Tuesday, July 30, 2019

Thought for the Day - 30th July 2019 (Tuesday)

Every one of you is a pilgrim on that road proceeding at your own pace, according to your qualification and the stage reached through your efforts. The advice that appeals or applies to one of you might not be appropriate to another, who traveled less distance or reached a more advanced state than your own state! When I tell one person to follow one line of spiritual discipline (sadhana), it is specifically for that person’s benefit! Each one of you has different mental, physical and spiritual make-up. When an individual is obese, the doctor advises certain types of food; when he is thin, he advises another group of foods, isn’t it? When doctors who treat diseases of the body have to prescribe different remedies, how much more specific and personal must be the remedies for the complex and varied conditions of mental situations and spiritual yearnings and aspirations of individuals across the bridge of time? 


Setiap orang darimu melakukan perjalanan di jalan itu sesuai dengan kecepatanmu masing-masing, sesuai dengan kualifikasi dan tahapan yang engkau capai dengan usahamu. Nasihat yang digunakan untuk seseorang mungkin tidak sesuai dengan yang lainnya, yang berjalan lebih pendek atau mencapai tahapan yang lebih jauh dari keadaanmu sendiri! Ketika Aku mengatakan seseorang untuk mengikuti satu jalur latihan spiritual (sadhana), hal ini adalah khusus untuk keuntungan orang itu saja! Setiap orang dari dirimu memiliki karakteristik mental, fisik, dan spiritual yang berbeda. Ketika seseorang memiliki obesitas, dokter menasihatkannya untuk konsumsi jenis makanan tertentu; ketika dia kurus, dokter menasihatkan jenis makanan yang berbeda, bukan? Ketika dokter yang mengobati penyakit tubuh harus menuliskan resep obat yang berbeda, maka begitu besar lagi spesifik dan bersifat pribadi pengobatan yang harus diberikan bagi berbagai jenis keadaan yang bersifat kompleks dari situasi mental dan kerinduan spiritual dan peminat spritual di sepanjang waktu? (Divine Discourse, Mar 03, 1974)

-BABA

Thought for the Day - 29th July 2019 (Monday)

Cold and heat are both in the plan of God! Accept this and treat both as valuable. Trials and tribulations are effective instruments in God’s toolbox to purify you. In fact, Mother Kunti prayed to Krishna, “Give us always grief, so that we may never forget Thee.” Suffering and pain are the dietary restrictions that doctor prescribes to supplement the drug of remembrance of God (namasmarana). Thorny plants and thornless plants are both present in nature; the wise individual knows the value of both. He plants the thornless sapling and surrounds it with thorny bushes, so that what he fosters is left unharmed. Activity can save, as well as kill; it’s like the cat that bites; it bites the kitten to carry it in its mouth to a place of safety but it bites the rat in order to kill and eat. Become the kitten, and work will rescue you like a loving Mother. Become a rat, and you’ll be lost! 


Dingin dan panas keduanya adalah rencana Tuhan! Terimalah ini dan perlakukan keduanya bernilai. Cobaan dan penderitaan adalah sarana yang efektif dalam kotak peralatan Tuhan untuk menyucikanmu. Sejatinya, ibu Kunti berdoa kepada Sri Krishna, “selalu berikan kepada kami kesedihan, sehingga kami tidak akan pernah melupakan-Mu.” Penderitaan dan rasa pedih adalah diet makanan yang dokter tentukan untuk memberikan suplemen pada obat yaitu mengingat Tuhan (namasmarana). Tanaman yang berduri dan tanaman yang tidak berduri keduanya ada di alam ini; individu yang bijaksana mengetahui nilai keduanya. Mereka menanam tanaman muda yang tidak berduri dan dikelilingi dengan semak yang berduri, sehingga apa yang dikembangkannya tidak akan dirusak. Tindakan dapat menyelamatkan sama juga membunuh; ini seperti kucing yang menggigit anaknya di mulut untuk ditempatkan di tempat yang aman namun kucing menggigit tikus untuk membunuh dan memakannya. Jadilah anak kucing, dan kerja akan menyelamatkanmu seperti seorang ibu yang penyayang. Menjadi tikus, dan engkau akan kalah! (Divine Discourse, Vijayadasami, 1953)

-BABA

Thought for the Day - 28th July 2019 (Sunday)

Cleanse your emotions, passions, impulses, attitudes, and reactions - this is the essence of spiritual discipline from all faiths. Examine your mind and thoughts; do not seek other’s faults. See only good. Speak ill of none! If you slip into slander, repent and resolve not to give vent to that habit again. Humiliate none; respect everyone for the good in them. Their grief at your behaviour will haunt you during your last moments. Let every act of yours stand as your credentials when you leave the world. Let no single act be a drag, or a debit. Soak every moment in love for God. Of what avail is it to spend hours in meditation, and then spread anger and inflict resentment through your words and deeds with friends and family? The Gita recommends you to be satatam yoginah - ever controlled and yoked with the Divine. So be vigilant, be steady, be earnest. The steady person earns wisdom. 


Bersihkan emosi, hasrat, dorongan hati, sikap, dan reaksi – ini adalah intisari dari disiplin spiritual dari semua keyakinan. Periksa pikiran dan gagasanmu; jangan mencari kesalahan orang lain. Lihatlah hanya yang baik. Jangan berbicara buruk kepada siapapun juga! Jika engkau melakukan kesalahan dalam memfitnah, maka bertobatlah dan tetapkan untuk tidak memberikan ruang untuk kebiasaan itu lagi. Jangan menghina siapapun juga; hormati siapapun juga untuk kebaikan yang ada di dalam diri mereka. Kesedihan mereka karena perilakumu akan menghantuimu pada saat-saat terakhirmu. Biarkan setiap perbuatanmu sebagai surat kepercayaan saat engkau meninggalkan dunia. Jangan biarkan satu perbuatan akan menjerat atau menjadi beban. Rendam setiap saat dalam kasih untuk Tuhan. Apa gunanya menghabiskan berjam-jam dalam meditasi, kemudian menyebarkan kemarahan serta menimbulkan kebencian melalui perkataan serta perbuatanmu dengan teman dan keluarga? Gita menyarankanmu untuk menjadi satatam yoginah – selalu terkendali dan menyatu dengan Tuhan. Jadilah waspada, mantap, bersungguh-sungguh. Seseorang yang mantap mendapatkan kebijaksanaan. (Divine Discourse, Nov 23, 1973)

-BABA

Thought for the Day - 27th July 2019 (Saturday)

Presently devotion is only ‘deep ocean’, where people are submerged in the ocean of worldly life. People talk about compassion, but are concerned only with ‘fashion’. They mouth the word ‘co-operation’, but indulge only in ‘operation’. Presently, devotion is becoming a pompous show. To secure the grace of the Divine, it is not necessary to seek knowledge, wealth, power or position. Purity of mind alone is enough. Every cell of one's body will be filled with the Divine when God is worshipped with pure and single-minded devotion. To the self-sacrificing devotee, God will be Omnipresent. True knowledge comes when one is confronted with an extreme moral crisis. This was the situation Arjuna faced when he was placed between the two opposing armies. Parikshit faced a similar crisis when he learnt he had only one week to live. During such crisis one thinks of God and seeks Divine help. The Lord is ever ready to answer the prayers of true devotees. 


