Monday, June 29, 2015

Thought for the Day - 29th June 2015 (Monday)

Embodiments of love! Where the six qualities of zeal, determination, courage, intelligence, ability and heroism are present, there Divine help will manifest. In any field, at any time, success is assured to the person endowed with all these six precious qualities. They help you confront various difficulties from time to time and contribute to your all-round well-being. Just as a student must pass various tests and examinations, these qualities are also subject to trials. Such trials are your stepping stones to high achievements. These trials come in the form of losses, troubles, pains, sufferings and calumny. Unfortunately, many students and elderly alike, lack self-confidence and have become a prey to peacelessness because of their involvement in sensual pleasures. Youth, students and everyone must develop self-confidence. In fact, self-confidence should be the life-breath of every person. Develop self-confidence and embark on the journey of life with faith in God.


Perwujudan kasih! Dimana ada enam kualitas dari semangat, keteguhan hati, keberanian, kecerdasan, kemampuan, dan kepahlawanan maka akan ada bantuan dari Tuhan. Dalam berbagai bidang kegiatan, pada saat kapanpun juga, keberhasilan dapat dijamin pada orang yang dianugerahi dengan enam kualitas yang berharga ini. Keenam kualitas ini akan membantumu dalam menghadapi berbagai jenis kesulitan dari waktu ke waktu dan memberikan sumbangsih pada seluruh kesejahteraanmu. Seperti halnya pelajar yang harus lulus dalam berbagai tes dan ujian, keenam kualitas ini adalah pokok persoalan yang juga diuji. Ujian itu adalah merupakan batu loncatan bagimu untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi. Ujian ini hadir dalam bentuk kehilangan, kesulitan, rasa sakit, penderitaan, dan fitnah. Namun sangat disayangkan, banyak pelajar dan orang dewasa sama-sama kurang adanya kepercayaan diri dan menjadi mangsa dari tanpa kedamaian karena keterlibatan mereka dalam kesenangan sensual. Pemuda, pelajar, dan setiap orang harus mengembangkan kepercayaan diri. Sejatinya, kepercayaan diri harusnya menjadi nafas hidup bagi setiap orang. Kembangkanlah kepercayaan diri dan mulailah perjalanan hidup dengan keyakinan pada Tuhan. (Divine Discourse, 23 Jan 1997)

-BABA

Thought for the Day - 28th June 2015 (Sunday)

External control helps internal control in many ways. To succeed in external controls is more difficult than to achieve success in controlling the internal! A turn of the steering wheel in one’s hand in any direction makes the wheels of the car, which are not in one’s hand, move in the same direction. The wheels won’t turn in one direction when the steering is turned in another; this is the natural. But sometimes, when the steering is turned one way, the wheels may drag another way, but this is due to the giving up of the natural characteristic. The internal wheels, if they have no air, which is the true essence, may behave as if there is no relationship with the steering. But they can’t go beyond the bounds of steering; the steering in the hand is related to the wheels below. If there is no such relation, the journey becomes impossible. Therefore for the one who has struggled with and conquered the external tendencies, the internal tendencies become easily controllable.


Pengendalian eksternal membantu pengendalian internal dalam banyak cara. Keberhasilan dalam pengendalian eksternal lebih sulit daripada mencapai keberhasilan dalam mengendalikan internal! Sebuah pergantian roda kemudi di tangan seseorang dalam segala arah membuat roda mobil, yang tidak di tangan seseorang, bergerak ke arah yang sama. Roda tidak akan berubah dalam satu arah saat kemudi diputar di lain; ini adalah alami. Tapi kadang-kadang, ketika kemudi diputar salah satu cara, roda dapat menyeret cara lain, tapi ini adalah karena menyerah dari karakteristik alami. Roda internal, jika mereka tidak memiliki udara, yang merupakan esensi sejati, mungkin bersikap seolah-olah tidak ada hubungan dengan kemudi. Tapi mereka tidak bisa melampaui batas-batas kemudi; kemudi di tangan adalah terkait dengan roda di bawah ini. Jika tidak ada hubungan seperti itu, perjalanan menjadi tidak mungkin. Oleh karena itu bagi orang yang telah berjuang dengan dan menaklukkan kecenderungan eksternal, kecenderungan internal menjadi mudah dikendalikan. (Prema Vahini, Ch 53)

-BABA

Saturday, June 27, 2015

Thought for the Day - 27th June 2015 (Saturday)

Aspirants are engaged in contemplation of the Lord (Sarveswara-chinthana) as ceaselessly as the waves of the sea; they accumulate the wealth of equality and equal love to all, and are content in the thought that all is the Lord’s and nothing is theirs. Unlike the regular person, the spiritual seeker won’t easily bend before grief or loss, anger or hatred or selfishness, hunger, thirst or fickleness. One should master all the above good things as much as possible and journey through life in fortitude, courage, joy, peace, charity, and humility. Realising that tending the body is not all-important, one has to bear even hunger and thirst patiently and be engaged uninterruptedly in contemplation of the Lord. Quarreling at every tiny little thing, losing one’s temper, becoming sad at the slightest provocation, getting angry at the smallest insult, worried at thirst, hunger, and loss of sleep — these can never be the characteristics of an aspirant.


