat dalam gelombang dan busa. Demikian pula Sat, Chit, dan Ananda tiga atribut yang dapat dilihat dalam individu. Melalui individu, mereka muncul dalam kehidupan duniawi dan dengan demikian menunjukkan aspek spiritual ada dalam setiap individu. (Summer Showers 1977, Ch 8)

-BABA

Tuesday, February 3, 2015

Thought for the Day - 3rd February 2015 (Tuesday)

Birds, beasts and trees do service to man, without anticipating any recompense, but human beings seek help from their kind, from their parents, preceptors and even God, offering in return only insult and injury. They parade their loyalty to Truth, Right Conduct, Peace and Nonviolence - virtues arising from self-less love; but it is only for exhibition and not for experience. They long to recede respect and affection from others but are reluctant to treat others in the same manner. Their full concern is centered on the body-mind complex, ignoring the fact even a hundred-year long life has to end in the cemetery. In order to free oneself from the ego, people must learn to recognize the one Divinity that temporarily wears different forms and names to distract by apparent multiplicity. Removal of this mistaken view and attainment of the awareness of the unity in Divinity - this is the true purpose of education.

Burung, binatang, dan pohon melakukan pelayanan kepada manusia, tanpa mengantisipasi balasan apapun, tetapi manusia mencari bantuan dari sesamanya, dari orang tua mereka, pembimbing, dan bahkan Tuhan, kemudian memberikan balasannya berupa penghinaan dan cercaan. Mereka menunjukkan kesetiaan mereka pada kebenaran, kebajikan, kedamaian, dan tanpa-kekerasan - kebajikan yang timbul dari diri sendiri karena cinta-kasih; tetapi hanya untuk pameran dan bukan untuk pengalaman. Mereka merindukan rasa hormat dan kasih sayang dari orang lain, tetapi enggan untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang sama. Perhatian penuh mereka berpusat pada badan jasmani, mengabaikan fakta bahkan umur panjang bahkan sampai seratus tahun harus berakhir di kuburan. Untuk membebaskan diri dari ego, orang harus belajar untuk mengenali Divinity yang sementara memakai bentuk dan nama yang berbeda untuk mengalihkan perhatian pada keragaman. Hapuskanlah pandangan yang keliru ini maka engkau akan mencapai kesadaran kesatuan Divinity - inilah tujuan sebenarnya dari pendidikan. (Divine Discourse, 5-Dec-1985)

-BABA

Thought for the Day - 2nd February 2015 (Monday)

When some friends, well-wishers or relatives place a gift-article in our hands which does not please us, we accept it gladly only because our acceptance pleases them. When the gift pleases us, our reaction is hearty. We treasure it and are filled with it. Know that God too reacts in the same way to what man offers Him. When the offering is tainted, He may accept it in order to satisfy the longing of the devotee (sadhak). But when the offering pleases Him by its purity and sincerity, He welcomes it and His joy translates itself as abundant Grace. So, one has to discover and decide on the offering that gives Him delight and receive the blessing of Grace. Discriminate, prepare and plant healthy and potent seeds in the inner field of your hearts, so that you reap a plentiful harvest of Grace.

Ketika beberapa teman, simpatisan atau kerabat memberikan benda-benda hadiah di tangan kita yang tidak menyenangkan kita, kita menerimanya dengan senang hati hanya karena untuk menyenangkan mereka. Ketika hadiahnya menyenangkan kita, reaksi kita hangat. Kita menghargainya dan dipenuhi dengan hal itu. Ketahuilah bahwa Tuhan juga bereaksi dengan cara yang sama dengan apa yang kita persembahkan kepada-Nya. Ketika persembahan yang diberikan ternoda, Beliau dapat menerima itu untuk memenuhi kerinduan para pemuja (sadhak). Tetapi ketika persembahan menyenangkan hati-Nya dengan kemurnian dan ketulusan, Beliau menyambut-Nya dan kita menerjemahkannya sebagai Berkat yang berlimpah. Jadi, kita harus menemukan dan memutuskan persembahan yang dapat memberikan Beliau kesenangan sehingga bisa menerima Berkat-Nya. Diskriminasi, mempersiapkan, dan menanam bibit yang sehat dan kuat di ladang hatimu, sehingga engkau menuai panen Berkat yang berlimpah. (Divine Discourse, 5-Dec-1985)