Bhakti pada saat sekarang hanyalah ‘lautan dalam’, dimana manusia menyelam ke dalam lautan kehidupan duniawi. Manusia berbicara tentang ‘welas asih’ (compassion), namun hanya peduli dengan ‘pakaian saja’ (fashion). Mereka membicarakan tentang kata ‘kerjasama‘ (co-operation), namun hanya terlibat dalam ‘eksploitasi’ (operation). Pada saat sekarang bhakti hanya menjadi pamer saja. Untuk mendapatkan rahmat Tuhan, tidak perlu untuk mencari pengetahuan, kekayaan, jabatan. Hanya kesucian pikiran adalah cukup. Setiap sel tubuh dari seseorang akan diliputi dengan Tuhan ketika Tuhan dipuja dengan bhakti yang suci dan terpusat. Bhakta yang rela berkorban, Tuhan akan ada dimana-mana. Pengetahuan yang sejati datang ketika seseorang dihadapkan pada krisis moral yang ekstrim. Ini adalah situasi yang dihadapi oleh Arjuna ketika dia dihadapkan diantara dua tentara yang berlawanan. Parikshit menghadapi krisis yang sama ketika dia belajar bahwa dia hanya bertahan hidup satu minggu. Pada saat krisis seperti itu seseorang memikirkan Tuhan dan mencari pertolongan Tuhan. Tuhan selalu siap menjawab doa dari bhakta yang sejati. (Divine Discourse, Dec 31, 1983)

-BABA

Friday, July 26, 2019

Thought for the Day - 26th July 2019 (Friday)

Inherited evil traits rooted in the mind must be given up. Of these traits, the worst are hatred and envy. They arise from intense selfishness. They are qualities of the leopard and should not find place in a human being. Some people try to pretend that they overcame anger, hatred, jealousy and pride. These traits make their appearance from time to time. You must cast them off immediately. You must perform continuous internal yajna, as against external yajna performed annually. The internal yajna must be performed at all times, in all places and under all circumstances. The sacrificial altar for this yajna is within each one of us. Whenever an evil thought or desire occurs, scotch it out mercilessly. Only by constant vigilance and continuous endeavour can we earn Divine grace. Only when evil traits are banished will Divinity manifest itself in all its glory. This is the real purpose of yajnas - to enable you to achieve purity to realise Divinity. 


Menerima warisan sifat jahat yang berakar dalam pikiran harus dilenyapkan. Dari sifat-sifat jahat ini, sifat yang paling buruk adalah kebencian dan iri hati. Keduanya muncul dari sifat mementingkan diri sendiri yang kuat. Kebencian dan iri hati adalah sifat dari harimau dan seharusnya tidak ada ruang dalam diri manusia. Beberapa orang mencoba untuk pura-pura bahwa mereka mengatasi marah, benci, cemburu, dan kesombongan. Sifat-sifat ini memunculkan diri mereka dari waktu ke waktu. Engkau harus melenyapkannya secepat mungkin. Engkau harus melakukan Yajna di dalam diri secara terus-menerus, sebagai ganti dari Yajna yang dilakukan setahun sekali di luar diri. Yajna di dalam diri harus dilakukan sepanjang waktu, di setiap tempat dan dalam segala keadaan. Altar untuk melakukan Yajna ini ada di dalam diri setiap orang. Kapanpun pikiran jahat atau keinginan muncul, basmi tanpa ampun. Hanya dengan kewaspadaan yang penuh dan usaha berkesinambungan kita bisa mendapatkan karunia Tuhan. Hanya ketika sifat-sifat jahat ini dihilangkan maka keilahian akan memperlihatkan wujud-Nya dengan semua kemuliaan-Nya. Ini adalah tujuan sejati dari Yajna – untuk memungkinkan dirimu mencapai kesucian untuk menyadari keilahian. (Divine Discourse, Oct 10, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 25th July 2019 (Thursday)

Every second is a new moment in your life. Utilise it to purify your heart and fill it with love. You will then realise that God is yours and you are filled with divine love. True devotion is the only method to realise the Divine. Devotion means love of God without any desire for reward. Such devotion can be developed only through good conduct. There can be no devotion without righteousness. Purity of mind is an essential for enjoying Divine Bliss just as purity of body is essential for bodily health. Higher than all the knowledge that can be acquired in the world is the Atma jnana (knowledge of the Self). There is nothing equal to the bliss that comes from Self-realisation. It is attained only when the ego-sense is destroyed and there is prayerful submission to the Divine. Prayers, again, are used for seeking fulfilment of material desires. Out of the millions who offer prayers, very few seek God Himself with pure hearts. 


Setiap detik adalah sebuah momen baru di dalam hidupmu. Gunakan ini untuk menyucikan hatimu dan mengisinya dengan kasih. Engkau kemudian akan menyadari bahwa Tuhan adalah milikmu dan engkau diliputi dengan kasih Tuhan. Bhakti yang sejati adalah satu-satunya metode untuk menyadari Tuhan. Bhakti berarti mencintai Tuhan tanpa keinginan untuk balasannya. Bhakti yang seperti itu dapat dikembangkan hanya melalui tingkah laku yang baik. Tidak akan ada bhakti tanpa kebajikan. Kesucian pikiran adalah mendasar untuk menikmati kebahagiaan ilahi seperti halnya kesucian tubuh adalah mendasar untuk kesehatan tubuh. Lebih tinggi dari semua pengetahuan yang dapat diraih di dunia adalah Atma jnana (pengetahuan diri sejati). Tidak ada yang dapat menyamai kebahagiaan yang muncul dari kesadaran diri. Hal ini hanya dapat dicapai ketika perasaan ego dihancurkan dan ada kepatuhan dalam doa kepada Tuhan. Doa, lagi-lagi digunakan untuk mencari pemenuhan keinginan material. Dari sejuta orang yang berdoa, sangat sedikit yang mencari Tuhan dengan hati yang suci. (Divine Discourse, Dec 31, 1983)

-BABA

Wednesday, July 24, 2019

Thought for the Day - 24th July 2019 (Wednesday)

Everyone, irrespective of country, race or time period of birth, are born into the world burdened with three debts. A debt is an obligation arising out of what you received earlier. First debt is owed to the Divine. Second is to the Sages (rishis). Third is to one's parents. We can easily identify these debts in the human body as different divine forces nourishing and protecting it. Divine energy permeates your entire body, it is called Rasa (Divine Essence). We owe a debt of gratitude to God who not only endowed us with this precious human body but is also sustaining it. We can fully enjoy these gifts of God only when we discharge our debts to God. How? By doing righteous deeds, rendering service to other beings saturated with the same Divine, and consecrating our actions to serve society. Discharge your debts to God now, or perhaps in many future lives. Earlier we repay this debt, the sooner you realise Divinity. 