Peminat spiritual disibukkan dalam perenungan kepada Tuhan (Sarveswara-chinthana) secara tanpa henti seperti halnya ombak di lautan; mereka mengumpulkan kekayaan akan kesamaan dan cinta kasih yang sama kepada semuanya, dan pikirannya diliputi bahwa semuanya adalah milik Tuhan dan tidak ada yang menjadi milik mereka. Tidak seperti manusia biasanya, para peminat spiritual tidak akan dengan mudah membungkuk di depan kesedihan atau kehilangan, kemarahan atau kebencian atau keegoisan, kelaparan, rasa haus atau tidak tetap pendirian. Seseorang seharusnya menguasai semua hal yang baik sebanyak mungkin dan menjalani kehidupan dalam ketabahan, keberanian, suka cita, kedamaian, berderma dan kerendahan hati. Dengan menyadari bahwa merawat badan jasmani tidak sepenuhnya penting, maka seseorang harus mampu menanggung bahkan rasa lapar dan haus dengan sabar dan tetap menyibukkan diri secara tanpa henti dalam perenungan kepada Tuhan. Bertengkar pada setiap hal-hal yang sepele, kehilangan kesabaran, bersedih karena sedikit hasutan, menjadi marah karena penghinaan yang kecil, cemas pada rasa haus, lapar dan kehilangan tidur --- semuanya ini tidak pernah dapat menjadi ciri-ciri peminat spiritual. (Prema Vahini, Ch 59)

-BABA

Friday, June 26, 2015

Thought for the Day - 26th June 2015 (Friday)


This human birth is the consequence of countless good deeds, and it should not be cast aside; the chance must be fully exploited. As the Kenopanishad says, “This present precious life should not be thrown away (Na Chath Iha Avedheen Mahathee Vinashtih)". When there are many chances of saving oneself, isn’t it a big loss if no thought is spent on ways of escape? The Kathopanishad exhorts, "Arise, awake! (Uttishthata! Jagratha!)." Those who are agitated by doubts about what to accept and what to reject, those who are blinded by illusion, and those who cannot distinguish between darkness and light, death and immortality —all these should approach great people who can show the path to understand the eternal truth, the self-illumined basis of all creation. Then both this world and heaven will be merged in the same effulgence! For the sake of this realisation, you should have deep yearning and hard, disciplined practice.


Kelahiran sebagai manusia ini adalah akibat dari kumpulan dari perbuatan baik yang tidak terhitung jumlahnya, dan seharusnya tidak disia-siakan; kesempatan lahir sebagai manusia sepenuhnya harus dimanfaatkan. Seperti yang dinyatakan dalam Kenopanishad, “Kehidupan yang berharga sekarang seharusnya tidak dicampakkan begitu saja (Na Chath Iha Avedheen Mahathee Vinashtih)". Ketika ada banyak kesempatan untuk menyelamatkan diri, bukankah merupakan sebuah kehilangan yang besar jika tidak ada pemikiran yang digunakan dalam cara untuk melepaskan diri? Kathopanishad mendesak, "Bangkit, Terjaga! (Uttishthata! Jagratha!)." Bagi mereka yang diganggu oleh keraguan tentang apa yang diterima dan apa yang ditolak, mereka yang dibutakan oleh khayalan, dan mereka yang tidak bisa membedakan antara kegelapan dan cahaya, kematian dan keabadian – mereka semuanya ini harus mendekati orang-orang yang besar yang dapat menunjukkan jalan pada pemahaman akan kebenaran yang kekal, penerangan diri adalah dasar dari semua ciptaan. Kemudian keduanya baik dunia ini dan surga akan menyatu dalam cahaya yang sama! Untuk kepentingan kesadaran ini, engkau harus memiliki kerinduan yang mendalam, menjalankan disiplin. (Prema Vahini, Ch 57)

-BABA

Thursday, June 25, 2015

Thought for the Day - 25th June 2015 (Thursday)


In our country, there is a peculiar method of trapping monkeys. This process consists of bringing a big pot with a small mouth and putting some material which is attractive to the monkey inside that pot. A monkey, out of curiosity would put its hand inside the pot and get a handful of that material. It will be trapped, unable to pull its hand out! The monkey imagines that someone inside the pot is holding its hand. Then it will attempt to run away along with the pot! No one is holding the monkey. The monkey trapped itself, due to its own attachment. The moment it lets the material go, it will be free. Similarly in this big pot of the world with narrow mouth of temporal pleasures, people are tempted! When they are lost with involvement in those pleasures, they think that someone or something is binding them down. No one is responsible for this bondage. The moment you give up the pleasures and detach yourself, you will be free!


