Friday, April 26, 2024

Thought for the Day - 19th April 2024 (Friday)

If we were to write a letter, put it in an envelope, write the correct address on it and affix a postal stamp, the letter would be delivered, be it to the neighbouring street or to a far-off city like Delhi, Calcutta or Bombay. There is no far and near for the address written or for the postage stamp on the letter. Likewise, God makes no distinction between those near to Him or remote from Him.  We have to write down the 'address' of faith correctly. The faith should be unwavering, total and free from doubts of any kind. The letter with the address of faith has also to carry the stamp of Prema (Love). It should be selfless love. Selfish love will be useless. When firm faith is associated with such complete love, the prayers addressed to God are bound to reach Him. This kind of faith has become rare nowadays. Self-confidence is totally absent. How can one without confidence in himself for a mere three days have faith in God? 


- Divine Discourse, Dec 25, 1997.

Faith, determination, courage, intelligence, energy and valour – wherever these six qualities exist, Divine protection is assured.


Jika kita menulis surat, menaruh suratnya di dalam amplop, menulis alamat tujuan yang benar di atas amplop dan menempelkan prangko diatasnya, maka surat itu akan dikirimkan, apakah tujuannya untuk tetangga seberang jalan atau kota terjauh seperti Delhi, Calcutta atau Bombay. Tidak ada kata jauh dan dekat untuk alamat yang dituliskan atau untuk prangko yang ditempelkan di atas surat. Sama halnya, Tuhan tidak membedakan diantara mereka yang dekat dan jauh secara fisik dengan-Nya. Kita harus menuliskan 'alamat' berupa keyakinan dengan benar. Keyakinan harus tidak goyah, total dan bebas dari segala jenis keraguan. Surat dengan alamat berupa keyakinan juga memiliki prangko berupa kasih (Prema). Dan ini seharusnya kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih yang mementingkan diri sendiri akan menjadi tidak berguna. Ketika keyakinan yang teguh dihubungkan dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan dipastikan akan mencapai Tuhan. Keyakinan yang seperti ini telah jarang pada saat sekarang. Kepercayaan diri sepenuhnya hilang. Bagaimana seseorang yang tanpa kepercayaan pada dirinya sendiri selama tiga hari bisa memiliki keyakinan pada Tuhan? 


- Divine Discourse, Dec 25, 1997.

Keyakinan, keteguhan hati, keberanian, kecerdasan, energi dan kegigihan – dimanapun keenam kualitas ini ada, pasti ada perlindungan Tuhan. 

Thought for the Day - 18th April 2024 (Thursday)

When the heart is filled with all kinds of worldly desires, there is no room in it for spiritual effort. There is a vast difference between one who is attached to worldly things and one who is devoted to Dharma. This may be illustrated by the actions of Drona and Bhishma, the two principal gurus of the Kauravas. Both Bhishma and Drona were supreme masters in the arts of using astras (weapons directed by mantras) and shastras (lethal weapons). But what a difference between the two! Bhishma was highly spiritually minded. After he was wounded all over the body in the Kurukshetra battle, when blood was flowing from the wounds, lying on a bed of arrows he taught Dharma (righteousness) to the Pandavas. His teachings are contained in the Shanti Parva of the Mahabharata. On the other hand, when Dronacharya heard Yudhishthira say "Aswatthama hatah" (Aswatthama is killed), he did not even wait to hear that it was the elephant named Aswatthama that had died, he concluded that his son Aswatthama had died, and he collapsed on the battlefield. Dronacharya was filled with worldly attachments. Bhishmacharya was filled with love of Dharma (virtuous action). 


- Divine Discourse, Jun 16, 1983.

Earn prosperity (Artha) while adhering to righteousness (Dharma) and have always only one wish (Kama): to get liberated (Moksha) - that is the way to realise the four goals of life.


Ketika hati diliputi dengan semua jenis keinginan duniawi, maka disana tidak ada ruang bagi usaha spiritual. Ada perbedaan yang sangat luas diantara seseorang yang terikat pada hal-hal duniawi dan seseorang yang mengabdi pada Dharma. Hal ini dapat digambarkan dengan tindakan dari Drona dan Bhishma, dimana mereka berdua adalah guru utama dari para Kaurava. Keduanya baik Bhishma dan Drona adalah ahli tertinggi dalam seni menggunakan astra (senjata yang diarahkan dengan melantunkan mantra) dan shastra (senjata mematikan). Namun betapa berbedanya diantara keduanya! Bhishma adalah seseorang dengan pikiran spiritual yang tinggi. Setelah dia terluka di sekujur tubuhnya dalam perang Kurukshetra, ketika darah mengalir dari luka yang ada, berbaring di atas tempat tidur dari anak panah sambil mengajarkan Dharma (kebajikan) kepada para Pandawa. Ajaran yang disampaikan oleh Bhisma terangkum dalam Shanti Parva di epos Mahabharata. Sebaliknya, ketika Dronacharya mendengar Yudhishthira berkata "Aswatthama hatah" (Aswatthama dibunuh), dia bahkan tidak menunggu untuk mendengar secara utuh bahwa gajah bernama Aswatthama yang telah mati, Dronacharya menyimpulkan bahwa putranya Aswatthama telah meninggal, dan dia ambruk di medan perang. Dronacharya diliputi dengan keterikatan duniawi. Bhishmacharya diliputi dengan kasih pada Dharma (tindakan mulia). 


- Divine Discourse, Jun 16, 1983.

Dapatkan kesejahtraan (Artha) sambil berpegang pada Kebajikan (Dharma) dan selalu hanya memiliki satu hasrat (Kama): untuk terbebaskan (Moksha) – itu adalah jalan untuk menyadari empat tujuan hidup.


Thought for the Day - 17th April 2024 (Wednesday)

Tyagaraja derived the name ‘Rama’ from the two letters ‘Ra’ and ‘Ma’ in the two mantras associated with Vishnu and Siva (Om Namo Narayanaya and Om Namah Sivaya). The two mantras, without the syllables ‘Ra’ and ‘Ma’, become meaningless and thus they are the life-giving letters in the two mantras. Rama’s name thus is the life-giving essence of the two great mantras. The term ‘Rama” has another esoteric significance. It consists of three syllables: Ra + A + Ma. ‘Ra’ signifies Agni (the Fire-god). ‘Ra’ representing Agni, the Fire-god, burns away all sins; ‘A’ representing Surya, the Sungod, dispels the darkness of ignorance. ‘Ma’ representing Chandra, the Moon-god, cools one’s temper and produces tranquillity. The name Rama has the triple power of washing away one's sins, removing one's ignorance, and tranquillizing one's mind. How is the profound meaning of this sacred name to be imparted to mankind? This can be done only by the Divine coming in human form and demonstrating to mankind the power of the Divine.


- Divine Discourse, Apr 05, 1998.

Rama’s name signifies the harmony in thought, word and deed.


Tyagaraja mendapatkan nama ‘Rama’ dari dua huruf ‘Ra’ dan ‘Ma’ dalam dua mantra yang berhubungan dengan Wishnu dan Siva (Om Namo Narayanaya dan Om Namah Sivaya). Dua mantra suci ini, tanpa adanya suku kata ‘Ra’ dan ‘Ma’, menjadi tidak bermakna dan kemudian menjadi huruf yang memberikan kehidupan dalam kedua mantra tersebut. Nama Rama adalah hal yang mendasar pemberi kehidupan dari kedua mantra agung itu. Istilah ‘Rama” memiliki makna mendalam yang lain, yang terdiri dari tiga suku kata yaitu: Ra + A + Ma. ‘Ra’ berarti Agni (dewa api). ‘Ra’ melambangkan Agni yaitu Dewa api yang membakar semua dosa; ‘A’ melambangkan Surya (dewa matahari) yang menghilangkan kegelapan kebodohan. ‘Ma’ melambangkan Chandra (dewa bulan) yang mendinginkan emosi seseorang dan menghasilkan ketenangan. Nama suci Rama memiliki tiga kekuatan yaitu : melenyapkan dosa seseorang, melenyapkan kebodohan seseorang, dan menenangkan pikiran seseorang. Bagaimana makna mendalam dari nama suci ini dapat disampaikan pada umat manusia? Hal ini dapat dilakukan hanya dengan inkarnasi Tuhan dalam wujud manusia dan memperlihatkan pada manusia kekuatan Tuhan. 


- Divine Discourse, Apr 05, 1998.

Nama Rama mengandung makna keharmonisan dalam pikiran, perkataan dan tindakan.

Thought for the Day - 16th April 2024 (Tuesday)

Your heart is the temple of Rama. Constantly contemplate on Rama who is immanent in your heart. Rama is there with you, in you, around you not only in your waking state but also in the dream and deep sleep state. He is eternally with you. Rama is not limited to a particular form. He assumes innumerable forms. Though the forms are many, Divinity in them is one. Therefore, whomsoever you see, offer your salutations to him, considering him as the form of Rama. Now Swami is being extolled as Sai Rama and Sai Krishna as He embodies the same principles of Dharma (righteousness), Prema (love) and Shanti (peace) which Lord Rama and Lord Krishna had personified. Rama is immanent in everyone; Easwara is present in all; Rama is within you. In fact, you yourself are Rama. Establish this truth in your heart firmly and spend your time profitably. Then your life will be filled with everlasting bliss. Constantly recite the name of Rama. 


- Divine Discourse, Mar 27, 2007.

You may call the Lord Sai Rama, Sita Rama, Ayodhya Rama or by any other name, but do remember the Name of the Lord, Rama, forever.