Setiap orang, terlepas dari bangsa, ras, atau kurun waktu kelahiran, dilahirkan ke dunia terbebani dengan tiga hutang. Hutang adalah sebuah kewajiban yang timbul dari apa yang engkau terima sebelumnya. Hutang pertama adalah hutang kepada Tuhan. Hutang kedua adalah kepada guru suci atau para Rsi. Hutang ketiga adalah kepada orang tua. Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi ketiga hutang ini dalam tubuh manusia sebagai kekuatan Tuhan berbeda yang memelihara dan melindunginya. Energi Tuhan meresapi seluruh tubuhmu, hal ini disebut dengan Rasa (intisari Tuhan). Kita berhutang rasa syukur kepada Tuhan yang tidak hanya memberkati kita dengan tubuh manusia yang berharga namun juga menopangnya. Kita dapat sepenuhnya menikmati karunia Tuhan ini hanya ketika kita melunasi hutang kita kepada Tuhan. Bagaimana caranya? Dengan melakukan perbuatan yang baik, melakukan pelayanan kepada yang lainnya yang diliputi oleh kualitas Tuhan yang sama, dan mengabdikan perbuatan kita untuk melayani masyarakat. Lunasi hutangmu kepada Tuhan sekarang, atau mungkin di banyak kehidupan yang akan datang. Semakin cepat kita membayar hutang ini, semakin cepat juga kita menyadari keilahian. (Divine Discourse, Oct 10, 1983)

-BABA

Thought for the Day - 23rd July 2019 (Tuesday)

In order to make a child understand that the word 'chair' represents a piece of furniture, you have to draw the picture of a chair and write the letters underneath. When once the child has learnt to identify the kshara (the temporary form, the chair) with the Akshara (the formless eternal — word), the picture is eliminated; the word remains. The word, hence forward, represents the thing, the concrete material visible thing. If no chair existed, the word chair could not have emerged. The word God emerged to indicate an entity that was experienced. A 'nothing', 'non-existing being' needs no name. The name is evidence of the thing. The word God is evidence of the Divine Phenomenon. From the Form to the Formless, from the Formless to the Form - both processes are possible and progressive. Your Personal God is an expression, a symbol, and a representation of the Impersonal God. The Impersonal does personate and assume a form and attributes. This is the very Nature of the Divine. 


Untuk membuat seorang anak mengerti bahwa kata ‘kursi’ melambangkan sebuah perabotan, engkau harus menggambar sebuah gambar kursi dan menuliskan tulisan kursi dibawah gambar itu. Ketika saat anak telah belajar untuk mengidentifikasi kshara (wujud sementara yaitu kursi) dengan Akshara (wujud yang kekal - tulisan), gambar itu akan dihilangkan; hanya tulisan yang masih tersisa. Kata, selanjutnya melambangkan benda yang dapat dilihat. Jika tidak ada kursi maka kata kursi juga tidak akan pernah ada. Kata Tuhan muncul untuk menyatakan entitas yang dialami. Sesuatu ‘yang tidak ada', 'makhluk yang tidak ada' tidak membutuhkan nama. Nama adalah bukti dari keberadaan benda. Kata Tuhan adalah bukti fenomena ilahi. Dari yang berwujud ke yang tanpa wujud, dari yang tanpa wujud ke yang berwujud kedua proses ini adalah mungkin dan progresif. Tuhan yang berwujud adalah sebuah ungkapan, simbol, dan melambangkan Tuhan yang tidak berwujud. Yang tidak berwujud mengambil wujud dan sifat. Ini adalah sifat dari Tuhan. (Divine Discourse, Aug 02, 1986)

-BABA

Thought for the Day - 22th July 2019 (Monday)

Samtushti (contentment) fills the heart with divine delight. It marks a stage of detachment from the world, for the world makes one swing from pain to pleasure and back again. Desist from attempts to earn joy or avoid grief and be unconcerned with ups and downs. Success should not boost your ego, nor should defeat land you in dejection. Honours should not turn your head, nor dishonour make it droop. Equanimity and serenity are the signs of Samtushti. The devotee must welcome gratefully whatever happens as ordained by the Divine Will to which one has surrendered. Devotees must be free from anxiety and fear, pride and envy. Four enemies intent on ruining you are anger, envy, hatred and horde of desires. Regard both high and low as roles in the Divine play. The basic moral prescription for every devotee who aspires to be near and dear is to worship God and offer Love to Him in every living being. 


Samtushti (kepuasan hati) mengisi hati dengan suka cita ilahi. Ini menandakan sebuah tahapan tanpa keterikatan dari dunia, karena dunia membuat seseorang berayun dari penderitaan ke kesenangan dan balik kembali. Berhenti dari usaha untuk mendapatkan suka cita atau menghindari duka cita serta tidak peduli dengan untung dan rugi. Sukses seharusnya tidak menaikkan egomu, dan juga seharusnya tidak menjatuhkanmu dalam kekecewaan. Rasa bangga seharusnya tidak membuat kepalamu tegak, dan tidak terhomat membuatmu terkulai. Ketenangan hati adalah tanda dari Samtushti. Bhakta seharusnya menyambut dengan penuh terima kasih apapun yang terjadi sebagai hal yang sudah ditakdirkan oleh kehendak Tuhan dimana seseorang harus berserah diri. Bhakta harus bebas dari rasa cemas dan takut, sombong dan iri hati. Empat musuh yang bermaksud untuk menghancurkanmu adalah kemarahan, iri hati, kebencian, dan sekumpulan keinginan. Anggaplah keduanya yaitu tinggi dan rendah sebagai peran dalam permainan Tuhan. Resep dasar moralitas untuk setiap bahkta yang menginginkan dekat dan disayang oleh Tuhan adalah dengan memuja-Nya dan mempersembahkan kasih kepada-Nya dalam setiap makhluk hidup. (Divine Discourse, Aug 02, 1986)

-BABA

Thought for the Day - 21th July 2019 (Sunday)

Transform your heart by making it pure and sacred. Purity is the true characteristic of a human being. This purity should be manifested in everything you do: in your thoughts, in what you see or say, and in all that you do. It is only when you display such purity that you can become embodiments of the Divine Self (Atma). Then the distinction between the Divine and the mundane disappears. Everything is Divinised. The difference between the object and the subject will also go. Everything then becomes the whole (poornam). The realisation of that wholeness is the real Guru Poornima, not the offer of pada puja (ritual homage to the feet of Guru) and obtaining a mantra from the Guru. Resolve today to lead an exemplary life, to turn your thoughts to God, to strive for the purification of your heart and to seek Self-realisation in this very birth! 


