Wednesday, August 31, 2016

Thought for the Day - 31st August 2016 (Wednesday)

It is not enough if you claim to be a devotee of the Lord. The Lord must recognise you as a devotee. Only then does one's devotion acquire value. Bhagavatam and other scriptures demonstrate how this kind of dedicated life can be led by any person who wishes to be devoted to the Lord. No one should feel that it is beyond his or her capacity to surrender themselves completely to the Lord. If there is firm determination, this can be accomplished. It is only through earnest endeavour that Divine wisdom can be got (Shraddhavan Labhate Jnanam). Today the world is afflicted with the epidemic of egoism (Ahamkara). There is really no basis for this kind of self-conceit. It is born of ignorance. It has to be totally eradicated. If everyone realises that the body has been given for the pursuit of righteousness and acts on that basis, they will most certainly realise the Divine.


Adalah tidak cukup jika engkau menyatakan sebagai bhakta dari Tuhan. Tuhan harus menganggapmu sebagai bhakta. Hanya dengan demikian bhakti seseorang memiliki nilai. Bhagavatam dan naskah suci lainnya menunjukkan bagaimana bentuk kehidupan yang dipersembahkan ini dapat diarahkan oleh siapapun yang berharap menjadi bhakta dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang seharusnya merasa bahwa ini adalah diluar jangkaun atau kemampuannya untuk berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Jika ada ketetapan hati yang mantap maka hal ini dapat dicapai. Hanya melalui usaha yang sungguh-sungguh maka kebijaksanaan illahi bisa didapatkan (Shraddhavan Labhate Jnanam). Hari ini dunia diliputi dengan epidemi egoisme (Ahamkara). Sebenarnya tidak ada dasar bagi jenis sifat keangkuhan diri. Ini adalah lahir dari kebodohan dan ini sepenuhnya harus dihilangkan. Jika setiap orang menyadari bahwa tubuh telah diberikan untuk mengejar kebajikan dan berbuat atas dasar itu maka mereka pastinya akan menyadari keillahian. (Divine Discourse, Feb 21, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 30th August 2016 (Tuesday)

Once Krishna feigned that he was suffering from headache for which the cure was the application of the dust from the feet of a devotee on His head. Sage Narada sought to collect the dust from Satyabhama, Rukmini and others, whom he regarded as great devotees of the Lord. But all of them declined to give the dust from their feet because they considered it sinful to offer their dust to be placed on the Lord's head. Ultimately Narada went to the Gopikas, who did not have the slightest hesitation to offer the dust from their feet, if only it would give immediate relief to the Lord, regardless of the consequences to themselves. The Gopikas did not consider whether it was right or wrong for them to offer the dust of their feet. Their only concern was relief to their Lord by any means. They declared, "Our entire life is dedicated to Krishna. His joy is ours." This was the spirit of oneness with which they offered the dust of their feet. At that very moment Krishna was rid of His ailment and Sage Naradha too learnt a lesson!

Suatu hari Krishna berpura-pura sakit kepala dimana obat yang dapat menyembuhkannya adalah debu dari kaki seorang bhakta yang akan ditaburkan di atas kepala-Nya. Resi Narada mencoba untuk mengumpulkan debu dari kaki Satyabhama, Rukmini, dan yang lainnya yang beliau anggap sebagai bhakta yang agung dari Krishna. Namun semua dari mereka menolak untuk memberikan debu dari kaki mereka karena mereka menganggap ini adalah dosa dengan mempersembahkan debu kaki mereka untuk ditabur di kepala junjungan mereka. Pada akhirnya Narada pergi kepada para Gopika yang sama sekali tidak memiliki keraguan sedikitpun untuk mempersembahkan debu kaki mereka, jika itu segera bisa menyembuhkan junjungan mereka, tanpa menghiraukan akibat yang akan mereka dapatkan. Para Gopika tidak menganggap apakah itu benar atau salah bagi mereka dengan mempersembahkan debu kaki mereka. Perhatian mereka hanya untuk kesembuhan Tuhan mereka dengan cara apapun. Mereka menyatakan, "Seluruh hidup kami dipersembahkan kepada Krishna. Suka cita Beliau adalah suka cita kami." Ini adalah semangat kesatuan dimana mereka mempersembahkan debu kaki mereka. Segera Krishna luput dari rasa sakit-Nya dan Resi Narada juga belajar sebuah hikmah! (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Monday, August 29, 2016

Thought for the Day - 29th August 2016 (Monday)

You may consider that the love within you and the Divine Love represented by God are the same. There is a difference. God's Love is totally selfless, absolutely pure, eternal and flawless. Most people seek things in the world, including God, only for selfish reasons. Human love is self-centred and tainted. Such selfish love cannot merge with God's love. It is only when it is free from egoism, pride, hatred and envy that God will abide in you. Without renunciation (tyaga), if one is immersed in worldly pleasures, and leads a mundane life, their devotion is only selfish, artificial and self-deceptive. It will not lead them to God. God cannot be got so easily. The heart has only a single seat. There is room in it for only one person. If you install worldly desires on that chair, how can you expect God to sit on it? God will take that seat only if you empty it of all other things.


Engkau mungkin menganggap bahwa kasih yang ada di dalam dirimu dan kasih Tuhan yang dimiliki oleh Tuhan adalah sama. Ada sebuah perbedaaan. Kasih Tuhan sepenuhnya adalah tidak mementingkan diri sendiri, sepenuhnya suci, kekal, dan sempurna. Kebanyakan orang mencari benda-benda materi di dunia, termasuk Tuhan, hanya untuk alasan yang mementingkan diri sendiri. Kasih manusia adalah terpusat pada dirinya dan ternoda. Kasih yang mementingkan diri sendiri itu tidak dapat menyatu dengan kasih Tuhan. Hanya ketika kasih itu bebas dari ego, kesombongan, kebencian, dan iri hati maka Tuhan akan tinggal di dalam dirimu. Tanpa adanya pengorbanan, jika seseorang tenggelam dalam kesenangan duniawi dan mengarah pada kehidupan duniawi maka bhakti mereka bersifat mementingkan diri, palsu, dan menipu diri dan tidak akan menuntun mereka pada Tuhan. Tuhan tidak bisa didapat dengan mudah. Hati hanya punya satu kursi dan ada kamar di dalamnya hanya untuk satu orang. Jika engkau menempatkan keinginan duniawi pada kursi itu, bagaimana engkau mengharapkan Tuhan duduk di atasnya? Tuhan akan duduk di sana hanya jika engkau mengosongkannya dari benda-benda yang lainnya. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Thought for the Day - 28th August 2016 (Sunday)

People today are totally immersed in worldly concerns and do not devote any attention to the spiritual quest. It is true, involvement in worldly affairs cannot be given up totally. But all such actions can be sanctified by performing them in a spirit of dedication to the Divine. To proceed from the human condition to the Divine in man, the only practical way is the Principle of Love (Prema Tattva). From the Mahabharata take the example of the fate of Karna and the destiny of Arjuna which indicates the difference between one who does not have Divine grace and another who has the benefit of Divine grace. While Karna, who was associated with the wicked Kauravas, met with a tragic end, despite his many talents; Arjuna who was a firm devotee of the Lord, was blessed with victory. Many scriptures aptly demonstrate the power of the Lord's grace to transform the human to the state of the Divine.


