Thursday, December 31, 2015

Thought for the Day - 31st December 2015 (Thursday)

These are the two chief enemies of every spiritual aspirant: Conceit (that you know everything) and Doubt (Is it or is it not). Simply decide to be firmly fixed in your reality. If that is pure, everything is pure. If that is true, everything is true. If you wear blue eyeglasses, you see only blue, even though Nature is resplendent with many colours. So too, if the world appears to you as full of differences, that is due only to the fault in you. If all appears as one love, that too is only your love. The feelings within you, is the cause in both situations. The question that may arise next is whether the Lord has faults, for He too identifies faults. The Lord only searches for goodness in a devotee, not faults and sins. Your assessment of the Lord is dependent on your feelings. The Lord showers grace on those endowed with righteousness, irrespective of race, wealth and gender.
Ada dua musuh utama dari setiap peminat spiritual: kesombongan (bahwa engkau mengetahui semuanya) dan keragu-raguan (apakah ini atau bukan). Hanya putuskan untuk mantap pada kenyataanmu yang sejati. Jika itu adalah suci maka segala sesuatunya adalah suci. Jika itu adalah benar maka segala sesuatunya adalah benar. Jika engkau memakai kaca mata warna biru maka engkau hanya akan melihat warna biru walaupun alam gemerlapan dengan banyak warna warni. Begitu juga, jika dunia kelihatan bagimu sebagai penuh dengan perbedaan, itu disebabkan hanya karena kesalahan yang ada di dalam dirimu. Jika semua kelihatan sebagai satu kasih, itu juga hanya karena kasihmu saja. Perasaan yang ada di dalam dirimu adalah penyebab dari kedua situasi ini. Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian adalah apakah Tuhan memiliki kesalahan, karena Tuhan juga mengenali kesalahan. Tuhan hanya mencari kebaikan dalam diri bhakta, bukan pada kesalahan dan dosa. Penilaianmu kepada Tuhan adalah tergantung dari perasaanmu. Tuhan mencurahkan rahmat pada mereka yang diwarisi dengan kebajikan tanpa melihat suku, kekayaan, dan jenis kelamin. (Prema Vahini, Ch 46)

-BABA

Wednesday, December 30, 2015

Thought for the Day - 30th December 2015 (Wednesday)

People today crave for material comforts and luxury (bhoga). From bhoga, you will only get rogha, diseases! Understand that money is of no help in developing good qualities. Sacrifice alone can develop noble qualities within you. Indeed through sacrifice (thyaga), you can get bliss and eternal joy (yoga). Many people shift to cities in pursuit of comfort and luxuries, and find themselves in multitude of difficulties and sorrow. This is their own making. In fact, city life defiles true culture in all possible ways and you can never obtain happiness from happiness (Na sukhat labhyate Sukham). It is only through suffering can you derive happiness. To make your life happy, you must undertake selfless service. The ancient culture is most preserved in villages than in cities and towns. Hence, go to villages, find out their needs and alleviate their suffering. Hands that serve are always holier than lips that pray.

Orang-orang saat sekarang mencari kesenangan materi dan kemewahan (bhoga). Dari bhoga, engkau hanya akan mendapatkan penyakit (rogha)! Pahamilah bahwa uang tidak membantu dalam mengembangkan sifat-sifat yang baik. Hanya pengorbanan saja yang dapat mengembangkan sifat luhur di dalam dirimu. Sejatinya melalui pengorbanan (thyaga), engkau bisa mendapatkan kebahagiaan dan suka cita yang kekal (yoga). Banyak orang pindah ke kota untuk mengejar kesenangan dan kemewahan, namun mendapatkan diri mereka dalam kesulitan dan penderitaan yang banyak. Ini adalah pilihan mereka sendiri. Sejatinya, kehidupan di kota merusak kebudayaan yang sesungguhnya dalam berbagai cara dan engkau tidak akan pernah mendapatkan kesenangan dari kesenangan (Na sukhat labhyate Sukham). Adalah hanya melalui penderitaan engkau bisa mendapatkan kesenangan. Untuk membuat hidupmu menyenangkan maka engkau harus melakukan pelayanan yang tanpa mementingkan diri sendiri. Kebudayaan kuno banyak dipelihara di desa daripada di perkotaan. Oleh karena itu, cari tahu kebutuhan mereka dan ringankan penderitaan mereka. Tangan yang melayani selalu lebih suci daripada bibir yang berdoa. (Divine Discourse 1 Jan 2004)

-BABA

Thought for the Day - 29th December 2015

Can a donkey carrying perfume or a bundle of sandalwood become an elephant? It can appreciate the weight but not the scent! The elephant pays no regard to the weight; it inhales the sweet scent, right? So too, the spiritual aspirant, or devotee will take in only the pure truth, the pure essence of good activities, of Godliness, and of the scriptures. On the other hand, one who goes on arguing for the sake of mere scholarship, learning, and disputation will know only the weight of logic, missing the scent of truth! Many in the world utilise their vast learning in disputations and believe they are superior; this is a great mistake. If they really were so learned, they would assume silence as the honourable course. For those in search of the essence, the burden is no consideration. If mere reason is employed, nothing worthwhile is gained. Love is the one big instrument for the constant remembrance of the Lord. Keeping that instrument safe and strong needs no other appliance than the scabbard of discrimination (viveka).

Dapatkah seekor keledai yang membawa minyak wangi atau seikat kayu cendana dapat menjadi seekor gajah? Keledai dapat mengukur beratnya namun tidak pada wanginya! Gajah tidak memberikan perhatian pada berat; namun gajah menghirup bau yang harum, betul bukan? Begitu juga dengan para peminat spiritual atau bhakta yang hanya mengambil kebenaran yang murni, intisari yang murni dari perbuatan baik, keillahian, dan naskah-naskah suci. Sebaliknya, seseorang yang membantah hanya untuk menunjukkan kesarjanan, pengetahuan, dan perdebatan hanya akan mengetahui nilai pada takaran logika dan kehilangan keharuman dari kebenaran itu! Banyak orang di dunia menggunakan pengetahuan mereka yang luas dalam perdebatan dan mempercayai kehebatan mereka; ini adalah kesalahan yang besar sekali. Jika mereka benar-benar terpelajar maka mereka akan mengambil jalan hening sebagai jalan yang terhormat. Bagi mereka yang mencari intisarinya maka beban tidak menjadi pertimbangan. Jika hanya alasan yang ditanyakan maka tidak ada hal yang berharga yang bisa didapatkan. Kasih sayang adalah satu sarana yang besar untuk secara terus menerus mengingat Tuhan. Dengan menjaga sarana ini tetap baik dan kuat maka tidak memerlukan adanya peralatan lain selain sarung dari kemampuan membedakan (Viveka). (Prema Vahini, Ch 44)

-BABA

Monday, December 28, 2015

Thought for the Day - 28th December 2015 (Monday)

Look at the blossoms in the garden! When the gardener plucks the flowers, the buds exult that tomorrow is their turn to be gathered into the gardener’s hands, and their faces are full of joy when they unfold in that hope. Do they feel any sadness? Do their faces droop? Are they any the less bright? No. The moment they know that the next day is their turn, they make themselves ready with great gusto and excitement. In the same way, you must be ready on the path of spiritual practice! Enthusiastically remember the name of the Lord every minute, without worrying and feeling sad that your turn is tomorrow or because someone died today. For people who transformed themselves into spiritual aspirants, their mind (manas) is Mathura, the birthplace of Lord Krishna), their heart is Dwaraka (Lord Krishna’s playground), and their body is Kashi (holiest land of Lord Shiva).  


