Sunday, August 31, 2014

Thought for the Day - 31st August 2014 (Sunday)

No one will like the one who is conceited and egotistic. Even your spouse and your own children, though they may appear to respect you externally, will not be happy with you, when you are an arrogant person. Not just that, as long as you are filled with ego, it is highly unlikely that you will really be happy. Therefore at the very outset, you should get rid of your ego (ahamkara). So too, when you are filled with anger, you cannot experience joy; you are bound to be miserable. Only when you subdue anger you will be able to experience happiness. Similarly, when you are filled with insatiable desires, you will not really feel wealthy. The moment you give up desires, all riches will come to you. If you stay greedy, you will be a stranger to happiness. Give up greed, and you will feel endowed with all riches.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan orang yang sombong dan egois. Bahkan pasanganmu dan anak-anakmu sendiri, meskipun mereka mungkin tampak menghormatimu secara eksternal, mereka tidak akan senang denganmu, ketika engkau adalah orang yang sombong. Tidak hanya itu, selama engkau dipenuhi dengan ego, engkau tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Oleh karena itu, pertama kali engkau harus menyingkirkan ego-mu (ahamkara). Demikian juga, ketika engkau dipenuhi dengan kemarahan, engkau tidak dapat mengalami kebahagiaan; engkau terikat dalam penderitaan. Hanya ketika engkau menundukkan kemarahanmu, engkau akan dapat mengalami kebahagiaan. Demikian pula, ketika engkau dipenuhi dengan keinginan yang tak terpuaskan, engkau tidak akan benar-benar merasa kaya. Saat engkau meninggalkan keinginan, semua kekayaan akan datang padamu. Jika engkau tetap serakah, engkau tidak akan mengenal kebahagiaan. Tinggalkanlah semua keserakahan maka engkau akan merasakan diberkati dengan semua kekayaan. (Divine Discourse, August 25, 1998)

-BABA

Saturday, August 30, 2014

Thought for the Day - 30th August 2014 (Saturday)

In a large gathering, people speak many languages. Each person understands only their language, and wants that they should be spoken to in that language. But there is a language of the heart, which all can understand and all would like to hear. That is the language which I speak, the language that goes from My heart to yours. When heart speaks to heart, it is love that is transmitted without any reservation. Trials, turmoil and thrills - these are constant for all of mankind. The responsive heart listens to these with sympathy and answers with love. Everyone is eager to be happy; everyone wants to work less and gain more, give little and get amply, but no one experiments with the other method, that is, wanting less and giving more. Every want is a shackle that hinders movement, and is a drag on the foot. Reduce wants; live simply, that is the way to happiness.

Dalam sebuah pertemuan besar, orang-orang berbicara dalam banyak bahasa. Setiap orang mengerti hanya bahasa mereka, dan menghendaki bahwa mereka harus berbicara dalam bahasa tersebut. Tetapi ada bahasa hati, yang semua orang bisa memahami dan mendengarnya. Itu adalah bahasa yang Aku sampaikan, bahasa yang berasal dari hati-Ku untukmu. Ketika hati berbicara dengan hati, itulah cinta-kasih yang ditransmisikan tanpa syarat apapun. Godaan, gejolak, dan getaran hati - semuanya ini terus-menerus ada pada semua umat manusia. Hati yang responsif mendengarkan semuanya ini dengan simpati dan menjawabnya dengan cinta-kasih. Setiap orang menginginkan kebahagiaan; semua orang ingin sedikit bekerja dan mendapatkan hasil yang lebih banyak, sedikit memberikan dan mendapatkan hasil yang berlimpah, tetapi tidak ada satupun yang melakukan eksperimen dengan metode lainnya, yaitu, menginginkan sedikit dan lebih banyak memberi. Setiap keinginan adalah belenggu yang menghalangi gerakan, dan merupakan hambatan pada kaki. Kurangilah keinginan; hiduplah dengan sederhana, inilah jalan menuju kebahagiaan. (Divine Discourse, 15 May 1969)

-BABA

Friday, August 29, 2014

Thought for the Day - 29th August 2014 (Friday)

What does the term Ganapathi signify? Ga means intellect (Buddhi). Na means Wisdom (Vijnaana). Ganapathi means the Lord of the intellect and of wisdom. He is also the Lord of all Ganas (spiritual entities). Ganas also symbolise the senses. Ganapathi is thus the Lord of the senses. Hence on this Ganapathi festival, you must purify your mind and offer it to Him. It is only when one is pure that intelligence blossoms. It is only with the blossoming of intelligence that Siddhi (the spiritual goal) is attained. Vinayaka presides over Buddhi and Siddhi (the intellect and spiritual realisation). Siddhi signifies the realisation of Wisdom. That is why the scriptures say that Siddhi and Buddhi are the consorts of Vinayaka, and Kshema (well being) and Ananda (bliss) are His two sons.

Apa arti istilah Ganapathi? Ga berarti kecerdasan (Buddhi). Na berarti Kebijaksanaan (Vijnaana). Ganapathi berarti Tuhan yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan. Beliau juga Tuhan dari semua Ganas (entitas spiritual). Ganas juga melambangkan panca indera. Dengan demikian, Ganapathi adalah Tuhan panca indera. Oleh karena itu pada perayaan Ganapathi ini, engkau harus memurnikan pikiran dan mempersembahkan kemurnian pikiran kepada-Nya. Hanya ketika seseorang memiliki kemurnian maka intelegensi akan mekar. Hanya dengan berkembangnya intelek maka Siddhi (tujuan spiritual) bisa tercapai. Vinayaka memimpin Buddhi dan Siddhi (intelek dan realisasi spiritual). Siddhi menandakan realisasi Kebijaksanaan. Itulah sebabnya Kitab Suci mengatakan, bahwa Siddhi dan Buddhi adalah istri dari Vinayaka, dan Kshema (kesejahteraan) dan Ananda (kebahagiaan) adalah dua anak-Nya. (Divine Discourse, 31 August 1992)

-BABA

Thought for the Day - 28th August 2014 (Thursday)

The stream of life is marked by different stages - in each stage you fall a prey to vices like egoism, jealousy and falsehood instead of cultivating truth, righteousness and humility. During your childhood, you lead an innocent life without being aware of the distinction between the worldly and sacred paths (Preyo and Sreyo Marga). But as age advances, you take to the worldly path, rather than to the sublime path. Plunging into the river of desire, tossed by the waves of delusion, getting immersed in the waters of family life, and submerged by peacelessness and strife, you are swallowed by the whale of discontentment. To turn human life from this mundane existence towards the Divine it is essential to have association with Truth, Sath sangam. Sath refers to that which remains the same regardless of time, place or circumstance. One should associate oneself with this Truth. Merging the consciousness with this Truth you should experience the bliss of such association.