Manusia saat sekarang sepenuhnya tenggelam dan peduli dengan duniawi dan tidak menyediakan perhatian sedikitpun pada pencarian spiritual. Adalah benar, keterlibatan dalam duniawi adalah tidak dapat sepenuhnya dilepaskan. Namun semua tindakan kita di dunia dapat disucikan dengan melakukan tindakan duniawi dalam semangat dedikasi kepada Tuhan. Untuk maju dari keadaan manusia menuju pada keadaan Tuhan, cara yang paling praktis adalah prinsip cinta kasih (prema tatwa). Dari Mahabharata ambilah contoh dari nasib Karna dan Arjuna yang menandakan perbedaan diantara seseorang yang tidak memiliki rahmat Tuhan dan seseorang yang mendapatkan keuntungan dari rahmat Tuhan. Ketika Karna bergaul dengan para Kaurava yang jahat menemui akhir yang tragis walaupun ia memiliki banyak bakat; sedangkan Arjuna yang bhakta yang teguh dari Tuhan diberkati dengan kemenangan. Banyak naskah suci benar-benar menunjukkan kekuatan dari rahmat Tuhan untuk merubah manusia pada tingkat Tuhan. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Saturday, August 27, 2016

Thought for the Day - 27th August 2016 (Saturday)

Prema (Love) is like a most precious diamond. Love is alien to persons who are selfish, conceited or ostentatious. Where then is this love to be found? This precious diamond can only be got in the kingdom of Love, in the street of Love, in the shop of Love. It can be obtained only through a loving heart. It may be asked, "Is not the whole world permeated with Love? Then why is not Love readily available?" The love with which the world is considered to be filled with is not real love. Love cannot be associated with the body, the senses, the mind and the intellect. Anything associated with these is only attachment (Anuraga). Spiritual (Atmic) life alone is a Love-filled life. Therefore, lead a spiritual life, not a life bound by body, mind, senses and intellect. A life related to the body, the senses, the mind and the intellect can never be free from selfishness, conceit and ostentation.


Prema (cinta kasih) adalah seperti permata yang paling berharga. Cinta kasih adalah benda asing bagi seseorang yang mementingkan diri sendiri, sombong atau suka pamer. Lantas dimana kita bisa menemukan cinta kasih ini? Permata yang berharga ini hanya dapat ditemukan di kerajaan kasih, di jalan kasih, di toko kasih. Kasih juga bisa didapatkan hanya melalui hati welas asih. Mungkin ada pertanyaan, “Bukankah seluruh dunia diliputi dengan kasih? Lantas mengapa kasih tidak siap tersedia?” Kasih yang dianggap oleh dunia untuk diisi bukanlah kasih yang sejati. Kasih tidak dapat dihubungkan dengan tubuh, indria, pikiran dan intelek. Segala sesuatu yang terhubung dengan indria adalah keterikatan (anuraga). Hanya kehidupan spiritual (Atma) adalah kehidupan yang diliputi dengan kasih. Maka dari itu, jalanilah kehidupan spiritual dan bukan sebuah kehidupan yang terikat pada tubuh, pikiran, indria, dan intelek. Sebuah kehidupan yang terkait dengan tubuh, indria, pikiran, dan intelek tidak akan pernah bisa bebas dari sifat mementingkan diri sendiri, sombong, dan suka pamer. (Divine Discourse, Aug 21, 1992)

-BABA

Friday, August 26, 2016

Thought for the Day - 26th August 2016 (Friday)

Internalise the fact that chanting the Lord’s name is highly sacred and efficacious. It serves to remove the impurities within a person, and promotes good and sacred thoughts. When the heart is filled with truth and love, only positive thoughts will arise. There is no meaning in reciting Lord Krishna or Rama’s name just once a year. How often do you take food to nourish your body? Does not your mind require to be fed equally? Contemplation of the Lord is the food for the mind. To feed the belly and starve the mind is like decorating the chariot and starving the horse! To keep the chariot of the body moving, you must feed the horse of the mind. While the body is nourished in innumerable ways, feed the mind in solitude. Chant the Lord’s name constantly and silently within you. Possessing this valuable piece of wisdom, will you not fully leverage it and spare time for precious thoughts of the Lord?

Menghayati fakta bahwa melantunkan nama Tuhan adalah sangat suci dan manjur. Cara ini dapat melenyapkan ketidaksucian yang ada di dalam diri seseorang, dan meningkatkan kebaikan dan pikiran yang suci. Ketika hati diliputi dengan kebenaran dan cinta kasih, hanya pikiran positif yang akan muncul. Tidak ada gunanya mengulang-ulang nama Krishna atau Rama hanya sekali dalam setahun. Berapa sering engkau makan untuk menjaga tubuhmu? Bukankah pikiranmu juga perlu diberikan makan dengan sama? Perenungan pada Tuhan adalah makanan bagi pikiran. Dengan membuat perut kenyang dan melaparkan pikiran adalah seperti menghiasi kereta dan melaparkan kudanya! Untuk bisa membuat kereta badan itu berjalan maka engkau harus memberi makan kudanya yaitu pikiran. Ketika tubuh dijaga dengan cara yang tidak terkira banyaknya, maka memberikan makan pada pikiran dalam keheningan. Lantunkan nama Tuhan secara terus menerus dan dengan tenang di dalam dirimu. Dengan memiliki kebijaksanaan yang berharga ini, tidakkah engkau sepenuhnya  memanfaatkannya dan meluangkan waktu yang berharga untuk memikirkan Tuhan? (Divine Discourse, Feb 26, 1998)

-BABA

Thought for the Day - 25th August 2016 (Thursday)

Embodiments of Divine Love! Cultivate the Love Principle and manifest love in all your thoughts, words and actions, to experience bliss. When you are filled with Divine Love, all pains and troubles will be forgotten. It is to propagate this principle of Divine Love that advents of Avatars take place from time to time. The principle of selfless love is the essence of Krishna Tattva (the Krishna Principle). Although God dwells in every person, it remains latent like oil within the gingelly seed. To manifest the Divine within you, you must undergo trials and ordeals. Love for God should grow as a result of such experiences of adversity. Just as gold improves in brilliance the more it is heated in the crucible, your devotion also must undergo a constant purificatory process. Cultivate good company (Satsang), the company of persons filled with Divine Love. Use that Satsang to get rid of your animal instincts and progress from the human to the Divine.