Lihatlah bunga yang ada di kebun! Ketika si tukang kebun memetik bunga itu, kuncup bunga akan bergembira karena keesokan hari adalah gilirannya untuk bisa dipetik oleh si tukang kebun dan wajah mereka dipenuhi dengan suka cita ketika mereka terbayang dalam harapan itu. Apakah mereka merasakan kesedihan? Apakah wajah mereka murung? Apakah mereka kehilangan kilauannya? Tidak, saat mereka mengetahui bahwa pada keesokan harinya adalah giliran mereka maka mereka mempersiapkan diri mereka dengan semangat dan kegembiraan yang besar. Sama halnya, engkau harus siap di jalan praktik spiritual! Dengan penuh antusias mengingat nama Tuhan setiap menitnya tanpa cemas dan merasa sedih bahwa giliranmu adalah esok hari atau karena seseorang meninggal hari ini. Bagi mereka yang merubah diri mereka menjadi peminat spiritual, maka pikiran (manas) mereka adalah Mathura yaitu tempat lahir Sri Krishna, hati mereka adalah Dwaraka (taman bermain Sri Krishna), dan badan mereka adalah Kashi (tanah suci Shiva). (Prema Vahini, Ch 43)

-BABA

Thought for the Day - 27th December 2015 (Sunday)

Develop the quality of love. Do not hate anyone. Develop the faith that whatever happens to you is good for you. Think that whenever you encounter any difficulty or suffering, you alone are responsible for it. On the other hand, if you insult anyone knowingly or unknowingly, that someone else may punish you some day. Pleasure and pain are the products of your own making. The merit or sin you commit, follows you like a shadow always. Many today give sermons to others, without following their own advice. What value will your advice have? Whenever you read or listen to a noble thought, it is of no value to you, until you practice it assiduously. Help your fellow human beings atleast in a small measure. You will be helped in return, when you need it most. Never blame others for the difficulties you face. Never abuse anyone. Love all and treat everyone as your brothers and sisters.


Kembangkanlah kualitas cinta kasih. Jangan membenci siapapun juga. Kembangkanlah keyakinan bahwa apapun yang terjadi kepadamu adalah baik untukmu. Pikirkanlah bahwa dimanapun engkau mengalami beberapa kesulitan atau penderitaan, maka engkau sendiri yang bertanggung jawab akan hal ini. Sebaliknya, jika engkau menghina siapapun juga baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka seseorang yang lain mungkin menghukummu suatu hari nanti. Kesenangan dan penderitaan adalah hasil dari produk yang engkau buat sendiri. Kebaikan atau dosa yang engkau lakukan akan selalu mengikutimu seperti halnya bayangan. Banyak sekarang yang memberikan ceramah bagi yang lainnya, tanpa mengikuti nasihat mereka sendiri. Nilai apa yang akan dimiliki oleh nasihatmu? Kapanpun engkau membaca atau mendengarkan pikiran yang suci maka itu tidak akan ada artinya bagimu sampai engkau menjalankannya dengan tekun. Bantulah sesamamu sekecil apapun juga. Engkau akan ditolong sebaliknya, ketika engkau sangat membutuhkannya. Jangan pernah menyalahkan yang lain untuk kesulitan yang engkau hadapi. Jangan pernah mencaci maki siapapun juga. Kasihi semuanya dan perlakukan setiap orang seperti saudaramu. (Divine Discourse 1 Jan 2004)

-BABA

Saturday, December 26, 2015

Thought for the Day - 26th December 2015 (Saturday)

Look at the fish! Living as it does perpetually in water, has it rid itself of its foul smell to any extent? No. Inclinations (vasanas) won’t disappear as long as one’s heart is full of the illusion of egotism, even if one is immersed in many heart-purifying spiritual disciplines. If you really want to get rid of the feeling of “I” and “mine”, you must transform yourself and worship the Lord (Hari), without any likes and dislikes. Just as light and darkness can never coexist at the same place, love and hatred can’t coexist in the same heart. You experience joy and misery through the ear. Therefore as a spiritual aspirant, avoid the cruel arrows of hard words. Instead use sweet, pleasant and soft words suffused with truth. Speaking softly by adding falsehood will bring you misery. You can recognise a true spiritual aspirant through their good qualities.


Lihatlah pada ikan! Hidup terus menerus di dalam air, sudahkah ikan melepaskan bau amisnya pada tingkat tertentu? Tidak, kecenderungan dalam hati (vasana) tidak akan dapat hilang selama hati seseorang dipenuhi dengan khayalan egoisme, walaupun ketika seseorang tenggelam dalam berbagai disiplin spiritual untuk memurnikan hati. Jika engkau benar-benar ingin melepaskan perasaan akan “keakuan” dan “milikku”, engkau harus merubah dirimu dan memuja Tuhan tanpa adanya perasaan suka dan tidak suka. Sama halnya dengan cahaya terang dan kegelapan tidak akan pernah bisa bersatu di satu tempat yang sama, kasih dan kebencian tidak dapat bersatu di dalam hati yang sama. Engkau mengalami suka cita dan kesengsaraan melalui telinga. Maka dari itu sebagai peminat spiritual, hindarkanlah diri dari pemakaian kata-kata yang kejam dan kasar. Malahan gunakanlah perkataan yang manis, menyenangkan, dan lembut yang diliputi dengan kebenaran. Berbicara dengan lembut namun diliputi dengan kebohongan akan membawamu pada penderitaan. Engkau dapat mengenali seorang peminat spiritual yang sejati melalui sifat-sifat baik mereka. (Prema Vahini, Ch 43)

-BABA

Friday, December 25, 2015

Thought for the Day - 25th December 2015 (Friday)