Hatimu adalah tempat suci Rama. Dengan tanpa putus lakukan perenungan pada Rama yang selalu ada di dalam hatimu. Rama ada bersamamu, di dalam dirimu, di sekitar dirimu dan tidak hanya dalam keadaan sadar namun juga dalam keadaan mimpi serta tidur yang lelap. Rama selamanya bersamamu. Rama tidak dibatasi pada sebuah wujud tertentu saja. Rama mengambil wujud yang tidak terhitung jumlahnya. Walaupun wujudnya adalah banyak, namun ke-Tuhan-an didalamnya adalah satu. Maka dari itu, siapapun yang engkau lihat, persembahkan rasa hormat padanya, anggaplah dia sebagai wujud Rama. Sekarang Swami sedang dihormati sebagai Sai Rama dan Sai Krishna karena Beliau perwujudan pada prinsip yang sama dari Dharma (kebajikan), Prema (kasih) dan Shanti (kedamaian) yang mana dipersonifikasikan oleh Sri Rama dan Sri Krishna. Rama selalu ada di dalam diri setiap orang; Easwara juga ada di dalam semuanya; Rama ada di dalam dirimu. Sejatinya, dirimu sendiri adalah Rama. Tanamkan kebenaran ini di dalam hatimu dengan kokoh dan gunakan waktu secara bermanfaat. Kemudian hidupmu akan diliputi dengan kebahagiaan yang kekal. Dengan tanpa putus lantunkan nama suci Rama. 


- Divine Discourse, Mar 27, 2007.

Engkau dapat menyebut Tuhan dengan Sai Rama, Sita Rama, Ayodhya Rama atau dengan nama lainnya, namun ingatlah selalu nama Tuhan, Rama, selamanya.


Thought for the Day - 15th April 2024 (Monday)

The distinction made between householders and sanyasis is not of real significance. The wearing of the ochre robe alone will not make a man a devotee of God. By the mere mouthing of mantras, one's sins will not be washed away. Carrying the Gita and shouting slogans will not make one meritorious. Only the man whose thoughts and deeds are in harmony can be called a sadhu (a saintly person). Who are sadhus? Not merely those who don the ochre robe. All are sadhus. All beings have sadhutva (goodness and purity) inherent in them. They have to foster and manifest these qualities and not the external vesture. It is the purity of one's thoughts which reveals one’s sadhutva. There is no need to put on the orange robe to become a sadhu. The heart must be pure. Ravana put on a guise of an ascetic to kidnap Sita. His garb only concealed his evil intent. It is the evil qualities that have to be given up. Even if the process is begun in a small way, it will result in great good. The start must be made when one is young. 


- Divine Discourse, Jan 07, 1988.

When man is not trained to live a good and godly life, teaching him various skills and tricks, only makes him a danger to himself and to others.


Perbedaan yang dibuat diantara berumah tangga dan sanyasin adalah tidak begitu penting. Dengan memakai jubah pertapa saja tidak akan membuat seseorang menjadi bhakta Tuhan. Hanya dengan mengucapkan mantra-mantra, dosa seseorang tidak akan terhapuskan. Dengan membawa kitab suci Bhagavad Gita dan menyampaikan sloka-sloka dalam Gita tidak akan membuat seseorang menjadi berguna. Hanya seseorang yang pikiran dan perbuatannya selaras dapat disebut dengan seorang yang sadhu (orang suci). Siapakah orang sadhu itu? Bukan hanya mereka yang memakai jubah berwarna oker. Semuanya adalah sadhu. Semua makhluk memiliki sadhutva (kebaikan dan kemurnian) yang melekat di dalam dirinya. Mereka harus memupuk dan mewujudkan kualitas-kualitas ini dan bukan pakaian luarnya saja. Adalah kemurnian dari pikiran seseorang yang mengungkapkan kualitas sadhutva yang dimilikinya. Tidak ada gunanya memakai jubah untuk menjadi seorang sadhu. Hati haruslah murni. Ravana menyamar sebagai pertapa untuk menculik Sita. Pakaiannya hanya untuk menutupi niat jahatnya. Adalah sifat-sifat jahat yang harus dilepaskan. Bahkan jika proses untuk itu dimulai dari hal yang kecil, namun akan menghasilkan kebaikan yang sangat besar. Hal ini harus dimulai ketika seseorang masih muda. 


- Divine Discourse, Jan 07, 1988.

Ketika manusia tidak dilatih untuk menjalani hidup yang baik dan mulia, hanya mengajarkan berbagai keahlian dan trik, itu membuatnya menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain.


Thought for the Day - 14th April 2024 (Sunday)

Today you are celebrating the commencement of the New Year. But, in fact, you should treat every moment as the beginning of a New Year. Many people are worried as to what changes would the New Year bring in the social, political and economic fields. Any change, if it were to take place, will not wait for the arrival of the New Year. In fact, many changes are taking place from moment to moment. You may wonder as to what are the big changes that would take place in this New Year. Whatever happened in the previous year would take place this year also. One need not be worried about these things. You should be worried that there is no transformation in your heart though years have rolled by. You have to get rid of your evil thoughts, words and deeds. You should celebrate the arrival of New Year by inculcating noble and divine feelings. You should experience bliss by visualising the unmanifest atmic principle in this manifest world. 


- Divine Discourse, April 14, 2002.

I do not want you to say that you have listened to My discourses well or that the discourses were good. I want to hear from you that you have thoroughly transformed yourselves.


Hari ini engkau sedang merayakan permulaan tahun baru. Namun, sesungguhnya engkau seharusnya memperlakukan setiap saat sebagai awal dari sebuah tahun baru. Banyak orang mencemaskan perubahan apa yang akan terjadi pada tahun baru di bidang sosial, politik dan ekonomi. Perubahan apa pun yang memang terjadi tidak akan menunggu sampai datangnya tahun baru. Sejatinya, banyak perubahan sedang berlangsung dari waktu ke waktu. Engkau mungkin bertanya-tanya perubahan besar apa yang akan terjadi pada tahun baru ini. Apapun yang terjadi di tahun lalu juga akan terjadi di tahun ini. Seseorang tidak perlu cemas pada hal-hal ini. Engkau seharusnya cemas dimana tidak ada perubahan dalam hatimu walaupun telah melewati bertahun-tahun lamanya. Engkau harus melenyapkan pikiran, perkataan dan perbuatan jahatmu. Engkau seharusnya merayakan datangnya tahun baru dengan meningkatkan perasaan yang luhur dan Ilahi. Engkau seharusnya mengalami kebahagiaan dengan memvisualisasikan prinsip Atma yang tidak disadari dalam dunia nyata ini. 


- Divine Discourse, April 14, 2002.

Aku tidak ingin engkau mengatakan bahwa dirimu telah mendengarkan wejangan-Ku dengan baik atau wejangan itu adalah bagus. Aku ingin mendengarkan darimu bahwa engkau sepenuhnya telah mengubah dirimu.


Thought for the Day - 13th April 2024 (Saturday)

You are a member of the society. Your welfare depends on the welfare of the society. So, aspire for the well-being of one and all. Lokah Samastah Sukhino Bhavantu - May all the worlds be happy! Eschew narrow-mindedness; cultivate broad feelings to experience bliss! This New Year brings with it some good results. The New Year Day is not celebrated merely to partake delicious dishes. Imbibe sacred feelings and resolve to lead a fruitful life. The good and bad of the world depend on your conduct, which in turn depends on your thoughts. So, develop good thoughts. Only then will you be able to lead a noble life. Set an ideal to your fellowmen. Give them happiness. Show compassion towards them. Talk to them lovingly. All this is possible only when you acquire Divine love. So, strive to become the recipient of Divine love. Chant His Name wholeheartedly. 


- Divine Discourse, Mar 26, 2001.

Pray for supreme peace for all; do your bit for it by not adding to the disturbance that exists.


Engkau adalah anggota dari masyarakat. Kesejahtraanmu tergantung pada kesejahtraan masyarakat. Jadi, miliki dorongan untuk kesejahtraan semuanya. Lokah Samastah Sukhino Bhavantu – semoga seluruh dunia berbahagia! Jauhkan diri dari pikiran yang sempit; pupuk kasih yang luas untuk mengalami kebahagiaan! Tahun baru ini membawa beberapa hasil yang baik. Hari tahun baru tidak dirayakan hanya untuk menikmati makanan yang lezat. Serap perasaan-perasaan suci dan bertekad untuk menjalani hidup yang bermakna. Baik dan buruknya dunia tergantung pada tingkah lakumu, yang mana ini tergantung pada pikiranmu. Jadi, kembangkan pikiran-pikiran yang baik. Hanya dengan cara itu engkau mampu untuk menjalani hidup yang mulia. Tunjukkan sebuah ideal bagi sesamamu. Berikan mereka kebahagiaan. Perlihatkan welas asih pada mereka. Berbicara pada mereka dengan penuh kasih. Semuanya ini mungkin hanya ketika engkau memperoleh kasih Tuhan. Jadi, berusahalah untuk menjadi penerima dari kasih Tuhan. Lantunkan nama suci Tuhan sepenuh hati. 


- Divine Discourse, Mar 26, 2001.

Berdoalah untuk kedamaian tertinggi bagi semuanya; lakukan bagianmu dengan tanpa menambahkan gangguan yang telah ada.


Friday, April 12, 2024

Thought for the Day - 12th April 2024 (Friday)

Today there are many who do not attach any importance to namasmarana (contemplation on the Divine Name). It is a great mistake. “In this Age of Kali only chanting of the divine name can redeem your lives. There is no other refuge.” (Sanskrit sloka) Singing the glory of the Lord is highly sacred. Let each and every street reverberate with the singing of divine glory. Let each and every cell of your body be filled with divine name. Nothing else can give you the bliss, courage and strength that you derive from namasmarana. Even if some people make fun of you, do not bother about it. People may say, “He is an I.A.S. officer. How is it that he is also doing namasmarana?” Whoever has a heart has the right to do namasmarana. Heart is the same in everyone. What is wrong if an I.A.S. officer does namasmarana? Be he young or old, rich or poor, everybody has to do namasmarana. Only fools make fun of people doing namasmarana. Do namasmarana with full mind and total dedication. 


- Divine Discourse, Apr 14, 2002.

Your lives will be redeemed only when you contemplate on the Divine Name incessantly.