Arus kehidupan ditandai dengan tahapan yang berbeda - dalam setiap tahapan engkau jatuh pada sifat-sifat buruk seperti egoisme, kecemburuan, dan kepalsuan bukan mengembangkan kebenaran, kebajikan, dan kerendahan hati. Selama masa kanak-kanak, engkau menjalani hidup yang tidak berdosa, tidak menyadari perbedaan antara jalan duniawi dan jalan suci (Preyo dan Sreyo Marga). Tetapi dengan perkembangan usia, engkau mengambil jalan duniawi, bukan mengambil jalan yang mulia. Terjun ke sungai keinginan, dilemparkan oleh gelombang delusi, tenggelam di perairan kehidupan keluarga, dan terendam dalam pertentangan dan perselisihan, engkau ditelan oleh ikan paus ketidakpuasan. Untuk mengubah hidup manusia dari fana menuju Ilahi adalah penting untuk memiliki hubungan dengan Kebenaran, Sath sangam. Sath mengacu pada apa yang tetap sama terlepas dari waktu, tempat atau keadaan. Seseorang hendaknya menyatukan dirinya dengan Kebenaran ini. Engkau seharusnya mengalami kebahagiaan dari penyatuan ini karena adanya penyatuan antara kesadaran dengan Kebenaran. (Divine Discourse, 31 Aug 1992)

-BABA

Wednesday, August 27, 2014

Thought for the Day - 27th August 2014 (Wednesday)


The pride of wealth, manpower and youth seems to be predominant presently. Money is inert, it is lifeless. How can it be strong? Its strength or weakness is the reflection of the mindset of the individual. Wealth and education are like pure water. When water is poured in a bottle of a particular colour, the water appears to be of that colour. In the same way, when wealth is in the hands of a wicked person, it will be used only for evil deeds. Money, if it is in the hands of pure hearted people, will be used for noble deeds. Hence the usage of wealth or knowledge is dependent on the character of the person in whose hands it is. Money is not bad. The intent with which you use money should be for good. Use spirituality to streamline the focus of your mind towards good.
Kebanggaan akan kekayaan, kekuatan manusia, dan pemuda nampaknya dominan saat ini. Uang itu inert (tidak memiliki kemampuan atau kekuatan), uang tidak bernyawa. Bagaimana ia bisa menjadi kuat? Kekuatan atau kelemahannya adalah refleksi dari pola pikir individu. Kekayaan dan pendidikan dapat diibaratkan seperti air murni. Ketika air dituangkan ke dalam botol berwarna tertentu, air menjadi seperti warna tersebut. Dengan cara yang sama, ketika kekayaan berada di tangan orang yang jahat, maka kekayaan itu akan digunakan hanya untuk perbuatan jahat. Uang, jika berada di tangan orang yang hatinya murni, maka uang itu akan digunakan untuk perbuatan mulia. Oleh karena itu penggunaan kekayaan atau pengetahuan tergantung pada karakter orang yang memegangnya. Uang tidaklah buruk. Maksud/tujuan engkau menggunakan uang tersebut hendaknya untuk kebaikan. Gunakanlah spiritualitas untuk meningkatkan fokus pikiranmu menuju hal-hal yang baik (My Dear Students, Vol 3, Ch 7, July 9 1989)

-BABA

Tuesday, August 26, 2014

Thought for the Day - 26th August 2014 (Tuesday)


Today there is much controversy and conflict that brews amongst all religions. There is nothing wrong with any religion. All religions are here to teach good sense. All religions propose the same Truth; they adore the same One God and the essence of all texts is the same. Hence every being must depend upon their own sanctity and morality, and try to nurture them. Morality is the lamp within every individual. Without this lamp, there will only be darkness around. This is the essence of the chant, “Lead us from untruth to truth, from darkness to light, and from death to immortality (Asathoma Sadgamaya, Tamasoma Jyothirgamaya, Mruthyorma Amrutham Gamaya)”. Sages searched for God and finally declared that they have identified Him and have known Him. Where did they see God? It is within their hearts. They said that they saw the Absolute Being who is beyond all darkness.
Saat ini ada banyak kontroversi dan konflik yang timbul antara semua agama. Tidak ada yang salah dengan agama apapun. Semua agama mengajarkan akal sehat. Semua agama menganjurkan Kebenaran yang sama; mereka memuja Tuhan yang sama dan esensi dari semua kitab suci  adalah sama. Oleh karena itu setiap orang harus bergantung pada kesucian dan moralitas mereka sendiri, dan mencoba untuk memeliharanya. Moralitas adalah pelita dalam setiap individu. Tanpa pelita ini, hanya akan ada kegelapan. Inilah inti dari mantra, "Bimbinglah kami dari ketidakbenaran menuju kebenaran, dari kegelapan menuju cahaya, dan dari kematian menuju keabadian (Asathoma Sadgamaya, Tamasoma Jyothirgamaya, Mruthyorma Amrutham Gamaya)". Orang bijaksana mencari Tuhan dan akhirnya menyatakan bahwa mereka telah mengidentifikasi Beliau dan telah mengenal-Nya. Di mana mereka melihat Tuhan? Dalam hati mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka melihat Yang Absolute (Tuhan) yang melampaui segala kegelapan (My Dear Students, Vol 2, Ch 16, July 23, 1989)


-BABA

Monday, August 25, 2014

Thought for the Day - 25th August 2014 (Monday)

There are four goals (Purusharthas) in the world that people aspire for. They are Righteousness (Dharma), Wealth (Artha), Desire (Kama) and Liberation (Moksha). Realising God is the worthiest and highest goal in life. When such God is seen, realised and a close relationship is established with Him, the happiness one enjoys then, that state of liberation, that principle of love has been called as devotion of the highest order (Para Bhakthi). This devotion is liberation itself; it is attaining oneness with God. Liberation is the ability to look for unity in diversity, rather than calling out the obvious differences. Attaining Parabhakthi is not easy. It is definitely possible for those who yearn and work towards it. Do not get confused that you are unique and others are different. You will be in doubt if you miss the principle of unity in your daily lives. So long as there is doubt, you cannot realize the eternal truth.

Ada empat tujuan (purushartha) di dunia yang diinginkan oleh orang-orang. Keempatnya adalah Kebajikan (Dharma), Kekayaan (Artha), Keinginan (Kama), dan Pembebasan (Moksha). Menyadari Tuhan adalah tujuan yang paling berharga dan tertinggi dalam hidup. Ketika Tuhan bisa dilihat, disadari, dan terbentuk hubungan yang dekat dengan-Nya, maka seseorang akan menikmati kebahagiaan. Keadaan pembebasan dan prinsip cinta-kasih yang seperti itu disebut sebagai pengabdian tingkat tertinggi (Para Bhakthi). Pengabdian ini adalah pembebasan itu sendiri; yaitu mencapai kesatuan dengan Tuhan. Pembebasan adalah kemampuan untuk mencari kesatuan dalam keberagaman, bukan mencari perbedaan. Mencapai Parabhakthi tidaklah mudah. Hal ini dimungkinkan bagi mereka yang menginginkannya dan bekerja ke arah itu. Janganlah bingung bahwa engkau unik dan orang lain berbeda. Engkau akan berada dalam keraguan jika engkau kehilangan prinsip kesatuan dalam kehidupan sehari-hari. Selama ada keraguan, engkau tidak dapat menyadari kebenaran sejati. (My Dear Students, Vol 3, Ch 7, July 9 1989)

-BABA

Sunday, August 24, 2014

Thought for the Day - 24th August 2014 (Sunday)

All five elements are present in the human form. From the Element of Space, emotions, prejudices, apprehensions, shyness and the like are born. The Element of Air within the body causes the reflexes and movements like walking, respiration, etc. Hunger, thirst, sleep and fear are aspects of Fire. Blood, mucus and saliva emanates from the Element of Water. Finally skin, muscles, veins, bones and nails are the aspects representing the Earth Element. When you internalise this truth, who can argue, “This is mine, that is yours”, “I am greater, you are inferior” and so on. Anyone who speaks thus is dull-headed, unable to appreciate and see the reality. If only they have a deeper understanding, they can comprehend the truth in creation. Never be bogged down by the prevailing times or circumstances. That will amount to leading a narrow life. Develop an expansive way of life and carefully tread the path, that is ever new, holy and eternal.