As you celebrate Christmas today, bring to your mind the teachings, advice and warnings that Jesus gave and decide to direct your daily life on that path. His words must be imprinted on your hearts and you must resolve to practise all that He taught. You must pay attention to the lessons he elaborated in the various stages of his life. 'I am the Messenger of God,' he declared, first. Yes. Each individual has to accept that role and live as examples of Divine Love and Charity. The Guru must act as the alarm-clock; he should awaken the sleeper to one’s duty to oneself. "Uththishtha! jaagratha," as the Upanishads proclaim - "Arise! Awake." And bear witness to the God within, in every thought, word and deed. The best way to resolve the confusions and conflicts that hamper moral, ethical, material, technological and spiritual progress is for man to live as fully as man ought to, and rise to the height of the Divine that is his Reality.
Ketika engkau merayakan Natal hari ini, bawalah ke dalam pikiranmu ajaran, nasehat, dan larangan yang Jesus berikan dan putuskanlah untuk mengarahkan hidupmu sehari-hari dalam jalan itu. Perkataan Jesus harus terpatri di dalam hatimu dan engkau harus memutuskan untuk menjalankan semua yang diajarkan-Nya. Engkau harus memberikan perhatian pada pelajaran yang Beliau jabarkan dalam berbagai tahapan dalam kehidupan-Nya. 'Aku adalah pembawa pesan dari Tuhan,' Jesus menyampaikan hal ini pertama kali. Ya, setiap individu harus menerima peran itu dan menjalankan sebagai teladan dari kasih Tuhan dan kemurahan hati. Guru harus berbuat seperti halnya jam alarm; ia harus membangunkan yang tertidur pada kewajibannya. "Uththishtha! jaagratha," seperti dalam Upanishad dinyatakan - "Bangkit! Bangun." Dan memberi kesaksian pada Tuhan yang ada di dalam diri, dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan. Cara yang terbaik untuk mengatasi kebingungan dan konflik yang menghambat kemajuan moral, etika,  materi, teknologi, dan spiritual adalah bagi manusia untuk hidup sepenuhnya sebagai manusia yang semestinya dan bangkit pada ketinggian keillahian yang merupakan kenyataannya yang sejati. (Divine Discourse 24 Dec 1980)

-BABA

Thursday, December 24, 2015

Thought for the Day - 24th December 2015 (Thursday)

God is the Eternal Power, omnipotent and omniscient. He is the cause and consequence - the potter, the clay and the pot. Without God, there is no Universe. God willed and the Universe happened, as His play, a manifestation of His power. Human beings embody His Will, His power, His Wisdom. But, they are unaware of this glory as the cloud of ignorance veils the Truth. Hence God sends saints and prophets, and even appears as an Advent to unveil the Truth, and to awaken and liberate mankind. Two thousand years ago, when narrow pride and thick ignorance defiled mankind, Jesus came as the embodiment of love and compassion, and lived amongst people, holding forth the highest ideals of life. ‘Christmas’ truly means the ‘Mass, held on the birthday of Christ’. It is a very sacred religious rite. To deal with it as a festival for drinking and dancing is very wrong. Spend Christmas in prayer.


Tuhan adalah kekuatan yang bersifat kekal, Maha kuasa dan ada dimana-mana. Tuhan adalah penyebab dan akibatnya seperti halnya Beliau adalah pengrajin tanah liat dan pot. Tanpa adanya Tuhan maka tidak ada alam semesta ini. Tuhan berkehendak dan alam semesta terbentuk, sebagai permainan Beliau yaitu sebuah perwujudan dari kekuatan-Nya. Manusia mewujudkan kehendak, kekuatan, dan kebijaksanaan-Nya. Namun manusia tidak menyadari keagungan ini seperti awan kebodohan menutupi kebenaran. Oleh karena itu Tuhan mengirimkan guru-guru suci dan para nabi dan bahkan turun untuk mengungkapkan kebenaran ini, dan juga membangkitkan serta membebaskan umat manusia. Dua ribu tahun yang lalu, ketika kesombongan yang sempit dan kebodohan yang tebal mengotori manusia, maka Jesus datang sebagai perwujudan dari kasih sayang dan hidup diantara manusia, membicarakan terus tentang ideal kehidupan yang tertinggi. ‘Natal’ mengandung makna yang sebenarnya adalah ‘Misa, dilaksanakan pada hari kelahiran Jesus Kristus’. Ini adalah ritual ibadah yang sangat suci. Memperlakukan perayaan ini dengan minum dan menari adalah sangat salah. Gunakan waktu natal dalam doa. (Divine Discourse 24 Dec 1980)

-BABA

Thought for the Day - 23rd December 2015 (Wednesday)

Embodiments of Divine Love! Wherever you may be, never give room for any differences. Everyone must get rid of all selfishness, self-interest and self-centeredness. Mutual regard (Mamatha), equipoise (Samatha) and forbearance (kshamatha) are basic qualities necessary for every human being. Hence develop love, forbearance and compassion. Realise that love is present in everyone. Get rid of all differences and adhere to your faith and traditions. Learn to live in love and harmony with all the members of your society. When differences of all kinds are given up, love will grow in you and you can have a direct vision of God. Without love, verbal prayers are of no avail. Divine love is the only unifier, motivator and harbinger of joy to everyone. God is love and God can be realised only through love. All saints and religions have emphasized the greatness of love, truth, sacrifice and unity. Therefore cultivate love.


Perwujudan kasih Tuhan! Dimanapun engkau berada, jangan pernah memberikan ruang bagi adanya perbedaan. Setiap orang harus melepaskan semua sifat mementingkan diri sendiri, kepentingan diri, dan terpusat pada diri sendiri. Saling menghormati (Mamatha), seimbang (Samatha), dan ketabahan (kshamatha) adalah sifat dasar yang diperlukan bagi setiap manusia. Oleh karena itu kembangkanlah cinta kasih, ketabahan, dan welas asih. Sadarilah bahwa kasih ada dalam diri setiap orang. Lepaskanlah semua perbedaan dan taatilah pada keyakinan dan tradisimu. Belajarlah untuk hidup dalam kasih dan keharmonisan dengan semua anggota di dalam masyarakatmu. Ketika semua jenis perbedaan dilepaskan, kasih akan berkembang dalam dirimu dan engkau bisa memiliki pandangan langsung akan ketuhanan. Tanpa adanya kasih, doa-doa yang dipanjatkan akan tidak ada gunanya. Hanya kasih Tuhan yang mempersatukan, memotivasi, dan pertanda dari suka cita bagi setiap orang. Tuhan adalah kasih dan Tuhan dapat disadari hanya melalui kasih. Semua orang suci dan semua agama telah menekankan kemuliaan dari kasih, kebenaran, pengorbanan, dan kesatuan. Maka dari itu kembangkanlah cinta kasih. (Divine Discourse 24 Dec 1980)

-BABA

Tuesday, December 22, 2015

Thought for the Day - 22nd December 2015 (Tuesday)

What does it mean when you say God descends as an Avatar? God out of His love, affection and compassion, comes down to the level of a human being and arouses the Divine Consciousness in humankind. When God finds that many people are desperately searching outside of themselves for God, He makes you aware of God within yourself. God is in fact the core in everyone. This chance, to realize God within, has been granted to you as a reward for merit acquired by you in many previous lives, so as to reach the highest goal of merging with the absolute. Every bird needs two wings to fly; a cart needs two wheels to be pulled along. To journey towards the highest goal, you need both faith and steadfastness - spiritual learning (vidya) and penance (tapas). Bhagavad Gita states, Knowledge of the Self (Atma Vidya) is the holiest. Knowledge (Vidya) shows the way, and the penance (tapas) makes you reach the goal. Both are necessary to attain the Ultimate.