Di negara kita ada sebuah metode tertentu dalam menangkap monyet. Proses ini terdiri dari membawa botol besar dengan mulut botol yang kecil dan menaruh beberapa benda di dalam botol itu untuk menarik monyet. Seekor monyet karena rasa ingin tahunya akan memasukkan tangannya ke dalam botol itu dan mengambil semua benda yang ada di dalamnya. Monyet itu sudah terperangkap karena tidak mampu lagi menarik keluar tangannya! Monyet itu membayangkan bahwa ada seseorang yang ada di dalam botol itu sedang memegang tangannya. Kemudian, monyet itu akan berlari dengan botol itu! Tidak ada yang memegang monyet itu. Monyet itu menjebak dirinya sendiri karena keterikatannya. Saat ketika monyet itu melepaskan genggamannya pada benda itu maka ia dapat bebas. Sama halnya di dalam botol besar dunia ini dengan mulut botol kecil yaitu kesenangan sementara, banyak orang tergoda! Ketika mereka tersesat dan tersangkut di dalam kesenangan itu, mereka berpikir bahwa seseorang atau sesuatu sedang mengikat mereka. Tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab atas perbudakan ini. Saat dimana engkau melepaskan kesenangan dan melepaskan dirimu maka engkau akan bebas! (Summer Showers in Brindavan 1973, Ch 12)

-BABA

Wednesday, June 24, 2015

Thought for the Day - 24th June 2015 (Wednesday)

Those, who are trying to build the human community on a foundation of wealth (dhana), are building on sand; those who seek to build it on the rock of righteousness (dharma) are the wise. Every person consumes specific quantities of food and many even calculate the calories consumed and burnt. Just think for a moment: Have you ever calculated what you have given back to the society that helps you live and enjoy in the world? You must transform the food into service, either to serve your best interests or for the well-being of the society. Mere feeding and care of the body is profitless, for the body is just a container. When the spark of Divinity leaves the body, it becomes a corpse. No one will even keep the corpse for more than a few hours. People will avoid the sight and smell of a dead body; it is disgusting. Never be your own enemy nor be a burden on anyone.


Mereka yang sedang mencoba untuk membangun komunitas manusia yang berlandaskan pada kekayaan (dhana) adalah sedang membangun di atas pasir; mereka yang sedang mencoba membangun komunitas manusia di atas batu karang kebajikan (dharma) adalah yang bijak. Setiap orang mengkonsumsi sejumlah makanan tertentu dan bahkan banyak yang menghitung kalori yang dikonsumsi dan dibakar. Tolong pikirkan sebentar; sudahkan engkau pernah menghitung apa yang telah engkau berikan kepada masyarakat yang telah membantu hidupmu dan menikmatinya di dunia? Engkau harus merubah makanan menuju pada pelayanan, baik itu melayani kepentingan terbaikmu atau untuk kesejahteraan masyarakat. Hanya melulu untuk makan dan merawat badan jasmani saja adalah tidak ada gunanya, karena badan hanyalah sebuah wadah saja. Ketika percikan keillahian meninggalkan badan maka badan itu akan menjadi mayat. Tidak ada seorangpun yang akan menyimpan mayat lebih dari beberapa jam. Orang-orang akan menghindari pandangan dan bau dari mayat, karena mayat itu menjijikkan. Jangan pernah menjadi musuh bagimu atau menjadi beban bagi siapapun. (Divine Discourse, 3 Feb 1964)

-BABA

Tuesday, June 23, 2015

Thought for the Day - 23rd June 2015 (Tuesday)

Look at the crane; it walks about pretty fast in water. But while walking, it cannot catch fish. When it wants to catch fish, the very same crane becomes quiet and stands motionless. So also, if you proceed with greed, anger, and similar negative qualities, you can never secure the fish of truth (sathya), righteousness (dharma), and peace (shanti). With any spiritual practice you observe, please add the practice of uninterrupted remembrance of the Lord’s precious name (namasmarana). Only then can you master the natural attributes of greed, anger, etc. All the scriptures (sastras) teach but this one key lesson! Since the Lord is the universal goal and this journey of life has Him as the destination for each and every one of you, keep Him constantly in your view and subdue the mind, which makes you wander from the path.