Ubahlah hatimu dengan membuatnya menjadi murni dan suci. Kesucian adalah karakteristik utama dari manusia. Kesucian ini seharusnya diwujudkan dalam segala sesuatu yang engkau lakukan: dalam pikiranmu, dalam apa yang engkau lihat atau katakan, dan dalam semua yang engkau kerjakan. Hanya ketika engkau menampilkan kesucian seperti itu maka engkau dapat menjadi perwujudan keilahian (Atma). Kemudian perbedaan antara Tuhan dan duniawi akan lenyap. Segala sesuatunya menjadi ilahi. Perbedaan antara objek dan subjek juga akan hilang. Segala sesuatu menjadi seutuhnya (poornam). Menyadari keutuhan itu adalah Guru Poornima yang sejati, bukan pada mempersembahkan pada puja (pemujaan pada kaki padma Guru) dan mendapatkan mantra suci dari Guru. Miliki ketetapan hati hari ini untuk menjalani hidup yang patut dicontoh, bawalah pikiranmu kepada Tuhan, berusaha untuk menyucikan hati dan mencari kesadaran diri di dalam kelahiran ini! (Divine Discourse, Jul 13, 1984)

-BABA

Thought for the Day - 20th July 2019 (Saturday)

How can one become 'dear' to God? The Gita emphasises two qualifications: Samtushtah Satatam (ever contented) and Dhruda nischayah (firm resolve). All possess this qualification of Dhruda nischayah; it is an asset that assures survival, and secures popularity and pre-eminence. Those who climb Himalayan peaks derive the tenacious courage from the firmness of their resolve not to turn back. Someone else exhibits heroism in crossing tumultuous oceans alone. Some others resolve on exploring fearful forests. Firmness of resolution, bravery and skill are utilised even for merciless torture of others to rob them of their riches. Ignoring their inner divinity and setting aside humanness, some descend to demonic levels. Valmiki, when he was Ratnakara, used his courage and adventurousness in wicked ways. Contact with the Seven Sages and their teachings made him direct the same qualities towards Rama. He was transformed so completely that he became the author of the Ramayana. We have to conclude that dhruda nischayah can serve good purposes as well as evil. 


Bagaimana seseorang bisa menjadi 'disayang' Tuhan? Gita menekankan dua kualifikasi: Samtushtah Satatam (selalu puas) dan Dhruda nischayah (tekad yang kuat). Semua memiliki kualifikasi Dhruda nischayah ini; itu adalah aset yang menjamin kelangsungan hidup, dan mengamankan popularitas dan keunggulan. Mereka yang mendaki puncak Himalaya mendapatkan keberanian yang gigih dari keteguhan tekad mereka untuk tidak kembali. Orang lain menunjukkan kepahlawanan dalam melintasi lautan yang kacau-balau sendirian. Sebagian lainnya memutuskan untuk menjelajahi hutan yang menakutkan. Keteguhan hati, keberanian, dan keterampilan digunakan bahkan untuk penyiksaan tanpa ampun dari orang lain untuk merampas kekayaan mereka. Mengabaikan keilahian batin mereka dan mengesampingkan kemanusiaan, beberapa orang turun ke tingkat setan. Valmiki, ketika beliau masih sebagai Ratnakara, menggunakan keberanian dan petualangannya dengan cara yang jahat. Ketika berhubungan dengan Tujuh Orang Bijak dan ajaran mereka membuatnya mengarahkan kualitas yang sama terhadap Rama. Beliau ditransformasi sedemikian rupa sehingga beliau menjadi penulis Ramayana. Kita harus menyimpulkan bahwa dhruda nischayah dapat melayani tujuan yang baik maupun jahat.(Divine Discourse, Aug 02, 1986)

-BABA

Sunday, July 21, 2019

Thought for the Day - 19th July 2019 (Friday)

Each religion emphasises one name and form and recommends its acceptance. Some even insist that God has no name or form. But in reality God is Akshara (indestructible, eternal) beyond all names and forms. God is! You reach the Akshara stage - the stage of attributeless unity in three steps of Sadhana: (i) I am Thine (ii) Thou art mine, and (iii) Thou art myself. Through Sadhana, you must transcend the duality of ‘I’ and ‘You’. ‘I’ is only the reflection of ‘You’ in this body. The consummation is reached when duality is superseded. Keep your heart cool, pure and bright - as the moonlight. Your mind must be cleansed by the mind only. Just as you shape an iron sickle or axe with an iron hammer, the mind is the shaper and shaped, both. The power which helps the mind to shape well, is faith in God. Cultivate that faith and everything else will be added unto you. 


Setiap agama menekankan pada satu nama dan wujud untuk bisa diterima. Beberapa bahkan menekankan Tuhan tidak memiliki nama atau wujud. Namun dalam kenyataannya Tuhan adalah Akshara (tidak dapat dihancurkan, kekal) melampaui semua nama dan wujud. Itu adalah Tuhan! Engkau mencapai tahapan Akshara – tahapan persatuan tanpa sifat dalam tiga langkah Sadhana: (i) aku adalah milik-Mu (ii) Engkau adalah milikku, dan (iii) Engkau adalah diriku sendiri. Melalui Sadhana, engkau harus melampaui dualitas dari ‘aku’ dan ‘Engkau’. ‘aku’ hanyalah pantulan dari ‘Engkau’ di dalam tubuh ini. Penyempurnaan dicapai ketika dualitas digantikan. Tetap jaga hatimu tetap tenang, murni dan bercahaya – seperti halnya cahaya rembulan. Pikiranmu harus dibersihkan hanya dengan pikiran. Sama halnya ketika engkau membentuk sebuah besi menjadi sebuah sabit atau kapak dengan tempaan dari palu, pikiran adalah keduanya yaitu yang menempa dan yang ditempa. Kekuatan yang membantu pikiran untuk dibentuk dengan baik adalah keyakinan pada Tuhan. Tingkatkan keyakinan itu dan segala yang lainnya akan ditambahkan kepadamu. (Divine Discourse, Jul 29, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 18th July 2019 (Thursday)

The Guru reminds the pupil of the inevitability of death and the transitory nature of existence upon the earth. When Yaajnavalkya resolved to go into the forest for a life of asceticism, he called his two wives before him and proposed to divide the riches he had earned between them. Before accepting her share, Maithreyi asked her husband whether the riches will help her to realise the Truth and achieve immortality. When she was told that they were hindrances and not helps, she refused to be burdened. Nachiketha refused the gift of empire, affluence, and years of healthy life. Prahlada taught the same lesson to his playmates. Buddha sought to solve the mystery of suffering and undertook renunciation of attachment as the first step in his sadhana. 