Apakah artinya ketika engkau berkata Tuhan datang sebagai Avatara? Tuhan karena kasih, cinta, dan rasa sayang-Nya turun ke tingkat manusia dan membangkitkan kesadaran illahi dalam diri manusia. Ketika Tuhan mendapatkan bahwa banyak manusia dengan putus asa mencari Tuhan di luar diri mereka sendiri, maka Tuhan datang untuk membuatmu sadar bahwa Tuhan ada di dalam dirimu sendiri. Tuhan sejatinya adalah inti dari setiap orang. Kesempatan ini untuk menyadari Tuhan di dalam diri telah diberikan kepadamu sebagai sebuah pahala atas kebaikan yang telah engkau lakukan pada banyak kehidupan yang lalu, sehingga bisa mencapai tujuan yang tertinggi untuk menyatu dengan yang bersifat mutlak. Setiap burung memerlukan dua sayap untuk bisa terbang; sebuah pedati memerlukan dua roda untuk bisa ditarik. Untuk perjalanan menuju tujuan yang tertinggi, engkau memerlukan keduanya yaitu keyakinan dan ketabahan – pengetahuan spiritual (vidya) dan penebusan dosa (tapa). Bhagavad Gita menyatakan, pengetahuan tentang diri (Atma Vidya) adalah yang paling suci. Pengetahuan (Vidya) memperlihatkan jalan, dan penebusan dosa (tapa) membuatmu mencapai tujuan. Keduanya adalah perlu untuk mencapai yang tertinggi. (Divine Discourse, 24 Dec 1980)
-BABA

Thought for the Day - 21st December 2015 (Monday)

Follow at least one of the nine modes of devotion (Sravanam, kirtanam, etc.). It doesn’t matter how wealthy or learned you are; God is concerned only with the sincerity and purity of your mind and heart and the wholeheartedness and genuine nature of your love. Valmiki was a hunter. Nandanar was of a low caste. Kuchela was a poor man. Dhruva and Prahlada were five-year-old lads. Sabari was a tribal woman, illiterate and uncivilized. But all of them won God’s Grace in abundance, because of their wholehearted devotion, love and surrender. Follow Sabari’s example, who always thought of Sri Rama and His happiness, and dedicated all her thoughts, words, and deeds to Him alone, such that her every action was transformed and sublimated into the highest penance (tapas). Meditation does not mean sitting idle in a particular posture, like posing for a photograph. Like Sabari’s life, your life must become a continuous meditation wherever you are, and whatever you do.



Ikutilah setidaknya satu dari sembilan bentuk bhakti (sravanam, kirtanam, dsb.). Tidak menjadi masalah betapa kaya atau terpelajarnya dirimu; Tuhan hanya peduli pada ketulusan dan kesucian dari pikiran dan hatimu serta kualitas cinta kasihmu yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Valmiki adalah seorang pemburu. Nandanar adalah seseorang yang berasal dari golongan masyarakat paling rendah. Kuchela adalah seorang yang miskin. Dhruva dan Prahlada hanyalah anak yang berusia lima tahun saja. Sabari adalah wanita dari suku pedalaman, buta huruf, dan tidak teratur. Namun semua dari mereka dapat memenangkan rahmat Tuhan dengan bhakti, kasih, dan kepasrahan mereka yang sepenuh hati. Ikutilah teladan dari Sabari yang selalu memikirkan Sri Rama dan kebahagiaan-Nya, dan mempersembahkan semua pikiran, perkataan, dan perbuatannya hanya kepada Sri Rama, dengan demikian setiap perbuatannya dirubah dan dihaluskan ke dalam pengendalian diri yang tertinggi (tapa). Meditasi tidak berarti duduk bermalasan dalam postur tertentu, seperti halnya pose akan mengambil photo. Seperti halnya hidup Sabari, hidupmu juga harus menjadi sebuah meditasi yang berkelanjutan dimanapun engkau berada dan apapun yang engkau lakukan. (Summer Showers 1990, Ch 16)

-BABA

Thought for the Day - 20th December 2015 (Sunday)

Temple worship, company of sages, adoration of the Lord and recital of His name - these are external sources of light. Meditation, austerity and reflection (dhyana, tapas and manana) — these are sources of inner illumination. Devoid of both, how can you experience the vision of divine glory? Once Tulsidas Goswami declared, “Do you require light inside the house as well as outside? If yes, then place the lamp on the doorstep!” So too, if you desire to experience the illumination of peace (shanti) within you and also spread it out, then place the name of the Lord on the tongue, which is the doorstep of your personality! The lamp on the tongue will not flicker, fade, or be put out by any storm. It will confer peace on you as well as on all whom you meet - in fact, the entire world.” Therefore, for your salvation, evoke the vision of the form with the Lord’s name on your tongue.


Berdoa di tempat suci, bergaul dengan orang-orang yang suci, memuja Tuhan dan mengulang-ulang nama-Nya - semuanya ini adalah sumber cahaya yang ada di luar. Meditasi, kesederhanaan, dan perenungan (dhyana, tapas dan manana) — ini adalah sumber penerangan di dalam diri. Dengan mengabaikan kedua sumber cahaya ini, lantas bagaimana engkau bisa mengalami pandangan tentang kemuliaan Tuhan? Sekali Tulsidas Goswami menyatakan, “apakah engkau memerlukan pelita di dalam rumah sama halnya dengan di luar rumah? Jika ya, maka taruhlah pelita itu di pintu rumahmu!” begitu juga, jika engkau menginginkan mengalami penerangan akan kedamaian (shanti) di dalam dirimu dan juga dapat menyebarkannya ke luar, maka tempatkanlah nama Tuhan di lidahmu, yang merupakan gerbang dari kepribadianmu! Pelita di lidah tidak akan berkelap-kelip, tidak juga pudar atau mengalami bahaya. Tapi akan memberikan kedamaian bagi dirimu dan juga semua yang engkau temui – sejatinya, bahkan seluruh dunia.” Maka dari itu untuk keselamatanmu, bangkitkanlah pandangan akan wujud Tuhan dengan nama-Nya di lidahmu. (Dharma Vahini, Ch 12)

-BABA

Saturday, December 19, 2015

Thought for the Day - 19th December 2015 (Saturday)

The attitude of the worshiper and the worshiped is the seed of devotion (bhakthi). First, the worshiper’s mind is attracted by the special qualities of the object of worship. The worshiper tries to acquire these special qualities. This is spiritual discipline (sadhana). In the early stages of spiritual discipline, the distinction between worshiper and worshiped is full, but as the spiritual discipline progresses, this feeling diminishes and, when attainment is reached, there is no distinction whatsoever. Irrespective of the object of worship one has grasped, loved and sought by spiritual discipline, one should have firm faith that the individual self (jivatma) is the supreme Lord (Paramatma). There is only one wish fit to be entertained by the aspirant: the realisation of the Lord (Iswara Sakshatkara). There is no room in the mind for any other wish.
Sikap dari pemuja dan yang dipuja adalah benih dari pengabdian (bhakthi). Pertama, pikiran pemuja ditarik dengan kualitas yang istimewa dari objek yang dipujanya. Pemuja mencoba untuk memperoleh sifat-sifat istimewa ini. Inilah disiplin spiritual (sadhana). Pada tahap awal dari disiplin spiritual, perbedaan antara pemuja dan yang dipuja adalah penuh, namun pada saat disiplin spiritual maju terus, perasaan ini akan berkurang, dan ketika tujuannya tercapai maka disana tidak ada lagi perbedaan apapun juga. Tidak tergantung dengan objek pemujaan yang seseorang telah pilih, cintai, dan cari dengan disiplin spiritual, maka seseorang harus yakin bahwa diri yang sejati (jivatma) adalah Tuhan yang tertinggi (Paramatma). Hanya ada satu keinginan yang diinginkan oleh pencari spiritual; mencapai kesadaran Tuhan (Iswara Sakshatkara). Tidak ada lagi ruang di dalam pikiran untuk keinginan yang lainnya lagi. (Prema Vahini, Ch 39)