Perwujudan kasih Tuhan! Tingkatkanlah prinsip kasih dan wujudkan kasih dalam setiap pikiran, perkataan, dan tindakan untuk dapat mengalami kebahagiaan. Ketika engkau diliputi dengan kasih Tuhan maka semua rasa sakit dan masalah akan dilupakan. Dalam upaya menyebarkan prinsip kasih Tuhan maka Tuhan hadir dari waktu ke waktu. Prinsip dari kasih yang tanpa mementingkan diri sendiri adalah intisari dari Krishna Tattva (prinsip dari Krishna). Walaupun Tuhan bersemayam dalam diri setiap orang, namun masih tersembunyi seperti halnya minyak di dalam biji wijen. Untuk mewujudkan keillahian di dalam dirimu maka engkau harus menghadapi cobaan dan tantangan. Kasih pada Tuhan seharusnya tumbuh sebagai hasil dari pengalaman dari penderitaan. Sama halnya emas meningkat kemilauannya ketika semakin dipanaskan dalam tempat peleburan, bhaktimu juga mengalami sebuah proses pemurnian yang secara terus menerus. Tingkatkan pergaulan yang baik (Satsang), pergaulan dengan orang-orang yang diliputi dengan kasih Tuhan. Gunakan Satsang itu untuk melepaskan sifat binatangmu dan maju dari manusia menuju illahi. (Divine Discourse, Aug 21, 1992.)

-BABA

Thought for the Day - 24th August 2016 (Wednesday)

This is tragic: when good things are spoken, you find it difficult to pay attention, but when demeaning, distracting things are said, the ears are on the alert. Be the master of your behaviour; do not be led away by the impulse of the moment; be conscious always of what is good for you. Carry on your daily tasks so that you do not make others suffer or suffer yourself. That is the sign of intelligent living. Do not give way to fits of anger or grief or elation or despair. The confusion you exhibit was the result of dark and dull (tamasic) and emotional (rajasic) qualities. Train your ears to listen quietly to good and maintain your composure. Be calm and unruffled and collected (satwic). The more you develop charity for all beings, contrition at your own faults, and fear of wrong and fear of God — the more firmly you will be established in peace.


​Ini adalah tragis: ketika hal yang baik dibicarakan, engkau menemukan kesulitan untuk memberikan perhatian, namun ketika hal yang merendahkan dan mengacaukan dikatakan maka telingamu langsung siaga. Jadilah  majikan bagi tingkah lakumu; jangan diarahkan oleh dorongan pada saat itu; selalulah sadar akan apa yang baik bagimu. Jalankan tugasmu sehari-hari sehingga engkau tidak membuat yang lainnya menderita atau menyakiti dirimu sendiri. Itu adalah tanda dari hidup yang cerdas. Jangan memberikan jalan untuk cepat marah atau duka cita atau gembira atau putus asa. Kebingungan yang engkau tampilkan adalah hasil dari sifat malas dan gelap (tamasik) dan emosional (rajasik). Latihlah telingamu untuk mendengarkan dengan tenang pada hal yang baik dan menjaga ketenangan. Menjadi tenang dan pengendalian emosi (satwik). Semakin engkau mengembangkan derma kepada semua makhluk, kesedihan yang mendalam karena kesalahanmu sendiri dan takut akan salah dan takut pada Tuhan — semakin mantap engkau dalam kedamaian. (Divine Discourse, Feb 27, 1961)

-BABA

Tuesday, August 23, 2016

Thought for the Day - 23rd August 2016 (Tuesday)

What exactly is the meaning of ‘Sai Baba’? Sai means Sahasrapadma (thousand lotuses), sakshatkara (realisation, direct experience of the Lord), etc., Ayi means mother, and Baba means father. Thus, ‘Sai Baba’ means He who is both Father and Mother, and the Goal of all yogic endeavour — the ever-merciful Mother, the All-wise Father, and the Goal of spiritual efforts. Sai Baba is beyond the keenest intellect, the sharpest brain. Even the great seven sages (rishis) failed to grasp the Sublimity of Godhead. So do not try to delve into Me; develop faith and derive bliss (ananda) through love (prema). That is the utmost you can do and be benefited thereby. Do not run after all and sundry who blabber textbook stuff and wear the cloak of fakir-hood. Examine, judge and then admire. Examine their daily conduct, their motives, outlook and the coordination between what they say and do.


Apakah arti yang sebenarnya dari ‘Sai Baba’? Sai berarti Sahasrapadma (ribuan teratai), sakshatkara (kesadaran, pengalaman langsung pada Tuhan), dsb., Ayi berarti ibu, dan Baba berarti ayah. Jadi, ‘Sai Baba’ berarti Beliau keduanya sebagai ayah dan ibu, dan tujuan dari semua usaha para Yogi — Ibu yang selalu murah hati, Ayah yang penuh kebijaksanaan, dan tujuan dari usaha spiritual. Sai Baba adalah melampaui kecerdasan yang paling tajam, otak yang paling pintar. Bahkan tujuh Resi yang paling agung gagal untuk memahami keagungan dari Tuhan. Jadi jangan mencoba untuk menyelidiki akan Aku; kembangkanlah keyakinan dan dapatkan kebahagiaan (ananda) melalui kasih sayang (prema). Itulah yang sepenuhnya engkau dapat lakukan dan dengan demikian menguntungkan. Jangan mengejar segenap orang yang suka membicarakan tentang isi yang ada di dalam buku dan memakai jubah dan kerudung fakir. Periksa, nilai, dan kemudian puja. Periksa tingkah lakunya setiap hari, niat mereka, pandangan, dan koordinasi diantara apa yang mereka katakan dan lakukan. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA

Monday, August 22, 2016

Thought for the Day - 22nd August 2016 (Monday)

You might have heard Me speak many times about repetition of the Lord’s Name and its fruits, how it slowly changes character, modifies conduct, mellows you and takes you nearer the Goal. Well, there are two ways of doing this: either with rosary beads - turning the beads automatically, just as mechanically, punctually and as carefully as any other routine act of daily life, or, as it ought to be done, that is, repeating the Name, irrespective of the target number, dwelling deep on the Form it represents and on the divine attributes connoted by it, tasting It, reveling in It, enjoying the contexts and associations of the Name, relishing Its sweetness and getting lost in Its Music. Of course you will hanker after the taste of the Name only when you are gnawed by the pangs of hunger. You cannot relish the Name or the Form if you suffer from constipation as a consequence of over-indulgence in worldly affairs.


Engkau mungkin sudah mendengarkan-Ku berbicara berulang kali tentang pengulangan nama Tuhan dan juga hasil yang akan didapatkannya dimana secara perlahan hal ini mengubah karakter dan tingkah lakumu, mematangkan dan mendekatkanmu pada tujuan. Ada dua cara untuk melakukan Namasmarana: salah satunya adalah dengan menggunakan tasbih (japa mala) – memutar japa mala secara otomatis, sama halnya secara tanpa disadari, dengan tepat waktu dan secara hati-hati seperti halnya melakukan rutinitas dalam kehidupan sehari-hari, atau Namasmarana dilakukan tanpa tergantung dengan target jumlah putaran namun tenggelam dalam wujud Tuhan yang menggambarkan kualitas Tuhan, merasakannya, menikmati maknanya dan terhubung dengan Nama Tuhan dan menikmati rasa manis dari Nama Tuhan dan tenggelam dalam alunan musik-Nya. Tentu saja engkau akan berminat akan rasa dari Nama itu hanya ketika engkau merasa lapar. Engkau tidak bisa menikmati Nama dan Wujud jika engkau menderita sakit perut karena akibat dari sangat terlibat jauh dalam urusan duniawi. (Divine Discourse, Feb 27, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 21st August 2016 (Sunday)

Do you know why you have been given a human body? Is it to take it to all the corners of the world? No, that is not the purpose. You have been given this body so that you may demonstrate, with its help, the truth of the statement that the body is intended for doing good to other human beings. Divya Atma Swarupas (Embodiments of the Divine Soul)! It is for us to recognise that the compassion that all the living beings deserve from us forms the essence of our being able to get a vision of the Atma. The greatest penance (tapas) is the bringing together of the compassion that is present in all beings. Unlike a cow, horse, elephant or other animals, the sacredness of life that has been given to a human being is at a very high level.