Hari ini ada banyak yang tidak terhubung betapa pentingnya namasmarana (kontemplasi pada nama suci Tuhan). Ini adalah kesalahan yang sangat besar. “Pada jaman Kali hanya dengan melantunkan nama suci Tuhan yang dapat menyelamatkan hidupmu. Tidak ada tempat perlindungan lainnya.” (sloka Sanskrit) Mengkidungkan kemuliaan Tuhan adalah sangat begitu suci. Biarlah setiap jalan bergema dengan lantunan kemuliaan nama suci Tuhan. Biarkan setiap bagian sel dalam tubuhmu dipenuhi dengan nama suci Tuhan. Tidak ada yang lainnya dapat memberikanmu kebahagiaan, keberanian dan kekuatan yang engkau dapatkan dari namasmarana. Bahkan jika beberapa orang mengolok-olokmu, jangan menjadi terganggu dengan hal itu. Beberapa orang mungkin berkata, “dia adalah aparatur sipil negara (ASN), bagaimana dia juga melakukan namasmarana?” siapapun yang memiliki hati maka memiliki hak untuk melakukan namasmarana. Hati adalah sama dalam diri setiap orang. Apa salahnya jika seorang ASN melakukan namasmarana? Apakah dia muda atau tua, kaya atau miskin, setiap orang harus melakukan namasmarana. Hanya mereka yang dungu yang mengolok-olok orang yang melakukan namasmarana. Kerjakan namasmarana dengan pikiran penuh dan dedikasi total. 


- Divine Discourse, Apr 14, 2002.

Hidupmu akan diselamatkan hanya ketika engkau merenungkan nama suci Tuhan tanpa henti.

Thought for the Day - 11th April 2024 (Thursday)

The Ramzan month is set apart for the holy task of bringing into memory and practising the teachings that Hazrath Muhammad conveyed, and attaining that stage of unity and purity which is truly Divine. With the darshan (vision) of the New Moon, the Ramzan fast begins and when the New Moon is seen again, the fast ends. 'Fast' does not consist in merely desisting from food and drink. The fast starts at sunrise and is broken only after sunset and is observed most rigorously. Waking as early as three or four, in the brahma muhurta, prayer is started, and throughout the day, the constant presence of God is sought to be experienced. This is the meaning of Upavasa (fast). Also, during the Ramzan month, rivalry is avoided, and hatred is suspended. Husband and wife live apart though in the same home, mother and children both follow the same spiritual regimen and an atmosphere of brotherhood is maintained. The body, the senses and the mind are subject to rigorous discipline. Periods of fast comprising a month are prescribed in all religions. 


- Divine Discourse, Jul 12, 1983.

Islam is a word which denotes not a particular religion but a state of mind, the state of total surrender to the Will of God.


Bulan Ramadhan dikhususkan untuk tugas suci dalam mengingat dan menjalankan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, dan mencapai tahapan kesatuan dan kemurnian yang sesungguhnya adalah ilahi. Dengan darshan (penglihatan) bulan baru, puasa Ramadhan dimulai dan ketika bulan baru terlihat kembali, puasa berakhir. 'Puasa' tidak mengacu pada hanya pada berhenti dari makanan dan minuman. Puasa mulai pada pagi hari dan dibuka hanya setelah matahari terbenam serta dijalankan dengan sangat ketat. Bangun pagi lebih awal di pukul tiga atau empat, saat brahma muhurta, dimulai dengan doa, dan sepanjang hari, kehadiran Tuhan secara terus menerus dicari agar dapat dialami. Ini adalah makna dari Upavasa (puasa). Selain itu, di bulan Ramadhan persaingan dihindari, dan kebencian dihilangkan. Suami dan istri hidup terpisah walaupun ada dalam satu rumah, ibu dan anak keduanya mengikuti pola spiritual yang sama dan suasana persaudaraan dijaga. Tubuh, Indera dan pikiran tunduk pada disiplin yang ketat. Periode puasa satu bulan diwajibkan dalam semua agama. 


- Divine Discourse, Jul 12, 1983.

Islam adalah sebuah kata yang tidak menunjukkan pada agama tertentu namun sebuah keadaan pikiran, keadaan berserah sepenuhnya pada kehendak Tuhan.


Thought for the Day - 10th April 2024 (Wednesday)

Pure and pious qualities are immanent in man. He should manifest these inherent pure feelings and not the animal and artificial qualities. But man today is going down-hill morally. With all these contrived situations, the world has become a morose and lifeless place. If money is lost, it can be earned again. If health is lost, it may be possible to regain it. But if time is lost, it can never be regained. So, man should utilise the time at his disposal in the right manner. Money decreases only when you spend it. But man’s lifespan decreases on its own with the passage of time. Every individual should be aware of the sharp scimitar called time hanging over his head ever ready to strike. You should be careful. You should not become its victim. Time wasted cannot be regained. It is not like health and money, which can be regained. Embodiments of Love! To sanctify time, you should take up virtuous actions. Good actions are the result of good feelings only. You should cultivate such pure and divine feelings. 


- Divine Discourse, Mar 05, 2000.

Develop the inward vision and taste the bliss it gives for at least half a minute every day; that will surely confer on you great strength and security.


Kualitas yang luhur dan murni terpendam di dalam diri manusia. Manusia seharusnya mewujudkan perasaan-perasaan murni yang melekat ini dan bukannya kualitas binatang dan palsu. Namun manusia pada saat sekarang secara moral mengalami kemerosotan. Dengan semua situasi yang dibuat-buat ini, dunia telah menjadi sebuah tempat yang muram dan tidak bernyawa. Jika kehilangan uang, uang dapat diperoleh kembali. Jika kehilangan kesehatan, masih ada kemungkinan untuk mendapatkannya kembali. Jika waktu telah hilang, maka waktu tidak pernah bisa diperoleh kembali. Jadi, manusia seharusnya menggunakan waktu yang dimilikinya dengan cara yang benar. Uang menjadi berkurang hanya ketika dibelanjakan. Namun usia hidup manusia berkurang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Setiap individu seharusnya menyadari pedang tajam yang disebut waktu yang tergantung di atas kepalanya yang selalu siap untuk memotong. Engkau seharusnya berhati-hati. Engkau seharusnya tidak menjadi korban. Waktu yang disia-siakan tidak bisa diperoleh kembali. Waktu tidak sama dengan kesehatan dan uang, yang mana dapat diperoleh kembali. Perwujudan kasih! Untuk menyucikan waktu, engkau seharusnya melakukan perbuatan yang luhur dan mulia. Perbuatan baik adalah hasil dari perasaan baik saja. Engkau seharusnya memupuk perasaan yang suci dan Ilahi tersebut. 


- Divine Discourse, Mar 05, 2000.

Kembangkan pandangan ke dalam diri dan rasakan kebahagiaan yang diberikan setidaknya setengah menit setiap hari; itu pasti akan menganugerahkan padamu kekuatan dan keamanan yang luar biasa.

Thought for the Day - 9th April 2024 (Tuesday)

Look within and experience God, who’s present in your heart. That’s real Ugadi. Realise that God is present everywhere. God is one, though people worship Him by many names. There can be many sweets like gulab jamun, mysore pak, and jilebi, but sugar in all is the same. There may be differences in names and forms of people, but Divinity immanent in all is the same. Truth is one, wise refer to it by various names (Ekam sat viprah bahuda vadanti). You see a picture of Krishna wearing a crown with a peacock feather or that of Siva with a third eye. These are mere pictures of God. God has no form. He is beyond all names and forms. Therefore, do not limit God to any name and form. Do not have the false notion that God is present only at this place or that place. Contemplate on God who is present in your heart, and earn His grace. Right from this sacred day of Ugadi, see God in everyone. Whomsoever you come across, offer your salutations to them, considering them as an embodiment of God. 


- Divine Discourse, Mar 16, 2010.

Recognise that you all are the reflections of the Divine. Then you will not hate anyone or feel jealous of anyone; you will be free from egotism


Lihatlah ke dalam diri dan alami Tuhan yang bersemayam di dalam hatimu. Itu adalah perayaan Ugadi yang sesungguhnya. Sadari bahwa Tuhan hadir di setiap tempat. Tuhan adalah satu, walaupun manusia memuja Tuhan dengan banyak nama. Ada banyak nama untuk permen seperti gulab jamun, mysore pak, dan jilebi, namun gula yang ada di dalam semua permen itu adalah sama. Ada banyak perbedaan dalam nama dan wujud manusia, namun keilahian yang terpendam di dalam semuanya adalah sama. Kebenaran adalah satu, mereka yang bijaksana mengacu kebenaran dengan berbagai nama (Ekam sat viprah bahuda vadanti). Engkau melihat gambar Krishna memakai mahkota dengan bulu merak atau melihat gambar Siva dengan tiga mata. Ini hanyalah gambar Tuhan. Tuhan tidak memiliki wujud. Tuhan adalah melampaui semua nama dan wujud. Maka dari itu, jangan membatasi Tuhan pada nama dan wujud tertentu saja. Jangan memiliki gagasan yang salah bahwa Tuhan hanya ada pada satu tempat tertentu saja. Pusatkan pikiran pada Tuhan yang bersemayam di dalam hatimu, dan dapatkan karunia-Nya. Mulai dari perayaan suci Ugadi, lihatlah Tuhan dalam diri setiap orang. Siapapun yang engkau temui, persembahkan rasa hormatmu kepada mereka, anggaplah mereka sebagai perwujudan Tuhan. 


- Divine Discourse, Mar 16, 2010.

Sadari bahwa engkau semua adalah refleksi dari Tuhan. Kemudian engkau tidak akan membenci siapapun atau merasa iri hati kepada siapapun; engkau akan bebas dari egoisme


Thought for the Day - 8th April 2024 (Monday)

Do not fritter away your energies playing the silly game of gaining and losing, gathering and scattering, winning temporary fame, fortune and felicity. Go, straight on the royal road that leads to self-realisation, and don't stray into the bylanes of counterfeit bliss. This does not mean that you have to give up kith and kin and foot it all alone. The community in which you find yourself is the arena where you can win the victory, the gymnasium where you develop the skill to win. The spiritual journey lies through compassion, sympathy, mutual help, and service, and these are fostered by society and are to be used for society. If you love another person, you will not covet lordship over him; you will not covet his property; you will have no envy when he prospers, and no joy when he suffers. Love is the strongest antidote for greed. This, therefore, is the fundamental spiritual discipline: give love and receive love. 


- Divine Discourse, Mar 06, 1970.