-BABA

Friday, December 18, 2015

Thought for the Day - 18th December 2015 (Friday)

Lord of Death (Yama) is as omnipresent as Lord Siva! Yama is associated with the body (deha); He cannot affect the individual soul (jiva). Siva is associated with the individual soul, but He won’t allow the body to subsist for any length of time. The body is the essential vehicle for the individual soul to understand its real nature. Still who knows when the body may become the target for the attention of Yama? The individual soul, burdened with this destructible body, must grasp the above-mentioned caution and be all-eager to merge in Siva! No single moment that is passed by can be turned back. People usually delay doing some things; yesterday’s till today and today’s till tomorrow. For the tasks of spiritual discipline, there is no yesterday and no tomorrow. This very moment is the moment! The minute that just elapsed is beyond your grasp; so too, the approaching minute is not yours! Only those who have this understanding engraved in their heart can merge in Siva.

Dewa kematian (Yama) adalah ada dimana-mana sebagai Dewa Siva! Yama dihubungkan dengan badan (deha); dan Dewa kematian tidak dapat mempengaruhi jiwa. Siva dihubungkan dengan jiwa namun tidak akan mengijinkan badan hidup dalam jangka waktu yang lama. Badan adalah alat yang mendasar bagi jiwa untuk mengerti tentang kenyataannya yang sejati. Meskipun demikian, siapa yang tahu kapan badan bisa menjadi sasaran dari dewa kematian? Jiwa dibebani dengan badan yang mudah binasa harus memperhatikan peringatan diatas dan berhasrat untuk menyatu dengan Siva! Tidak ada saat-saat yang telah berlalu dapat dipanggil kembali. Biasanya orang menunda melakukan sesuatu; pekerjaan yang kemarin masih hari ini dan yang untuk hari ini ditunda pada hari esok. Tapi tugas dalam disiplin spiritual, tidak ada kemarin dan hari esok. Sekaranglah waktunya! Menit-menit yang sudah berlalu adalah diluar jangkauanmu; begitu juga, menit-menit yang akan datang bukanlah milikmu! Hanya mereka yang memiliki pengertian ini di dalam hati mereka dapat manunggal dengan Siva. - Prema Vahini, Ch 40.

BABA

Thought for the Day - 17th December 2015 (Thursday)

The inborn desires and mental impressions (samskaras) make or mar the individual (jivi); they are the steps that take all individual souls to the goal. Samskaras make the individual wade through loss and grief. Only through good mental tendencies you can attain the Lord. So every individual has to be wholly engaged in good actions (sath-karmas). Good and noble action is authentic worship (puja). It is the best form of remembering the Lord. It is the highest devotional song. It spreads love, without distinction and difference. It is service done as the duty of the individual. Be engaged in such noble actions (karmas). Revel uninterruptedly in the thought of the Lord. This is the royal road to the goal you have to reach.

Keinginan-keinginan yang dibawa sejak lahir dan kesan mental (samskara) dapat mendorong atau menghambat seorang individu (jivi); semuanya itu adalah langkah yang membawa semua jiwa setiap individu ke tujuan atau membuat individu terperosok ke dalam kehilangan dan duka cita. Hanya dengan melalui kecenderungan mental yang baik maka engkau dapat mencapai Tuhan. Jadi setiap individu harus sepenuhnya terlibat dalam perbuatan yang baik (sath-karma). Perbuatan yang baik dan mulia adalah sebuah pemujaan (puja) yang sebenarnya dan merupakan bentuk yang terbaik untuk mengingat Tuhan. Ini merupakan kidung kebhaktian yang tertinggi dimana menyebarkan cinta kasih tanpa adanya perbedaan. Hal ini merupakan pengabdian yang dilakukan sebagai kewajiban jiwa. Sibuklah selalu dalam perbuatan yang luhur seperti itu (karma). Bergembiralah selalu dalam perenungan kepada Tuhan. Inilah jalan yang termudah untuk mencapai tujuan hidupmu. - Prema Vahini, Ch 29

-BABA

Thought for the Day - 16th December 2015 (Wednesday)

While struggling in the spiritual field, take on the Lord Himself as your protector. To instill courage in the child, the mother persuades it to walk a few steps and turns about, but she will never allow it to fall. If the child falters and is about to lose balance, she hurries from behind and catches it before it falls. The Lord too has His eyes fixed on the individual (jivi). He has in His hand the string of the kite, which is humanity. Sometimes He may give it a pull or push to loosen the hold; but whatever He does, be confident and carefree, for He is holding that string. This faith will harden into an innate desire (samskara) and will fill you with the essence of love (prema-rasa). The string is the bond of love and grace. You are the kite, bound to the Lord. Earn auspicious merit so the bond of love and grace is firm and grows.

Ketika berjuang di jalan spiritual, jadikan Tuhan sendiri sebagai pelindungmu. Untuk menimbulkan keberanian dalam diri anak-anak, sang ibu membujuk anaknya untuk berjalan beberapa langkah dan berbalik, namun sang ibu tidak akan pernah mengijinkan anaknya terjatuh. Jika si anak terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya maka sang ibu akan segera datang dari belakang dan memegangnya sebelum sampai jatuh. Tuhan juga memperhatikan pada setiap individu (jiva). Tuhan memegang tali layang-layang manusia. Kadang-kadang Beliau menarik dan menggendorkan pegangan talinya; namun apapun yang Beliau lakukan, yakin dan tanpa rasa cemas bahwa Beliau yang masih memegang talinya. Keyakinan ini akan menguat menjadi keinginan bawaan (samskara) dan akan memenuhi dirimu dengan intisari cinta kasih (prema-rasa). Tali layang-layang itu adalah ikatan cinta kasih dan rahmat Tuhan. Engkau adalah layang-layang yang terikat kepada Tuhan. Lakukanlah kebaikan yang suci sehingga ikatan cinta kasih dan rahmat menjadi kuat dan tumbuh. (Prema Vahini Ch 29)

-BABA

Tuesday, December 15, 2015

Thought for the Day - 15th December 2015 (Tuesday)

As your day progresses, as one enters the field of daily work and toil, you are infused with the passionate quality (rajoguna). Before you take your lunch, meditate on the Lord again and dedicate the work, and the fruit derived from it to the Lord Himself. Start eating only after this act of devotion and grateful remembrance. This is the meaning of the noon (maadhyannika) worship. By observing this ritual, passion is kept in check and is overpowered by the satwic nature. During the day, people are possessed by a third nature, tamas or dullness. When evening descends, one hurries home, eats one’s fill, and is overpowered by sleep. But a duty still remains. To eat and sleep is the fate of idlers and drones. When the worst of the qualities, tamas threatens to rule, one must make a special effort to escape its coils by resorting to prayer in the company of those who extol the Lord, reading about the glory of God, the cultivation of good virtues, and the purposeful nursing of good rules of conduct. This is the prescribed evening worship (sandhyavandana).