Lihatlah burung bangau yang berjalan sangat cepat di air. Namun ketika burung bangau ini sedang berjalan maka ia tidak dapat menangkap ikan. Ketika burung bangau ini ingin menangkap ikan maka ia akan berdiri dengan tenang dan tidak bergerak sama sekali. Begitu juga, jika engkau berjalan dengan ketamakan, kemarahan, dan sifat negatif lainnya, maka engkau tidak akan pernah bisa mendapatkan kebenaran (sathya), kebajikan (dharma), dan kedamaian (shanti). Dengan berbagai jenis praktik spiritual yang engkau jalankan, tolong tambahkan latihan untuk mengingat nama Tuhan (namasmarana) tidak terputuskan. Hanya dengan demikian engkau dapat menguasai sifat asli dari ketamakan, kemarahan, dsb. Semua naskah suci mengajarkan hanya satu kunci pelajaran! Karena Tuhan adalah tujuan yang bersifat universal dan perjalanan hidup ini memiliki Tuhan sebagai tujuan akhirnya bagi setiap orang darimu, maka milikilah selalu pandangan Tuhan dan tundukkanlah pikiran yang mana membuatmu menyimpang dari jalan yang ada. (Prema Vahini Ch 56)

-BABA

Monday, June 22, 2015

Thought for the Day - 22nd June 2015 (Monday)

Just as the body is the house you live in, the world is the body of God. An ant biting the little finger of your foot is able to draw your attention to the spot, and you react to the pain, making an effort to remove the tiny enemy. You must similarly feel the pain, misery, or joy or elation, wherever it is evinced in the entire land; you must make an effort to protect the land from the enemy, however remote may be the place where the enemy has presented himself. Be kind with all your kin. Expand your sympathies, serve others who stand in need to the extent of your skill and resources. Do not fritter away your talents in profitless channels. Respect for the parents, who started you in life and brought you into this world which has enabled you to gather such a vast and varied treasure of experience, is the first lesson that Dharma teaches. Gratitude is the spring which feeds that respect.



Sama halnya dengan badan fisik adalah rumah tempat tinggalmu, dunia ini adalah badan dari Tuhan. Seekor semut yang menggigit kelingking jari kakimu akan mampu menarik perhatianmu pada hal itu dan engkau bereaksi akan rasa sakit itu, dan berusaha untuk menyingkirkan musuh semut kecil itu. Engkau seharusnya sama merasakan rasa sakit, penderitaan atau suka cita atau kegembiraan, dimanapun itu nampak di seluruh negeri; engkau harus melakukan sebuah usaha untuk melindungi negeri dari para musuh, bagaimanapun terpelosoknya tempat itu dimana musuh telah menunjukkan dirinya disana. Bersikap baiklah dengan semua kerabatmu. Perluaslah kualitas simpatimu, layani yang lain yang memerlukan dengan segenap keahlian dan kemampuanmu. Jangan membuang-buang bakatmu untuk sesuatu yang tidak ada gunanya. Hormatilah orang tuamu yang memulai hidupmu dan melahirkanmu ke dunia ini yang memungkinkan bagimu untuk mengumpulkan pengalaman yang luas dan beragam, ini adalah ajaran Dharma yang pertama. Rasa terima kasih adalah mata air yang menghidupi rasa hormat. (Divine Discourse, 3 Feb 1964)

-BABA

Thought for the Day - 21st June 2015 (Sunday)

If a person is ill or if his mind is immersed in something else, the taste of food cannot be grasped. So also, if the heart is full of ignorance (tamas) or is wayward, no joy can be experienced even if one is engaged in remembrance of the Lord, devotional singing, recitation of the name, or meditation. The tongue will be sweet as long as there is sugar on it. Likewise, if the pillar of light called devotion continues to burn in the corridor of the heart, there will be no darkness. A bitter thing on the tongue makes the whole tongue bitter. Similarly when greed and anger enter the heart, the brightness disappears, darkness dominates the scene, and one becomes the target of countless griefs and losses. Therefore, those who aspire to attain the holy presence of the Lord must acquire certain habits, disciplines, and qualities. The usual ways of life won’t lead to God. They have to be somewhat modified by means of spiritual discipline.