Apakah engkau tahu mengapa engkau diberikan tubuh manusia? Apakah tubuh ini digunakan untuk berkeliling ke seluruh dunia? Bukan, bukan itu tujuannya. Engkau telah diberikan tubuh ini sehingga engkau dapat mempertunjukkan dengan bantuan tubuh ini akan kebenaran dari pernyataan bahwa tubuh dimaksudkan untuk melakukan kebaikan bagi manusia yang lainnya. Divya Atma Swarupas (perwujudan dari jiwa illahi)! Adalah bagi kita untuk menyadari bahwa kasih sayang yang semua makhluk hidup berhak dapatkan dari kita membentuk intisari dari diri kita untuk mampu mendapatkan pandangan tentang Atma. Olah tapa yang terhebat adalah dengan menyatukan kasih sayang yang ada dalam semua makhluk. Tidak seperti halnya sapi, kuda, gajah, atau hewan lainnya, kesucian hidup yang diberikan kepada manusia ada pada level yang sangat tinggi. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 10)

-BABA

Sunday, August 21, 2016

Thought for the Day - 20th August 2016 (Saturday)

Stick to your faith; do not change your loyalty as soon as something happens or someone whispers something. Do not pull down Sai Baba’s picture from the wall and hang some other picture there at the first disappointment you meet. Leave all to Him; let His Will be carried out — that should be your attitude. Unless you go through the rough and the smooth, how can you be hardened? Welcome the light and the shade, the sun and the rain. Do not think that only those who worship a picture or image with pompous paraphernalia are devotees. Whoever walks straight along the moral path, whoever acts as they speak and speaks as they have seen, whoever melts at another’s woe and exults at another’s joy — they are devotees, perhaps greater devotees.


Berpeganglah pada keyakinanmu; jangan merubah kesetiaanmu segera setelah sesuatu terjadi atau seseorang membisikkan sesuatu kepadamu. Jangan menurunkan gambar Sai Baba dari dinding dan menaruh gambar yang lainnya ketika saat pertama engkau mengalami rasa kecewa. Tinggalkan semuanya itu kepada-Nya; biarkan Beliau menyelesaikannya — itu yang seharusnya menjadi sikapmu. Jika tidak engkau melalui kesenangan dan kesedihan, bagaimana engkau dapat menjadi kuat? Sambutlah cahaya dan bayangannya, mentari dan hujan. Jangan berpikir bahwa hanya mereka yang memuja gambar dan photo dengan perhiasan yang megah adalah seorang bhakta. Siapapun yang melangkah lurus dalam jalan moral, siapapun yang bertindak sesuai dengan perkataannya dan berbicara seperti yang dilihatnya, siapapun yang luluh hatinya terhadap penderitaan yang lain dan bersuka ria terhadap suka cita yang lainnya— mereka adalah bhakta, bisa jadi bhakta yang paling agung. (Divine Discourse, Feb 26, 1961)

-BABA

Thought for the Day - 19th August 2016 (Friday)

The Mahabharata has taught us a lesson that we should regard our actions as being responsible for our sorrows or joys. But as a human being, you should perform whatever actions you have to perform. Do not think that you will achieve this or that, and do not think that you will be able to do great things without the grace of God. Do not get tired out in that process. The kind of seeds which you have put in, which have brought you to the position in which you are today, will determine the results that you will get later on. You may be very intelligent and clever. However all your intelligence and cleverness will not enable you to get over your own Karma. Brahma, the Creator, prepares a garland of all the good and the bad that you have done as they are and He puts this round your neck when you are born. It is necessary for us to recognise this causal relationship. We are responsible for the good and the bad that we do, and our desires are in fact merely consequences of this.


Mahabharata telah mengajarkan kita sebuah pelajaran bahwa kita seharusnya menganggap perbuatan kita sendiri yang bertanggung jawab untuk penderitaan atau suka cita kita. Namun sebagai manusia, engkau seharusnya melakukan apapun tindakan yang seharusnya engkau lakukan. Jangan berpikir bahwa engkau akan mencapai ini atau itu dan juga jangan berpikir bahwa engkau akan mampu melakukan hal yang hebat tanpa rahmat dari Tuhan. Jangan menjadi cepat lelah dalam proses itu. Jenis benih yang telah engkau tabur yang mana telah membawamu pada posisi saat sekarang, akan menentukan hasil yang akan engkau dapatkan nantinya. Engkau mungkin sangat pintar dan cerdas. Bagaimanapun juga semua kecerdasan dan kepintaranmu tidak akan memungkinkanmu menerima karmamu sendiri. Brahma sang pencipta telah menyiapkan semua kebaikan dan keburukan yang telah engkau lakukan dan semuanya itu ditaruh melingkar di lehermu ketika engkau lahir. Adalah perlu bagi kita untuk menyadari hubungan sebab akibat ini. Kita bertanggung jawab bagi kebaikan dan keburukan yang kita lakukan, dan keinginan kita hanyalah akibat dari hal ini. (Summer Roses On Blue Mountains, 1976, Ch 8)

-BABA

Friday, August 19, 2016

Thought for the Day - 18th August 2016 (Thursday)

In a spiritual sphere of mental peace and inner joy, the responsibility for success or failure is entirely one’s own. You have no right to shift it on to others. The fire will go out if the fuel is over, so stop feeding it with fuel. Do not add fuel to the fire of the senses. Detach the mind from the temporary and attach it to the eternal. Plant the seedling of devotion, namely the preliminary exercise of remembering the Lord’s name (namasmarana) in the mind. That will grow into a tree with the branches of virtue, service, sacrifice, love, equanimity, fortitude, and courage. You swallow food, but you are not aware how that food is transformed into energy, intelligence, emotion, and health. In the same way, just swallow this food for the spirit, this remembrance of the Lord’s name, and watch how it gets transmuted into virtue and the rest without your being aware of it.