Love lives by giving and forgiving; Self lives by getting and forgetting


Jangan menyia-nyiakan energimu memainkan permainan konyol untung dan rugi, mengumpulkan dan menghamburkan, memenangkan ketenaran, keberuntungan dan suka cita yang sementara. Berjalanlah lurus di jalan megah yang menuntun pada kesadaran diri sejati, dan tidak tersesat ke dalam kebahagiaan yang palsu. Hal ini tidak berarti bahwa engkau harus melepaskan sanak saudara dan menanggung semuanya sendirian. Masyarakat dimana kamu berada adalah sebuah gelanggang dimana engkau bisa memperoleh kemenangan, ruang olahraga dimana engkau dapat mengembangkan keahlian untuk menang. Perjalanan spiritual terdapat pada welas asih, simpati, saling menolong dan pelayanan, semuanya ini dipupuk oleh masyarakat dan digunakan untuk masyarakat. Jika engkau mengasihi orang lain, engkau tidak akan menginginkan kekuasaan atas dirinya; engkau tidak akan mendambakan kekayaannya; engkau tidak akan memiliki iri hati ketika dia sejahtera, dan tidak bergembira ketika dia menderita. Kasih adalah obat penawar terampuh bagi ketamakan. Maka dari itu, ini adalah disiplin spiritual yang mendasar yaitu memberi kasih dan menerima kasih. 


- Divine Discourse, Mar 06, 1970.

Kasih ada dari memberi dan memaafkan; Ego ada dengan mengambil dan melupakan


Thought for the Day - 6th April 2024 (Saturday)

In the world, there is on the one side the attraction of the Preyo-Marga (path of pleasure) and on the other, the Sreyo-Marga (path of purpose). Those who seek the pleasures of the senses take to the Preyo-Marga. Only the spiritually wise, who are indifferent to the fleeting mundane pleasures derived from the senses, and who are austere and pure-hearted, pursue the Sreyo-Marga. There is another path, which transcends both. These two paths encompass all the possible desires of human beings. The quality of Anapeksha goes beyond both of them. Anapeksha is described as being free from desires. But this is not wholly correct. It is when a man gives up the feeling, "I am the doer" and "I am the experiencer," that true Anapeksha emerges. This means that the conceit of doership and the sense of enjoyment of desired things should be wholly renounced. This is the true state of Anapeksha (desirelessness). It is only when all actions are done as an offering to God that Anapeksha prevails. When such a feeling fills the heart of the devotee, the Divine confers beatitude on him. Such a devotee is dear to the Lord. 


- Divine Discourse, Nov 20, 1990

When you offer all your actions to God, your heart will become sacred. With a sacred heart, you can lead a peaceful life.


Di dunia, ada satu sisi daya tarik dari Preyo-Marga (jalan kesenangan) dan di sisi lainnya adalah Sreyo-Marga (jalan mengarah pada tujuan). Bagi mereka yang mencari kesenangan dari Indera akan menempuh jalan Preyo-Marga. Hanya mereka yang bijak secara spiritual, mereka yang acuh terhadap kesenangan duniawi yang bersifat sementara yang berasal dari indera, dan bagi mereka yang teguh dan berhati murni, mereka semua menempuh jalan Sreyo-Marga. Ada jalan yang lainnya yang mana melampaui keduanya. Kedua jalan ini mencakup semua keinginan manusia. Kualitas dari Anapeksha melampaui keduanya. Anapeksha dijelaskan sebagai yang bebas dari keinginan. Namun makna ini tidak sepenuhnya benar. Hanya ketika manusia melepaskan perasaan, "aku adalah pelaku " dan "aku adalah yang menikmati," makna sesungguhnya dari Anapeksha itu muncul. Ini berarti bahwa kesombongan perasaan sebagai pelaku dan penikmat dari hal-hal yang diinginkan sepenuhnya harus dilepaskan. Ini adalah keadaan sesungguhnya dari Anapeksha (tanpa keinginan). Hanya ketika semua perbuatan dilakukan sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan maka disanalah muncul Anapeksha. Ketika perasaan seperti itu mengisi hati dari bhakta, maka Tuhan akan menganugerahkan kebahagiaan padanya. Bhakta yang seperti itu adalah yang disayang oleh Tuhan. 


- Divine Discourse, Nov 20, 1990

Ketika engkau mempersembahkan semua perbuatanmu kepada Tuhan, hatimu akan menjadi suci. Dengan hati yang suci, engkau dapat menjalani hidup yang penuh kedamaian.


Thought for the Day - 5th April 2024 (Friday)

To maintain equanimity in pleasure and pain or praise and blame is a difficult proposition. It cannot be achieved by scholarship. One may wonder how this is possible for mankind to maintain such equanimity. You should ask who is the one that criticises and who is the one that is criticised. If you consider that it is the body that is criticised, then it is good. Because we ourselves condemn the body as a container of foul material like urine, faecal matter, etc. and made up of merely the five elements. While so, why should you be affected by the criticism of another? If it is Atma that is criticised, the same Atma is present in both - the person who is criticising and the one that is criticised. So this means he is criticising himself! Both praise and blame pertain only to the body - one must recognise this truth and conduct oneself accordingly. If you consider that the other person is criticising you, that means you are accepting the contents thereof. If you say you are not the one being criticised, you do not receive it, it goes back to the sender.


- Divine Discourse, Apr 25, 1998.

More than listening to a hundred lectures or delivering them to others, offering one act of genuine seva attracts the grace of God.


Untuk menjaga keseimbangan batin pada saat suka dan duka cita atau saat dipuji dan dicela adalah sebuah konsep yang sulit. Ini tidak bisa dicapai dengan pendidikan. Seseorang mungkin heran bagaimana ini mungkin bagi manusia untuk menjaga keseimbangan batin seperti itu. Engkau seharusnya bertanya siapa yang memberikan kritik dan siapa yang dikritik. Jika engkau menyadari bahwa tubuh ini yang dikritik, maka itu adalah baik. Karena kita sendiri menganggap tubuh sebagai wadah dari bahan-bahan kotor seperti kencing, kotoran, dsb yang hanya tersusun dari lima unsur. Jika demikian, mengapa engkau harus terpengaruh dengan kritikan dari orang lain? Jika Atma yang dikritik, sedangkan Atma yang sama juga ada pada keduanya – pada orang yang mengkritik dan pada orang yang dikritik. Jadi hal ini berarti dia sedang mengkritik dirinya sendiri! Keduanya baik pujian dan celaan hanya berkaitan dengan tubuh – seseorang harus menyadari kebenaran ini dan bertindak sesuai dengan itu. Jika engkau menganggap bahwa orang lain sedang mengkritikmu, itu berarti bahwa engkau sedang menerima isinya. Jika engkau berkata bahwa engkau bukanlah seseorang yang sedang dikritik, maka engkau sedang tidak menerimanya, maka kritikan itu akan kembali pada yang memberikan kritikan. 


- Divine Discourse, Apr 25, 1998.

Lebih dari sekedar mendengarkan ratusan wacana atau menyampaikannya kepada orang lain, persembahkan satu tindakan seva yang murni yang menarik Rahmat Tuhan. 


Thought for the Day - 4th April 2024 (Thursday)

There should be both inner and outer purity. Bodily purity relates to the physical. It covers such cleansing acts as bathing, wearing clean clothes, eating pure food and the like. But mere external cleanliness without internal purity is of no value. Everyone, from the scholar to the common man, is concerned only about external cleanliness and not about the purity of the heart within. However pure the ingredients may be, if the vessel in which they are cooked is not clean, the food will be spoiled. For a man, his heart is the vessel, and he must see that it is kept pure and untainted. For the purification of the heart, everyone must undertake selfless service. Attachments and aversions which pollute the mind should be eschewed by concentrating on selfless service. It is only when the heart is pure that selfless service can be performed. Hence both bodily and mental purity are essential for a good devotee.


- Divine Discourse, Nov 20, 1990.

Man can experience joy and happiness only when he has contentment. As desires grow, discontent grows and worries multiply.


Harus ada kesucian secara batin dan lahir. Kesucian lahir terkait dengan fisik. Hal ini mencakup tindakan kebersihan seperti mandi, memakai pakaian bersih, mengkonsumsi makanan yang suci dan sejenisnya. Namun kebersihan lahiriah tanpa adanya kesucian batin adalah tidak ada maknanya. Setiap orang, mulai dari cendekiawan sampai pada orang umumnya, hanya fokus pada kebersihan lahiriah dan tidak pada kemurnian di dalam hati. Bagaimanapun murninya bahan-bahan yang ada, namun jika wadah yang dipakai memasak tidak bersih, maka makanan itu akan menjadi rusak. Bagi seorang manusia, hatinya adalah wadahnya, dan dia harus memastikan bahwa hatinya harus tetap murni dan tidak ternoda. Untuk pemurnian hati, setiap orang harus melakukan pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri. Keterikatan dan kebencian yang mengotori pikiran harus dihindari dengan memusatkan pikiran pada pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri. Hanya ketika hati murni maka pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri dapat dilakukan. Oleh karena itu kesucian keduanya yaitu kesucian batin dan lahir adalah mendasar bagi seorang bhakta yang baik.


- Divine Discourse, Nov 20, 1990.

Manusia dapat mengalami suka cita dan kebahagiaan hanya ketika dia memiliki rasa syukur. Ketika keinginan berkembang, rasa syukur dan kecemasan akan meningkat.

Thought for the Day - 3rd April 2024 (Wednesday)

In the modern world, every person tries hard to attain peace, performing various kinds of Sadhana. Peace cannot be attained through spiritual pursuits. It cannot be acquired even by knowledge of the texts, authority or high positions in life. Peace can be attained only by God’s grace. Though man is eager to attain peace, he confronts many obstacles in the path. Those who travel by train may be well acquainted with the slogan, “Less luggage, more comfort, make travel a pleasure.” Now, man is burdening himself with limitless desires. Because of this extra heavy luggage of desires, he finds it extremely difficult to carry on the journey of life. By such a proliferation of desires, he loses his balance, moves far away from his goal, and even tends to go mad. It is for this reason that I have been stressing the need for a ceiling on desires. By limiting your desires, you can attain peace to a certain extent. You have to exercise a check on your desires and make efforts to get the grace of the Divine.