Jika seseorang sakit dan pikirannya sedang tenggelam dalam sesuatu yang lain, maka rasa makanan tidak akan bisa dirasakan. Begitu juga, jika hati penuh dengan kebodohan (tamas) atau suka melawan, maka tidak ada suka cita yang dapat dialami walaupun seseorang terlibat di dalam kegiatan mengingat Tuhan, melantukan lagu rohani, mengulang-ulang nama Tuhan atau meditasi. Lidah akan tetap terasa manis selama masih ada gula di atasnya. Sama halnya, jika pilar pelita yang disebut dengan bhakti terus menerus menerangi ruang hati, maka tidak akan kegelapan di dalamnya. Sesuatu yang terasa pahit di lidah maka akan membuat seluruh lidah terasa pahit. Sama halnya ketika ketamakan dan kemarahan memasuki hati, maka kegelapan akan memenuhi ruangan itu dan cahaya akan menghilang, dan seseorang menjadi target dari kesedihan dan kerugian yang tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu, mereka yang berusaha untuk mendapatkan kehadiran Tuhan yang suci harus memiliki kebiasaan yang tertentu, disiplin dan kualitas. Cara yang hidup yang biasa tidak akan dapat menuntun hidup pada Tuhan. Cara-cara hidup harus dimodifikasi dengan sarana disiplin spiritual. (Prema Vahini, Ch 56)

-BABA

Saturday, June 20, 2015

Thought for the Day - 20th June 2015 (Saturday)

Deho Devalaya - The body is the temple of the Lord.You are going about your daily journey with a temple where God is present in your innermost shrine. The body is not a mass of flesh and bone. It is a medium for sacred vibrations (mantras) which save you when they are meditated upon. The body is a sacred instrument earned after long ages of struggle. It is equipped with reason and emotion, and is capable of being used for deliverance from grief and evil. Honour it as such; keep it in good condition so that it might serve that high purpose. Maintain it even more carefully than the brick and mortar houses you live in, and always preserve the conviction that it is a divine instrument and nothing more. Use it for that pure purpose for which it has been designed and gifted to you.


Deho Devalaya – Badan manusia adalah tempat suci bagi Tuhan. Engkau akan melakukan perjalanan setiap harinya dengan sebuah tempat suci dimana Tuhan bersemayam di dalam dirimu yang paling dalam. Badan fisik ini bukanlah kumpulan daging dan tulang saja. Badan adalah perantara bagi getaran-getaran suci (mantra) yang menyelamatkanmu ketika mantra itu dilantunkan. Badan fisik adalah sebuah sarana yang suci yang diperoleh setelah perjuangan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, badan juga dilengkapi dengan alasan dan emosi dan mampu digunakan untuk pembebasan dari penderitaan dan kejahatan. Hormatilah badan dengan; menjaganya dalam keadaan baik sehingga badan dapat melayani untuk tujuan yang paling tinggi. Jagalah badan dengan lebih teliti daripada batu bata dan campuran semen yang membangun rumah tempat tinggalmu. Selalulah memelihara keyakinan bahwa badan fisik adalah sarana bagi Tuhan dan bukan yang lainnya. Gunakanlah badan fisik untuk tujuan yang suci yang mana telah dirancang dan diberikan kepadamu. (Divine Discourse, 3rd Feb 1964)

-BABA

Thought for the Day - 19th June 2015 (Friday)

God is All-pervading (Sarvavyapi). He loves His devotees (Bhakta-Vatsala). Make your heart the Seat of the Lord. Soil which has veins of mica is valuable, but that which has veins of gold is even more precious. The soil is valued according to the preciousness of the metal in its fold. So too, hearts are evaluated by its contents. Keep God in your hearts; then they will become precious possessions. If God is implanted in the heart, you will see only God everywhere. For, Sarvam Brahmamayam (All is Divine) is a fact. Resolve this day to engage only in virtuous deeds, good thoughts and good company. Let your mind dwell on elevating thoughts. Do not waste a single moment of your waking time in vain boasting or idle gossip or demeaning recreations. While life persists, do good things, speak softly and sweetly, never injure or insult another, serve those in need and keep the image of God ever before the mind’s eye.


Tuhan bersifat meliputi semuanya (Sarvavyapi). Tuhan mencintai bhakta-Nya (Bhakta-Vatsala). Buatlah hatimu menjadi singgasana Tuhan. Tanah yang memiliki lapisan mika adalah berharga, namun tanah yang memiliki lapisan emas lebih berharga. Tanah dihargai sesuai dengan berharganya kadar logam yang ada pada lapisannya. Begitu juga, hati dinilai dari isinya. Jadikan Tuhan berada di hatimu; maka kemudian hatimu akan menjadi sangat berharga. Jika Tuhan ditempatkan di dalam hati maka engkau hanya akan melihat Tuhan dimanapun juga. Karena sesungguhnya semuanya adalah illahi (sarvam Brahmamayam). Putuskan hari ini untuk melakukan hanya perbuatan yang mulia dan luhur saja, berpikir yang baik dan memiliki pergaulan yang baik. Biarkan pikiranmu hidup dalam ide atau gagasan yang positif. Jangan menyai-nyiakan waktu sedikitpun dalam keadaan sadar untuk membual yang sia-sia atau bergosip dan bermalas-malasan serta rekreasi yang rendahan. Sementara hidup terus berlanjut maka lakukan hal yang baik, bicara yang sopan dan lembut, tidak pernah menyakiti atau menghina yang lainnya, layani mereka yang membutuhkan dan tetap membayangkan wujud Tuhan di dalam mata pikiran. (Divine Discourse, 14-Jan-1964)