Dalam bidang spiritual dari kedamaian mental dan suka cita di dalam diri, yang bertanggung jawab bagi keberhasilan atau kegagalan sepenuhnya ada pada diri sendiri. Engkau tidak memiliki hak untuk mengalihkannya kepada orang lain. Api akan menyala ketika bahan bakar berlebih, jadi berhentilah memberi makan dengan bahan bakar. Jangan menambahkan bahan bakar pada api indria. Lepaskan pikiran dari hal yang bersifat sementara dan terikat pada yang bersifat kekal. Tanamlah benih bhakti, yaitu latihan permulaan mengingat nama-nama Tuhan (namasmarana) di dalam pikiran. Benih itu akan tumbuh menjadi pohon dengan dahan-dahan kebaikan, pelayanan, kasih, ketenangan hati, ketabahan, dan keberanian. Engkau menelan makanan namun engkau tidak menyadari bagaimana makanan dirubah menjadi energi, kecerdasan, emosi, dan kesehatan. Dengan cara yang sama, hanya menelan makanan ini untuk jiwa, mengingat nama Tuhan dan menyaksikan bagaimana hal ini dirubah menjadi kebaikan dan sisanya tanpa engkau menyadarinya. (Divine Discourse, Feb 27, 1961)

-BABA

Thursday, August 18, 2016

Thought for the Day - 17th August 2016 (Wednesday)

If a bird enters a hall of mirrors, it sees many reflections of its own form. It imagines that there are a multitude of birds and they are its competitors. So it keeps dashing against the mirrors and the glasses break into pieces. Now it sees as many birds as there are pieces of mirrors. When the mirrors are all shattered to tiny bits, no image is visible and the bird flies away. This is a state of ignorance. On the contrary, when a man of wisdom enters the room, he recognises that these are all his own images and feels happy. In the same manner, the one who sees oneself in all others and looks on them as one’s own images is a true human being. The manifest principle that is visible in the external world is the same as that which exists in an individual. Names, forms and abilities are cognised as separate, but these are mere reflections. What you try to see in a mosque or a temple is inside you. All sadhana is undertaken to experience this inner reality.


Jika seekor burung memasuki sebuah ruangan bercermin, maka burung itu akan melihat banyak bayangan dari dirinya sendiri. Burung itu membayangkan bahwa ada banyak burung dan semuanya itu adalah sainganya. Jadi, burung itu terus menabrak cermin itu dan akhirnya cermin itu pecah menjadi bagian-bagian kecil. Sekarang burung itu melihat banyak burung sebanyak pecahan cermin yang ada. Ketika semua cermin itu dihancurkan menjadi kepingan yang sangat kecil, maka tidak ada bayangan yang muncul dan burung itu pergi. Ini adalah bentuk kebodohan. Sebaliknya, ketika seseorang yang bijaksana memasuki sebuah ruangan, ia menyadari bahwa semua bayangan yang ada adalah bayangannya sendiri dan ia merasa senang. Dalam hal yang sama, seseorang yang melihat dirinya sendiri dalam diri yang lainnya dan melihat mereka sebagai bayangannya sendiri adalah manusia yang sejati. Prinsip yang terwujud dan dapat dilihat di dunia luar adalah sama dengan yang ada dalam setiap individu. Nama, wujud, bentuk, dan kemampuan diketahui terpisah, namun semuanya itu hanyalah pantulan saja. Apa yang engkau coba lihat di dalam tempat suci ada di dalam dirimu. Semua sadhana dilakukan untuk mengalami kenyataan yang di dalam diri. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)
-BABA

Thought for the Day - 16th August 2016 (Tuesday)

Abraham Lincoln was born in an extremely poor family in America. His mother Nancy worked hard to educate him. When Lincoln went to school, other children made fun of him for his dress and poverty. Unable to bear this, Lincoln told his mother, “Mother, my fellow-students are ridiculing me a lot. Please get me good clothes.” Drawing him close, his mother said, “Son, our family condition is not good. Even feeding everyone is a problem. In this condition, how can you expect good clothes? Live according to your condition. Sooner or later you will reach the level of your deservedness. Don’t be deterred by other people’s ridicule. Live with self-confidence. Self-confidence is the source of all success.” Thus, she encouraged him. From that moment, Lincoln endowed himself with great self-confidence and pursued his studies and activities with honest effort. He was never upset over anything. Though devoid of material wealth and comforts, with self-confidence as his armour he succeeded.


Abraham Lincoln lahir dari keluarga yang sangat miskin sekali di Amerika. Ibunya yang bernama Nancy bekerja keras untuk menyekolahkannya. Ketika Lincoln pergi ke sekolah, anak-anak yang lainnya menertawakan karena pakaian dan kemiskinannya. Karena tidak mampu menahan hinaan ini, Lincoln mengatakan hal ini kepada ibunya, “Ibu, teman-teman saya terus menertawakanku. Tolong berikan saya pakaian yang bagus.” Ibunya mendekati Lincoln dan berkata, “Anakku, keadaan keluarga kita adalah tidak bagus. Bahkan untuk memberikan makan bagi setiap orang adalah sebuah masalah. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana engkau bisa mengharapkan pakaian yang bagus? Hiduplah sesuai dengan keadaanmu. Cepat atau lambat engkau akan meraih level yang sesuai dengan kelayakanmu. Jangan dihalangi oleh cemoohan dari orang lain. Hiduplah dengan kepercayaan diri. Kepercayaan diri adalah sumber dari semua keberhasilan.” Jadi, Ibunya memberikan semangat kepadanya. Mulai dari saat itu, Lincoln memberikan kualitas kepercayaan diri yang hebat pada dirinya sendiri dan melanjutkan pendidikan dan kegiatannya dengan usaha yang jujur. Lincoln tidak pernah kecewa dengan apapun juga. Walaupun sama sekali tanpa kekayaan materi dan kenyamanan, namun rasa percaya diri adalah senjatanya untuk meraih keberhasilan. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)

-BABA

Tuesday, August 16, 2016

Thought for the Day - 15th August 2016 (Monday)

Embodiments of Love! If our nation were to make progress, there should be complete unity amongst all its people. Our great leaders made great sacrifices and secured freedom for us. While we have attained Independence, unity has not been achieved. What is the use of freedom without unity? There is hatred everywhere. If this kind of disunity persists, how can hard-won freedom be safeguarded? People are not treading the right path. You must adopt the path of complete unity, so that every citizen (Bharatiya) must be able to say proudly, “This is my beloved country; this is my mother tongue and my religion.” You should also uphold the reputation and traditions of your family. There are many who chant the sweet name of Lord Rama, but is there anyone who actually practices the virtues Lord Rama represented? Lord Rama said, “Mother and motherland are greater than even paradise” (Janani Janma Bhumishcha Swargadapi Gariyasi). You must recognise and live by this truth.