- Divine Discourse, Apr 25, 1998


Dalam dunia modern, setiap orang mencoba keras untuk mencapai kedamaian, melakukan berbagai jenis Sadhana. Kedamaian tidak bisa dicapai melalui pencarian spiritual. Kedamaian tidak bisa diraih bahkan dengan pengetahuan teks, kekuasaan atau jabatan tinggi dalam hidup. Kedamaian hanya dapat dicapai dengan rahmat Tuhan. Walaupun manusia berhasrat untuk mencapai kedamaian, manusia menghadapi banyak halangan dalam usaha ini. Mereka yang bepergian dengan kereta api sudah lumrah dengan slogan, “Sedikit bagasi, lebih menyenangkan, menjadikan perjalanan sebuah kesenangan.” Sekarang, manusia sedang membebani dirinya sendiri dengan keinginan yang tidak terbatas. Karena bagasi keinginan yang berlebih ini, dia mendapatkan kesulitan yang begitu besar dalam melanjutkan perjalanan hidup ini. Dengan keinginan yang begitu besar, manusia kehilangan keseimbangannya, bergerak menjauh dari tujuannya, dan bahkan cendrung menjadi gila. Karena alasan inilah Aku telah menekankan kebutuhan pada pembatasan keinginan. Dengan membatasi keinginanmu, engkau dapat mencapai kedamaian sampai batas tertentu. Engkau harus melatih untuk mengendalikan keinginanmu dan melalukan usaha untuk mendapatkan rahmat Tuhan.


- Divine Discourse, Apr 25, 1998

Thought for the Day - 2nd April 2024 (Tuesday)

“Udaseenah'' means ‘indifference towards sorrow and joy, loss or gain, honour or dishonour’. You must be concerned only to see whether your actions are pure and selfless according to your conscience. Nothing else matters, neither praise nor blame of other people. When your conscience tells you what you are doing is good, you may go ahead regardless of the opinion of others, whether they are your kinsmen, friends or others. This is the true meaning of Udaseenah (indifference). You should not be swayed by fears or threats. In this context, it is advisable for sevaks to keep away from politics. Sometimes, out of a desire for recognition or publicity, one may be tempted to cultivate relationships with men in power. This temptation corrupts your mind. By developing the Udaseenata (spirit of indifference) in its true sense, you must seek to serve all with a feeling of love. Indifference should not assume the form of arrogance or ostentatious condescension. Adhere to what is right and turn away from what is bad. That is the highest Udaseenata. 


- Divine Discourse, Nov 20, 1990.

Equanimity can arise only from the spring of devotion in the heart.


“Udaseenah'' berarti ‘pengabaian terhadap duka dan suka cita, kerugian atau keuntungan, penghormatan atau penghinaan’. Engkau harus hanya fokus melihat apakah perbuatanmu murni dan tidak mementingkan diri sendiri sesuai dengan suara hatimu. Tidak ada hal lain yang penting, tidak dengan pujian atau celaan dari orang lain. Ketika suara hatimu mengatakan padamu bahwa apa yang sedang engkau lakukan adalah baik, engkau dapat terus melakukannya tanpa mempedulikan pendapat orang lain, apakah mereka itu adalah kerabatmu, sahabat atau yang lainnya. Ini adalah makna sebenarnya dari Udaseenah (pengabaian). Engkau seharusnya tidak terpengaruh oleh ketakutan atau ancaman. Dalam hal ini, disarankan bagi para sevaka untuk menjauh dari politik. Kadang-kadang, karena keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau ketenaran, seseorang dapat tergoda untuk membangun hubungan dengan mereka yang berkuasa. Godaan ini merusak pikiranmu. Dengan mengembangkan Udaseenata (semangat pengabaian) dalam arti yang sebenarnya, engkau harus berupaya untuk melayani semuanya dengan perasaan kasih. Pengabaian seharusnya tidak dalam bentuk arogansi atau sikap merendahkan yang berlebihan. Patuhi apa yang benar dan jauhi apa yang buruk. Ini adalah Udaseenata yang tertinggi. 


- Divine Discourse, Nov 20, 1990.

Keseimbangan batin hanya muncul dari sumber bhakti di dalam hati.


Thought for the Day - 22nd March 2024 (Friday)

You have to read the newspaper to know how mad and foolish the world is; how futile is heroism, how momentary the glory; and after perusing it for the information it conveys, you throw it aside; it is now a tasteless waste. So too, live but once; so live that you are born but once. Do not fall in love with the world so much that your false fascination brings you again and again into this delusive amalgam of joy and grief. Unless you stand back a little, away from entanglement with the world, knowing that it is all a play whose director is God, you are in danger of being too closely involved. Use the world as a training ground for sacrifice, service, expansion of the heart, and cleansing of the emotions. That is the only value it has. Do not waste time purposelessly; let every moment be Bhajana. Know the purpose of Bhajana or Namasmarana and devote yourself wholeheartedly to it; derive the maximum benefit from the years allotted to you. 


- Divine Discourse, Mar 28, 1967.

Rise every day with the thought of God; spend every day with the name of God; go back to bed with the thought of His glory as enshrined in His name.


Engkau telah membaca surat kabar untuk mengetahui betapa gila dan bodohnya dunia ini; betapa sia-sianya kepahlawanan, begitu sementaranya kejayaan itu; dan setelah membaca dengan teliti informasi yang disampaikan, engkau membuang surat kabar itu; sekarang surat kabar itu menjadi limbah yang tidak ada nilainya. Begitu juga, hiduplah hanya sekali saja; jadi hiduplah bahwa engkau dilahirkan hanya sekali saja. Jangan jatuh cinta pada dunia begitu besar sehingga pesona yang salah itu membawamu berulang kali dalam campuran suka dan duka yang ilusi ini. Kecuali jika engkau mundur sedikit, menjauh dari keterikatan dengan dunia, mengetahui bahwa itu semua adalah drama yang sutradaranya adalah Tuhan, engkau dalam bahaya karena terlibat terlalu dekat. Gunakan dunia sebagai tempat latihan untuk berkorban, melayani, mengembangkan hati, dan membersihkan emosi. Hanya ini nilai yang dimiliki dunia. Jangan menghabiskan waktu tanpa tujuan; jadikan setiap moment sebagai Bhajana. Ketahuilah tujuan dari Bhajana atau Namasmarana dan dedikasikan dirimu sendiri sepenuh hati untuk itu; dapatkan keuntungan yang maksimal dari tahun-tahun yang diberikan kepadamu. 


- Divine Discourse, Mar 28, 1967.

Bangkitlah setiap hari dengan memikirkan Tuhan; habiskan setiap hari dengan nama suci Tuhan; pergilah ke tempat tidur dengan memikirkan kemuliaan Tuhan yang diabadikan dalam nama-Nya.


Thought for the Day - 21st March 2024 (Thursday)

To lead a good life, constant prompting from God within is a great help. That inspiration can be obtained only by constantly reciting the Lord's Name and calling on the inner springs of Divinity. The Name is so valuable an instrument to win His Grace, to realise His presence, to picture His form, and to remember His glory, that even if it is repeated from the heart once in the morning, and once in the evening, that will make the griham a griham (a home), instead of a guha (cave)! The lamp of the Name when it is lit will illumine the household and make it a home, instead of a cave. If a lamp is kept burning in a room, it may go out when winds blow in from the windows. The senses (indriyas) are the windows and when they are open, the lamp of the Name will not burn steadily. So keep the external-facing windows (senses) closed to the influences that attract, and concentrate on the Name of the Lord and its beauty and sweetness! 


- Sathya Sai Speaks, Vol 6, Ch 27.

All evil thoughts and wicked plans and plots will disappear like fog before the Sun when the Name of God is remembered sincerely.


Untuk menjalani hidup yang baik, dorongan hati secara konstan dari Tuhan di dalam diri adalah sebuah bantuan yang begitu besar. Inspirasi tersebut hanya dapat diperoleh melalui pengulangan nama suci Tuhan terus menerus dan memanggil sumber keilahian di dalam diri. Nama adalah sarana yang sangat berharga untuk mendapatkan Rahmat-Nya, untuk menyadari kehadiran-Nya, untuk menggambarkan wujud-Nya, dan untuk mengingat kemuliaan-Nya, dan jika nama itu diulang-ulang dari hati di pagi hari, dan di sore hari, maka nama itu akan membuat griham sebagai griham (rumah), dan bukannya sebuah guha (gua)! Lentera dari nama itu ketika dinyalakan akan menerangi rumah tangga dan menjadikannya rumah dan bukan sebuah gua. Jika sebuah lampu dibiarkan menyala di dalam rumah, lampu tersebut bisa mati ketika angin berhembus dari jendela. Indria adalah jendela dan ketika jendela-jendela itu dibuka, lampu nama itu tidak menyala terus menerus. Jadi tutuplah jendela-jendela indria yang mengarah keluar pada pengaruh-pengaruh yang menarik, dan pusatkan perhatian pada nama suci Tuhan dan keindahan serta rasa manis-Nya! 


- Sabda Sathya Sai, Vol 6, Ch 27.

Semua pikiran dan rencana jahat akan lenyap seperti kabut dihadapan matahari ketika nama Tuhan diingat dengan tulus.

Thought for the Day - 12th March 2024 (Tuesday)

If love forms part of your nature, Satya or Truth will be present. When your thoughts emanate from a mind purified by love, they will result in Dharma (Right Action). When love becomes part of your experience, thoughts and actions, you get Shanti (Peace). When we comprehend Love clearly, Ahimsa or non-violence will result automatically. So love is the unseen undercurrent binding all the four values. It can be summarised thus: Love plus thoughts is Satya; love plus feelings is Shanti; love plus action is Dharma and love plus understanding is Ahimsa. Love is the common denominator for all these values. It is the form of God, for God is love. One who gives love is a man and one who fails to nourish this love is a beast. Love, or absence of love makes one an animal, man or God. The nurturing of love is possible only in a tender heart. Because of attachment to worldly objects, that tenderness is lost.


- Divine Discourse, Jan 25, 1985.