Kelima unsur ada dalam wujud manusia. Dari Elemen Space/Angkasa, melahirkan emosi, prasangka, kekhawatiran, rasa malu, dan sejenisnya. Unsur Udara dalam tubuh menyebabkan refleks dan gerakan seperti berjalan, pernapasan, dll. Rasa lapar, haus, mengantuk, dan ketakutan merupakan aspek dari Api. Darah, lendir, dan air liur berasal dari Elemen Air. Akhirnya kulit, otot, pembuluh darah, tulang, dan kuku merupakan aspek yang mewakili Elemen Bumi. Ketika engkau menginternalisasi kebenaran ini, siapa saja bisa berargumen, "Ini milikku, itu milikku", "Aku lebih tinggi, engkau lebih rendah" dan seterusnya. Siapapun yang berbicara demikian adalah orang yang berpikiran rendah, tidak dapat menghargai dan melihat kenyataan. Kalau saja mereka memiliki pemahaman yang lebih dalam, mereka dapat memahami kebenaran dalam penciptaan. Jangan terhambat oleh waktu atau keadaan yang berlaku, itu sama dengan menjalani kehidupan yang sempit. Kembangkanlah jalan hidup yang luas dan dengan hati-hati menapaki jalan itu, yang selalu baru, suci dan abadi. (My Dear Students, Vol 2, Ch 16, July 23, 1989)

-BABA

Saturday, August 23, 2014

Thought for the Day - 23rd August 2014 (Saturday)


A scabbard is a sheath for the sword. Rice is sheathed in a husk. A tamarind seed is sheathed by tamarind pulp, which in turn is sheathed by the outer shell. Thus when one thing hides another thing and its identity, it is called as a Sheath. Every human body is made up of five sheaths – The Annamaya (food) Kosha sheath covers the Pranamaya (life) Kosha. Pranamaya sheath covers Manomaya (mind) Kosha, which in turn covers Vijnanamaya (intellect) Kosha. The Anandamaya (bliss) Kosha is the kernel hidden in Vijnanamaya Kosha, wherein the soul resides. Thus the Divine Soul is safely secured within each being without exception. Hence, everyone has the equal right and opportunity to seek the soul within them. But then one has to feel an urge to attain it and direct their activities towards it. By birth, the urge to attain and experience the Atmic status has been gifted to everyone, automatically.

Sebuah sarung pedang adalah selubung bagi pedang. Beras dilapisi dengan sekam/kulit ari. Biji asam dilapisi dengan daging buah asam, dan pada akhirnya dilapisi dengan kulit terluar. Jadi ketika satu hal menyembunyikan hal lain dan identitasnya, hal itu disebut sebagai pelindung/selubung. Badan manusia terdiri dari lima lapisan - Lapisan Annamaya (makanan) Kosha menutupi Pranamaya (hidup) Kosha. Lapisan Pranamaya menutupi Manomaya (pikiran) Kosha, yang pada akhirnya menutupi Vijnanamaya (intelek) Kosha. Anandamaya (Kebahagiaan) Kosha adalah kernel/inti yang tersembunyi dalam Vijnanamaya Kosha, dimana jiwa berada. Dengan demikian Divine Soul dilindungi dengan aman dalam setiap makhluk tanpa kecuali. Oleh karena itu, setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencari jiwa yang ada dalam diri mereka. Tetapi kemudian kita harus merasakan dorongan untuk mencapai itu dan mengarahkan kegiatan mereka ke arah itu. Dengan kelahiran, secara otomatis, dorongan untuk mencapai dan mengalami status atma telah diberikan bagi semua orang.(My Dear Students, Vol 2, Ch 16, July 23, 1989)
-BABA

Thursday, August 21, 2014

Thought for the Day - 21st August 2014 (Thursday)

Priyam, Modam and Pramodam are three types of happiness. For example, when you recall your favourite fruit, you experience some happiness. When you spot the fruit in the market, you feel greater joy! (Modam). Finally, when you procure the fruit and relish it, it gives the greatest joy! (Pramodam). Thus, Priyam is the pleasantness or happiness that arises due to the affection you have on a particular thing, person or object. Modam is the happiness you experience when you come in contact with the things you like. Pramodam is the ecstasy, the real happiness you experience when you actually enjoy the object of your liking. Similarly, the thrill you experience by knowing God’s powers – the manifestation of His Divinity and His love from scriptures and epics is called Priyam. When you put into practice what you heard, you derive the happiness of Modam. You experience Pramodam, the everlasting state of joy and bliss, when you are in Union with God.


Priyam, Modam, dan Pramodam adalah tiga jenis kebahagiaan. Sebagai contoh, ketika engkau ingat dengan buah favorit-mu, engkau mengalami kebahagiaan. Ketika engkau melihat buah tersebut di pasar, engkau merasakan sukacita yang lebih besar! (Modam). Akhirnya, ketika engkau mendapatkan buah tersebut dan menikmati buah tersebut, hal tersebut memberikan sukacita terbesar! (Pramodam). Dengan demikian, priyam adalah kenikmatan atau kebahagiaan yang timbul karena rasa cinta yang engkau miliki pada hal tertentu, orang, atau benda. Modam adalah kebahagiaan yang engkau alami ketika engkau bersinggungan dengan hal-hal yang engkau suka. Pramodam adalah ekstasi/kebahagiaan yang luar biasa, kebahagiaan sejati yang engkau alami ketika engkau benar-benar menikmati objek sesuai dengan keinginanmu. Demikian pula, dengan getaran yang engkau alami dengan mengetahui kekuatan Tuhan - manifestasi dari ketuhanan-Nya dan kasih-Nya dari kitab suci dan epos disebut dengan priyam. Bila engkau mempraktikkan apa yang engkau dengar, engkau memperoleh kebahagiaan Modam. Engkau mengalami Pramodam, sukacita dan kebahagiaan abadi, ketika engkau menyatu dengan Tuhan.(My Dear Students, Vol 2, Ch 16, July 23, 1989.)
-BABA

Wednesday, August 20, 2014

Thought for the Day - 20th August 2014 (Wednesday)

The easiest means to achieve love for God is to worship God as having a form. Worship of God is of three important types: Satvic, Rajasic and Tamasic. In the Tamasic form of worship, the individual prays to God but continues violence, anger and pomp, causing pain. Any worship that is done for the sake of name, fame, with pomp and ego is called the Tamasic worship. Rajasic worship is done for the sake for fulfilling selfish interests and to attain great heights in one’s life. Devotion with the feeling that one alone should be safe, happy and should be blessed involves utter selfishness. Such a devotee does not even aspire or think about the well-being of the family or the society. A Satvic devotee performs all daily tasks to please God, with total surrender and offers all tasks performed during the day as loving service to God. 

Cara termudah untuk mencapai cinta-kasih Tuhan adalah dengan memuja salah satu wujud Tuhan. Ada tiga jenis yang penting dalam memuja Tuhan: Satvik, Rajasik, dan Tamasik. Pemujaan dalam bentuk Tamasik, individu berdoa kepada Tuhan tetapi terus melakukan kekerasan, kemarahan dan kesombongan, serta menyebabkan penderitaan. Setiap pemujaan yang dilakukan demi nama, ketenaran, dengan keangkuhan dan ego disebut pemujaan Tamasik. Pemujaan Rajasik dilakukan demi untuk memenuhi kepentingan sendiri dan untuk mencapai kemasyuran dalam kehidupan seseorang, pengabdian dengan perasaan bahwa hanya menginginkan keselamatan dan kebahagiaan, bagi dirinya sendiri. Bhakta yang seperti itu bahkan tidak menginginkan atau berpikir tentang kesejahteraan keluarga atau masyarakat. Seorang bhakta yang Satvik melakukan semua tugas-tugas harian untuk menyenangkan Tuhan, dengan pasrah total dan mempersembahkan semua tugas yang dilakukan  hari itu sebagai pelayanan kasih kepada Tuhan. (My Dear Students, Vol 3, Ch 7, July 9 1989.)
-BABA

Tuesday, August 19, 2014

Thought for the Day - 19th August 2014 (Tuesday)

You must welcome both summer and winter, for they are both essential for the process of living. The alternation of seasons toughens and sweetens us. Birth and death are both natural events. We cannot discover the reason for either birth or death. They simply happen. Hence we must learn to welcome the field of natural ups and downs (Prakrithika). The second is the field of social equanimity: We often try to blame some person or some incident for the injury or loss we suffer but the real reason is our own karma (action). When the background of the event is known, the impact can be lessened or even negated. Hence you must welcome with equal-mindedness fame and blame, respect and ridicule, profit and loss, and such other responses and reactions from the society in which one has to grow and struggle.