-BABA

Thursday, June 18, 2015

Thought for the Day - 18th June 2015 (Thursday)

In the young-of-the-monkey type of devotion, the child must rely on its own strength to protect itself —wherever the mother jumps, the child must attach itself to its mother’s belly and hold on, even if pulled apart! So too, the devotee must stand the tests of the Lord and hold on to His name under all conditions, tirelessly, without the slightest trace of dislike or disgust, bearing the criticism and ridicule of the world and conquering the feelings of shame and defeat. An exemplary example of this type of devotion is Prahlada. In the second path, just as the kitten simply places all its burdens on the mother cat, so too, the devotee completely trusts the Lord and surrenders to Him. The mother cat holds the kitten in its mouth and transports it safely through even very narrow passages. Lakshmana is the example of this path. These two are sometimes referred to as devotion with effort (bhakthi) and self-surrender (prapatti). The former a hard path, while the latter a simple or safe path.


Dalam jenis bhakti seperti monyet kecil, seekor anak monyet harus mengandalkan kekuatannya sendiri untuk melindungi dirinya sendiri – kemanapun ibunya melompat maka anak monyet harus mengikatkan dirinya pada perut ibunya dan bertahan, walaupun jika ditarik terpisah! Bagitu juga dengan seorang bhakta harus berani menghadapi ujian dari Tuhan dan memegang nama Tuhan dalam segala keadaan, tanpa lelah, tanpa sedikitpun ada rasa tidak suka atau jijik, bertahan dari kritikan dan ejekan dari dunia dan menaklukkan perasaan malu dan kekalahan. Contoh teladan dari jenis pengabdian ini adalah Prahlada. Di jalan yang kedua, sama seperti dengan anak kucing yang menaruh semua bebannya pada sang ibu. Begitu juga, bhakta yang sepenuhnya percaya dan yakin kepada Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Induk kucing memegang anaknya dengan mulutnya dan membawanya pergi dengan selamat walaupun bahkan berada di mulut ibunya yang sangat sempit. Lakshmana adalah contoh dari jalan ini. Kedua jenis ini kadang-kadang disebut dengan mencintai Tuhan yang memerlukan usaha (bhakthi) dan berserah diri (prapatti). Jenis yang pertama adalah jalan yang lebih keras sedangkan yang kedua adalah sederhana atau jalan yang aman. (Prema Vahini Ch 51)

-BABA

Wednesday, June 17, 2015

Thought for the Day - 17th June 2015 (Wednesday)

Lord Krishna incarnated to destroy evil in a handful of individuals. But now, the evil qualities are not identifiable in a small group of people. They are widespread everywhere. The scorpion has poison only in its tail; the cobra only in its fangs; but people have poison all over them! They have it in their eyes, their tongues, their mind, their intelligence, their gait, their brain – just about everywhere. You may ask, “Oh! When will this poison be counteracted and destroyed?” When the Lord enters your heart, that is the very objective He will accomplish. Offer unto the Lord, the ‘flower of your heart’ (Hrudaya Pushpam), after cleansing it thoroughly of the dust and pests (desire, anger, envy, doubt, etc.) that infest it. Without effort, can there be victory in any field? Can you become a high ranking official without the appropriate qualifications of scholarship, talent, experience and wisdom? So persevere and succeed!


Sri Krishna menjelma untuk menghancurkan kejahatan di beberapa individu. Namun sekarang, sifat jahat tidak dapat diidentifikasi pada kelompok kecil orang. Namun mereka menyebar ke setiap tempat. Seekor kalajengking hanya memiliki racun pada ekornya; ular kobra hanya memiliki racun pada taringnya; namun manusia memiliki racun pada semuanya! Mereka memiliki racun pada matanya, lidahnya, pikirannya, kecerdasannya, gaya jalannya, otaknya – racun ada dimana-mana. Engkau mungkin bertanya, “Oh! Kapan racun-racun ini akan dinetralkan dan dihancurkan?” Ketika Tuhan memasuki hatimu dan itulah tugas utama yang Tuhan ingin capai. Persembahkan kepada Tuhan ‘bunga hatimu’ (Hrudaya Pushpam), setelah membersihkannya secara menyeluruh dari debu dan hama (keinginan, kemarahan, iri hati, keraguan, dsb) yang telah memenuhinya. Tanpa adanya usaha, dapatkah akan ada kemenangan di dalam berbagai bidang? Dapatkah kamu mencapai jabatan yang tertinggi tanpa adanya kualifikasi yang sesuai dari kesarjanaan, bakat, pengalaman, dan kebijaksanaan? Jadi tekunlah dan sukses! (Divine Discourse, 14 Jan 1964)
-BABA