To foster love is the purpose of all spiritual endeavor.


Jika wujud kasih menjadi bagian dari sifat alamimu, Satya atau kebenaran akan hadir. Ketika pikiranmu muncul dari pikiran yang dimurnikan oleh kasih, maka pikiran itu akan menghasilkan Dharma (kebajikan). Ketika kasih menjadi bagian dari pengalamanmu dalam pikiran dan perbuatan maka engkau mendapatkan Shanti (kedamaian). Ketika kita memahami kasih dengan jelas, maka Ahimsa atau tanpa kekerasan akan menjadi hasilnya secara otomatis. Jadi kasih adalah arus bawah yang tidak terlihat mengikat keempat nilai-nilai itu. Hal ini dapat disimpulkan menjadi: kasih ditambahkan pikiran adalah Satya; kasih ditambahkan perasaan adalah Shanti; kasih ditambahkan tindakan adalah Dharma dan kasih ditambahkan pemahaman adalah Ahimsa. Kasih adalah penyebut yang sama bagi nilai-nilai ini. Kasih adalah wujud dari Tuhan, karena Tuhan adalah kasih. Seseorang yang memberikan kasih adalah manusia dan seseorang yang gagal memelihara kasih ini adalah binatang. Kasih, atau tanpa adanya kasih membuat seseorang menjadi binatang, manusia atau Tuhan. Pengembangan kasih hanya mungkin di dalam hati yang lembut. Karena keterikatan pada objek-objek duniawi, kelembutan itu telah hilang. 


- Divine Discourse, Jan 25, 1985.

Untuk mengembangkan kasih adalah tujuan dari seluruh usaha spiritual.

Thought for the Day - 9th March 2024 (Saturday)

According to Numerology, the first three syllables of the word Shivaratri - Shi, va and ra - connote the numbers 5, 4 and 2, and the fourth syllable, tri, means 'three.' 5, 4 and 2 make one whole, one composite picture of the eleven Rudras. Rudra means, "the one who makes man weep." The eleven Rudras are: the five senses of perception, the five senses of action, and the mind. These, by leading man astray in pursuit of trivial and transitory pleasures, ruin him and make him weep. But the Atman, if it is sought and relied upon, sheds its rays on the eleven and makes them meaningful partners in the progress of man towards self-realisation. The rays from the Atman illumine the intelligence. The illumined intelligence alerts the mind and the alerted mind gets control of the senses, making the path clear for the person to proceed through knowledge to wisdom.


- Divine Discourse, Mar 7, 1978.

When the mind is drawn by yearning to know the Lord, all other low desires diminish and disappear. Then, knowledge of Atma is attained.


Menurut Numerologi, tiga suku kata pertama dari kata Shivaratri yaitu - Shi, va dan ra – berarti angka 5, 4 dan 2, sedangkan suku kata keempat yaitu tri, berarti 'tiga.' 5, 4 dan 2 menjadi satu keseluruhan, satu gambar gabungan dari sebelas Rudra. Rudra berarti, "yang membuat manusia menangis." Sebelas Rudra adalah: lima Indera persepsi, lima Indera tindakan, dan pikiran. Kesemuanya ini mengarahkan manusia menjadi tersesat dalam pengejaran kesenangan yang sementara dan sepele, menghancurkan manusia dan membuatnya menangis. Namun Atman, jika dicari dan diandalkan, akan memancarkan sinarnya pada kesebelas bagian itu dan membuatnya menjadi mitra yang berguna dalam kemajuan manusia menuju pada realisasi diri yang sejati. Sinar dari Atman menerangi kecerdasan. Kecerdasan yang tercerahkan akan mengingatkan pikiran dan pikiran yang waspada akan mengendalikan indera, membuat jalan yang jelas bagi orang tersebut untuk berjalan melalui pengetahuan menuju kebijaksanaan.


- Divine Discourse, Mar 7, 1978.

Ketika pikiran ditarik dengan kerinduan untuk mengetahui Tuhan, semua keinginan rendahan akan berkurang dan lenyap. Kemudian, pengetahuan Atma yang akan tercapai.

Thought for the Day - 8th March 2024 (Friday)

Man should seek God alone. Once God's grace is secured, all else will be got with ease. For this, man must get rid of attachment, fear and hatred. He must perform all actions as an offering to God, who is omnipresent. The vigil and fasting observed on Shivaratri night have become a farce. True vigil and fasting consist of concentrating one's thoughts on God during the whole night. God's grace is a direct sequel to one's actions. Each one must examine and see in what spirit one is performing one’s worship. The Divine can be realised only through Shraddha and Vishvasa (steadfastness and faith). The Divine is within everyone. Once man recognises this fact, he will give no room for bad qualities. Embodiments of Divine Love! Dedicate yourselves to the performance of your duties. Do not waste your time or that of others in idle talk. Starting with the duties of the individual, man should aim at achieving oneness with the Divine as the ultimate goal. Shivaratri is an auspicious occasion for concentrating the mind on God. Devote at least this one night entirely to the contemplation of God, to the exclusion of all other thoughts and worries. 


- Divine Discourse, Feb 19, 1993

Mahashivaratri is dedicated to the disintegration of the aberrations of the mind, and so, of the mind itself, by dedicating oneself to Shiva, God.


Manusia seharusnya hanya mencari Tuhan. Sekali Rahmat Tuhan didapatkan, semua yang lainnya akan mudah didapatkan. Untuk ini, manusia harus melenyapkan keterikatan, ketakutan dan kebencian. Manusia harus menjalankan semua perbuatan sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan, yang ada dimana-mana. Tidak tidur dan puasa yang dilakukan pada malam Shivaratri telah menjadi sebuah lelucon. Tidak tidur dan puasa dalam arti yang sesungguhnya terdapat dalam terpusatnya pikiran seseorang pada Tuhan sepanjang malam. Rahmat Tuhan adalah kelanjutan lansung dari perbuatan seseorang. Setiap orang harus memeriksa dan melihat apa motif seseorang dalam melakukan persembahyangan. Tuhan dapat disadari hanya melalui Shraddha dan Vishvasa (ketabahan dna keyakinan). Tuhan bersemayam di dalam diri setiap orang. Sekali manusia menyadari kenyataan ini, dia tidak akan memberikan ruang bagi sifat-sifat yang buruk. Perwujudan kasih Tuhan! Dedikasikan dirimu sendiri untuk menjalankan kewajibanmu. Jangan menyia-nyiakan waktumu atau waktu orang lain dalam gosip. Mulai dari kewajiban diri, manusia harus memiliki tujuan untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sebagai tujuan terakhir. Shivaratri adalah sebuah perayaan suci untuk memusatkan pikiran pada Tuhan. Persembahkan setidaknya satu malam ini seluruhnya untuk merenungkan Tuhan, dengan mengesampingkan semua pikiran lainnya dan kecemasan. 


- Divine Discourse, Feb 19, 1993

Mahashivaratri didedikasikan untuk menghancurkan penyimpangan pikiran, dan juga pikiran itu sendiri dengan mendedikasikan diri pada Shiva, Tuhan.

Thought for the Day - 7th March 2024 (Thursday)

Shivaratri makes one aware that the same Divinity is all-pervasive, and found everywhere. In our daily experiences, there are a number of instances which reveal the existence of Divinity in every person. Consider a cinema; on screen, we see rivers in flood, engulfing all surrounding land. Even though the scene is filled with flood waters, the screen does not get wet by even a drop of water. At another time, on the same screen, we see volcanoes erupting with tongues of flame, but the screen is not burnt. The screen which provides the basis for all these pictures is not affected by any of them. Likewise in the life of man, good or bad, joy or sorrow, birth or death, will come and go, but they do not affect the Atma! In the cinema of life, the screen is the Atma; It is Shiva, it is Shankara, it is Divinity. When one understands this principle, one will be able to understand, enjoy and find fulfilment in life! 


- Divine Discourse, Feb 17, 1985.

All forms merge in the Formless at last. Shiva is the Principle of the destruction of all names and forms, of all entities and individuals.


Shivaratri membuat seseorang menyadari bahwa ke-Tuhan-an yang sama adalah meliputi semuanya, dan ditemukan dimana saja. Dalam pengalaman kita sehari-hari, ada beberapa contoh yang mengungkapkan keberadaan Tuhan dalam diri setiap orang. Bayangkan bioskop; di atas layar, kita melihat air sungai meluap, menggenangi semua daratan sekitar. Walaupun layar dibanjiri dengan air bah, layar tersebut tidak menjadi basah bahkan oleh setetes airpun. Pada kesempatan lainnya, di layar yang sama kita melihat ada gunung Merapi yang Meletus dengan nyala api yang berkobar, namun layar itu tidak terbakar. Layar yang menjadi dasar dari semua tayangan tadi tidak terpengaruh oleh semua yang muncul. Sama halnya dalam hidup manusia, baik atau buruk, suka atau duka cita, kelahiran atau kematian, akan datang dan pergi, namun semuanya itu tidak mempengaruhi Atma! Dalam bioskop kehidupan, layar itu sama dengan Atma; ini adalah Shiva, ini adalah Shankara, ini adalah ke-Tuhan-an. Ketika seseorang memahami prinsip ini, seseorang anak mampu memahami, menikmati dan mendapatkan pemenuhan dalam hidup! 


- Divine Discourse, Feb 17, 1985.

Semua bentuk akhirnya menyatu dalam yang tidak berwujud. Shiva adalah prinsip pelebur dari semua nama dan wujud, dari semua entitas dan individual.

Thursday, February 29, 2024

Thought for the Day - 29th February 2024 (Thursday)

The ear, skin, eye, tongue, nose — these five senses are able to cognise sound, touch, form, taste, and smell respectively. Objects of knowledge are cognised only through these five. The world is experienced through these instruments, which stand intermediate between the knower and the knowable. The inner capacity to understand objects is named the mind (manas). The mind moves out through the senses and attaches itself to objects. At that time, by that very occurrence, the mind assumes the form of that object; this is called a function (vritti). The mind is non-intelligent (achetana), so its transformations and manipulations (vikaras) are also non-intelligent, non-vital. A wooden doll has only the property of wood; a sugar doll, the property of sugar. The unintelligent mind cannot achieve knowledge of the supreme Intelligence (Chetana) which pervades the Universe. Just as the unintelligent chariot is directed by a charioteer, a charioteer must direct the unintelligent mind (manas), seated in the mind and having it as His vehicle. The motive force that activates the inner instruments, the senses of action, the senses of knowledge, the five vital airs (pranas) — that force is God! 