Guru mengingatkan murid akan kematian yang tidak dapat dihindarkan dan sifat alam yang tidak kekal pada dunia. Ketika Yaajnavalkya memutuskan untuk pergi ke dalam hutan hidup dalam pertapaan, dia memanggil dua istrinya dihadapannya dan mengemukakan untuk membagi kekayaan yang dia dapatkan untuk mereka berdua. Sebelum menerima bagiannya, Maithreyi menanyakan suaminya apakah kekayaan akan membantunya untuk menyadari kebenaran dan mencapai keabadian. Ketika dia diberitahu bahwa kekayaan tersebut adalah rintangan dan tidak membantu, Maithreyi menolak untuk terbebani. Nachiketha menolak pemberian kerajaan, kekayaan, dan bertahun-tahun hidup sehat. Prahlada mengajarkan pelajaran yang sama kepada teman bermainnya. Buddha berusaha memecahkan misteri penderitaan dan melepaskan keterikatan sebagai langkah awal dari latihan spiritualnya. (Divine Discourse, Jul 19, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 17th July 2019 (Wednesday)

(1) Silence is the first step in sadhana. It promotes self-control; lessens chances of anger, hate, malice, greed, pride and makes other steps easy. Besides, you can hear His footsteps, only when silence reigns in your mind. (2) Cleanliness: It’s the doorway to Godliness. Inner and outer cleanliness are essential to install God in your heart. (3) Service: It saves you from the agony you get when another suffers; broadens your vision, widens your awareness, and deepens your compassion. All waves are on the same sea and merge in the same sea. Seva anchors this knowledge. (4) Pure Love: Never calculate the reaction, result or reward. Love calls; love responds. Love is God, live in Love. (5) Hatelessness: No being must be looked down upon as secondary, inferior, unimportant, or expendable. Each has its allotted role in the drama designed by the Almighty. Never insult or injure any being; for, God lives in every being and your slight becomes a sacrilege! 


(1) Keheningan adalah langkah awal dalam sadhana. Keheningan meningkatkan pengendalian diri; mengurangi kesempatan marah, benci, dengki, sombong dan membuat langkah yang lain menjadi mudah. Disamping itu. Engkau dapat mendengar langkah kaki-Nya, hanya ketika keheningan ada di dalam pikiranmu. (2) Kebersihan: kebersihan adalah pintu gerbang menuju Tuhan. Kebersihan di dalam dan di luar diri adalah mendasar untuk menempatkan Tuhan di dalam hatimu. (3) Pelayanan: Pelayanan menyelamatkanmu dari penderitaan yang mendalam ketika yang lainnya menderita; memperluas pandanganmu, memperlebar kesadaranmu, dan memperdalam welas asihmu. Semua gelombang adalah lautan yang sama dan menyatu dalam lautan yang sama. Seva melabuhkan pengetahuan ini. (4) Kasih yang suci: Tidak pernah menghitung reaksi, hasil atau hadiah. Kasih memanggil; kasih merespon. Kasih adalah Tuhan, hiduplah dalam kasih. (5) Tanpa kebencian: Tidak ada makhluk yang dipandang rendah sebagai bagian yang sekunder, inferior, tidak penting atau tidak bermakna. Setiap orang memiliki peran yang ditentukan dalam drama yang telah diatur oleh Tuhan. Jangan pernah menghina atau melukai makhluk apapun; karena Tuhan bersemayam di dalam setiap makhluk dan sedikit kelalaianmu menjadi sebuah penistaan! (Divine Discourse, Jul 19, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 16th July 2019 (Tuesday)

Guru Poornima is sacred for many reasons: the seeker who suffers from the delusion that the objective world is as real as themselves are guided into Truth. This day, those who never felt the urge to explore the Reality are inspired to seek the spring of bliss inside them. This day, pilgrims to the Lotus Feet of God, study the guide books of life. This day, disciples offer gratitude at the feet of the preceptor for the gift of light. When the Sun rises, the world is blessed with heat and light. When the Guru blesses, the pupil gets peace and joy! Remember, Guru Poornima is not a date marked in the calendar that is finished when the day is over! Know that whenever your mind, with the presiding deity of Moon, is full (Poorna), it receives Guru’s cool refreshing rays of grace! Train your mind to derive illumination from the intellect, and not from the deluding forces of the senses. 


Guru Poornima adalah suci untuk banyak alasan: para pencari spiritual yang menderita dalam khayalan bahwa dunia objektif adalah sama nyatanya dengan diri mereka sendiri dituntun ke dalam kebenaran. Hari ini, mereka yang tidak pernah merasakan dorongan untuk mengungkap kenyataan diilhami untuk mencari sumber kebahagiaan di dalam diri mereka. Hari ini, para peminat spiritual ke kaki padma Tuhan, mempelajari buku tuntunan kehidupan. Hari ini, murid-murid mempersembahkan rasa syukur dan terima kasih di kaki sang Guru untuk karunia cahaya. Ketika matahari terbit, dunia diberkati dengan panas dan cahaya. Ketika sang Guru memberkati, murid mendapatkan kedamaian dan suka cita! Ingatlah, Guru Poornima bukanlah tanggal yang ditandai di kalender yang selesai ketika hari itu berakhir! Ketahuilah bahwa kapanpun pikiranmu, dengan Dewa yang bersemayam pada bulan, adalah lengkap (Poorna), pikiran menerima pancaran rahmat yang menyejukkan dari Guru! Latihlah pikiranmu untuk mendapatkan penerangan dari intelek, dan bukan dari kekuatan indera yang menipu. (Divine Discourse, Jul 18, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 15th July 2019 (Monday)

Be simple and sincere. It is sheer waste of money to burden the pictures and idols in the shrines and altars of your homes with a weight of garlands, and to parade costly utensils, vessels and offerings, to show off your devotion. This is deception; it demeans Divinity, imputing to it the desire for pomp and publicity. To shower grace, I ask only for purity of heart. Do not calculate distance between you and Me; do not interpose the formalities of the Guru-Sishya (preceptor-disciple) relationship, or even the altitudinal distinctions of the God-Devotee relationship, between you and Me. I am neither Guru nor God; I am You; You are I - this is the Truth. There is no distinction. That which appears so is the delusion. You are waves; I am the ocean. Know this and be free, and lead a divine life! 



Jadilah sederhana dan tulus. Adalah sesuatu yang benar-benar menyia-nyiakan uang dengan menaruh banyak gambar dan arca di tempat suci dan altar di rumahmu dengan garland yang berat, dan untuk mempertunjukkan peralatan dan persembahan yang mahal, untuk memamerkan bhaktimu. Ini adalah bentuk penipuan; serta meremehkan nilai ketuhanan dengan menghubungkan hal ini dengan keinginan untuk pamer dan publisitas. Untuk mencurahkan rahmat, Aku hanya meminta kesucian hati. Jangan menghitung jarak diantara engkau dan Aku; jangan menempatkan formalitas dalam hubungan Guru-Sishya (guru-murid), atau bahkan perbedaan ketinggian dalam hubungan Tuhan-bhakta, diantara engkau dan Aku. Aku bukan Guru dan juga bukan Tuhan; Aku adalah dirimu; engkau adalah Aku – ini adalah kebenaran. Tidak ada perbedaan. Keadaan yang muncul itu adalah khayalan. Engkau adalah gelombang; Aku adalah lautan. Ketahuilah hal ini dan jadilah bebas, dan jalani hidup berketuhanan! (Divine Discourse, Jul 19, 1970)

-BABA

Thought for the Day - 14th July 2019 (Sunday)

The Gayatri mantra is the royal road to Divinity. There is no fixed time or regulation for reciting it. Nevertheless, the young Brahmacharis (celibates) would do well to recite it during the morning and evening sandhya (twilight hours of dawn and dusk) to derive the greatest benefit. However because the Divine is beyond time and space, any time and any place is appropriate for repeating God's name. The Bhagavata declares: Sarvada, sarvatra, sarvakaleshu Hari chintanam - Contemplate on God always, at all places and at all times. You must learn to think of God in whatever you see, whatever you do and whatever you touch. You must realise that you are playing temporary roles on the cosmic stage. You must get back to your true Divine Selves when the play is over. By regularly reciting the Gayatri, you must purify your lives and be an example to the world in righteous living. This is My benediction for you. 