Tuesday, June 16, 2015

Thought for the Day - 16th June 2015 (Tuesday)

Explaining the characteristics of a devotee, Rama said to Narada, “Whoever with discrimination and renunciation (viveka and vairagya), and humility and wisdom (vinaya and vijnana) is aware of the knowledge of Reality, whoever is always immersed in the contemplation of My play (leela), whoever dwells on My name at all times and under all conditions, and whoever sheds tears of love whenever the Lord’s name is heard from any lip — these are My genuine devotees.” When the infant grows up into an adult, the mother won’t pay so much attention to its safety. The Lord doesn’t pay much attention to the wise one (jnani). For the jnani, their own strength is enough. Therefore, until one can rely on one’s own strength, one must be an infant in the Lord’s hands, as a devotee of the form, right? No one can become a devotee of the Formless Supreme (Nirguna bhaktha) without having been a devotee of the form (Saguna bhakta).


Menjelaskan karakteristik seorang bhakta, Rama berkata kepada Narada, “Siapapun dengan kemampuan membedakan dan tanpa keterikatan (viveka dan vairagya), dan kerendahan hati dan kebijaksanaan (vinaya dan vijnana) menyadari pengetahuan tentang kenyataan yang sejati, siapapun yang selalu tenggelam dalam merenungkan permainan-Ku (leela), siapapun yang memikirkan nama-Ku sepanjang waktu dan dalam keadaan apapun, dan siapapun yang meneteskan air mata cinta kasih, kapanpun nama Tuhan terdengar dan dilantunkan — ini adalah karakteristik dari bhakta-Ku yang sejati.” Ketika seorang bayi sudah tumbuh berkembang menjadi orang dewasa maka sang ibu tidak perlu banyak memberikan perhatian akan keselamatannya. Tuhan tidak akan memberikan banyak perhatian kepada orang yang bijak (jnani). Karena mereka yang bijak (jnani), kekuatan mereka adalah sudah cukup. Maka dari itu, sampai seseorang dapat mengandalkan kekuatannya sendiri maka mereka harus menjadi bayi di tangan Tuhan sebagai seorang bhakta, bukan? Tidak ada seorangpun dapat menjadi seorang bhakta dari Tuhan yang tidak berwujud dan tertinggi (Nirguna bhaktha) tanpa menjadi bhakta dari Tuhan yang berwujud (Saguna bhakta). (Prema Vahini Ch 48)

-BABA

Monday, June 15, 2015

Thought for the Day - 15th June 2015 (Monday)

Egoism is the most dangerous illusion that has to be exploded and destroyed. Even Arjuna had it! One day, after the battle when Krishna brought the chariot back to camp, he wanted that like all charioteers, Krishna should get down first! The Master must get down later, after the charioteer opened the door for him, isn’t it? Krishna refused, and insisted that Arjuna should alight before He Himself did. At last, Krishna won. Arjuna got down and then as soon as Krishna left His seat and touched the ground, the chariot went up in flames! If only Krishna had got down first! The fact was that the various fiery arrows that had the power of burning the chariot had hit the target, but due to the presence of Krishna, their powers could not manifest themselves. Seeing this Arjuna was humbled; his egoism received a rude shock. He realised that every action of the Lord was full of significance.


Egoisme adalah khayalan yang paling berbahaya yang harus diledakkan dan dihancurkan. Bahkan Arjuna juga memiliki egoisme! Suatu hari setelah peperangan ketika Krishna membawa kereta kembali ke kemah, Arjuna menginginkan agar seperti halnya semua kusir kereta maka Krishna harus turun terlebih dahulu! Sang majikan harus turun kemudian setelah sang kusir membukakan pintu untuknya bukan? Krishna menolak usulan ini dan bersikeras agar Arjuna harus turun terlebih dahulu sebelum Krishna turun. Pada akhirnya, Arjunapun turun terlebih dahulu dan kemudian dengan segera Krishna meninggalkan tempat duduknya dan menyentuh tanah, setelah itu kereta itu hangus terbakar! Kalau saja Krishna turun terlebih dahulu, apa yang akan terjadi? Sesungguhnya bahwa berbagai panah api yang memiliki kekuatan membakar kereta telah mencapai targetnya, namun oleh karena kehadiran Krishna maka kekuatan panah api itu tidak mampu muncul. Mengerti akan hal ini Arjuna mulai rendah hati; keegoisannya mendapatkan guncangan yang besar. Arjuna menyadari bahwa setiap tindakan dari Tuhan adalah penuh dengan makna dan arti. (Divine Discourse, 14 Jan 1964)