Perwujudan kasih! Jika bangsa kita ingin adanya kemajuan, maka harus ada persatuan yang utuh diantara semua warga negaranya. Pemimpin kita telah membuat pengorbanan yang sungguh luar biasa dan mendapatkan kebebasan bagi kita. Ketika kita sudah mendapatkan kemerdekaan, persatuan belum juga dapat dicapai. Apakah gunanya kemerdekaan tanpa adanya persatuan? Ada kebencian dimana-mana. Jika ketidakharmonisan ini tetap ada, bagaimana bisa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah dapat dijaga? Manusia tidak menapaki jalan yang benar. Engkau harus mengambil jalan yang membentuk persatuan seutuhnya sehingga setiap warga Negara harus mampu dengan bangga mengatakan, “Ini adalah Negara yang saya cintai; ini adalah bahasa ibu dan agama saya.” Engkau seharusnya juga menjaga reputasi dan tradisi dari keluargamu. Ada banyak orang yang melantunkan nama suci Sri Rama, namun apakah ada yang sunguh-sungguh menjalankan kemuliaan dari Sri Rama? Sri Rama berkata, “Ibu dan ibu pertiwi adalah lebih hebat daripada surga” (Janani Janma Bhumishcha Swargadapi Gariyasi). Engkau harus menyadari dan hidup dengan kebenaran ini. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)

-BABA

Monday, August 15, 2016

Thought for the Day - 14th August 2016 (Sunday)

Neither sorrow nor pleasure can ever be permanent for anyone. All that we do, good or bad, knowingly or unknowingly, will produce results. So it is necessary for us to do good so that the consequences will also be good. When a child is born out of a mother’s womb, the infant does not come out with a garland or a gold chain. However the child does come out with its invisible chain of ‘Karma’ – the result of all the actions (karma) that one has done in their previous births. But that ornament is invisible. To help us live this life well and in order to not have a chain of bad reactions around our neck when we are born in our next life, it is necessary for us to recognise, as a primary lesson, that we should do good deeds in our daily lives. Hence practice, ‘Do good, Be good, and See good.’ That alone will take you to God!


Bukan penderitaan dan juga kesenangan yang bersifat kekal bagi siapapun juga. Semua yang kita lakukan, baik atau buruk, secara sadar atau tidak sadar, akan menghasilkan sebuah akibat. Jadi sangat perlu bagi kita untuk melakukan yang baik sehingga akibatnya juga akan baik. Ketika seorang anak lahir dari rahim ibu, bayi tersebut tidak lahir dengan memakai sebuah kalung bunga atau kalung emas. Bagaimanapun juga anak itu lahir dengan kalung karma yang tidak terlihat – yaitu hasil dari semua perbuatan (karma) yang seseorang lakukan di kehidupannya yang lalu. Namun perhiasan itu adalah tidak terlihat. Untuk membantu kita hidup dalam kehidupan ini dengan baik dan dalam upaya untuk tidak memiliki kalung berupa reaksi yang buruk di sekitar leher kita ketika kita lahir di kehidupan yang akan datang, adalah perlu bagi kita untuk menyadarinya sebagai pelajaran yang pertama yaitu kita seharusnya melakukan perbuatan yang baik di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu jalankanlah, ‘berbuat yang baik, menjadi baik dan melihat yang baik.” Hanya inilah yang akan membawamu kepada Tuhan! (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 8)

-BABA

Thought for the Day - 13th Augustus 2016 (Saturday)

The Vedas have given us four Mahavakyas: (1) That thou art (Tat Twam Asi), (2) Constant integrated awareness is Divinity (Prajnanam Brahma), (3) I am Divine (Aham Brahmasmi) and (4) The soul is Divine (Ayam Atma Brahma). All of you know these statements and are constantly chanting these words but are not putting them into practice. Mere chanting without action is pure exhibitionism. You say, all are divine (Brahman), but hate others. This is sheer hypocrisy. If you have aversion to any individual, quietly keep away from them. Do not hate them; try to develop love for them. Do not criticize or hate anybody. This is My message for you today. This is the course to be adopted by you. I love everyone. I have no dislike for anyone. All are My devotees, friends and children. To Me, all are one. This universe is a big book. Your inner conscience (Antaratma) is your Guru. God is your best friend.

Weda telah memberikan kepada kita empat Mahavakya: (1) Aku adalah engkau (Tat Twam Asi), (2) Kesadaran terpadu yang constant adalah keillahian (Prajnanam Brahma), (3) Aku adalah Tuhan (Aham Brahmasmi) dan (4) Jiwa adalah Tuhan (Ayam Atma Brahma). Semua darimu mengetahui pernyataan ini dan secara constant mengulang-ulang kata-kata ini namun tidak menjalankannya dalam tindakan. Hanya dengan mengulang saja tanpa melakukan dalam tindakan hanyalah sebuah pamer saja. Engkau mengatakan bahwa semuanya adalah Tuhan (Brahman), namun membenci yang lainnya. Ini hanyalah kemunafikan saja. Jika engkau memiliki hal yang tidak disukai pada siapapun juga maka secara tenang menjauhlah darinya. Jangan membenci mereka; cobalah mengembangkan kasih kepada mereka. Jangan mengritik atau membenci siapaun juga. Ini adalah pesan-Ku untukmu hari ini. Ini adalah jalan yang harus engkau jalani. Aku mengasihi setiap orang. Aku tidak memiliki rasa tidak suka kepada siapapun juga. Semuanya adalah bhakta, sahabat dan anak-anak-Ku. Bagi-Ku semuanya adalah satu. Alam semesta ini adalah sebuah buku besar. Kesadaran di dalam dirimu (Antaratma) adalah sebagi Gurumu. Tuhan adalah sahabat terbaikmu. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)

-BABA

Friday, August 12, 2016

Thought for the Day - 11th & 12th August 2016

Date: Thursday, August 11, 2016
THOUGHT FOR THE DAY
God has many names and forms but Divinity is one. Scholars refer to the ‘One Truth’ with many names (Ekam Sath Viprah Bahudha Vadanti). Realising this truth, respect all, love all and give joy to all. Then you become God! When you recognise the fact that Divinity in all is the same, there would be no sense of duality. You may think that it is very difficult, but it is extremely simple. Your inability to recognise this truth is due to the fault of your vision and not the Creator. Correct your faulty vision and perception; see the unity in diversity. In this world, there is a constant strife between good and evil. Many people are jealous of others and subject them to slander. But do not attach any importance to such criticism. Praise and abuse are common to mankind. Several noble people faced similar difficulties and overcame these with fortitude. Live in truth and love, no harm will come to you.
Tuhan memiliki banyak nama dan wujud namun keillahian adalah satu. Para sarjana mengacu pada “Satu Kebenaran” dengan banyak nama (Ekam Sath Viprah Bahudha Vadanti). Menyadari kebenaran ini, menghormati semuanya, mengasihi semuanya, dan memberikan suka cita pada semuanya. Kemudian engkau menjadi Tuhan! Ketika engkau menyadari kenyataan bahwa keillahian dalam semuanya adalah sama maka tidak akan ada lagi perasaan dualitas. Engkau mungkin berpikir bahwa ini sangatlah sulit, namun ini sangatlah sederhana sekali. Ketidakmampuanmu dalam menyadari kebenaran ini disebabkan oleh kesalahan dalam pandanganmu dan bukan pada sang pencipta. Perbaiki cacat cela pada pandangan dan penglihatanmu; lihatlah kesatuan dalam keanekaragaman. Di dunia ini, ada sebuah perselisihan yang terus menerus diantara kebaikan dan kejahatan. Banyak orang merasa cemburu pada yang lain dan memberikan fitnah kepada mereka. Namun jangan memberikan perhatian pada krtikan seperti itu. Pujian dan makian adalah hal umum bagi manusia. Beberapa orang yang mulia menghadapi kesulitan yang sama dan mengatasinya dengan ketabahan. Hiduplah dalam kebenaran dan kasih sayang maka tidak ada kekerasan yang dapat datang mendekatimu. (Divine Discourse, Nov 23, 2000)
-BABA
Date: Friday, August 12, 2016
THOUGHT FOR THE DAY
All creation that you see emanates from the Lord. That the great variety that we see around us is coming only as a result of the change in our own qualities (Gunas) is a truth that is asserted by the sacred texts. You are sometimes very happy, sometimes afraid, and at other times courageous. These changes come about in quick succession and in a casual way. The main reason for all these changes is the change that comes in our own mental attitude. These are manifestations of one’s own qualities. Man has three distinct qualities or gunas - satwa, tamo, and rajo gunas. If these are mixed in a balanced manner, there will be no drastic change in one’s nature. Sunlight is composed of seven different colours. When these colours are mixed in appropriate proportions, there will be no change, and the Sun will shine in its natural colour. On the other hand, if there is an imbalance in the manner in which these colours are mixed, then you will find that some special colours show themselves.