Ketika hari-harimu mulai berjalan dan ketika seseorang memasuki dunia kerja keras setiap harinya, engkau dimasuki oleh sifat bergairah (rajoguna). Sebelum engkau makan siang, bermeditasilah kepada Tuhan lagi dan persembahkan pekerjaanmu dan juga hasil yang didapat dari pekerjaan itu kepada Tuhan sendiri. Mulailah makan hanya setelah sikap bhakti ini dan mengingat Tuhan dengan rasa syukur. Inilah makna dari pemujaan di siang hari (maadhyannika). Dengan melakukan hal ini, maka rasa gairah dapat dikendalikan dan dikuasai oleh sifat kesucian (satwik). Pada waktu sore hari, manusia dikuasai oleh sifat yang ketiga yaitu kemalasan (tamas). Ketika malam mulai datang maka seseorang akan bergegas pulang, makan dan dikuasai rasa kantuk. Namun masih ada tugas yang menunggunya. Makan dan tidur adalah kebiasaan pada pemalas dan penganggur. Ketika sifat tamas yang terburuk mulai menguasai manusia maka seseorang harus melakukan sebuah usaha yang khusus untuk bisa melepaskan diri dari belitannya dengan berdoa, berkumpul dengan mereka yang memuliakan Tuhan, membaca kemuliaan Tuhan, meningkatkan kebajikan, dan dengan maksud tertentu memupuk kelakuan yang baik. Inilah yang dijabarkan dalam doa di sore hari (sandhyavandana). (Dharma Vahini, Ch 7)

-BABA

Monday, December 14, 2015

Thought for the Day - 14th December 2015 (Monday)

Twenty hammer strokes might not succeed in breaking a stone, but the twenty first might. Does this mean the first 20 blows were of no avail? No! Each stroke contributed its share to the final success which was the cumulative effect of all 21 strokes. So too, your mind is engaged in a struggle with the internal and external world. Needless to say, you may not always succeed. You can attain everlasting bliss by immersing yourself in good works and saturating your mind with the love of God. Infuse every moment of life with that love. Then evil tendencies will not obstruct you. When your mind dwells with the Lord always, you will be drawn automatically only toward good deeds. The objective of all spiritual practices is to destroy the mind, and some day, one good deed will succeed in destroying it, just like the 21st stroke. Hence no good deed is a waste - every little act counts!

Dua puluh kali pukulan martil mungkin tidak berhasil dalam memecahkan sebongkah batu, namun pukulan yang ke dua puluh satu mungkin bisa menghancurkan batu. Apakah ini berarti bahwa pukulan dua puluh kali sebelumnya tidak ada gunanya? Tidak! Setiap pukulan memberikan sumbangsih hingga tercapainya sukses yang terakhir yang mana hasil akhir diakibatkan oleh gabungan ke dua puluh satu pukulan tersebut. Begitu juga, pikiranmu sibuk dalam perjuangan lahir dan batin dengan dunia. Tidak ada gunanya untuk mengatakan, engkau mungkin tidak selalu berhasil. Engkau dapat mencapai kebahagiaan yang bersifat kekal dengan membenamkan dirimu sendiri dengan pekerjaan yang baik dan memenuhi pikiranmu dengan kasih Tuhan. Isilah setiap saat dalam hidup dengan kasih itu. Kemudian kecenderungan jahat tidak akan merintangimu. Ketika pikiranmu selalu terpatri kepada Tuhan, engkau akan secara otomatis hanya akan tertarik untuk melakukan pekerjaan yang baik. Tujuan dari semua latihan spiritual adalah untuk menghancurkan pikiran, dan suatu hari nanti satu perbuatan baik akan berhasil menghancurkan pikiran sama halnya dengan pukulan ke dua puluh satu. Oleh karena itu tidak ada perbuatan baik yang sia-sia – setiap tindakan kecil mempunyai nilai! (Prema Vahini, Ch 28)

-BABA

Sunday, December 13, 2015

Thought for the Day - 13th December 2015 (Sunday)

To fix your mind on God, activities must be controlled. To successfully control them, you should overcome the handicaps of the gunas - satwa, rajas, and tamas. When these forces of natural impulse predominate and try to direct along their channels, you must pray to God to negate their pull. That is the first duty of a good devotee. The rule of nature is that the morning is the period of pure (satwic) quality, the noon of passionate (rajasic) quality, and the evening hour of dusk of dull (tamasic) quality. At dawn, the mind is calm and clear when awakened from the comfort of sleep liberated from agitations and depressions. In that mental condition, meditation on the Lord is very fruitful. This is the purpose of morning prayers (pratah-sandhya). But, ignoring the significance, people do rituals in a blind mechanical way. From now on perform the dawn worship after realising its inner and deeper meaning.

Untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan maka kegiatanmu harus dikendalikan. Untuk bisa berhasil mengendalikan kegiatan itu maka engkau harus mengatasi hambatan dari ketiga sifat yaitu - satwa, rajas, dan tamas. Ketika kekuatan dari alami ini menguasai dirimu dan mencoba untuk menyeretmu ke jalannya, maka engkau harus berdoa kepada Tuhan untuk meniadakan tarikan mereka. Itu adalah kewajiban yang pertama sebagai seorang bhakta yang baik. Hukum alam bahwa di pagi hari adalah saat sifat yang suci (satwik), saat siang hari adalah sifat penuh gairah (rajasik), dan pada saat sore hari merupakan periode sifat malas (tamasik). Waktu fajar, pikiran tenang dan terang ketika dibangunkan dari kelelapan tidur dibebaskan dari keresahan dan kemurungan. Pada saat kondisi mental seperti itu maka meditasi kepada Tuhan adalah sangat bermanfaat. Inilah tujuan dari doa pagi (pratah-sandhya). Namun, dengan tanpa mengetahui maknanya maka banyak orang terus saja melakukan ritual secara mekanis dan kabur. Mulai dari sekarang lakukanlah puja pagi setelah menyadari maknanya yang sebenarnya dan lebih mendalam. (Dharma Vahini, Ch 7)

-BABA

Saturday, December 12, 2015

Thought for the Day - 12th December 2015 (Saturday)

Have the Lord’s name within and the practice of your duty (swadharma) without. Even while engaging in selfless service, let your mind repeat the Lord’s Name. When rains pour on the mountain peaks and the water hurries down on all sides, no river emerges therefrom. However when the waters flow in a single direction, first a brook, then a stream, then a torrent, and finally a river is formed, and the rains reach the sea. Water that runs in one direction reaches the sea; water that flows in four directions soaks in and is lost. Mental tendencies (samskaras) are like this. Of what use are they if they merely come and go, this way today and that way tomorrow? The holy stream of good inborn desires must flow full and steady along the fields of holy thoughts and finally abide in the great ocean of bliss at the moment of death.