- Ch 8, Kena Upanishad, Upanishad Vahini.

You have faith in the driver of your car, in the engineer who built your house. So too, believe in the Inner Motivator, the Atman within, the Voice of God.


Telinga, kulit, mata, lidah, hidung – kelima Indera ini mampu mengenali suara, sentuhan, wujud, rasa, dan bau berturutan. Objek-objek pengetahuan hanya dapat diketahui melalui kelima Indera ini. Dunia ini dapat dialami melalui sarana ini, yang mana menjadi perantara antara yang mengetahui dan dapat diketahui. Kapasitas batin untuk memahami objek-objek yang ada disebut dengan pikiran (manas). Pikiran bergerak keluar melalui Indera dan melekatkan dirinya pada objek tersebut. Pada saat itu, melalui kejadian itu, pikiran mengambil bentuk dari objek itu; ini disebut dengan sebuah fungsi (vritti). Pikiran adalah tidak cerdas (achetana), jadi perubahan dan manipulasinya (vikaras) juga tidak cerdas, tidak bersifat vital. Boneka kayu hanya memiliki kualitas kayu; boneka gula memiliki sifat gula. Pikiran yang tidak cerdas tidak bisa mencapai pengetahuan kecerdasan tertinggi (Chetana) yang mana meliputi alam semesta. Seperti halnya kereta yang tidak cerdas diarahkan oleh seorang Kusir, Kusir ini harus mengarahkan pikiran yang tidak cerdas (manas), dan duduk didalamnya dan menjadikan manas itu sebagai kereta-Nya. Kekuatan pendorong yang mengaktifkan peralatan batin, Indera penggerak, Indera pengetahuan, lima udara vital (prana) – kekuatan itu adalah Tuhan! 


- Ch 8, Kena Upanishad, Upanishad Vahini.

Engkau memiliki keyakinan pada supir mobilmu, pada insinyur yang membangun rumahmu. Begitu juga, miliki keyakinan pada motivator dalam diri, Atma di dalam diri, suara Tuhan. 

Thought for the Day - 28th February (Wednesday)

The universe is an instrument to reveal the majesty of God. The inner firmament in the heart of man is also equally a revelation of His glory. He is the Breath of one’s breath. Since He has no specific form, He cannot be indicated by words. Nor can His mystery be penetrated by other senses. He is beyond the reach of asceticism, beyond the bounds of Vedic rituals. He can be known only by an intellect cleansed of all trace of attachment and hatred, of egotism, the sense of possession. Only spiritual wisdom can grant self-realisation. Meditation can confer concentration of faculties; through that concentration, spiritual wisdom can be won, even while in the body. The Brahman activates the body through the five vital airs (pranas). It condescends to reveal itself in that same body as soon as inner consciousness attains the requisite purity. For, the Atma is immanent in the inner and outer senses just as heat is in fuel and butter in milk. Now, individual consciousness is like damp fuel, soaked in the foulness of sensory desires and disappointments. When the pool in the heart becomes clear of slimy overgrowth, Atma shines in its pristine splendour! 


- Ch 4, Mundaka Upanishad, Upanishad Vahini.

If you lack purity of heart, you will not be able to understand the principle of Atma, irrespective of your educational qualifications.


Alam semesta adalah sebuah sarana untuk mengungkapkan keagungan Tuhan. Cakrawala batin di dalam hati manusia adalah sama juga mengungkapkan keagungan Tuhan. Tuhan adalah nafas dari nafas seseorang. Karena Tuhan tidak memiliki wujud tertentu, maka Tuhan tidak bisa ditunjukkan dengan kata-kata. Misteri Tuhan juga tidak bisa diungkapkan oleh Indera yang lain. Tuhan adalah melampaui pencapaian dari olah tapa, melampaui batasan-batasan dalam ritual Weda. Tuhan hanya bisa diketahui melalui kecerdasan yang bersih dari semua jejak keterikatan dan kebencian, egoisme, dan rasa kepemilikan. Hanya kebijaksanaan spiritual yang dapat memberikan kesadaran diri sejati. Meditasi dapat memberikan kemampuan konsentrasi; melalui konsentrasi tersebut kebijaksanaan spiritual dapat dicapai, walaupun saat masih hidup. Brahman mengaktifkan tubuh melalui lima udara yang vital (prana). Brahman merendahkan diri-Nya untuk mengungkapkan diri-Nya dalam tubuh yang sama segera setelah kesadaran batin mencapai kemurnian yang diperlukan. Karena, Atma adalah ada di dalam dan di luar Indera seperti halnya panas dalam bahan bakar dan mentega dalam susu. Sekarang, kesadaran individu adalah seperti bahan bakar yang berisi air, terendam dalam keinginan Indera dan kekecewaan. Ketika kolam di dalam hati menjadi bersih dari jumlah lumpur yang berlebih, Atma bersinar dengan kemuliaan-Nya yang murni! 


- Ch 4, Mundaka Upanishad, Upanishad Vahini.

Jika engkau kurang kemurnian hati, engkau tidak akan mampu memahami prinsip Atma, apapun kualifikasi pendidikanmu.

Thought for the Day - 27th February (Tuesday)

When the chanting of the Name is done in community singing, it should be in a form in which the entire group can participate easily. The tune, the rhythm, etc. should be such that all can follow the bhajan. If the lead singer takes up a song that is not familiar to others, the response from the group will be poor. There will be no enthusiasm or genuine participation. Their minds will be distracted. When all the devotees participate in the bhajan, the vibrations that are produced will generate joy and harmony. Many who organise mass singing on special occasions are not aware what kind of bhajans should be sung then. A person who has an individual style of his own may sing as he likes in private, but he is not suitable for community singing. There are some rules to be observed in conducting community bhajans. Alapana (elaboration of a raga) may be done in kirtana (individual singing), but it is wholly out of place in community bhajans. Hence, in such bhajans the accent should be entirely on the Name.


- Divine Discourse, Nov 08, 1986.

Always keep chanting the Name of God and you will never be able to forget Him at any time.


Ketika pelantunan nama suci Tuhan dilakukan dalam komunitas banyak orang, maka bhajan seharusnya dilaksanakan agar mudah diikuti oleh seluruh peserta. Maka dari itu nada, ritme, dalam bhajan disesuaikan sedemikian rupa agar semuanya dapat mengikuti bhajan. Jika pemimpin lagu melantunkan lagu bhajan yang tidak akrab di telinga bhakta lainnya, maka respon dari peserta bhajan akan buruk. Tidak akan ada semangat atau partisipasi yang murni. Pikiran mereka akan terganggu. Ketika semua bhakta berpartisipasi dalam bhajan, getaran yang dihasilkan akan menghasilkan suka cita dan keharmonisan. Banyak orang yang melaksanakan bhajan untuk banyak orang pada perayaan tertentu tidak menyadari jenis bhajan apa yang harus dilantunkan. Seseorang yang memiliki gaya tersendiri bisa menyanyi dengan sesuka hatinya secara pribadi, namun dia tidak sesuai untuk bhajan bersama. Ada beberapa aturan yang harus diikuti dalam melaksanakan bhajan bersama. Alapana (penguraian raga) dapat dilakukan dalam kirtana (bhajan sendiri), namun sama sekali tidak cocok dilakukan dalam bhajan bersama. Karena itu, dalam bhajan seperti itu penekanannya sepenuhnya pada nama suci Tuhan. 


- Divine Discourse, Nov 08, 1986.

Selalulah melantunkan nama suci Tuhan dan engkau tidak akan pernah bisa melupakan nama-Nya kapanpun juga.


Thought for the Day - 24th February 2024 (Saturday)

Winnow the real from the apparent. Look inside the event for the kernel, the meaning. Dwell over on your Atmic reality; you are pure, you are indestructible; you are unaffected by the ups and downs of life; you are the true, the eternal, the unchanging Brahman, the entity which is all this. A mere five-minute inquiry will convince you that you are not the body or the senses, the mind or the intelligence, the name or the form, but that you are the Atma Itself, the same Atma that appears as all this variety. Once you get a glimpse of this truth, hold on to it; do not allow it to slip. Make it your permanent possession. As a first step towards the acquisition of this Viveka (wisdom) and Vairagya (detachment), enter from now on into a discipline of Namasmarana - the incessant remembrance of God through the Name of the Lord.


- Divine Discourse, Jan 30, 1965.

Namasmarana is an exercise that can be practised at all times and places by all, irrespective of creed or caste or gender or age or economic and social status.


Menampi yang nyata dari yang kelihatan. Lihatlah ke dalam peristiwa untuk mencari inti yaitu makna sejatinya. Renungkan kenyataan sejatimu yaitu Atma; engkau adalah murni, engkau adalah tidak terhancurkan; engkau tidak terpengaruh oleh pasang dan surut kehidupan; engkau adalah Brahman yang sejati, kekal dan tidak berubah, entitas dari semuanya ini. Hanya dengan penyelidikan lima menit akan meyakinkanmu bahwa engkau bukanlah badan atau indera, pikiran atau kecerdasan, nama atau wujud, namun engkau adalah Atma itu sendiri, Atma yang sama yang muncul dalam semua jenis ragam ini. Begitu engkau mendapatkan kebenaran ini, peganglah erat; jangan sampai terlepas. Jadikan itu sebagai milikmu yang permanen. Sebagai langkah awal menuju pada proses mendapatkan Viveka (kebijaksanaan) dan Vairagya (tanpa keterikatan) ini, mulailah dari sekarang dengan disiplin dari Namasmarana – mengingat Tuhan tanpa henti melalui nama suci-Nya.


- Divine Discourse, Jan 30, 1965.

Namasmarana adalah sebuah latihan yang dapat dipraktekkan sepanjang waktu dan tempat oleh semuanya, tanpa memandang keyakinan atau kasta atau jenis kelamin atau usia atau status ekonomi dan sosial.