Engkau harus menyambut dengan baik musim panas dan musim dingin, karena keduanya penting dalam proses kehidupan. Pergantian musim menguatkan dan membuat menjadi lebih menarik. Kelahiran dan kematian keduanya merupakan peristiwa alam. Kita tidak bisa menemukan alasan baik untuk kelahiran atau kematian. Kelahiran dan kematian terjadi secara alami. Oleh karena itu kita harus belajar untuk menyambut pasang surut (Prakrithika) yang secara alami terjadi. Yang kedua adalah ketenangan hati: Kita sering mencoba untuk menyalahkan seseorang atau beberapa kejadian untuk penderitaan atau kehilangan yang kita alami tetapi alasan sebenarnya adalah karma kita sendiri (tindakan). Ketika latar belakang kejadian ini diketahui, dampaknya dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan. Oleh karena itu engkau harus menyambut dengan pikiran yang sama antara pujian dan celaan, rasa hormat dan ejekan, laba dan rugi, dan tanggapan serta reaksi lainnya dari masyarakat di mana kita harus tumbuh dan berjuang. (Divine Discourse, Sep 7, 1985)

-BABA

Monday, August 18, 2014

Thought for the Day - 18th August 2014 (Monday)

All have faith in the power of love. But how is this love to be fostered and developed? This question may arise in the minds of many. When people ask, "How can we develop our love for the Lord?" The answer is: "There is only one way. When you put into practice the love in which you have faith, that love will grow." Because you do not practise what you profess, your faith gets weakened. A plant will grow only when it is watered regularly. When you have planted the seed of love, you can make it grow only by watering it with love every day. The tree of love will grow and yield the fruits of love. Often people today do not perform those acts which will promote love. When you wish to develop love for the Lord, you must continually practice loving devotion to the Lord.

Semua orang memiliki keyakinan pada kekuatan cinta. Tetapi bagaimana cinta-kasih ini dibina dan dikembangkan? Pertanyaan ini mungkin timbul di benak banyak orang. Ketika orang bertanya, "Bagaimana kita bisa mengembangkan cinta-kasih kita kepada Tuhan?" Jawabannya adalah: "Hanya ada satu cara bila engkau mempraktikkan cinta-kasih, di mana engkau memiliki keyakinan, cinta-kasih itu akan tumbuh." Karena engkau tidak mempraktikkan apa yang engkau anut, keyakinanmu akan melemah. Sebuah tanaman hanya akan tumbuh bila disiram secara teratur. Bila engkau telah menanam benih cinta-kasih, engkau dapat membuatnya tumbuh hanya dengan menyiraminya dengan cinta-kasih setiap hari. Pohon cinta-kasih akan tumbuh dan menghasilkan buah cinta-kasih. Sering kali orang saat ini tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan cinta-kasih. Bila engkau ingin mengembangkan kasih pada Tuhan, engkau harus terus-menerus mempraktikkan pengabdian penuh kasih kepada Tuhan. (Divine Discourse, Sep 2, 1991)

-BABA

Sunday, August 17, 2014

Thought for the Day - 17th August 2014 (Saturday)

One of the meanings of the name ‘Krishna’ is: ‘The one who cultivates the land of the heart’. Krishna draws people, sows, grows and harvests love in broken hearts, conferring supreme delight. Lord Krishna loved cattle and tended the cows. While His brother Balarama had the plough as his inseparable weapon. The plough is not a destructive weapon; it is a tool that helps agriculture that feeds humanity. So both of them give themselves to all living beings. The message for you is: “Apply your knowledge into practice and harvest essentials that elevate all beings.” Always question yourself: "How have I contributed to the happiness of my fellow beings?" Expand your heart; let your love enfold everyone. Maintain self-respect. Develop self-confidence. Krishna is also worshipped as Gopala (Go refers to living beings). So when you serve fellowmen and all beings with selfless love and compassion, you are offering to Krishna the worship He most gladly accepts and He will bestow grace on you.

Salah satu arti dari nama 'Krishna' adalah: 'Yang mengolah ladang hati'. Krishna menarik orang-orang, menabur benih, memelihara, dan memanen cinta-kasih pada hati yang rusak, serta menganugerahkan kebahagiaan tertinggi. Krishna menyayangi dan memelihara sapi. Sementara Saudaranya Baladewa memiliki bajak sebagai senjata yang tak terpisahkan darinya. Bajak bukanlah senjata yang bisa menghancurkan; bajak adalah alat yang membantu pertanian yang dapat memberi makanan pada manusia. Jadi keduanya memberikan diri mereka kepada semua makhluk hidup. Pesan untukmu adalah: "Gunakanlah pengetahuanmu dalam praktik maka engkau akan mendapatkan hasil panen yang bisa meningkatkan semua makhluk." Engkau hendaknya selalu bertanya kepada dirimu sendiri: "Apa yang bisa saya sumbangkan untuk kebahagiaan sesama saya?" Kembangkanlah hatimu; biarlah cinta-kasihmu merangkul semua orang. Jagalah harga dirimu, kembangkanlah rasa percaya diri. Krishna juga dipuja sebagai Gopala (Go mengacu pada makhluk hidup). Jadi, ketika engkau melayani sesama dan semua makhluk dengan cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, engkau mempersembahkan pada Sri Krishna apa yang paling Beliau senangi dan Beliau akan melimpahkan rahmat padamu. (Divine Discourse, Sep 7, 1985)

-BABA

Saturday, August 16, 2014

Thought for the Day - 16th August 2014 (Saturday)

In ancient times, the sages performed rigorous penance in the forests, living among wild animals. With no weapons in their hands, they relied on their spirit of love to protect them. They performed their penance with love for all beings. Their love transformed even the wild animals to be at peace with the sages. Love transformed even tigers into friendly beings. People in those days had soft and loving hearts. Thus since time immemorial, love has been serving as a powerful force to transform one's nature from the animal to the human. Today because people have lost the feeling of love, they are filled with selfishness and greed. It is to teach mankind the truth about this Divine Love that Love itself incarnates on earth in human form. The scriptures declare that the Divine descends on earth to teach mankind the path of Righteousness, Truth and Love.

Pada zaman dahulu, para bijaksana melakukan penebusan dosa yang keras di hutan, hidup di antara binatang liar. Tanpa senjata di tangan mereka, mereka mengandalkan spirit cinta-kasih untuk melindungi diri mereka. Mereka melakukan penebusan dosa mereka dengan cinta-kasih bagi semua makhluk. Cinta-kasih mereka mengubah bahkan binatang liar bisa hidup damai dengan mereka. Cinta-kasih mereka bahkan bisa mengubah harimau menjadi makhluk yang ramah. Orang-orang pada masa itu memiliki hati yang lembut dan penuh kasih. Jadi sejak jaman dahulu, cinta-kasih telah menjadi suatu kekuatan untuk mengubah sifat seseorang dari hewan ke manusia. Saat ini karena orang-orang telah kehilangan rasa cinta-kasih, mereka penuh dengan keegoisan dan keserakahan. Ini untuk mengajarkan manusia kebenaran tentang Cinta-kasih Tuhan bahwa Cinta-kasih itu sendiri menjelma di bumi dalam bentuk manusia. Kitab suci menyatakan bahwa Tuhan turun ke bumi untuk mengajarkan manusia jalan Kebajikan, Kebenaran, dan Cinta-kasih. (Divine Discourse, Sep 2, 1991)

-BABA

Friday, August 15, 2014

Thought for the Day - 15th August 2014 (Friday)


In three situations, you do not have freedom: the discharge of duties (karthavyam), actions done under compulsion (nirbandham) and obligatory actions arising out of certain relationships (sambandham). If a poor man, unable to get food, resorts to stealing, he cannot claim that he is exercising his freedom to appease his hunger. Even if, for his own selfish reasons, he may try to justify the stealing, his conscience will tell him that he is committing wrong. Any action performed against one’s conscience is not an act of freedom. True freedom happens only when one is free from the impulses of the mind. Freedom (Swechcha) is made up of the words: Swa + ichcha. ‘Swa’ means Atma. Only when the will of the Atma prevails can there be real freedom. God and you are not separate. This oneness should not be a mere intellectual concept. It should be a living reality. Then you will experience true freedom - the freedom of the Spirit.