Ucapkanlah nama Tuhan di dalam hatimu dan jalankan kewajibanmu (swadharma) di luar. Bahkan ketika sedang melakukan pelayanan bhakti sosial, biarkan pikiranmu mengulang-ulang nama Tuhan. Ketika hujan tercurah di puncak gunung dan airnya mengalir turun melalui lereng-lerengnya, tidak akan ada sungai yang timbul dari aliran itu. Tetapi bila aliran airnya mengalir searah, mula-mula sebuah selokan, kemudian dalam alur sungai kecil, selanjutnya muncul arus yang deras, dan pada akhirnya sebuah sungai terbentuk dan air hujan mencapai lautan. Air yang mengalir dalam satu arah akan mencapai lautan; air yang mengalir ke dalam empat arah akan terhisap dan lenyap. Kecenderungan mental (samskaras) juga seperti ini. Apakah gunanya bila samskara itu hanya datang dan pergi, hari ini begini dan besok dengan cara lain lagi? Aliran suci dari kecenderungan yang baik yang ada dari sejak lahir harus mengalir sepenuhnya dan mantap melalui alur pikiran yang suci dan pada akhirnya mencapai lautan yang luas dari kebahagiaan di saat-saat kematian. (Prema Vahini, Ch 28)

-BABA

Friday, December 11, 2015

Thought for the Day - 11th December 2015 (Friday)


The net result of all this living and toiling is whatever comes to memory at the last moment of life. Therefore direct the entire current of life towards acquisition of the mental tendency (samskara) that you want to have during the last moment. The feeling that dominates the moment of death works with great force in the coming life. This truth must guide a person for the journey of this life too, for inborn desires are the wherewithal for this journey as well as for the journey after this. Therefore from tomorrow, always keep death, which is inevitable, before the eye of memory and engage yourself in the journey of life with good wishes for all, with strict adherence to truth, seeking always the company of the good, and with the mind always fixed on the Lord. Avoid evil deeds, hateful and harmful thoughts, and don’t get attached to the world. If you live thus, your last moment will be pure, sweet, and blessed.


Hasil akhir dari semua kehidupan dan kerja keras ini adalah hal yang timbul di dalam pikiran kita pada saat menjelang ajal. Maka dari itu arahkan seluruh tenaga hidupmu untuk memperoleh kecenderungan mental (samskara) yang engkau ingin dapatkan pada saat-saat akhir hidup. Perasaan yang paling menguasai manusia pada saat-saat kematiannya bekerja dengan penuh kekuatan untuk pada kehidupan selanjutnya. Kebenaran ini juga harus menuntun seseorang dalam perjalanan dalam hidupnya karena yang dibawa sejak lahir merupakan bekal dalam perjalanan hidup ini maupun dalam perjalanan selanjutnya. Maka dari itu mulai dari besok, selalulah ingat pada kematian yang tidak dapat dielakkan dan dengan kesadaran ini tempuhlah jalan hidupmu dengan mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, berpeganglah selalu pada kebenaran, selalu mencari pergaulan yang baik dan dengan pikiran selalu terpatri kepada Tuhan. Hindari diri dari perbuatan yang tidak baik, hindari dari pikiran yang penuh kebencian dan membahayakan dan jangan terikat pada dunia. Jika engkau hidup seperti ini maka saat akhirmu akan menjadi murni, indah, dan terberkati. (Prema Vahini, Ch 27)

-BABA

Thought for the Day - 10th December 2015 (Thursday)

Just as the woman should consider one person and one person alone as her master and husband, the man too has to be faithful to one woman and one woman alone, as his mate, his wife. She has to consider the husband as Divine and worship him and minister to and follow his desires for the fulfilment of her duty of loyalty to the husband (pativrata); so too, man should honour his wife as the ‘mistress of the home’ and act in accordance with her wishes, for she is the Grihalakshmi (Goddess of prosperity of the home). Only then can he deserve the status of ‘man’. Name and fame, honour and dishonour, vice and wickedness, good and bad are all equal and uniform to both men and women. There is no such thing as woman alone being bound and men being free; both are equally bound by the rules of dharma. Both will fall into adharma if they conduct themselves without due consideration of the attributes mentioned above.


Seperti halnya wanita yang harus menganggap satu orang dan satu orang saja sebagai junjungan dan suaminya, laki-laki juga harus setia pada satu wanita dan hanya pada satu wanita saja, sebagai pasangan dan istrinya. Istri harus menganggap suaminya sebagai Tuhan dan memujanya serta melayaninya dan mengikuti keinginananya untuk memenuhi kewajiban sebagai istri akan kesetiaannya kepada suami (pativrata); begitu juga, suami harus menghormati istrinya sebagai ‘nyonya rumah’ dan berbuat sesuai dengan keinginannya karena istri di rumah adalah Grihalakshmi (Dewi kesejahteraan di dalam rumah). Hanya dengan demikian maka suami bisa layak mendapatkan status ‘laki-laki’. Nama dan ketenaran, hormat dan tercela, sifat buruk dan kejahatan, baik dan buruk semuanya adalah sama bagi keduanya baik laki-laki dan wanita. Tidak ada yang namanya bahwa hanya wanita saja yang terikat sedangkan yang laki-laki adalah bebas; keduanya adalah sama terikat oleh aturan dharma. Keduanya akan jatuh ke dalam kejahatan (adharma) jika mereka bertingkah laku tanpa mempertimbangkan kualitas yang disebutkan diatas. (Dharma Vahini, Ch 6)

-BABA

Wednesday, December 9, 2015

Thought for the Day - 9th December 2015 (Wednesday)

People have taught the eye, ear, and tongue the luxury of constant novelty. Now do the opposite. Turn your mind towards the good and examine every minute’s activities. Each deed is a chisel stroke shaping the rock of human personality. A wrong stroke may disfigure the rock. Therefore even the tiniest of acts must be done with great care and devotion. For a drowning person, even a reed is some support. So too to a person struggling in the sea of inborn desires (samskara), a few kind words might be of great help. No good deed is a waste; every bad deed has its consequence. So strive to avoid the slightest trace of evil activity. Keep your eyes pure. Fill your ears with stories of Divine; don’t allow them to listen to calumny. Use your tongue for uttering good, kind, and true words. Let it always remind you of God. Such constant effort will grant you victory.