Semua ciptaan yang engkau lihat berasal dari Tuhan. Begitu banyak jenis yang kita lihat di sekitar kita hanya muncul sebagai hasil dari perubahan dari sifat (guna) dalam diri kita sendiri dan ini adalah sebuah kebenaran yang dinyatakan dalam naskah suci. Engkau kadang-kadang senang, kadang-kadang takut dan di lain waktu merasa berani. Perubahan-perubahan ini muncul dalam rangkaian yang cepat dan dalam cara yang biasa saja. Alasan utama dari semua perubahan ini adalah perubahan yang muncul dalam sikap mental kita sendiri. Semuanya ini adalah perwujudan dari sifat kita sendiri. Manusia memiliki tiga sifat (guna) yang berbeda yaitu - satwa, tamo, dan rajo guna. Jika ketiganya ini bercampur dalam keseimbangan maka tidak akan ada perubahan yang bersifat drastis dalam sifat seseorang. Sinar matahari disusun oleh tujuh warna yang berbeda. Ketika warna-warna ini bercampur dalam kadar yang sesuai maka tidak akan ada perubahan dan matahari akan bersinar dengan warnanya yang alami. Sebaliknya, jika terjadi ketidakseimbangan dalam campuran warna itu maka engkau akan menemukan beberapa warna spesial menunjukkan warnanya sendiri. (Divine Discourse, Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 9)
-BABA

Wednesday, August 10, 2016

Thought for the Day - 10th August 2016 (Wednesday)

Once the Atma is cognised, you will find that all is really One. This is the goal prescribed by the scriptures of this land. But the children of this sacred land have neglected it and are today struggling in the quagmires and cesspools of faction and fear. When the four bulls that grazed in the jungle were united and watchful of each other's safety (for they felt they were all one) the tiger dared not approach them; but, when discord broke them and created out of the ‘one’, four separate individuals, they were attacked one by one, and devoured by the tiger. That is the fate of those who feel separate. Know that though vyaktis (individuals) may be separate, the shakti (power) is one; that Shakti is the Paramatmatattva (principle of the supreme Atma). This is the message that I bring. This message surely is hitha (beneficial), though it may not be priya (pleasing). A patient must take medicines and follow the restrictions that doctors recommend; they cannot eat and live as they please during illness. The doctor knows best and must be obeyed to regain health.


Saat Atma dikenali maka engkau akan mendapatkan bahwa semua sejatinya adalah satu. Ini adalah tujuan yang dijabarkan oleh naskah suci dari negeri ini. Namun putra dan negeri ini telah mengabaikannya dan hari ini sedang berjuang dalam keadaan yang sulit dan jahat dari faksi dan ketakutan. Ketika empat banteng yang merumput di dalam hutan bersatu dan waspada terhadap keselamatan satu dengan yang lainnya (karena mereka merasa bahwa mereka adalah satu) maka harimau tidak berani mendekati mereka; namun, ketika perselisihan mulai terjadi serta memecah mereka menjadi individu yang terpisah dan akhirnya mereka diserang satu per satu dilahap oleh harimau. Itulah nasib dari mereka yang merasa terpisah. Ketahuilah bahwa walaupun vyakti (individual) mungkin terpisah namun shakti (kekuatan) adalah satu; Shakti itu adalah Paramatmatattva (prinsip dari Atma yang tertinggi). Ini adalah pesan yang Aku bawa. Pesan ini pastinya adalah hitha (bermanfaat), walaupun ini mungkin tidak menyenangkan (priya). Seorang pasien harus minum obat dan mengikuti pembatasan yang diberikan oleh dokter; pasien tidak bisa makan dan hidup seperti yang mereka sukai selama mereka masih sakit. Dokter mengetahui yang terbaik dan harus diikuti untuk bisa kembali sehat. (Divine Discourse, March 16, 1966)

-BABA

Tuesday, August 9, 2016

Thought for the Day - 9th August 2016 (Tuesday)

You cannot attain sukham through sukham (that is, happiness through comforts). The joy of release can be won only through travails and trials. Through intense pain a woman achieves the bliss of motherhood. Through toil, the coveted grain is earned by the farmer from the field. Through long days and nights of steady study, a student passes in the examination and earns a coveted degree. Deprive yourselves of luxury and even comfort; detach yourselves from that which you hold dear and near out of sheer ignorance of what is most dear and near to yourself; pine, struggle, strive ceaselessly - and then you are blessed with the inexpressible Bliss of merger with the Universal, of Sakshathkara. It is grief that makes joy worthwhile and a precious possession; it is the pitch-dark night that prompts the seeker of light; it is death, that lends zest to life.


Engkau tidak bisa mencapai sukham melalui sukham (yaitu mencapai kesenangan melalui kenyamanan). Suka cita bisa didapatkan melalui usaha dan percobaan. Melalui rasa sakit yang hebat maka seorang wanita mendapatkan kebahagiaan sebagai ibu. Melalui kerja keras, butir padi yang sangat diinginkan bisa didapat oleh petani di sawah. Melalui belajar siang dan malam dengan tekun maka seorang pelajar bisa lulus dalam ujian dan mendapatkan gelar sarjana yang sangat didambakannya. Melepaskan dirimu dari kemewahan dan bahkan kenyamanan; melepaskan dirimu dari yang sangat engkau sayangi disebabkan oleh kebodohan yang besar tentang apa yang paling engkau sayangi bagi dirimu sendiri; hasrat yang kuat, berjuang, berusaha keras terus menerus – dan kemudian engkau akan diberkati dengan kebahagiaan yang tidak terlukiskan dalam penyatuan dengan alam semesta, dari Sakshathkara. Adalah kesedihan yang membuat suka cita bermanfaat dan sebuah harta yang berharga; adalah karena malam yang gelap maka mendorong seseorang mencari cahaya; adalah kematian yang memberikan gairah hidup. - Divine Discourse, March 16, 1966

-BABA

Thought for the Day - 8th August 2016 (Monday)

When Pandavas were preparing to go to the forest, Dharmaraja called Draupadi, asked her to sit by his side and said, “Owing to personal differences between us and Kauravas, a situation has arisen by which we must live in the forest for 12 years and one year in incognito. Men will bear the difficulties somehow, why don’t you remain here and take care of old Dhritarashtra and Gandhari?” The Pandavas had asked Draupadi to take care of the two main people who were cruel and in fact were responsible for their having to go to the forest. This is a very great quality in the Pandavas, and we must learn a lesson from this conduct. The moral here is that whatever has to happen in one’s life will happen, but to take such inevitable events and use them to promote hatred is incorrect; it is not good human character. The misfortunes, troubles and pain we experience are not arising externally, nor are they God given. They are the result of our own actions. It is only as a result of one’s own weakness, that one blames someone else for one’s troubles and misfortunes. This is not a right attitude.