Dalam tiga situasi, engkau tidak memiliki kebebasan dalam hal: melaksanakan kewajiban (karthavyam), bekerja di bawah paksaan (nirbandham), dan tindakan wajib yang timbul dari hubungan tertentu (sambandham). Jika orang miskin tidak mampu untuk mendapatkan makanan, ia mengambil jalan untuk mencuri, ia tidak bisa menyatakan bahwa ia melaksanakan kebebasan untuk menenangkan rasa laparnya. Bahkan jika untuk alasan kepentingannya sendiri, ia mungkin mencoba untuk membenarkan pencurian tersebut, hati nuraninya akan mengatakan kepadanya bahwa ia melakukan kesalahan. Setiap tindakan yang dilakukan melawan hati nurani seseorang bukanlah sebuah tindakan kebebasan. Kebebasan sejati hanya terjadi ketika seseorang bebas dari impuls/dorongan pikiran. Kebebasan (Swechcha) terdiri dari kata-kata: Swa + ichcha. 'Swa' berarti Atma. Hanya ketika kehendak dari Atma yang berlaku, maka kebebasan menjadi nyata. Tuhan dan engkau tidak terpisah. Kesatuan ini seharusnya tidak menjadi konsep intelektual belaka. Ini harus menjadi kenyataan hidup. Maka engkau akan mengalami kebebasan sejati. (Divine Discourse, May 31, 1990)
-BABA

Thursday, August 14, 2014

Thought for the Day - 14th August 2014 (Thursday)

The external is the creation of the internal. Brahmam manifested itself as the Universe. God created the world; the world conferred the glory of 'Creator' on God. Through his yearning, imagination and intensity man endowed God with a form and name, and a bunch of attributes from which he hopes to benefit. But, God is above and beyond human traits and characteristics known as Gunas. Krishna told Arjuna in the Bhagavad Gita, "I have no need to engage Myself in any activity. But yet, I am busy acting, in order to promote the well-being of the Universe." The Gita refers to its chapters as Yoga. Yoga means union of the Self with its source. How do the eighteen chapters, each a Yoga, help man to fulfill his destiny? The Gita provides the answer: "Samathvam Yogam Uchyathe" (Yoga is being in a state of equal-mindedness or equanimity).

Dunia eksternal adalah dunia internal. Brahmam menjelma sebagai alam semesta. Tuhan menciptakan dunia; dunia diberikan kemuliaan oleh Tuhan 'Sang Pencipta'. Melalui kerinduannya, imajinasi, dan intensitasnya, manusia yang diberkahi Tuhan dengan wujud dan nama, dan sekelompok atribut yang ia harapkan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi, Tuhan berada di atas dan di luar sifat manusia dan karakteristik yang dikenal sebagai Guna. Sri Krishna mengatakan kepada Arjuna dalam Bhagavad Gita, "Aku tidak perlu melibatkan Diri-Ku dalam aktivitas apapun. Meskipun demikian, Aku sibuk bekerja, untuk meningkatkan kesejahteraan alam semesta." Gita mengacu pada bab ini sebagai Yoga. Yoga berarti penyatuan Atma dengan sumber-Nya. Bagaimana delapan belas bab, masing-masing Yoga, membantu manusia untuk memenuhi takdirnya? Gita memberikan jawabannya: "Samathvam Yogam Uchyathe" (Yoga berada dalam keadaan pikiran yang sama atau keseimbangan batin). (Divine Discourse, Sep 7, 1985)

-BABA

Wednesday, August 13, 2014

Thought for the Day - 13th August 2014 (Wednesday)

The Supreme Lord can assume countless forms including that of the entire cosmos. Hence scriptures declare, "The entire cosmos is God’s dwelling. All are forms of the Divine." Seeing a Divine Incarnation people doubt whether God has such miraculous powers while He has the same body as themselves. People who find it difficult to perceive their oneness with the Self (Atma), fail to recognise the Avatar. Such people reviled Lord Krishna as a philanderer and a thief. Such accusations, born of delusion, will never undermine His greatness. Lord Krishna's leelas were intended to reveal His Divinity. People make the same mistake about themselves; forgetting their inherent Divinity, they identify themselves with their bodies. Lord Krishna’s Avatar is to teach mankind to transcend their body consciousness. 

Tuhan Yang Maha Esa dapat mengambil bentuk yang tak terhitung jumlahnya termasuk dari seluruh alam semesta. Oleh karena itu kitab suci menyatakan, "Seluruh alam semesta merupakan kediaman Tuhan. Semuanya adalah wujud Tuhan." Melihat inkarnasi Tuhan, orang-orang ragu apakah Tuhan memiliki kekuatan yang menakjubkan seperti saat Beliau memiliki badan yang sama sebagai diri mereka. Orang-orang yang merasa sulit untuk memahami kesatuan mereka dengan Atma, gagal untuk mengenali Avatar. Orang-orang seperti itu mencerca Sri Krishna sebagai yang pandai memikat wanita dan sebagai seorang pencuri. Tuduhan tersebut, muncul dari khayalan, tidak akan merusak kebesaran-Nya. Leela Sri Krishna dimaksudkan untuk mengungkapkan sifat ketuhanan-Nya. Orang-orang membuat kesalahan yang sama tentang diri mereka sendiri; melupakan Divinity yang melekat pada mereka, mereka mengidentifikasi diri sebagai badan jasmani mereka. Avatar Sri Krishna bertujuan untuk mengajarkan manusia untuk mengatasi diri mereka akan kesadaran pada badan jasmani mereka. (Divine Discourse, Aug 28, 1994)
-BABA

Tuesday, August 12, 2014

Thought for the Day - 12th August 2014 (Tuesday)

Tell your hand, “Oh hand, how sacred you are? You are unity personified. One finger cannot lift a cup; when one finger moves to pick it up, all of you, though different in sizes and shape, rush to help and hold the cup! You don’t care for or observe any difference. Such is the unity inherent in you, amongst your fingers. Oh hand, you are very helpful in preserving the human body, you remove troubles through your hard work and you help others. Why do you sometimes act in a manner that develops enmity? Today there is no unity in any congregation, society or religion. However, you know no hatred. Please never indulge in wrong actions.” Thus instruct and guide your hand so that your actions become sacred. When your thoughts, words and deeds are sanctified, all the other instruments also follow suit and thus you attain liberation.