-BABA

Sunday, February 1, 2015

Thought for the Day - 1st February 2015 (Sunday)

The gross body (Sthula deha) should be ever immersed in holy company (Satsanga), and the subtle body (Sukshma deha), that is your thoughts and feelings, should be ever immersed in the contemplation of the glory of the Lord. That is the sign of a true devotee. The one who shouts and swears, and advertises one’s worries to everyone they meet and craves for sympathy, is a devotee only in name! It is a great responsibility to tread the Godward path. On such a pilgrimage there is no sliding back, no halfway stop, no tardy pace or no side lane. Never deny with your tongue what you have relished in the heart; never bear false witness to your own experience. Become a true devotee with unshaken faith, and with an attitude of complete self-surrender. This attitude can come from constant, sincere and continuous remembrance of the Lord’s name, as continuous as the act of breathing!

Badan kasar (sthula deha) seharusnya ditenggelamkan dalam pergaulan suci (Satsanga), dan badan halus (Sukshma deha), yaitu pikiran dan perasaanmu, harus ditenggelamkan dalam perenungan kemuliaan Tuhan. Itulah tanda bhakta sejati. Orang yang berteriak dan bersumpah, dan memperlihatkan kekhawatirannya untuk semua orang yang mereka temui dan sangat membutuhkan simpati, adalah bhakta hanya dalam nama saja! Inilah tanggung jawab yang besar untuk menapaki jalan Tuhan. Pada peziarahan tersebut tidak ada jalan kembali, tidak ada berhenti di tengah jalan, tidak ada langkah yang lambat atau tidak ada jalur lain. Jangan pernah menyangkal dengan lidahmu apa yang telah engkau nikmati dalam hati; jangan pernah bersaksi palsu untuk pengalamanmu sendiri. Engkau hendaknya menjadi bhakta sejati dengan keyakinan tak tergoyahkan, dan dengan sikap pasrah total. Sikap ini bisa berasal dari mengingat Tuhan secara konstan, tulus, dan terus menerus, seperti bernapas! (Divine Discourse, 28-Dec-1960)

-BABA

Thought for the Day - 31st January 2015 (Saturday)

If you stand at the same level as the ocean and look at it, it will appear as a vast sheet of water. On the other hand, if you look at the same ocean from a height, it will appear like a lake. Similarly, since the rishis (sages) were on a higher level in spiritual knowledge and away from the world, they could recognise this vast world as a very small and insignificant entity. When at a lower level, one thinks that the world is big, important and manifold. The diversity and the differences will be seen more clearly. But when one evolves to a higher state, everything will look smooth, small and even. When we have a narrow vision, our country, our people, our languages will all appear as full of problems and differences. If you can go to a high place and look at the world, it will appear in one unified aspect and all the people and all languages will appear as one.

Jika engkau berdiri di level yang sama pada laut dan melihat itu, maka akan nampak lembaran luas air. Di sisi lain, jika engkau melihat laut yang sama dari ketinggian, maka akan nampak seperti danau. Demikian pula, karena resi (orang bijak) berada di tingkat yang lebih tinggi dalam pengetahuan spiritual dan jauh dari dunia, mereka bisa mengenali dunia yang luas ini sebagai entitas yang sangat kecil dan tidak signifikan. Pada tingkat yang lebih rendah, orang berpikir bahwa dunia itu besar, penting, dan beragam. Keragaman dan perbedaan akan terlihat lebih jelas. Tetapi ketika seseorang berkembang ke keadaan yang lebih tinggi, semuanya akan terlihat halus, kecil, dan sama. Ketika kita memiliki visi yang sempit, negara kita, masyarakat kita, bahasa kita, semuanya akan muncul sebagai penuh masalah dan perbedaan. Jika engkau bisa pergi ke tempat yang tinggi dan melihat dunia, ia akan nampak sebagai satu aspek terpadu dan semua orang dan semua bahasa akan nampak satu. (Summer Showers 1974, Ch 22)

-BABA