Mantra Gayatri adalah jalan raya menuju Tuhan. Tidak ada penentuan waktu dan peraturan dalam melantunkan mantra Gayatri. Namun demikian, Brahmacari (para pencari pengetahuan) akan melantunkan mantra Gayatri pada waktu pagi hari dan malam hari (waktu senja) untuk bisa mendapatkan manfaat yang terbaik. Bagaimanapun juga karena Tuhan adalah melampaui waktu dan ruang, kapanpun juga dan dimanapun juga adalah boleh untuk mengulang-ulang nama Tuhan. Dalam Bhagavata disebutkan: "Sarvadaa, sarvatra, sarva kaleshu Hari chintanam – Selalulah memusatkan pikiran kepada Tuhan di semua tempat dan sepanjang waktu." Engkau harus belajar memikirkan Tuhan dalam apapun yang engkau lihat, apapun yang engkau kerjakan dan apapun yang engkau sentuh. Engkau harus menyadari bahwa engkau sedang memainkan peran sementara di panggung kosmik. Engkau harus kembali ke diri illahimu yang sejati ketika permainan telah usai. Dengan secara teratur melantunkan mantra Gayatri, engkau harus memurnikan hidupmu dan menjadi teladan bagi dunia dengan hidup yang benar.  Inilah berkat-Ku padamu. (Divine Discourse, Mar 17, 1983)

-BABA

Sunday, July 14, 2019

Thought for the Day - 13th July 2019 (Saturday)

Really speaking, every object in nature, every incident in time, is teaching you a lesson. One morning, Dakshinamurthy was walking in slow steps along the beach. He looked at the waves and drew a lesson therefrom. Slowly but systematically the waves were carrying towards the shore a bit of straw, passing it on from one crest to another, until it was deposited on land! The sea is a broad expanse, deep and mighty. But yet, it is constantly engaged in clearing itself from all extraneous things. It knows that, you must not neglect a desire, for the reason that it is a straw. Force it back onto the shore, where it can do no harm. Dakshinamurthy exclaimed, "Wonderful! The Sea has taught me a great lesson" - the lesson that danger lurks when a desire that arises from the senses and the mind, raises its head! The price of peace and happiness is eternal vigilance. 


Berbicara sesungguhnya bahwa setiap objek di alam, setiap kejadian dalam suatu waktu, sedang mengajarkan sebuah pelajaran. Pada suatu pagi, Dakshinamurthy sedang berjalan dalam langkah yang pelan sepanjang pantai. Beliau memandang pada ombak dan mengambil pelajaran dari hal itu. Secara perlahan namun sistematis ombak mengirimkan kembali ke pantai sampah yang ada melewati satu ombak ke ombak yang lainnya sampai sampah itu mencapai daratan! Lautan adalah sangat luas, dalam, dan kuat. Namun tetap saja lautan secara tanpa henti membersihkan dirinya sendiri dari semua hal-hal yang tidak ada hubungannya. Lautan mengetahui itu, engkau harus jangan melalaikan keinginan, untuk alasan itu adalah sebuah sampah. Lempar kembali ke pantai, dimana tidak akan membahayakan. Dakshinamurthy menyatakan, "Luar biasa! Lautan telah mengajarkan saya sebuah pelajaran yang besar " – pelajaran bahwa bahaya yang tersembunyi ketika sebuah keinginan muncul dari indera dan pikiran, menegakkan kepalanya! Harga dari kedamaian dan kebahagiaan adalah kewaspadaan abadi. (Divine Discourse, Jul 29, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 12th July 2019 (Friday)

The seeker has to be very vigilant about one’s point of view, the things one seeks to visualise, and longs to cast their eye on. For, it is drishti (the view) that decides attachment, sorrow, passion, etc. You are the noblest being yet created, and so, you have to develop a sight that sees no high or low, that sees all as suffused with Divinity, and therefore, not different from one. Shankara declared, "Make your drishti charged with jnana (wisdom); then the seen will appear in its true light as Brahman." Such sight is called divine, supernatural, super-sensual and auspicious. Each body that you see before you is a mirror in which if only you open your eyes you can see the image of God. The God in you is in each of them too. Do not imagine the others to be distinct, they are only you, in so many mirrors. 


Para pencari spiritual harus sangat waspada dengan pandangannya, hal-hal yang seseorang cari untuk dilihat, dan yang ingin mereka lihat. Karena ini adalah drishti (pandangan) yang memutuskan keterikatan, penderitaan, nafsu, dsb. Engkau adalah makhluk yang paling mulia yang diciptakan dan maka dari itu engkau harus mengembangkan sebuah pandangan yang melihat sama tidak ada tinggi atau rendah, melihat semuanya diliputi dengan keilahian, dan karenanya, tidak berbeda dari seseorang. Shankara menyatakan, "Buatlah pandanganmu (drishti) diliputi dengan jnana (kebijaksanaan); kemudian yang terlihat akan muncul dalam wujud aslinya sebagai Brahman." Pandangan seperti itu disebut dengan ilahi, supernatural, super-sensual, dan suci. Setiap tubuh yang engkau lihat di hadapanmu adalah sebuah cermin dimana jika engkau membuka matamu maka engkau dapat melihat pantulan gambaran Tuhan. Tuhan yang ada di dalam dirimu adalah ada juga di dalam diri mereka. Jangan membayangkan orang lain adalah berbeda, mereka adalah dirimu, dalam banyak cermin. (Divine Discourse, Jul 29, 1969)

-BABA

Thought for the Day - 11th July 2019 (Thursday)

First and foremost, make your heart pure. It is only purity that attracts Divinity. If the iron filings are rusted, even the most powerful magnet will not attract them. The iron filings may blame the magnet, saying it has no power. But the magnet tells them, “You may think as you please, I am not bothered. Get rid of the rust and become pure. Only then will I attract you.” In the same manner, how do you expect God to attract your mind, which is rusted with evil thoughts? See good, listen to good things, speak good and pleasant words, and undertake sacred activities. If you act in this manner, without your asking itself God will certainly bestow His grace on you. Contemplation on God is the only means to keep the senses pure. All the spiritual practices are meant to exercise control over the senses. 