Katakan kepada tanganmu, "Oh tangan, betapa sucinya engkau? Engkau melambangkan kesatuan. Satu jari tidak akan bisa mengangkat sebuah cangkir; ketika salah satu jari bergerak untuk mengambilnya, kalian semua, meskipun berbeda dalam ukuran dan bentuk, buru-buru untuk membantu dan memegang cangkir tersebut! Engkau tidak peduli atau tidak memperhatikan adanya perbedaan. Itulah kesatuan yang melekat dalam dirimu, di antara jari-jarimu. Oh tangan, engkau sangat membantu dalam menjaga/merawat badan manusia, engkau menghapus masalah melalui kerja keras-mu dan engkau membantu orang lain. Mengapa engkau kadang-kadang bertindak dengan cara yang mengembangkan permusuhan? Saat ini tidak ada kesatuan dalam kemanusiaan, masyarakat, atau agama. Walaupun demikian, engkau tahu tidak ada kebencian. Jangan pernah melakukan tindakan yang salah."Jadi, latihlah dan bimbinglah tanganmu sehingga tindakanmu menjadi suci. Ketika pikiran, kata-kata, dan perbuatan-mu suci, semua instrumen lainnya juga mengikuti dan dengan demikian engkau akan mencapai pembebasan. (My Dear Students, Vol 5, Ch 2, Mar 9, 1993)

-BABA

Monday, August 11, 2014

Thought for the Day - 11th August 2014 (Monday)



Love is a precious diamond that can be got only in the realm of love and nowhere else. The kingdom of Love is located in every love-filled heart. Love can be experienced only in a mind flowing with love. The precious diamond of Love cannot be obtained merely through meditation or following prescribed sacred rituals. At best they only give mental satisfaction. The greater your love for God, the greater is the bliss you experience. When love declines in you, your joy also declines proportionally. Hence you must fill your heart with love for God. Love will not enter your heart if it is already filled with selfishness and self-conceit. Hence forget your petty self and concentrate your thoughts on God. If you love God, you will see Him everywhere. The essence of all spiritual disciplines is contained in Love.


Cinta-kasih adalah berlian berharga yang hanya bisa didapatkan dalam dunia cinta-kasih dan bukan di tempat lainnya dimanapun. Kerajaan Cinta-kasih terletak di setiap hati yang penuh dengan cinta-kasih. Cinta-kasih hanya dapat dialami dalam pikiran yang mengalir cinta-kasih. Berlian berharga Cinta-kasih tidak dapat diperoleh hanya melalui meditasi atau mengikuti ritual-ritual suci. Meditasi dan ritual-ritual suci ini hanya akan memberikan kepuasan mental. Semakin besar cinta-kasihmu kepada Tuhan, semakin besar kebahagiaan yang engkau alami. Ketika cinta-kasih dalam dirimu mengalami penurunan, kebahagiaanmu juga akan menurun secara proporsional. Oleh karena itu, engkau harus mengisi hatimu dengan cinta-kasih Tuhan. Cinta-kasih tidak akan masuk ke dalam hatimu jika hatimu sudah penuh dengan keegoisan dan keangkuhan diri. Oleh karena itu lupakanlah hal-hal kecil yang bersifat remeh dan konsentrasikan pikiranmu pada Tuhan. Jika engkau mengasihi Tuhan, engkau akan melihat Beliau ada di mana-mana. Inti dari semua disiplin ilmu spiritual adalah di dalamnya terkandung Cinta-kasih. (Divine Discourse, Sep 2, 1991)
-BABA

Sunday, August 10, 2014

Thought for the Day - 10th August 2014 (Sunday)

The Reality which sustains the cosmos and the cell is one, the all-pervasive Consciousness (Brahmam). When this infinite vastness is related to the cosmos, it is called the ‘Supreme Divine’ (Paramatma). It is called Atma when it is considered as the core of individual beings. All three are one entity, but they 'appear' different and delude the short-sighted. This characteristic is known as Maya. The Supreme Power uses the three Gunas, serenity (Satwa), activity (Rajas) and inertia (tamas) to express Itself differently. The Gunas urge a person towards knowing, desiring or working. When Maya impels Brahmam to project itself, leveraging Satwa Guna, it appears as Eshwara or God. Brahmam projects itself as living beings (Jivi) leveraging Rajo Guna. It becomes Nature (Prakriti) when associated with Tamo Guna. Thus Brahmam is the basis of all three – Nature, Living Beings and God. Maya is the mirror in which Brahmam is reflected.

Realitas yang menopang kosmos dan sel adalah satu, semuanya meresapi kesadaran (Brahmam). Ketika luasnya yang tak terbatas ini terkait dengan kosmos, hal itu disebut 'Maha Ilahi' (Paramatma), dan ketika dianggap sebagai inti dari makhluk individu, disebut dengan Atma. Ketiganya adalah satu kesatuan, tetapi mereka 'muncul' berbeda dan memperdaya pandangan kita. Karakteristik ini dikenal sebagai Maya. Maha Daya menggunakan ketiga guna, yaitu ketenangan (Satwa), aktivitas (Rajas), dan inersia (tamas) untuk mengekspresikan dirinya berbeda. Guna mendesak seseorang menuju mengetahui, menginginkan, atau bekerja. Ketika Maya mendorong Brahmam memproyeksikan dirinya sendiri, memanfaatkan Satwa Guna, muncul Eshwara atau Tuhan. Brahmam memproyeksikam dirinya sebagai makhluk hidup (Jivi) memanfaatkan Rajo Guna. Menjadi Alam (Prakriti) bila dikaitkan dengan Tamo Guna. Dengan demikian Brahmam adalah dasar dari ketiganya - Alam semesta, Makhluk hidup, dan Tuhan. Maya adalah cermin di mana Brahmam tercermin. (Divine Discourse, Sep 7, 1985)

-BABA

Saturday, August 9, 2014

Thought for the Day - 9th August 2014 (Saturday)

The foundation for everything is morality. Without moral values, humanity cannot survive. Often, people of different religions hold on to different objectives and are unable to see the underlying reality, and as a result have different opinions. For example: one says a rupee consists of 4 quarter rupees and another says it is 2 half-rupees and the third says it is ten 10 paisa. All these denominations mean the same rupee. Only ignorant people, who become dogmatic and fail to perceive this oneness, imagine differences and resort to criticizing each other. Sacred scriptures have taught that there should be no arguments or debates on religious matters. They must be resolved peacefully. The guidelines of all religions lead to the end goal of Truth and Righteousness.

Dasar bagi semuanya adalah moralitas. Tanpa nilai-nilai moral, kemanusiaan tidak dapat bertahan hidup. Seringkali, orang-orang dari agama yang berbeda berpegang pada tujuan yang berbeda dan tidak dapat melihat realitas yang mendasari, dan sebagai hasilnya memiliki pendapat yang berbeda. Sebagai contoh: seseorang mengatakan satu rupee terdiri dari 4 kali 1/4 rupee, yang lainnya mengatakan satu rupee adalah 2 kali setengah rupee dan yang ketiga mengatakan satu rupee adalah sepuluh kali 10 paisa. Semua denominasi ini berarti rupee yang sama. Hanya orang-orang yang bodoh, yang menjadi dogmatis dan gagal untuk melihat kesatuan ini, membayangkan perbedaan dan mengambil jalan untuk mengkritik satu sama lain. Kitab suci telah mengajarkan bahwa tidak boleh ada argumen atau perdebatan mengenai masalah-masalah agama. Hal tersebut harus diselesaikan secara damai. Pedoman dari semua agama mengarah pada tujuan akhir dari Kebenaran dan Kebajikan. (My Dear Students, Vol 2, Ch 16, Jul 23, 1989)

-BABA

Friday, August 8, 2014

Thought for the Day - 8th August 2014 (Friday)

There is no God other than Truth. What is the difference between Truth and fact? You may put on a coat today and wear a different dress tomorrow. This is not Truth, it is only a fact, because it is subject to change. But Truth always remains the same. The Gita refers to Truth as Ritham. So Truth is not reporting what you see, hear, and experience. What you see and hear is worldly truth. It is not Truth in the strict sense of the word. It is only external truth (pravritti satyam). But the inward Truth (nivritti satyam) remains the same in the past, present, and the future. In this world of plurality, there is the underlying principle of unity. Of all the numbers 1,2, 3, 4.. the most important number is 1. AIl the other numbers are mere modifications of the number 1. 1+1 becomes 2. 9–1 becomes 8. Thus 1 forms the basis for all the numbers. This is the unity in multiplicity, this Unity is the Truth.