Thought for the Day - 21st February 2024 (Wednesday)

Now this country is pursuing priya (pleasant) instead of hita (beneficial) and that is the reason for all this distress and discontent. Indian Culture has always emphasised the hard way, the beneficial way; but, people are now after cultures that cater to the senses - the outer, external, frill and fancies, the mirages and the momentaries! Indian culture advises the control of the senses, not catering to them! The car is driven by means of a wheel which is inside it; when that wheel is turned, the outer wheels move. So also, the inner wheel has to be turned in man, so that he may progress. Trying to move the outer wheels is a sign of ignorance; it is a waste of precious energy. Inner concentration is to be developed in preference to outer distraction. Cultivate quietness, simplicity, and humility, instead of noise, complexity, and conceit. Of the twenty-four hours which comprise a day, use six for earning and spending, six for contemplation of God, six for sleep and six for service to others. You are now spending not even five minutes in the contemplation of God and you are not ashamed. What a tragedy!


- Divine Discourse, Mar 16, 1966.

The ladder must be as tall as the height you want to reach; your sadhana too must continue until the goal is attained!


Sekarang negara ini sedang mengejar priya (kesenangan) daripada hita (kegunaan) dan itu adalah alasan untuk semua penderitaan dan ketidakpuasan. Kebudayaan India selalu menekankan pada jalan yang sulit, jalan yang bermanfaat; namun, masyarakat sekarang menyukai budaya yang melayani indera - duniawi, di luar diri, hiasan dan keinginan, khayalan dan kenikmatan sesaat! Budaya India menekankan pada pengendalian indera, dan bukannya melayani indera! Mobil dikemudikan dengan sarana roda yang ada di dalamnya; ketika roda itu berputar maka roda di luar juga berputar. Begitu juga, roda di dalam diri manusia harus diputar, sehingga manusia mengalami kemajuan. Mencoba untuk menggerakkan roda di luar adalah sebuah tanda dari ketidaktahuan; ini menyia-nyiakan energi yang begitu berharga. Kosentrasi di dalam diri harus dikembangkan daripada gangguan di luar. Tingkatkan keheningan, kesederhanaan, dan kerendahan hati, bukannya kebisingan, kerumitan dan kesombongan. Dari 24 jam yang menyusun satu hari, gunakan enam jam untuk mencari dan menggunakan nafkah, enam jam untuk merenungkan Tuhan, enam jam untuk istirahat dan enam jam untuk melayani yang lain. Engkau sekarang bahkan tidak menggunakan lima menit dalam perenungan pada Tuhan dan engkau tidak merasa malu. Betapa tragisnya!


- Divine Discourse, Mar 16, 1966.

Tangga harus setinggi dengan ketinggian yang ingin engkau capai; sadhanamu juga harus berlanjut sampai tujuan dicapai!

Tuesday, February 20, 2024

Thought for the Day - 20th February 2024 (Tuesday)

Do not grieve that the Lord is testing you and putting you through the ordeal of undergoing the tests, for it is only when you are tested that you can assure yourself of success or become aware of your limitations. You can then concentrate on the subjects in which you are deficient and pay more intensive attention so that you can pass in them too when you are tested again. Don’t study for the examination at the last moment; study well in advance and be ready with the necessary knowledge, and the courage and confidence born out of that knowledge and skill. What you have studied well in advance must be rolled over and over in your mind, just before the examination; that is all that should be done! This is the pathway to victory!


- Divine Discourse, Shivaratri, Mar 1963.

Test is the taste of God. Never fear any test.


Jangan menjadi bersedih ketika Tuhan sedang mengujimu dan menempatkanmu dalam kesulitan dalam menghadapi ujian, hanya ketika engkau diuji maka engkau dapat memastikan dirimu berhasil atau menjadi sadar akan batasanmu. Engkau kemudian dapat memusatkan pikiran pada pelajaran yang kurang dan memberikan perhatian lebih intensif sehingga engkau dapat lulus dari ujian ketika engkau diuji kembali. Jangan belajar untuk ujian pada saat-saat terakhir; belajarlah dengan baik jauh-jauh hari dan bersiap dengan pengetahuan yang dibutuhkan, dan keberanian serta kepercayaan diri muncul dari pengetahuan dan ketrampilan. Apa yang telah engkau pelajari dengan baik dari jauh-jauh hari harus diingat terus menerus dalam pikiranmu tepat sebelum ujian; hanya itu yang harus dilakukan! Ini adalah jalan menuju keberhasilan!


- Divine Discourse, Shivaratri, Mar 1963.

Ujian adalah rasa dari Tuhan, Jangan pernah takut pada ujian apapun.

Thought for the Day - 18th February 2024 (Sunday)

All things in the cosmos are the gifts of God. They are manifestations of His will. Some of them, however, have to be used carefully. When they are used intelligently after due enquiry, they can serve as boon-companions and give us happiness. Indiscriminate and reckless use of these things may turn them into our worst enemies. For example, there are objects like fire, a knife and electric current. It is only when they are used in the right way that you can benefit from them. If fire is not handled properly, it can cause great harm. A knife is helpful only when it is used carefully. Electricity serves us in many ways - by lighting bulbs, running fans, etc. Because of its multifarious uses, if one tries to be friendly towards it by touching a live wire, he will get a shock. In the same manner, man's sense organs have to be used extremely carefully. When the senses are used on the right lines, they are of immense help. But if they are used in the wrong way, they can cause great harm.


- Divine Discourse, Jun 29, 1989

As the senses are God-given gifts, abuse of the senses by excesses will not only mean transgressing the divinely ordained limits but will also lead to many harmful consequences.


Segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah karunia dari Tuhan, semuanya ini adalah ciptaan dari kehendak Tuhan. Beberapa dari ciptaan ini, bagaimanapun juga, harus digunakan secara hati-hati. Ketika ciptaan ini digunakan dengan cerdas setelah diselidiki, maka semuanya itu dapat menjadi teman yang bermanfaat dan memberikan kebahagiaan. Penggunaan ciptaan Tuhan secara sembarangan dan sembrono menjadikan semuanya itu sebagai musuh terburuk bagi manusia. Sebagai contoh, ada objek seperti api, pisau, dan aliran Listrik. Hanya ketika semuanya itu digunakan dengan cara yang benar maka akan memberikan manfaat. Jika api tidak diperlakukan dengan tepat, maka api dapat menyebabkan penderitaan yang sangat besar. Sebilah pisau menjadi sangat berguna hanya ketika digunakan dengan hati-hati. Listrik melayani manusia dalam banyak bentuk – untuk menyalakan lampu, menghidupkan kipas angin, dsb. Karena kegunaannya yang beragam, jika seseorang mencoba menyentuh kabel listrik maka dia akan tersetrum. Sama halnya, organ Indera manusia harus digunakan dengan sangat hati-hati. Ketika Indera digunakan dengan cara yang benar, maka Indera akan sangat membantu. Namun jika Indera digunakan secara salah, maka Indera dapat menyebabkan penderitaan.


- Divine Discourse, Jun 29, 1989.

Karena Indera adalah anugerah Tuhan, penyalahgunaan Indera secara berlebihan tidak hanya melanggar batas yang ditetapkan namun juga akan menuntun pada banyak akibat yang merugikan.


Thought for the Day - 17th February 2024 (Saturday)

Narada declared: "Love is beyond the scope of words." How can an ordinary man, living in this phenomenal world, understand such love? This love is an expression of Divinity. Like the mariner's compass, it always points to the Divine wherever it may be present. As oil makes a lamp burn, love illumines life itself. What is termed love in ordinary worldly life is not real love at all. It is only one or the other form of attachment based on human relationships in the family or in society. True love is pure, selfless, free from pride, and full of bliss. Such love can be got only through love. All worldly attachments are not real love at all. They are transient. The everlasting, pure love arises from the heart. In fact, it is ever-existing and all-pervading. How is it that man is unable to recognise such all-pervading love? It is because man's heart today has become barren and polluted. The heart is filled with all kinds of desires and there is no room in it for pure, unsullied love to enter. It is only when the worldly attachments are expelled from the heart that there will be room for real love to abide in it and grow.


-  Divine Discourse, Jul 27, 1996.

Although inherently love is present in every cell of the human being it does not manifest itself because of the pollution of the heart.


Narada menyatakan: "Kasih adalah melampaui jangkauan dari kata-kata." Bagaimana seorang manusia biasa yang hidup dalam dunia yang luar biasa ini dapat memahami kasih yang seperti itu? Kasih ini adalah ungkapan dari keilahian. Seperti kompas pelaut yang selalu mengarah pada Tuhan dimanapun dia berada. Seperti halnya minyak yang membuat sebuah lampu menyala, kasih menerangi kehidupan itu sendiri. Apa yang disebut kasih dalam duniawi adalah sama sekali bukan kasih sejati. Ini hanyalah bentuk dari satu atau lain dari keterikatan yang berdasarkan pada hubungan manusia dalam keluarga atau dalam masyarakat. Kasih sejati adalah murni, tanpa pamrih, bebas dari kesombongan, dan penuh dengan kebahagiaan. Kasih seperti itu hanya bisa di dapat melalui kasih. Semua bentuk keterikatan duniawi sama sekali bukanlah kasih sejati. Semuanya itu bersifat sementara. Kasih yang kekal dan murni muncul dari hati. Sejatinya, kasih itu selalu ada dan meliputi semuanya. Bagaimana manusia tidak mampu menyadari kasih yang meliputi semuanya itu? Ini karena hati manusia hari ini menjadi tandus dan tercemar. Hati yang diliputi dengan semua jenis keinginan dan tidak ada ruang di dalamnya bagi kasih yang murni dan tidak ternoda untuk bisa masuk. Hanya ketika keterikatan duniawi dikeluarkan dari hari maka akan ada ruang bagi kasih sejati untuk tinggal di dalamnya dan bertumbuh.


-  Divine Discourse, Jul 27, 1996.

Meskipun pada hakekatnya kasih ada di dalam setiap sel dari manusia, namun kasih tidak terwujud karena tercemarnya hati.