Pertama dan utama, buatlah hatimu suci. Hanya dengan kesucian dapat menarik keilahian. Jika besi diliputi dengan karat, bahkan magnet yang paling kuat sekalipun tidak dapat menariknya. Kikiran besi mungkin menyalahkan bahwa magnet tidak memiliki kekuatan. Namun magnet menjawab, “engkau bisa berpikir sesukamu, aku tidak terganggu sama sekali. Hilangkan karatan itu dan jadilah murni. Hanya dengan keduanya itu aku dapat menarikmu.” Sama halnya, bagaimana engkau dapat berharap Tuhan dapat menarik pikiranmu yang berkarat dengan pikiran jahat? Lihatlah yang baik, dengarkan hal yang baik, bicara yang baik dengan kata-kata yang menyenangkan, serta lakukan kegiatan yang suci. Jika engkau berbuat seperti ini, tanpa diminta sendiri Tuhan pastinya akan memberikan rahmat-Nya padamu. Kontemplasi pada Tuhan adalah satu-satunya cara untuk menjaga indera tetap suci. Semua latihan spiritual adalah untuk latihan dalam mengendalikan indera. (Divine Discourse, Feb 22, 2001)

-BABA

Wednesday, July 10, 2019

Thought for the Day - 10th July 2019 (Wednesday)

Human body is meant to serve others, not to indulge in selfish deeds. As selfishness has become part and parcel of your life, you indulge in many sinful activities. Eschew selfishness, take to selfless service. Give up attachment towards the body. Become attached to the Self. Understand that the same Self (Atma) exists in everybody. Though you find myriad bulbs glowing here, the current that is passing through them is the same. Bodies are like bulbs; the principle of the Atma is the current that is present in them. With such a feeling of oneness, make efforts to alleviate the suffering of your fellowmen. Sage Vyasa has given the essence of eighteen Puranas in the following dictum - “Paropakaraya Punyaya, Papaya Parapidanam” (one attains merit by serving others and commits sin by hurting them). So help ever, hurt never. There is no higher spiritual practice (sadhana) than this. This is the foundation for self-realisation! 


Tubuh manusia dimaksudkan untuk melayani yang lainnya, dan bukan terlibat dalam perbuatan yang mementingkan diri sendiri. Ketika sifat mementingkan diri sendiri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupmu, engkau menurutkan kesenangan diri dalam berbagai aktifitas yang penuh dosa. Jauhkan diri dari mementingkan diri sendiri, lakukan pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri. Lepaskan keterikatan pada tubuh. Menjadi terikat pada diri yang sejati. Pahamilah bahwa diri sejati (Atma) yang sama bersemayam dalam diri setiap orang. Meskipun engkau mendapatkan banyak sekali bola lampu bersinar di sini, namun arus listrik yang melewati semuanya itu adalah sama. Tubuh adalah seperti bola lampu; prinsip Atma adalah arus listrik yang ada di dalamnya. Dengan perasaan akan kesatuan seperti itu, lakukan usaha untuk meringankan penderitaan sesamamu. Resi Vyasa telah memberikan intisari dari 18 purana dalam sebuah kutipan - “Paropakaraya Punyaya, Papaya Parapidanam” (seseorang mendapatkan kebaikan dengan melayani yang lain dan melakukan dosa dengan menyakiti mereka). Jadi, selalulah menolong, jangan pernah menyakiti. Tidak ada latihan spiritual (sadhana) daripada ini. Ini adalah dasar dari kesadaran diri! (Divine Discourse, Apr 14, 2001)

-BABA

Thought for the Day - 9th July 2019 (Tuesday)

Discover your holiness, your divinity, the real truth! At times, you may have doubts as to which action is righteous (dharmic), which is the truth (Satya), which is divine love (prema), and so on. I understand; but no one has any doubts about themselves, is it not? So, find out who you are and remain true and fixed in that enquiry for truth. That alone is enough to save you, to give you everlasting joy! This is the essence of the teachings from the Vedas and Upanishads, this was experienced by our sages and saints and expounded by scholars in their discourses. Remember the God in whom you move, the God who makes you move, the God who is all this vast universe, every atom, and every huge star. Select any Name and Form for this all-pervasive immanent God that appeals to you and keep those on your tongue and before your mental eye. This activity is called japa-sahita dhyanam (meditation-cum-recitation of the Name). 

Temukan kesucianmu, keilahianmu, kebenaran yang sejati! Kadang-kadang, engkau mungkin memiliki keraguan tentang tindakan mana yang benar (dharmic), yang mana adalah kebenaran (Satya), yang mana adalah kasih Tuhan (prema), dan sebagainya. Aku mengerti; namun tidak ada seorangpun yang meragukan diri mereka sendiri, bukan? Jadi, temukan siapa dirimu dan tetaplah benar dan tetap dalam penyelidikan kebenaran itu. Itu saja sudah cukup untuk menyelamatkanmu, memberikanmu suka cita yang kekal! ini adalah intisari dari ajaran dari Weda dan Upanishad, hal ini dialami oleh para guru suci dan diuraikan oleh para cendekiawan dalam ceramah mereka. Ingatlah Tuhan dimana engkau bergerak, Tuhan yang membuat engkau bergerak, Tuhan adalah seluruh alam semesta yang luas ini, dalam setiap atom, dan setiap bintang yang besar. Pilihlan nama dan wujud Tuhan mana saja yang meliputi semuanya serta yang menarikmu serta tetap ada di lidahmu dan dihadapan mata batinmu. Kegiatan ini di sebut dengan japa-sahita dhyanam (meditation-dengan-pengulangan nama Tuhan). (Divine Discourse, Aug 13, 1964)

-BABA

Thought for the Day - 8th July 2019 (Monday)

You must make your mother happy. When you cannot make your mother happy, how can you be peaceful? It is meaningless to worship God without revering one’s own parents. Hence first offer worship to your mother as she is the one who has given you birth. Only if the mother’s heart is nectarous will the whole world be nectarous. Lord Rama’s divinity blossomed under the loving care of Kausalya. As He was born from the womb of Kausalya, He got the qualities of Kausalya. That is why He is worshipped as God. Shivaji could do so much sacrifice for the country because he was born to the pure lady, Jijabai. It is because of the nobility of the mother that the children attain good fortune. So, embodiments of love! There is nothing beyond love. Only love is the mainspring of all your good fortune. You should therefore adore and worship the mother who is the embodiment of love. 