Tidak ada Tuhan selain Kebenaran. Apa perbedaan antara Kebenaran dan fakta? Engkau mungkin mengenakan jas hari ini dan mengenakan pakaian yang berbeda keesokan harinya. Ini bukanlah Kebenaran, ini hanya sebuah fakta, karena dapat berubah. Tetapi Kebenaran selalu tetap sama. Gita mengacu pada Kebenaran sebagai Ritham. Jadi Kebenaran tidak melaporkan apa yang engkau lihat, dengar, dan alami. Apa yang engkau lihat dan dengar adalah kebenaran duniawi. Hal ini bukanlah Kebenaran dalam arti kata yang kaku. Ini adalah kebenaran eksternal saja (pravritti satyam). Tetapi Kebenaran batin (nivritti satyam) tetap sama di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Di dunia pluralitas ini, ada prinsip yang mendasari kesatuan. Dari semua angka 1,2,3,4 .. angka yang paling penting adalah 1. Semua angka lainnya adalah modifikasi dari angka 1. 1 + 1 menjadi 2. 9-1 menjadi 8. Jadi 1 membentuk dasar semua angka. Inilah kesatuan dalam keanekaragaman, Unity/kesatuan ini adalah Kebenaran. (Divine Discourse, Sep 11, 1988)

-BABA

Thursday, August 7, 2014

Thought for the Day - 7th August 2014 (Thursday)

No religion ever preached enmity amongst faiths. It is the narrow-mindedness in individuals that gives room for conflicts and differences. Truly speaking, there can be no scope for any such disputes. For example, the word ‘Islam’ means surrender and peace – signifying surrender to God, and a peaceful life with fellow beings. Two words in Quran are important – Salaat and Zakaat; Salaat means adoring God with steadfast devotion, Zakaat means charity to the needy and destitute, and helping fellow beings. Ancient Hindus lived with the motto, “May all the beings in all the worlds be happy” (Lokah Samastha Sukhino Bhavanthu) and “Help Ever, Hurt Never” (Paropakarayah punyaya, papaya para peedanam). Treating such aphorisms as their life breath, people of all religions lived with amity and harmony in the past. They considered truth, peace, love and forbearance as their very life breath.

Tidak ada agama yang mengajarkan permusuhan antar keyakinan. Ini adalah pikiran sempit pada individu yang memberikan ruang untuk konflik dan perbedaan. Sesungguhnya, tidak ada ruang untuk setiap perselisihan tersebut. Misalnya, kata 'Islam' berarti pasrah dan kedamaian - menandakan pasrah kepada Allah, dan hidup damai dengan sesama. Dua kata dalam Quran yang penting - sholat dan zakat; sholat berarti memuja Tuhan dengan penuh bhakti, zakat berarti beramal untuk sesama yang membutuhkan dan miskin, dan membantu sesama makhluk hidup. Hindu memiliki hidup dengan motto, "Semoga semua makhluk di dunia berbahagia" (Lokah Samastha Sukhino Bhavanthu) dan "Selalulah membantu, jangan pernah menyakiti" (Paropakarayah punyaya, pepaya para peedanam). Melaksanakan aforisme seperti itu adalah napas hidup mereka, orang-orang dari semua agama hidup dengan persahabatan dan harmoni di masa lalu. Mereka menganggap kebenaran, kedamaian, cinta-kasih, dan kesabaran sebagai nafas kehidupan mereka. (My Dear Students, Vol 2, Ch 16, Jul 23, 1989)

-BABA

Wednesday, August 6, 2014

Thought for the Day - 6th August 2014 (Wednesday)

“Oh tongue, you are the one selected to enjoy the sweet taste; you speak truth that symbolises sacrifice! You respect yourself and others. Without leaving your home, you attend to your work, without friendship or friction with your neighbours. How sweet are the words you speak? Oh noble one, you recite lovely poems and sing beautiful songs. When any tasty dish or fruit is given to you, you don’t retain it, but immediately send it down the gullet to the stomach. When anything bitter is given, you spit it out, saving the stomach from hardships. You are selfless, derive much joy in sharing and are the epitome of tolerance. You live amidst 32 sharp teeth, but intelligently and tactfully you conduct yourself without getting a single cut. Please don’t slip and utter inappropriate words at any time!” Thus, remind the tongue about its noble qualities and teach it never to lose its reputation by criticising others.

"Oh lidah, kau adalah salah satu yang dipilih untuk menikmati rasa manis; kau berbicara kebenaran yang melambangkan pengorbanan! Engkau menghormati dirimu dan yang lainnya. Tanpa meninggalkan rumahmu, engkau mengurus pekerjaanmu, tanpa persahabatan atau gesekan dengan tetangga-mu. Bagaimana manisnya kata-kata yang engkau ucapkan? Oh yang mulia, engkau membacakan puisi yang indah dan menyanyikan lagu-lagu yang indah. Ketika setiap hidangan atau buah yang lezat diberikan kepadamu, engkau tidak menyimpannya sendiri, tetapi langsung mengirimkannya ke kerongkongan lalu menuju ke perut. Ketika sesuatu yang pahit diberikan, engkau memuntahkannya keluar, menyelamatkan perut dari penderitaan. Engkau tidak mementingkan diri sendiri, mendapatkan banyak sukacita karena berbagi dan merupakan contoh toleransi. Engkau tinggal di tengah-tengah 32 gigi yang tajam, tetapi cerdas dan bijaksana, engkau melakukan tugasmu tanpa terluka. Janganlah engkau sampai tergelincir dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas setiap saat! "Jadi, ingatkanlah lidah tentang sifat-sifat mulia ini dan mengajarkannya agar jangan pernah kehilangan reputasinya dengan mengkritik orang lain. (My Dear Students, Vol 5, Ch 2, Mar 9, 1993)

-BABA

Tuesday, August 5, 2014

Thought for the Day - 5th August 2014 (Tuesday)

Religions are set forth in order that people enjoy the benefits of leading a moral life. Religion is a meritorious system that unifies body, mind and intellect. Integrity or wholesomeness of conduct is morality. Morality is also called as Righteousness (Dharma). Practice of morality alone can help the world attain greater levels of prosperity. All religions have the same goal and establish the same truth. Their fundamental duty is to transform a human being into a divine being. Religion brings out the inner transformation in a human being. It aims at developing self-confidence to lead a good life. All religions are built on the secure foundation of morality. If morality deteriorates, not just religions, but humanity as a whole deteriorates. Every individual must practice being good and lead a moral life. Attainment of wealth and prosperity is possible by practicing moral values.

Agama ditetapkan agar orang-orang memperoleh manfaat dari menjalani kehidupan bermoral. Agama adalah sistem bermanfaat yang menyatukan badan, pikiran, dan intelek/budi. Integritas atau perilaku yang baik adalah moralitas. Moralitas juga disebut sebagai Kebajikan (Dharma). Hanya dengan mempraktikkan moralitas dapat membantu dunia mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih besar. Semua agama memiliki tujuan yang sama dan menegakkan kebenaran yang sama. Tugas pokoknya adalah untuk mengubah manusia menuju ilahi. Agama membawa keluar transformasi batin dalam diri manusia. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan kepercayaan diri untuk menjalani kehidupan yang baik. Semua agama dibangun di atas dasar moralitas. Jika moralitas mengalami kemunduran/kemerosotan, bukan hanya agama, tetapi kemanusiaan secara keseluruhan akan mengalami kemerosotan. Setiap individu harus mempraktikkan kehidupan yang baik dan menjalani kehidupan bermoral. Pencapaian kekayaan dan kemakmuran bisa terwujud dengan mempraktikkan nilai-nilai moral. (My Dear Students, Vol 2, Ch 16, Jul 23, 1989)

-BABA

Monday, August 4, 2014

Thought for the Day - 4th August 2014 (Monday)

All of you are sparks of the Divine. Just as a spark of the fire from the furnace, after a while, turns into ash, you too forget your divine origin. When you pursue your education, you must also pursue spiritual discipline, which will lead you to Divinity. Those that study in institutions that have a spiritual discipline, must consider themselves extremely fortunate. If you choose to adhere to the ideals learnt and practice even a small fraction of the Lord’s teachings, you will realize the true purpose of education and the true objective of human life. Education without right conduct is of no value. You must make use of what you have learnt, not just for earning a living but also for service to the society. Only then your degrees will have any meaning. Whatever job you take up, wherever you work, you must continue the practice of spiritual discipline and aim for Self-realization.