Manusia telah mengajarkan mata, telinga, dan lidah secara terus menerus hal-hal yang baru dan mewah. Sekarang lakukan kebalikannya. Bawalah pikiranmu ke arah kebaikan dan telitilah setiap menit dari aktivitasmu. Setiap perbuatan adalah sebuah pukulan dari pahatan yang membentuk batu dari kepribadian manusia. Sebuah pukulan yang salah mungkin akan menodai batu itu. Maka dari itu, bahkan untuk perbuatan yang paling kecil harus dilakukan dengan perhatian dan bhakti yang besar. Bagi seseorang yang tenggelam maka sebuah alang-alang adalah bantuan. Begitu juga dengan seseorang yang berjuang dalam lautan keinginan yang dibawa sejak lahir (samskara), beberapa perkataan mungkin dapat memberikan pertolongan. Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia; setiap perbuatan yang buruk memiliki akibatnya masing-masing. Jadi berusahalah untuk menghindar dari sekecilpun perbuatan yang jahat. Tetap jaga matamu suci. Penuhi telingamu dengan cinta keillahian; jangan izinkan telinga mendengarkan fitnah. Gunakan lidahmu untuk mengucapkan kata-kata yang baik dan benar. Mari gunakan semuanya ini untuk mengingatkanmu pada Tuhan. Usaha yang tanpa henti ini akan memberikanmu kemenangan. (Prema Vahini Ch 27)

-BABA

Thought for the Day - 8th December 2015 (Tuesday)

In ancient times, people never gave up the practice of Dharma even when threatened with death at the point of the sword. Now without even the slightest pressure from others, people slide down and fall into unrighteousness (Adharma). Practicing Dharma is not an ordinary affair. The one who does not practice dharma is as bad as dead; one who practices it is of the divine nature. Presently there is an urgent need to turn people onto the dharmic path through the traditional methods of counselling with good advice, sharing with them the attractive consequences of following the path, threatening to dissociate from those who do not, and inflicting punishment as a last resort. You should derive the greatest possible benefit from dharma and while following it, avoid causing any injury to yourselves or others. You must spread the glory of dharma by making yourself a shining example of the peace and joy it gives.


Pada zaman dahulu manusia tidak pernah melepaskan diri dalam menjalankan Dharma walaupun bahkan diancam dengan kematian di ujung pedang. Pada saat sekarang bahkan tanpa tekanan yang paling sedikitpun manusia terjatuh dan masuk dalam perbuatan yang tidak baik (Adharma). Menjalankan Dharma bukanlah merupakan sebuah urusan yang biasa. Seseorang yang tidak menjalankan dharma adalah sama buruknya dengan kematian; seseorang yang menjalankan Dharma adalah sifat alami dari keillahian. Saat sekarang ada sebuah kebutuhan yang mendesak untuk merubah manusia ke jalan Dharma melalui metode tradisional berupa menasihati dengan nasihat yang baik, berbagi dengan mereka akibat yang sangat baik ketika mengikuti jalan Dharma, mengancam untuk memisahkan mereka dari yang lainnya yang tidak menjalankan Dharma, dan memberikan hukuman sebagai usaha yang terakhir. Engkau seharusnya mendapatkan manfaat yang terbaik dari dharma dan ketika menjalankan dharma maka hindarilah menyebabkan penderitaan pada dirimu sendiri dan juga yang lainnya. Engkau harus menyebarkan kemuliaan dari dharma dengan membuat dirimu sendiri sebagai teladan yang cemerlang dari kedamaian dan suka cita yang diberikannya. (Dharma Vahini, Ch 5)

-BABA

Thought for the Day - 7th December 2015 (Monday)

Everyone, be they learned or illiterate, should feel an overwhelming urge to know God. God has equal affection toward all His children, for to illumine is the nature of light. Utilising that illumination, some choose to read good books while others do their daily tasks, whatever they are! Similarly uttering God’s name, one can progress in the realisation of God, another may choose to do wicked deeds! It all depends on how you choose to use the light. But the Lord’s name is without blemish, always and forever. God’s name must be recited and listened to. For some ailments medicines are prescribed for external application while for others, they are to be consumed. But for this universal ailment of the cycle of birth and death (bhava-roga), the medicines prescribed are listening to spiritual discourses (sravana), singing God’s name (kirtana), and the like.


Setiap orang apakah mereka terpelajar atau buta huruf harus memiliki hasrat yang kuat untuk mengetahui Tuhan. Tuhan memiliki rasa welas asih yang sama kepada seluruh anak-anak-Nya, sama halnya untuk menerangi adalah sifat alami dari cahaya. Memanfaatkan terangnya cahaya itu, beberapa orang memilih untuk membaca buku yang baik sedangkan yang lainnya melakukan tugas keseharian mereka, apapun itu! Sama halnya dengan melantunkan, seseorang dapat mengalami kemajuan dalam menghayati Tuhan, sedangkan yang lainnya mungkin memilih untuk melakukan perbuatan yang jahat! Semuanya ini tergantung dari bagaimana engkau memilih dalam menggunakan cahaya. Namun nama Tuhan adalah bersifat tidak ternoda, selalu, dan selamanya. Nama Tuhan harus diulang-ulang dan diperdengarkan. Untuk beberapa obat diperuntukkan untuk penggunaan luar saja sedangkan yang lainnya harus diminum. Namun untuk penyakit yang menimpa semuanya ini yaitu siklus kelahiran dan kematian (bhava-roga), obat yang diberikan adalah mendengarkan wacana spiritual (sravana), menyanyikan nama Tuhan (kirtana), dan yang semacamnya. (Prema Vahini, Ch 21)

-BABA

Thought for the Day - 6th December 2015 (Sunday)

The Lord descends now and then to uplift the downtrodden and to reestablish righteousness (dharma). Clearly grasp this truth. Many who read the Bhagavad Gita take it that the Lord incarnates when dharma is ‘destroyed’ and when the forces of unrighteousness (adharma) begin to prevail. This is incorrect; The Gita does not say nor is there any basis to draw the conclusion that dharma gets destroyed. The word used is ‘diminish’ (glaani); that is to say, when the indications are that dharma is in danger, “The Lord will come to protect dharma from harm.” Lord Krishna did not say that He will come down to protect and preserve it after dharma has been destroyed! Of what use is a doctor after life has left? So too, the Lord will rush when the practice is declining or weakening. The protection of dharma is the task of the Lord, for dharma is the very breath of every soul (jivi).


Tuhan telah turun sekarang dan kemudian mengangkat yang tertekan dan memugar kembali kebajikan (dharma). Pahamilah dengan jelas kebenaran ini. Banyak orang yang membaca Bhagavad Gita dan memahami bahwa Tuhan berinkarnasi ketika dharma dihancurkan dan ketika kekuatan dari kejahatan (adharma) mulai menang. Hal ini tidaklah benar; Dalam Gita tidaklah dikatakan dan tidak juga ada dasar untuk menarik kesimpulan bahwa dharma mengalami kehancuran. Kata yang digunakan adalah ‘berkurang’ (glaani); itulah dikatakan bahwa ketika ada tanda-tanda bahwa dharma dalam bahaya maka Tuhan akan datang untuk melindungi dharma dari kerusakan.” Sri Krishna tidak mengatakan bahwa Beliau akan datang untuk melindungi dan memelihara setelah dharma dihancurkan! Apakah gunanya dokter ketika kehidupan sudah tidak ada lagi? Begitu juga, Tuhan akan segera datang ketika praktek dalam menjalankan dharma mengalami kemerosotan dan pengurangan. Perlindungan dharma adalah tugas dari Tuhan karena dharma adalah nafas yang paling penting dari setiap jiwa. (Dharma Vahini, Ch 6)

-BABA