-BABA

Sunday, June 14, 2015

Thought for the Day - 14th June 2015 (Sunday)


Those devoted to the Lord are full of love; they always stand by righteousness (dharma); they speak the truth; their hearts melt with mercy; they are devoid of wrong; they avoid sin; their nature is well-founded; they will renounce everything gladly; they eat in moderation; they are engaged in doing good to others; they have no selfishness; they aren’t worried by doubts. They won’t lend their ears to flattery but are eager to listen to the praise of the good nature of others. They have beautiful, strong, and holy character. True spiritual aspirants will endeavor to acquire the above qualities and possess a good character. Anyone who is engaged in repetition of the name (japa), penance (tapas), and sacred vows (vrata), anyone who has self-control (samyama) and discipline (niyama), anyone who has faith, patience, comradeship, kindness, and joy as well as unalloyed love (prema) towards the Lord — such a person is very dear to Me.


Mereka yang berbhakti kepada Tuhan adalah penuh cinta kasih; mereka selalu berdiri di samping kebajikan (dharma); selalu berbicara benar; hati mereka meleleh dengan kemurahan hati; sama sekali tanpa kesalahan; menjauhi dosa; sifat mereka beralasan; akan meninggalkan segalanya dengan senang hati; makan dengan tidak berlebihan; terlibat di dalam melakukan kebaikan untuk yang lainnya; tidak memiliki sifat mementingkan diri sendiri; dan tidak cemas dengan keraguan. Mereka tidak akan mendengarkan pujian yang berlebihan namun mau mendengarkan pujian bagi kebaikan orang lain. Mereka memiliki karakter yang indah, kuat, dan suci. Peminat spiritual sejati akan berusaha untuk bisa memperoleh kualitas diatas dan memiliki karakter yang baik. Siapapun yang mengulang-ulang nama Tuhan (japa), penebusan dosa (tapa), dan janji suci (vrata), memiliki pengendalian diri (samyama) dan disiplin (niyama), memiliki keyakinan, kesabaran, persahabatan, kebaikan, dan suka cita serta cinta kasih yang tidak tercampur (prema) kepada Tuhan —  orang ini adalah yang paling Aku sayangi. (Prema Vahini, Ch 48)
-BABA

Thought for the Day - 13th June 2015 (Saturday)


If you wear blue eyeglasses, you see only blue, even though Nature is resplendent with many colours. If the world appears to you as full of differences, that is due to the fault within you. If all appears as one love, that too is only your love. The feeling within is the root cause. When you have faults within, the world appears faulty. When there is no knowledge of fault in yourself, no fault can be found even by search, for you wouldn’t know which are the faults. Now the question may arise whether the Lord Himself has faults as He also searches for faults. No, the Lord searches only for goodness. He won’t examine the wealth, family, caste, status, or gender. He sees only the righteousness (sadbhava). He considers those endowed with such righteousness as deserving His grace, whoever they are, whatever they are. Therefore, develop goodness. Live and act in joy and love. These two are sufficient; with them, salvation can be attained without fail.


Jika engkau memakai kaca mata berwarna biru maka engkau hanya akan melihat warna biru walaupun alam gemerlapan dengan banyak warna. Jika engkau melihat dunia dengan penuh perbedaan itu disebabkan karena kesalahan yang ada di dalam dirimu. Jika semuanya kelihatan sebagai satu cinta kasih maka itu juga karena cinta kasih yang ada di dalam dirimu. Perasaan yang ada di dalam adalah akar penyebabnya. Ketika engkau memiliki kesalahan di dalam dirimu maka dunia akan kelihatan salah. Ketika tidak ada pengetahuan tentang salah di dalam dirimu maka tidak akan ada kesalahan yang dapat kamu temukan walaupun engkau mencarinya karena engkau tidak mengetahui yang mana yang salah. Sekarang pertanyaannya muncul apakah Tuhan sendiri memiliki kesalahan karena Beliau juga mencari kesalahan. Tidak, Tuhan hanya mencari kebaikan saja. Tuhan tidak akan memeriksa kekayaan, keluarga, kasta, atau jenis kelamin. Beliau hanya melihat kebenaran saja (sadbhava). Beliau menganggap bahwa mereka yang dikaruniai dengan kebenaran akan layak untuk rahmat-Nya baik siapapun dan apapun mereka. Maka dari itu, kembangkanlah kebaikan. Hidup dan berbuatlah dalam suka cita dan cinta kasih. Dua hal ini adalah cukup; dengan keduanya ini maka keselamatan akan pasti bisa diraih. (Prema Vahini, Ch 47)

-BABA