Kalian semua adalah percikan Tuhan. Sama seperti percikan api dari tungku perapian, setelah beberapa saat, berubah menjadi abu, demikian juga dengan engkau lupa asal-usul Ilahi-mu. Ketika engkau melanjutkan pendidikanmu, engkau juga harus mengejar disiplin spiritual, yang akan membawamu menuju Tuhan. Mereka yang belajar di lembaga-lembaga yang memiliki disiplin spiritual, harus menganggap diri mereka sangat beruntung. Jika engkau memilih untuk menjadi pelajar yang ideal dan mempraktikkan bahkan sebagian kecil dari ajaran Tuhan, engkau akan menyadari tujuan sebenarnya dari pendidikan dan tujuan sejati kehidupan manusia. Pendidikan tanpa perilaku yang benar tidak ada nilainya. Engkau harus menggunakan apa yang telah engkau pelajari, bukan hanya untuk mencari nafkah tetapi juga untuk pelayanan kepada masyarakat. Hanya setelah itu derajat-mu akan memiliki banyak makna. Apapun pekerjaan yang engau ambil, di mana pun engkau bekerja, engkau harus melanjutkan praktik disiplin spiritual dan bertujuan untuk realisasi diri. (My Dear Students, Vol 2, Ch 15, Mar 1, 1981)

-BABA

Sunday, August 3, 2014

Thought for the Day - 3rd August 2014 (Sunday)

You eat food daily, take in thousands of grains! Have you ever calculated how many rice grains you have consumed? However the moment one minute stone comes in the rice you eat, you are very unhappy that day and complain that your food has stones. Similarly your life is three fourths happiness and one fourth sorrow. But you become a victim to sorrow. You choose to give more importance to sorrow than happiness. This is an animal quality (Pashu Lakshanam). Teach your tongue not to lose its reputation by following the wrong path. Your tongue is capable of raising you to Divine or droop to that of an animal. If someone is good to you, the tongue praises them as God Himself. If someone harms you, the tongue then equates them to an animal. Teach your tongue to ever chant the Name of the Lord and never to criticize anybody!

Engkau makan  setiap hari, makan ribuan butir nasi! Pernahkah engkau menghitung berapa butir nasi yang telah dikonsumsi? Tetapi suatu saat ketika ada batu dalam nasi yang engkau makan, engkau sangat tidak senang hari itu dan mengeluh bahwa makanan-mu memiliki batu. Demikian pula dengan hidupmu yangmana tiga perempat-nya adalah kebahagiaan dan hanya seperempatnya yang berupa penderitaan. Tetapi engkau menjadi korban penderitaan. Engkau memilih untuk memberikan lebih penting bagi penderitaan daripada kebahagiaan. Ini adalah kualitas hewan (Pashu Lakshanam). Engkau hendaknya mengajarkan lidahmu untuk tidak kehilangan reputasinya dengan mengikuti jalan yang salah. Lidah-mu mampu membawamu meningkat menuju Tuhan atau turun ke level binatang. Jika seseorang baik padamu, lidah memuji mereka sebagai Tuhan sendiri. Jika seseorang menyakiti engkau, lidah kemudian menyamakan mereka dengan hewan. Ajarkanlah lidahmu selalu mengucapkan nama Tuhan dan jangan pernah mengkritik siapa pun! (My Dear Students, Vol 5, Ch 2, Mar 9, 1993)

-BABA

Saturday, August 2, 2014

Thought for the Day - 2nd August 2014 (Saturday)

Many feel proud of the enormous growth in education everywhere. Acquiring degrees at great cost and developing contempt for one’s parents out of intellectual pride is not a sign of higher education. Arrogance, envy and ostentation should have no place in an educated person. Humility is the hallmark of true education. The educated must serve people through sweat and toil. Education must inspire youth to offer service, to sacrifice and to help. It must not inspire youth to amass money as its goal, and to travel farther and farther to earn more and more of it. Accumulated money often breeds arrogance and its army of other vices. You cannot crave for peace and happiness and do things that bring unhappiness and worry. Having been born as human beings, you must try to rise above the level of animals and raise yourself to be truly Divine.

Dimana-mana, banyak orang merasa bangga dengan pertumbuhan yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Mendapatkan gelar dengan biaya besar lalu menghina orang tua sebagai kebanggaan intelektual bukanlah tanda orang yang berpendidikan tinggi. Sifat arogan, iri hati, dan membanggakan diri seharusnya tidak memiliki tempat pada orang yang berpendidikan. Kerendahan hati adalah ciri khas pendidikan yang benar. Orang yang berpendidikan harus melayani orang-orang melalui kerja keras dan keringat mereka. Pendidikan harus menginspirasi para pemuda untuk memberikan pelayanan, berkorban, dan membantu. Pendidikan bukan menginspirasi para pemuda untuk mengumpulkan uang sebagai tujuan, dan melakukan perjalanan yang jauh untuk mendapatkan lebih banyak uang. Akumulasi uang sering melahirkan arogansi dan sifat-sifat buruk lainnya. Engkau tidak bisa mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan dan melakukan hal-hal yang mendatangkan ketidakbahagiaan dan khawatir. Setelah lahir sebagai manusia, engkau harus mencoba untuk naik di atas tingkat hewan dan meningkatkan diri ke tingkat yang lebih tinggi lagi menuju Tuhan. (My Dear Students, Vol 2, Ch 15, Mar 1, 1981)

-BABA

Friday, August 1, 2014

Thought for the Day - 1st August 2014 (Friday)

The number of students in schools and colleges has increased very significantly. Formal education, which was for long the privilege of a few scholars and the sons of the rich, is now at the very doors of everyone. People rejoiced when schools and colleges rose up more and more in the countries of the world, without realizing what is happening through them. Unrest, fear and anxiety are increasing because of improper and incomplete education. Education process that does not involve itself in proper values or does not lay stress on morals is dangerous. Consequently, the products of the process, who have no sense of values, gradually enter the positions of higher authority in the administration of nations at very high levels. Hence the world has come to the brink of a disaster. Education can yield peace and prosperity only when along with technical skills and objective information, students are equipped with moral ideals, righteous living and spiritual insight.

Jumlah siswa di sekolah dan perguruan tinggi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pendidikan formal, yang pada zaman dahulu merupakan hak istimewa beberapa terpelajar dan anak-anak orang kaya, sekarang ada di depan pintu semua orang. Orang-orang bersukacita ketika menuju sekolah dan perguruan tinggi semakin banyak di negara-negara di dunia, tanpa menyadari apa yang terjadi melalui pendidikan. Kerusuhan, ketakutan, dan kecemasan meningkat karena pendidikan yang tidak tepat dan tidak lengkap. Proses pendidikan yang tidak melibatkan dirinya dalam nilai-nilai yang tepat atau tidak menekankan pada moral adalah berbahaya. Akibatnya, produk-produk dari proses ini, yang tidak memiliki nilai-nilai, secara bertahap memasuki posisi otoritas yang lebih tinggi dalam administrasi negara pada tingkat yang sangat tinggi. Oleh karena itu dunia menuju jurang bencana. Pendidikan dapat menghasilkan kedamaian dan kemakmuran hanya ketika bersama dengan keterampilan teknis dan informasi yang obyektif, siswa dilengkapi dengan moral, hidup yang benar, dan wawasan spiritual. ( My Dear Students, Vol 2, Ch 15, Mar 1, 1981)

-BABA