Engkau harus membuat ibumu bahagia. Ketika engkau tidak bisa membuat ibumu bahagia, bagaimana engkau bisa hidup damai? Tidak ada gunanya untuk memuja Tuhan tanpa memuliakan orang tua kita sendiri. Oleh karena itu pertama persembahkan pemujaan kepada ibumu sebagai seseorang yang melahirkanmu. Hanya jika hati ibu adalah semanis nektar maka seluruh dunia akan semanis nektar. Keilahian Sri Rama mekar di bawah kasih sayang Ibu Kausalya. Karena Sri Rama lahir dari Rahim ibu Kausalya, maka Beliau mendapatkan kualitas dari Kausalya. Itulah sebabnya Sri Rama dimuliakan sebagai Tuhan. Shivaji dapat melakukan pengorbanan begitu besar untuk bangsanya karena beliau lahir dari wanita yang suci yaitu Jijabai. Adalah karena keluhuran dari ibu maka anak-anaknya mencapai keberuntungan yang baik. Jadi, perwujudan kasih! Tidak ada yang melampaui kasih sayang. Hanya kasih yang merupakan sumber utama dari semua keberuntungan baikmu. Maka dari itu engkau seharusnya memuliakan dan memuja ibu yang merupakan perwujudan kasih sayang.  (Divine Discourse, Jun 01, 2001)

-BABA

Sunday, July 7, 2019

Thought for the Day - 7th July 2019 (Sunday)

Speak softly and sweetly, and cultivate a good mind. Only then will you earn the respect of others. You cannot always oblige, but you can always speak obligingly. Do not listen to evil talk. Kaikeyi paid heed to the evil words of Manthara, which ultimately led to the exile of Rama, whom she had loved much more than her own son, Bharata. Today do you find any woman named Kaikeyi or Manthara? No. Society will not respect those who indulge in evil talk and listen to evil. So, you should always speak and listen to good words. If you happen to hear something evil do not share it with others. What is the purpose in causing unrest to others by telling them something, which has caused unrest to you. Today there are people who not only lend their ear to evil talk but also spread the same to the rest of society causing a great deal of unrest. Let your tongue utter such words, which will give joy to others. 


Berbicaralah dengan lembut dan manis, dan tingkatkan pikiran yang baik. Hanya dengan demikian engkau akan mendapatkan rasa hormat dari yang lain. Engkau tidak bisa selalu membantu, namun engkau dapat selalu berbicara dengan ramah. Jangan mendengarkan pembicaraan yang buruk. Kaikeyi memberikan perhatian pada perkataan jahat Manthara, yang pada akhirnya mengarah pada pengasingan Sri Rama, yang sangat disayang melebihi putranya sendiri yaitu, Bharata. Saat sekarang apakah engkau menemukan wanita yang disebut dengan Kaikeyi atau Manthara? Tidak. Masyarakat tidak akan menghormati mereka yang menurutkan kesenangan dalam berbicara yang jahat dan mendengarkan yang buruk. Jadi, engkau seharusnya selalu berbicara dan mendengar kata-kata yang baik. Jika engkau tanpa sengaja mendengar sesuatu yang jahat maka jangan membaginya dengan yang lain. Apa tujuan dari membuat orang lain tidak nyaman dengan menceritakan mereka sesuatu yang juga membuatmu tidak nyaman. Hari ini ada banyak orang yang tidak hanya mendengarkan perkataan yang buruk namun juga menyebarkannya kepada masyarakat yang menyebabkan kecemasan yang besar. Jaga lidahmu hanya mengucapkan kata-kata yang akan memberikan suka cita bagi yang lainnya. (Divine Discourse, Feb 22, 2001)

-BABA

Thought for the Day - 6th July 2019 (Saturday)

A mother goes to the river to fetch water, leaving her infant in the cradle. On her way back, she may be conversing with other ladies while carrying a pot full of water on her head - but her mind will be constantly focused on her infant and she wants to get back home as quickly as possible, lest her child should wake up and start crying. Likewise, your mind should always be focused on the Atma amidst all activities. Make that your goal. While doing bhajans, you may sing various songs in different tunes, but your mind should be constantly fixed on the Divine! Arjuna asked Lord Krishna as to how he could fight in the war if he had to constantly think of God. Krishna replied, “O simpleton, it is your body and senses that are involved in the warfare. Such being the case, you can always focus the mind on God.” Perform all your actions with the sole purpose of pleasing God. 


Seorang ibu pergi ke sungai untuk mengambil air, dan meninggalkan bayinya dalam ayunan. Dalam perjalanannya pulang sang ibu bertemu dengan wanita lainnya ketika sedang menjunjung seember penuh air di atas kepalanya – namun pikirannya selalu terpusat pada bayinya dan dia ingin segera pulang secepat mungkin, agar tidak anaknya bangun dan mulai menangis. Sama halnya, pikiranmu seharusnya selalu fokus pada Atma diantara semua kegiatanmu. Buatlah itu sebagai tujuanmu. Ketika melakukan bhajan, engkau dapat melantunkan berbagai jenis lagu dalam nada yang berbeda, namun pikiranmu seharusnya tetap terpusat pada Tuhan! Arjuna bertanya kepada Sri Krishna bagaimana dia bisa berperang jika dia harus terus memikirkan Tuhan. Sri Krishna menjawab, “wahai orang bodoh, ini adalah tubuh dan inderamu yang terlibat dalam peperangan. Karena itu, engkau dapat selalu memusatkan pikiran pada Tuhan.” Lakukan semua perbuatanmu dengan satu-satunya tujuan adalah untuk menyenangkan Tuhan. (Divine Discourse, Feb 22, 2001)

-BABA

Thought for the Day - 5th July 2019 (Friday)

You are subjected to hardships because you have forgotten the source of your origin. Fish is born in water. It cannot survive even for a while without water. It is happy only when it is in water, where it originated. What is the source of man? Lord Krishna answered in the Gita, “Mamaivamsho Jeevaloke Jeevabhuta Sanathanaha” (the Eternal Atma in all beings is a part of My Being). Thus it is evident that every human is a spark of the Divine. Each one originated from the Divine. Having been born from the Atma, you should always contemplate on the Self. You will become restless and face hardships if you forget the Atma. So never forget your origin. Have faith in the Self; Respect and revere it; Let it be the basis of your life. This is the Dharma (duty) you should adhere to. You may occupy any position of authority, have wealth and prosperity, but faith in the Self alone will protect you. 


Engkau mengalami kesulitan karena engkau melupakan sumber asalmu yang sesungguhnya. Ikan lahir di dalam air dan ikan tidak bisa hidup bahkan sesaat saja tanpa air. Ikan hanya dapat bahagia ketika ada di dalam air yang merupakan tempatnya yang sejati. Apa sumber dari manusia? Sri Krishna menjawab dalam Gita, “Mamaivamsho Jeevaloke Jeevabhuta Sanathanaha” (Atma yang kekal dalam semua makhluk adalah bagian dari diri-Ku). Jadi ini adalah bukti bahwa setiap manusia adalah percikan dari Tuhan. Setiap orang berasal dari Tuhan, dengan telah lahir dari Atma, engkau seharusnya selalu merenungkan pada diri yang sejati. Engkau akan menjadi cemas dan menghadapi kesulitan jika engkau melupakan Atma. Jadi jangan pernah melupakan asalmu yang sesungguhnya. Miliki keyakinan pada diri sejati; hormati dan jadikan dasar dari hidupmu. Ini adalah Dharma (kewajiban) engkau harus patuhi. Engkau mungkin mendapatkan kekuasaan, kekayaan, dan kesejahteraan, namun hanya keyakinan pada diri sejati yang akan melindungimu. (Divine Discourse, Feb 22, 2001)

-BABA