Ketika para Pandawa sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke dalam hutan, Dharmaraja memanggil Draupadi dan memintanya untuk duduk di sampingnya dan berkata, “Oleh karena perbedaan kepribadian diantara kita dan para Kaurawa maka situasi ini telah muncul dimana kita harus tinggal di dalam hutan selama 12 tahun dan satu tahun dalam penyamaran. Bagaimanapun manusia akan menghadapi kesulitan, mengapa engkau tidak tinggal disini dan merawat Dhritarashtra dan Gandhari yang sudah tua?” Para Pandawa telah meminta kepada Draupadi untuk merawat dua orang yang kejam dan sejatinya yang harus bertanggung jawab atas keadaan mereka pergi ke dalam hutan. Ini adalah kualitas yang sangat baik dalam diri para Pandawa dan kita harus belajar sebuah pelajaran dari hal ini. Moralitas yang ada disini adalah apapun yang harus terjadi dalam kehidupan seseorang namun menggunakan kejadian yang tidak dapat terelakkan dan menggunakan untuk meningkatkan kebencian adalah tidak benar; ini bukan karakter manusia yang baik. Kesialan, masalah, dan rasa sakit yang kita alami adalah tidak muncul dari luar dan tidak juga Tuhan yang memberikannya. Semuanya itu adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Hanya merupakan tanda dari kelemahan seseorang maka ia akan menyalahkan orang lain atas masalah dan kesialan yang didapatkannya. Ini bukan sikap yang benar. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 8)
-BABA

Monday, August 8, 2016

Thought for the Day - 7th August 2016 (Sunday)

When you try to cook a meal, you need to have with you all the essential ingredients: rice, dal, salt, lime, spices and vegetables. But unless you have the fire in the hearth, you cannot get the edible meal. So too, with life Jnana (knowledge of your own reality as just a wave of the ocean of Divinity) is the fire which makes the material world and the external activities and experience, edible and tasty, assimilable, health-granting and joy-giving. That joy is called Anandam; it is uplifting, illuminating, and constructive. Life 'here' is to reach ‘there’ (that is to say, iha-nivasam is for para-prapthi [attaining the beyond]). Treat your body as a wound that must be washed, bandaged, and treated with medicated ointment, three or four times a day. That is the real purpose of food and drink. Thirst is the disease; drink is the drug. Hunger is the disease; food is the medicine. Craving for pleasure is the disease for which detachment is the medicine!


Ketika engkau mencoba untuk memasak makanan maka engkau membutuhkan semua bahan-bahan dasar seperti : beras, garam, bumbu, dan sayuran. Namun kalau engkau tidak memiliki api di dalam tungku maka engkau tidak bisa mendapatkan makanan yang bisa dimakan. Begitu juga dengan pengetahuan hidup (pengetahuan tentang kenyataanmu yang sejati seperti halnya ombak dalam lautan keillahian) adalah api yang mana membuat dunia materi dan perbuatan dan pengalaman luar menjadi dapat dinikmati dan terasa menyenangkan, dapat dicerna, memberikan kesehatan, dan suka cita. Suka cita itu disebut dengan Anandam; yang mana bersifat memberikan kebahagiaan, memberikan pengetahuan, dan membangun. Hidup ‘disini’ adalah untuk mencapai ‘disana’ (itulah yang disebut dengan, iha-nivasam adalah untuk para-prapthi [mencapai alam baka). Perlakukan tubuhmu seperti luka yang harus dibersihkan, dibalut dan diolesi dengan obat salep sebanyak tiga atau empat kali sehari. Itulah tujuan yang sebenarnya dari makanan dan minuman. Rasa haus adalah penyakit; minum adalah obat. Lapar adalah penyakit; makanan adalah obat. Mencari kenikmatan adalah penyakit yang mana tanpa keterikatan adalah obat! (Divine Discourse, March 16, 1966)

-BABA

Saturday, August 6, 2016

Thought for the Day - 6th August 2016 (Saturday)

A divine vision of Vishwavirat (Cosmic Form) has been described as one consisting of thousands of heads, legs, and hands. Wherefrom has this Vishwavirat vision come? It is simply the magnified version of what is within ourselves. When I open My eyes, I see so many thousands of heads; but when the eyes are closed, I do not see even one head. When the eyes are open, I not only see these thousands of heads, but I also see this wall, this window and everything around me. If one goes outside and sees with open eyes, one sees the mountains, the sky, the rivers and the distant land; but at that instant, if one closes one’s eyes, why is it that one does not see even a small ant? If the eyes are open, we see the entire creation; and if the eyes are closed, we do not see anything of the creation. Thus we conclude that this entire creation has come from our own vision. Just as with external vision we are able to see the creation, with the help of internal vision, we can see the inner self.


Sebuah pandangan dari Vishwavirat (wujud kosmik) telah dijelaskan sebagai seseorang dengan memiliki ribuan kepala, kaki, dan tangan. Darimana datangnya pandangan terhadap Vishwavirat? Sederhananya adalah versi besar dari apa yang ada di dalam diri kita masing-masing. Ketika saya membuka mata saya, saya melihat begitu banyak ribuan kepala; namun ketika mata dipejamkan, saya tidak melihat bahkan satu kepala-pun. Ketika mata dibuka, saya tidak hanya melihat ribuan kepala ini, namun saya juga melihat dinding ini, jendela ini dan segala sesuatu di sekitar saya. Jika seseorang pergi keluar dan melihat dengan mata terbuka maka ia akan melihat gunung, langit, sungai, dan tanah yang terbentang jauh; namun ketika saat itu ia pejamkan mata, mengapa ia tidak melihat bahkan seekor semut-pun? Jika mata dibuka, kita melihat seluruh ciptaan; dan jika mata dipejamkan, kita tidak melihat apapun dari ciptaan. Jadi kita simpulkan bahwa seluruh ciptaan telah datang dari pandangan kita sendiri. Sama halnya dengan pandangan luar maka kita mampu melihat ciptaan dan dengan pandangan ke dalam kita dapat melihat diri yang ada di dalam. (Summer Roses on Blue Mountains, 1976, Ch 8)

-BABA